Chapter 5 — Cara Mengakhiri Cerita Lembut
Waktu
terus berjalan tanpa henti. Perlahan, namun berirama tetap.
Saat itu
awal Oktober. Sisa-sisa liburan musim panas telah sepenuhnya memudar, semua
orang telah selesai berganti ke seragam musim dingin mereka... dan akhirnya,
naskah drama pun rampung.
“Maaf
atas keterlambatannya. Idealnya, kita sudah melakukan pembacaan ulang minggu
lalu... tapi membaca dan menulis itu beda banget, ya?”
Selama jam
wali kelas panjang yang sengaja ditujukan untuk persiapan festival budaya,
Nio-san—yang bertanggung jawab atas naskah—mengumpulkan para pemain dan
membagikan salinan cetaknya.
“Dengan
hanya sebulan tersisa hingga festival, semuanya akan menjadi sangat sibuk…
Jadwalnya bakalan sangat padat, tapi aku akan mengandalkan
semua anggota pemeran untuk melakukan yang terbaik.”
“HAHAHA!
Memang terlambat, tapi tak masalah! Ayo kita berusaha sebaik mungkin!”
“Mary,
jangan bilang begitu. Diberi naskah saja sudah lebih dari cukup
untuk disyukuri.”
Seperti
biasa, Mary-san ceria dan dramatis di sekolah.
Mungkin
karena pengaruhnya, tapi belakangan ini, Ryuzaki juga tampak telah pulih
sepenuhnya. Senyum di wajahnya semakin sering muncul.
“Baiklah,
silakan lihat ceritanya. Dan jika ada kalimat atau bagian yang terasa janggal,
jangan ragu untuk memberitahuku.”
Setelah
itu, aku membuka halaman-halaman naskahnya.
◆◆◆◆
──Suatu
hari, seorang pangeran dari kerajaan tetangga dikutuk oleh penyihir jahat dan
berubah menjadi binatang buas. Kutukan itu tidak akan hilang kecuali ia
menemukan cinta sejatinya.
Sepuluh
tahun berlalu.
Di tempat
lain, seorang wanita muda cantik yang dikagumi di kotanya sedang dirayu oleh
seorang pemburu yang tampan dan populer—namun kasar dan sombong. Gadis itu,
yang pendiam dan menyukai buku serta lamunan, tidak tertarik pada seseorang
yang begitu kuat dan egois, dan benar-benar muak dengan pendekatannya.
Kemudian suatu
hari, wanita muda itu tersesat di hutan dan ditangkap oleh si
binatang buas. Si binatang buas mencoba memaksanya untuk mencintainya, dengan
berkata, "Cintailah aku,” tapi wanita muda itu menolaknya dengan
tegas.
Sejak
saat itu, wanita muda itu dikurung di sebuah kastil jauh di
dalam hutan. Awalnya, dia terus-menerus menangis—tetapi kastil itu
terasa asing, penuh dengan perabotan yang bisa berbicara. Mereka menghiburnya,
dan perlahan-lahan, dia mulai ceria.
Namun, si
monster terus melamarnya. Bahkan ketika ditolak, ia akan terus bersikeras
hari demi hari: “Cintailah aku.”
Melihat
gadis itu tetap teguh, sang monster perlahan-lahan mulai mengagumi kekuatan
hatinya. Dan pada gilirannya, gadis itu pun memahami sifat baik
di balik penampilan kasarnya—dan jatuh cinta padanya.
Keduanya
semakin dekat, tetapi suatu hari, Si Pemburu yang mencari gadis
itu menyerbu kastil.
Sang
pemburu dan si binatang buas bertarung—dan si binatang buas menang. Namun, ia
menderita luka yang fatal.
Pada saat
itu, gadis itu menyatakan cintanya. Dia menangis
tersedu-sedu supaya sang pangeran tak mati, lalu menciumnya—dan begitu
saja, sang pangeran kembali ke wujud aslinya: sang pangeran.
Pemuda
itu, yang dulunya seekor binatang buas, akhirnya menemukan cinta sejatinya—dan kutukannya
pun dipatahkan.
Dan
begitulah, keduanya hidup bahagia dalam cinta… selamanya.
◆◆◆◆
Garis
besarnya hampir identik dengan film terkenal.
“Kalau
begitu, mari kita langsung praktik. Aku akan melakukan apa pun yang kubisa
untuk membantu.”
Berkat
dorongan Nio-san, persiapan festival akhirnya berjalan lancar.
Ada
banyak dialog, dan gerakan juga yang terlibat. Aktingnya harus
cukup matang agar menarik. Mengingat hal itu, satu bulan terasa terlalu
singkat. Namun, ketika tiba saatnya untuk berakting—ternyata aku lebih
baik dari yang kuduga.
“Nakayama-san,
kamu jago banget… Aku agak kaget. Ah, maaf, aku selalu berpikir kamu tipe yang
pendiam. Aku tidak menyangka kamu bakal selembut ini di depan orang.”
Padahal itulah
bagian yang paling kukhawatirkan… tapi aku malah mendapati diriku berpikir itu
cukup mudah.
Mengapa aku
tidak merasa canggung saat berakting?
Jika aku
harus menebak, mungkin karena aku telah menghabiskan sebagian besar kehidupanku untuk mencoba
menjadi ‘siapa yang diinginkan orang lain’.
Ketika
aku menjadi saudara tiri Azusa, aku mencoba menjadi “kakak
laki-laki” yang diidamkannya.
Ketika aku
dekat dengan Kirari, aku menjadi “teman yang bisa diajaknya
bicara tentang apa saja.”
Saat bersama
teman masa kecilku Yuzuki, aku berusaha menjadi “orang yang
bisa diandalkan dan selalu bisa diandalkan.”
Dan
sebagai kelanjutan alami dari itu, aku mengembangkan kebiasaan mengganti
persona tergantung pada situasinya.
Tentu
saja, aku sudah berhenti melakukan itu sejak Shiho berkata padaku, “Jangan bergonta-ganti kepribadian!”
Namun
selama hal itu tidak mengagetkan, tampaknya aku masih bisa bertindak secara
alami tanpa banyak berpikir.
“Wah,
lucu banget! Ini buatan tangan, ya? Keren banget!”
Saat aku
sedang membaca naskahnya, suara ceria kembali terdengar di telingaku. Ketika
menoleh, aku melihat Azusa tengah mengobrol dengan salah seorang gadis di
kelas, sambil tersenyum cerah.
“Klub
menjahit juga membuat baju!? Keren banget!”
Dia telah
terpilih untuk berperan sebagai teko yang banyak bicara dalam drama tersebut,
dan sekarang dia dengan gembira bermain-main dengan kostum yang diberikan oleh
tim kostum kepadanya.
Belakangan
ini, dia menjadi jauh lebih ceria dan semakin dekat dengan
teman-teman sekelasnya. Dulu, saat dia masih menjadi anggota
harem Ryuzaki, dia hanya mengobrol dengan anggota harem lainnya saja—tapi sekarang, dia mulai terbuka
dengan yang lainnya. Itu pertanda baik.
Seperti
itu, baik pemain maupun kru terus bekerja sama, dengan mantap mempersiapkan
festival budaya. Dengan hanya dua minggu tersisa, sedikit rasa urgensi mulai
muncul.
“Shiho,
sampai jumpa besok, ya? Jangan nonton anime semalaman—kerjakan PR-mu juga.”
Dalam
perjalanan pulang, kami berjalan bersama ke halte bus terdekat, di sana kami
berpisah. Rumahnya tidak jauh, jadi dia mungkin sampai di rumah sebelum
gelap.
Atau
begitulah yang kupikirkan, saat aku mengucapkan selamat tinggal sedikit lebih
awal.
“Grrnnnnnghhh!”
Shiho
menarik ikat pinggangku dan menariknya.
“Ugh!”
Perutku terasa diremas dan mengeluarkan suara aneh.
A-Apa? Kenapa dia tiba-tiba marah?
Bingung
dengan semua kejadian ini, akhirnya aku mendapat penjelasan darinya.
“Eng-Enggak
adil! Kamu selalu bicara dengan Mary-san... apa
kamu tidak bisa
sedikit memperhatikanku juga? Aku sangat kesepian di sini! Aku sudah cukup—aku marah sekarang!”
──Dia
cemburu.
Y-Yah,
memang benar aku lebih sering berbicara dengan Mary-san karena latihan
pementasan. Tapi
ini murni urusan bisnis… dan tetap saja, Shiho cemburu pada Mary-san.
Tunggu,
bukannya itu agak tidak masuk akal?
“K-Kamu yang
mendukungku, ‘kan? Kamu sendiri yang membuatku jadi Si pemburu!”
Maksudku,
dia memaksakan peran itu padaku sejak awal. Namun tampaknya
Shiho belum benar-benar berpikir sejauh itu.
“Ak-Aku tidak
merencanakan semua ini… Aku hanya ingin melihat Kotaro-kun bersikap tenang, itu
saja! Aku tidak pernah menyangka kamu akan menggoda gadis lain seperti itu! Itu
namanya selingkuh! Dan akhir-akhir ini, kamu jarang bicara
denganku! Apa ini yang disebut 'masa kejenuhan'!? Tidak mungkin!
Aku masih tergila-gila padamu, tau!? Hanya di samping Koutaro-kun saja
masih membuatku nyengir lebar! Aku sangat mencintaimu —
jadi lebih perhatikan aku! Makanya… ayo kita ke rumahmu, oke? Aku akan
menelepon ibuku dan bilang aku akan pulang terlambat, jadi tidak apa-apa. Hari
ini kamu diceramahi habis-habisan! Kotaro-kun, kamu jelas-jelas kurang sadar
akan kewajibanmu sebagai teman!”
