Otonari no Tenshi-sama Volume 11.5 Chapter 6 Bahasa Indonesia

 

Chapter 6 — Sahabat yang Tak Biasa dan Cinta yang Tak Berubah

 

Semenjak liburan tahun baru, Chitose mulai belajar dengan giat. Sepertinya mereka telah sepakat untuk berusaha bersama, dan Chitose kini lebih aktif meminta bantuan Mahiru untuk belajar. Bahkan ketika Mahiru tidak ada, dia mulai membuka buku pelajaran dan buku referensinya sendiri.

Dia mulai berusaha dengan pemahaman yang jelas bahwa ini untuk masa depannya, yang merupakan perubahan yang sangat baik. Mahiru sangat menyambut perubahan ini karena dia ingin Chitose berjalan di jalannya sendiri jika memungkinkan.

Meskipun sesekali ada hambatan, Chitose tetap bersemangat untuk belajar, jadi Mahiru tidak segan untuk membantunya. Hari ini adalah hari libur, tapi karena Amane sedang bekerja paruh waktu, Mahiru mengundang Chitose ke dalam rumahnya untuk mengulang pelajaran kelas satu. Mengingat sifat Chitose, ada kemungkinan sifat pemalasnya akan kembali setelah ujian, jadi Mahiru mengusulkan untuk belajar bersama , dan setelah dua jam belajar, kekhawatiran Mahiru sepertinya terbukti benar.

“Kenapa aku dulu bodoh sekali sih?”

Mahiru menutup buku pelajarannya dengan senyum masam sementara Chitose mengerang penuh penyesalan sambil terkulai di atas meja di ruang tamu.

“Kalau dipikir-pikir lagi, semua orang punya penyesalan atas kesalahan yang pernah mereka perbuat atau hal yang seharusnya tidak mereka lakukan. Mari kita gunakan penyesalan itu untuk membantu kita melangkah maju.”

Chitose kebanyakan mengingat jenis mata pelajaran yang tidak bisa dipelajari sekarang kecuali sudah menguasai tingkat-tingkat sebelumnya, seperti rumus matematika dan tata bahasa Inggris, tapi sepertinya dia masih sering melupakan linimasa sejarah, detail peristiwa, dan kosakata bahasa Inggris, dan dia meratap dengan penuh kesedihan, “Apa aku pernah mempelajari ini…?” Tentu saja, itu adalah hal-hal yang sudah dia pelajari jauh sebelumnya.

Dalam ujian masuk, mereka tidak hanya menggunakan soal apa yang sudah dipelajari selama tiga tahun di SMA, tapi juga semua yang sudah dipelajari di SD dan SMP, jadi jelas bahwa jika dasar-dasarnya tidak kuat, itu akan menjadi masalah. Bagi kebanyakan orang, pengetahuan dasar lebih sering dilupakan, jadi dia berencana untuk meninjau kembali apa yang telah dipelajari dan memperkuat dasar-dasarnya.

“Mahirun, kamu kelihatan santai banget ya.”

“Bisa dibilang santai, atau lebih tepatnya, aku sudah belajar sebelumnya dan rutin mengulang pelajaran. Waktu yang kuhabiskan untuk belajar berbeda, jadi mau bagaimana lagi. Saat Chitose berlatih atletik, aku berteman dengan meja belajarku.”

“Ugh~... Jika kamu sudah mengumpulkan pengetahuan dan pengalaman sebelum aku mengenalmu, aku tidak bisa mengeluh. Selama ini aku hanya berlari, bersantai atau bermain bersama Ikkun. Ini kesalahanku.”

“Aku tidak berpikir itu kesalahan. Ini hanya masalah prioritas, dan hubungan yang ada saat itu membentuk Chitose yang sekarang.”

