Chapter 3 — Kehidupan Baru
Aku
mendengar cerita tentang keluargaku dari Tendou-san
pada sore hari setelah sekolah. Tepat
setelah kami kembali ke rumah keluarga Tendou. Mungkin dia tidak
membicarakannya di sekolah karena mempertimbangkan privasiku.
Kemudian,
aku diundang ke kamar Tendou-san.
Ada dua kursi yang disediakan di sebelah meja. Dan, dua cangkir teh hangat juga
sudah disiapkan.
“...Aku
akan bercerita. Tentang keluargamu. Tentang diriku dan dirimu.”
Setelah
memberikan pengantar, Tendou-san mulai bercerita. Dia menceritakan tentang
keluargaku. Mengapa aku berada di keluarga Tendou.
—Ternyata,
aku ditinggalkan oleh orang tua.
Orang
tuaku menghilang bersama adik perempuanku,
dan hanya aku yang tertinggal di rumah. Setelah mendengar itu, aku
meneguk teh hangat yang disediakan di meja. Bukan karena aku merasa haus. Setelah mendengar cerita Tendou-san, aku
hanya secara tidak sadar menginginkan minuman hangat.
“...Aku
menemukanmu pada hari bersalju.”
Melihatku
sedang minum teh, Tendou-san berkata pelan.
“Aku
melihatmu berjalan sendirian di luar, terlihat bingung... dan aku memanggilmu.”
“...Mengapa
kamu memanggilku?”
“Karena
matamu sangat mengesankan.”
Matanya yang
biru—seperti safir, tampak seperti
langit yang jernih.
Mata yang
terbungkus langit itu tercermin dalam matanya.
“Mata
yang seolah-olah telah kehilangan segalanya.”
“……………………”
Telah
kehilangan segalanya... pasti benar begitu.
Saat itu,
aku masih di kelas 1 SD.
Keluargaku adalah segalanya bagiku. Tiba-tiba, semuanya menghilang.
Dunia ini lenyap meninggalkanku.
“Bukannya mau sombong, tapi aku memiliki
segalanya. Apa yang biasanya disebut orang-orang, segalanya.”
Tendou-san
mengambil gula batu dan menjatuhkannya ke dalam teh.
“Aku
mungkin pernah mendapatkan sesuatu, tapi aku tidak pernah mengalami kehilangan.
...Ya, mungkin aku kehilangan waktu, atau hidup, atau mainan yang sudah tua,
atau buku pelajaran yang tidak terpakai lagi. Hal-hal seperti itu mungkin
hilang. Tapi, aku tidak pernah kehilangan sesuatu yang benar-benar berharga.”
Gula yang
jatuh itu dengan cepat larut dan menghilang, menjadi bagian dari teh.
“Jadi,
mungkin itulah
sebabnya. Tatapan matamu
yang seolah-olah kehilangan dunia sangat mengesankan. Kedengaran angkuh sekali, ‘kan?”
Cangkir Tendou-san
masih penuh dengan teh yang belum tersentuh. Teh hitam yang bening itu memantulkan dasar
cangkir yang gelap. Meskipun penuh, dasar cangkir itu terlihat kosong bagiku.
“Aku jadi tertarik padamu, makanya aku mengajak bicara seperti ini padamu.”
—Apa kamu kelihatan sesuatu?
Benar sekali... pada hari bersalju itu, Tendou-san
bertanya demikian padaku.
“Dan,
kamu menjawab seperti ini.”
—Semuanya.
(Ah,
benar sekali... aku
menjawab Tendou-san bahwa aku telah kehilangan semuanya.)
Duniaku
saat itu terlihat kelabu.
Dunia
yang tadinya putih bersih berselimut salju kini seperti tertutup abu.
Dunia itu
menjadi monokrom. Dunia yang telah kehilangan semua warnanya.
Di tengah
semua itu, gadis ini... terlihat bersinar.
Tanpa
peduli pada dunia yang tampak kelabu.
Rambut pirang dan mata birunya bersinar seolah-olah tidak peduli dengan rasa
kehilangan yang kualami.
Mau tak mau
aku jadi tertarik padanya.
Keluargaku
tiba-tiba menghilang. Keluargaku lenyap. Dunia ini hilang.
Setelah
kehilangan segalanya, seharusnya semuanya menjadi
tidak berarti bagiku. Sebetulnya,
aku seharusnya bisa mati tertimbun salju. Meskipun aku berpikir begitu, aku
justru terpesona oleh malaikat keemasan yang muncul saat itu.
Malaikat
itu berkata.
—Jika
kamu telah kehilangan segalanya, aku akan membagikannya padamu.
Dia berkata
demikian sambil mengulurkan tangannya.
“Aku yang
memiliki segalanya, tapi aku tidak
pernah mengalami kehilangan. Itulah sebabnya aku menginginkanmu waktu itu. Dengan sedikit rasa penasaran dan hati yang angkuh.”
“Waktu itu aku sangat senang.”
Tanpa kusadari, kata-kata itu keluar dari
mulutku.
“Aku
senang ada orang yang mau membagikan sesuatu padaku.”
Aku mengingatnya. Saat Tendou-san
mengatakan kalau dirinya akan membagikan padaku, baru
saat itu aku menyadari dinginnya cuaca hari
itu.
Aku
menyadari wajahku menjadi dingin. Aku teringat napasku yang berwarna putih.
“...Apa
kamu mengingat sesuatu?”
“Sedikit
tentang hari itu.”
“Lalu,
bagaimana setelah itu?”
“Aku...
meraih tangan yang ditawarkan Tendou-san
dan dibawa ke rumah keluarga Tendou.”
Ayah Tendou-san
mengatakan bahwa dirinya juga
memiliki pengalaman serupa dan mengadopsiku.
Sebenarnya,
keluarga Tendou sendiri tidak jarang mengadopsi anak-anak yang tidak memiliki
sanak saudara atau yang memiliki sedikit masalah, jadi sepertinya mereka sudah
terbiasa dengan prosedur tersebut.
Di antara
pelayan di rumah, ada orang-orang yang memiliki pengalaman serupa denganku, dan
ada juga yang menerima dukungan dari keluarga Tendou dan mandiri. Meskipun
begitu, sepertinya akulah anak pertama yang dipungut
langsung oleh putri mereka.
Keluarga Tendou
menerimaku seperti keluarga mereka sendiri.
Jika menginginkannya, mereka juga mengatakan
akan mencarikan keluarga yang mau
mengadopsiku, dan
jika aku ingin menunggu keluargaku di rumah, mereka akan memberikan
dukungan. Selain itu, mereka juga menyediakan pilihan lain.
Aku
merasa bahwa aku diperlakukan dengan sangat istimewa.
Saat itu, aku masih di kelas 1 SD.
Mereka bilang aku bisa mengambil waktu untuk memahami arti pilihan-pilihan itu.
Aku
kemudian mengatakan kepada mereka bahwa
aku tidak perlu mencari keluargaku.
Entahlah.
Aku tidak memiliki semangat untuk mencari keluargaku sendiri. Yang membuatku bertahan dan
bergerak saat itu hanyalah keinginan untuk berada di dekat Tendou-san.
