Chapter 2 — Epilog Nakayama Azusa
Meskipun
aku penasaran dengan apa yang sedang dilakukan Ryuzaki dan Mary-san...
Kupikir
cerita mereka masih dalam fase awa; ‘kehidupan sehari-hari’, jadi sepertinya
tidak akan terjadi sesuatu yang besar dalam waktu dekat.
Yang
berarti kami juga bisa bersikap santai.
Hari
Sabtu. Shiho datang untuk bermain, dan kami sedang asyik menikmati
camilan di ruang tamu.
“Puding
ini enak banget! Rasanya... manis banget!”
“Puding
biasanya memang manis, ’kan?”
“Kotaro-kun,
kamu juga harus mencobanya! Rasanya enak banget sampai bikin
pipimu melorot!”
“Memangnya seenak itu?”
“Ya!
Satu saja tidak cukup untukku—akhirnya aku makan lagi.”
“Dua
puding?
Tunggu, itu artinya...”
Saat aku
menyadarinya, semuanya sudah terlambat. Dua wadah puding kosong
tergeletak di atas meja.
Aku hanya
membeli satu untuk masing-masing dari kami... dan dia sangat menyukai
makanan manis, jadi dia akan marah besar.
“Ahh!
Pudingku habis!?”
Lihat? Orangnya
langsung ngamuk.
Tepat
pukul 3 sore, waktu ngemil, Azusa keluar dari kamarnya dan menjerit di depan
kulkas.
“Apa?
Itu gawat. Kita harus menemukan pelakunya...!”
“Kita
enggak
perlu cari pelakunya! Pelakunya sudah jelas!”
“Ya,
aku juga punya ide bagus... Kotaro-kun, meskipun kamu kelaparan, kurasa tidak
apa-apa memakan camilan Azunyan.”
Sambil
berkata demikian, Shiho dengan lembut menyenggol salah satu wadah kosong ke
arahku. Dia mungkin mengira dia bersikap bijaksana, tetapi dari tempat
Azusa berdiri, hal itu terlihat jelas.
“Bohong!
Mana mungkin Onii-chan-ku mau memakan pudingku! Itu pasti ulah Shimotsuki-san!”
Pelakunya
telah terbongkar sepenuhnya.
“Hiks ... dan itu juga barang baru...!”
Dia pasti
sangat menantikannya. Azusa tampak seperti hendak menangis, jadi
bahkan Shiho tampak merasa sedikit bersalah.
“Maaf,
Azunyan. Habisnya, rasanya enak banget sampai-sampai enggak sadar sudah makan dua...”
Namun,
pengakuan itu mungkin agak terlalu kasar.
“Da-Dasar bodoh!”
Karena
tidak tahan lagi, Azusa berlutut di depan kulkas dan memegang kepalanya. Shiho
berjalan mendekatinya dan menepuk lembut kepalanya.
“Cup, cup, Azunyan. Jadilah gadis baik dan tenangkan
dirimu,
oke? Ini cuma puding. Kamu enggak perlu nangis segala.”
“Jangan
menghiburku—kamulah pelakunya! Dan berhenti memanggilku Azunyan!”
"Enggak.
Kamu akan selalu jadi Azunyan buatku. Dan aku akan selalu jadi kakak
perempuanmu. Mengerti?”
"Aku
nggak ngerti! Bagiku, kamu cuma teman sekelas!"
“Aku juga
menyukai sisi tsundere-mu.”
“Jangan
panggil aku tsundere!!”
Azusa
menepis tangan Shiho sambil mengusap punggungnya dan berdebat sekuat tenaga. Namun
Shiho sama sekali tidak menghiraukan protesnya dan terus memanjakannya. Melihat
mereka berdua dari ruang tamu, aku tidak bisa menahan tawa.
Setelah
perjalanan karyawisata sekolah, Azusa sempat murung cukup lama. Tetapi
Shiho-lah yang mengembalikan senyumnya.
Sepanjang
liburan musim panas, Shiho hampir datang berkunjung setiap hari.
Karena Azusa mengurung diri di dalam rumah, mereka berdua tentu saja
menghabiskan banyak waktu bersama... dan tak lama kemudian, Shiho menjadi
seseorang yang tak lagi membuat Azusa merasa malu. Dia benar-benar mulai
bersikap hangat padanya.
“Shimotsuki-san,
kurasa kamu perlu belajar sedikit menahan diri! Maksudku, ini memang rumah Onii-chan, tapi ini
juga rumahku! Kamu harus lebih menghormati pemiliknya!
Lebih perhatian padaku!”
Pada awalnya,
Azusa menutup diri, tapi karena Shiho begitu gigih memaksa, akhirnya dia tak bisa
menahannya lagi. Kini mereka bisa terus-menerus berdebat seperti ini tanpa
ragu.
Sebagai
kakak laki-lakinya—dan sebagai teman Shiho—aku merasa senang melihat
mereka akur.
“Ini
semua terjadi karena Onii-chan tidak mengawasi semuanya dengan benar sejak awal!”
Waduh,
sekarang amarahnya ditujukan padaku.
Kalau
terus begini, suasana hati Azusa tidak akan membaik dalam waktu dekat.
“Azusa,
pudingku masih tersisa. Kamu boleh mengambilnya.”
Aku
memutuskan untuk menghilangkan sumber kemarahannya. Saat aku
menyodorkan pudingku, Azusa langsung bergegas menghampiri.
“Benarkah!?
Hore! Ehehe~!”
Azusa
tersenyum lebar saat mengambil puding itu. Suasana hatinya langsung berubah. Dan
dengan itu, kasusnya ditutup—atau begitulah yang kuinginkan.
“Itu
tidak adil! Azunyan, memanfaatkan statusmu sebagai adik perempuan untuk
dimanjakan oleh Kotaro-kun...! Satu-satunya gadis yang seharusnya dimanjakan
Kotaro-kun adalah aku!”
Kali ini,
giliran dia yang kesal.
Shiho
bisa jadi berpikiran sempit.
Meskipun
dia tahu kami bersaudara, dia tetap cemburu.
“Ak-Aku tidak dimanja!
Aku hanya bersikap normal!”
“Jadi biasanya kamu selalu
dimanja? Itu... itu enggak adil!”
“Apanya
yang tidak adil!? Onii-chan, gadis ini benar-benar aneh!”
“Lihat!
Kamu
langsung lari ke Kotaro-kun begitu sesuatu terjadi!”
“It-Itu... um...”
“Tidak
boleh! Hanya karena kamu adiknya, bukan berarti kamu bisa bergantung pada
Kotaro-kun-ku!”
“Dia
menyebalkan sekali! Onii-chan, gadis ini benar-benar menyebalkan! Aku merasakan aura yandere
darinya!
Rasanya terlalu dekat dengannya itu ide yang buruk!!”
Maaf,
Azusa. Semuanya sudah terlambat. Kamu dan Shiho
mungkin akan terjebak bersama untuk waktu yang lama... ya.
Yang
dapat kukatakan sekarang hanyalah semoga beruntung.
◆◆◆◆
Dan
begitu saja, waktu terus berlalu dengan cepat.
“Ah,
seru banget! Sepertinya ibuku datang menjemputku, jadi sampai jumpa!”
“Ya,
sampai jumpa besok. Tapi jangan begadang main game baru itu, ya?”
“Aku
tahu, aku akan mampir jam 3 pagi, jadi jangan khawatir.”
Itu tentu saja tidak meyakinkan... semoga saja ibunya bisa
membimbingnya.
Jam 7
malam. Aku mengantar Shiho ke pintu untuk mengantarnya pergi.
“Selamat
tinggal, Azunyan!”
“Kamu
tidak perlu kembali lagi!”
“Aww,
kamu jadi tersipu. Lucu banget.”
“Aku
tidak tersipu!”
Azusa
bersembunyi di belakangku, menatap tajam ke arah Shiho sepanjang waktu.
Meski
begitu, fakta bahwa dia datang untuk mengantarnya pergi mungkin berarti dia
tidak benar-benar membencinya.
“Sampai
jumpa!”
Dengan
lambaian terakhir, Shiho meninggalkan rumah.
Begitu
dia pergi, Azusa akhirnya menghela napas panjang di belakangku, seperti dia
menahan napas sepanjang waktu.
“Fiuh...
aku kelelahan.”
Dia
menyeret kakinya ke arah sofa dan menjatuhkan diri di atasnya.
“Kerja
bagus.”
“Onii-chan,
aku haus.”
“Ya,
ya. Tunggu sebentar...”
Karena
ingin memberinya sedikit hadiah, aku mengambil sekaleng jus dari kulkas dan memberikannya
kepadanya.
Azusa
menerimanya, lalu matanya melebar, seperti dia baru menyadari sesuatu.
“Oh...
apa ini yang dimaksud dengan 'manja'...?”
Dia pasti
ingat apa yang dikatakan Shiho sebelumnya. Rupanya, itu
adalah sesuatu yang tidak disadarinya sendiri. Disuguhi jus. Diberi
camilan milik orang lain. Permintaannya
selalu
dikabulkan. Dihibur saat dia merasa sedih.
Bagi
Azusa, semua itu mungkin hanya bagian normal dari kehidupan sehari-harinya.
“Begitu
ya... Onii-chan selalu menjadi 'onii-chan'-ku, ya?”
Gumamnya
sambil menatap ke kejauhan. Dia kemudian menaruh jus itu di atas
meja dan menatap lurus ke arahku.
“Aku
minta maaf.”
Azusa tiba-tiba
menundukkan kepalanya. Kata-katanya dipenuhi penyesalan.
“Maafkan
aku karena mengatakan kamu mungkin bukan onii-chanku yang sebenarnya...”
—Kejadian
tersebut
sudah lama sekali.
Kembali
pada upacara penerimaan, ketika Azusa bertemu Ryuzaki, dia mengatakan sesuatu
kepadaku:
“Mungkin
kamu bukan onii-chan yang ideal. Mungkin Onii-chan asli yang kucari...
adalah Ryoma-onii-chan.”
Azusa
telah kehilangan kakak kandungnya dalam sebuah kecelakaan.
Karena
tidak dapat menerima hal itu, dia terus mencari “onii-chan”-nya, dan
ketika dia menemukan Ryuzaki—yang mirip dengan
mendiang kakaknya—dia menjadi tergila-gila pada
Ryuzaki.
Dia mulai
meyakini bahwa Ryuzaki adalah “onii-chan”
idamannya, dan mulai mengidolakannya. Kemudian dia mulai
melihatku sebagai sosok yang ‘tidak ideal’, dan kami pun
mulai menjauh, hampir tidak pernah berbicara.
Jika dia
meminta maaf untuk itu sekarang... maka mungkin dia salah paham
mengenai sesuatu.
“Azusa...
kamu
tak perlu minta maaf. Aku bukan 'onii-chan idamanmu'. Sosok
yang kamu
cari... sudah tak ada lagi.”
Justru
karena dia terus mengejar kakaknya yang telah tiada, distorsi dalam hatinya itu
pun berakar. Dan jika dia tidak menyadarinya, aku khawatir dia akan
menempuh jalan yang salah lagi.
“...Ya.
Kamu
benar. Kamu bukan 'onii-chan'-ku. Dan Ryoma-oniichan—tunggu,
maksudku, Ryoma-kun—dirinya juga bukan. Onii-chan idamanku... ia sudah
tiada. Dirinya sudah tidak ada lagi di dunia ini.”
Azusa
telah tumbuh. Wajahnya tampak agak kesepian, tapi dia tidak mengalihkan pandangannya. Dia menatap ke depan,
menghadapi kenyataan.
“Tapi,
kamu
tahu... bukan begitu maksudku. Aku ingin meminta maaf bukan
karena aku ingin kamu memaafkanku... Aku hanya ingin minta maaf karena telah
mengkhianati perasaanmu. Itu saja. Kamu tidak perlu memaafkanku.
Ini hanya sesuatu yang perlu kulakukan untuk mengakhiri semuanya...”
—Ah, begitu
rupanya.
Aku
sempat khawatir, tapi tampaknya dia sudah menjernihkan pikirannya.
“Maafkan
aku karena telah mengatakan hal-hal menyakitkan seperti itu. Maaf
telah menjadi beban... dan membuatmu khawatir.”
Dia tidak
meminta maaf agar dimaafkan. Dia meminta maaf karena
dia telah melakukan kesalahan.
“Dan...
terima kasih sudah menjadi 'onii-chan'-ku, bahkan saat aku masih menjadi
adik perempuan yang buruk.”
Azusa
membungkuk dalam sekali lagi. Sikapnya yang tulus
menyentuh hatiku. Aku tersentuh melihat betapa ia telah tumbuh dewasa.
Azusa yang sekarang—dia pasti
bisa memahami perasaanku.
Jadi aku
memutuskan untuk mengungkapkannya dengan kata-kata.
“...Jadilah
beban sesukamu. Buat aku khawatir sesukamu. Kita keluarga... hal seperti itu
tidak akan membuatku marah.”
Dia tidak
perlu berterima kasih padaku karena telah menjadi “onii-chan”-nya.
Karena memang begitulah seharusnya. Yang lebih penting lagi... ada sesuatu
yang perlu dipikirkannya.
“Tapi,
biarkan aku mengatakan ini padamu. Azusa, kamu harus benar-benar memikirkan di mana
letak kebahagiaanmu sendiri. Jangan biarkan dirimu terkekang oleh anggapan 'onii-chan'—keluarlah
dan temukan apa yang benar-benar kamu inginkan. Dan
kejarlah. Oke?”
Entah
dia masih memiliki perasaan terhadap Ryuzaki...
Atau akan
jatuh cinta pada orang lain dan menemukan cinta yang berbeda...
Semuanya itu merupakan haknya. Aku tak punya hak ikut campur.
“Aku sudah pernah bilang sebelumnya, kan? Aku akan selalu mengawasimu.”
Apa
pun yang terjadi, aku akan berada di pihakmu.
Saat aku
mengatakan itu, mata Azusa tiba-tiba dipenuhi air mata.
“...”
Namun dia
segera mengelapnya, menolak menangis, dan menatapku. Dia
tidak akan menangis tersedu-sedu seperti saat Ryuzaki menolaknya. Azusa
sudah kuat sekarang. Dia pasti baik-baik saja.
“Onii-chan...
Aku mau memotong rambutku. Guntingnya di mana?”
Dan
kemudian—dia melepaskan pita dari rambut ekor kembarnya.
Dia telah
mengenakan gaya rambut itu sejak dia masih kecil, tetapi... sepertinya hari ini
akan menjadi yang terakhir.
“Ei!”
Dengan
guntingan yang tajam, dia memotong rambut panjangnya.
Pada saat
itu—rasanya seolah-olah waktu yang telah membeku
bagi Azusa, akhirnya mulai bergerak lagi. Saat dia masih mengikat
rambutnya dengan gaya kuncir kembar, dia tampak seperti anak SD.
Wajahnya kelihatan
masih muda,
tetapi ada sesuatu pada auranya yang telah berubah.
“Baiklah,
sekarang aku baik-baik saja!”
Mungkin
karena dia melakukannya sendiri jadi potongannya tidak rata. Namun
Azusa tampak berpikir jernih dan menyegarkan. Seolah-olah dia
telah menyingkirkan semua hal yang menghambatnya.
“Mulai
besok, aku akan bersekolah dengan benar lagi!”
Tampaknya
waktunya sebagai hikikomori telah berakhir. Sebagai kakaknya,
mau tidak mau aku mendukungnya. Namun sebelum itu...
“...Kalau
begitu, mungkin kamu perlu sedikit merapikan rambutmu. Kamu agak mirip
zashiki-warashi.”
Poni dan
rambutnya yang dipotong tumpul memberinya penampilan seperti jiwa anak-anak
tradisional.
“Kalau
begitu, tolong rapikan ya, Onii-chan!”
Dan
begitu saja, dia mencoba melemparkan tanggung jawab kepadaku. Sekalipun
dia sudah menarik garis batas secara emosional, dia tidak berniat menghentikan
perilaku manjanya di rumah.
“...Aku
akan mencobanya, tapi jangan berharap banyak, oke?”
Tetap
saja, aku menerimanya apa adanya.
Tidak
peduli apa yang terjadi, tidak peduli seburuk apapun perlakuan yang aku terima,
ikatan kekeluargaan bukanlah sesuatu yang mudah putus.
Azusa dan
aku—tidak peduli apa pun—adalah kakak beradik.
Itu
artinya mulai sekarang juga, kapan pun terjadi sesuatu, dia akan terus mengandalkanku seperti
ini. Dan aku mungkin akan terus memanjakannya. Karena memang
begitulah yang namanya kakak beradik.
◆◆◆◆
Keesokan
harinya, Azusa melakukan sesuatu yang langka: dia datang ke sekolah bersamaku. Kami
keluar rumah bersama-sama dan naik bus. Tentu saja, kami duduk bersebelahan.
“Onii-chan,
apa yang harus kulakukan... Aku gugup. Apa aku terlihat aneh? Apa rambutku
baik-baik saja?”
“...Kamu
memang terlihat seperti boneka kokeshi, tapi kamu akan baik-baik
saja.”
Pada
akhirnya, gambaran zashiki-warashi masih melekat padanya.
“Ugh...
kamu sangat payah dalam merapikannya, Onii-chan!”
“Itulah
sebabnya aku menyuruhmu pergi ke salon.”
“Aku
hanya tidak ingin keluar...”
Kami
terus mengobrol seperti itu selama beberapa saat. Ketika kami turun
dari bus, Azusa diam-diam menjauh dariku.
“...Baiklah.
Terima kasih sudah jalan-jalan denganku, Onii-chan. Kamu benar-benar memberiku
keberanian! Aku masuk duluan, ya?”
Dia
melambaikan tangan dan berlari pergi. Dia melangkah maju
sendiri, tanpa bergantung padaku. Rasanya seperti caranya berkata, “Aku akan mengurus urusan
sekolah sendiri”.
(Jadi,
ketika menyangkut Ryuzaki... aku mungkin tidak perlu turun tangan.)
Sambil
berpikir demikian, aku mengikutinya beberapa meter di belakangnya.
Dan
begitu aku melangkah masuk ke dalam kelas—Azusa sudah diajak bicara oleh
Ryuzaki.
“Azusa!?
Kamu akhirnya
kembali... Aku sangat khawatir karena kamu tidak membalas pesanku sama
sekali.
Dan kamu juga tiba-tiba berganti gaya rambut... apa terjadi
sesuatu?”
Bahkan
belum beberapa menit setelah dia kembali, Azusa sudah menjadi
pusat perhatian. Dia berdiri di dekat jendela, mengobrol dengan
Ryuzaki dan yang lainnya.
“Su-Sudah lama
tidak ketemu.
Aku cuma tidak berangkat karena flu, itu saja... Aku baik-baik saja
sekarang.”
Dia
tampak sedikit gugup, tetapi dia berhasil menjawab.
(Kamu
bisa melakukannya.)
Aku
menyemangatinya dalam hati. Setelah meletakkan tasku di meja, aku berjalan
santai menuju jendela.
Berpura-pura
membaca papan pengumuman di dinding belakang, aku menggeser posisiku agar
berada dalam jangkauan penglihatan Azusa. Dia melirikku sejenak.
Itulah
saatnya hal itu terjadi.
Ketegangan
Azusa tampak mereda—saat dia menyadariku ada di sana.
“Fyuh... Umm, aku
beneran minta maaf
karena sudah membuat semua orang khawatir. Aku sudah baikan sekarang!”
Dia
tersenyum cerah. Kalau saja dia cukup tenang untuk tersenyum, dia pasti
baik-baik saja.
“Azu-chan, selamat
datang kembali~! Aku sudah menunggu, tau?”
“Azusa-san,
meskipun kamu sudah merasa lebih baik, tolong jangan berlebihan. Kamu masih
dalam masa pemulihan.”
Baik
Kirari maupun Yuzuki tampak gembira dengan kembalinya Azusa.
“Meskipun
begitu, kamu mungkin perlu sedikit memaksakan diri
sekarang~. Selama kamu absen, Yuzu-chan dan aku membuat
beberapa kemajuan,
tahu?”
Hm?
Tidak, tunggu.
Yuzuki
tampak benar-benar gembira karena Azusa merasa lebih baik.
Tapi
Kirari... dia tampak lebih lega karena saingannya telah kembali.
“Rasanya
kurang sreg kalau aku menang saat Azu-chan sedang
tidak ada,
tahu? Tapi sekarang kita bisa bertarung adil lagi demi Ryuu-kun~”
Kirari
masih berpikir Azusa mencintai Ryuzaki.
“Hm?
Apa kamu bilang sesuatu tentangku? Aku tidak bisa
mendengarmu—suaramu terlalu pelan.”
“Ini
bukan urusanmu, Ryuu-kun! Kita lagi mengobrol khusus
gadis-gadis,
jadi pergilah sebentar, ya?”
“Pe-Perkataanmu kejam sekali! Padahal akhirnya aku punya
kesempatan untuk bicara dengan Azusa lagi... tapi ya sudahlah. Kabari aku saja
kalau sudah selesai, ya?”
Seperti
biasa, Ryuzaki menunjukkan ketidakpekaan setingkat
protagonis harem.
Maksudku, ayolah.
Padahal aku
sendiri
berdiri agak jauh darimu, tapi aku masih bisa mendengar mereka.
Kalau ia
tidak mendengarnya, itu berarti Ryuzaki benar-benar tidak peduli dengan obrolan
mereka. Dirinya bahkan tidak berusaha memahami perasaan
gadis-gadis yang menyukainya. Ketidakpeduliannya bisa dibilang sebuah bentuk
seni.
Kualitas
protagonis Ryuzaki yang menyimpang masih hidup dan baik-baik saja.
“Oh,
tapi... bukankah Azu-chan sudah menyatakan perasaannya pada Ryuu-kun? Jadi, mungkin
istirahat sejenak seperti ini tidak masalah? Karena kamu sudah mengungkapkan
perasaanmu padanya, mungkin kamu sebenarnya lebih dulu dari kami? Kalau begitu,
aku harus meningkatkan permainanku~”
“U-Um..."
Kira-kira apa
yang akan dikatakan Azusa mengenai hal itu? Apa dia akan kembali menjadi
bagian dari harem, bersaing dengan Kirari dan yang lainnya untuk mendapatkan
Ryuzaki? Atau dia lebih memilih jalan yang
berbeda?
Sebagai kakaknya, aku ingin mengetahuinya—jadi aku
mendengarkannya dengan tenang.
Dan
kemudian Azusa memberikan jawabannya.
“──Kamu
tidak perlu mengkhawatirkanku lagi, oke?”
Dia
tersenyum lemah sambil sedikit tehe~ .
Senyum
Kirari lenyap saat dia mendengar kata-kata itu.
“Hah?
Apa maksudmu?”
“Maaf.
Aku tahu kita berjanji untuk bertarung secara adil... tapi aku sudah selesai.”
Itu
berarti—dia menyerah pada Ryuzaki.
“Tunggu,
seriusan!? Padahal kamu sudah bekerja
keras sampai sekarang... menyerah hanya karena satu kegagalan? Sayang sekali tau!”
Bahkan
sebagai saingan dalam percintaan, ikatan telah
terbentuk di antara para sub-pahlawan. Kirari tampak benar-benar
sedih. Suara emosionalnya bergema keras di seluruh kelas—tidak
seperti suara Azusa.
“Hei,
ada apa? Jangan terlalu keras padanya—Azusa baru saja kembali.”
Ryuzaki
segera bertindak, mengira mereka sedang berkelahi. Namun, bahkan saat
itu, Kirari tidak beringkah tenang.
“Diam!
Jangan ikut campur, Ryuu-kun!”
Dia
berteriak pada Ryuzaki yang dicintainya—sebesar itulah kepeduliannya terhadap
Azusa.
“Azu-chan... sekali
lagi. Apa kamu benar-benar tidak masalah dengan ini?"
“Ya.
Memang seharusnya begitu... Semoga berhasil, Kirari-chan. Aku mungkin tidak
merasakan hal yang sama lagi, tapi aku akan tetap menyemangatimu.”
Tetapi
jawaban Azusa tidak berubah.
“──!”
Atas
dorongan tulus Azusa, wajah Kirari sesaat berubah muram, raut
ekspresinya meringis seolah-olah dia akan menangis kapan saja.
Namun itu
hanya berlangsung sedetik.
“...Begitu
ya. Kalau begitu aku tidak akan bicara lagi. Terima kasih sudah menyemangatiku,
Azu-chan...
Aku akan berusaha sebaik mungkin. Aku tidak akan berakhir sepertimu.”
Dengan
suara dingin, Kirari berbicara seolah mendorongnya menjauh.
Pada
volume itu—akhirnya sampai ke telinga tokoh utama kita.
“Kirari!
Sudah cukup... apa yang sudah kamu katakan pada Azusa?”
Karena Ryuzaki tidak mendengar
keseluruhan percakapan, ia mungkin tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Tapi
hanya dengan melihat Azusa yang tampak kesal dan Kirari yang tampak marah, ia
langsung menyimpulkan bahwa Kirari lah yang salah dan berkata:
“Jangan
bersikap dingin pada Azusa. Dia sudah seperti adik perempuanku sendiri, jadi
perlakukan dia dengan baik, ya?”
...Tidak
seperti Kirari, kata-katanya terdengar hangat dan lembut.
Apa dirinya berpikir kalau
Azusa
masih
mencintainya?
Bahkan
setelah karyawisata sekolah, ketika Shiho dan aku menyuruhnya untuk
lebih memperhatikan orang lain, sepertinya Ryuzaki belum belajar apa pun.
Ia
hanya mendengar apa yang ingin didengarnya dan mengabaikan sisanya. Keahlian
untuk tidak menyadari dan mendengar secara selektif itu tentu
berguna—setidaknya bagi Ryuzaki.
(Ini
gawat... suasananya mulai memburuk.)
Ketegangan
menyelimuti suasana di antara mereka. Semua teman sekelas
menoleh ke arah Ryuzaki dan yang lainnya, bertanya-tanya apa yang sedang
terjadi.
Azusa
juga tampak kesakitan—dia pasti merasakan permusuhan antara Ryuzaki dan Kirari.
Apa yang
harus kulakukan? Aku ingin mencegah Azusa terluka lebih parah dari yang sudah
terjadi.
Apa aku harus turun tangan?
Saat aku
ragu-ragu...
“Fugyu!?”
Bam!
Sebuah
suara keras terdengar.
Pada saat
yang sama ketika teriakan aneh yang lucu itu bergema di seluruh ruangan... mata
semua orang beralih—bukan ke Azusa dan yang lainnya, tetapi kepadanya.
Di pintu
masuk kelas berdiri seorang gadis berambut perak, menekan dahinya dan hampir
menangis, tampaknya tidak menyadari semua tatapan orang.
"Aduh...
sakit sekali. Ya ampun. Padahal aku sudah
berusaha
keras biar tidak telat hari ini, terus aku malah jatuh? Seharusnya
aku bolos sekolah saja...”
Sambil
menggerutu dalam hati, dia pun duduk. Keheningan di kelas tampaknya tak mengganggunya,
dan dia pun mulai berjalan normal.
“Oh,
Kotaro-kun! Heeey!”
Ketika pandangan
mata
kami bertemu, dia tersenyum dan melambai padaku.
Mungkin
dia sudah merasa lebih nyaman bergaul dengan orang lain sejak semester lalu...
atau mungkin karena mengetahuiku ada di sini membantunya merasa tenang.
Bagaimanapun
juga, Shiho tampaknya lebih banyak tersenyum akhir-akhir ini, tidak lagi
terganggu dengan tatapan orang.
Dan
ketika dia tersenyum, entah bagaimana, suasana kelas selalu cerah. Rasanya
memang aneh,
tapi memang begitulah adanya.
“...Cih.”
Ryuzaki
mendecak lidahnya saat melihat Shiho.
Sejak kejadian
karyawisata
sekolah, Ryuzaki tidak pernah tahu bagaimana harus bersikap di
dekatnya dan selalu tampak tidak nyaman.
Namun,
berkat itu, perhatian Ryuzaki teralih dari Azusa dan Kirari. Ketika
seluruh kelas juga teralihkan, suasana tegang perlahan menghilang.
“Baiklah,
kalau begitu.”
Kirari
mengucapkan kata-kata perpisahan itu dan mengalihkan pandangannya dari
Azusa. Dia tak mau menoleh lagi. Azusa memperhatikan
kepergiannya, tampak sedikit kesepian.
“……”
Dia
menghela napas pelan, lalu menatap ke arahku. Ketika aku
memberinya senyuman kecil sebagai penyemangat, dia akhirnya tersenyum balik.
‘Aku sudah melakukan yang terbaik’
Rasanya
seperti itulah yang dia katakan padaku. Ya, kamu hebat.
Dalam
perjalanan pulang hari ini, aku akan mampir ke toko swalayan dan membelikannya
semua camilan manis yang disukainya.
Kurasa
aku harus membeli sesuatu untuk Shiho juga.
Entah
kebetulan atau tidak, dia telah melindungi Azusa. Jika Shiho tidak muncul,
pertengkaran Ryuzaki dan Kirari pasti akan berlanjut—dan Azusa pasti akan
semakin terluka.
Shiho
memang luar biasa. Hanya dengan kemunculannya
saja,
dia bisa mengubah seluruh suasana di sekitarnya. Kehadiran seperti itu tidak
bisa didapatkan begitu saja.
Sama
seperti ‘kualitas protagonis’ Ryuzaki yang tetap
utuh...
‘Kualitas
heroine’ Shiho juga tidak menghilang.
◆◆◆◆
Dan
dengan demikian, Nakayama Azusa resmi mengundurkan diri dari harem Ryuzaki
Ryoma.
Yang
artinya—salah satu kisah komedi romantis heroine sampingan telah berakhir.
Tidak
perlu cerita dramatis dalam kehidupan nyata. Lebih baik
bersenang-senang dan damai daripada menjalani drama yang menyakitkan.
(Semoga
saja dia tidak terseret lagi ke dalam film komedi romantis Ryuzaki...)
Itulah yang
kuharapkan—tapi dewa komedi romantis memang kejam.
Peristiwa itu tejadi sepulang sekolah, tepat saat aku turun dari bus. Aku
sedang dalam perjalanan pulang seperti biasa, ketika sebuah limusin hitam mewah
datang dari jalur berlawanan.
Di
lingkungan pemukiman biasa, mobil mewah yang seakan-akan diambil dari drama TV
terasa sangat janggal.
Aku
menatapnya dengan heran—lalu jendelanya turun, dan dia pun
muncul.
“Haloo♪
Kebetulan sekali, bertemu denganmu di jalan yang sepi ini!”
“Mary...san?”
Seorang
gadis
cantik berambut pirang dan bermata biru melambai ke arahku dari jendela.
“Hahaha! Maaf kalau
aku
tiba-tiba menyapamu, Kotaro!"
Dia
memanggil namaku. Aku bahkan tidak menyangka dia mengenalku—itu benar-benar
mengejutkanku.
“Eh, umm...”
Bingung, aku
tidak bisa menjawab dengan benar.
Kami
belum pernah bicara sekali pun di sekolah. Aku hanya pria biasa yang tak
diperhatikan. Tak ada alasan baginya untuk mengenalku... jadi kenapa?
Melihatku
kebingungan, Mary-san tersenyum kecut.
Bukan
senyum cerianya yang biasa—senyum ini tampak seperti dia sedang mengejekku.
"Nihihi...
Hei, apa sekaget itu cuma karena aku bilang hai? Aneh
sekali...
kebanyakan cowok langsung jadi bego dan konyol begitu aku berbicara
sama
mereka. Tapi kamu? Kamu cuma bukan hanya merasa tidak nyaman aja.
Kayaknya kamu mewaspadaiku. Bukan perasaan yang paling menyenangkan
buatku, tahu?”
──Dia
berbicara bahasa Jepang dengan lancar.
Gadis di
hadapanku sekarang bukanlah gadis cantik berambut pirang, periang, dan patah
hati seperti yang biasa dia tunjukkan.
Dia adalah
suatu entitas
yang tidak diketahui—hanyalah fasad cantik yang menyembunyikan sesuatu yang
lain sepenuhnya.
Melihat
itu, hawa dingin menjalar ke tulang punggungku.
(Sudah kuduga.. aku tidak bisa melarikan diri dari ini, bukan?)
Aku
langsung merasakannya—aku ditarik masuk lagi.
Seorang heroine baru telah
muncul, seseorang yang tidak hanya mengenalku tetapi telah menunjukkan wajah
lainnya.
“Kamu keberatan kalau
kita ngobrol sebentar? Soal Ryoma dan Shiho...”
Nah, ‘kan?
Ini mengenai Ryuzaki
lagi... dan sekarang Shiho juga.
Padahal aku
ingin tidak terlibat. Namun tampaknya itu bakalan
mustahil.
