
Chapter 4 — Tipe yang Tidak Disukai Masing-Masing Orang
Amane
memiliki pacar yang bernama Mahiru, tapi bukannya berarti dirinya selalu menghabiskan
seluruh waktunya dengan Mahiru.
Mahiru juga
pasti memiliki urusannya sendiri dan memiliki hubungan sosialnya sendiri. Hal
ini juga berlaku untuk Amane; pada hari-hari tanpa kerja paruh waktu, mereka
sering pulang bersama, tapi itu tidak terjadi setiap kali. Hari ini adalah hari
tanpa adanya kerja paruh waktu, dan Amane berencana untuk bermain bersama
Itsuki dan Yuuta sepulang sekolah.
Walau
demikian, mereka tidak bisa menghabiskan terlalu banyak uang untuk
bersenang-senang, dan karena waktunya sehabis sekolah, mereka juga tidak bisa
bermain terlalu lama. Oleh karena itu, mereka sering pergi ke karaoke, di mana
mereka bisa mendapatkan tempat yang nyaman dan minuman dengan harga tetap tanpa
gangguan dari orang lain. Meskipun disebut berkaraoke, tujuan mereka lebih
kepada mengobrol santai daripada bernyanyi, jadi setelah beberapa lagu
dinyanyikan, mereka mengadakan pertemuan untuk saling memberi kabar.
Meskipun
disebut sebagai memberi kabar terkini, karena mereka berada di sekolah dan
kelas yang sama, topik besar biasanya terulang, jadi mereka sering membicarakan
hal-hal yang cukup sepele atau berbagi tentang apa yang sedang mereka sukai
saat ini, dengan percakapan yang cukup santai.
“Oh ya, sewaktu
ketika jalan-jalan dengan Yuuta, ia benar-benar didekati oleh banyak cewek, dan
itu benar-benar membuatku sadar betapa populernya Yuuta.”
Topik hari
ini tampaknya dimulai dari kejadian saat mereka pergi baru-baru ini, dan Itsuki
mengangguk sambil menyilangkan tangan, “Wah, waktu itu luar biasa banget.”
Dengan
wajah, postur, dan suara yang baik, ditambah lagi cerdas dan memiliki kepribadian
yang tenang serta jujur, tidak mengherankan jika Yuuta menarik perhatian banyak
orang, dan Amane pun mengangguk setuju. Namun, Yuuta tampaknya tidak terlalu
senang dengan perhatian tersebut.
“Sejujurnya,
aku tidak merasa senang meskipun banyak yang menyukaiku.”
“Kalau
cowok-cowok lain mendengarnya, mereka pasti akan mencengkeram bahumu dan
mengutukmu sambil menangis darah.”
Mungkin itu
masalah yang cukup merepotkan bagi mereka yang populer, tetapi jika para cowok
yang tidak memiliki hubungan dengan lawan jenis mendengar ini, mereka mungkin
akan merasa iri, ata bahkan membencinya. Mungkin karena mereka berada di ruang
pribadi tanpa telinga atau mata orang lain, jadi mereka bisa mengatakan hal-hal
seperti ini, meskipun kata-kata tersebut memiliki dampak yang serius.
“Jadi,
keinginan untuk disukai itu, pasti ada perasaan ingin dipuja oleh gadis-gadis
atau pada akhirnya, berharap bisa menjalin hubungan fisik, kan? Aku tidak
memiliki perasaan seperti itu, jadi yah....”
“Itu juga
bisa diperdebatkan.”
“Aku tidak
ingin mendengar hal itu dari Fujimiya.”
“Ada
benarnya juga.”
“Oi!”
Amane
menatap tajam pada kedua orang yang entah mengapa tiba-tiba menyerangnya, tapi
tidak ada tanda-tanda bahwa mereka terpengaruh.
“Yah,
Fujimiya juga tipe cuek, iya ;kan? Kamu bukannya mau disukai banyak gadis, tapi
lebih ingin berpacaran dengan orang yang disukai.”
“... Itu
benar, sih.”
“Aku tidak
ingin mengundang perhatian banyak orang. Menjadi populer itu tidak selalu baik,
karena bukan hanya gadis-gadis, tapi juga masalah-masalah aneh yang datang
menyertainya. Kerugian lebih banyak daripada keuntungan, seriusan.”
Pandangan
mata Yuuta yang memandang kejauhan seolah-olah menyiratkan bahwa dirinya sudah
mengalami banyak kesulitan yang tidak bisa dipahami Amane, hanya membuat Amane
bisa mengirimkan tatapan penuh empati, seolah mengatakan bahwa Yuuta
benar-benar telah berjuang keras.
“Ngomong-ngomong,
apa kamu benar-benar senang kalau banyak yang mengajak bicara?”
“Mau dengar
pendapat umum atau pandangan pribadi kita?”
“Pendapat
umum. Kalian punya pasangan masing-masing, jadi pasti jawabannya tidak senang.”
“Kalau
begitu, sebagai pendapat umum, meskipun tergantung orangnya, kurasa banyak
orang pasti merasa senang. Bagi mereka yang ingin populer, hal tersebut pasti
menyenangkan. Setidaknya, jika mereka diperhatikan oleh gadis-gadis, itu
berarti mereka memiliki nilai di mata lawan jenis, dan itu bisa menjadi bukti kepercayaan
diri dan kebanggaan. Jika itu berkembang menjadi hubungan pribadi, itu pasti menjadi
kemenangan besar.”
“Aku sih
kurang menyukai suasana yang terlalu ringan seperti itu…”
“Yah, kamu
memang tidak pernah merasa senang dengan itu, Yuuta.”
“Tentu saja
aku sangat menghargai jika ada yang menyukaiku. Tapi, entah kenapa... jika ada
yang terlalu maksa mendekat, aku jadi mundur. Rasanya lebih kuat untuk tidak
ingin diganggu saat aku sedang bersenang-senang. Jadi, aku termasuk tipe yang
tidak suka dengan hal-hal seperti itu.”
“Di sini,
tidak suka tetapi merasa tidak nyaman adalah bentuk kebaikan, ya.”
Jika
mempertimbangkan semua kejadian yang telah dialami Yuuta, rasanya tidak
mengherankan jika dirinya membenci tipe orang yang terlalu memaksa, tapi ia
tetap menyebutnya “tidak suka” karena sifatnya yang begitu pengertian
dan lembut.
“Aku tidak
bisa membayangkan Yuuta yang mengatakan bahwa da membenci seseorang.”
“Setuju.”
“Kalau
menurutku, itu juga berlaku untukmu.”
“Aku?”
Tiba-tiba
arah pembicaraan berubah, dan Amane menyipitkan mata dengan curiga, tetapi
Itsuki juga membalas dengan tatapan yang sama.
“Lagian juga,
apa kamu punya tipe yang tidak kamu sukai, Amane?”
“Apa maksudnya?”
“Maksudku,
dalam konteks hubungan manusia tanpa memandang jenis kelamin. Sepertinya kamu
tidak sering mengungkapkan kebencian, ‘kan? Apa ada yang benar-benar kamu benci
atau tidak sukai?”
“Memangnya
aku dianggap bagaimana sih…”
Kedengarannya
seperti pertanyaan yang ditujukkan untuk robot atau semacamnya.
Amane
sebenarnya tidak memiliki perubahan emosi yang ekstrem, tapi dirinya juga
memiliki preferensi dan perasaan senang atau tidak senang. Hanya saja, apa dirinya
akan mengekspresikannya atau tidak merupakan dua hal yang berbeda.
“Ah, tapi
aku mengerti. Fujimiya tuh rasanya seperti memiliki batasan yang jelas. Ia
tidak tertarik pada hal-hal tertentu dan tidak ikut campur dalam hal-hal yang
bukan urusannya. Ia menganggap ‘itu di sana, ini di sini’.”
“Ya, selama
itu tidak berhubungan denganku, aku merasa tidal perlu untuk mengekspresikan
emosiku.”
“Iya sih,
makanya aku penasara, apa ada tipe orang yang kamu benci sampai-sampai
melampaui batasan itu?”
Amane
berpikir tentang seseorang yang benar-benar dibencinya.
“... Orang
yang mengganggu orang lain, mungkin?”
“Menurutku,
itu berlaku untuk semua orang. Justru sebaliknya, memangnya ada orang yang
benar-benar menyukai orang yang seperti itu?”
“Kurasa ada
cukup banyak orang yang menyukai pembuat masalah.”
“Mungkin
orang yang disukai adalah orang yang bisa meminta maaf… Seseorang yang hanya
mengacau tanpa rasa bersalah dan tidak mau bertanggung jawab, rasanya tidak
mungkin untuk disukai. Kecuali mereka membawa keuntungan besar meskipun sering
membuat masalah, atau mungkin hanya ada dalam fiksi.”
Chitose
memang memiliki sedikit sifat pembuat masalah, tetapi biasanya hanya hal-hal
kecil yang dia lakukan, dan jika dia melakukan kesalahan, dia akan segera
meminta maaf dan berusaha memperbaiki keadaan. Sifat ceroboh dan ketulusan
seperti itu dianggap baik, dan karena dia memiliki daya tarik, Amane bisa
memaafkan sedikit gangguan dengan mudah.
Entah
kenapa, saat melihat Chitose, dirinya berpikir bahwa cara seseorang menangani
pemulihan atau sikap mereka saat terjadi suatu insiden sangat berarti.
“Amane, apa
kamu tidak pernah merasa seperti ‘aku benci pada orang ini’?”
Pertanyaan
yang sedikit mengejutkan ditujukan pada Amane yang tampaknya tidak terlalu
paham, dan dirinya merenungkan kata “benci” dalam pikirannya.
Amane jarang
merasakan ketidaknyamanan atau penolakan yang kuat terhadap orang lain. Dalam kehidupannya
sejauh ini, satu-satunya penyebab yang membuatnya merasa demikian adalah Toujo.
(Tapi, bukannya
berarti aku membenci orang itu…)
Memang saat
itu dirinya merasa sangat kecewa, sakit hati, dan sedih. Perasaan cemas dan
ketakutan yang kuat seolah membungkusku dalam kegelapan, membuat tubuhnya
tegang dan terikat. Amane telah bertanya pada dirinya sendiri berkali-kali.
Tapi jika dirinya
harus memberi nama pada apa yang dirasakannya terhadap Toujo saat itu, itu
bukan kebencian atau rasa jijik.
“...
Daripada membencinya, kurasa lebih tepatnya aku merasa tidak suka dengan apa
yang sudah dilakukannya, dan itu membuatku sangat sedih. Tidak ada rasa jijik
atau apapun.”
Mungkin
hatinya akan merasa sedikit lebih lega jika Amane benar-benar bisa membenci
atau merasa dendam padanya. Namun, apa yang dirasakannya saat itu, meskipun
sulit untuk diungkapkan, ialah penghinaan dan kesedihan yang mendalam.
Dikhianati
oleh seseorang yang ia percayai, dimanfaatkan, dan diolok-olok benar-benar
membuatnya frustrasi, sedih, dan menyakitkan.
Namun, alasan
mengapa ia tidak jelas-jelas merasa benci mungkin karena Amane secara tidak
sadar menolak untuk mengarahkan perasaannya lebih lanjut terhadap Toujo.
“Hmm.
Bagaimana perasaanmu tentangnya sekarang?"
“Aku tidak
peduli.”
“Oh, tegas
sekali.”
“Ah, tidak,
jika aku bilang tidak peduli, itu bisa disalahartikan. Karena ia bukanlah orang
yang akan berhubungan denganku lagi, entah dirinya bahagia atau tidak di masa
depan, itu sudah tidak ada hubungannya lagi denganku. Aku hanya berharap dia
bisa menjalani hidupnya sendiri selama dirinya tidak mengganggu orang lain.”
Hubungannya
dengan Toujo sudah putus. Setidaknya, dari sudut pandang Amane.
Dirinya
berencana untuk melanjutkan pendidikan dan pekerjaan di sini, dan selama tidak
kembali ke kampung halamannya, kemungkinan besar dirinya takkan bertemu Toujo
lagi. Jika Toujo tidak memiliki alasan untuk datang ke sini, mereka tidak akan
bertemu sama sekali. Dan ia mungkin tidak akan menganggap siapa pun di
sekitarnya pantas untuk diperjuangkan..
Amane
benar-benar tidak peduli apa yang terjadi pada orang yang tidak berhubungan
dengannya di luar kendalinya. Jika seandainya Toujo muncul di hadapannya,
mungkin dirinya akan memiliki beberapa pendapat, tapi hanya sekedar itu saja.
(Sebenarnya,
tidak ada yang perlu kupikirkan lagi tentang hal itu. Lagipula, ia sudah
menjadi orang asing bagiku.)
Ini bukan
sekadar berpura-pura, Amane benar-benar merasa demikian.
Perasaan ini
bisa muncul berkat pertemuannya ketika pulang ke rumah orang tuanya selama
musim panas. Amane bisa mengatasi apa yang terjadi saat itu karena ia bisa
berbicara langsung dengannya. Jika tidak ada kesempatan itu, mungkin perasaan
tidak nyaman masih tersisa hingga sekarang.
“Aku hanya
ingin bilang, aku merasa bersyukur. Ia sudah membantuku untuk datang ke sini,
dan sekarang aku merasa bahagia. Meskipun ada hal yang kupikirkan tentang apa
yang terjadi, tidak ada perasaan negatif yang menyertainya. Rasanya seperti,
aku benar-benar tidak tertarik.”
“Apa aku
telah menyentuh sesuatu yang seharusnya tidak kusentuh?”
“Itsuki,
kamu memang parah banget.”
“Kenapa
begitu?!”
Mereka
berdua yang dengan sengaja mengubah pembicaraan serius menjadi lelucon membuat
Amane merasa terhibur dan tertawa, sambil mengibaskan tangan untuk mengusir
kekhawatiran yang menimpa mereka.
“Tidak, aku
benar-benar tidak merasakan apa pun saat ini. Sekarang aku merasa cukup puas
dan berpikir bahwa datang ke sini adalah keputusan yang baik.”
“Dan kamu
juga bertemu dengan orang yang paling kamu cintai?”
“Ya, benar.”
Pada
akhirnya, berkat insiden dengan Toujo, Amane bisa bertemu dan menjalin hubungan
dengan Mahiru, jadi mungkin seharusnya dirinya mengadakan festival besar
sebagai ungkapan terima kasih. Namun, jika Toujo mendengarnya, dia mungkin akan
marah, jadi Amane tidak mengatakannya keras-keras. Namun, dirinya memang
bersyukur. Hanya sebatas itu meskipun dirinya tidak ada niat untuk membalas
budi.
“... Kamu
bisa mengangguk di situ, itu menunjukkan betapa beraninya kamu.”
“Menurutku
Fujimiya adalah orang yang jujur selama Itsuki tidak meledeknya.”
“Tapi kalau
aku tidak mengolok-oloknya, anak ini mungkin akan terus membanggakan
hubungannya dengan Shiina-san.”
“Hal itu
mungkin ada benarnya.”
“Tidak ada
benarnya.”
Ketika ia
mendesak mereka tentang apa yang sedang mereka bicarakan, mereka hanya
terang-terangan memalingkan muka, jadi Amane menghela napas dalam-dalam dan menyegarkan
mulutnya dengan segelas soda melonnya.
“Jadi, intinya,
kamu benar-benar tidak memiliki tipe yang kamu benci?”
“Tidak,
karena orang-orang di sekitarku umumnya baik, jadi tidak ada yang benar-benar
kubenci.”
“Ya ampun,
kamu terus-menerus memujiku, aku jadi malu nih.”
“Uwahh menjengkelkan
banget.”
“Kejam
banget oi.”
Sambil mengarahkan
tatapan datar kepada Itsuki yang menggeliat dan sengaja memegangi pipinya
dengan kedua tangan, Amane sekali lagi memikirkan tipe orang yang tidak disukainya.
Pada umumnya,
Amane tidak terlalu peduli jika mereka tidak ada di dekatnya, tetapi ada juga
orang yang hanya dengan melihatnya saja sudah membuatnya merasa tidak suka.
Jika dipikir-pikir, satu-satunya alasan dirinya tidak menyukai seseorang selain
aktivitas kriminal.
“Yah,
meskipun tidak ada orang semacam itu di sekitarku, tapi ada tipe orang yang
benar-benar tidak bisa kuterima.”
“Hoo~hoo~. Kira-kira
orang yang seperti apa?”
“Orang yang
menjadikan tujuan hidupnya dengan merusak hubungan orang lain dan merenggutnya.”
“Ah.”
Amane pernah
membicarakan hal serupa dengan Mahiru, tapi dirinya memang tidak suka dengan
orang yang memiliki niat jelas untuk merebut sesuatu dari orang lain dan
mendekati mereka dengan cara itu.
“Secara
logis dan etis, itu tidak bisa diterima. Aku ingin mereka menjauh dariku, dan
jika mereka mendekatiku dan menunjukkan tanda-tanda itu, aku pasti akan
berusaha menyingkirkan mereka dari lingkaran pertemananku.”
Amane
sendiri sadar bahwa ia mungkin sedikit terobsesi kebersihan, tetapi ia tetap
merasakan perasaan jijik yang tak tertahankan.
Kejadian
serupa terjadi di dekat rumah orang tuanya, dan sepasang suami istri akhirnya
berpisah. Amane yang saat itu masih duduk di bangku SD, dibuat terkejut saat
mendengar kabar itu.
Pada akhirnya,
si suami yang berpaling dari istrinya pergi meninggalkan kota itu, tapi
tampaknya selingkuhannya kehilangan minat dan membuangnya begitu saja, yang
mengakibatkan kehancuran sebuah keluarga.
Tentu saja,
tampaknya mereka telah mengajukan tuntutan untuk uang kompensasi dan biaya
pengasuhan dengan benar, tapi itu masih menjadi beban yang sangat berat bagi
seorang ibu yang masih mengurus anak kecil. Amane masih mengingat bagaimana
Shihoko dan tetangga-tetangga lainnya sangat peduli dan memperhatikan situasi
tersebut. Ngomong-ngomong, sekarang anak dari kejadian itu sudah menjadi siswa SD,
dan menurut Ibunya, anak itu tampaknya tidak mengingat sedikit pun tentang
ayahnya dan terlihat baik-baik saja.
Mungkin karena
ada kejadian seperti itu di sekitarnya, atau karena orang tuamua terlalu
harmonis sehingga dirinya menganggap itu sebagai standar sejak kecil, atau
mungkin karena sifat perfeksionis yang berlebihan di masa remaja, yang jelas, Amane
mulai merasa jijik terhadap orang-orang yang tidak jujur seperti itu.
“Ya, tentu
saja kamu ingin mengusir mereka sebelum terjadi apa-apa... Tidak, kurasa Shiina-san
tidak akan tergoda.”
“Aku yakin
dia tidak akan tergoda, dan aku tidak khawatir tentang itu, tetapi baik Mahiru
maupun aku tidak ingin membuat kami merasa tidak nyaman satu sama lain, jadi
jika kami bisa menghilangkan penyebabnya, kami akan melakukannya. Aku tidak
suka jika waktu dan perhatian ku teralihkan. Aku yakin kalau Mahiru takkan
berpaling pada orang lain.”
Amane yakin
bahwa Mahiru takkan berpaling dengan orang lain, atau lebih tepatnya, dirinya
meyakini begitu. Namun, terlepas dari itu, jika perwujudan ketidakjujuran
seperti itu mendekati mereka berdua, itu akan membuat stres dan mengganggu,
jadi Amane hanya ingin menyingkirkan mereka dari pandangannya sebelum sampai
pada titik itu.
“Wah, kamu lagi-lagi
memamerkan kemesraanmu.”
“Aku
bukannya sedang pamer atau semacamnya, karena faktanya memang demikian. Aku
sudah berusaha dengan baik.”
“Bagian yang
tidak bohong dan tidak merayu itulah yang membuatnya terlihat khas Fujimiya
banget.”
Amane tidak
berniat bersikap santai atau merasa bangga karena disukai, tetapi kenyataannya dirinya
memang disukai, dan ia selalu berusaha untuk membuat Mahiru tetap menyukainya
dengan banyak usaha, perhatian, dan rasa syukur.
Amame tidak
menganggap disukai sebagai hal yang biasa, ia menghargainya dan menunjukkan
dengan kata-kata serta sikapnya, dan tidak menganggap usaha untuk menghabiskan
waktu bersama dengan nyaman sebagai beban.
Dirinya bisa
mengatakannya tanpa rasa malu, dan Itsuki serta Yuuta saling memandang dan
mengangkat bahu.
“Bagaimana
dengan Kadowaki yang cukup ramah kepada semua orang? Dari sudut pandangku, jarang
sekali ada orang yang dibenci Kadowaki.”
“Aku? Tentu
saja aku juga punya tipe orang yang tidak kusuka.”
“Eh, Yuuta
juga? Rasanya mengejutkan.”
Itsuki yang
sudah dekat sejak masa SMP tampaknya tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya
dengan mata yang terbuka lebar.
“Kalian
berdua mengira aku ini siapa... Aku juga manusia, jadi pasti ada yang kusuka
dan tidak suka.”
“Tapi aku
belum pernah melihatmu bersikap seperti itu. Setidaknya, aku tidak tahu siapa
yang kamu maksud.”
“... Ah,
tidak.”
“Eh, kenapa
kamu ragu-ragu?”
“... Bukan
berarti Itsuki tidak mengenalnya, dan jika dibilang ada orang yang aku benci,
memang ada, tapi lebih tepatnya ada atau pernah ada, dan, entahlah, aku tidak
ingin mengatakannya.”
“Jangan-jangan
yang dimaksud itu... aku!?”
“Ya
enggaklah. Kalau begitu, kita tidak akan bermain dan mengobrol seperti ini.”
“Aku
merasakan cinta dari Yuuta. Ah, aku jadi malu.”
Bisa
kelihatan jelas kalau Yuuta merasa kesal dari cara alisnya berkerut, tetapi dirinya
segera beralih menjadi senyuman masam sambil mengaduk kopi di cangkirnya dengan
sendok.
Tindakannya
terlihat seperti dirinya merasa ragu-ragu untuk berbicara karena apa yang ia
katakan sebelumnya, tetapi sepertinya ia tidak terlalu keberatan. Malahan, ia
tampak mengkhawatirkan Itsuki.
“Bukan
begitu. Ingat, senior yang itu dari masa SMP.”
“... Ah,
orang yang itu ya.”
Amane tidak
tahu siapa yang dimaksud dengan ‘senior itu’, tetapi Itsuki tampaknya
langsung mengerti dan wajahnya langsung berubah muram.
“Bagiku, Itsuki
dan Shirakawa-san adalah teman baikku. Tentu saja aku tidak senang mengenai
kejadian itu, dan sebagai seorang atlet, itu sangat tidak bisa diterima. Aku
tidak akan memaafkannya. Sebagai manusia dan sebagai seorang atlet, perbuatan
mereka sudah di luar batas. Aku ingin mereka mulai dengan membangun mental yang
sehat.”
“Begitu ya, benar
juga.”
“Apa ini
sesuatu yang boleh kudengar? Aku sudah sedikit bertanya pada Itsuki
sebelumnya.”
Meskipun dia
tahu gambaran umumnya, sifat orang yang disebut senior itu dan apa yang
dipikirkan oleh para pihak yang terlibat hanya bisa diketahui oleh mereka sendiri,
jadi bagi Amane yang berada di luar situasi tersebut, dirinya merasa ragu apa seharusnya
ia mendengarnya.
Ketika Amane
menatap mereka apa dirinya harus pindah, Itsuki dan Yuuta menggelengkan kepala.
“Kurasa tidak
ada yang perlu disembunyikan sekarang. Tapi kurasa itu pasti masalah yang cukup
besar dari sudut pandang orang lain.”
“Ngomong-ngomong,
apa senior yang dimaksud itu ada di sekolah kita?”
“Tidak ada.
Aku sudah memeriksanya saat masuk sekolah dan sudah dipastikan bahwa dia pergi
ke daerah lain karena merasa tidak nyaman. Lagipula, sekolah ini mempunyai
predikat yang cukup baik, jadi jika dia mencoba masuk, kurasa dia akan tersisih
saat wawancara. Apa yang dia lakukan adalah hal yang sangat buruk, dan apalagi
itu terjadi di masa kelas tiganya.”
“Seberapa
parah sih kejadian tersebut...”
Amane pernah
mendengar tentang masalah yang dihadapi Itsuki dan Chitose saat mereka
berpacaran, tetapi karena Itsuki tidak menjelaskan detailnya, dirinya jadi
tidak mengetahuinya secara jelas.
Tapi bisa
ditebak bahwa itu pasti menjadi masalah yang cukup besar. Setidaknya, menurut
cara Itsuki berbicara, sepertinya itu masalah yang berdampak pada ujian masuk,
jadi mungkin memang cukup serius.
“Hmm,
bagaimana ya bilangnya...”
“...
Singkatnya, itu insiden kekerasan...?”
“Kejadian
itu bisa mengancam nyawa seseorang, jadi ya...”
“Intinya
sih, kejadian waktu itu cukup parah.”
Amane tidak
mengira kejadiannya akan seburuk itu, jadi ia tak kuasa menahan diri untuk
berkomentar, tetapi Itsuki tetap menunjukkan ekspresi yang sama.
“Baik aku
maupun Chii tidak terkena dampaknya, jadi jangan terlalu khawatir.”
“Tentu saja
aku khawatir! Kamu bilang itu bukan cedera serius, ‘kan!?”
“Sebetulnya
hanya sedikit patah tulang saja. Sementara Chii tidak terluka sama sekali.”
“Itu sudah
cukup cedera serius, dasar bodoh!”
Amane
terkejut karena kejadian itu rupanya lebih mengerikan daripada yang pernah didengarnya,
tetapi Amane ingin mengungkapkan pendapatnya kepada Itsuki yang tampak
menganggapnya sepele.
Amane merasa
temannya berhak marah. Karena itu berkaitan dengan kesehatan mental dan fisik Itsuki
dan Chitose.
“Tidak bisa
diterima. Melampiaskan kecemburuan sampai menyakiti seseorang itu saja sudah
salah. Bahkan jika tidak ada yang terluka, mencoba menggunakan kekerasan itu
tetap tidak dapat dibenarkan.”
Bahkan Toujo
pun tidak pernah sampai melakukan kekerasan fisik seperti itu. Pria seperti
dirinya saja tahu ada batasan yang tidak boleh dilanggar.
Tapi Senior
yang dimaksud begitu mudahnya melanggar batas itu dan melakukannya kepada Itsuki
dan Chitose, itu pasti menjadi masalah besar. Itsuki terlihat tenang, apa
dirinya tidak merasa marah?
“Kamu
seriusan tidak mengalami efek samping dari cederamu?”
“Tidak ada~,
tidak ada~. Lihat saja, aku baik-baik saja. Sehat walafiat begini. Amane juga
tahu bahwa aku berpartisipasi dalam olahraga dengan baik. Lagipula, kejadiannya
sudah tiga tahun yang lalu.”
“...
Meskipun sudah tiga tahun, aku baru mendengar tentang cedera seperti itu, jadi
wajar saja jika aku khawatir.”
Karena Itsuki
terlalu santai dan cuek, Amane tidak bisa mendalami lebih jauh, tetapi hanya
mendengar bahwa hal seperti itu terjadi sudah cukup membuatnya khawatir.
Terlebih lagi, hal itu melibatkan Itsuki dan Chitose.
Melihat Itsuki
yang bersikap tenang dan tidak ingin berbagi, Amane merasa sedikit kesal.
Merengek
karena sesuatu yang dirahasiakan itu kekanak-kanakan, jadi Amane tidak tega mengatakannya,
tapi Itsuki justru tertawa riang, mengisi ruangan dengan suara tawa yang ceria.
“Inilah
salah satu hal baik darimu, Amane.”
“Benar.”
“Kalian
berdua sedang berusaha mengalihkan pembicaraan, ya?”
Amane
melihat mereka dengan tatapan skeptis karena dia tahu mereka berusaha
menghindar, tetapi mereka tetap tidak ingin membicarakannya lebih jauh. Jika
mereka tidak ingin berbicara, seharusnya tidak perlu mengalihkan pembicaraan,
tetapi Itsuki tampaknya tidak menyadari hal itu. Atau mungkin dia menyadari
tapi tetap melakukannya.
“Yah,
meskipun aku tidak suka senior itu, aku merasa kami, sama seperti Amane, telah
diberikan kesempatan untuk berubah. Ya, itu memang menyakitkan dan aku berutang
budi kepada ayahku.”
“... Jadi
kamu tidak membencinya?”
“Aku memang
membenci fakta bahwa itu menjadi alasan Chitose berhenti dari klub atletik,
tetapi hukuman sudah dijatuhkan, dan karena itu kesalahan yang dibuat semasih
muda, jadi aku berusaha untuk tidak terlalu mengeluh. Lagipula, aku takkan
bertemu dengannya lagi, kan?”
Begitu
Itsuki berkata demikian seolah menyiratkan ‘sama sepertimu’ sambil
mengedipkan mata, Amane tidak bisa lagi bertanya atau mendesak lebih jauh. Jadi
setelah mengatupkan bibirnya, dirinya menghela napas.
“Tidak
apa-apa sih, tapi kamu terlalu merahasiakannya. Kalau ada masalah atau hal
sulit, bilang saja lebih awal. Jangan lupakan tentang keributan saat akhir
tahun tempo hari.”
“Aku akan
mengingatnya. Terima kasih atas bantuanmu saat itu.”
“Eh, memangnya
ada sesuatu yang terjadi, Itsuki?”
“Kamu bahkan
tidak memberitahu Kadowaki?”
“Tidak, aku
tidak punya kesempatan untuk itu. Aku hanya bertengar biasa dengan ayahku.”
“Kedengarannya
mungkin itu hal yang biasa, tapi dari apa yang dikatakan Fujimiya, sepertinya
itu cukup serius. Kamu pasti sudah menahan diri sampai batasnya dan meledak,
atau mungkin kamu tetap bersikap rahasia dan membuat Shirakawa marah,
kan?”
“Eh, bagaimana
kamu bisa tahu sampai segitu, menakutkan…”
Yuuta
tampaknya sangat mengenal sifat Itsuki dan memberikan jawaban yang hampir
tepat. Dirinya juga tampaknya tahu banyak tentang ayah Itsuki, Daiki, dan
terlihat mengangguk setuju sambil berkata, “Ayahmu memang seperti itu,
ya.”
“Ngomong-ngomong,
bagaimana denganmu, Itsuki? Tipe yang kamu tidak suka?”
Yuuta
tampaknya tidak ingin membahas lebih jauh tentang masalah keluarga temannya,
jadi ia dengan cepat mengubah topik, tapi menanyakannya saat ini membuat Amane
merasa jawabannya sudah pasti.
“Ya,
ayahku.”
Seperti
dugaannya, atau bisa dibilang sudah diperkirakan Amane.
“Bukan tipe,
tapi itu sih langsung menyebut namanya.”
“Jangan
bikin lelucon seperti itu!”
“Daiki-san
kasihan banget, ya.”
“Akulah yang
seharusnya dikasihani dalam hal ini! Tidak ada satu pun yang mendukungku! Jika
kamu bilang begitu, itu juga berlaku untuk Yuuta!”
“Aku tadi
bilang bukan tipe yang tidak suka, tapi orang yang tidak kusuka.”
Itsuki menggebrak
meja dengan telapak tangannya sebagai protes, sehingga semua gelas bergetar.
Amane dan Yuuta pun bercanda, “Jangan kasar!” dan “Ayo, berhenti sebentar,”
sambil mengangkat gelas mereka.
“Aku
benar-benar tidak sreg dengan ayahku. Mungkin aku sudah pernah mengatakannya,
tapi aku sangat iri dengan orang tua Amane. Berikan mereka padaku.”
“Aku tidak
akan memberikannya. Meskipun orang tuaku cukup membiarkan, aku mengerti apa
yang mereka coba lakukan.”
Baik Mahiru
maupun Itsuki sering merasa iri padanya, tetapi bagi seseorang yang memiliki
orang tua yang sangat acuh tak acuh atau terlalu ikut campur, jarak yang tepat
antara Shihoko dan yang lainnya mungkin ideal.
Secara
pribadi, orang tua Amane memang membiarkannya melakukan apa yang disukainya,
tetapi mereka juga khawatir. Mereka kadang-kadang memberikan perhatian yang
cukup berlebihan. Karena mereka memahami dan menghormati bahwa dirinya memiliki
kehidupan dan kepribadian masing-masing, maka Itsuki merasa bisa meminta
perubahan seperti ini.
“Lebih dari
sekadar membiarkan, mereka justru orang tua yang sangat menghargai keinginan
anak. Aku benar-benar berpikir itu sangat baik. Tolong adopsi aku.”
“Jangan
bicara seperti itu, meskipun hanya bercanda.”
“Yah, aku
sudah sadar bahwa itu mustahil karena ada keberadaan Shiina-san.”
“Kamu ini…”
“Aku yakin
bahwa arti dari adopsi dan kata yang kamu bayangkan pasti berbeda,” piki Amane, tetapi jika dirinya menginterupsi di sini,
sepertinya dirinya akan digoda habis-habisan, jadi ia memilih untuk menahan
diri.
“Mereka
berdua tampak begitu harmonis, dan bahkan aku bisa tahu dari sekadar mengobrol
sebentar dengan mereka bahwa mereka sangat menyayangi Fujimiya. Pantas saja
Itsuki cemburu.”
“Rasanya
sangat memalukan.”
“Tapi kamu
tidak membantahnya, ya.”
“Yah, aku menyayangi
orang tuaku dan menghormati mereka baik sebagai orang tua maupun sebagai
manusia, jadi aku merasa senang mereka dipuji sebagai anaknya, tetapi ketika
dipuji langsung di hadapanku, itu membuatku merasa canggung.”
Amane tidak
sering mengatakan hal seperti itu langsung kepada orang tuanya, tapi dirinya
menghormati mereka baik sebagai anak maupun sebagai pribadi.
Sejak kecil,
ia ingat mereka sangat menyayanginya, dan meskipun mereka sibuk dengan
pekerjaan, mereka tidak pernah ragu untuk menginvestasikan waktu, uang, dan
kasih sayang mereka. Jika Amane berbuat salah, mereka akan menjelaskan dan
memarahi, dan jika dirinya melakukan hal yang baik, ia akan mendapatkan banyak
pengakuan dan pujian. Mereka tidak memperlakukan Amane sebagai boneka, tetapi
sebagai individu yang berharga.
Hubungan
orang tua dan anak yang tampaknya biasa ini sebenarnya sangat berharga, dan
melihat lingkungan keluarga orang-orang yang telah dikenalnya membuat Amane
mulai menyadari betapa beruntung dirinya. Amane menyadari bahwa dirinya
merupakan orang yang beruntung dalam lingkungan sekitarnya.
Amane sangat
menyadari kasih sayang yang ia terima dari orang tuanya sejak kecil, dan
mengerti bahwa itu adalah anugerah. Memahami hal itu, dirinya sama sekali tidak
bisa menyangkal tentang orang tuanya.
“Kejujuranmu
yang seperti itu pasti hasil didikan orang tuamu dan juga sifatmu
sendiri.”
“Mungkin
sebaiknya kamu bisa membagikan secuil kasih sayang mereka.”
“Aku sudah
bilang sebelumnya, itu ditolak.”
“Cih. Yah, kurasa
kepribadian ayahku tak akan berubah dalam waktu dekat. Tapi, sepertinya ada
bagian di mana dia terlalu mengekang sebelum mendengarkan.”
Setelah
keributan akhir tahun, sikap Itsuki terhadap Daiki tampaknya sedikit melunak,
tetapi kelihatannya dia masih memiliki ketidakpuasan, mengeluarkan helaan napas
yang begitu jelas.
Meskipun
begitu, Itsuki tidak terlihat benar-benar membencinya, jadi dirinya mungkin
sedang mengatasi berbagai konflik dan berusaha menjauhkan jarak emosional
antara dirinya dan ayahnya.
“Daripada
mencoba mengubah orang lain, lebih baik kamu yang mengubah dirimu sendiri, itu
lebih mudah.”
“Itu benar.
Jadi aku berusaha untuk berubah.”
“Aku tahu
karena aku melihatnya.”
“Ya, ya,
lihatlah, aku akan berubah.”
“Iya, iya,
aku melihatnya.”
Bahkan tanpa
diberi tahu, Amane bisa melihat dengan jelas kalau Itsuki sedang berusaha
berubah, dan menurutku usahanya patut dikagumi.
Secara
esensial, Itsuki jauh lebih serius dibandingkan dengannya, jadi Amane berharap temannya
tidak melakukan hal-hal yang terlalu ekstrem. Sambil berharap dalam hati, ia
memilih untuk tidak mengomentari dan membiarkannya berlalu. Yuuta melihat
dengan senyuman yang hangat.
“Kalian berdua
sangat akur, ya?”
“Hohoho,
kamu juga termasuk di dalamnya loh.”
“Apa-apaan
dengan karaktermu itu?”
“Saking
enggak cocoknya sampai-sampai bisa bikin ngakak.”
“Jahat
banget! Ternyata kalian tidak akur!”
“Yang benar
saja....kejam banget, aku sakit hati loh. Sedih banget.”
“Itsuki yang
paling parah.”
“Justru
akulah yang paling terluka di sini!? Lagipula, kita sudah melakukan bagian ini
sebelumnya! Apa ini semacam pengulangan!?”
Entah karena
ingin menghindari suasana yang canggung atau memang sifat aslinya, Itsuki
berusaha berperilaku marah di dalam ruang karaoke, sementara Amane berpura-pura
tidak tahu dan berdiskusi dengan Yuuta tentang lagu apa yang akan dinyanyikan
sambil melihat daftar lagu elektronik.