Saat
berada di dekat Tendou-san dan melihatnya... aku menyadari bahwa dia yang
terlihat seperti malaikat hanyalah seorang gadis biasa.
Dia
berbakat, pekerja keras, dan merasa kesepian ketika tidak bisa bertemu orang
tuanya. Dia
terluka ketika orang-orang di sekitarnya iri dengan bakatnya.
Aku ingin
melindunginya, dan
aku menawarkan diri untuk menjadi pelayan di rumah Tendou.
“Yah...
itu saja yang aku tahu tentang keluargamu. Jika aku mau, aku bisa
menyelidikinya lebih dalam, tapi... aku tidak melakukannya. Karena kamu juga
tidak menginginkannya, dan aku sendiri... merasa takut.”
“Apa aku sebegitu menakutkan di masa lalu?”
“Bukannya begitu.
Aku berpikir... kamu mungkin akan kembali. Kembali kepada keluargamu.”
Hmm.
Entahlah. Saat ini, aku merasakan kebahagiaan yang meluap... apa ini karena aku
merasakan hal yang sama sebelum kehilangan ingatan?
“...Hanya
itu yang kuketahui tentang masa lalumu. Sekarang,
aku akan bicara tentang masa kini.”
Tendou-san mulai minum tehnya seolah-olah sedang menguatkan tekadnya
dan kemudian mulai berbicara tentang saat ini dengan penuh semangat.
“Adik perempuanmu telah ditemukan.”
“――――――――Adik... perempuanku...?”
“...Benar.
Selain penyelidikan dari keluarga Tendou dan keluarga Shigenin, kami juga menggunakan koneksi
untuk mendapatkan data dari rumah sakit dan mencocokkannya dengan milikmu.
Hasilnya, tidak diragukan lagi, dia
adalah adik perempuanmu.”
Pandanganku
menjadi kabur. Kepalaku menjadi linglung. Keringat dingin mengalir
dari dahi, menetes seperti air panas yang mengalir di kulit.
Adik perempuan. Adik
perempuan. Oh... benar juga.
Aku memiliki adik perempuan.
Tapi.... apa ini? Ingatanku sudah kembali
beberapa kali sebelumnya. Aku juga merasakan sakit di kepalaku. Tapi perasaan
ini berbeda dari yang pernah kurasakan sebelumnya.
Rasanya
seperti campuran panas dan lumpur yang menggelegak dari dalam perutku.
“Eito!? Kamu tidak
perlu memaksakan diri, istirahatlah dengan baik...”
“...Aku
baik-baik saja. Lebih penting lagi... namanya? Siapa
nama adik perempuanku...”
Saat aku
mendorongnya untuk melanjutkan, Tendou-san sedikit ragu sebelum berbicara lagi.
“Namanya Yagiri Hikari-san.”
“...Tidak
diragukan lagi. Dia memang adik perempuanku.”
Begitu
mendengar nama Yagiri Hikari, aku langsung
teringat akan keberadaan adik perempuanku
yang tidak kuketahui hingga kemarin. Namun, tidak ada ingatan lain yang
kembali. Yang kembali hanyalah
nama adikku. Hanya fakta bahwa aku memiliki
adik perempuan yang bernama Hikari.
Rasanya
seperti hanya mendapatkan satu lubang kecil di danau yang membeku. Ketika
kerikil dilempar ke air beku dan berlubang, tak ada riak yang dihasilkan. Aku tidak mengingat semuanya.
Ingatanku masih berlubang.
“Dan sepertinya dia ingin
bertemu denganmu.”
“....”
Begitu dihadapkan pada pilihan untuk bertemu
adikku, jantungku berdenyut panas. Rasa
panas itu tumbuh dari pusat jantungku, menjalar ke seluruh tubuhku.
“...Aku sempat merasa bimbang, apa aku harus
memberitahumu ini, tapi nama keluarga Hikari-san sekarang ialah Asami. Jadi sekarang dia bukan Yagiri lagi, secara resmi
dia adalah Asami Hikari-san.”
“Asami...
aku tidak mengenal nama itu.”
Sepertinya
pihak mereka juga mengalami banyak hal. Di tempat yang tidak aku ketahui,
ada banyak hal yang terjadi... Apa Tendou-san tahu
sesuatu tentang semua itu?
“...Kurasa lebih baik mendengar
langsung dari mulutnya sendiri.”
Kata-katanya
seolah bisa membaca pikiranku.
“Hanya jika kamu ingin bertemu dengannya.... Tapi jika kamu tidak menginginkanya, itu juga tidak masalah. Saat
itu, aku akan memberitahumu tentang keadaan di sana yang kuketahui dari
penyelidikan keluarga Tendou.”
Apa yang akan kamu lakukan?
Tendou-san bertanya seolah-olah inilah keputusan yang harus kubuat.
Memang
benar, akulah yang
harus memutuskan dari sini.
Dengan
keinginanku sendiri...
“...Aku
akan bertemu dengannya.”
Aku ingin
tahu.
Aku ingin
tahu tentang kekosongan yang ada di dalam hatiku ini.
Alasan
mengapa ada lubang yang membiarkan kegembiraan, kehangatan, dan segalanya mengalir keluar.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Tendou Hoshine)
Pertemuan
antara Eito dan adik perempuannya telah ditentukan.
Hari
pertemuan ditetapkan pada hari Minggu. Kami
sempat mempertimbangkannya sepulang
sekolah, tetapi karena ada kepentingan dari pihak lain, lebih baik di hari
libur agar kami bisa berbicara dengan santai tanpa terburu-buru.
Kami berpikir restoran mewah seperti
restoran jamming tempat Miu dan
aku saling berkompetisi mungkin akan
membuatnya enggan, jadi kali ini kami memutuskan untuk pergi ke kedai kopi di
bawah naungan grup Tendou.
Sambil
mempersiapkan semuanya dengan cepat... aku meminta Miu untuk menghubungi adik perempuan Eito. Sebelum hari pertemuan,
aku ingin bertemu dengannya terlebih
dahulu.
Miu
biasanya akan memberikan komentar, tetapi kali ini dia tidak terlalu mendalami
tindakanku. Dia biasanya akan
menyela dengan satu atau dua kata, tapi kali ini tidak.
Aku mulai
berpikir bahwa pertimbangan secara diam-diam
inilah sifat Miu.
Dan
permintaanku yang tidak biasa itu didengarkan oleh adik perempuan Eito. Rupanya, dia juga ingin berbicara dengan
orang yang mengadopsi Eito.
Untuk
sementara, kami memutuskan untuk mengadakan acara di kedai kopi yang sama
dengan yang kami gunakan pada hari Minggu. Kupikir ini akan membantunya agar tidak terlalu gugup di hari
pertemuan nanti.
Tentu
saja, aku sudah menempatkan pengawalku di dalam toko.
Aku tiba
sekitar tiga puluh menit lebih awal dari waktu yang ditentukan (aku datang
terlalu cepat), jadi aku memutuskan untuk memesan es kopi susu dan
menunggu. Meskipun liburan musim panas telah berakhir, cuaca di luar masih
panas. Es kopi susu terasa pas.
(Sudah
lama aku tidak meminum
es kopi susu dari kedai... biasanya Eito yang membuatkannya untukku.)
Es kopi
susu dan teh hitam yang
biasanya aku minum.
Akhir-akhir
ini, pelayan lain yang menyeduhnya. Namun... rasanya berbeda dari saat Eito
yang menyeduhnya. Enak sih, tetapi
rasanya tidak sama.
“...Mungkin,
aku takkan bisa meminumnya lagi.”
Kemudian,
tepat lima belas menit sebelum waktu yang ditentukan—dia datang.
Sebenarnya,
aku sudah melihat hasil penyelidikan secara sekilas, jadi aku tahu wajahnya
dari foto.
Rambut
hitamnya dipotong sebahu dan dirapikan menjadi garis
lurus. Tubuhnya yang kecil terlihat sedikit membungkuk
seolah-olah kurang percaya diri, dan dia
buru-buru meminta maaf kepada pelanggan yang hampir bertabrakan dengannya.
Sepertinya
dia datang ke sini setelah selesai
sekolah. Dia mengenakan seragam dari divisi SMP
Akademi Houraiou.
Dia
mungkin menyadari tatapanku, dan dia dengan
hati-hati mendekat.
“Ah,
um... apa kamu Tendou Hoshine-san,..?”
“Ya. Kamu adalah Asami Hikari-san, ‘kan?”
“Y-Ya!
Namaku Asami Hikari.”
Hikari-san
menundukkan kepalanya dengan sangat sopan, sampai-sampai
aku hampir bisa mendengar bunyi ‘krek’ saat
dia melakukannya.
Dari
perilakunya, dia terlihat pemalu, mungkin dia lebih gugup dari
yang kubayangkan.
“Jangan sungkan-sungkan, ayo duduk dulu.
Kalau berdiri, kita tidak bisa berbicara.”
“Ah,
terima kasih!”
Tentu
saja, dia ingin bersikap sopan.
Dia menarik
kursi dengan hati-hati agar tidak mengeluarkan suara, lalu mencoba duduk—
“Hyah!”
—dia tersandung kursi dan jatuh ke lantai.
Sambil
jatuh, dia juga menjatuhkan es kopi susuku yang ada di atas meja, hingga tumpah
ke seragamnya.
“Eh, kamu
baik-baik saja!?”
“Ma-Maaf! Maafkan aku! Aku
malah menumpahkan minuman Tendou-san...!”
“Jangan
khawatir tentang itu. Justru kamu
yang lebih kesulitan, ‘kan?”
Seragam
dari Akademi Houraiou sangat anggun dan elegan,
berwarna putih seperti angsa. Namun sekarang, seragamnya sudah ternoda es kopi
susu, terlihat seperti sungai keruh.
Aku
mengeluarkan saputangan dan mencoba mengelap sebaik mungkin, tetapi satu atau
dua saputangan tidak akan cukup.
“Ah,
um... saputanganmu...!”
“Tidak
apa-apa. Malahan, sepertinya tumpahan ini tidak
bisa dibersihkan sama sekali... Jika dibiarkan, ini akan menjadi noda. Kamu
pasti akan memakainya lagi besok, kan?”
“T-Tidak. Tidak apa-apa... Jangan
khawatir.”
“Mau dilihat dari sudut pandang siapa saja, itu tidak
baik-baik saja. ...Tunggu sebentar.”
Aku
memberi isyarat dengan tatapan kepada pengawalku yang ada di dekat situ, dan
salah satu pengawalku yang mengerti maksudku segera datang.
“Boleh
aku mengambil seragamnya dan mencucinya di rumah?”
“Hah...?”
“Segaram tersebut akan kotor kalau
dibiarkan terus. Aku
akan mencucinya dan mengembalikannya hari ini.”
“Ta-Tapi...”
Dia
tampak ragu, mungkin karena tidak ingin berhutang budi padaku. Atau mungkin
karena kurang percaya diri, sehingga merasa kesulitan untuk berhutang budi.
Atau
mungkin keduanya.
“Sebagai
gantinya, maukah kamu mentraktirku secangkir teh? Dengan begitu, tidak ada yang
berhutang budi satu sama lain, bagaimana?”
“U-Ugh... jika memang begitu...”
Sepertinya
kami berhasil mencapai
kesepakatan.
Kalau
Otoha atau Miu, mereka
pasti akan berkata, “Jangan
banyak bicara, serahkan saja padaku,” dan menariknya dengan paksa.
Namun, aku tidak bisa melakukan hal seperti itu padanya. Sebelum masuk ke pokok
bahasan, aku juga tidak ingin menciptakan perbedaan posisi antara kami.
“Yah,
mari kita pesan minuman dulu. Aku akan memesan yang sama, jadi silakan pilih.”
“Ah,
maaf! Ehm, ehm...!”
“Kamu bisa
memutuskannya pelan-pelan, tidak perlu terburu-buru.”
Hikari-san
menatap menu dengan serius sebelum akhirnya memesan jus jeruk. Minuman yang dipesan segera
datang, dan aku mengamatinya saat dia
meneguknya untuk melepas dahaga.
“…………”
Saat
melihatnya seperti ini, wajahnya cukup
lumayan. Bahkan, dia terlihat lebih imut dibandingkan
saat di foto. Sikapnya yang pemalu dan tenang sepertinya justru menambah kesan
anggun yang dimilikinya.
(Selain itu, ada
sedikit kemiripan dengan Eito... terutama di matanya.)
Saat aku benar-benar bertemu langsung dengannya, aku bisa merasakan bahwa dia
adalah adik perempuannya Eito.
“...Hah.”
Setelah
minum jus jeruk, Hikari-san menghela napas seolah merasa lega. Tanpa sadar, gambaran seekor anak kucing yang
menggemaskan terlintas di benakku.
“Apa kamu
sudah tenang?”
“Y-Ya! Ehm... Maafkan aku atas keteledoranku tadi...”
Hikari-san
menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sepertinya dia sudah terbiasa meminta maaf,
bukan hanya perasaanku saja... Melihat sikapnya, dia mungkin sering meminta
maaf.
“Aku
memang selalu lamban sejak kecil... aku sering
jatuh juga.”
“Hee~... Kebalikan dari Eito, ya.”
Setelah
mengucapkan itu, aku baru menyadari bahwa kata-kata itu keluar begitu saja dari
mulutku.
Sial.
Mungkin aku terlalu sembrono, tetapi Hikari-san justru tersenyum cerah untuk pertama
kalinya sejak dia datang ke sini.
“Kira-kira bagaimana dengan keadaan Nii-san?”
“Aku
belum pernah benar-benar melihat Eito
jatuh di depanku. Malah, lebih seperti ia membantuku berdiri sebelum aku jatuh?”
“Benar,
benar! Aku juga sering dibantu Nii-san.
Saat aku hampir jatuh, ia selalu mendukungku, dan jika aku jatuh, ia segera
datang menolong.”
Waktu
yang dihabiskannya bersama Eito
seharusnya adalah saat-saat ketika dirinya
masih sangat kecil. Namun, Hikari-san menceritakan kenangan itu dengan mata
yang berkilau.
“Nii-san selalu perhatian sejak dulu. Aku
selalu mendapat bantuan darinya... Mungkin itu sebabnya, dia cukup populer di
kalangan gadis-gadis. 'Anak laki-laki lainnya
selalu kasar, tapi Eito-kun benar-benar berbeda,
ya?' kata mereka.”
“Ugh.
Bahkan sejak saat itu sudah ada...”
Walaupun aku
sudah menduganya, tapi aku tidak menyangka ada kucing garong di masa lalu juga...! Tidak,
kucing garong kecil? Lagipula, secara waktu,
mereka lebih dulu ada... Eh!? Apa ini berarti akulah
yang menjadi kucing garongnya!?
Aku takkan pernah menerimanya!
“Begitu
ya... Nii-san, ternyata tidak berubah ya...
Aku merasa sedikit lega.”
Hikari-san
terlihat lega. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi
gugup seperti sebelumnya. Sepertinya, saat berbicara tentang Eito, perasaannya
juga mulai rileks.
“…Maaf.
Aku, tanpa izin, berbicara terlalu banyak...”
“Jangan
khawatir. Aku merasa senang bisa mendengar
tentang Eito di masa lalu.”
“Jika
kamu bilang begitu, itu sangat membantu...”
Hikari-san
menundukkan kepalanya dengan malu-malu,
pipinya sedikit memerah. Dia terlihat sangat menggemaskan, mungkin karena dia
adalah adik perempuan Eito,
atau mungkin karena aku memang lemah terhadap mereka berdua.
“Umm...
Jadi, kenapa kamu memanggilku kemari...?”
“…Karena aku ingin berbicara denganmu dulu.”
Sampai
sekarang, aku belum
bisa mengungkapkan alasan yang jelas. Aku
menarik perasaan yang samar-samar di dalam hatiku
dan mulai membentuknya dari ujung.
“Aku
ingin bertanya padamu. Tentang Eito di masa lalu dan apa pendapatmu tentang Eito.”
Mengapa aku bertanya seperti itu?
Rasa
ingin tahu? Ketertarikan? Bukan. Semuanya
itu salah.
“Mengapa...
Eito ditinggalkan oleh keluarganya?”
Mungkin
karena aku membutuhkannya. Untuk menentukan ke mana arah
hatiku berlabuh.
“…Nii-san adalah orang yang selalu dapat
diandalkan sejak dulu.”
Tanpa
menunjukkan tanda-tanda menolak permintaanku, Hikari-san mulai berbicara
perlahan.
“Dirinya
sangat bertanggung jawab dan selalu melindungiku. Ia juga sering membantu pekerjaan
rumah. Bahkan ketika dirinya tidak
punya waktu untuk bermain dengan teman-temannya, da tidak pernah mengeluh...
Sekarang, aku merasa senang saat
mendengar kalau dirinya bekerja
sebagai pelayan di rumah Tendou-san.”
Hikari-san menceritakan sosok Eito yang tidak
kukenal. Namun anehnya, itu juga Eito yang aku kenal.
“Nii-san
adalah pahlawanku. Ia selalu
membantuku. Ia selalu melindungiku.
Dirinya begitu baik hati padaku. Ia bisa melakukan segalanya dan
menyelesaikan segalanya, pahlawan. Aku sangat menyayanginya.
Meskipun aku tidak ingat banyak tentang kenangan masa kecil, ingatanku tentang Nii-san masih terukir kuat di hatiku.”
Hikari-san
meletakkan tangan di dadanya dan menggenggamnya erat-erat. Di dalam dirinya, aku meyakini pasti ada kenangannya tentang Eito dan hari-hari yang mereka lalui bersama masih hangat
dan menerangi hatinya hingga kini.
“Tapi,
aku yakin itulah alasan Nii-san berakhir seperti itu...
karena dirinya memang harus seperti itu.”
“Kalau tidak
salah, ayah kalian
berdua...”
Informasi
yang kulihat dari hasil penyelidikan keluarga Tendou terlintas kembali di dalam pikiranku. Mungkin dia
sudah menangkap apa yang ingin kukatakan. Hikari-san mengangguk pelan.
“…Mungkin
kamu sudah mengetahuinya, tapi ia memiliki utang yang
sangat besar. Sepertinya ia awalnya merupakan
seorang salesman di perusahaan besar, tapi setelah dipecat, ia menjadi kecanduan alkohol
dan perjudian, dan diam-diam menambah utang kepada ibu...”
Menurut
laporan penyelidikan antara keluarga Tendou dan keluarga Shigenin, tampaknya Ayah mereka terlibat dalam perselisihan
internal perusahaan. Dalam proses itu, dirinya
juga dikhianati oleh temannya,
yang mungkin memberikan dampak psikologis yang besar. Ia terjerumus dalam alkohol dan
perjudian, terus-menerus menghindari kenyataan di depan matanya.
Ketika
Hikari-san mulai bersekolah SD,
situasinya sudah seperti itu.
“Dalam
ingatanku, ayahku selalu minum alkohol dan sering marah pada ibuku... Setiap
kali aku merasa takut dan hampir menangis, Nii-san
selalu memelukku. Sambil memelukku, ia selalu bilang kalau ayah juga kasihan. Karena ia dikhianati oleh orang yang
dipercayainya dan
terluka, sambil tersenyum sedih...”
Saat itu,
Eito pasti masih sangat muda. Meskipun begitu, kurasa ia sudah memahami keadaan
secara umum. Ia
menyadari betapa dalamnya luka yang dialami ayahnya.
“Karena
itulah, dirinya bilang akan berusaha keras
menggantikan ayah. Nii-san
selalu membantu pekerjaan rumah agar ibuku tidak terlalu terbebani, dan juga
mengurusku... Ia sangat
mengabdikan diri kepada keluarganya.”
Karena Eito
adalah anak yang cerdas, mungkin ia merasa perlu untuk menjadi lebih dewasa
daripada usianya. Dirinya merasa
harus berjuang dan melakukan segala sesuatu agar semuanya bisa terjaga, dan
mungkin dirinya
memiliki harapan yang melebihi usianya.
“…Tapi,
keluarga itu menghilang. Hanya meninggalkan Eito di rumah.”
Keluarga
yang telah ia dedikasikan untuknya telah lenyap, mengabaikan Eito sendirian.
Eito
ditinggalkan. Oleh keluarganya yang telah dilayaninya.
“…Saat itu, ayahku
lah yang mengusulkan untuk meninggalkan salah satu anak. Aku
masih mengingatnya. Setelah kami melarikan diri di malam hari,
ia... mengatakan hal itu.”
Hikari-san
tampak menggigil saat membicarakan hal itu, dia membungkukkan punggungnya dan
menundukkan kepalanya. Seolah-olah dia sedang menyesali kakaknya yang tidak ada
di sini.
“Dirinya
berkata 'Eito bisa sendirian, jadi itu tidak masalah.'
Lalu menambahkan, 'Berbeda dengan
Hikari, ia tidak bakalan kerepotan.'”
Ah...
Begitu. Jadi, itulah
alasannya.
Sejak
mengetahui bahwa Eito memiliki seorang adik perempuan, aku selalu penasaran
dengan alasannya. Mengapa mereka
hanya meninggalkan Eito, dan apa alasannya.
Eito-ku adalah seorang pelayan yang
sangat baik.
Dirinya belajar di sela-sela pekerjaan
dan selalu mempertahankan peringkat tinggi. Selain itu, ia juga pandai mengajar
orang lain. Ia juga jago di bidang bolahraga. Sepertinya,
karena dia dilatih dengan ketat oleh ayahku,
kekuatannya bahkan bisa mengalahkan sekelompok tentara biasa atau tentara
bayaran... Begitulah katanya.
Mungkin
juga karena wajahnya yang tampan. Penampilannya teratur, matanya yang gelap
juga indah. Tingginya pun cukup. Sikapnya juga sangat sopan. Tidak heran jika
gadis-gadis lain terpesona—
—Namun,
dirinya justru terabaikan. Eito
terpaksa menjadi dewasa lebih cepat untuk melayani dan mengabdikan diri kepada
keluarganya. Karena ia terlalu matang dan berbakat, dirinya justru ditinggalkan sendirian.
Dirinya bisa baik-baik saja sendirian.
Dirinya bisa melakukan segalanya
sendirian.
Dirinya dinilai mampu hidup sendiri.
“…Akhirnya,
tidak lama kemudian, orangtuaku bercerai. Ibuku menikah lagi dan sekarang
tinggal bersama ayah tiriku yang baru. Ayah kami menghilang dari hadapan kami,
meninggalkan utang, tetapi ayah tiri kami mengambil alih utang itu... Sekarang,
kami bisa hidup seperti ini.”
Setelah
mendengar ceritanya, tampaknya ayah tiri Hikari-san adalah
orang yang cukup baik hati. Menurut
dokumen penyelidikan, dia juga tampak sebagai sosok yang cerdas. Situasi
ekonomi mereka tidak terlalu buruk. Hikari-san bisa bersekolah di Akademi Houraiou merupakan
buktinya.
“…Kamu
juga pasti mengalami masa sulit, ya?”
“Tidak...
Jika dibandingkan dengan Nii-san...”
Dia
mungkin merasa bersalah. karena
menjadi satu-satunya orang yang dipilih oleh orang tuanya.
“Aku...
sudah berpikir bahwa aku takkan bisa bertemu Nii-san
lagi. Aku sudah berusaha mencarinya tapi tidak bisa menemukan. Di
suatu tempat dalam hatiku, aku mulai berpikir untuk menyerah pada Nii-san... Jadi, ketika aku mendengar
bahwa Miu-senpai bertemu dengan
seseorang yang memiliki nama yang sama dengan Nii-san,
aku merasa itu adalah keajaiban. Ketika aku mengetahui
kalau itu benar-benar Nii-san...”
Hikari-san
mengangkat wajahnya. Dia menatapku lurus ke
arahku.
Dia tidak
mengalihkan pandangannya atau melarikan diri. Anak yang seharusnya tidak
percaya diri ini menatapku dengan lurus.
“Aku
ingin bertemu Nii-san. Dan
jika mungkin... aku ingin tinggal bersamanya. Sebelum kita terpisah lagi...”
“Lagi?
Apa maksudmu?”
“Ayah
tiriku akan dipindahkan. Sepertinya ini adalah promosi, tetapi tujuannya ke
luar negeri...”
“Luar
negeri... Apa Eito akan ikut ke sana?”
“Jika
Nii-san... menginginkannya, ya.”
Kenaikan
jabatan dan penempatan di luar negeri. Ayah tiri Hikari-san pasti sangat
berbakat.
“Aku
mengerti. Ini hanya permintaan egois. Nii-san juga memiliki kehidupannya sendiri di sini. Tapi... meskipun
begitu, aku ingin tinggal bersama Nii-san.
Kali ini, aku ingin mendukungnya di sampingnya."
Kuat. Dia menunjukkan tekad yang kuat.
Dia pasti
menyesalinya hingga saat ini ketika menyadari kalau Eito
ditinggalkan sendirian dan hanya
dirinya yang dibawa pergi.
Kurasa
Hikari tidak bisa berbuat apa-apa saat itu. Tanggung jawab seharusnya dibebankan pada orang dewasa, terutama
ayahnya, dan seharusnya dia tidak memiliki dosa atau tanggung jawab.
Tapi,
dia pasti telah menyalahkan dirinya sendiri. Mungkin ada saat-saat di mana dia menangis memikirkan Eito.
Tempat di mana dia bisa menyeka
air matanya. Itulah tempat seharusnya dia bersama Eito.
(…Keluarga.
Tempat di mana Eito seharusnya berada)
Bagaimana
jika Eito yang tidak kehilangan ingatannya?
…Mungkin
ia mencoba untuk bertemu keluarganya. Namun, ia
pasti tidak ingin menjauh dariku.
Mungkin
ini terdengar sombong, tetapi aku punya
keyakinan begitu. Sebagai majikannya Eito, aku memiliki keyakinan itu. Akulah yang paling tahu seberapa besar kesetiaan Eito.
Namun, Eito
sekarang telah kehilangan ingatannya.
Dirinya bukan Yagiri Eito sebagai pelayan, melainkan Yagiri Eito sebagai
siswa SMA biasa Aku
tidak tahu mana yang akan dipilih Eito. Aku tidak
merasa yakin mana yang akan dipilih Eito sekarang.
“…Tendou-san.
Jika kakakku setuju, bisakah kamu mengizinkan kami untuk kembali menjadi
keluarga?”
Aku tidak
tahu mana yang lebih bahagia. Aku tidak tahu, tetapi jika ada jalan bagi Eito
untuk bahagia, aku harus mengirimnya ke arah itu.
“…Ya.
Tentu saja.”
Meskipun
itu berarti aku akan berpisah dengan Eito.
Meskipun itu berarti hubungan antara aku dan Eito
akan berubah.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Eito)
Minggu.
Hari di mana Tendou-san mengatur pertemuan dengan adikku telah tiba. Sayangnya, cuaca tidak cerah.
Awan yang menghalangi cahaya menutupi langit.
Untungnya, Tendou-san
menyediakan mobil antar-jemput, jadi walaupun
hujan turun, itu tidak akan menjadi masalah besar.
“…………………”
Akan tetapi,
Tendou-san yang biasanya ceria, kali ini tampak jarang berbicara di dalam mobil
antar-jemput.
Tidak,
mungkin dia sudah terlihat aneh sejak beberapa waktu lalu. Sepertinya dia baru
saja bertemu seseorang beberapa hari yang lalu, tapi setelah itu, dia tampak
sedikit depresi.
Ketika
aku bertanya apa ada yang salah, dia hanya menjawab bahwa dia sedang memikirkan
sesuatu.
…Sekarang,
saat aku akan bertemu adikku yang terpisah, pikiranku sebagian besar dipenuhi
oleh Tendou-san. Aku lebih khawatir tentang keadaan Tendou-san daripada diriku sendiri. Mungkin ini karena pengaruh dari diriku yang sebelum kehilangan ingatan.