Sejujurnya, Mahiru merasa bahwa dia sendiri terlalu serius di masa lalu, dan dia adalah orang yang sulit untuk menyerah. Meskipun dia menyadari bahwa orangtuanya takkan mengakui dirinya, dia tetap berjuang keras dan berusaha, tapi meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, dia bahkan tidak bisa mendapatkan perhatian mereka.

Sebagai hasilnya, pengetahuan dan keterampilannya terus terakumulasi, tapi dia merasa kalau itu bukan hal yang hebat. Sebaliknya, dia merasa itu adalah hasil dari usaha yang menyedihkan.

Tidak diragukan lagi bahwa Chitose menjalani kehidupan pelajar yang lebih sehat, dan Mahiru bahkan merasa iri padanya.

“Sebaliknya, aku justru merasa kalau aku paling bodoh.”

“Eh, kenapa kamu tiba-tiba merendahkan diri?”

“Tidak, aku hanya berpikir bahwa aku perlu lebih melihat ke luar pada saat itu. Jika aku meminjam kata-kata Chitose-san, diriku di masa lalu memang bodoh.”

Meski begitu, Mahiru sebenarnya menyukai dirinya sendiri sekarang, dan dia bahkan bisa memuji dirinya sendiri atas usaha yang ia lakukan di masa lalu, jadi itu bukan hanya penyesalan.

“Tapi karena ada masa-masa itulah Mahirun berada di tempatnya sekarang dan kau mulai berkencan dengan Amane, ‘kan?”

Sebaliknya, ketika Chitose meminjam kata-kata itu dan menanggapinya dengan mata terbelalak, dia tersenyum bahagia seolah-olah itu sebagai pembalasan.

“Benar. Meskipun ada penyesalan, tapi semua peristiwa itulah yang membawaku dengan diriku yang sekarang, dan Amane-kun menyukai diriku yang sekarang.”

“Ya, ya, masa lalulah yang membentuk diri kita sekarang, jadi tidak baik jika kita terlalu memikirkannya.”

“Ada benarnya juga sih. Namun, kamu seharusnya memikirkan fakta bahwa kamu benar-benar melupakan apa yang sudah kamu pelajari setelah ujian..”

“Benar sekali! Maaf telah merepotkan!”

Chitose mengangkat tangan dengan semangat seakan menegaskan kalau dirinya menyesali itu, dan Mahiru tersenyum kecil sambil mengigit cemilan jelly yang disiapkan sebagai camilan dan memasukkannya ke dalam mulutnya.

Mahiru menyadari betul kalau konsentrasi menghilang, sulit untuk kembali, jadi lebih baik kalau mereka beristirahat untuk menyegarkan otak mereka. Tekstur halus dan manis yang menyegarkan dari cemilan jelly sangat efektif untuk otak yang lelah setelah belajar. Menambahkan teh hijau ke dalamnya menciptakan perpaduan sempurna antara rasa manis, aroma, dan pahit-manis, memenuhi mulut dan hatiku dengan rasa bahagia yang tak terlukiskan.

“Ngomong-ngomong, kalian berdua sudah berpacaran selama enam bulan lebih, kan?”

Chitose memeriksa kue mochi berbentuk kelinci di piring masing-masing sambil mengingat kembali saat-saat itu.

“Sejak festival olahraga, jadi belum genap sepuluh bulan.”

Saat ini mereka sudah memasuki awal bulan Maret, sedikit setelah ujian akhir tahun, dan jika dipikirkan dari waktu mereka mulai pacaran, sebentar lagi mereka akan genap sepuluh bulan.

Ada perasaan campur aduk dalam diri Mahiru; merasa sudah lama berlalu, tetapi juga merasa baru sebentar. Chitose menatapnya dengan tatapan keheranan seolah berkata, “Apa? Belum selama itu?”

“... Masih segitu?”

“Kenapa kamu melihatku dengan tatapan curiga? Kamu yang sudah bersama denganku pasti tahu kapan kita mulai pacaran, Chitose-san.”

“Tidak, hanya saja, meskipun kedengarannya baru sebentar, tapi kalian berdua sudah seperti pasangan yang sudah lama menikah dan telah melewati banyak hal bersama, ada rasa solidaritas dan saling percaya. Tapi di sisi lain, kalian juga menunjukkan kemesraan seperti pasangan pengantin baru.”

“Ka-Kami tidak menunjukkan apa-apa, kok!?”

“Jadi kalian melakukannya tidak disadari? Begitu rupanya ya. Yah,,Meskipun ada nuansa pasangan suami istri, hubungan kalian sangat sehat dan platonis.”

“Chitose-san.”

“Maaf.”

Tentu saja Mahiru takkan menceritakan pengalamannya sebagai kekasih kepada siapa pun, karena itu akan tidak enakan bagi Amane, meskipun mereka adalah sahabat, Chitose setidaknya tahu bahwa Mahiru tidak mempunyai ‘pengalaman yang seperti itu’.

(......Padahal aku tidak sepolos yang dipikirkan Chitose-san.)

Memang benar kalau mereka belum melewati batas yang biasanya gampang dilalui oleh sepasang muda-mudi. Amane selalu berbicara kepadanya bahwa ia berjanji untuk tidak melangkah lebih jauh karena ia menghargai Mahiru. Namun, dia tidak menceritakan apa yang terjadi pada hari itu secara langsung.

Bagaimana Amane menyentuhnya dan bagaimana mereka saling mengenal satu sama lain. Hanya mengingatnya saja sudah membuatnya merasa malu dan wajahnya terasa panas, tetapi Chitose sepertinya menganggap itu sebagai ejekan dan melihat Mahiru dengan senyuman lebar sambil berkata, “Uwihh~dasar kamu, ya.”

Tanpa memperbaiki kesalahpahaman itu, Mahiru terus menyimpannya dalam hati, sementara suara tawa bahagia terdengar.

“Ngomong-ngomong, Mahirun, apa kamu tidak punya ketidakpuasan terhadap Amane?”

“Ketidakpuasan?”

“Yah, aku tahu kamu sangat menyukainya, tapi memangnya tidak ada sesuatu yang kamu anggap kurang? Dari sudut pandang orang lain, ia menutupi kekurangan sampai-sampai bisa membuat orang lain kesal.”

“Kesal?”

“Ya, maksudku, Amane itu sangat berusaha keras untuk seimbang denganmu. Ia memang orang yang pekerja keras dan serius, jadi ia dengan cepat menyerap semuanya, kan?”

“Amane-kun memang cukup keras kepala dan orang yang akan berusaha sampai dirinya merasa puas.”

Meskipun aku tidak mengerti kenapa kata ‘kesal’ muncul, tetapi seperti yang dikatakan Chitose, Amane adalah orang yang tidak pernah melewatkan kesempatan untuk memperbaiki hal-hal yang tidak bisa dilakukannya melalui usaha.

Dia pernah mendengar dari mulut Amane sendiri, “Aku berusaha bukan demi Mahiru, tetapi karena aku ingin menjadi sosok yang pantas berdiri di samping Mahiru,” dan sebenarnya, Mahiru juga merasakan bahwa bagian-bagian dirinya yang dulu ia pikir agak kurang perlahan-lahan diperbaiki.

“Semuanya itu berkat kekuatan cinta, ya.”

“... In-Intinya, Amane-kun melakukannya karena itu demi dirinya sendiri.”

“Benar, tapi penggeraknya adalah cinta. ... Dan sekarang ia bisa melakukan hampir semua hal, kan?”

“Yah, sebenarnya lebih sulit menemukan hal-hal yang tidak bisa ia lakukan dalam kehidupan sehari-hari.”

Sungguh, jika dibandingkan dengan saat pertama kali bertemu, perubahannya sangat mencolok, sampai-sampai Mahiru meragukan apa dirinya benar-benar orang yang sama.

Dulu Amane tampak berantakan, pakaian dan majalah berserakan di lantai dan jendela-jendela berdebu. Namun, kini ia selalu membersihkan lantai dari barang-barang yang tidak perlu, bahkan menyapu meja dan kusen jendela agar bebas debu.

Dari kemampuan memasak yang hanya bisa membuat telur orak-arik, Amane yang sekarang bisa merencanakan menu dengan memperhatikan gizi dan membuat hampir semua masakan dengan enak.

Dulu ia tidak terlalu memperhatikan penampilannya, tapi sekarang Amane tidak pernah melewatkan perawatan rambut dan kulit. Penampilannya yang kurus dan cenderung membungkuk kini telah berubah menjadi sosok yang kuat dan percaya diri setelah menjalani transformasi fisik, dan dirinya kini lebih sering menatap ke depan.

Selain itu, Amane juga berusaha keras untuk memperbaiki hal-hal yang menurutnya masih kurang. Sifatnya yang tegas dan fokus begitu dirinya memutuskan untuk melakukan sesuatu adalah salah satu hal yang disukai Mahiru dari Amane.

“Masa-masa buruk hanyalah cerita di masa lalu, sekarang ia justru keliatan menjadi contoh yang bagus. Kekurangannya yang sangat jelas kalau ia sangat pengecut, ‘kan?”

“Kalau Amane-kun mendengarnya, ia pasti marah loh.”

“Tapi ia memang pengecut sih.”

“... Dirinya hanya berhati-hati dan menghormatiku.”

“Itu sih cuma kombinasi antara kelebihan dan kekurangan, ya. Dari sudut pandang Mahiru, mungkin kamu ingin dia lebih agresif, bukan?”

“Agresif...”

“Misalnya, aku ingin kamu hanya melihatku dan melakukan tindakan berani, atau seperti melakukan kabedon.”

“Aku selalu melihat Amane-kun, jadi kenapa harus menabrak dinding...?”

“Bukan begitu maksudku, tapi aku mengerti, Mahiru sangat menyukai Amane. Jadi, bagaimana kalau Amane yang terlalu dipenuhi perasaan cinta sampai-sampai mendorongmu?”

“Ma-Mana mungkin Amane-kun akan melakukan hal seperti itu...”

Mahiru tidak bisa mengatakannya dengan tegas. Amane memang orang yang sopan, tenang, dan perhatian, tetapi seperti yang dikatakan Chitose, Amane juga merupakan remaja laki-laki yang sehat.

Dari interaksi dan ciuman, ada kalanya gairah mereka menjadi memuncak, dan ada keinginan untuk menyentuh bagian pribadi yang lebih intim. Mereka pernah terjatuh di sofa berdua, jadi itu bukan hal yang mustahil.

Namun, Amane tidak pernah memaksakan kehendaknya dan selalu bertanya terlebih dahulu, yang menunjukkan bahwa dirinya orang yang jujur dan sopan.

Mahiru bisa melihat ekspresi Chitose yang terkejut saat melihatnya ragu-ragu, dan perlahan-lahan wajahnya menunjukkan ekspresi senang.

“Beneran tidak melakukannya?”

“... Hanya sedikit, tapi tidak lebih.”

“Ah, seriusan?”

“Jangan membuat wajah seperti itu.”

“Aduduh, ya ampun.”

“Chitose-san.”

“Dibilang, maaf deh. Tapi, Amane memang pernah mendorongmu ya.”

“Tapi kami tidak melakukan hal seperti yang kamu pikirkan, kok!”

Adegan yang dibayangkan Chitose jelas menjadi sangat ekstrem, jadi Mahiru meninggikan suaranya untuk menyela, tapi senyum menyeringainya tidak kunjung pudar.

“Hmm. Jadi, ia membelaimu?”

“Chitose-san!”

“Maaf, maaf. Dari sudut pandangku, itu sangat baik untuk seorang remaja, tetapi aku juga berpikir apakah itu baik untuk seorang remaja.”

Atau lebih tepatnya, aku merasa ia benar-benar menahan diri, bukan? Kupikir Ikkun harus mencontohnya? Dengan nada yang bisa dianggap mengejek atau bahkan memuji, dia melanjutkan.

Mahiru merasa malu saat memikirkan seberapa besar keinginan Itsuki terhadap Chitose, dan dia segera mengusir pikiran itu. Mahiru menarik napas dalam-dalam sebelum membuka bibirnya untuk berbicara.

“... Amane-kun adalah orang yang menepati janji dan tidak akan memaksakan kehendaknya.”

“Itu bisa menjadi kelebihan sekaligus kekurangan. Jika dirinya terlalu bertekad, Mahiru mungkin merasa setengah aman dan setengah khawatir tentang daya tariknya, bukan?”

Chitose dengan tepat mengungkapkan kekhawatiran Mahiru, dan dirinya tidak bisa membantahnya saat itu.

Mahiru tidak pernah meragukan daya tarik seksualnya sendiri. Dia pernah mendapatkan tatapan yang tidak pantas dan mendengar komentar semacam itu. Mahiru percaya bahwa baik penampilan maupun kepribadian harus diasah, jadi dia tidak pernah melewatkan perawatan dan telah berusaha untuk mengoptimalkannya.

Meskipun mungkin bukan hal yang perlu dibanggakan, tapi dia merasa bahwa secara genetik, penampilannya sudah cukup baik.

Jadi, kurangnya insiatif Amane dalam menunjukkan sikap semacam itu justru membuatnya merasa cemas. Ia merawatnya dengan penuh kasih sayang, sehingga Mahiru bertanya-tanya apakah dia mengharapkan lebih dari sekadar ciuman.

Tentu saja, kekhawatiran itu ternyata berlebihan, seperti yang kemudian dia pahami melalui kata-kata, tindakan, dan situasi fisiknya.

“Lihatlah.”

“... Tapi, Amane-kun adalah lelaki sejati. Aku yang selalu berada di sampingnya paling memahami itu.”

“Ah, jadi bagian bawahnya sih sehat-sehat saja dan penuh semangat ya, baguslah kalau begitu.”

“Chitose-san.”

“Aku akan lebih berhati-hati dengan kata-kataku. Maaf.”

“Apa yang kamu katakan?” tanya Mahiru sembari memberi tatapan yang jelas penuh kritik, membuat Chitose melambaikan telapak tangannya di samping kepalanya dan menyerah.

Meskipun Mahiru berusaha untuk tidak terlalu memperhatikannya, kata-kata yang agak langsung itu masih membuatnya merasa malu. Namun, tampaknya Chitose tidak merasa terganggu dengan hal itu dan tetap tenang.

Sepertinya ada perbedaan pengalaman di berbagai aspek, membuat Mahiru merasa gelisah. Dia kemudian melemparkan tatapan tajam kepada Chitose yang tampak ceria.

“Kalau begitu, bagaimana denganmu, Chitose-san?”

“Aku?”

“Karena kalian sudah lama bersama dan begitu lengket, mungkin ada hal-hal yang kamu pikirkan tentang Akazawa-san?”

Karena Mahiru merasa Chitose selalu menyentuh area sensitif, jadi dirinya berpikir ada baiknya jika Chitose juga menceritakan sesuatu dari sisinya sesekali.

Bukannya Mahiru ingin mendengar keluhan atau semacamnya, tapi mengingat kejadian Tahun Baru, dia berpikir lebih baik mendengarnya sebelum ada ledakan kalau memang ada sesuatu.

Chitose mengangguk mudah menanggapi pertanyaan itu, yang sebagian merupakan balas dendam dan sebagian lagi murni kekhawatiran.

“Mengenai Ikkun? Oh tentu, ada banyak sekali, gila."

“Ra-Rasanya mengejutkan.”

“Tidak juga, sih. Yah, mungkin Ikkun tidak kelihatan begitu dari  sudut pandang orang luar. Karena Ikkun orangnya ramah dan bisa melakukan banyak hal dengan baik.”

Seperti yang dikatakan Chitose, bagi Mahiru, Itsuki memiliki kemampuan komunikasi yang baik, sikap ceria yang tidak menjengkelkan, dan kemampuan untuk memahami situasi. Dirinya sangat pandai mendekati orang lain tanpa membuat mereka merasa tidak nyaman.

Selain itu, meskipun ia bertindak konyol, tapi dirinya tetap memiliki pandangan dan sikap yang tenang, membuatnya sangat mahir dalam menangani berbagai situasi.

Menurut Amane yang berteman dekat dengannya, menggambarkannya sebagai, “Walaupun ia bertingkah ceria dan berperilaku berlebihan, tapi pada dasarnya dirinya cukup pendiam, sabar, dan sering kali diam saat menghadapi kesulitan, cenderung menolak bantuan orang lain,” meskipun itu adalah penilaian yang cukup keras, ada beberapa kebenaran di dalamnya.

— Mungkin karena ada kesamaan dengan dirinya.

Karena penilaian Amane seperti ini, lalu bagaimana dengan penilaian Chitose yang lebih dekat sebagai pacarnya?

“Dari sudut pandangmu, Mahirun, Ikkun itu terlihat sebagai seseorang yang mempunyai keterampilan komunikasi yang hebat, ‘kan?”

“Ya, itu benar.”

“Ikkun memang pandai dalam komunikasi, tapi bagaimana ya menjelaskannya... maksudku, Ikkun sangat pandai membaca suasana, terlalu pandai sehingga cenderung ingin mengendalikan suasana tersebut. Mungkin ini setengah tidak sadar, tapi sepertinya dirinya ingin mengontrol, bisa dibilang begitu. Itu bisa menjadi hal baik sekaligus buruk dari Ikkun, tetapi dirinya jarang mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Ia lebih suka menyembunyikannya dan beradaptasi dengan situasi.”

Tentu saja, ia tidak bersikap seperti itu di hadapanku atau Amane, imbuh Chitose sambil menghela napas.

“Banyak orang yang memiliki kesan bahwa Ikkun itu ramah, ceria, dan bersemangat, tetapi sebenarnya dirinya cukup pemalu dan cenderung eksklusif. Dirinya sangat tidak suka jika ada orang lain masuk ke dalam kehidupannya. Itulah sebabnya, ia ingin berada di posisi yang mengendalikan dan menjaga wilayahnya agar tidak dilanggar, seolah-olah ia berusaha menjauhkan orang lain. Mirip seperti memperluas kebunnya supaya tidak ada orang yang bisa masuk ke dalam rumahnya.”

“... Aku mengerti apa yang ingin kamu sampaikan.”

Jika dibandingkan, Mahiru lebih mirip tipe Itsuki daripada Amane.

Karena dia tak ingin siapa pun menyentuh bagian lembut dan rapuh di dalam dirinya, dia menciptakan dan mempertahankan kepribadian luarnya. Dia menciptakan kesan yang menyenangkan dan tak membiarkan siapa pun menginjakkan kaki di tanah yang masih asli di dalam dirinya.

Dengan cara begitu, dia mendapati dirinya sendirian dan merasa hampa. Dia menolak untuk mengajak orang lain masuk, lalu dengan bodohnya meratapi kesepian dan kekosongan karena merasa tidak ada yang memperhatikannya. Mahiru pernah mengalami masa-masa seperti itu.

Sekarang, Mahiru tidak lagi merasa seperti itu.

Berkat Amane, dia tidak lagi merasa demikian.

“Walaupun sepertinua ia tipe yang mirip dengan Amane, tetapi sebenarnya sangat berbeda. Amane jelas-jelas membuat dinding agar orang tidak mendekat. Sebagai gantinya, ketika sudah akrab, Amane akan membiarkan orang masuk ke dalam dinding tersebut. Sementara Mahirun mirip dengan Ikkun, tetapi lebih memilih untuk menetapkan batasan dengan sikapnya agar orang lain tidak bisa masuk.”

Sejak dekat dengan Chitose, Mahiru selalu berpikir dia sangat memperhatikan kepribadian orang-orang terdekatnya.

Dia sangat terampil dalam melihat sifat asli seseorang dan mengukur jarak. Karena itulah, dia bisa dengan mudah masuk ke dalam kehidupanmya tanpa menimbulkan ketidaknyamanan.

“Ikkun sangat jarang membiarkan orang lain masuk ke kamarnya. Bahkan saat kami sudah dekat, dirinya sering kali hanya mengizinkanku sampai pintu masuk atau ruang tamu. Jika ia membiarkanku masuk ke dalam kamarnya,ia  biasanya menyembunyikan sesuatu di dalam lemari.”

Meski aku merasa aneh dengan hal semacam itu, gumam Chitose dengan suara yang tampak serius sambil menyeruput teh hijau yang sudah dingin.

“Selain itu, Ikkun lebih suka menyelesaikan masalahnya sendiri, jadi ia sering menyimpan rahasia. Kemampuannya untuk menyembunyikan hal itu sangat mengesalkan.”

“Fufu, tapi kalian berdua sudah berdiskusi dengan baik tempo hari, bukan?”

“Ya, kami sudah membicarakannya. Aku bilang padanya bahwa jika dia mencoba memikul beban berdua sendirian lagi, aku akan menendangnya.”

Karena masalah ketidakberesan komunikasi di tahun baru, Chitose yang sangat khawatir dan marah tampaknya telah berbicara serius dengan Itsuki tentang ketidakpastian dan ketidakpuasan mereka, serta hal-hal yang akan datang. Namun, Mahiru merasa sedikit terkejut ketika mengetahui bahwa Chitose telah berjanji untuk memberikan hukuman yang cukup agresif tanpa sepengetahuan Mahiru.

Meskipun dia bukan anggota aktif tim atletik, Mahiru tahu bahwa Chitose masih menjaga kebugaran dan kekuatan kakinya dengan berlari, sehingga mudah untuk membayangkan betapa kuatnya tendangan itu. Dengan keadaan seperti ini, tampaknya Chitose tidak akan mengurangi kekuatan, jadi jika hukuman benar-benar dilaksanakan, Itsuki mungkin akan berada dalam masalah besar.

“Jika Chitose-san melakukannya dengan kekuatan kakinya, bukannya itu akan menjadi masalah besar?”

“Ikkun sendiri yang salah.”

“Ya, itu benar.”

Chitose biasanya gadis yang toleran dan jarang marah, jadi masalah ini pasti ada pada Itsuki yang telah membuatnya marah. Jika ia terus-menerus mengulangi hal yang dilarang, tidak mengherankan jika ada hukuman yang setimpal.

Chitose mengalihkan pandangannya dengan raut wajah cemberut, tapi sepertinya dia tidak benar-benar merajuk, dan dia juga sepertinya berpikir Itsuki akan terus bersikap rahasia, menunjukkan kepercayaan yang dimilikinya terhadap Itsuki dan membuat Mahiru tersenyum.

“Lalu, hmm... Ikkun itu orang yang suka berpura-pura kuat.”

“Bukannya anak laki-laki biasanya berpura-pura kuat di depan gadis yang mereka suka?”

“Memang begitu, tapi ia melakukannya secara berlebihan. Dirinya bahkan tidak ingin menunjukkan sisi lemahnya di depan Amane. Senyum yang dia tunjukkan biasanya hanya untuk menyembunyikan sesuatu. Hal seperti itu membuatku kesal.”

“Chitose-san ternyata cukup keras terhadap Akazawa-san, ya.”

“Ya, tentu saja. Menyukai seseorang dan selalu membenarkan semua yang dia lakukan merupakan dua hal yang berbeda. Menyembunyikan kesedihan dan berpura-pura baik-baik saja merupakan kebiasaan buruk Ikkun. Belakangan ini, ia sudah mulai lebih baik, atau lebih tepatnya, setelah kami berdiskusi, ia harusnya menjadi lebih baik.”

Karena Itsuki tidak dapat menahan diri dan datang meskipun dengan ragu pada malam tahun baru, jadi apa yang dikatakan Chitose sangat masuk akal.

Amane juga cenderung tidak mengungkapkan perasaannya, tapi dirinya akan bicara kalau khawatir, yang mungkin membedakannya dari Itsuki. Amane pada dasarnya tipe yang jujur, terbuka, dan tidak pandai menyimpan rahasia, jadi bisa dibilang dia tidak bisa menyembunyikan perasaannya.

“Ya, ada beberapa hal yang tidak kusuka, tapi menurutku tidak semuanya kekurangan, dan terkadang bahkan bisa menjadi hal yang baik, jadi meskipun ada ketidakpuasan, aku tetap menyukainya. Mahirun juga begitu, kan?”

“... Benar.”

Memang benar Mahiru bisa dengan bangga mengatakan bahwa ia menyukai dan menyayangi semua hal tentang Amane, tetapi ia juga menyadari bahwa Amane memiliki beberapa kekurangan setelah menghabiskan waktu bersamanya.

Entah bisa dibilang baik maupun buruk, Amane cenderung mengutamakan Mahiru, dan terkadang dia merasa sedikit cemas ketika menimbang antara Amane dan dirinya, seolah-olah dia akan selalu memilih Mahiru tanpa waktu untuk berpikir.

Meskipun Mahiru merasa sangat dicintai dan itu membuatnya sangat senang, terkadang dia ingin Amane lebih memprioritaskan dirinya, dan jika itu membuat Amane terluka atau menderita, Mahiru juga akan merasa sedih, jadi dia ingin Amane tidak berlebihan dalam hal itu.

Setelah mereka berpacaran, Amane terlalu jujur dan langsung mengungkapkan perasaannya, yang kadang membuat Mahiru merasa bahagia sekaligus malu, sehingga dia terkadang merasa geli tidak karuan karena perasaan malunya.

Mengingatnya kembali, Mahiru bisa merasakan seberapa besar dirinya dicintai, dan itu membuat rubuhnya sedikit merasa panas.

Chitose melihat itu dan berkata, “Itulah cinta, ya,” sambil tersenyum seolah bisa membaca pikiran orang lain.

“Yah, Ikkun sepertinya sudah merenungkan semuanya, jadi mulai sekarang jika ada sesuatu yang terjadi, kurasa ia akan membicarakannya tanpa menyembunyikannya.”

Ekspresi Chitose tidak menunjukkan tanda-tanda kecemasan saat menyimpulkan hal itu, dan Mahiru yang mengetahui ketidakstabilan emosional Chitose selama tahun baru merasa bisa lebih tenang kali ini dan tersenyum.

“Kurasa kalian berdua sekarang bisa berbicara dengan baik. Begitu, kan?”

“Ya, benar. Jika ia masih menyembunyikannya, yah, tidak akan ada kesempatan kedua.”

“Hehe. Sepertinya aku tidak perlu khawatir tentang itu.”

“Aku ingin mempercayai itu.”

Dengan perasaan yakin yang aneh bahwa sesuatu seperti itu mungkin tidak akan terjadi lagi, Mahiru menyeruput teh hijaunya yang sudah dingin, sambil melihat ekspresi bahagia Chitose.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama