Chapter 4 — Takdir dari Heroine Pendukung
Seandainya
ceritaku punya pembaca… maka mungkin tidak akan terlalu buruk untuk memulai
dengan kalimat seperti ini:
“Hai
semuanya! Mary Parker di sini! Sudah lama sejak Volume 1 berakhir. Senang
sekali akhirnya bisa memperkenalkan diri dengan benar!”
…Atau
sesuatu seperti itu?
Mungkin
itu sedikit terlalu klise. Kalau aku
berlebihan, pendalamannya bakal rusak. Aku harus bisa menahan
diri.
Bagaimana
pun, ceritanya akhirnya mulai bergerak.
Mulai
sekarang, aku berencana untuk perlahan-lahan memojokkan Ryoma. Sepanjang jalan,
aku akan membuat para sub-heroine tersandung, dan
mengarahkan mereka agar jatuh cinta pada Koutaro.
Dan di
akhir, sebagai heroine utama, aku akan menolak pengakuan Ryouma—lalu berbalik
dan menyatakan bahwa aku jatuh cinta pada Koutaro.
Aku meyakini
kalau
ekspresi wajah Ryoma saat itu akan sempurna.
Dan
kemudian, akhirnya aku bisa mengatakannya.
‘Rasakan akibatnya.’
-Kamu
tahu?
Jika ada
orang di luar sana yang membaca ceritaku…
Kalau
begitu, aku harap para pembaca benar-benar menikmati menyaksikan
karakter-karakter yang sombong dan sok penting jatuh dari kasih karunianya.
◆◆◆◆
Sudah
sekitar
seminggu telah berlalu sejak aku menemukan sifat asli Mary-san.
Selama
waktu itu, tidak ada kejadian yang terlalu dramatis terjadi. Rasanya
cukup menakutkan
saat membayangkan
apa yang mungkin memicu cerita itu lagi, tetapi aku memanfaatkan waktu itu
untuk terus mengawasinya.
Ryuzaki
benar-benar jatuh ke dalam perangkap Mary-san…
Karakter
yang dia ciptakan—‘Mary’ yang ideal ini—jelas-jelas dirancang sesuai selera Ryoma. Setiap
bagian dirinya dirancang dengan cermat untuk tujuan tersebut.
“Selamat
pagi, Ryoma! Waktunya pelukan pagimu~!”
“H-Hei…
serius, itu pasti menekanku…”
“HAHAHA!
Begitulah intinya, tau?”
Setiap
pagi, begitu dirinya tiba di sekolah, dia langsung menggoda Ryuzaki.
“Yah,
kurasa aku tidak terlalu keberatan…”
Dia
menempelkan dadanya ke tubuh Ryuzaki dengan terang-terangan, membuat Ryuzaki
meleleh karena gembira.
“Eh,
Ryuu-kun? Wajahmu kok kelihatan aneh pagi-pagi begini...”
Melihat
mereka berdua, Kirari tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Di sampingnya
berdiri Yuzuki, yang hanya tersenyum canggung dan tetap diam.
Yuzuki
tampak seperti dirinya yang biasa… tapi Kirari jelas sedikit berubah.
“Daripada
menyeringai seperti orang bodoh, mungkin coba bersikap sedikit lebih normal?”
“A-Apa?!
Si-Siapa juga yang cengengesan seperti orang bodoh! Kamu nya
saja kali yang sedang bad mood akhir-akhir ini.”
Sejak kejadian dengan Azusa,
hubungan antara Kirari dan Ryuzaki menjadi sedikit renggang.
“Oooh,
maafin aku ya, Kirari~ Ini salahku, kan? Payudara ini
terus-terusan mengganggu! Beraninya mereka tumbuh begitu besar! Ayolah, Kirari,
kamu juga harus menampar mereka!”
Sekali
lagi, dialah—Mary—yang memecah ketegangan.
“In-Ini
bukan
salahmu atau semacamnya…”
“HAHAHA!”
Dengan
satu tawa yang menggelegar, Mary menghempaskan udara berat di
sekitar mereka. Seolah-olah dia adalah heroine utama yang turun
tangan untuk menengahi pertengkaran antara protagonis dan heroine
pendukungnya.
Saat ini,
dia benar-benar mengalahkan Kirari dan Yuzuki sebagai heroine. Dan
mungkin karena itu, Ryuzaki tampak sepenuhnya disibukkan dengan Mary-san
akhir-akhir ini.
“Mary
selalu ceria.”
“Menurutmu
begitu? Aku merasa normal, kok!”
“Tidak
mungkin. Melihatmu selalu membangkitkan semangatku."
Berkat
Mary-san, Ryuzaki akhir-akhir ini dalam kondisi yang luar biasa baik. Tingkah
lakunya mulai menyerupai versi dirinya yang terlalu percaya diri sebelumnya,
dan itu... agak membuatku khawatir.
◆◆◆◆
Lebih
banyak waktu berlalu dalam sekejap. Sekarang sudah sekitar
tiga minggu sejak semester kedua dimulai.
Akhir
September. Panas musim panas yang tersisa telah mereda, dan malam hari mulai
terasa dingin.
Musimnya sudah jelas mulai
berubah. Dan sekitaran waktu yang sama, di sekolah kami—SMA
Yukino Shiro—ada acara mendatang yang dijadwalkan.
“Semuanya~
Sekadar mengingatkan bahwa festival sekolah kita akan diadakan pada bulan
November, jadi sekarang saatnya untuk mulai memutuskan apa yang akan dilakukan
kelas kita~!”
Seluruh
jadwal sore ini didedikasikan untuk LHR—Jam Wali Kelas yang Lama.
Sepertinya
kami akan menggunakan waktu untuk membahas festival sekolah.
“Asalkan
semuanya sesuai aturan, kamu bebas menyarankan apa pun~. Sisanya biar ketua
kelas saja, ya~? Nio-san, lanjutkan saja~”
“…Dipahami.”
Atas
isyarat Suzuki-sensei, perwakilan kelas kami, Nio Niko, melangkah ke atas podium. Dengan
kacamata khasnya dan rambut dikepang, dia memulai acara dengan sikap tenang
seperti biasanya.
“Jika ada
yang punya ide, silakan angkat tangan.”
“Ya, ya,
aku!”
Orang
pertama yang mengangkat tangan—tentu saja— Mary-san.
“Kayaknya
kita harus bikin maid cafe deh! Kalau ada beberapa maid yang melayani
tamu, kita pasti bakal dapat
banyak uang☆! Dan kalau kita tambahin minuman sebagai
bagian dari 'biaya layanan', kita bakal dapat banyak keuntungan!”
“Ditolak.
Itu bukan lagi kafe pelayan—pada dasarnya itu klub hostess. Harap jaga agar
semuanya tetap pantas.”
“Oooh...
oke, kalau begitu bagaimana kalau ada tempat istirahat!? Kita bisa menawarkan
hal-hal seperti pelukan atau pijat untuk membantu orang-orang rileks! Sebagai
gantinya, kita akan mengenakan harga sedikit lebih tinggi dan menghasilkan
banyak uang!”
“Tidak.
Itu akan membuatnya jadi refleksologi. Kenapa semua idemu selalu
mengarah
begituan sih?”
Nio menaikkan
kacamatanya sambil mendesah jengkel.
Dia
melakukan pekerjaan yang baik dalam mengendalikan ide-ide liar Mary-san,
seperti yang diharapkan dari seseorang yang sangat bisa diandalkan... tapi
sepertinya diskusi itu tidak menghasilkan apa-apa.
“Ada
saran lain?”
“Ya, ya,
aku lagi!”
“…Apa cuma ada Mary-san
satu-satunya di kelas ini?”
Komentar
datar Nio bergema di ruangan yang sunyi itu. Begitulah adanya.
Mary-san satu-satunya yang menunjukkan minat dalam diskusi itu. Siswa lainnya jelas tidak
begitu tertarik.
…Tunggu.
Apa Shiho menatap papan tulis karena penasaran? Benar, dia memang menyukai acara-acara sekolah seperti
ini—mungkin karena semua anime tontotnannya. Tapi mengingat betapa
pemalunya dirinya, pasti sulit baginya untuk bicara di depan semua
orang.
“Ini
adalah proyek kelas, jadi jika memungkinkan, aku ingin lebih banyak dari kalian
yang
berbagi ide.”
Nio
mengajukan permintaan dengan tenang namun tegas, meskipun tampaknya permintaan
itu tidak mengubah suasana hati sedikit pun.
“““…………”””
Semua
orang hanya saling memandang, berpikir dalam hati, “Ada
yang lain, katakan sesuatu?” Di saat yang sama,
ada getaran kuat, “Ugh,
ini kedengarannya menyebalkan...” yang membuat
keheningan semakin sulit dipecahkan.
Kemudian-
"Benar
sekali! Ayo semuanya—ini festival sekolah! Ayo bersenang-senang!"
Sebuah
suara yang terlalu ceria terdengar, sama sekali tidak selaras dengan suasana.
“Aku
melihat di anime bahwa festival sekolah adalah acara yang sangat menyenangkan!”
Energi
dalam suaranya menembus udara yang stagnan bagaikan embusan angin segar.
“Aku
ingin membuat kenangan indah di sini, di Jepang…”
Lalu,
tiba-tiba dengan suara lembut, Mary-san menambahkan kata-kata itu—dan begitu
saja, seluruh suasana berubah.
“Hmm... Benar juga.
Karena Mary-san sudah datang sejauh ini, kita harus membantunya menciptakan
kenangan indah. Kalian semua juga berpikir begitu, kan?”
Tiba-tiba,
bahkan teman-teman sekelas yang tadinya tampak sama sekali tidak tertarik pun
duduk tegak. Jelas sekali, mereka tersentuh oleh keceriaan Mary—dan
kejujurannya yang menyentuh hati.
…Konyol
sekali.
Itu semua cuma sandiwara.
Tapi aku
satu-satunya yang merasa terganggu dengan perilaku Mary—karena aku tahu seperti
jati diri
dia sebenarnya.
Dia
mungkin berencana mengubah festival sekolah menjadi 'acara' cerita. Dan
untuk itu, dia membutuhkan kerja sama penuh dari seluruh kelas. Jadi, dia
memilih kata-katanya untuk menginspirasi mereka.
Seperti
yang diharapkan dari karakter heroine yang sempurna—kemampuan aktingnya,
kemampuannya memanipulasi orang, dia memiliki segalanya. Dan berkat itu, kelas
menjadi sangat bergairah.
“Baiklah
kalau begitu. Ayo coba lagi—ada yang punya saran?”
Kali ini,
bukan hanya Mary-san saja yang mengangkat tangan. Beberapa siswa juga ikut,
semuanya bersemangat dan siap berpartisipasi. Kelas 1-2 akhirnya berkumpul
untuk mengikuti festival sekolah.
Dari
situlah ide-ide mengalir masuk.
Kios
makanan, film, rumah hantu, labirin, ramalan… Satu per satu, saran-saran
tersebut diajukan untuk pemungutan suara dan dipersempit.
Dan pada
akhirnya—
“Baiklah,
sudah diputuskan. Kelas 1-2 akan mementaskan drama.
Ayo kita semua berusaha sebaik mungkin.”
Pementasan
drama, ya…?
Aku sudah
punya firasat buruk tentang ini. Baiklah, mungkin aku akan
terjebak dengan tugas di belakang panggung, jadi ya sudahlah.
“Pementasan drama, kedengarannya keren banget! Aku pasti jadi bintangnya
!”
…Dan
tetap saja, cara mata Mary-san berbinar-binar karena gembira sungguh tidak
mengenakkan bagiku.
“Apa
yang harus kita lakukan untuk pementasannya? Ada beberapa yang
terkenal antara lain Romeo dan Juliet , Putri Duyung Kecil , Tiga Babi Kecil ,
dan Si Kerudung Merah.”
...Hm?
Mungkinkah
Nio-san menyukai cerita?
Narasinya
lancar dan dia banyak bicara.
“Tapi
yang paling ingin kurekomendasikan adalah Cinderella.
Menurutku, itu kisah terindah di dunia... Ah, tentu saja itu hanya pendapatku
sendiri.”
Dia pasti
menyadari seberapa cepatnya dirinya bicara setelah selesai.
Nio-san tersipu malu.
“Maaf,
aku agak berlebihan. Aku juga ingin mendengar pendapat kalian.”
Mungkin
seseorang telah menunggu momen itu.
Mary-san
segera mengangkat tangannya dan berkata,
“Aku!
Aku! Aku mau melakukan pentas drama Si Cantik dan Si
Buruk Rupa!”
“Itu
juga bagus. Ceritanya berasal dari Prancis dan bahkan dibuat menjadi film
animasi anak-anak, jadi kurasa semua orang sudah familiar dengan jalan
ceritanya.”
Nio-san
juga tampak tertarik. Siswa lain pun menanggapi dengan positif.
“Ayo
kita lakukan pemungutan suara. Silakan angkat tangan kalau menurutmu itu ide yang bagus.”
Dan
begitu saja, pilihannya pun dipersempit.
Pada
akhirnya, yang dipilih dengan suara terbanyak—tidak mengherankan—adalah Si Cantik dan Si
Buruk Rupa.
◆◆◆◆
Meskipun
kami telah memutuskan untuk tampil di festival budaya, kami masih punya waktu
tersisa. Jadi, kami lanjut dengan menugaskan peran-peran dalam pementasan
drama
itu semampu kami.
“Mari
kita mulai dengan orang yang akan menangani naskahnya, karena itu akan memakan
waktu paling lama. Apa ada yang mau menjadi sukarelawan?”
Meski
Nio-san bertanya, tak ada seorang pun mengangkat tangan.
“Tidak
ada? Kalau begitu... haruskah aku melakukannya?”
Atas
sarannya yang tak terduga, salah satu teman sekelasnya mengeluarkan ucapan
“Ohh” yang terkesan.
Dia pasti
menyukai
cerita. Dan bukan dengan cara yang aneh seperti Mary-san, tapi dengan cara yang
tulus dan apa adanya.
“Kurasa
ini tidak akan luar biasa, tapi aku akan berusaha sebaik mungkin. Lagipula aku
ingin mengambil jurusan sastra di universitas, jadi ini mungkin bisa jadi pengalaman yang bagus.”
Meski
nadanya tenang, wajahnya yang merah membuat jelas bahwa itu hanyalah
alasan yang dibuat-buat.
“Selanjutnya,
kita harus mencoba menentukan peran utama: Si Cantik, Si Buruk rupa... dan
si pemburu yang mencoba merayu Si Cantik.”
Usai mendengar
itu, Mary-san mengangkat tangannya dengan penuh semangat. Seolah-olah
ingin
berkata, “Aku sudah menunggu ini!”.
“Ya,
ya! Aku ingin berperan sebagai Si Cantik! Lagipula, aku memang cantik!”
Pernyataan
cerianya mengundang tawa seisi kelas, tetapi tak seorang pun berkeberatan.
Karena
itu benar adanya.
“Untuk peran Si Cantiknya, ya... Apa ada
orang lain
yang tertarik?"
Meski
begitu, itu belum merupakan keputusan bulat.
Nio-san
mengalihkan pandangannya penuh arti ke arah seseorang tertentu.
Di ujung
tatapan itu berdiri—Shimotsuki Shiho.
Mengikuti
jejaknya, perhatian kelas tertuju pada Shiho. Baiklah, aku
mengerti apa yang dipikirkan semua orang.
Jika
berbicara soal si cantik di kelas, nama pertama yang terlintas di pikiran
adalah Shimotsuki Shiho.
Namun,
semua orang pasti masih mengingat ketika melihatnya menangis di
panggung selama perjalanan sekolah.
Jadi
mereka harusnya mengerti kalau akting mungkin sulit untuknya.
“Ughh...”
Benar
saja, Shiho tersentak dan memalingkan muka saat merasakan tatapan semua orang
tertuju padanya. Biasanya dia begitu kalau aku tidak di sisinya. Dia belum
sepenuhnya mengatasi rasa malunya.
Melihat
itu, Nio-san mengalihkan pandangannya dari Shiho sambil meminta maaf.
“Ehem.
Karena sepertinya tidak ada kandidat lain, jadi Mary-san akan memerankan Si Cantik.”
Sambil
berdeham seolah ingin meredakan keadaan, Nio-san menulis nama Mary-san di papan
tulis.
“Aku sangat menantikannya~!
Aku terlahir cantik, jadi aku akan memenuhi kewajibanku sebagai
Si Cantik~!”
Suara
ceria Mary-san kembali mengangkat suasana, meredakan ketegangan yang
ditinggalkan Shiho. Tawa kembali memenuhi kelas.
Sekarang,
tersisa dua peran utama.
Si Buruk
Rupa
dan Si
Pemburu
sombong yang mengejar Si Cantik. Tapi karena kita punya pria yang pada dasarnya
adalah protagonis, salah satu peran itu sudah hampir ditentukan.
“Oh,
aku tahu! Ryoma harus berperan sebagai Si Buruk Rupa!”
“Baiklah.
Kecuali ada yang mau... sepertinya tidak. Kurasa itu sudah
ditentukan.”
Berkat
saran Mary-san, tak seorang pun menyuarakan keberatan.
“Aku yang melakukannya?”
“Kamu
bakal baik-baik saja, Ryoma! Maksudku, kamu memang tampan!”
“...Bukankah
wajah Si Buruk Rupa itu tidak terlalu penting?”
Meski
begitu, ia tampaknya tidak begitu benci dengan pujian Mary-san.
Yang
tersisa hanyalah peran sebagai Si
Pemburu.
Kira-kira siapa ya yang akan mengambil peran itu?
Mengingat
sifat perannya, kecil kemungkinan seorang perempuan akan terpilih, jadi
kemungkinan besar akan diberikan kepada salah satu laki-laki... tetapi aku
tidak dapat memikirkan siapa pun yang benar-benar cocok.
Jika
hanya berdasarkan penampilan, maka seseorang seperti Hanagishi—besar dan
berotot—mungkin bukan pilihan yang buruk.
──Atau
begitulah yang kupikirkan, dengan santai memperlakukannya seperti masalah orang
lain, benar-benar menurunkan kewaspadaanku.
“Ya,
ya! Boleh aku memberi rekomendasi!?”
Sebuah
tangan yang tidak menyenangkan terangkat.
Tentu
saja itu milik Mary-san.
“Untuk
peran Si Pemburu... aku mau mencalonkan Koutaro!”
...Yang
benar saja.
Pernyataan
tak terduga itu mengirimkan gelombang gumaman ke seluruh kelas.
“Koutaro...? Maksudmu
Nakayama?”
“Eh,
tidak mungkin...”
“Bukannya itu... agak
aneh?"
Semua
orang tampak kebingungan—sebenarnya, akulah yang
paling bingung.
Jujur
saja. Aku tidak mungkin bisa melakukan itu.
Sayangnya,
peran utama tidak cocok untukku.
Semua
orang tampaknya menganggapku terlalu biasa untuk
berperan sebagai pemburu.
“Haha!
Mary, jangan bercanda lagi!”
Dibareing dengan tawa Ryoma
yang bergema di seluruh kelas, saran Mary-san dengan cepat ditepis sebagai
lelucon oleh seluruh kelas.
Dia
mungkin menyuruhku berperan sebagai pemburu dalam skenarionya.
“Aku
tidak bercanda! Kotaro juga bisa!”
Dia
mencoba merekomendasikanku dengan serius, tetapi pada titik ini, tidak seorang
pun benar-benar mendengarkan.
“Hei,
hei, Nakayama! Peran itu tidak cocok untukmu. Kalau kau mau, mungkin aku yang
akan melakukannya?"
Hanagishi
yang duduk di depanku, berbalik dan tersenyum saat berbicara.
Dia tidak
seeksentrik
Mary-san, tapi ia punya sifat yang ceria, dan sejujurnya, orang seperti dirinya jauh lebih cocok
untuk panggung. Aku yakin semua orang juga berpikir begitu.
“Hmm,
kalau begitu, ayo kita pilih. Angkat tanganmu untuk Nakayama-san atau
Hanagishi-san—siapa pun yang menurutmu lebih cocok."
Pada saat
itu, kesepakatannya sudah hampir selesai. Hanagishi pasti menang.
‘Jadi
kata-kata Mary-san pun tidak serta merta mempengaruhi kelas, ya.’
Kupikir
segalanya menari dalam telapak tangannya.
Dan aku
rasa segalanya benar-benar berjalan sesuai keinginannya... sampai bagian ini.
Tapi dia
terlalu melebih-lebihkan nilai karyanya. Mungkin seharusnya dia menata papannya
lebih rapi sebelum menempatkanku.
“…………”
Mary-san
pasti sudah kehabisan pilihan. Sambil masih tersenyum, dia menatap papan
tulis dalam diam.
Pada
tingkat ini, seluruh rencananya akan berantakan—sampai...
“Kalau
begitu, pertama-tama, silakan angkat tangan jika menurutmu Nakayama-san adalah
pilihan yang lebih baik.”
Saat
Nio-san mengatakan itu—
“Y-Ya!”
Sebuah
suara kecil terdengar. Namun nada yang jernih itu, seperti bunyi
lembut lonceng angin, bergema di seluruh kelas dan mencapai telinga semua
orang.
“...Hah?”
Seseorang
menyuarakan kebingungannya.
Dan itu
tidak mengherankan. Karena orang yang mengangkat tangannya... tak lain adalah
Shimotsuki Shiho.
Meski
sebelumnya dia tersentak hanya karena tatapan semua orang, tapi di sinilah dia
memberanikan dirinya.
“Menurutku...
Kotaro-kun pasti kelihatan cocok...”
Bukan
hanya mengangkat tangannya—dia bahkan sampai berbicara.
Jari-jarinya
yang terentang dan suaranya yang bergetar keduanya bergetar karena gugup…
tetapi tindakan kecil yang berani itu, seolah-olah dia telah mengumpulkan
seluruh keberanian, menyentuh hati semua orang di ruangan itu.
Mana
mungkin ada orang yang bisa melihat gadis pemalu yang mengerahkan seluruh
kemampuannya dan tidak merasakan apa pun.
Pada saat
itu, keadaan berubah.
“““──Ya”””
Beberapa
orang mengikuti langkah Shiho dan mengangkat tangan mereka. Hal itu memicu
reaksi berantai, dan tak lama kemudian, semua orang mulai mengangkat tangan
mereka satu demi satu. Bahkan Hanagishi akhirnya mengangkat tangannya... Ia
memang
orang baik. Dirinya mungkin merasa tersentuh oleh keberanian Shiho.
Jadi—sebelum
aku menyadarinya, mayoritas telah memilihku, dan akhirnya aku terpilih sebagai Si Pemburu.
Apa yang
tidak dapat Mary-san wujudkan, Shiho paksakan menjadi kenyataan.
Yang
artinya—Shiho bukanlah heroine yang gagal.
Penilaian
Mary-san jelas salah.
Karena
Shimotsuki Shiho menentang logika.
Keinginannya
memiliki kekuatan untuk menjungkirbalikkan akal sehat dan logika, dan bahkan
mengubah jalannya cerita.
Dia,
dalam arti sebenarnya, adalah heroine
utama.
...Mary-san
beruntung kali ini.
Berkat
sebuah kebetulan—Shiho yang angkat bicara—semuanya berakhir sesuai
dengan skenarionya.
Tapi aku
ragu Shiho akan ada di sana untuk menyelamatkannya lagi.
Apa
Mary-san benar-benar seorang ‘kreator’, atau hanya seorang ‘heroine pemuas penggemar’—aku akan menunggu
untuk melihatnya dengan jelas sebelum aku memutuskan untuk mengkhianatinya.
...Hah?
Akhir-akhir ini, kepalaku anehnya terasa gelisah.
Tapi itu
hanya sedikit rasa tidak nyaman. Mungkin tidak ada yang perlu dikhawatirkan──
◆◆◆◆
(Sudut Pandang Shimotsuki Shiho)
(Aku
serius mengira aku akan mati karena gugup.)
“Ba-Badanku tidak
berhenti gemetar... Mungkin aku sedikit berlebihan?”
Saat
berjalan pulang dari sekolah—
Masih
kelelahan karena melakukan sesuatu yang di luar kebiasaan, Shiho mengajak
Kotaro berjalan-jalan dengannya.
“Lihat,
Kotaro-kun. Gemetaran, gemetaran, gemetaram~”
Dia
mengangkat tangannya, masih gemetar karena ketegangan yang masih ada. Kotaro
melihatnya dan tertawa pelan.
“Kamu
benar-benar berhasil mengangkat tanganmu di sana, meskipun kamu sangat pemalu.”
“Ak-Aku
bukannya pemalu! Di
kehidupanku sebelumnya, aku kelinci, jadi aku punya rasa teritorial yang kuat...
Lihat? Telingaku berkedut! Itu buktinya aku dulunya kelinci!”
Dia
memamerkan ‘bakat’-nya yang sama sekali
tidak ada gunanya, yakni menggerakkan telinganya.
“Kamu
kelinci, ya. Kurasa itu cocok untukmu, Shiho.”
Bahkan
hal-hal konyol seperti itu membuat Kotaro tertawa, dan itu membuat Shiho
senang.
“...Maaf
karena sudah
membuatmu mengambil jalan pulang yang panjang.”
Biasanya,
Kotaro akan pulang naik bus—lebih cepat dengan cara itu. Di sisi lain, Shiho
tinggal cukup dekat sehingga dirinya bisa jalan kaki, jadi
meskipun mereka pulang bersama, mereka biasanya berpisah hanya setelah beberapa
menit.
Tetapi
hari ini, gagasan untuk sendirian langsung membuatnya takut.
(Me-Memikirkannya
saja sekarang membuatku gugup lagi…!)
Ketika dia mengangkat
tangannya di depan kelas, semua mata tertuju padanya. Pada saat itu, badai emosi
menerjang sekaligus, berubah menjadi semacam suara yang membuatnya tak kuasa
menahan diri.
Tangannya
masih gemetar karena suara itu belum sepenuhnya hilang.
Shiho
merasa bersalah karena sudah menyeret Kotaro, tetapi sampai hatinya tenang, dia tak ingin
sendirian. Itulah sebabnya dia mengajak Kotaro berjalan bersamanya.
“Shiho…
Kamu
tidak perlu memaksakan diri begitu keras, tau?”
“T-Tapi,
aku ingin melihat momen besarmu di atas panggung, Kotaro-kun. Sejujurnya,
kupikir peran Si Buruk Rupa lebih cocok untukmu, tapi entah kenapa
Ryoma-kun langsung terpilih. Hanya itu satu-satunya bagian yang kusesali.”
“Peran
sebagai Si Pemburu masih agak sulit bagiku…”
Kotaro
tidak terdengar terlalu antusias.
(Mungkin
aku hanya mengganggunya saja…)
Pemikiran cemas itu
terlintas di benaknya sejenak.
Tapi,
seperti biasa, Koutaro hanyalah “Koutaro.”
“Tidak,
kamu sudah berusaha keras merekomendasikanku, jadi aku tidak seharusnya berkata
seperti itu. Ya… terima kasih. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk memenuhi
harapanmu.”
Dia
mengerti betapa cepatnya emosinya melonjak—dan dia menerimanya.
Kemampuan
Kotaro untuk benar-benar mempertimbangkan perasaan orang lain—itulah yang
membuatnya begitu hebat.
(Ugh…
Sekarang aku gugup lagi, tapi karena alasan yang sama sekali berbeda!)
Melihat
senyum lembutnya hanya membuat jantungnya makin berdebar.
“J-Jangan
ngomongin hal keren tiba-tiba kayak gitu… Kamu malah membuatku tambah gugup!”
Untuk
menyembunyikan betapa merahnya wajahnya, dia menjulurkan tangannya yang gemetar
di depannya.
Dan
kemudian, di saat berikutnya—ia tiba-tiba menggenggam tangannya.
“Eh?
Umm, ya? Koutaro-kun, tunggu, a-apa yang terjadi?”
Shiho
sama sekali tidak dapat bereaksi terhadap gerakan mengejutkan itu.
Saat Koutaro memegang
tangannya, perasaan yang selama ini dia pendam—perasaan
cintanya —meledak keluar sekaligus. Wajahnya begitu
panas, rasanya seperti mau meledak.
Di tengah
semua itu, Koutaro tersenyum dan berkata—
“──Terima
kasih.”
Sebuah
ungkapan rasa terima kasih yang sederhana. Ternyata bukan
Shiho
saja
satu-satunya orang yang emosinya meluap.
“Terima
kasih sudah melakukan semua itu demi diriku, bahkan sampai gemetar
seperti itu… Sejujurnya, aku tidak ingin kamu memaksakan diri, tapi aku sangat
senang kamu merasakan hal yang sama untukku.”
Ia
mengakui usahanya.
Dirinya menerima kasih sayangnya.
Dan yang
terutama—Koutaro merasa senang akan hal itu.
(Aku
tidak ingin melepaskan tangannya.)
Shiho
ingin tetap seperti ini, terhubung dengannya, selamanya. Demi merasakan lebih
banyak kehangatannya… kehadirannya.
Dorongan
itu menguasai hatinya.
“...Melakukan
hal seperti itu tiba-tiba itu curang. Jantungku berdebar kencang, dan sekarang
tanganku semakin gemetar.”
Shiho berpikir dia telah mengatakan kepadanya untuk ‘terus memegangnya
seperti itu’.
“B-Benarkah?
Lalu, um…”
Mendengar
itu, Kotaro tampak bingung dan mulai melepaskan tangannya.
(Ya
ampun… ia masih ragu untuk berpegangan tangan, ya?)
Ia
mungkin berpikir seperti ini, “Apa benar-benar tidak
apa-apa jika orang sepertiku menyentuhnya?”.
Shiho
tidak akan membiarkan pemikiran merendahkan diri seperti itu. Kali
ini, dialah yang mengeratkan genggamannya dan
memegangnya erat-erat.
“Jadi—kamu
harus bertanggung
jawab, dan teruslah memegangnya sampai gemetaranku berhenti, oke?”
Shiho
mendekat, berbicara dengan nada lembut dan penuh kasih sayang.
Dan
Kotaro pun tersipu.
“Shiho,
kamu enggak adil… Aku tidak terbiasa dengan hal
seperti ini. Aku juga merasa gugup, lho.”
“Kalau begitu,
kita
berdua sama saja. Rasanya enggak adil kalau cuma aku saja yang tersipu.
Kalau kita bakalan merasa malu, ayo kita malu bersama-sama.”
Saat dia
mengatakan itu dan tersenyum padanya, Kotaro pun ikut tersenyum.
Di
sekolah, dia biasanya menunjukkan ekspresi datar, tapi saat mereka
berduaan seperti ini, dia selalu tersenyum hanya untuknya.
Hal itu
membuat Shiho merasa benar-benar mempercayainya—dan itu membuatnya bahagia.
(Suatu
hari nanti, aku berharap kita bisa berpegangan tangan secara alami, tanpa ada
yang merasa gugup…)
Sedikit
demi sedikit, mereka berdua semakin dekat.
Lajunya
masih lambat seperti biasa. Namun, selangkah demi selangkah, mereka bergerak
maju—bersama.
◆◆◆◆
(Sudut Pandang Nakayama Koutaro)
Setelah
berpegangan tangan dengan Shiho—
“Hatiku
terasa begitu puas hari ini, kurasa aku akan beristirahat di rumah
saja.”
(Jadi,
untuk pertama kalinya, dia tidak mau datang ke tempatku.)
Setelah
mengantarnya pulang, aku berencana untuk pulang sendiri… tapi karena ulahnya, aku jadi merasa
sedikit gelisah juga, jadi aku memutuskan untuk keluar dan berbelanja.
Aku
menuju ke toko buku besar di dekat stasiun.
(Baiklah,
kalau aku ingat dengan benar… itu dia.)
Aku
menemukan apa yang kucari di pojok bagian buku bergambar—sebuah buku
berilustrasi indah yang menampilkan seorang gadis anggun dan seekor binatang
buas. Judulnya Si Cantik dan Si Buruk Rupa.
Karena aku
memainkan peran sebagai Si Pemburu, kupikir aku harus mempejarinya dan membelinya.
Aku
membayar di kasir dan keluar dari toko buku, berniat untuk pulang—ketika itu
terjadi.
““…Ah””
Aku
bertabrakan dengan wajah yang kukenal.
“Wah,
tumben banget.
Rupanya
Kou-kun, toh.”
Nada
bicaranya yang santai sedikit mengejutkanku. Dia
dulu merupakan
temanku,
dia bicara pada aku seakan-akan tidak ada yang berubah di antara kami.
“Ah,
ya… Sudah lama, Kirari.”
Sudah
berapa bulan sejak terakhir kali kita berbicara?
Mungkin
sejak upacara penerimaan. Kecanggungan yang kurasakan mengingatkanku pada saat
itu.
Namun
Kirari, seperti biasa, hanya tersenyum.
“Hah?
Kita ketemu di sekolah tiap hari. Apa, kamu mulai pikun atau gimana? Nyahaha!”
Kirari
adalah gadis yang tampak mencolok, dengan rambut pirangnya yang diwarnai dan lensa kontak
berwarna giok yang serasi. Seragamnya dipakai longgar, dan dadanya
sedikit terlihat, yang sulit untuk tidak aku perhatikan.
Melihatnya
sekarang, aku tak dapat menahan diri untuk mengingat bagaimana penampilannya
yang
dulu.
Dulu sewaktu SMP,
rambutnya hitam. Rambutnya diikat sanggul di atas kepala dan berkacamata.
Seragamnya selalu rapi. Penampilannya sopan dan sederhana—yang sekarang sudah
tidak pernah muncul lagi.
Jadi
sulit untuk melihat Kirari di masa lalu dan Kirari di masa sekarang sebagai
orang yang sama.
Semasa SMP,
dia selalu sendirian.
Dia
menghabiskan waktunya dengan membaca novel dan novel ringan di sekolah dan
hampir tidak berbicara dengan siapa pun.
Namun
suatu hari, saat pelajaran bahasa Jepang, kami diberi tugas untuk ‘membaca buku yang
direkomendasikan oleh pasanganmu’. Kebetulan, aku
akhirnya dipasangkan dengan Kirari.
Itulah
awal persahabatan kami.
“Yang
ini bagus banget, lho? Ceritanya tentang cowok biasa yang dikerumuni gadis-gadis—tipemu banget.”
“Mau
baca yang ini selanjutnya? Ada cowok biasa lagi yang pergi ke dunia lain dan
jadi jagoan banget.”
“Coba
yang ini juga. Ini komedi romantis tentang cowok biasa dan gadis biasa yang cuma
saling bermesraan terus.”
Kupikir
dia tidak benar-benar menginginkan seorang teman. Mungkin
dia hanya ingin seseorang untuk diajak bicara tentang cerita yang disukainya.
Aku tidak
punya banyak kepribadian saat itu—aku hanya melakukan apa yang diperintahkan—tapi
mungkin itulah mengapa aku cocok untuknya. Dia membuatku membaca berbagai macam
buku. Aku belajar, aku mengerti. Aku mendengarkan teori dan reaksinya,
mengangguk setuju, dan terkadang bahkan berdebat dengannya.
Berkat dirinya, aku jadi tahu
struktur cerita. Mungkin itu sebabnya aku mulai melihat dunia nyata seolah-olah
itu bagian dari sebuah narasi juga.
Alasanku
punya cara berpikir seperti ‘narator’ sekarang sebagian
besar karena Kirari. Begitulah istimewanya dia bagiku sewaktu SMP dulu.
Aku suka
cara berbicaranya.
Suaranya
tidak memiliki ciri khas tertentu, tetapi lembut dan tenang. Aku bisa
mendengarkannya selamanya.
Aku
menyukai gaya rambutnya.
Rambut
hitamnya diikat sanggul, dan hanya melihat siluetnya dari jauh saja sudah cukup
untuk mengenalinya. Itu sangat membantu.
Aku suka
kacamatanya.
Kacamatanya
selalu bergeser sedikit—mungkin terlalu besar—dan dia terus-menerus
mendorongnya kembali. Aku masih ingat betapa menggemaskannya gerakan itu.
Aku juga
menyukai kepribadiannya.
Dia tidak
butuh orang lain untuk mendefinisikan dirinya—dia punya jati diri yang kuat.
Aku sangat mengaguminya.
Namun
kemudian, dia bertemu Ryuzaki Ryoma di upacara penerimaan siswa baru SMA… dan
membunuh dirinya yang dulu.
“Kou-kun,
maafkan aku, oke? Aku sudah jatuh cinta pada seseorang. Aku akan melakukan apa
pun supaya dia menyukaiku... Bahkan jika itu berarti
membunuh diriku yang dulu, aku ingin menjadi 'aku' yang akan membuatnya jatuh
cinta.”
Dia
menanggapi komentar asal-asalan Ryuzaki tentang ‘menyukai nuansa
asing’ dengan serius, mewarnai rambut hitamnya yang indah menjadi
pirang, mengubah cara bicaranya, mengubah kepribadiannya—semuanya hanya demi menjadi tipe
gadis yang mungkin menarik bagi Ryuzaki.
Dan
karena itu, Asakura Kirari yang kucintai… menghilang.
Kirari…
apa kamu benar-benar baik-baik saja dengan itu?
Bahkan
jika Ryuzaki akhirnya menyukai versi dirinya saat ini—
Apa itu
benar-benar artinya—bagi Kirari untuk dicintai?
Melihat
Kirari yang telah kehilangan jati dirinya sepenuhnya membuatku sangat sedih.
“Ehm… sampai jumpa
besok, kurasa.”
Aku tidak
dapat terus menerus memandang dirinya yang sekarang. Aku
berbalik hendak pergi, tetapi dia memanggilku dan menghentikanku.
“Ehh?
Kamu sudah mau pergi~? Jangan mengatakan sesuatu yang kesepian begitu dong—kita kan sudah
berteman sejak SMP, ingat?”
Yang
lebih parahnya lagi, dia dengan santai melingkarkan lengannya di bahuku.
...Aku
terkejut. Rupanya, di mata Kirari, aku masih termasuk kategori ‘teman’. Kalau memang
begitu, berarti kami hampir tidak pernah ngobrol sama sekali semester lalu.
Namun, aku
tidak lagi punya tenaga untuk marah padanya. Jadi aku bisa
menanggapinya seperti biasa, dengan tenang.
“Ya.
Kurasa kita sudah saling kenal sejak SMP.”
“Rasanya
nostalgia… Bukankah kita sering ngobrol waktu itu? Seperti waktu kita baca
novel ringan bareng~. Kalau dipikir-pikir lagi, rasanya agak memalukan.”
“...Kurasa
itu bukan sesuatu yang memalukan. Kamu sudah tidak membaca lagi?”
“Tentu
saja tidak~. Aku sekarang jadi gyaru! Membaca novel ringan itu, kayaknya,
benar-benar nggak lazim, ‘kan~? Maksudku, aku hampir nggak baca apa-apa lagi~.”
“Lalu
kenapa kamu ada di toko buku?”
Begitu
aku bertanya, senyum Kirari seketika memudar.
“...Benar. Kira-kira
kenapa,
ya?”
Tampaknya
bahkan dia sendiri tidak mengerti. Ekspresi di wajahnya…
menyakitkan untuk dilihat.
“...Oh iya, Si Cantik dan Si Buruk Rupa, ‘kan? Benar, kamu
sedang berperan sebagai pemburu, kan, Kou-kun? Kamu sedang belajar?
Wah, kamu cukup bertanggung jawab~.”
Dia begitu terang-terangan
mengganti topik pembicaraan dan terus berbicara.
“Itu bukan hal yang istimewa. Kamu masih ada urusan lain? Aku baru saja
mau pulang.”
“H-Hei,
tunggu! Sebentar lagi ya... Ah, aku tahu! Rekomendasikan aku buku atau apalah.
Dulu kamu baca semua yang kusarankan, kan? Aku akan membeli sesuatu kemudian
kita bisa
mengobrol
lagi kayak dulu!”
Cara dia
melekat padaku dengan kata-kata itu.
Semuanya
itu—aku
sudah tidak tahan melihatnya lagi.
Tidak, aku
hanya tidak ingin menerimanya.
Aku tidak
ingin melihat Kirari seperti ini.
“──Jangan
manja.”
Kata-kata
itu terucap sebelum aku sempat menghentikannya.
Karena
itu menyakitkan.
“Jangan
mengibaskan ekormu pada orang sepertiku. Jangan tunjukkan wajah memelas itu,
sikap lemah itu, ketidakberdayaan itu.”
Kirari
yang aku kenal dulu begitu bermartabat, begitu keren.
Sekarang,
dia begitu rapuh sehingga dia tidak mampu berdiri sendiri lagi.
“Hanya
karena hubunganmu dengan Ryuzaki tidak berjalan baik... sekarang kamu mulai bergantung
padaku?”
Setelah
pertengkarannya dengan Azusa, hubungan antara dirinya dan Ryuzaki
pasti menjadi tegang.
Biasanya,
Kirari akan pergi ke rumah Ryuzaki sepulang sekolah. Tapi hari ini tidak.
Mungkin dia tidak tahan sendirian di rumah, jadi dia berkeliaran di luar...
lalu bertemu denganku. Teringat masa lalu. Dan berpikir— mungkin
dia bisa mengisi kekosongan itu.
Jika itulah yang ada di
pikirannya, maka dia benar-benar menyedihkan.
“Kirari,
kamu berubah. Tidak— kamu sudah berubah. Dan dirimu
yang sekarang... aku...!”
Aku
merasa sangat kecewa.
Namun
saat aku menatap wajahnya—sungguh memilukan—aku tak sanggup
menyelesaikan kalimat itu.
“──”
Karena
dia terlihat sangat sedih.
Kamu bahkan tidak
akan membantah?
Kirari
yang dulu kukenal pasti akan berkomentar. Dia pasti akan membalas sikap sok
benarku tanpa ragu. Tetapi setelah mengubah dirinya, dia
kehilangan kekuatan itu.
“...Maaf.
Aku bertindak terlalu jauh.”
Dia sudah
terluka—aku tidak sanggup menyakitinya lebih jauh lagi.
“Ti-Tidak, tidak
apa-apa. Se-Seriusan... aku tidak... terganggu, atau apa pun."
...Tidak.
Ini tidak baik-baik saja.
“Ngomong-ngomong,
aku mau pulang. Maaf.”
Aku
meminta maaf sekali lagi dan segera pergi. Kirari mungkin
sedang mengawasiku saat aku pergi. Tetapi aku tidak sanggup
menatapnya lagi.
◇◇◇◇
──Dia
tidak bermaksud membuatnya marah.
Dia
cuma... ingin ngobrol sebentar. Seperti dulu.
“Haa…”
Sambil
mendesah, Kirari duduk di bangku istirahat dekat toko buku.
(Apa
Kou-kun juga membenciku sekarang…?)
Sudah
lama sekali sejak terakhir kali dia berbicara dengan seorang
teman dari masa SMP-nya.
Saat tak
sengaja bertemu dengannya di toko buku, Kirari sempat berpikir, “Mungkin ini takdir!?” —dan dia pun menaruh
harapan. Namun, bahkan saat dia berbicara dengannya, ia tetap bersikap
dingin sepanjang waktu.
Ia
bahkan tak mau menatap matanya. Dan akhirnya, Koutaro malah
membentaknya: “Jangan manja.”
“Aku
yang berubah? Tidak... Kou-kun yang berubah.”
Mengingat
kata-katanya, dia perlahan menggelengkan kepalanya.
Dulu sewaktu SMP, Koutaro tidak banyak
berekspresi, jarang bicara, sama sekali tidak bisa dibaca... dia tidak pernah tahu
apa yang sedang dipikirkannya.
Koutaro
akan merespons jika diajak bicara, dan bereaksi jika terjadi sesuatu, tetapi
jika dibiarkan sendiri, dia akan diam saja. Seperti robot.
Namun
kemudian di SMA—atau lebih tepatnya, setelah dirinya dekat dengan
seorang gadis—Koutaro berubah.
(Shimotsuki
Shiho-lah yang mengubah Kou-kun…)
Selama
perjalanan sekolah, dia tidak dapat mempercayai matanya.
Koutaro…
kelihatan keren.
Kirari
tak bisa menyangkalnya. Melihatnya berhadapan dengan Ryoma, berjuang
mati-matian melindungi seorang gadis—bohong rasanya kalau dia bilang tak
tersentuh.
(...Aku
tak pernah membayangkan ia akan menjadi seseorang yang begitu keren.)
Dan di
saat yang sama, penyesalan pun melandanya.
Dia
menyesal—sedikit saja—telah jatuh cinta pada Ryoma, yang tak pernah sekalipun
memperhatikannya, sekeras apa pun dia berusaha.
(Shiho
memang luar biasa. Meskipun Ryuu-kun mencintainya, dia tetap memilih Kou-kun.
Dan dia mengubahnya... sementara aku tidak bisa mengubah apa pun.)
Tanpa
sadar, dia memeluk dirinya sendiri. Sambil menahan tubuhnya
yang gemetar dengan kedua lengannya, dia bergumam lirih.
“Apa
aku… tidak cukup baik?”
Shiho
diterima, tapi Kirari ditolak… Rasanya sangat tidak adil.
(Aku
bahkan tak perlu jadi nomor satu. Aku tak masalah jadi pengganti. Jika itu
berarti dicintai, aku akan mengubah diriku sendiri berapa kali pun dibutuhkan.
Jadi kenapa tak ada yang mau melihatku?)
──Dia
hanya ingin dicintai.
Itu saja.
Hanya itu saja yang diinginkannya.
Jadi
mengapa... mengapa tidak ada seorang pun yang menerima perasaan itu?
“Apa
yang harus kulakukan? 'Aku yang sekarang' tidak cukup baik... jadi aku
harus menjadi siapa?”
Tetapi
tidak seorang pun dapat menjawabnya.
Suaranya
yang putus asa menghilang, tak terdengar oleh siapa pun—menghilang di udara.