“…………Eito.”
Ketika
kami mendekati tempat yang
ditentukan, Tendou-san akhirnya membuka mulutnya setelah mengamati pemandangan
di luar jendela.
Namun,
dia tidak menatapku dengan matanya yang berwarna biru cerah. Matanya yang terpantul di kaca jendela tampak samar,
seolah tertutup oleh awan hujan yang juga tercermin.
“Kamu
harus memilih kebahagiaan yang kamu inginkan.”
“Tendou-san?”
“Kamu
bisa pergi ke tempat yang kamu inginkan. Kamu tidak perlu
mengkhawatirkan hal lain. Kamu tidak perlu memikirkan aku atau keluarga Tendou.”
Seolah-olah
dia sedang meyakinkan dirinya sendiri.
Kata-kata
itu bukan ditujukan untukku. Kalimat itu dimaksudkan
untuk menahan dan mengikat dirinya sendiri. Sebelum aku sempat bertanya
tentang makna kata-katanya, mobil sudah berhenti.
“Umm,
Tendou-san...”
“Ayo
cepat pergi. Keluargamu sudah menunggu.”
“…………Iya.”
Pertanyaanku
terputus oleh kata-kata yang mendorongku, dan aku keluar dari mobil
antar-jemput. Mungkin ini cara Tendou-san untuk memberiku waktu berdua dengan
adikku. Tendou-san tetap duduk di dalam mobil.
Jaraknya kami tidak sampai beberapa meter.
Namun, entah kenapa, aku merasa dunia antara aku dan Tendou-san sekarang
terpisah jauh.
“Baiklah,
aku pergi.”
“……Iya.
Selamat jalan, Eito.”
Kenapa
dia memaksakan senyumnya?
Aku
menahan diri untuk tidak mengungkapkan keraguanku. Jika aku bertanya, dia hanya
akan semakin memaksakan senyumnya. Tanpa menoleh kembali, aku
menuju restoran tempat kami akan bertemu.
Bagian
dalam restoran cukup ramai, mengingat sekarang hari
Minggu, tetapi karena restoran ini milik grup Tendou, kursi yang disediakan
sudah dipesan. Setelah diarahkan oleh pelayan, aku menuju ke tempat duduk, di
mana seorang gadis yang tampak sekitar SMP sedang duduk.
“――――……”
Tiba-tiba,
rasa sakit menjalar di kepalaku, seolah-olah kulitku ditusuk oleh jarum yang bengkok.
Ah… ada
kemiripan. Gadis ini adalah adik perempuanku,
Hikari, yang terpisah sejak masih di SD.
Sambil
memegang kepalaku dengan satu tangan, sepertinya dia juga menyadari
keberadaanku.
Dia
membuka matanya lebar-lebar, menatapku dari kepala hingga kaki.
Aku perlahan-lahan melangkah mendekat, menyusuri celah-celah di antara
suara percakapan dan keramaian di dalam toko, menuju tempat duduk yang
ditentukan.
“…………Hikari.”
Aku
memanggil namanya bersamaan dengan napasku.
Aku tidak
bisa mengeluarkan sepatah kata pun seperti “lama
tidak bertemu” atau “apa kabar”. Hanya
satu kalimat untuk memastikan bahwa orang di depanku benar-benar adik perempuanku yang sebenarnya.
“Nii-san…”
Sepertinya
dia merasakan hal yang sama.
Mungkin
dia merasa gugup. Dia
tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia tampak bingung dengan perasaannya sendiri.
Meskipun dia senang bisa bertemu kembali denganku, tapi dia
juga merasakan beban bersalah padaku.
“Umm,
Nii-san, aku… ah!”
Saat
mencoba berdiri, sepertinya dia menabrak kakinya ke meja, menyebabkan meja
bergetar dan gelas yang ada di atasnya terjatuh. Jus jeruk yang tersisa di
dalamnya tumpah, membasahi meja.
“Ma-Maaf!”
Melihat
Hikari buru-buru mengeluarkan serbet kertas untuk membersihkan jus jeruk yang
tumpah, aku merasa sedikit lega.
“Kamu sama
sekali tidak berubah ya… Hikari.”
Ucapan
itu keluar tanpa disadari. Gumaman
nostalgia masa lalu itu sepenuhnya datang dari luar kesadaranku, hal
itu berasal dari dalam hatiku.
Penampilan
adik perempuanku. Suaranya. Dan kesan-kesan yang ada mulai berjatuh bagaikan batu ke dalam pikiranku. Retakan besar mulai muncul di atas permukaan
ingatan yang membeku, dan
dari tepi retakan yang meluas, potongan es mulai terlepas. Tentang adik perempuanku. Tentang ibu. Tentang ayah.
Kehidupan
sehari-hariku di rumah itu—tentang pria
yang bernama Yagiri Eito sebelum dipungut oleh Tendou-san.
Semuanya
terasa begitu nyata sampai-sampai terasa
aneh bagaimana bisa aku
melupakannya sampai sekarang.
“Maafkan aku… maafkan aku, Nii-san…”
Permintaan
maaf ini bukan hanya karena menumpahkan jus semata.
Semua beban yang selama ini
terpendam di dalam dirinya mengalir
keluar begitu saja. Air mata dan semua yang
terpendam itu akhirnya mengalir bersama.
“Itu bukan
salahmu.”
Aku terkejut dengan balasanku sendiri dan secara alami mengulurkan
saputangan kepada Hikari.
Aku
meletakkan tanganku di
kepala adikku yang sedang menangis, mencoba menghiburnya.
Persis seperti
dulu ketika aku menghibur Hikari.
(Rambutnya
tidak rusak, dan wajahnya juga terlihat sehat. Dia pasti mendapatkan makanan
yang cukup. Tidak ada luka atau memar yang terlihat, dan sepertinya tidak ada
bagian tubuhnya yang terluka… Seperti yang kudengar, dia sekarang hidup
bahagia… Syukurlah.)
Dengan
keterampilan yang didapat dari melayani keluarga Tendou, aku memastikan
keselamatan adik perempuanku.
Kenangan sebagai pelayan keluarga Tendou belum sepenuhnya kembali. Keterampilan
ini pasti sudah melekat dalam tubuhku.
Kemudian,
Hikari berhenti menangis dan menceritakan hal-hal secara garis besar kehidupannya.
Aku
ditinggalkan oleh ayah. Ibu tidak dalam keadaan mental yang bisa melawan. Hikari sepertinya tidak pernah
membayangkan bahwa aku ditinggalkan.
“Aku
sudah mencari keberadaan Nii-san terus-menerus.
Tapi, aku tidak bisa menemukanmu… Aku merasa sangat menyesal karena cuma aku yang masih hidup…”
“Tidak
apa-apa. Sekarang sepertinya kamu baik-baik saja. Lalu, bagaimana dengan ayah
dan ibu?”
“…Ayah
dan ibu bercerai, ayah meninggalkan utang dan pergi begitu saja.”
Hikari
mengatakannya dengan nada merendahkan.
Hikari
dan ibu pasti mengalami banyak kesulitan. Bahkan, mungkin mereka menjalani
hidup yang lebih sulit daripada diriku.
Sementara itu, aku yang diadopsi
oleh Tendou-san merasa lebih beruntung.
“Kamu pasti
mengalami masa-masa berat ya. Apa utang itu masih ada?”
“Tidak.
Ayah tiriku yang sekarang sudah melunasinya. Ternyata, ia sudah menyukai ibu
sejak kecil… Setelah melalui berbagai hal, mereka menikah lagi. Jika menemukan
ayah… ‘jika aku menemukan orang
itu, aku akan memukulnya,’ katanya
dengan semangat.”
Jadi ada
perkembangan yang mirip seperti
di drama atau komik.
Aku yakin
Ayah tidak bisa mengeluh jika dipukul.
…Entahlah.
Rasanya seperti melihat dari sudut pandang orang lain.
Mungkin
karena aku merasa sebagai orang luar. Apa ini karena aku kehilangan ingatan? Tapi,
seharusnya aku sudah mengingat semua yang terjadi sebelum diambil oleh Tendou-san.
Amarah
dan kesedihan yang kurasakan saat itu, juga keputusasaan. Semuanya… namun, mengapa hatiku tidak
bergerak?
“Begitu
ya. Tapi, aku sedikit lega. Sepertinya ibu dan Hikari baik-baik saja sekarang.”
“Ya...”
“Ada
apa?”
“Sebenarnya…
ayah tiri akan dipindahkan ke luar negeri karena pekerjaannya. Ibu dan aku juga akan ikutan pindah ke luar negeri.”
“Luar
negeri? Itu pasti berat. Padahal
tahun ajaran baru baru saja dimulai.”
“Aku
baik-baik saja. Aku sudah lama mengidamkan hal itu dan kami juga pernah pergi
berlibur bersama keluarga. Walaupun aku
harus belajar bahasa baru, tapi aku bisa sedikit berbicara bahasa Inggris.
Jadi, um…"
Hikari
menundukkan kepalanya dan
merapatkan bibirnya.
Dia
menggenggam tangannya yang mungil, menegakkan bahunya, lalu mengangkat
wajahnya kembali.
“Nii-san,
maukah kamu ikut dengan kami juga?”
“Eh?”
“Aku
ingin tinggal bersama Nii-san.
Aku ingin kita bisa kembali
menjadi keluarga…”
Aku bisa
melihat bahwa Hikari berusaha menunjukkan
keberaniannya dengan caranya sendiri. Matanya menunjukkan seakan dirinya siap mendapat
penolakan dariku.
“Apa
kata ibu?”
“Ibu
bilang… dia merasa tidak berhak berharap seperti itu. Tapi… pasti di dalam
hatinya, dia ingin tinggal bersama lagi. Ayah tiriku juga bilang, jika kamu mau, kita bisa menjadi keluarga.”
“……………………”
“Nii-san.
Aku tidak memintamu untuk memaafkan kami. Tapi, jika… kamu bisa memberi kami
kesempatan lagi… maukah kamu tinggal bersama kami?”
Hikari
yang dulunya sangat pemalu dan selalu terjatuh.
Adik perempuanku yang kecil itu kini sudah
tumbuh sebesar ini.
Baru
sekarang aku benar-benar merasakan waktu yang telah lama berlalu.
“Sekarang,
aku ingin mendukungmu. Aku tidak akan pernah pergi. Apa pun yang terjadi, kita
akan bersama.”
“…………Maafkan aku. Biarkan aku memikirkannya dulu.”
Aku tidak
bisa memberikan jawaban langsung.
Sebagian karena ada masalah kehilangan ingatan yang
membayangiku. Sejujurnya, aku tidak bisa
mengabaikan perasaan ditinggalkan.
Dalam
keadaan hatiku yang masih berantakan, aku tidak bisa mengambil keputusan.
Setelah
itu, aku berpisah dengan Hikari di dalam toko
dan berjalan di jalan pendek menuju mobil penjemput.
Selama
mendengarkan cerita dari Hikari, aku mengingat semua tentang keluarga.
Kenangan
masa lalu yang teringat. Aku merasa jawaban atas apa yang ingin kuketahui ada
di sana.
(Kalau diingat-ingat lagi, ayah
pernah bilang menjelang pelariannya pas
tengah malam… bahwa Eito bisa baik-baik saja sendirian,
kan?)
Pada aat
itu, aku hanya mengira maksudnya
tentang menjaga rumah. Aku sudah
bisa menjaga rumah sendirian. Jadi aku
mengangguk pada pemikiranku itu. Aku baik-baik
saja. Sendirian juga baik-baik saja.
Aku
mengangguk, dan segera setelah itu, keluargaku yang lain menghilang.
Hari itu,
Hikari disuruh untuk tidak masuk sekolah.
Ayah
bilang dia akan membawanya ke rumah
sakit. Jadi, aku disuruh pergi ke sekolah sendirian, padahal biasanya aku
berjalan bersama Hikari di jalan menuju sekolah.
Ketika
pulang dari sekolah, aku menyadari ada yang tidak
beres.
Perabotan
yang sulit dibawa seperti televisi dan meja masih tetap
ada, tetapi ada sesuatu yang hilang. Rumah itu terasa seperti daun yang dimakan
serangga, dan keringat dingin mengalir di tubuhku.
Ketika
aku menyadari bahwa pakaian anggota keluargaku yang lain hilang dari laci,
perutku terasa nyeri.
Dalam
hati kecilku, aku sudah menyadari. Aku telah ditinggalkan.
Sebuah
rumah yang seharusnya utuh kini hilang bagian-bagiannya.
Jejak
keluargaku yang lain menghilang dari rumah itu.
Pemandangan
yang kulihat hari itu, pemandangan yang hilang, masih ada dalam hatiku hingga
sekarang.
(Begitu ya...jadi ini yang
terjadi.)
Aku
samar-samar menyadarinya,
seolah-olah itu urusan orang lain.
Aku
merasakan identitas dari kekosongan yang ada dalam hatiku.
Aku
ditinggalkan oleh keluargaku.
Aku dikucilkan oleh orang-orang yang
kuanggap dekat.
Itulah
sebabnya, aku merasa takut. Takut untuk akrab dengan seseorang. Ketika berpikir
tentang kemungkinan ditinggalkan setelah menjadi akrab, itu sangat menakutkan.
Aku takut jika setelah mendekat, orang itu akan menghilang.
Karena,
sendirian itu rasanya dingin.
Sendirian itu menyakitkan. Ruangan yang kosong. Lampu yang mati. Televisi yang
tidak menyala. Keberadaan kehangatan manusia yang lenyap, rumah yang kosong.
Melihat rumah yang kosong itu, untuk pertama kalinya aku merasa takut akan
kesendirian.
Itulah
sebabnya aku keluar. Di luar, salju sedang turun, tetapi di dalam rumah jauh
lebih dingin. Tempat yang jauh lebih dingin daripada salju yang menumpuk.
Di luar
terasa lebih hangat daripada di dalam rumah.
Salju
yang turun terasa hangat. Namun, pemandangan putih yang menumpuk membuatku
merasakan betapa aku benar-benar sendirian.
Pemandangan
yang seharusnya putih terlihat abu-abu.
Saat
itulah, di dunia yang abu-abu, aku bertemu dengan Tendou-san.
――――Apa
yang hilang darimu?
Meskipun itu pertemuan pertama kami, Tendou-san
seolah tahu tentang diriku, dengan kata-kata yang tepat.
――――Semuanya.
Aku
menjawab. Aku telah kehilangan semuanya.
――――Jika
kamu telah
kehilangan semuanya, aku akan membagikannya padamu.
Perkataan
Tendou-san telah menyelamatkanku begitu
banyak.
Aku
mengambil tangannya yang terulur. Menggenggam tangannya, aku berpikir dalam
hati.
(――――Jangan
buang aku)
Aku
merasa takut. Dengan sepenuh hati, aku berharap dia tidak akan membuangku.
Bagaikan
bintang yang bersinar di dunia abu-abu, seorang malaikat yang memancarkan
cahaya.
(――――Jangan
biarkan aku sendirian… tetaplah di sampingku)
Jika kamu meninggalkanku, maka aku
sungguh tak punya apa-apa lagi.
“Ah,
benar… benar juga.”
Tendou-san
mengulurkan tangannya padaku. Aku meraih
tangannya, dan kemudian memutuskan untuk
melayaninya.
Sebagai
pelayan Tendou-san, mungkin orang lain melihatku seolah-olah aku mendukungnya.
Tetapi,
itu salah.
Justru sebaliknya.
Aku bukan
mendukung Tendou-san.
Aku
justru bergantung padanya.
Aku
berpura-pura mendukung Ojou, sambil
bergantung padanya.
Itulah
sebabnya aku terus mengembangkan
diriku. Latihan tidak terasa berat.
Itulah
sebabnya aku menjadi pelayan. Menjadi sosok yang melayani.
Seseorang
yang melayani tidak dapat berdiri sendiri.
Ada majikan yang harus dilayani agar
keberadaannya berarti.
Sebuah
keberadaan yang diwajibkan untuk bukan sendirian, tetapi berdua.
Sebuah
keberadaan yang tidak dapat hidup sendirian.
Dengan
sepenuh hati, aku menyerahkan kepercayaan dan kesetiaan, sebagai gantinya aku
mendapatkan ketenangan.
Entah
mengapa, aku merasa
bersalah di dalam hatiku. Seolah-olah aku memanfaatkan Ojou.
…Bukan seolah-olah lagi, aku memang memanfaatkan Ojou.
Mungkin
itulah sebabnya. Segala sesuatu yang kurasakan menjadi terbayangi.
Bayangan
menyelimuti kedamaian, kegembiraan, kesenangan, dan cinta yang kurasakan selama
hari-hariku bersamanya.
Setiap
emosi terasa memiliki kekurangan.
Kesetiaan
dan rasa hormatku memang tulus.
Namun di saat yang sama, aku merasa tidak tulus.
Bahkan
ketika dia memercayaiku, aku selalu merasa bahagia, tetapi di saat yang sama,
di suatu tempat di hatiku, aku merasa aku tidak pantas mendapatkannya.
“Aku
mengingat semuanya…”
Aku
membenci diriku sendiri karena bersikap seperti itu. Aku akan selalu bersikap
kekanak-kanakan.
Aku ingin
menjadi normal, agar aku bisa bangga pada diriku sendiri dan berada di sisinya.
Bukan
diriku yang dulu di rumah yang berantakan itu.
Tidak
seperti orang yang hatinya terbayang-bayang.
“Aku
tidak ingin mengingat diriku yang seperti ini…”
Aku ingin
menjadi diriku yang tidak kekurangan apa pun. Aku
ingin menjadi biasa yang bersih.
Sama seperti salju yang turun saat aku
bertemu Ojou――――.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
Setelah aku kembali ke mobil jemputan, Ojou masih duduk di dalam, menatap
keluar jendela, sama seperti
saat aku pergi. Hujan yang baru mulai
turun menempel di jendela, membuat cahaya di matanya tampak redup.
“Aku
kembali.”
“…hm.”
Ojou
tidak mengucapkan selamat datang kembali.
Dia duduk
di pojokkan, terlihat seperti kucing yang
meringkuk dan ketakutan.
(Mengapa
aku tidak bisa mengatakannya? Tentang ingatanku yang sudah kembali…)
Aku
seharusnya segera mengatakannya. Jika dipikirkan dengan normal, itu adalah
tindakan yang wajar sebagai seorang pelayan.
Tetapi
mengapa aku tidak bisa mengatakannya?
(…Sungguh
memalukan sekali)
Karena aku
sendiri tahu alasannya. Jika aku tetap diam, aku bisa memulai kembali. Tanpa merasa bersalah terhadap Ojou, kali ini aku bisa berada di
sampingnya sebagai orang biasa.
“Bagaimana?”
“Eh,
umm…”
“Apa
kamu diundang untuk tinggal bersama mereka di
luar negeri?”
Apa dia sudah mengetahui lebih dulu tentang ajakan Hikari?
…Mungkin
mereka sudah membicarakan hal itu
sebelumnya.
“…Jika
aku tinggal bersama Hikari dan ibuku… apa aku bisa menjadi… seorang siswa SMA
yang biasa?”
Menjadi
Eito yang normal tanpa kekurangan.
Apa
pemandangan rumah yang hilang yang selalu ada di dalam hatiku akan terisi?
“…Apa
kamu ingin menjadi orang normal,
Eito?”
“Ya…
aku selalu menginginkan hal itu selama ini.”
Jika aku
menjadi orang biasa. Jika aku terus melupakan
segalanya. Aku bisa berdiri dengan bangga di sampingmu.
“Begitu,
ya…”
Wajah Ojou
masih menghadap ke jendela, hanya suaranya yang ditujukan padaku.
Namun,
suaranya sedikit bergetar.
“…Kalau
begitu, lebih baik kalau kamu
tinggal bersama adikmu.”
“Eh?”
“Aku
tidak tahu seperti apa rasanya menjadi orang biasa.
Tetapi jika kamu ragu, itu berarti kamu setidaknya berpikir bahwa tinggal
bersama mereka adalah pilihan yang baik, bukan?”
Apa yang
dikatakan Ojoi memang benar Jika itu bukan sesuatu yang perlu diragukan, maka aku pasti tidak ragu.
Berat
benda-benda yang diletakkan di timbangan sama, itulah sebabnya timbangan tetap
seimbang dan tidak miring sepenuhnya.
Apa aku
akan terus berada di samping Ojou?
Atau
mencari kehidupan biasa tanpa kekurangan?
“Eito…”
Namun,
timbangan itu sudah miring.
Timbangan
itu tidak miring atas kemauannya sendiri. Timbangan itu justru dimiringkan.
“Kamu
harus kembali ke keluargamu. Ini adalah perintah terakhir yang kuberikan
sebagai majikanmu.”

