
Chapter 6 — Sahabat yang Tak Biasa dan Cinta yang Tak Berubah
Semenjak
liburan tahun baru, Chitose mulai belajar dengan giat. Sepertinya mereka telah
sepakat untuk berusaha bersama, dan Chitose kini lebih aktif meminta bantuan
Mahiru untuk belajar. Bahkan ketika Mahiru tidak ada, dia mulai membuka buku
pelajaran dan buku referensinya sendiri.
Dia mulai
berusaha dengan pemahaman yang jelas bahwa ini untuk masa depannya, yang
merupakan perubahan yang sangat baik. Mahiru sangat menyambut perubahan ini
karena dia ingin Chitose berjalan di jalannya sendiri jika memungkinkan.
Meskipun sesekali
ada hambatan, Chitose tetap bersemangat untuk belajar, jadi Mahiru tidak segan
untuk membantunya. Hari ini adalah hari libur, tapi karena Amane sedang bekerja
paruh waktu, Mahiru mengundang Chitose ke dalam rumahnya untuk mengulang
pelajaran kelas satu. Mengingat sifat Chitose, ada kemungkinan sifat pemalasnya
akan kembali setelah ujian, jadi Mahiru mengusulkan untuk belajar bersama , dan
setelah dua jam belajar, kekhawatiran Mahiru sepertinya terbukti benar.
“Kenapa aku dulu
bodoh sekali sih?”
Mahiru
menutup buku pelajarannya dengan senyum masam sementara Chitose mengerang penuh
penyesalan sambil terkulai di atas meja di ruang tamu.
“Kalau
dipikir-pikir lagi, semua orang punya penyesalan atas kesalahan yang pernah
mereka perbuat atau hal yang seharusnya tidak mereka lakukan. Mari kita gunakan
penyesalan itu untuk membantu kita melangkah maju.”
Chitose
kebanyakan mengingat jenis mata pelajaran yang tidak bisa dipelajari sekarang
kecuali sudah menguasai tingkat-tingkat sebelumnya, seperti rumus matematika
dan tata bahasa Inggris, tapi sepertinya dia masih sering melupakan linimasa
sejarah, detail peristiwa, dan kosakata bahasa Inggris, dan dia meratap dengan
penuh kesedihan, “Apa aku pernah mempelajari ini…?” Tentu saja, itu adalah
hal-hal yang sudah dia pelajari jauh sebelumnya.
Dalam ujian
masuk, mereka tidak hanya menggunakan soal apa yang sudah dipelajari selama
tiga tahun di SMA, tapi juga semua yang sudah dipelajari di SD dan SMP, jadi
jelas bahwa jika dasar-dasarnya tidak kuat, itu akan menjadi masalah. Bagi
kebanyakan orang, pengetahuan dasar lebih sering dilupakan, jadi dia berencana
untuk meninjau kembali apa yang telah dipelajari dan memperkuat dasar-dasarnya.
“Mahirun,
kamu kelihatan santai banget ya.”
“Bisa
dibilang santai, atau lebih tepatnya, aku sudah belajar sebelumnya dan rutin
mengulang pelajaran. Waktu yang kuhabiskan untuk belajar berbeda, jadi mau
bagaimana lagi. Saat Chitose berlatih atletik, aku berteman dengan meja
belajarku.”
“Ugh~...
Jika kamu sudah mengumpulkan pengetahuan dan pengalaman sebelum aku mengenalmu,
aku tidak bisa mengeluh. Selama ini aku hanya berlari, bersantai atau bermain
bersama Ikkun. Ini kesalahanku.”
“Aku tidak
berpikir itu kesalahan. Ini hanya masalah prioritas, dan hubungan yang ada saat
itu membentuk Chitose yang sekarang.”
Sejujurnya,
Mahiru merasa bahwa dia sendiri terlalu serius di masa lalu, dan dia adalah
orang yang sulit untuk menyerah. Meskipun dia menyadari bahwa orangtuanya
takkan mengakui dirinya, dia tetap berjuang keras dan berusaha, tapi meskipun
sudah berusaha sekuat tenaga, dia bahkan tidak bisa mendapatkan perhatian
mereka.
Sebagai
hasilnya, pengetahuan dan keterampilannya terus terakumulasi, tapi dia merasa
kalau itu bukan hal yang hebat. Sebaliknya, dia merasa itu adalah hasil dari
usaha yang menyedihkan.
Tidak
diragukan lagi bahwa Chitose menjalani kehidupan pelajar yang lebih sehat, dan
Mahiru bahkan merasa iri padanya.
“Sebaliknya,
aku justru merasa kalau aku paling bodoh.”
“Eh, kenapa kamu
tiba-tiba merendahkan diri?”
“Tidak, aku
hanya berpikir bahwa aku perlu lebih melihat ke luar pada saat itu. Jika aku
meminjam kata-kata Chitose-san, diriku di masa lalu memang bodoh.”
Meski
begitu, Mahiru sebenarnya menyukai dirinya sendiri sekarang, dan dia bahkan
bisa memuji dirinya sendiri atas usaha yang ia lakukan di masa lalu, jadi itu
bukan hanya penyesalan.
“Tapi karena
ada masa-masa itulah Mahirun berada di tempatnya sekarang dan kau mulai
berkencan dengan Amane, ‘kan?”
Sebaliknya,
ketika Chitose meminjam kata-kata itu dan menanggapinya dengan mata terbelalak,
dia tersenyum bahagia seolah-olah itu sebagai pembalasan.
“Benar.
Meskipun ada penyesalan, tapi semua peristiwa itulah yang membawaku dengan diriku
yang sekarang, dan Amane-kun menyukai diriku yang sekarang.”
“Ya, ya,
masa lalulah yang membentuk diri kita sekarang, jadi tidak baik jika kita terlalu
memikirkannya.”
“Ada
benarnya juga sih. Namun, kamu seharusnya memikirkan fakta bahwa kamu
benar-benar melupakan apa yang sudah kamu pelajari setelah ujian..”
“Benar
sekali! Maaf telah merepotkan!”
Chitose
mengangkat tangan dengan semangat seakan menegaskan kalau dirinya menyesali itu,
dan Mahiru tersenyum kecil sambil mengigit cemilan jelly yang disiapkan sebagai
camilan dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
Mahiru
menyadari betul kalau konsentrasi menghilang, sulit untuk kembali, jadi lebih
baik kalau mereka beristirahat untuk menyegarkan otak mereka. Tekstur halus dan
manis yang menyegarkan dari cemilan jelly sangat efektif untuk otak yang lelah
setelah belajar. Menambahkan teh hijau ke dalamnya menciptakan perpaduan
sempurna antara rasa manis, aroma, dan pahit-manis, memenuhi mulut dan hatiku
dengan rasa bahagia yang tak terlukiskan.
“Ngomong-ngomong,
kalian berdua sudah berpacaran selama enam bulan lebih, kan?”
Chitose
memeriksa kue mochi berbentuk kelinci di piring masing-masing sambil mengingat
kembali saat-saat itu.
“Sejak
festival olahraga, jadi belum genap sepuluh bulan.”
Saat ini mereka
sudah memasuki awal bulan Maret, sedikit setelah ujian akhir tahun, dan jika
dipikirkan dari waktu mereka mulai pacaran, sebentar lagi mereka akan genap
sepuluh bulan.
Ada perasaan
campur aduk dalam diri Mahiru; merasa sudah lama berlalu, tetapi juga merasa
baru sebentar. Chitose menatapnya dengan tatapan keheranan seolah berkata,
“Apa? Belum selama itu?”
“... Masih
segitu?”
“Kenapa kamu
melihatku dengan tatapan curiga? Kamu yang sudah bersama denganku pasti tahu
kapan kita mulai pacaran, Chitose-san.”
“Tidak,
hanya saja, meskipun kedengarannya baru sebentar, tapi kalian berdua sudah
seperti pasangan yang sudah lama menikah dan telah melewati banyak hal bersama,
ada rasa solidaritas dan saling percaya. Tapi di sisi lain, kalian juga
menunjukkan kemesraan seperti pasangan pengantin baru.”
“Ka-Kami
tidak menunjukkan apa-apa, kok!?”
“Jadi kalian
melakukannya tidak disadari? Begitu rupanya ya. Yah,,Meskipun ada nuansa pasangan
suami istri, hubungan kalian sangat sehat dan platonis.”
“Chitose-san.”
“Maaf.”
Tentu saja
Mahiru takkan menceritakan pengalamannya sebagai kekasih kepada siapa pun,
karena itu akan tidak enakan bagi Amane, meskipun mereka adalah sahabat,
Chitose setidaknya tahu bahwa Mahiru tidak mempunyai ‘pengalaman yang
seperti itu’.
(......Padahal
aku tidak sepolos yang dipikirkan Chitose-san.)
Memang benar
kalau mereka belum melewati batas yang biasanya gampang dilalui oleh sepasang
muda-mudi. Amane selalu berbicara kepadanya bahwa ia berjanji untuk tidak
melangkah lebih jauh karena ia menghargai Mahiru. Namun, dia tidak menceritakan
apa yang terjadi pada hari itu secara langsung.
Bagaimana Amane
menyentuhnya dan bagaimana mereka saling mengenal satu sama lain. Hanya
mengingatnya saja sudah membuatnya merasa malu dan wajahnya terasa panas,
tetapi Chitose sepertinya menganggap itu sebagai ejekan dan melihat Mahiru
dengan senyuman lebar sambil berkata, “Uwihh~dasar kamu, ya.”
Tanpa
memperbaiki kesalahpahaman itu, Mahiru terus menyimpannya dalam hati, sementara
suara tawa bahagia terdengar.
“Ngomong-ngomong,
Mahirun, apa kamu tidak punya ketidakpuasan terhadap Amane?”
“Ketidakpuasan?”
“Yah, aku
tahu kamu sangat menyukainya, tapi memangnya tidak ada sesuatu yang kamu anggap
kurang? Dari sudut pandang orang lain, ia menutupi kekurangan sampai-sampai
bisa membuat orang lain kesal.”
“Kesal?”
“Ya,
maksudku, Amane itu sangat berusaha keras untuk seimbang denganmu. Ia memang
orang yang pekerja keras dan serius, jadi ia dengan cepat menyerap semuanya,
kan?”
“Amane-kun memang
cukup keras kepala dan orang yang akan berusaha sampai dirinya merasa puas.”
Meskipun aku
tidak mengerti kenapa kata ‘kesal’ muncul, tetapi seperti yang dikatakan
Chitose, Amane adalah orang yang tidak pernah melewatkan kesempatan untuk
memperbaiki hal-hal yang tidak bisa dilakukannya melalui usaha.
Dia pernah
mendengar dari mulut Amane sendiri, “Aku berusaha bukan demi Mahiru, tetapi
karena aku ingin menjadi sosok yang pantas berdiri di samping Mahiru,” dan
sebenarnya, Mahiru juga merasakan bahwa bagian-bagian dirinya yang dulu ia
pikir agak kurang perlahan-lahan diperbaiki.
“Semuanya
itu berkat kekuatan cinta, ya.”
“... In-Intinya,
Amane-kun melakukannya karena itu demi dirinya sendiri.”
“Benar, tapi
penggeraknya adalah cinta. ... Dan sekarang ia bisa melakukan hampir semua hal,
kan?”
“Yah,
sebenarnya lebih sulit menemukan hal-hal yang tidak bisa ia lakukan dalam kehidupan
sehari-hari.”
Sungguh,
jika dibandingkan dengan saat pertama kali bertemu, perubahannya sangat
mencolok, sampai-sampai Mahiru meragukan apa dirinya benar-benar orang yang
sama.
Dulu Amane
tampak berantakan, pakaian dan majalah berserakan di lantai dan jendela-jendela
berdebu. Namun, kini ia selalu membersihkan lantai dari barang-barang yang
tidak perlu, bahkan menyapu meja dan kusen jendela agar bebas debu.
Dari
kemampuan memasak yang hanya bisa membuat telur orak-arik, Amane yang sekarang
bisa merencanakan menu dengan memperhatikan gizi dan membuat hampir semua
masakan dengan enak.
Dulu ia
tidak terlalu memperhatikan penampilannya, tapi sekarang Amane tidak pernah
melewatkan perawatan rambut dan kulit. Penampilannya yang kurus dan cenderung
membungkuk kini telah berubah menjadi sosok yang kuat dan percaya diri setelah
menjalani transformasi fisik, dan dirinya kini lebih sering menatap ke depan.
Selain itu, Amane
juga berusaha keras untuk memperbaiki hal-hal yang menurutnya masih kurang.
Sifatnya yang tegas dan fokus begitu dirinya memutuskan untuk melakukan sesuatu
adalah salah satu hal yang disukai Mahiru dari Amane.
“Masa-masa
buruk hanyalah cerita di masa lalu, sekarang ia justru keliatan menjadi contoh
yang bagus. Kekurangannya yang sangat jelas kalau ia sangat pengecut, ‘kan?”
“Kalau Amane-kun
mendengarnya, ia pasti marah loh.”
“Tapi ia
memang pengecut sih.”
“... Dirinya
hanya berhati-hati dan menghormatiku.”
“Itu sih
cuma kombinasi antara kelebihan dan kekurangan, ya. Dari sudut pandang Mahiru,
mungkin kamu ingin dia lebih agresif, bukan?”
“Agresif...”
“Misalnya,
aku ingin kamu hanya melihatku dan melakukan tindakan berani, atau seperti
melakukan kabedon.”
“Aku selalu
melihat Amane-kun, jadi kenapa harus menabrak dinding...?”
“Bukan
begitu maksudku, tapi aku mengerti, Mahiru sangat menyukai Amane. Jadi,
bagaimana kalau Amane yang terlalu dipenuhi perasaan cinta sampai-sampai
mendorongmu?”
“Ma-Mana
mungkin Amane-kun akan melakukan hal seperti itu...”
Mahiru tidak
bisa mengatakannya dengan tegas. Amane memang orang yang sopan, tenang, dan
perhatian, tetapi seperti yang dikatakan Chitose, Amane juga merupakan remaja
laki-laki yang sehat.
Dari
interaksi dan ciuman, ada kalanya gairah mereka menjadi memuncak, dan ada
keinginan untuk menyentuh bagian pribadi yang lebih intim. Mereka pernah
terjatuh di sofa berdua, jadi itu bukan hal yang mustahil.
Namun, Amane
tidak pernah memaksakan kehendaknya dan selalu bertanya terlebih dahulu, yang
menunjukkan bahwa dirinya orang yang jujur dan sopan.
Mahiru bisa
melihat ekspresi Chitose yang terkejut saat melihatnya ragu-ragu, dan
perlahan-lahan wajahnya menunjukkan ekspresi senang.
“Beneran
tidak melakukannya?”
“... Hanya
sedikit, tapi tidak lebih.”
“Ah, seriusan?”
“Jangan
membuat wajah seperti itu.”
“Aduduh, ya
ampun.”
“Chitose-san.”
“Dibilang,
maaf deh. Tapi, Amane memang pernah mendorongmu ya.”
“Tapi kami
tidak melakukan hal seperti yang kamu pikirkan, kok!”
Adegan yang
dibayangkan Chitose jelas menjadi sangat ekstrem, jadi Mahiru meninggikan
suaranya untuk menyela, tapi senyum menyeringainya tidak kunjung pudar.
“Hmm. Jadi, ia
membelaimu?”
“Chitose-san!”
“Maaf, maaf.
Dari sudut pandangku, itu sangat baik untuk seorang remaja, tetapi aku juga
berpikir apakah itu baik untuk seorang remaja.”
Atau lebih
tepatnya, aku merasa ia benar-benar menahan diri, bukan? Kupikir Ikkun harus
mencontohnya? Dengan nada yang bisa
dianggap mengejek atau bahkan memuji, dia melanjutkan.
Mahiru
merasa malu saat memikirkan seberapa besar keinginan Itsuki terhadap Chitose,
dan dia segera mengusir pikiran itu. Mahiru menarik napas dalam-dalam sebelum
membuka bibirnya untuk berbicara.
“... Amane-kun
adalah orang yang menepati janji dan tidak akan memaksakan kehendaknya.”
“Itu bisa
menjadi kelebihan sekaligus kekurangan. Jika dirinya terlalu bertekad, Mahiru
mungkin merasa setengah aman dan setengah khawatir tentang daya tariknya,
bukan?”
Chitose
dengan tepat mengungkapkan kekhawatiran Mahiru, dan dirinya tidak bisa
membantahnya saat itu.
Mahiru tidak
pernah meragukan daya tarik seksualnya sendiri. Dia pernah mendapatkan tatapan
yang tidak pantas dan mendengar komentar semacam itu. Mahiru percaya bahwa baik
penampilan maupun kepribadian harus diasah, jadi dia tidak pernah melewatkan
perawatan dan telah berusaha untuk mengoptimalkannya.
Meskipun
mungkin bukan hal yang perlu dibanggakan, tapi dia merasa bahwa secara genetik,
penampilannya sudah cukup baik.
Jadi, kurangnya
insiatif Amane dalam menunjukkan sikap semacam itu justru membuatnya merasa
cemas. Ia merawatnya dengan penuh kasih sayang, sehingga Mahiru bertanya-tanya
apakah dia mengharapkan lebih dari sekadar ciuman.
Tentu saja,
kekhawatiran itu ternyata berlebihan, seperti yang kemudian dia pahami melalui
kata-kata, tindakan, dan situasi fisiknya.
“Lihatlah.”
“... Tapi, Amane-kun
adalah lelaki sejati. Aku yang selalu berada di sampingnya paling memahami itu.”
“Ah, jadi bagian
bawahnya sih sehat-sehat saja dan penuh semangat ya, baguslah kalau begitu.”
“Chitose-san.”
“Aku akan
lebih berhati-hati dengan kata-kataku. Maaf.”
“Apa yang kamu
katakan?” tanya Mahiru sembari memberi tatapan
yang jelas penuh kritik, membuat Chitose melambaikan telapak tangannya di
samping kepalanya dan menyerah.
Meskipun Mahiru
berusaha untuk tidak terlalu memperhatikannya, kata-kata yang agak langsung itu
masih membuatnya merasa malu. Namun, tampaknya Chitose tidak merasa terganggu
dengan hal itu dan tetap tenang.
Sepertinya
ada perbedaan pengalaman di berbagai aspek, membuat Mahiru merasa gelisah. Dia
kemudian melemparkan tatapan tajam kepada Chitose yang tampak ceria.
“Kalau
begitu, bagaimana denganmu, Chitose-san?”
“Aku?”
“Karena
kalian sudah lama bersama dan begitu lengket, mungkin ada hal-hal yang kamu
pikirkan tentang Akazawa-san?”
Karena Mahiru
merasa Chitose selalu menyentuh area sensitif, jadi dirinya berpikir ada
baiknya jika Chitose juga menceritakan sesuatu dari sisinya sesekali.
Bukannya Mahiru
ingin mendengar keluhan atau semacamnya, tapi mengingat kejadian Tahun Baru, dia
berpikir lebih baik mendengarnya sebelum ada ledakan kalau memang ada sesuatu.
Chitose
mengangguk mudah menanggapi pertanyaan itu, yang sebagian merupakan balas
dendam dan sebagian lagi murni kekhawatiran.
“Mengenai Ikkun?
Oh tentu, ada banyak sekali, gila."
“Ra-Rasanya
mengejutkan.”
“Tidak juga,
sih. Yah, mungkin Ikkun tidak kelihatan begitu dari sudut pandang orang luar. Karena Ikkun
orangnya ramah dan bisa melakukan banyak hal dengan baik.”
Seperti yang
dikatakan Chitose, bagi Mahiru, Itsuki memiliki kemampuan komunikasi yang baik,
sikap ceria yang tidak menjengkelkan, dan kemampuan untuk memahami situasi. Dirinya
sangat pandai mendekati orang lain tanpa membuat mereka merasa tidak nyaman.
Selain itu,
meskipun ia bertindak konyol, tapi dirinya tetap memiliki pandangan dan sikap
yang tenang, membuatnya sangat mahir dalam menangani berbagai situasi.
Menurut Amane
yang berteman dekat dengannya, menggambarkannya sebagai, “Walaupun ia
bertingkah ceria dan berperilaku berlebihan, tapi pada dasarnya dirinya cukup
pendiam, sabar, dan sering kali diam saat menghadapi kesulitan, cenderung
menolak bantuan orang lain,” meskipun itu adalah penilaian yang cukup
keras, ada beberapa kebenaran di dalamnya.
— Mungkin
karena ada kesamaan dengan dirinya.
Karena
penilaian Amane seperti ini, lalu bagaimana dengan penilaian Chitose yang lebih
dekat sebagai pacarnya?
“Dari sudut
pandangmu, Mahirun, Ikkun itu terlihat sebagai seseorang yang mempunyai
keterampilan komunikasi yang hebat, ‘kan?”
“Ya, itu
benar.”
“Ikkun memang
pandai dalam komunikasi, tapi bagaimana ya menjelaskannya... maksudku, Ikkun
sangat pandai membaca suasana, terlalu pandai sehingga cenderung ingin
mengendalikan suasana tersebut. Mungkin ini setengah tidak sadar, tapi
sepertinya dirinya ingin mengontrol, bisa dibilang begitu. Itu bisa menjadi hal
baik sekaligus buruk dari Ikkun, tetapi dirinya jarang mengungkapkan
perasaannya yang sebenarnya. Ia lebih suka menyembunyikannya dan beradaptasi
dengan situasi.”
Tentu saja,
ia tidak bersikap seperti itu di hadapanku atau Amane, imbuh Chitose sambil menghela napas.
“Banyak
orang yang memiliki kesan bahwa Ikkun itu ramah, ceria, dan bersemangat, tetapi
sebenarnya dirinya cukup pemalu dan cenderung eksklusif. Dirinya sangat tidak
suka jika ada orang lain masuk ke dalam kehidupannya. Itulah sebabnya, ia ingin
berada di posisi yang mengendalikan dan menjaga wilayahnya agar tidak dilanggar,
seolah-olah ia berusaha menjauhkan orang lain. Mirip seperti memperluas
kebunnya supaya tidak ada orang yang bisa masuk ke dalam rumahnya.”
“... Aku
mengerti apa yang ingin kamu sampaikan.”
Jika
dibandingkan, Mahiru lebih mirip tipe Itsuki daripada Amane.
Karena dia
tak ingin siapa pun menyentuh bagian lembut dan rapuh di dalam dirinya, dia
menciptakan dan mempertahankan kepribadian luarnya. Dia menciptakan kesan yang
menyenangkan dan tak membiarkan siapa pun menginjakkan kaki di tanah yang masih
asli di dalam dirinya.
Dengan cara begitu,
dia mendapati dirinya sendirian dan merasa hampa. Dia menolak untuk mengajak
orang lain masuk, lalu dengan bodohnya meratapi kesepian dan kekosongan karena
merasa tidak ada yang memperhatikannya. Mahiru pernah mengalami masa-masa
seperti itu.
Sekarang,
Mahiru tidak lagi merasa seperti itu.
Berkat Amane,
dia tidak lagi merasa demikian.
“Walaupun
sepertinua ia tipe yang mirip dengan Amane, tetapi sebenarnya sangat berbeda. Amane
jelas-jelas membuat dinding agar orang tidak mendekat. Sebagai gantinya, ketika
sudah akrab, Amane akan membiarkan orang masuk ke dalam dinding tersebut.
Sementara Mahirun mirip dengan Ikkun, tetapi lebih memilih untuk menetapkan
batasan dengan sikapnya agar orang lain tidak bisa masuk.”
Sejak dekat
dengan Chitose, Mahiru selalu berpikir dia sangat memperhatikan kepribadian
orang-orang terdekatnya.
Dia sangat
terampil dalam melihat sifat asli seseorang dan mengukur jarak. Karena itulah,
dia bisa dengan mudah masuk ke dalam kehidupanmya tanpa menimbulkan
ketidaknyamanan.
“Ikkun
sangat jarang membiarkan orang lain masuk ke kamarnya. Bahkan saat kami sudah
dekat, dirinya sering kali hanya mengizinkanku sampai pintu masuk atau ruang
tamu. Jika ia membiarkanku masuk ke dalam kamarnya,ia biasanya menyembunyikan sesuatu di dalam
lemari.”
Meski aku
merasa aneh dengan hal semacam itu, gumam
Chitose dengan suara yang tampak serius sambil menyeruput teh hijau yang sudah
dingin.
“Selain itu,
Ikkun lebih suka menyelesaikan masalahnya sendiri, jadi ia sering menyimpan
rahasia. Kemampuannya untuk menyembunyikan hal itu sangat mengesalkan.”
“Fufu, tapi
kalian berdua sudah berdiskusi dengan baik tempo hari, bukan?”
“Ya, kami sudah
membicarakannya. Aku bilang padanya bahwa jika dia mencoba memikul beban berdua
sendirian lagi, aku akan menendangnya.”
Karena
masalah ketidakberesan komunikasi di tahun baru, Chitose yang sangat khawatir
dan marah tampaknya telah berbicara serius dengan Itsuki tentang ketidakpastian
dan ketidakpuasan mereka, serta hal-hal yang akan datang. Namun, Mahiru merasa
sedikit terkejut ketika mengetahui bahwa Chitose telah berjanji untuk memberikan
hukuman yang cukup agresif tanpa sepengetahuan Mahiru.
Meskipun dia
bukan anggota aktif tim atletik, Mahiru tahu bahwa Chitose masih menjaga
kebugaran dan kekuatan kakinya dengan berlari, sehingga mudah untuk
membayangkan betapa kuatnya tendangan itu. Dengan keadaan seperti ini,
tampaknya Chitose tidak akan mengurangi kekuatan, jadi jika hukuman benar-benar
dilaksanakan, Itsuki mungkin akan berada dalam masalah besar.
“Jika
Chitose-san melakukannya dengan kekuatan kakinya, bukannya itu akan menjadi masalah
besar?”
“Ikkun
sendiri yang salah.”
“Ya, itu
benar.”
Chitose biasanya
gadis yang toleran dan jarang marah, jadi masalah ini pasti ada pada Itsuki
yang telah membuatnya marah. Jika ia terus-menerus mengulangi hal yang
dilarang, tidak mengherankan jika ada hukuman yang setimpal.
Chitose
mengalihkan pandangannya dengan raut wajah cemberut, tapi sepertinya dia tidak
benar-benar merajuk, dan dia juga sepertinya berpikir Itsuki akan terus
bersikap rahasia, menunjukkan kepercayaan yang dimilikinya terhadap Itsuki dan
membuat Mahiru tersenyum.
“Lalu,
hmm... Ikkun itu orang yang suka berpura-pura kuat.”
“Bukannya
anak laki-laki biasanya berpura-pura kuat di depan gadis yang mereka suka?”
“Memang
begitu, tapi ia melakukannya secara berlebihan. Dirinya bahkan tidak ingin
menunjukkan sisi lemahnya di depan Amane. Senyum yang dia tunjukkan biasanya
hanya untuk menyembunyikan sesuatu. Hal seperti itu membuatku kesal.”
“Chitose-san
ternyata cukup keras terhadap Akazawa-san, ya.”
“Ya, tentu
saja. Menyukai seseorang dan selalu membenarkan semua yang dia lakukan merupakan
dua hal yang berbeda. Menyembunyikan kesedihan dan berpura-pura baik-baik saja merupakan
kebiasaan buruk Ikkun. Belakangan ini, ia sudah mulai lebih baik, atau lebih
tepatnya, setelah kami berdiskusi, ia harusnya menjadi lebih baik.”
Karena Itsuki
tidak dapat menahan diri dan datang meskipun dengan ragu pada malam tahun baru,
jadi apa yang dikatakan Chitose sangat masuk akal.
Amane juga
cenderung tidak mengungkapkan perasaannya, tapi dirinya akan bicara kalau
khawatir, yang mungkin membedakannya dari Itsuki. Amane pada dasarnya tipe yang
jujur, terbuka, dan tidak pandai menyimpan rahasia, jadi bisa dibilang dia
tidak bisa menyembunyikan perasaannya.
“Ya, ada
beberapa hal yang tidak kusuka, tapi menurutku tidak semuanya kekurangan, dan
terkadang bahkan bisa menjadi hal yang baik, jadi meskipun ada ketidakpuasan,
aku tetap menyukainya. Mahirun juga begitu, kan?”
“... Benar.”
Memang benar
Mahiru bisa dengan bangga mengatakan bahwa ia menyukai dan menyayangi semua hal
tentang Amane, tetapi ia juga menyadari bahwa Amane memiliki beberapa
kekurangan setelah menghabiskan waktu bersamanya.
Entah bisa
dibilang baik maupun buruk, Amane cenderung mengutamakan Mahiru, dan terkadang
dia merasa sedikit cemas ketika menimbang antara Amane dan dirinya, seolah-olah
dia akan selalu memilih Mahiru tanpa waktu untuk berpikir.
Meskipun
Mahiru merasa sangat dicintai dan itu membuatnya sangat senang, terkadang dia
ingin Amane lebih memprioritaskan dirinya, dan jika itu membuat Amane terluka
atau menderita, Mahiru juga akan merasa sedih, jadi dia ingin Amane tidak
berlebihan dalam hal itu.
Setelah
mereka berpacaran, Amane terlalu jujur dan langsung mengungkapkan perasaannya,
yang kadang membuat Mahiru merasa bahagia sekaligus malu, sehingga dia
terkadang merasa geli tidak karuan karena perasaan malunya.
Mengingatnya
kembali, Mahiru bisa merasakan seberapa besar dirinya dicintai, dan itu membuat
rubuhnya sedikit merasa panas.
Chitose
melihat itu dan berkata, “Itulah cinta, ya,” sambil tersenyum seolah bisa
membaca pikiran orang lain.
“Yah, Ikkun
sepertinya sudah merenungkan semuanya, jadi mulai sekarang jika ada sesuatu
yang terjadi, kurasa ia akan membicarakannya tanpa menyembunyikannya.”
Ekspresi
Chitose tidak menunjukkan tanda-tanda kecemasan saat menyimpulkan hal itu, dan
Mahiru yang mengetahui ketidakstabilan emosional Chitose selama tahun baru
merasa bisa lebih tenang kali ini dan tersenyum.
“Kurasa
kalian berdua sekarang bisa berbicara dengan baik. Begitu, kan?”
“Ya, benar.
Jika ia masih menyembunyikannya, yah, tidak akan ada kesempatan kedua.”
“Hehe.
Sepertinya aku tidak perlu khawatir tentang itu.”
“Aku ingin mempercayai
itu.”
Dengan
perasaan yakin yang aneh bahwa sesuatu seperti itu mungkin tidak akan terjadi
lagi, Mahiru menyeruput teh hijaunya yang sudah dingin, sambil melihat ekspresi
bahagia Chitose.