…Sudah
lama sejak dia bersikap seperti ini.
Sambil
tertawa masam, aku membiarkan diriku diseret ke dalam bus oleh
Shiho.
…Baiklah,
tidak apa-apa.
Karena
sejujurnya—aku merasa kita juga belum cukup bicara.
☆☆☆☆
(Sudut Pandang Shimotsuki Shiho)
Aku
kembali, Azu-nyan!
Aku akan
memberi Koutaro-kun teguran serius, jadi jangan masuk ke dalam
ruangan
ini, oke?
Eh? Kamu enggak
ada rencana begituan?
Kamu cuma
mau perhatian dari kakakmu tapi enggak bisa ngaku—lucu
banget sih… Tapi maaf, hari ini aku harus ngomongin
sesuatu
sama Kotaro-kun, jadi mungkin lain kali ya?
Ya ampun…
Azu-nyan agak tsundere, ya.
Ayo,
Kotaro-kun, kita pergi.
…Tunggu,
kenapa kamu senyum-senyum begitu? Jangan bilang kamu nggak minta maaf. Kalau gitu,
pembahasannya
bisa panjang lagi.
Apa?
Pipiku menggembung seperti ikan buntal, dan itu lucu? Sanjungan seperti itu enggak akan
berhasil buatku!
T-Tapi...
baiklah. Aku akan mempersingkat pembicaraanku sedikit
saja.
Jadi,
teruslah berikan pujian.
………I-Itu
terlalu berlebihan!
Mengatakan
aku begitu cantik, rupawan, dan berseri-seri sehingga hanya dengan melihatku
saja sudah membuatmu bahagia—itu keterlaluan! Maksudku, aku mungkin
secantik, rupawan, dan berseri-seri malaikat sungguhan yang membawa
kebahagiaan hanya dengan dilihat... tapi cuma kemungkinan saja!
Hah? Kamu
bahkan enggak ngomong semua itu? Dan aku juga enggak rendah hati,
kan?
Apa
maksud ‘rendah hati’ lagi...? Ah! Kamu
mencoba membingungkanku dengan kata-kata yang rumit! Usaha yang bagus, tapi aku
tidak akan tertipu! Aku masih marah, tahu!? Aku seperti monyet yang pisangnya
baru saja dicuri—aku beneran marah!
Sekarang,
duduk tegak!
Oh—tapi
lantainya keras, jadi kamu bisa berlutut di tempat tidur. Aku memang
gadis yang baik hati. Gadis berhati sebesar ini? Sebaiknya kamu jangan
biarkan dia lolos!
Jujur
saja, Kotaro-kun, kamu jahat banget. Aku tipe yang suka dimanja. Kalau aku
diabaikan, dimarahi, atau diperlakukan dingin, aku bisa mati kesepian kayak
kelinci, tahu!
Kamu tak masalah
dengan kematianku? Tunggu—tidak! Aku seharusnya tidak mengatakan hal seperti
itu, meskipun hanya bercanda. Tubuh ini berharga bagi orang-orang yang
mencintaiku, jadi aku juga harus menghargainya... Tunggu, tidak! Bukan itu
intinya!
Jangan
mencoba mengganti topik pembicaraan lagi!
...Hah?
Koutaro-kun
tidak bilang apa-apa? Aku cuma terbawa suasananya saja? Benar—aku
sedang menjadi gadis yang sangat nakal sekarang. Jadi,
Kotaro-kun, kamu harus memberiku banyak perhatian sampai aku kembali menjadi
gadis yang baik, oke?
Seriusan, aku akan
jujur... Aku ini sebenarnya gadis yang super gampang
dipuaskan, tahu? Yang kuminta cuma kamu jangan mengobrol dengan
gadis
lain, cuma lihat aku, dan cuma sayangi aku—cuma itu yang bikin
aku bahagia. ...Apa? Itu enggak gampang? Aku sebenarnya agak
susah diatur? Tapi itu juga bikin aku imut!?
…Hmph.
Hmph!
Kotaro-kun,
kamu makin jago memberi pujian.
Lumayan
juga. Yang itu malah bikin aku agak terkejut.
Aku enggak
mau
jadi
gadis
yang manja atau menyebalkan, tapi... semenjak kamu jadi sahabatku, aku tidak bisa menahan perasaanku
lagi.
Jadi… kamu tahu, aku ingin
kamu
lebih memperhatikanku.
Masih
belum cukup. Sejujurnya, aku belum pernah merasa cukup. Aku sudah lupa berapa
kali aku berharap kita bisa tinggal serumah.
Dan
ketika aku sudah dalam kondisi seperti itu, melihatmu— bahkan
hanya berpura-pura —merayu gadis lain? Tentu saja
aku tak tahan.
Hei,
Kotaro-kun? Apa yang harus kulakukan?
Bukannya
aku ingin menjadi beban.
Aku tahu
kamu menganggapku seseorang yang istimewa.
Aku tahu
kamu tidak tertarik pada gadis lain.
Tapi
meski begitu… aku masih belum merasa puas.
Jadi,
tolong…
Koutaro-kun… bisakah
kamu mengelus
kepalaku sebentar saja?
◆◆◆◆
(Sudut Pandang Koutaro)
──Ya,
itu panjang sekali.
Seperti
beberapa halaman penuh yang tidak berisi apa pun kecuali dialog. Shiho
mengomel panjang lebar kepadaku—tapi omelannya penuh kasih sayang, dan
benar-benar menghangatkan hatiku.
Sejujurnya, itu hampir…
menawan.
──Aku
ingin membuatnya merasa dicintai.
Jika itu
demi Shiho, aku akan memberikan segalanya padanya.
Pada
akhirnya, dia berkata banyak hal—tapi yang sebenarnya dia inginkan hanyalah
satu hal sederhana: “Tolong beri aku lebih banyak perhatian.”
Buktinya?
Dia minta kasih sayang fisik.
“Kotaro-kun…
bisakah kamu mengelus kepalaku sedikit?”
Ya, dia
benar-benar hanya bersikap manja.
Jadi,
sesuai keinginannya—aku mengulurkan tanganku dan meletakkan tanganku di
kepalanya.
Dia sedikit
mencondongkan tubuhnya untuk menawarkan kepalanya di atas tempat tidur, dan aku
meletakkan tanganku dengan lembut di rambutnya. Rambutnya begitu lembut dan
halus, aku tak ingin berhenti menyentuhnya. Kepalanya terasa hangat—seperti
botol air panas kecil. Dengan cuaca yang semakin dingin, aku ingin menikmati
kehangatan itu selamanya.
“…Hmm.”
Di sisi lain, Shiho tampaknya masih belum sepenuhnya puas.
Seolah
disentuh saja belum cukup, dia menekan kepalanya lebih kuat ke telapak
tanganku. Aku membalasnya dengan mengelusnya lembut dari sisi ke sisi.
Rambutnya
berantakan, tapi dia tak peduli sama sekali. Dia memejamkan matanya dengan puas,
jelas-jelas menikmati setiap detiknya.
Seperti
anak kucing yang bermanja pada pemiliknya.
Dia
tampak begitu rileks dan bahagia—tersenyum dengan ekspresi lembut dan damai.
“Hehehe~”
Hanya
sesuatu sekecil ini saja sudah membuatnya begitu bahagia. Yang membuatku
semakin merasa bersalah karena telah meninggalkannya dalam keadaan kesepian
sejak awal.
“Shiho.
Maaf sudah membuatmu merasa diabaikan.”
“Tidak
apa-apa. Aku memaafkanmu—karena kamu mengelus kepalaku.”
“T-Tapi
tetap saja—”
“...Kalau
kamu tidak bisa memaafkan dirimu sendiri, cobalah
untuk lebih sering bersamaku. Itulah yang paling membuatku bahagia.”
Dia
tersenyum kecil dan malu-malu.
Aku juga
ingin bersamanya sebisa mungkin. Kami merasakan hal yang sama. Dan saat itulah
sebuah ide muncul di benakku.
“Kalau
kamu mau, Shiho… mau pergi ke suatu tempat akhir pekan ini?”
“Mau!”
Dia
mengangguk saat aku memberi saran itu. Dia tipe gadis yang suka
berada di rumah, tetapi mungkin dia merasakan hal yang sama sepertiku.
“Hore~!
Itu artinya Kotaro-kun akan lebih memanjakanku~♪”
Dia
melompat kegirangan dan tiba-tiba melompat ke dalam pelukanku.
“Wah—”
Aku
menangkapnya tepat pada waktunya, dan kami berdua terjatuh ke tempat tidur. Dia
membenamkan pipinya di dadaku seraya memelukku erat-erat.
Wajahnya
sudah memerah sebelum aku menyadarinya. Seperti gurita rebus yang
cerah.
“…………”
Untuk
beberapa saat, kami hanya berpelukan dalam diam.
Tubuh
Shiho begitu kecil—saking rapuhnya hingga dia merasa seperti
akan hancur seperti kaca… tapi dirinya begitu hangat, lembut, dan
wanginya harum.
Dengan
wajahnya masih menempel di dadaku, dia berbicara dengan suara teredam.
“Kurasa
aku terlalu bersemangat, aku bisa mimisan... Aku mungkin tidak bisa tidur malam
ini.”
“Silakan
saja. Kalau kamu mulai terlambat atau membolos lagi, kita mungkin tidak akan naik
kelas bersama.”
“Itu
pasti mengerikan. Aku ingin tetap sekelas denganmu, Koutaro-kun… Oh! Tapi
jadi adik kelasmu juga kedengarannya bagus. Aku bisa memanggilmu Senpaaai~ ♪ Kedengarannya
imut,
kan?”
…Baiklah,
kuakui—itu godaan yang sulit untuk ditolak.
“Tapi
aku akan sedih jika kita hanya punya sedikit waktu bersama.”
“Kamu benar. Kalau
begitu aku akan belajar dengan giat... tapi hanya jika Koutaro-kun
membantuku, oke?”
“Jika
itu sesuatu yang bisa aku ajarkan, aku akan dengan senang hati melakukannya.”
──Percakapan
kecil dan konyol ini sudah cukup menenangkan hatiku.
Shiho
mungkin terlihat sedikit kesepian, tetapi dia tetap ceria. Dia tidak terluka
seperti yang dialaminya saat perjalanan sekolah.
Meski aku
masih terjebak dalam posisi rumit ini, ditarik ke dalam berbagai hal... fakta
bahwa dia tak terluka lagi—cuma itu saja membuatku lebih
bahagia daripada apa pun.
Sebuah
cerita tanpa Shiho akan terasa seperti lembah…berat dan sulit dibaca.
Tapi ini
baik-baik saja sebagaimana adanya.
Tidak—itu
sempurna.
Karena
satu hal yang benar-benar kuharapkan ialah kedamaian
Shiho.
◆◆◆◆
Akhir
pekan. Langit cerah—atau setidaknya, kuharap begitu. Sayangnya, cuacanya
mendung. Pertengahan Oktober telah tiba, dan bersamanya muncul
tanda-tanda pertama hawa dingin musim dingin.
Meski
begitu, aku merasa hangat dan ceria—mungkin karena aku memegang tangannya.
“Koutaro-kun, kamu mau
makan siang apa? Aku mau es krim!”
“Menurutku
es krim lebih cocok sebagai camilan.”
Kami tiba
di sebuah pusat perbelanjaan dekat stasiun. Di sana ada segalanya—restoran,
bioskop, arena bermain, toko pakaian, toko buku, toko elektronik, dan
supermarket. Sebuah tempat ramai di mana seseorang bisa dengan mudah
menghabiskan seharian tanpa merasa bosan.
“…Tapi
mungkin hanya untuk hari ini, aku tidak perlu khawatir tentang gizi seimbang.”
“Ya,
tepat sekali. Kita boleh melakukan apa pun yang kita mau hari ini.”
Sambil
mengayunkan tangan kami yang bergandengan tangan dengan riang, Shiho tertawa
dengan keceriaan seperti anak kecil.
Kami
berdua tipe yang suka di dalam ruangan, jadi kami jarang pergi kencan. Mungkin
itu sebabnya dia sangat senang dengan hari ini.
“Koutaro-kun, kamu cengar-cengir terus dari
tadi. Semangat banget ya mau kencan sama aku? Manis banget~ anak baik, anak
baik~.”
…Koreksi.
Aku mungkin berpura-pura tenang, tapi aku sama bersemangatnya dengannya. Kakiku
terasa begitu ringan hingga aku harus menahan diri untuk tidak melompat-lompat.
“Kamu
juga cengengesan terus, Shiho. Jadi, kurasa kita impas.”
“Ya,
memang. Tapi ini bukan salahku, oke? Habisnya, ini kencan pertamaku.”
Memang,
kami pernah pergi berbelanja bersama sebelumnya, hanya berdua. Tapi ini—ini
kencan resmi pertama kami.
Shiho
juga tampak berusaha ekstra keras untuk penampilannya hari ini.
Biasanya,
kalau dia ke rumahku di akhir pekan, dia memakai baju olahraga atau
baju bekasku yang dulu... yah, yang dia ambil tanpa
minta. Tapi hari ini, dia berpakaian modis.
Tidak
mencolok, tapi bergaya kalem dan berkelas—sesuatu yang sangat cocok untuknya.
Penampilannya begitu menawan sehingga mau tak mau dia menarik
perhatian orang-orang yang lewat.
Shiho
yang dulu pasti akan membeku hanya karena dilihat seperti itu.
Tapi
sekarang dia tampak baik-baik saja.
“Ehehe~
Aku tidak mempercayai aku sedang kencan sama Kotaro-kun...
Rasanya kayak mimpi. Dan kita lagi bergandengan tangan... Jangan
bilang aku
bakalan mati besok?”
Shiho
tampak sama sekali tidak menyadari keadaan sekelilingnya.
Sama
seperti waktu piknik sekolah dulu—saat aku di sampingnya, rasa malunya mereda.
Kalau begitu, mungkin aku tidak perlu terlalu khawatir.
“Kalau
begitu, ayo mampir tempat es krim dulu… dan setelah itu, kita nonton
film anime yang sudah lama ingin kamu tonton.”
"Yay!
Ayo berangkat!"
Dan
begitu saja, kami mulai menikmati hari libur kami bersama.
Kami menikmati es krim, menonton
film, mengelap air mata Shiho sesudahnya, lalu berbagi parfait,
mencoba dan gagal dalam permainan crane di arcade—dan masih tertawa saat kami
meninggalkan toko.
Hari itu
cerah, menyenangkan, dan penuh kehangatan.
“Ayo
kita makan kue selanjutnya! Tempatnya kelihatan enak banget!”
“...Bukankah
kita makan terlalu banyak makanan manis?”
“Tidak
apa-apa untuk hari ini saja. Lagipula, ini ‘kan kencan!”
Mungkin
bersikap sedikit terlalu manis adalah hal yang
dibutuhkan saat ini. Bukan hanya secara emosional—tetapi juga secara
harfiah.
◆◆◆◆
Sebelum aku
menyadarinya, matahari sudah mulai terbenam.
Aku tahu
seharusnya aku memikirkan untuk membawa Shiho pulang… tapi aku tak sanggup
mengatakannya. Aku tak ingin hari ini berakhir.
“Kotaro-kun,
kita mau ke mana lagi? Mau main ke arcade lagi?”
Dia
mungkin merasakan hal yang sama sepertiku. Dia terus
memeriksa waktu di ponselnya, tapi tidak pernah sekalipun berkata, “Ayo
pulang.”
Dia
berusaha memperpanjangnya—hingga saat-saat terakhir. Tidak, bahkan melewatinya.
Begitulah rasanya. Rasanya seperti ada sesuatu yang meremas
hatiku dengan erat.
Merasakan
cinta Shiho… rasanya begitu memenuhiku dengan kegembiraan yang begitu
kuat hingga hampir menyakitkan.
Mungkin
ini yang dimaksud… jatuh cinta pada seseorang.
Jika itu
benar—mungkin sekarang saatnya.
Kalau aku
mengaku pada Shiho sekarang juga… Kurasa dia akan menerima perasaanku.
“Shiho,
um…”
Bertindak
berdasarkan dorongan hati, aku mencoba mengungkapkan apa yang aku rasakan.
Tetapi…
tampaknya kejadian itu bukan bagian dari skenarionya.
“Ohh! Kebetulan
sekali! Ryoma, Koutaro dan Shiho ada di sini!”
Saat dia
muncul, suasananya seketika berubah.
Komedi
romantis yang manis berubah serius dalam sekejap. Sambil
berdiri
hanya beberapa meter jauhnya adalah si cantik berambut pirang dan bermata
biru—Mary—dan di sampingnya...
“Cih.
Kenapa ia ada di sini sih…”
.....
adalah Ryuzaki Ryoma.
Pertemuan
yang tak terduga—tidak, mana mungkin Mary tidak mengetahui tentang
pergerakanku.
Dengan kata lain, pertemuan ini bukan kebetulan. Melainkan disengaja.
“Hahaha! Kalian berdua
ngapain di sini!? Oiya, mumpung
kita
semua di sini, gimana kalau kita pergi ke kafe
bareng-bareng?
Kita berempat, yuk!"
Kalimat
itu jelas dimaksudkan untuk menggangguku dan Shiho.
“Tidak.”
Pada saat
itu, senyum Shiho lenyap.
Tidak—lebih
dari itu. Ekspresinya, emosinya, kehangatannya, warnanya—semuanya lenyap. Yang
muncul justru ‘Shimotsuki-san’ yang kukenal
sebelum aku bertemu dengannya.
“……”
Dengan
wajah kosong dan kehadiran yang transparan, dia berdiri membeku, menatap Mary. Ekspresinya
persis seperti malam perjalanan sekolah semalam, saat dia dipaksa berdiri di
atas panggung.
Ini gawat. Kalau
kita tetap bersama mereka lebih lama lagi, hal ini akan berdammpak
buruk
untuk Shiho.
Usai menyadari
hal itu, aku segera menggenggam tangannya.
“Maaf,
kami baru saja pulang.”
Hanya itu
saja yang kukatakan sebelum meninggalkan mereka berdua.
“Ohhh… sayang sekali~”
“Mary,
ayo pergi. Jangan terlalu terlibat dengan mereka berdua.”
Ryuzaki
mungkin juga tidak ingin kita berada dekat dengan kita. Dia sudah pergi
begitu saja.
“…Maaf kalau
sudah
menghalangimu.”
Saat kami
hendak pergi, Mary mencondongkan tubuhnya dan membisikkan hal itu di telingaku. Usai mendengar itu, aku jadi yakin—dia sengaja mencoba
menggangguku dan Shiho.
“Tapi
kamu tuh protagonis harem, kan? Jangan berbuat yang tidak adil seperti
cuma memberi
perhatian sama
Shiho. Itu bakal kejam buat sub-heroine yang lainnya, oke?”
“──”
Aku
mendongak, siap untuk membalas.
Namun
saat itu, Mary sudah berjalan pergi.
“Ryoma,
tunggu! Jangan tinggalkan wanita secantik ini begitu saja!”
Aku tidak
bisa berbuat apa-apa selain melotot ketika dia memanggil dan mengejarnya dengan
sikap manis pura-pura.
Akhirnya
mulai terasa seperti saat yang menyenangkan…!
Frustrasi
dengan kedengkian Mary, aku menggertakkan gigi belakangku tanpa berpikir. Dan
itu, sekali lagi, sebuah kesalahan… sesuatu yang tidak baik untuk Shiho.
“Maaf.
Seharusnya ini menjadi kencan... tapi ini salahku. Aku gugup lagi... dan
takut...”
Sensitif
seperti biasa, Shiho telah menangkap kekesalanku.
Tenangkan
dirimu. Tetap tenang… jangan biarkan Mary menyeretmu
mengikuti langkahnya.
Begitulah
kata suara di kepalaku. Ya, aku tahu. Aku tak perlu diberi tahu.
Demi
menenangkan diri—dan menenangkan Shiho—aku melangkah keluar.
Udara
dingin memenuhi paru-paruku, dan akhirnya pernafasan dan pikiranku menjadi
tenang.
“Shiho.
Sekarang sudah baikan.”
Kataku
sambil menggenggam tangannya lembut lagi.
“Aku di
sini. Aku akan tetap di sisimu.”
Sama
seperti saat perjalanan semalam—aku tidak akan meninggalkannya sendirian lagi.
Dan
meskipun Shiho berjuang dengan orang asing dan bersosialisasi, selama aku di
sisinya, dia bisa menjadi 'Shiho' yang sama seperti dulu.
“…Ya.
Kamu ada di sini, Kotaro-kun.”
Cahaya kehidupan kembali ke
matanya yang tadinya hampa.
Seolah
memastikan bahwa diriku nyata, dia menggenggam erat tanganku dengan
kedua tangannya, menatap lurus ke mataku—dan baru kemudian wajahnya yang tegang
akhirnya mengendur.
“Terima
kasih. Berkatmu, aku merasa tenang kembali.”
Ekspresinya
kembali berwarna. Gadis transparan itu kini diwarnai dengan rona merah
samar—rona yang sama dengan Shiho yang kukenal.
“Syukurlah
kalau begitu.
Mau istirahat sebentar?”
“Ya… Aku
ingin pergi ke suatu tempat yang jumlah orangnya lebih sedikit.”
Jadi,
kami berjalan ke tempat yang lebih tenang di area terdekat. Berkat
itu, sepertinya Shiho akhirnya kembali menjadi dirinya yang biasa.
“Haa...
Maaf. Sewaktu aku ketemu Mary-san dan Ryuzaki-kun, kenangan
perjalanan sekolah semalam itu tiba-tiba muncul lagi—kepalaku langsung kosong
melompong.”
Sambil
duduk di bangku untuk beristirahat, Shiho menceritakan apa yang menyebabkan dia
terdiam seperti itu.
“Suara
Ryuzaki-kun—sama seperti dulu. Suara yang sama seperti saat dia menyatakan
perasaannya padaku... egois dan terdistorsi, seolah-olah dia hanya memikirkan
dirinya sendiri. Suara yang dulu ditujukan kepadaku kini ditujukan kepada
Mary-san... dan itulah yang membuatku teringat kembali.”
“Jadi Ryuzaki punya
perasaan pada Mary-san…”
Jadi
ceritanya sudah berkembang sejauh itu. Sepertinya Ryuzaki sudah
memiliki perasaan khusus terhadap Mary-san.
Lalu...
apa yang harus kulakukan? Apa yang bisa kulakukan?
Apa yang
dapat aku lakukan untuk melindungi senyum Shiho? Bagaimana aku bisa
mengkhianati Mary-san sehingga segalanya tidak berjalan sesuai keinginannya?
Terjebak
dalam pikiranku sendiri, aku kembali terjerumus dalam pikiran yang tak karuan.
Saat
itulah Shiho meremas tanganku dengan lembut.
Seolah ingin mengatakan,
“Aku ada di sini juga, tau?”
Saat aku
gelisah. Saat aku tersesat. Saat aku terluka. Dialah yang selalu
membantuku.
“Tapi
itu sudah tidak penting lagi. Kita sudah tidak berhubungan dengan mereka, jadi
aku akan berusaha untuk tidak membiarkan hal itu menggangguku... Kamu juga
tidak perlu khawatir, Koutaro-kun. Aku memang tidak pernah akur dengan Ryuzaki-kun,
tapi Mary-san sepertinya tidak merasakan hal yang sama. Suaranya... terdengar
bahagia.”
Kata-kata
itu bisa menjadi awal serangan balik.
“Mary-san
menyukai
Ryuzaki...? Maksudmu, dia benar-benar jatuh cinta padanya?”
Mustahil.
Mana
mungkin itu benar.
Bukannya dia hanya
berakting? Memainkan peran heroine utama,
berpura-pura menyukai Ryuzaki?
Itulah
yang kuyakinkan pada diriku sendiri. Namun telinga Shiho dapat
membedakan kebenaran dari kebohongan.
“Suara
Mary-san kedengarannya sedikit tidak biasa, dan aku
tidak terlalu menyukainya... tapi di balik suara itu, ada nada kasih akung
yang ditujukan pada Ryuzaki-kun. Mirip dengan yang kudengar dari Azunyan,
Asakura-san, dan Hojo-san sebelumnya.”
Nakayama
Azusa. Asakura Kirari. Hojo Yuzuki.
Suara
yang sama seperti yang dibuat gadis-gadis itu.
Yang
artinya—sama seperti sub-heroine lainnya, Mary-san juga menyimpan perasaan
pada Ryuzaki?
“Dia
agak mengingatkanku pada Kotaro-kun saat perjalanan semalam... Suara Mary-san
tidak stabil. Itu sebabnya aku tidak pernah benar-benar mengerti orang seperti
apa dirinya di kelas. Rasanya mencekam, bahkan sedikit
menakutkan... tapi saat dia sendirian dengan Ryuzaki-kun, suaranya memang
terdengar berbeda dari biasanya.”
Itu
terasa seperti sebuah petunjuk.
Begitu
rupanya.
Kalau 'kekuatan protagonis' Ryuzaki juga memengaruhi Mary-san... mungkin ada cara untuk
mematahkan cerita menyimpang yang dia ciptakan—!
Aku
merasa mulai memahami jawabannya.
“Makanya,
kupikir kamu tak perlu khawatir tentang mereka, Koutaro-kun. Jangan
memaksakan diri seperti dulu, oke? Kita sudah tidak terlibat lagi.”
Jika aku
tidak berbuat apa-apa, maka tidak akan terjadi apa-apa. Setidaknya,
begitulah Shiho melihatnya. Dan nasihat itu tidak salah.
Tapi
selagi Shiho bisa tetap tidak terlibat… Aku sudah terseret ke dalamnya.
Kalau aku
tidak berbuat apa-apa, Mary-san akan mencoba memaksaku berperan sebagai 'protagonis
harem'. Walaupun bukan itu yang kuinginkan.
Karena
satu-satunya orang yang kucintai hanyalah Shiho.
“Aku
akan baik-baik saja.”
Aku
mengatakannya, lalu mengangguk tegas.
Shiho
tidak bisa dibohongi. Itu sebabnya aku hanya fokus meyakinkannya bahwa tidak
perlu khawatir.
“…Tatapan
matamu itu tidak adil.”
Tetapi
meski begitu, dia mungkin merasa aku menyembunyikan sesuatu. Meski
begitu, dia tidak mendesakku lebih jauh tentang hal itu.
“Kamu hanya akan
membuatku tidak bisa berkata apa-apa selain 'Aku percaya padamu,' tau?”
Dia
tersenyum lembut saat mengatakannya.
“Kotaro-kun.
Setelah festival budaya selesai... maukah kamu berkencan lagi denganku?”
“Tentu
saja. Lain kali kita pergi ke tempat yang lebih jauh saja... Mau lihat
Akihabara? Kamu menyukai anime, jadi kupikir kamu akan menyukainya.”
“Ya… Ayo
kita pergi ke maid cafe bersama dan minta mereka melakukan hal 'moe moe kyun
kyun' itu untuk kita, oke?”
Kali ini,
dia mengulurkan jari kelingkingnya ke arahku.
“Janji?”
Jari-jemarinya begitu tipis
dan halus, rasanya hampir seperti akan patah jika aku meremasnya terlalu keras…
jadi aku dengan lembut mengaitkan jariku di jarinya—dan kemudian dia
menggenggam jariku erat-erat dari sisinya.
“Kita pasti akan pergi,
oke?”
“Tentu
saja,” kataku sambil mengangguk dengan kekuatan yang sama.
Kali
ini pasti, kita akan memiliki kencan yang murni dan menyenangkan… Itulah janji yang
kita buat.
◆◆◆◆
Sepertinya
aku salah. Sampai sekarang, yang bisa kupikirkan hanyalah bagaimana cara
mengkhianati Mary-san.
Tapi
bukan itu masalahnya. Pendekatan yang memaksa seperti itu tidak
cocok untukku.
Ada cara
yang lebih lembut untuk menghancurkan skenario Mary-san—dan Shiho adalah orang
yang menunjukkannya padaku.
“Mary-san
jatuh cinta pada Ryuzaki.”
Jika perkataan Shiho memang
benar—
Jika
Mary-san telah menyadari perasaannya sendiri… bisakah dia benar-benar menolak
Ryuzaki?
Dia
bilang dia akan menolaknya dan memilihku, semua itu hanya untuk membuatnya ‘tidak bahagia’.
Tetapi
bagaimana jika cerita berakhir dengan heroine utama
baru
yang mencintai tokoh utamanya tanpa pengkhianatan?
Bukannya itu akan menjadi
akhir yang bahagia juga?
Tapi...
apa itu benar-benar baik-baik saja? Bisakah sesuatu yang begitu hangat
benar-benar berhasil?
Diam.
Diam saja.
Akhir-akhir
ini, rasanya suara hatiku terus menghalangi pikiranku…
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya
