Chapter 6.1 — Shinonome Shino After, Kucing Hitam Nakal Membisikkan Kata-Kata Cinta Dan Mengirimkan Permohonan Di Malam Hari.
“Mau jalan-jalan melihat bintang seharian? Hari ini
katanya ada hujan meteor yang bisa dilihat.”
Pada suatu
sore di akhir musim gugur, aku dan Shino sedang bersantai di sofa kamar kami
saat dia tiba-tiba mengajukan ajakan itu.
“Kedengarannya ide yang bagus. Tiga orang lainnya juga
seharusnya sudah selesai kuliah, jadi kita bisa pergi setelah itu.”
“Ahem.”
Shino
berpura-pura batuk dengan sengaja. Dia melihatku sambil tersenyum.
“Sebenarnya, ketiga orang itu sepertinya punya laporan
yang harus diselesaikan hari ini, jadi mereka akan terlambat.”
“Eh? Benarkah?”
“Sangat disayangkan! Iya, sungguh sangat disayangkan,
sepertinya kita hanya bisa pergi berdua!”
…Aneh sekali.
Meskipun Shino mengatakannya dengan nada kecewa, tapi entah mengapa suaranya
tetap bersemangat.
“Kalau sudah diputuskan, sebaiknya kita harus bergegas. Mobil
sewaan sudah dipesan, dan barang-barang yang diperlukan sudah dimasukkan ke
dalam mobil. Kita hanya perlu pergi ke lokasi.”
“Wah, sepertinya kamu sudah menyiapkannya dengan sangat
baik…”
“Iya, kebetulan saja. Ayo, cepat pergi. Waktu adalah uang.”
Meskipun aku
menyindirnya, senyuman Shino tetap tidak memudar. Jika dia terus-menerus berwajar
poker, pasti tidak ada yang bisa mengalahkannya.
Walaupun
kami biasanya berlima, tapi 【Gadis Elok Empat Arah】 sedang bersaing mendapatkan perhatianku untuk menjadi
nomor satu untukku, jadi aku seringkali melihat mereka berusaha untuk
menjadikan kami berduaan saja.
Yah,
biasanya 【Gadis Elok Empat Arah】 lainnya selalu menghalangi sih…
Namun, Shino
berhasil menemukan kesempatan untuk berduaan denganku meskipun selalu berada
dalam pengawasan.
Aku tidak
tahu sejak kapan dia mempersiapkannya, tapi jika dilihat dari antusiasme Shino,
sepertinya dia tidak hanya merencakannya sehari atau dua hari sebelumnya.
Kurasa dia memang
sangat menantikannya.
Setelah berpikir
demikian, tiba-tiba aku merasakan gelombang rasa sayang untuk Shino.
“Hmm… tiba-tiba ada apa?”
“Maaf, karena Shino imut banget, jadi aku tidak bisa
menahan diri.”
Saat aku
mengelus kepala Shino, dia tampak nyaman dan menyerahkan diri. Aku mengelusnya
seperti mengelus kucing. Hari ini, aku ingin menghabiskan waktu berdua dengan
Shino.
“Kalau begitu, ayo kita pergi… eh, ada apa?”
Shino
menatapku dengan mata yang berapi-api.
“…Boleh aku menyerangmu sebelum kita berangkat?”
“Ya mana bolehlah!?”
※Sisanya diserahkan pada imajinasi pembaca.
◇◇◇◇
Shino
membawaku ke tempat perkemahan yang jauh dari pusat kota. Dalam ketenangan hari
kerja, untungnya tidak ada pengunjung lain yang terlihat selain kami.
Dari puncak
bukit kecil, aku bisa melihat pemandangan kota dari kejauhan. Angin musim gugur
lembut membelai kulitku, daun-daun pohon bergetar lembut, dan warna merah tua
di langit jauh perlahan-lahan larut dalam kegelapan malam.
“Kurasa ada baiknya bisa sesekali menjauh dari peradaban…
Pemandangannya juga bagus.”
“Benar. Udaranya juga terasa segar.”
Aku menghirup
udara segar dalam-dalam. Udara yang sejuk dan nyaman menyebar ke seluruh
tubuhku, seolah-olah membersihkan hatiku.
Tiba-tiba,
aku melihat Shino mengenakan jaket berhoodie berwarna biru gelap, di bawahnya
dia mengenakan kaos putih sederhana berlogo, celana denim hitam, serta
mengenakan kalung kecil.
Shino
menatap langit berwarna merah tua yang ditelan malam. Ketika angin berhembus, rambut hitam
legamnya sedikit berkibar seolah-olah malam sedang menyambut Shino.
Tiba-tiba, tatapan kami bertemu.
“Ada
apa?”
“…Tidak, bukan apa-apa.”
Karena rasanya
memalukan untuk mengakui bahwa aku terpesona padanya, jadi aku segera menatap ke
depan.
“Ngomong-ngomong,
minum alkohol sambil melihat pemandangan ini rasanya enak sekali, bukan?
Bagaimana denganmu, Satoshi-san?”
“Ah,
aku juga… Tunggu dulu!?”
Aku secara
refleks melihat ke arah Shino, ang entah bagaimana mengeluarkan sekaleng bir, membukanya, dan
langsung meminumnya. Lalu, Shino mengulurkan minuman yang sudah sedikit
memabukkan kepadaku.
Tidak, masalahnya bukan itu.
“Kita pulangnya bagaimana nanti!?”
Aku
adalah penyandang disabilitas yang tidak bisa menggunakan satu lengan karena tanganku masih cedera parah akibat kecelakaan,
jadi aku tidak memiliki SIM. Itulah sebabnya Shino membawaku sampai ke sini,
tapi sekarang setelah minum-minum,
dia pasti tidak bisa menyetir. Namun,
Shino tampak tidak mempermasalahkannya sama sekali.
“Jangan
khawatir. Aku juga membawa tenda, jadi kita bisa bermalam di sini. Untung saja aku membawanya untuk jaga-jaga. Ada pepatah yang
mengatakan 'persiapan mencegah kekhawatiran', dan menurutku para
pendahulu kita meninggalkan kata-kata yang bijak.
Iya, seriusan.”
Gadis ini…
Ketika
dia dengan bangga membuka bagasi mobil,
memang ada barang-barang yang cukup untuk bermalam. Terlalu banyak barang hanya
untuk melihat bintang, tetapi akhirnya aku mengerti. Dia membuatku merasa
tenang dengan mengatakan ini hanya perjalanan sehari, padahal dia sudah merencanakan
semuanya.
Sebagai
protes, aku menatap Shino dengan tatapan kesal, tetapi dia hanya
mengabaikannya.
“Maafkan
aku ya, Nyan~♡”
Melihat
Shino yang berpose seperti kucing dengan lidah menjulur──
“…Aku memaafkanmu.”
Keimutan itu curang banget…
◇◇◇◇
Api
unggun berdesis dan berderak. Kami duduk di dua kursi lipat dan menatap api unggun dengan
tenang. Di hadapan kami, panci
beras mengeluarkan uap sambil perlahan memasak nasi.
“Nasi
sepertinya sudah hampir matang… Shino, bisakah
aku meminta bantuanmu?”
“Serahkan
saja padaku~”
Shino
sudah sepenuhnya mabuk. Dia memberi hormat dengan imut dan membuka tutup panci.
Meskipun aku khawatir apakah aman membiarkannya bekerja di dekat api, dia
melakukannya dengan sangat terampil.
“Nasinya
matang dengan baik~. Mari
kita diamkan sebentar.”
Setelah berkata demikian, dia menutup panci dan
membaliknya. Sementara itu, aku memanaskan kari instan dalam air panas. Aroma
rempah-rempah yang menggugah selera menyebar dari saus yang perlahan
dipanaskan.
“Kira-kira segini sudah cukup kali ya~?”
Shino
dengan hati-hati membuka tutup panci. Di dalamnya, nasi putih yang baru dimasak
kelihatan bersinar. Dia memasukkan sendok
nasi, mengurai nasi yang lembut, lalu menyajikannya di piring dan menuangkan
kari instan yang sudah dipanaskan di atasnya. Saus kentalnya melapisi nasi
putih, dan saat melihatnya, selera makanku semakin meningkat.
Karena
terpengaruh Shino, aku juga mengambil minuman dan bersulang
bersamanya.
“Enak
sekali~~”
“Ah,
rasanya terlalu enak…”
Saling lezatnya sampai-sampai aku
bertanya-tanya, apa yang selama ini aku makan
biasanya.
“…Bekerja sama sebagai pasutri juga tidak terlalu buruk, ya?”
“Uhuk-uhuk…!?”
Aku dibuat
tersedak karena perkataannya
yang mendadak itu.
“Apa kamu baik-baik saja?”
Saat aku
menoleh ke arahnya, Shino dengan pipi yang
memerah tersenyum nakal, seolah merasa menang.
“…Ah, aku baik-baik saja.”
Melihat
ketenangannya membuatku merasa sedikit frustasi,
jadi aku meneguk minumanku untuk menutupi perasaanku. Namun, dari balik kaleng
itu, mata Shino yang berwarna merah tua dengan tenang berbicara.
──Aku
tahu semuanya, loh?
◇◇◇◇
Setelah
selesai makan malam, kami mendirikan tenda. Meskipun begitu, itu bukan
sesuatu yang megah. Kami hanya mendirikan tirai kain sederhana dan menata dua kantong tidur berjejer di
dalamnya.
Meski
begitu, hatiku terasa bersemangat.
“Rasanya seperti markas rahasia…!”
Kata-kata
itu terlepas dari bibirku tanpa kusadari.
“Hehe,
rasanya senang sekali jika kamu puas.”
Atap
tendanya cukup rendah, jadi aku tidak bisa melihat langit. Namun,
suara angin yang terdengar dari luar dan suara rumput yang bergoyang
menciptakan suasana yang tidak biasa.
Layar
ponselku dipenuhi dengan banyak notifikasi dari Satsuki dan dua orang lainnya.
Melihat
layar yang menunjukkan “+99”,
aku sedikit merasa repot memikirkan bahwa besok akan menjadi hari yang
sulit.
Namun, kenyataan bahwa aku bisa mengunjungi
tempat ini hari ini dan bisa menghabiskan waktu dengan Shino terasa lebih
penting daripada segalanya.
“Kalau
begitu, Satoshi-san. Kemarilah.”
“Hm?”
“Aku sudah banyak merepotkanmu hari ini. Jadi, anggap saja ini sebagai permintaan maaf.”
Shino
duduk bersila dan menepuk-nepuk
lututnya. Di tangan
kanannya, dia memegang alat pembersih telinga dari bambu.
“…Apa kamu sedang merencanakan sesuatu?”
Senyum riang Shino yang tanpa beban menandakan
bahwa dia sedang memikirkan sesuatu yang nakal.
“Sembarangan ih! …Padahal aku cuma merasa
senang kita bisa
berduaan seperti ini…!”
Dia
memprotes sambil mengerucutkan bibirnya. Berbeda
dengan dirinya yang biasanya penuh perhitungan, ekspresi polosnya seperti
anak-anak terasa segar, dan aku tidak bisa menahan tawa.
“Maaf
deh. Kalau begitu, aku akan memanfaatkan tawaranmu.”
“…Baik!”
Senyumannya tidak memiliki niat
tersembunyi. Hanya ada kebahagiaan yang terlihat jelas.
Aku
membalikkan badan dan menyandarkan kepalaku
di pangkuan Shino. Saat berbaring miring
dengan telinga kanan di atas, alat pembersih telinga dari bambu menyentuh
dengan lembut.
Sentuhan
paha yang lembut dan sesekali rambut hitam Shino yang menyentuh pipiku amehnya terasa nyaman. Padahal dia hanya membersihkan telingaku, tapi entah kenapa jantungku
tiba-tiba berdebar kencang.
“…Apa
ada bagian yang gatal?”
“Nyaman banget…”
Kenyamanan
yang membuatku terasa meleleh, tanpa sadar kata-kata jujur itu keluar. Meskipun dia cuma membersihkan telingaku, tapi seluruh tubuhku merasa manis dan
terurai.
“Hehe,
baguslah. Sekarang, mari kita bersihkan
telinga sebelahnya.”
“Tolong…”
Aku
berbalik dan membenamkan wajahku di perut Shino. Rasanya lembut dan hangat, dan
aroma manis menggelitik hidungku. Terjepit di antara paha dan perut Shino, aku
benar-benar terbungkus. oleh
Shino.
“Sekarang,
sisi ini juga.”
“Iyah~…”
“Hehe…
kamu manja sekali, ya.”
Suara
lembutnya berbisik di dekat telingaku. Rasanya
begitu menggelitik, tapi entah
mengapa rasanya menenangkan sehingga aku mendekatkan diri kepada Shino seolah-olah tertarik padanya.
Sementara
itu, telinga kiriku dibersihkan dengan lembut dan teliti seperti telinga
kananku.
“…Baik, sudah selesai.”
“Hmm…
terima, uhm!?”
Ketika
aku mencoba mengangkat kepala dengan otak yang serasa
meleleh, Shino seketika menindihku.
Dan kemudian, bibirnya menyentuhku.
“Ada
celah,”
──aku
berhasil.
Shino
tersenyum bangga.
Di dalam
tenda yang diterangi cahaya bulan, hanya mata rubi dan garis wajahnya yang
samar terlihat.
“…Apa kamu sudah merencanakan ini
dari awal?”
“Hmm…?
Bagaimana menurutmu?”
Dia
menempelkan jari telunjuk di bibirnya dan tersenyum nakal. Niat sebenarnya sulit untuk
dibaca bahkan oleh cahaya bulan. Aku
mengangkat tubuhku dan menggaruk pipiku yang terasa panas.
“…Baiklah, sekarang
giliranku.”
“Eh?”
“Aku tidak
mau menjadi pihak menerima doang.”
Aku duduk
bersila dan memberi isyarat, ‘Kemarilah’.
Shino
mengerjap sejenak, lalu tersenyum
bahagia.
“Kalau
begitu, aku akan memanfaatkan tawaranmu!”
Shino
mengibaskan ekornya yang tak terlihat dengan gembira dan menyandarkan kepalanya
di pangkuanku. Dia kemudian meletakkan kepalanya dengan manis di lututku.
Wajahnya menyentuh wajahku, dan pipinya menggosok-gosok dengan lembut,
membuatku merasa geli.
Dia
berusaha menahan napasnya, tetapi napasnya yang berat terdengar jelas. Aku
sedikit tersenyum pahit melihat Shino yang dipenuhi
hasrat.
“Ayo
cepat!” desaknya, sementara aku mengambil alat pembersih
telinga... bukan, aku mendekatkan wajahku.
“…Aku mencintaimu.”
“…Eh?”
Saat aku
membisikkan kata-kata manist itu
di telinga Shino, dia secara spontan menjauhkan wajahnya dari perutku dan
menatapku dengan tatapan bingung.
Pipiku
terasa panas. Aku tahu
bahwa mengucapkan kata-kata yang begitu tulus tidak sesuai dengan sifatku. Namun, sekarang di kegelapan
malam, tidak ada yang akan mengetahuinya.
“…Aku sudah bilang kan? Aku tidak
suka cuma menjadi menerima saja.”
“~~~~!!”
Ketika
aku melihatnya dari
atas, wajah Shino sudah memerah seperti kepiting rebus.
──Aku
menang...!
Aku
merasa sangat bersyukur bisa mengucapkan kata-kata itu.
Tapi sesaat
kemudian, Shino memelukku erat-erat. Dia menempelkan wajahnya dalam-dalam di perutku. Kemudian, dengan suara kecil yang
bergetar, dia berbisik.
“…Aku menyukaimu.”
──Seperti
berbisik.
“…Aku menyukaimu.”
──Seperti
seorang gadis.
“…Aku sangat mencintaimu.”
──Dengan
penuh cinta.
Suaranya
kecil dan samar, tapi terdengar keras dan jelas di telingaku.
Kupikir
aku sudah membalas dendam, tapi hasilnya ternyata
seri.
Aku dan
Shino sama-sama merasa malu, jadi kami hanya diam di tempat dan menunggu waktunya bintang jatuh. Namun, bisa dibilang, keheningan
itu tidaklah buruk.
◇◇◇◇
Kami
mendirikan tenda dan duduk bersebelahan di area masuknya. Sambil dibungkus dalam satu
selimut, kami berdua menatap
langit malam dengan tenang.
“In-Indah sekali, ya~”
“Ah,
iya…”
Kami
berdua masih merasakan kepanasan,
tetapi kami berusaha untuk tetap tenang.
Bintang-bintang
bersinar seolah-olah membelah
langit malam. Meskipun langitnya
sama, suasananya sangat berbeda dari kota. Hujan meteor belum datang, tetapi
seharusnya waktunya tinggal sebentar lagi.
Baik Shino
dan aku tidak banyak bicara, kami berdua
hanya saling berdekatan sambil menunggu. Kehangatan Shino terasa lembut melalui
selimut. Kehangatan itu begitu menenangkan,
dan aku berharap waktu ini bisa berlangsung selamanya, tetapi tiba-tiba Shino
memecah keheningan.
“…Seberapa banyak pengetahuanmu
tentang bintang-bintang?”
“Sayangnya,
tidak banyak. Pengetahuanku terhenti di tingkat SMP. Kalau boleh dibilang,
mungkin hanya konstelasi Orion yang memiliki tiga bintang sejajar sebagai
petunjuk.”
Aku
mengeluarkan tangan dari selimut dan menunjukkan konstelasi Orion di
langit.
“Kalau
begitu, apa kamu mengetahui mitos antara Orion dan Artemis?”
“Ya,
sedikit.”
Artemis,
dewi perburuan dan bulan yang perawan,
terkenal karena membenci pria. Satu-satunya orang yang pernah dicintainya adalah Orion.
Namun,
hubungan mereka tidak disetujui oleh Apollo, saudara kembar Artemis. Apollo
menipu Artemis, dan dia pun membunuh Orion dengan panahnya.
Ketika
Artemis mengetahui hal itu, dia sangat sedih dan memohon kepada ayahnya, Zeus,
untuk mengangkat Orion sebagai konstelasi di langit malam... atau begitulah ceritanya.
“Itu
cerita yang menyedihkan, ya…”
Aku tidak
menyukai akhir yang buruk. Aku sudah
cukup muak.
“Aku
sangat membenci Apollo. Dia dipuja sebagai dewa utama dalam mitologi Yunani, tapi apa kamu tahu kalau dia menyebabkan tragedi yang tidak
terhitung jumlahnya?”
“Benarkah?”
Dia sering digunakan sebagai
karakter kuat dalam game, jadi
aku tidak pernah memiliki kesan itu.
“Ya.
Dia bertindak sesuai dengan instingnya dan mengacaukan orang-orang di
sekitarnya, sehingga menghancurkan kehidupan seseorang…”
“Ah…
jadi begitu.”
Aku tidak
menyadarinya sampai dia mengatakannya, tetapi dia
memang mirip dengan orang itu. Meskipun membandingkannya dengan dewa terasa
berlebihan…
Shino
tampak mengingat orang itu dengan wajah ketakutan. Setelah menghela napas
sekali, aku memeluk bahunya. Dia kemudian menatapku dengan penuh rasa penasaran.
“Ap-Apa
ada yang salah?”
“Tidak,
aku merasa sedih jika kamu memikirkan pria
lain saat berkencan denganku…”
“Ah.”
Aku tahu
bagaimana perasaan Shino tentang orang itu, dan aku juga tahu dia mencintaiku. Tapi meskipun begitu, jika dia sampai memikirkan pria lain, aku juga merasa cemburu.
Sebesar
itulah perasaan cintaku pada Shino.
“Fufufu, kamu sangat mencintaiku, ya…”
“Iya, ‘kan?”
“Ya.
Rasanya hangat…”
Keheningan
menguasai dunia. Namun,
anehnya, aku tidak merasa tidak nyaman.
Berkat
perasaan bahwa kami saling mendekat dan melihat sesuatu yang sama, semuanya
terasa menyenangkan.
“Hei.”
“Hmm?”
Shino
memanggilku dengan cara yang terasa aneh. Ketika aku menoleh ke arahnya, aku merasakan sensasi lembut di bibirku.
Dengan
tatapan sedikit menengadah,
dia memandangku dan berkata,
“Ay-Ayo
kita selalu bersama selamanya ya,
Satoshi…san”
Gaya
bicara yang canggung dan tidak menggunakan bahasa formal membuatnya terputus di
akhir kalimat dengan menambahkan “san,” sehingga terasa setengah
hati.
Aku
merasa kagum melihat Shino, yang biasanya berusaha sempurna, berbicara dengan
cara yang tidak sempurna.
“…Ah, aku juga.”
Ketika
aku melihat ke langit, hujan bintang
jatuh mulai muncul satu per satu. Meskipun
tidak sebesar hujan meteor seperti di anime, aku tetap merasa terharu.
Ketika
aku ingin berbagi perasaan ini dengan Shino, ia menangkupkan kedua lengannya
dalam pose berdoa.
Setelah
beberapa detik berdiri, dia mengangkat wajahnya dengan napas putih.
“Apa
yang kamu doakan, hmm?”
Shino
menempelkan jari telunjuknya di bibirku ketika aku
bertanya padanya.
“Rahasia.
Katanya, jika keinginanmu
diucapkan, itu tidak akan terwujud…”
“…Kurasa ada benarnya
juga.”
Kita akan
tahu kapan keinginan kita akan terwujud.
Mari kita
tunggu hari itu dengan sabar.
Lagipula,
kita masih punya banyak waktu──
