Chapter 3 — Romcom Tipe ‘Rasakan Akibatnya’
Baru
pertama kalinya aku menaiki mobil limusin. Dengan
kursi berbentuk L dan meja pendek, beserta kulkas dan
televisi, interiornya terlalu mewah untuk disebut sekadar interior mobil.
Nyaris
tak ada guncangan. Saking sunyinya, aku bahkan tak tahu apa kami sedang
bergerak… yang ironisnya, malah membuatku semakin gelisah.
“Maaf
tiba-tiba mengajakmu begini. Kupikir ini mungkin waktu yang tepat untuk
bicara denganmu. Sejujurnya, aku ingin mendekatimu di hari pertama sekolah.”
Mary-san, yang duduk di
sampingku, mencondongkan tubuhnya untuk berbicara.
Karena
terlalu dekat dengan gadis lain mungkin akan membuat gadis itu cemburu, aku
memastikan untuk menjaga jarak sekitar dua kursi sebelum menjawab.
“Apa
maksudmu dengan waktu yang tepat?”
“Yah,
tentu saja
ketika ceritanya sudah mulai bergerak.”
Cerita.
Mendengar
kata itu membuat jantungku berdebar kencang.
Aku
sering memikirkannya—dalam hati—tapi itu lebih seperti kebiasaan
berpikir. Aku belum pernah mengatakannya langsung kepada siapa pun.
Sebab,
secara objektif, seseorang yang memandang realitas sebagai sebuah “cerita”
kedengarannya gila.
“Ce-Cerita?
Aku tidak mengerti maksudmu.”
“Jangan
pura-pura bodoh. Kamu salah satu orang yang bisa melihatnya,
kan? Kalau tidak, rasanya tidak masuk akal. Melawan protagonis sebagai
karakter sampingan... tindakan absurd semacam itu hanya mungkin
dilakukan oleh seseorang yang melihat dunia ini dari sudut
pandang mahatahu.”
Aku
mencoba berpura-pura tidak tahu dan menghindari pertanyaannya, tapi dia tidak
mempercayainya.
“Episode
kehidupan sehari-hari sudah berakhir. Heroine baru telah
diperkenalkan, protagonis telah muncul, dan bahkan ada beberapa bayangan yang
mengisyaratkan kegelisahan pada sub-heroine. Semua itu sudah
terungkap di tahap awal. Jadi, saatnya untuk melangkah maju... orang sepertimu
seharusnya mengerti persis apa yang kumaksud, kan?”
Dia
berbicara seakan-akan tengah membacakan pikiranku sendiri.
“Jangan
khawatir. Aku sama sepertimu. Tolong jangan samakan aku dengan
karakter-karakter malang yang bahkan tidak menyadari bahwa mereka adalah bagian
dari sebuah cerita.”
(…Apa
yang harus kulakukan?)
Kalau
bisa, aku ingin tetap menjauh dan tidak ingin terlibat. Tapi sepertinya dia
tidak akan mengizinkannya.
Kalau
begitu, mungkin sebaiknya aku menurutinya saja untuk saat ini... mengutamakan untuk mencari
tahu apa yang sebenarnya dia cari. Itulah yang kukatakan pada diri sendiri
sambil mengangguk kecil.
“…Tidak kusangka kalau ada orang
sepertiku di luar sana. Melapisi cerita dengan kenyataan—sungguh gila.
Mengatakannya dengan lantang bahkan lebih gila lagi…”
“Ni-hi-hi.
Jadi, kalimat itu berarti kamu mengakui kita sama, ‘kan?”
Lalu
Mary-san tertawa.
Namun,
itu bukan jenis senyuman yang biasa dia tunjukkan di depan
Ryuzaki—itu adalah senyuman yang tak kenal takut dan meresahkan.
“Fiuh…
akhirnya. Aku sudah lama ingin berbagi pendapatku tentang cerita ini denganmu,
Kotaro… Cerita ini sudah lama menggangguku.”
“Cerita…”
“Maksudku,
tentu saja, karyawisata sekolah. Atau lebih tepatnya, semua yang terjadi dari
upacara penerimaan sampai karyawisata. Lumayan menghibur, lho? Terutama bagian
di mana Ryoma ditolak Shiho—itu benar-benar puncak emosi. Bukan berarti
karyawisataku butuh bantuan untuk bisa mabuk.”
Setelah
itu, Mary-san merapatkan dadanya. Dia tampak terhibur dengan
leluconnya sendiri, bibirnya menyeringai.
Tapi aku
tak bisa tertawa. Aku terlalu terguncang untuk mencoba.
“Bagaimana
kamu bisa mengetahui tentang kejadian di
karyawisata
sekolah, Mary-san?”
Dia
seharusnya tidak ada di sana. Dia baru pindah semester
dua. Jadi, bagaimana dia bisa tahu masa lalu kita?
“Aku
tidak melakukan sesuatu yang istimewa. Aku hanya 'memperhatikannya.'”
“Mana
mungkin kamu bisa memahami 'cerita' kami hanya dengan
menyelidikinya.”
“Itulah yang kamu pikirkan
'biasanya', kan? Tapi jangan samakan aku dengan karakter biasa, oke?”
Mata
Mary-san menatap lurus ke arahku. Iris biru kehijauan yang
pekat itu berkilauan dengan kilauan yang mengerikan. Sungguh meresahkan.
Ah…
dia tidak normal—naluriku berteriak sekeras itu.
“Setiap
orang punya latar belakang. Asal usul. Kehidupan yang membentuk mereka,
kepribadian yang dibentuk oleh kehidupan itu, dan hubungan yang dibangun di
atasnya. Dengan memahami 'latar belakang' dan 'konsep' tersebut,
penyebab di balik tindakan mereka menjadi jelas. Jika kamu
mengaitkan
dan mengorganisir semua informasi yang tersebar itu, memetakan riwayat perilaku
mereka... lihat? Sebuah 'kisah' akan muncul.”
Mary-san
mulai berbicara lagi.
“Sewaktu
aku pindah ke sini, aku mengerjakan PR tentang semua teman sekelasku.
Untungnya, ayahku kaya. Aku menyewa detektif swasta papan atas, dan berkat itu,
aku mengetahui semua yang perlu diketahui tentang kalian semua. Dan melalui
informasi itu, aku menemukan sebuah cerita: Heroine
utama tidak jatuh cinta pada protagonis harem,
melainkan jatuh cinta pada karakter sampingan’.”
Cara dia
menyampaikannya mengandung nada merendahkan.
Itu tidak
begitu menyenangkan untuk didengarkan.
“Baiklah,
kurasa itu sudah cukup sebagai pembenaran, ‘kan? Mungkin ada beberapa
inkonsistensi atau lubang plot, tapi kalau kamu belum yakin... ya
sudahlah. Anggap saja aku sebagai heroine yang sempurna dan karakter
cheat, jadi aku tahu segalanya.”
…Apapun
masalahnya, Mary-san jelas tahu semua yang terjadi selama semester pertama.
Ada
bagian yang tidak kumengerti, tetapi aku memutuskan untuk menerimanya apa
adanya.
“Bukannya
aku punya ekspektasi. Lagipula, kenyataan ini memang gagal.
Terlalu banyak karakter yang kurang dihargai, hubungan yang rumit, dan
kepribadian yang kurang terdefinisi. Selain itu, hampir tidak ada insiden atau
peristiwa yang terjadi, dan kalaupun terjadi, selalu membosankan. Semua orang
menjalani hidup yang membosankan dan mati dengan cara yang membosankan... Kamu juga merasakan
hal yang sama, kan, Kotaro?
…Yah, kurasa begitu.
Sebelum
bertemu Shiho, aku juga tidak punya ekspektasi apa pun terhadap kenyataan.
“Itulah
sebabnya—aku sangat senang ketika mengetahui tentang Ryoma. Di dunia yang penuh
dengan karakter latar belakang yang hambar, aku tidak pernah menyangka bakalan menemukan
seseorang seperti dirinya, seorang protagonis harem
berdarah murni.”
Sama
seperti pertemuan dengan Shiho yang mengubah cara pandangku terhadap dunia—
Perspektif
Mary-san tampaknya telah berubah berkat Ryuzaki.
“Ia
luar biasa. Maksudku, ia tidak merasa ragu sedetik pun untuk
terjun ke jalan demi menyelamatkan seorang gadis agar tidak tertabrak mobil.
Ryoma pasti sangat percaya diri. Dirinya yakin bisa menyelamatkan
siapa pun, bahwa dirinya tidak akan mati—ia benar-benar mempercayainya.”
....Dia tidak perlu menjelaskan
energi protagonis Ryuzaki kepadaku sekarang.
Berani mempertaruhkan
nyawa demi orang lain—hanya hal itu saja sudah mengagumkan. Tapi Ryuzaki… berbeda.
Dan
Mary-san tampaknya sepenuhnya menyadari kejanggalan
itu
juga.
“Tapi
masalah sebenarnya muncul setelahnya... Ryoma bersikap seolah-olah disukai itu
sudah pasti, hanya karena ia telah menyelamatkan seseorang. Mungkin itu naluri
bawah sadarnya, tapi dirinya jelas-jelas mengharapkan balasan. Ia menganggap
kebaikanku sebagai sesuatu yang wajar—karena ia berpikir
kalau
disukai merupakan haknya. Percaya diri itu sendiri bukanlah hal
yang buruk... tapi jika menyangkut Ryoma, rasanya sudah berlebihan.”
Analisisnya
mencerminkan analisisku… tidak, dia melihat Ryuzaki lebih jelas daripada yang
pernah kulihat.
“Orang itu
begitu percaya pada dirinya sendiri, ia tidak percaya pada hal
lain. Ia tidak perlu
memikirkan orang lain... karena dirinya begitu yakin dengan
keberadaannya sendiri. Dan itulah sebabnya gadis-gadis yang kurang
percaya diri tertarik padanya. Dengan diwarnai warna Ryoma, mereka merasa telah
menemukan alasan untuk hidup.”
Orang
pertama yang terlintas dalam pikiranku adalah Asakura Kirari.
Dia
mengubah penampilan dan kepribadiannya setelah bertemu Ryuzaki… persis seperti
perilaku yang digambarkan Mary-san.
“Berkat
sang protagonis, karakter-karakter yang tadinya tanpa ciri khas ini mendapatkan
definisi. Azusa menjadi tipe adik perempuan, Kirari menjadi gadis
gyaru,
Yuzuki menjadi tipe yang mengasuh… lalu ada Shiho, yang berkat kasih sayang Ryoma, menjadi
orang yang diperlakukan paling istimewa. Lihat? Kehadiran protagonis
menciptakan status heroine. Dan hal berikutnya yang lahir darinya adalah… Komedi romantis haremnya Ryoma.”
Hal itu memang
tidak
dapat disangkal lagi kebenarannya.
Berkat
Ryuzaki, peran “heroine” pun terwujud—dan komedi romantis mereka pun
dimulai.
“Yah,
campur tanganmu agak mengacaukan romcom Ryoma, ya? Tapi itu juga bagian dari
keseruannya. Sewaktu aku menemukan ceritamu, aku jadi senang. Itu
memberiku harapan bahwa dunia yang membosankan ini pun mungkin punya sesuatu
yang layak diselamatkan.”
“…Apa itu
benar-benar menghibur?”
“Memang
menyenangkan, sih—tapi banyak juga kekurangannya. Misalnya, aku agak kesal
dengan sikapmu yang suka merendahkan diri di bagian-bagian awal. Ada beberapa
hal bagus, tapi banyak juga yang buruk.”
Mary-san
tidak berbicara dari sudut pandang seorang “pembaca.” Apa yang dia
berikan bukanlah tanggapan, melainkan kritik.
“Ada
banyak masalah kecil yang bisa kusampaikan, tapi keluhan terbesarku ialah Ryoma masih
kurang puas
dihukum.”
“Penghukuman....Ryuzaki…?”
“Ya.
Maksudku, bukannya ia bajingan terbesar di seluruh cerita ini?
Begitu banyak heroine menderita karena ulahnya. Dan hukuman apa
yang ia dapatkan? Ditolak oleh teman masa kecilnya? Cuma itu saja? Seharusnya
ia perlu
lebih menderita... kalau tidak, kamu tidak bisa
mengatakannya, ‘kan?”
Apa yang
diinginkan
Mary-san dari cerita itu—
“‘Mampus loe’, iya ‘kan?”
—adalah
bentuk katarsis yang kejam.
“Aku
menyukai
cerita-cerita di mana orang-orang istimewa jatuh dari kemuliaan... di mana
orang-orang yang pernah mereka pandang rendah menghancurkan
mereka. Intinya, cerita balas dendam. Momen memuaskan 'kamu pantas menerimanya' itu sangat kurang dari kisah
perjalanan sekolah.”
Dia
tak berhenti mengoceh. Dengan nada suaranya yang
terdengar bersemangat, dia terus melanjutkan, menuangkan emosinya ke dalam
kata-katanya.
“Rasanya
sia-sia sekali. Kenapa Ryoma, yang seharusnya menderita, masih
bersekolah seolah-olah tidak terjadi apa-apa? Kenapa para sub-heroine yang terluka,
malah bersembunyi? Kenapa anggota harem tidak membencinya?
Kenapa teman-teman sekelasnya tidak mengubah pandangan mereka terhadap pria
yang membuat Shiho menangis? Segala sesuatu di dunia ini dirancang untuk
menguntungkan Ryoma. Tidak ada hukuman nyata atas dosa-dosanya. Itulah kenapa
ceritanya terasa setengah matang.”
Mary-san
melontarkan
semua
keluhannya dengan frustrasi yang mendalam. Dia jelas-jelas sudah tidak
tenang lagi.
“...”
Semua ucapannya yang diliputi kebencian, membuatku terengah-engah. Aku tak
bisa berkata apa-apa. Namun kegundahannya hanya berlangsung
sesaat.
“—Nah,
kalau aku yang dulu sih, mungkin aku cuma akan merasa tidak puas dengan
cerita seperti itu dan berhenti di situ saja. Lagipula, cerita itu
hanyalah
fiksi—kamu tidak bisa berbuat apa-apa, kan? Tapi ceritamu... berbeda.
Karena itu nyata.”
“Karena
itu… nyata?”
“Dengan
kata lain, aku bisa ikut campur.”
Akhirnya—akhirnya—aku
mulai melihat apa yang diinginkan Mary-san.
“Kotaro.
Apa yang
kuinginkan... ialah menulis ulang ceritamu."
Dia
mencoba ikut campur dalam cerita kami.
“Aku
sudah muak menjadi 'pembaca' saja. Mulai sekarang, aku
memutuskan untuk menjadi kreator, dan mengubah ini
menjadi komedi romantis
‘rasakan akibatnya'.”
Dia tidak
hanya mencoba mengubah cerita sebagai karakter baru yang dimaksudkan untuk
membumbui cerita. Mary Parker bermaksud menjadi pencipta cerita itu
sendiri.
“Apa
menurutmu aku bersikap konyol?”
“…Entahlah.
Agak sulit bagiku untuk memahaminya.”
“Aku
mengerti. Maksudmu, meskipun kita mungkin bisa melihat ceritanya, kita tidak
punya kekuatan untuk membuatnya, kan? Yah, itu mungkin berlaku untuk 'karakter'
biasa. Tapi...”
Sambil
berkata demikian, Mary-san berusaha mendekat. Aku
mencoba menjaga jarak lagi, seperti sebelumnya—tapi punggungku membentur
dinding. Tak ada tempat untuk lari.
Lalu,
Mary-san mencondongkan tubuhnya ke arahku dan menempelkan tangannya ke dinding.
Saking
dekatnya aku bisa merasakan napasnya, bisiknya lembut.
“Tapi
jangan samakan aku denganmu. Kita mungkin sama, tapi
aku tersinggung dianggap setara. Mary bukan Kotaro.”
Pada saat
itu, hawa dingin menjalar ke tulang punggungku. Aku ingin
mendorongnya menjauh, tetapi rasa takut yang tak berbentuk telah mengunci
tubuhku di tempat.
Mary-san
tertawa melihatku yang terpaku.
“Karena kamu hanya karakter sampingan, bukan?”
Seolah
ingin menegaskan maksudnya, dia mulai berbicara tentang
diriku.
“Enam
belas tahun. Lahir 15 Agustus. Tinggi: 170 cm. Berat: 61 kg. Tidak ada yang
istimewa dari penampilanmu. Tidak ada hobi yang layak disebut, tidak ada
keahlian khusus yang bisa dibanggakan. Jika aku harus menyebutkan sesuatu yang
tidak biasa, itu karena kamu terus-menerus membaca. Tapi itu bukan karena kamu menyukai buku—itu hanya kebiasaan
yang kamu miliki sejak kecil.”
Seperti
yang dia katakan sebelumnya—Mary-san juga telah menyelidikiku secara
menyeluruh.
“Sewaktu
kecil, kamu mengecewakan ibumu yang keras karena gagal memenuhi
harapannya. Kamu ingin dia melihatmu lagi, jadi kamu berpegang teguh pada
satu perintah yang dia berikan—membaca. Kamu terus melakukannya
selama bertahun-tahun, berharap itu akan membuatnya kembali. Namun pada
akhirnya, kamu tak pernah mendapatkan kembali kepercayaannya. Kamu kehilangan
kepercayaan diri, tak bisa membentuk keinginanmu sendiri... dan hasilnya adalah
'tokoh sampingan' yang hanya memiliki pemahaman mendalam
tentang cerita.”
Bingo,
naluriku ternyata benar untuk mewaspadainya.
Bahkan
detail-detail yang belum kuceritakan—terutama masa kecilku yang menyakitkan—ada
di tangannya. Rasanya sungguh meresahkan.
“Aku
sama sekali berbeda denganmu. Aku heroine sempurna dan karakter
yang curang. Tidak ada yang tidak bisa kulakukan ...
bahkan menciptakan cerita, tentu saja.”
Itu
sungguh tak masuk akal, namun... pemikiran Mary-san sungguh
di luar nalar sehingga aku tak bisa begitu saja mengabaikannya. Senyumnya
yang tak kenal takut membuat orang mudah percaya bahwa dia benar-benar
seorang kreator.
“Baiklah,
sekarang mari kita bahas alasan sebenarnya aku membawamu ke sini.”
Akhirnya—setelah
pendahuluan yang sangat panjang itu—dia mulai membahas inti
pembicaraan.
“Terima
kasih sudah mendengarkanku. Berkatmu, aku jadi tahu betapa meresahkannya
karakter 'Mary Parker' sejak awal. Dan sekarang, saatnya menjawab
pertanyaanmu.”
Apa yang kupikirkan…
Kenapa
Mary-san menunjukkan sifat aslinya padaku? Apa yang dia inginkan dariku? Apa
sebenarnya yang dia rencanakan?
Itulah
pertanyaan-pertanyaan yang ingin aku cari jawabannya.
Dan
kemudian, di luar dugaanku—Mary-san menyuarakan apa yang ada dalam pikiranku.
“—Kira-kira
begitulah yang dikatakan monolog batinmu, kan? Hampir sama, kan?”
“Jika
kamu sudah tahu… maka beritahu aku.”
“Nihihihi. Enggak usah
frustrasi begitu... ini bukan rumit, atau berbahaya, dan aku tidak memintamu melakukan
sesuatu yang kamu benci. Aku cuma mau sedikit kerja sama, cuma itu saja.”
…Sejujurnya,
aku menduga sesuatu yang jauh lebih buruk.
“Aku
tidak berencana jadi musuhmu, Kotaro. Aku hanya ingin menyelesaikan romcom 'rasakan akibatnya'.
Karena
itulah, aku ingin kamu bahagia.”
…Memikirkannya
dengan tenang, Mary-san benar-benar tidak menunjukkan permusuhan apa pun
terhadapku. Kalau dia memang bermaksud membuatku menderita, akan jauh
lebih mudah baginya untuk tidak memperlihatkan jati
dirinya yang sebenarnya.
“Tidak
ada yang rumit tentang itu. Hanya saja, dalam alur cerita yang kutulis, kerja
sama kalian sangatlah penting. Kamu mungkin tidak punya
kemampuan untuk menulis cerita, tapi kamu bisa melihatnya. Itu saja sudah membuatmu berguna bagiku.”
“Alur cerita…?”
“Pada
dasarnya, cetak biru sebuah cerita. Tapi jangan khawatir— romcom
'rasakan akibatnya'
ini
sudah lengkap di kepalaku. Di versi baru ini, Kotaro... kamulah yang harus
berakhir paling bahagia.”
Dan
dengan itu, dia mulai menjelaskan alur ceritanya.
“Alur
umumnya hampir sama seperti sebelumnya. Seorang protagonis harem, yang dipuja
banyak gadis, akhirnya memutuskan untuk mengabdikan diri kepada heroine utama. Di
sepanjang cerita, ia mungkin harus menolak beberapa heroine
sampingan.
Kemudian, didorong oleh emosi-emosi tersebut, ia mengalami pencerahan besar dan
akhirnya menyatakan cintanya kepada heroine utama. Namun tak
disangka—sang
heroine
utama tidak jatuh cinta pada si protagonis. Dia hanya jatuh cinta
pada karakter sampingan belaka.”
Sekilas,
kedengarannya tidak ada bedanya dengan apa yang terjadi sebelumnya.
Saat aku
menunjukkan hal itu, Mary-san mengangguk tanpa ragu sedikit pun.
“Memang kedengarannya sama saja. Karena strukturnya
berhasil. Yang ingin kutulis ulang ialah apa
yang terjadi setelahnya. Sang protagonis, yang ditolak oleh heroine
utama,
juga ditinggalkan oleh para sub-heroine—dan akhirnya benar-benar
sendirian. Sementara itu, karakter sampingan tidak hanya
memenangkan hati heroine utama, tetapi juga para sub-heroine. Singkatnya— peran mereka terbalik.”
Dia tidak
bertujuan untuk membuat komedi romantis yang manis. Apa yang dia gambarkan tak
diragukan lagi adalah drama balas dendam — kisah yang
benar-benar akan memuatmu mengatakan ‘mampus loe’.
“Hanya
setelah semua yang pernah dimilikinya direnggut, si protagonis harem
akhirnya menyadarinya—betapa buruknya ia memperlakukan para heroine, betapa dalamnya
mereka mencintainya, betapa beruntungnya ia sebenarnya. Ya, sempurna. Kemudian, tenggelam dalam
penyesalan, ia menjalani sisa hidupnya dalam kesendirian. Versi protagonis yang
hancur itu... persis seperti yang ingin kulihat.”
Sebagai
fiksi, alur cerita semacam itu mungkin menarik untuk dibaca.
Namun
faktanya dia berniat melakukannya dalam kenyataan —di
situlah letak kegilaannya.
“Soal
pemilihan pemeran: Ryoma adalah protagonis harem. Kotaro adalah karakter sampingan. Sub-heroine yang
diputus... Yuzuki terlalu lemah, jadi mari kita pilih Kirari. Dia terasa
seperti versi diriku dengan spek lebih rendah, dan aku yakin dia akan menerima
akibatnya dengan baik.”
Jadi dia
ingin menempatkan Kirari pada peran lama Azusa.
“Dan
untuk peran heroine utamanya—tentu saja, peran itu
jatuh padaku.”
Kemudian,
topik beralih ke bagian yang paling menarik perhatian aku.
“Kamu mengambil peran
Shiho?”
Aku tidak
peduli apa yang terjadi padaku—itulah sebabnya aku bisa bertahan mendengarkan
percakapan ini sampai sekarang.
Tapi
berbeda dengan Shiho. Kalau Mary berencana melibatkannya, aku siap melawannya
dengan sekuat tenaga.
“Yap.
Aku akan mengambilnya. Jadi, Kotaro, jangan tegang begitu, oke? Tidak apa-apa.
Aku tidak akan melakukan apa pun pada Shiho. Dia bahkan tidak pantas untuk
kuperhatikan.”
…Itu
sungguh melegakan—seberapa tidak peduli dirinya pada Shiho.
“Kamu mungkin juga menyadarinya,
kan? Karakter Shiho memang agak berantakan. Satu-satunya
kelebihannya hanyalah penampilannya. Dia terlahir dengan
pendengaran yang tajam, yang membuatnya sangat sensitif terhadap emosi orang
lain. Tapi itu juga sebabnya dia menangkap kedengkian yang tidak perlu—kasihan
sekali dia akhirnya menjadi gadis pemalu, cemas, dan takut pada orang lain. Dia
benar-benar heroine yang tak berguna.”
Itu
tidak benar —aku hampir mengatakannya secara refleks.
Namun,
aku menahan diri.
Aku
menyadari akan lebih berbahaya membuatnya penasaran daripada membiarkannya
mengabaikan Shiho sepenuhnya.
“Coba
pikirkan. Alasan ceritamu terasa begitu tak terselesaikan... penyebab utamanya
adalah si heroine utama—Shiho. Seandainya dia menyimpan lebih banyak
kebencian terhadap Ryoma, mungkin Ryoma akan menerima akhir yang menyedihkan,
yang memang pantas diterimanya. Tapi Shiho terlalu pemalu, terlalu lembut,
terlalu lemah. Kamu mengetahui itu, ;kan? Shiho hanyalah gadis
biasa yang kebetulan terpilih untuk memerankan tokoh heroine utama—tidak lebih.”
Dalam
arti tertentu, pandangan Mary-san tidak salah.
Tentu
saja, aku mengetahui banyak hal baik tentang
Shiho… tapi kalau Mary tidak menganggapnya sebagai ancaman, aku akan berhenti
di situ saja.
“Aku
tidak akan membuat kesalahan yang sama seperti Shiho. Kali ini, demi cerita
yang sempurna... aku dengan cermat menciptakan karakter 'Mary' dari
awal.”
Kemudian
dia mulai berbicara tentang persona fiktif Mary Parker.
“HAHAHA!
Apa susahnya? Kamu bisa mempercayainya? Jauh lebih seru kalau
tertawa terus! Ayo kita bersenang-senang bersama! Aku ceria, polos, secerah
matahari, dan ramah pada semua orang ! Tapi aku cuma mencintai satu orang... dan
itu Ryoma!”
Mary-san
tiba-tiba berubah menjadi pribadi yang ceria dan berlebihan.
“—Berpura-pura
seperti itu setiap hari di sekolah memang melelahkan. Tapi... karakter
semacam itu
memang heroine yang cukup menarik, ‘kan? Tubuhnya luar
biasa tinggi, seperti manifestasi fisik hasrat pria, tapi dengan kepribadian yang
ceria, polos, dan cukup rentan... siapa yang tidak menyukai
heroine yang
seperti itu?"
“…Jadi kamu hanya berakting
selama ini.”
“Yap.
Aku melihat kegagalan Shiho dan menciptakan kebalikannya. Kurasa aku melakukan
pekerjaan yang cukup hebat. Ryoma benar-benar terpikat pada 'Mary' sekarang...
dan berkat itu, aku bisa mengendalikannya dengan mudah.”
Segala
sesuatunya demi menciptakan cerita yang sempurna. Dia menggunakan
karakter yang dia buat—dirinya sendiri—sebagai sarana untuk memandu alur
cerita.
“Aku
sudah memegang kendali penuh atas protagonis, aku berperan sebagai heroine
utama,
dan para sub-heroine hanyalah budak menyedihkan dari cerita ini.
Satu-satunya faktor penentu... adalah dirimu. Hanya sedikit ketidakpastian—tapi
tetap saja cukup. Sama seperti kamu menghancurkan cerita
Ryoma terakhir kali, aku tak akan membiarkanmu menghancurkan ceritaku.
Itulah sebabnya aku memutuskan untuk melibatkanmu sebagai sekutu
kali ini.”
Bahkan
jika itu berarti mengambil risiko mengungkapkan seluruh rencananya—
Mary
ingin menjaga variabel berbahaya sepertiku tetap dekat
dengannya,
agar dia bisa mengendalikanku. Itulah inti sebenarnya dari semua ini.
“Dan
untuk membuatmu tetap terikat... coba lihat. Kurasa aku akan menyandera kedamaian Shiho.
Kalau kamu mencoba menggangguku, aku tidak akan membuatmu menderita —aku akan membuatnya menderita. Ingat baik-baik.”
Ini bukan
permintaan kerja sama. Ini ancaman. Sebuah perintah.
“Misalnya,
karena aku karakter gadis kaya... aku bisa membuat ayah Shiho dipecat. Coba
pikirkan—kalau aku membeli perusahaan tempatnya bekerja, bukannya itu
sangat
mudah? Dan kalau aku sengaja membuat hidup orang tuanya sengsara, kemungkinan
besar mereka akan bercerai. Shiho hanya mengenal keluarga yang hangat dan penuh
kasih. Apa yang akan terjadi padanya jika keluarga itu hancur...? Bisakah dia
benar-benar tetap bahagia?”
Dia tahu
bahwa Shiho merupakan gadis yang paling aku hargai—dan dia menggunakan
pengetahuan itu untuk mengancamku.
“Jadi,
karakter sampingan semacam diriku bahkan tidak punya hak
untuk menolak... oke. Aku akan melakukan apa pun yang dikatakan Mary-san. Aku
akan bekerja sama.”
Ketika
aku mengatakan itu dengan pura-pura pasrah, Mary-san menyeringai puas.
“Nihihihi. Selama kamu tetap menjadi 'bagian'
kecil rencanaku, aku akan menepati janjiku. Selama kamu tidak
menghalangiku dan melakukan hal-hal seperti biasa, aku tidak akan menyentuh
Shiho.”
Keinginanku
tidak pernah berarti sejak awal. Dia tidak akan pernah
mengizinkan adanya perlawanan atau keberatan sejak awal.
Tepat
seperti dugaanku… tepat pada waktunya.
Aku
menahan senyum getir yang hampir muncul. Tetap tenang. Biarkan dia
terus berpikir kalau aku sudah menyerah. Akan lebih mudah
mengkhianatinya dengan cara itu.
Saat
pikiran itu terbentuk, ada sesuatu yang bergejolak di benakku.
Perasaan
apa itu?
…Terserah.
Untuk saat ini, aku akan bermain aman dan mengamatinya saja.
◆◆◆◆
Atau
setidaknya—itulah yang aku pikirkan. Tetapi tampaknya Mary
bahkan tidak mempertimbangkan kemungkinan itu.
“Kotaro
memang mudah diajak bicara. Kamu sama sekali tidak menyela, dan berkat itu,
proses penjelasan berjalan lancar.”
Dia
tampak sangat senang, yakin semuanya berjalan sesuai rencananya.
“Rasanya
akan
menyenangkan jika aku bisa pulang sekarang.”
“Hm?
Kamu sudah mau pergi? Aku berharap kita bisa ngobrol lebih lanjut. Sayang
banget.”
“Maaf,
aku tidak bisa memenuhi harapanmu. Shiho akan datang sepulang sekolah, dan
kalau aku terlambat, dia mungkin akan mengira aku berselingkuh.”
“Satu-satunya
orang yang menganggap Kotaro cukup menarik untuk selingkuh hanyalah Shiho
sendiri.”
Mary
dengan santai menyilangkan kakinya saat mengatakan hal itu. Parfumnya
tercium di udara setiap kali dia bergerak… Aku benar-benar tidak menyukai
aromanya.
“Nihihi. Enggak usah
buru-buru. Kita sudah sampai di rumahmu.”
“Seriusan?”
“Kita cuma
berputar-putar di area sekitar sampai obrolan selesai. Kayak berkendara santai
aja.”
Saat dia
mengatakan itu, pintu mobil tiba-tiba terbuka.
Sinar
matahari menerobos masuk, membuatku menyipitkan mata secara naluriah. Udara
hangat dan lembap menerpaku, dan saat aku mengerjap dan melihat sekeliling, aku
melihat sebuah kompleks perumahan yang familiar terhampar di hadapanku.
“Harap
berhati-hati saat melangkah.”
Pria tua
yang membukakan pintu saat aku masuk membungkuk sopan sambil tersenyum.
Mengenakan setelan jas yang dirancang khusus, ia memancarkan aura bermartabat
yang anggun. Ia mungkin salah satu pelayan Mary—dan kemungkinan besar dirinyalah yang menyetir.
“Jiiya,
pastikan kamu memberinya suvenir itu.”
“Tentu
saja… Ini dia.”
Pria tua
itu memberiku sekantong kertas berisi makanan ringan. Tapi ini bukan
camilan biasa yang biasa aku temukan di toko swalayan. Mereka dikemas dalam
kemasan mewah, jelas mewah dan mungkin mahal.
“Kenapa
kamu memberiku ini?”
“Supaya kamu bisa bilang:
'Itu
bukan kencan. Aku cuma ke mal buat beli camilan buat perayaan Azusa kembali ke
sekolah, dan kebetulan aku menang undian berhadiah sekotak permen, jadi aku
bawa pulang buat dibagi-bagi.' Kamu
tahu—cerita alasanmu.”
“…Kamu
sungguh perhatian sekali.”
Dia
benar-benar sudah melakukan risetnya sendiri tentang diriku. Dia tahu
persis bagaimana aku berpikir, bagaimana aku bertindak.
“Aku
dengan senang hati akan menerimanya.”
“Bagus.
Selama kamu tetap menjadi sekutuku, aku tidak akan memperlakukanmu dengan
buruk... Sampai jumpa di sekolah, Kotaro! Sampai jumpa~☆”
Mary
tiba-tiba kembali ke kepribadiannya yang ceria dan penuh energi, lalu
melambaikan tangan ke arahku. Namun, mengetahui semua itu hanya akting saja
justru membuatku merasa ngeri.
Aku
keluar dari mobil tanpa sepatah kata pun dan mulai berjalan. Sekitar sepuluh
langkah, aku menoleh ke belakang—
—tetapi
limusin hitam itu sudah hilang.
Kapan dia pergi? Terlalu
cepat, terlalu sunyi… dan sudah tak terlihat.
Rasanya
seolah-olah seluruh pertemuan itu hanyalah halusinasi tengah hari.
Seandainya saja itu beneran hanya mimpi…
Pikiran
itu masih terbayang dalam benakku saat aku tiba di rumah.
“Ah,
selamat datang kembali, Kotaro-kun. Kamu terlambat. Jangan bilang... kamu
selingkuh?”
Shiho
berdiri di pintu masuk, masih mengenakan seragamnya, lengan disilangkan dan
melotot. Tepat seperti dugaanku—dia curiga padaku, dan aku tak dapat
menahan tawa.
“Haha…
enggak,
aku sama sekali tidak berselingkuh. Aku cuma mengunjungi mal.”
“Jadi, kencan selingkuh, kalau begitu?”
“Tidak,
itu juga bukan.”
“Mana
mungkin Onii-chan setidak tahu malu itu. Ia selalu setia sekali...
Wah, tunggu. Tas itu—! Bukannya itu dari toko permen mewah yang super
populer itu!?”
Azusa
berlari kecil masuk dari ruang tamu. Dengan mata tajam dan terobsesi gula
seperti biasa—dia langsung menyadari apa yang kubawa.
“Tu-Tunggu, bagaimana
kamu
bisa mendapatkan itu!?”
“Oh, ini…
Aku sedang membeli beberapa camilan untuk merayakan kepulanganmu ke sekolah,
dan kebetulan aku memenangkan undian di mal.”
Seperti
yang dikatakan Mary, aku menggunakan alasan itu kata demi kata.
Azusa mengangkat tangannya dengan gembira.
“Yay~!
Ehehe~!”
Dia
langsung mengambil tas itu dari tanganku dan, memeluknya erat-erat seperti
harta karun, berlari kembali ke ruang tamu. Langkah kakinya yang ringan dan
senyumnya yang berseri-seri menunjukkan semuanya—suasana hatinya sedang baik.
Bagus…
sepertinya dia tidak membawa beban apa pun dari apa yang terjadi di sekolah.
Walaupun aku sempat khawatir, tetapi tampaknya dia semakin kuat. Sekarang
Azusa tampak baik-baik saja, aku harus mengalihkan fokusku ke Shiho.
“Kotaro-kun…
Apa terjadi sesuatu?”
Tentu
saja, dia tidak akan kehilangan sedikit pun perubahan dalam diriku.
“Tapi
hmm... Kamu sepertinya tidak terganggu,
kok. Malah, kamu terdengar lebih kuat dari biasanya... Ada nada percaya diri
yang bagus yang kudengar.”
Telinganya
berkedut sedikit—seolah-olah dia tengah mendengarkan emosiku. Berbohong
pada Shiho tak akan berhasil. Pendengarannya terlalu tajam, kepekaannya terlalu
tajam.
Namun,
meski mengetahui hal itu—aku masih menggelengkan kepala.
“Tidak.
Tidak terjadi apa-apa.”
Masalah
ini… Aku akan menanganinya sendiri.
Aku
menuangkan maksud itu ke dalam suaraku, dan Shiho tampaknya mendengarnya dengan
keras dan jelas.
“Aku
mengerti… Baiklah, kalau begitu, aku akan percaya padamu.”
Kemudian
dia tersenyum padaku.
“Aku
percaya padamu.”
Jantungku
berdebar kencang.
Senyuman
itu—dan kata-kata itu—menghantamku lebih keras dari yang kuduga.
Jika demi
senyuman tersebut… aku bisa melakukan apa saja.
Shiho,
kali ini aku tidak akan membuatmu menangis.
Tidak
peduli cerita apa yang menyeretku—tidak peduli apa yang dicoba Mary-san —
Aku akan
melindungimu. Kali ini, pasti.
