Chapter 6.4 — Saionji Satsuki After. Di Balik Matahari Terbenam, Janjimu Bersemayam Dalam Suara Ombak
“Pantaiii!”
Satsuki
berlari menuju pantai dengan suara riang sembari mengulurkan kedua tangannya
lebar-lebar. Dia mengibaskan rambutnya tertiup angin laut sambil menatap lautan
yang berkilauan, membuatku tersenyum kecut.
“Bukannya
kamu sudah terbiasa dengan pantai karena pemotretan?”
“Emang iya,
sih~. Tapi, datang untuk bekerja dan datang untuk berkencan itu berbeda, kan?”
“Yah, ada benarnya
juga.”
Aku mengunjungi
pantai bersama Satsuki. Seharusnya kami datang berempat, tetapi sayangnya, tiga
orang lainnya terkena flu, jadi kami hanya berdua yang pergi ke pantai.
“Kalau
begitu, mari kita siapkan semuanya.”
“Yay!”
Setelah
mengambil tiang payung dan menentukan posisinya di pasir, aku hati-hati
menyebarkan alas piknik di atas pasir sambil memeriksa bayangan payung. Setiap
kali angin berhembus, ujung alasnya terangkat, jadi aku meletakkan batu kecil
di keempat sudutnya agar tetap kokoh.
“Oke. Ini
sudah selesai!”
Satsuki
mengusap permukaan alas dengan tangannya, meratakan kerutan, dan akhirnya ruang
nyaman pun selesai. Aku tanpa sadar mengalihkan pandanganku dari Satsuki.
“Hmm? Ada
apa?”
“Tidak, bukan
apa-apa...”
Satsuki
mengikat rambut merah mudanya menjadi kuncir kuda. Bikini putihnya membungkus
tubuhnya yang lentur dengan lembut. Dia mengenakan hoodie abu-abu ringan di
bahunya, dan penampilannya yang santai itu menambah daya tariknya.
Kemudian, Satsuki
menatapku dengan senyuman nakal.
“Padahal
kamu biasanya melihatku telanjang, kenapa baru sekarang merasa malu begitu~?”
“...No
comment.”
Ada daya
tarik tersendiri dari sesuatu yang tersembunyi. Selain itu, tidak seharusnya
membicarakan hal seperti itu di depan umum. Semua tatapan tertuju padaku.
Lalu, Satsuki
berbaring telungkup di atas alas, menghadapkan punggungnya yang tak terlindungi
padaku. Dia memasukkan tangan ke dalam tas dan memberikan sesuatu padaku.
“Ini... tabir
surya?”
“Ya! Pastikan
kamu mengoleskannya dengan baik, ya? Jika ada yang terlewat dan kulit lembutku
terkena sinar UV... kamu mengerti, kan?”
“Ya...”
Karena diancam?
Jadi, aku mulai mengoleskannya dengan hati-hati.
“Uhmm~...”
“...”
“Ahn... sebelah
sana.”
“...”
“Tidak
boleh...”
“...”
Mana mungkin
aku bisa berkonsentrasi dengan situasi seperti ini?!
“Hei, memangnya
kamu tidak bisa sedikit lebih tenang?”
“Eh~, habisnya
Satoshi-kun terlalu jago sih!”
“Tidak ada
yang namanya jago atau tidak jago saat mengoleskan tabir surya...”
“Itu tidak
benar. Satoshi-kun itu ahlinya banget!”
“Suaramu,
bisa ditahan sedikit?"
Karena
pernyataan bombastis Satsuki, aku merasa tatapan orang-orang di sekitar kami
menjadi semakin tajam.
“Kalau
begitu, ayo lanjutkan buat bagian depan.”
“Jangan
terlalu tebawa suasana!”
“Ahyu!”
Ketika aku
menjitak kepala Satsuki, dia mengerang lucu.
◇◇◇◇
Kami berdua pergi
laut bersama. Setiap kali aku menginjakkan kaki telanjang di pantai berpasir
putih, aku merasakan panas yang menyentuh telapak kakiku. Deburan ombak yang
datang silih berganti mengusap pergelangan kakiku. Air yang dingin
perlahan-lahan membasahi kulitku.
“Rasanya menyegarkan
sekali~.”
“Benar
sekali, ya~.”
Karena aku
tidak bisa menggunakan tangan kananku, jadi aku tidak bisa pergi terlalu dalam.
Namun, hanya dengan merendam sedalam lutut saja sudah cukup.
“Ei!”
“Buf!?”
Seketika itu
juga sembuar air menyembur ke wajahku. Air laut masuk ke mulutku, dan aku tidak
bisa menahan erangan. Ketika aku menatap pelaku dengan tatapan penuh
dendam,
“Aku
tiba-tiba iseng ingin mengerjaimu. Maaf ya?"
Berbeda
dengan apa yang dia katakan, ekspresinya seperti seorang gadis yang
kejahilannya berhasil.
“Aku juga
akan melakukan hal yang sama padamu, jadi tidak perlu khawatir.”
“Eh?”
Memanfaatkan
tatapan Satsuki yang tertegun, aku dengan cepat menyipratkan air. Ternyata,
cipratan air yang dihasilkan jauh lebih besar dari yang aku duga, dan menyerang
Satsuki.
“...”
Tanpa sempat
berteriak, seluruh tubuh Satsuki basah kuyup. Rambutnya menempel di kulitnya,
dan tetesan air mengalir dari dahinya ke pipinya. Akibatnya, pandangan Satsuki jadi
sepenuhnya terhalang, dan aku tidak bisa melihat ekspresinya.
Setidaknya...
“Maaf ya...”
Aku meminta
maaf dengan tulus kepada Satsuki, dan dia menyibakkan poninya, lalu menyipratkan
air ke arahku. Dengan senyuman nakal, dia berkata,
“Pembalasan.”
“Awas saja
kamu...”
Sambil
bermain-main di tepi ombak, kami berdua benar-benar menjadi seperti anak-anak.
Kami saling menyipratkan air sambil tertawa keras.
◇◇◇◇
Kami
berpindah lokasi, kali ini ke area berbatu di pinggir pantai.
Aroma laut yang
asin semakin kuat, dan rumput laut menutupi bebatuan di kaki kami. Satsuki
berkata, “Aku ingin menjelajah!” jadi, kami bergandeng tangan dan
berjalan hati-hati di antara batu-batu karang.
“Wow... ada kepiting!”
“Karena
licin, jadi hati-hati ya?”
Satsuki berlutut
di atas batu, matanya berbinar-binar saat dia membungkuk. Dia dengan hati-hati
menangkap kepiting kecil dan menunjukkan padaku.
“Kepiting♪
Kepiting♪ Kepiting─☆”
Dia
mendekatkan kepiting itu ke wajahnya, membuat tanda perdamaian dengan tangan
kanannya, sambil tersenyum dengan ritme aneh ke arahku.
Melihat
sosok Satsuki seperti itu,
“Bego lucu
banget...!”
“Bego lucu
banget!?”
Bahkan ekspresinya
yang terkejut dengan mata yang membulat itu tetap terlihat imut. Ini pertama
kalinya aku merasa ingin berterima kasih kepada kepiting.
“Mouu! Itu sangat
tidak sopan!”
Satsuki
mengembungkan pipinya dan perlahan mengembalikan kepiting itu ke tempat
asalnya.
Kemudian, di
tempat berikutnya, kami menemukan genangan kecil di antara batu-batu. Karena
pengaruh air surut, air laut terjebak di dalamnya seperti kantong. Satsuki yang
sedang mengintip ke dalam genangan itu menarik lengan bajuku.
“Satoshi-kun,
itu!”
“Hm?”
Aku menoleh
dan melihat teripang hitam menggeliat-geliut sepanjang sekitar 10 sentimeter di
dalam genangan air.
“Ambilkan!”
“Eh...”
Gerakan makhluk
hitam seperti tentakel hitam itu terasa menjijikkan, dan teksturnya yang licin
membuatku merinding. Namun, karena itu permintaan Satsuki, jadi aku tidak bisa
melarikan diri.
Aku
memantapkan hatiku dan memasukkan tangan ke dalam genangan itu, kemudian lendir
teripang yang licin menempel di jari-jariku.
“Ugh...”
Rasanya persis
seperti lendri basah. Rasanya sangat menjijikkan, tetapi aku berhasil
menangkapnya dan mengangkatnya.
“...Ini,
silakan.”
“Rasanya
berlendir dan menjijikkan! ...Cepat kembalikan!”
Dasar
keparat...!?
Aku
menangkapnya karena permintaannya sendiri, tapi ucapannya sangat tidak adil. Karena
merasa jengkel dengan ketidakadilan itu, keisenganku muncul.
“Hei, Satsuki.”
“Apa──eh?”
Aku
melemparkan teripang itu ke arah Satsuki.
“Unyaaaaaaa!?!”
Satsuki
berteriak dan tanpa sengaja menangkapnya.
“Pembalasan.”
Aku
tersenyum lebar. Biasanya aku sering diisengi oleh Satsuki dan tiga orang
lainnya, jadi rasanya sangat menyenangkan bisa membalas densam.
Namun,
“Uniyaaa!?”
Teripang itu
terjebak di antara bikini Satsuki dan lekukan payudaranya yang montok.
Satsuki yang
panik berusaha mengeluarkannya, tetapi setiap kali dia bergerak, kain bikini
itu berubah bentuk dengan lembut, menjadi gerakan yang aneh dan menggoda.
Lendir putih
susu perlahan merembes dari permukaan teripang, mengalir di kulit Sakuratsuki
dan membuatnya berkilau.
“...Haa,
haa...ini mengerikan.”
Satsuki
menatapku dengan mata berkaca-kaca, bibirnya meruncing.
“Maaf...”
Aku merasa
tidak nyaman dan meminta maaf, lalu Satsuki menatapku dengan tatapan yang
seolah memaafkan, namun juga terlihat malu.
“...Enggak
apa-apa kok.”
Bunyi
deburan ombak, aroma angin, kicauan burung camar.
Dalam
keheningan yang seolah memudarkan segalanya, kami perlahan menutup jarak di
antara kami.
Selangkah.
Selangkah
lagi.
Dan kemudian
selangkah lagi.
Bibir kami
saling menempel tanpa sepengetahuan kami, dan sentuhan ringan kami dengan cepat
semakin dalam.
Tangan Satsuki
melingkari punggungku, dan aku menariknya mendekat dengan lembut. Untuk sesaat,
aku tak peduli dengan angin laut, suara ombak, atau kicauan burung camar.
Tersembunyi di balik bayang-bayang deburan ombak, bayangan kami saling tumpang
tindih.
◇◇◇◇
Untungnya,
tak seorang pun menyadari apa yang kami lakukan di bawah naungan bebatuan, dan
kami terus bermain seolah tak terjadi apa-apa.
“Ugh~!
Rasanya nikmat sekali~!”
“Benar
juga~.”
Setelah
bermain cukup lama, kami kembali berteduh bawah payung. Satsuki kembali
mengenakan jaketnya di bahu, dan kami duduk berdampingan.
“Cuacanya cukup
panas ya~.”
“Hari ini
katanya suhu bisa lebih dari 30 derajat.”
Panas
terperangkap di pasir pantai sehingga pemandangan di kejauhan bergetar seperti
fatamorgana.
“Aku mau
pergi beli minuman. Ada minuman yang kamu mau?”
“Eh? Kalau
begitu, aku ikut menemanimu.”
“Tidak usah,
tidak usah. Aku akan pergi sendiri!”
“Ah, tunggu
sebentar!”
Satsuki
mengabaikan teriakanku dan berlari pergi. Tidak ada salahnya dia merasa
bersemangat, tapi dia lupa membawa dompetnya...
“Ya sudah,
tidak apa-apa. Meski aku masih khawatir membiarkan Satsuki pergi sendirian.”
Satsuki
tampaknya tidak menyadari bahwa dia menarik perhatian semua orang di pantai.
Dia sudah berpenampilan cantik dan mencolok, ditambah lagi dengan bentuk
tubuhnya yang sempurna, jadi mana mungkin orang-orang tidak
memperhatikannya.
Karena aku
terus bersamanya beberapa saat yang lalu, jadi tidak ada yang mencoba
merayunya, tapi sekarang dia sendirian. Dia mungkin sudah terbiasa dan
mengabaikannya, tapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi. Aku mulai khawatir
dan berjalan cepat menyusul Satsuki. Tanpa membuang waktu, aku melihat sosoknya
dari belakang dan berniat memanggilnya.
Pada saat
itu──
“Nee~
Onii-san?”
“Eh?”
Karena
dipanggil oleh orang yang tidak dikenal, aku secara refleks melihat ke samping
dan melihat sekelompok empat gadis mahasiswa.
“Maaf, kami
tidak tahu banyak tentang daerah ini. Kami kesulitan mencari-cari jalan ke sini.
Apa kamu tahu?”
“Maaf, aku
juga turis di sini. Aku sama sekali tidak tahu tentang geografi daerah ini.”
“Oh, begitu
ya~. Aduh bikin galau nih.”
Sebisa
mungkin aku ingin membantu, tapi aku khawatir tentang Satsuki. Berharap mereka
bisa bertemu orang baik, aku berniat untuk pergi dari situ... tetapi lengan
kananku ditangkap.
“Onii-san,
mau bermain bersama kami?”
“Eh, tapi
aku sedang terburu-buru.”
“Memang sih,
tapi kami sudah jauh-jauh ke pantai dan ingin bersenang-senang, gitu... Hih!”
Gadis-gadis
di depanku yang berbicara manja tiba-tiba berubah menjadi pucat. Aku juga
merasakan aura membunuh dari belakang, jadi aku juga berbalik dan mendapati ada
Satsuki di sana. Cahaya kehidupan menghilang dari matanya, dia memiringkan
kepalanya, dan menatap kami seperti boneka yang benangnya terputus.
“Apa yang sedang
kalian lakukan pada pacarku?”
“Eh? Umm...?”
“Menjauhlah
dari pacarku.”
“Eh, tapi...”
“Aku bilang
cepat pergi menjauh darinya. Apa telingamu itu cuma hiasan?”
“Ma-Maafkan
kami!”
Gadis-gadis
itu ketakutan oleh kengerian Satsuki yang luar biasa dan segera pergi melarikan
entah ke mana. Kemudian, Satsuki memutar lehernya dan menatapku.
“Kamu
baik-baik saja!? Menakutkan, iya ‘kan!? Tangan kananmu baik-baik saja!?”
“Ah, ahh.
Aku baik-baik saja.”
“Syukurlah.”
Satsuki kelihatan
khawatir dan terus berbicara padaku, tapi yang paling menakutkan adalah...
◇◇◇◇
“Ampun deh,
Satoshi-kun, kamu itu terlalu ceroboh, tau.”
Sesampainya
di rumah pantai, kami duduk berdampingan di meja kayu yang muat untuk empat
orang. Di antara kami hampir tidak ada jarak. Rupanya, gadis-gadis tadi
berusaha merayuku. Mungkin karena kejadian itulah yang membuat Satsuki tidak
mau menjauh dariku sedikit pun.
Satsuki
memesan kari dan cola, sementara aku memesan yakisoba dan soda melon krim.
Karena ada sisa kari di sudut bibir Satsuki, aku mengelapnya dengan tisu.
“Maaf.
Sepertinya mereka benar-benar kesulitan.”
“Naif. Kamu
sangat naif. Bahkan lebih manis daripada soda melon yang sedang kamu minum
sekarang, Satoshi-kun.”
Karena Satsuki
tampak ingin mencobanya, jadi aku menyodorkan soda melon krim padanya, dan dia
langsung menyedotnya tanpa ragu.
“Terima
kasih. Terus ya, tindakan mereka yang begitu tuh taktik standar dalam merayu.
Dengan memanfaatkan niat baik orang lain, mereka yang menggoda tidak merasa
bersalah. Oh, ya, ini, ah~n.”
“Mm. Enak.”
Satsuki
menawarkan sendoknya. Aroma rempah yang menggugah selera menggelitik hidungku,
dan perutku bergetar penuh harapan. Mengapa kari yang dimakan di rumah pantai rasanya
bisa seenak ini ya?
“Ah~ padahal
aku berharap kamu akan membantuku saat ada yang merayuku, tapi malah jadi
sebaliknya.”
Jadi itulah
yang dia pikirkan...?
“Apa melupakan
dompet juga bagian dari rencananya?"
“Ah, kalau
itu sih benar-benar kelupaan.”
“Gagal total
dong... mau nyoba makan yakisoba?”
“Mau!”
Aku memberi Satsuki
yakisoba pesananku. Aku mencampurkan jahe merah dan nori ke dalam mie dan menyuapinya.
“Yakisoba
memang harus seperti ini!”
Aku bermaksud untuk membicarakan
soal kebiasaannya yang sering kehilangan barang, tapi melihat Satsuki yang
terlihat begitu bahagia membuatku jadi sungkan. Selain itu, aku melihat ada
sisa saus di sekitar mulutnya dan membersihkannya dengan tisu.
Kami sudah selesai makan, jadi kurasa
kita harus kembali ke tempat kita.
““Terima kasih atas makanannya~””
Aku tidak tahu apa suara kita tersampaikan
pada staf yang sibuk, tapi kita tidak boleh lupa untuk mengucapkan terima kasih
kepada mereka yang menyiapkan makanan kita.
“Dasar pasutri...”
“Mereka terlalu klop...”
“Jadi itu yang namanya normie
sejati?”
◇◇◇◇
Setelah selesai makan siang bersama
Satsuki, aku duduk sendirian di bawah naungan payung, menikmati semilir angin
laut yang menerpa tubuhku.
Satsuki mengatakan dia punya “persiapan
yang harus dilakukan” dan kembali ke mobil untuk mengambil
barang-barangnya.
Mungkin dia kesal karena aku tadi
dirayu (?), karena dia berjalan pergi dengan wajah sedikit kesal.
“Nee Satoshi-kun, kurasa
sebaiknya kamu harus memperbaiki kebiasaanmu yang tanpa sengaja memikat lawan
jenis, oke?” begitulah katanya.
Aku ingin dipuji karena menahan
diri untuk tidak membalas, “Memangnya kamu berhak ngomong begitu?”
Aku tidak pernah membayangkan
mendengar kata-kata itu dari Satsuki sendiri – kata-kata yang ingin kukatakan
padanya setiap hari, mengingat dia adalah orang yang paling sering dirayu
pria-pira lain.
Bumerang itu begitu besar hingga
aku terdiam beberapa saat. Memiliki pacar yang populer membawa segudang
masalah. Dan bukan hanya satu. Masih ada tiga lagi.
“Maaf membuatmu menunggu~”
“Selamat datang kembali~”
Saat aku membalasnya, Satsuki,
mengenakan hoodie, duduk di sampingku dengan senyuman yang bisa menyaingi terik
matahari musim panas.
Untuk sementara, aku lega melihat
suasana hatinya tampak lebih baik.
“Mau berenang?”
“Ah, tunggu sebentar!”
Satsuki menatap tubuhku dengan
serius.
“Satoshi-kun, kulitmu kelihatan
agak merah. Punggungmu bahkan sampai merah terang, loh.”
“Eh? Benarkah?”
Kupikir aku sudah mengoleskannya
dengan benar...
“Tidak bagus. Kamu benar-benar
harus pakai tabir surya. Aku akan melakukannya untukmu!”
“Ah, maaf. Baiklah, aku akan menyerahkannya
padamu.”
Ketika aku patuh membalikkan
badan, dan segera mendengar suara resleting dibuka di belakangku.
Hm?
“Satsuki, apa yang kamu... Haa!?”
Aku secara refleks berbalik, dan
pemandangan yang kulihat membuatku terkejut.
Seharusnya dia sedang mengenakan
bikini putih. Namun, pemandangan yang kulihat di sana justru—sebuah baju renang
V-front hitam yang memikat dan menggoda.
Sejujurnya, lebih banyak tali
daripada kain. Meskipun dia mengenakan hoodie di atasnya, menyembunyikan diri
dari pandangan orang lain, aku memiliki pemandangan yang sempurna.
“Semuanya ini karena salahmu tau,
Satoshi-kun...?”
Bisik Satsuki seraya membiarkan
tetesan losion tabir surya mengalir perlahan di dadanya. Cairan itu mengalir ke
celah dadanya, mencapai pusarnya, lalu menetes lebih jauh ke bawah. Pesona nya
telah melampaui batas kritis.
“...Baiklah, aku akan
mengoleskannya untukmu.”
“E-Eh? Tunggu sebentar...!”
Mengabaikan protesku, Satsuki menunggangi
punggungku. Lotion yang licin dan dingin serta sensasi langsung kulitnya yang
lembut menyapu tubuhku sekaligus.
Itu licin dan berbahaya.
“Kamu ini benar-benar... pacar
yang buruk. Mengacaukan pikiranku sampai seperti ini...”
Dia berbisik dengan manis di
telingaku seperti anak kecil yang cemberut, lalu menggigit lembut daun
telingaku.
“Ini benar-benar... berbahaya,
apa pun yang terjadi...!”
“Tidak boleh, kamu tidak boleh
berontak. Karena ini hukuman.”
Setelah mengatakan itu, dia
sepertinya turun dari punggungku, lalu duduk tepat di depanku kali ini.
Kemudian, dengan senyum nakal nan menggoda, dia berbisik.
“Demi memastikan siapa pemilikmu yang
sebenarnya, aku akan memberitahunya—pa...da...mu.”
“Mmmph!?”
Itu adalah momen kelengahan. Baju
renang V-front Satsuki muncul di hadapan mataku, dan seketika itu juga,
penglihatanku tertutupi oleh sesuatu yang lembut dan kenyal.
Payudara Satsuki yang licin
karena lotion, ditekan ke wajahku. Aku tidak mempunyai waktu untuk melawannya,
hanya sensasi ditekan dengan lembut namun tak henti-henti.
Sensasi lembut dan berlendir
bercampur, perlahan-lahan mengupas rasionalitasku.
Rasanya sakit, namun bahagia.
Rasa bahagia, namun menyakitkan.
“Satsuki, ini... buruk...!”
Aku berhasil menarik wajahku dari
payudaranya dan protes. Tubuhku telah memanas karena sentuhan Satsuki, tapi
melakukan ini di pantai yang ramah keluarga, di mana bahkan keluarga dengan
anak-anak hadir, benar-benar salah.
“...Hmm~, jadi kamu masih
mengatakan hal-hal seperti itu, ya?”
Satsuki bergumam dingin, menarik
diri dariku sedikit.
Lalu, dia mengubah posisi baju
renangnya yang berleher V.
“Aduhhh~. Jika kita terus seperti
ini, seseorang mungkin melihat kita...”
Satsuki tertawa kecil dengan nada
menggoda.
“Sisi ini dari diriku... aku
bahkan belum pernah memperlihatkannya saat pemotretan. Jika ada seseorang yang
melihatnya, itu akan menjadi bencana, bukan?”
Suaranya, yang diwarnai dengan
nada menggoda, bergema seolah-olah menggaruk dalam-dalam otakku.
“Jika kamu tidak
menyembunyikannya untukku, Satoshi-kun, mereka akan melihatnya~”
Kemudian, samar-samar di
kejauhan, aku melihat tiga pria berjalan ke arah kami.
“...Kamu yakin menginginkan hal
itu terjadi?”
Kata-katanya yang berbisik pelan
itulah yang jadi pemicunya.
Dalam sekejap, aku dengan panik
menempelkan wajahku ke payudara kanan Satsuki.
“...Mm... ah.”
Deru napas Satsuki bergema dalam
telingaku. Aku menutupi payudara kirinya yang terbuka dengan tangan kananku
yang cacat, sementara lengan kiriku menarik tubuhnya lebih dekat.
“...Ya. Itu baik-baik saja.
Begini saja sudah cukup.”
Kali ini, suara yang berbisik di
telingaku bukan lagi menggoda; melainkan memohon yang dipenuhi dengan kepuasan.
“...Tangan kananmu sudah bisa
bergerak lagi, kan~”
“...Mmmph”
“Mungkin... jika aku membiarkanmu
menyentuhku dengan tangan kananmu setiap hari... mungkin akan semakin baik...?”
Rehabilitasi bahagia ini terasa
sangat menggairahkan. Meskipun aku tahu ini pantai untuk berenang, aku tak
kuasa menahan hasrat untuk Sakuratsuki. Rasanya aku ingin membuang semua akal sehatku dan membuang segalanya.
Tapi kemudian,
“Baiklah. Sudah selesai...”
“...Eh?”
Satsuki
tersenyum puas, merapikan baju renangnya, memasang kembali risleting hoodie-nya
sekali lagi, lalu berdiri.
Aku
dibuat linglung, pertanyaan ‘Mengapa?’ muncul di benakku.
“...Ini
hukuman, tau? Demi memastikan kalau kamu tidak bisa memikirkan siapa pun selain
aku, kan?”
“It-Itu...”
Yang
terngiang di benakku hanyalah hukuman manis dan rindu yang tak tertahankan.
“Baiklah,
aku akan pergi ganti baju. Aslinya, aku merasa terlalu malu untuk berenang
dengan baju renang ini.”
“Baiklah...”
Saat
Satsuki hendak pergi, dia tiba-tiba berhenti, berjongkok di sampingku sekali
lagi. Lalu, dia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik pelan.
“Aku
akan memakainya lagi untukmu malam ini, oke~...?”
Godaan
manis berbisik pelan. Kalimat itu saja membuat wajahku memerah lagi. Menatap
punggung Satsuki yang menjauh, aku tak bisa menahan diri untuk bergumam.
“Dasar
wanita jahat...”
◇◇◇◇
“Rasanya
seru banget ya~”
Langit
pantai mulai perlahan-lahan berubah menjadi warna jingga, suara ombak yang
lembut menyapu pantai menciptakan ritme yang menenangkan. Seolah keramaian
siang hari hanyalah kebohongan, kini hanya pasangan-pasangan yang tersisa di
pantai.
Kami
pun telah bermain hingga kelelahan, tak mampu bergerak lagi. Saat kami hendak
bangun untuk membereskan barang dan pulang,
“Ah,
ada cangkang kerang!”
Satsuki
berseru pelan, mengambil cangkang kerang besar yang terbenam di pasir. Lalu,
matanya berkilau penuh kegembiraan, dia mendekatkan cangkang itu ke telinganya.
“Wow~,
aku bisa mendengar suara ombak!”
“Benarkah?”
“Seriusan!
Dengarin deh, dengerin deh!”
Satsuki
mendekatkan cangkang itu ke telingaku. Sambil setengah ragu, aku berusaha
mendengarkan.
“Benar...”
Suara bisikan
lembut yang samar, seperti suara ombak, jelas bergema jauh di dalam kerang. Rasanya
aneh, seolah-olah sepanjang hari terperangkap di dalamnya.
Kemudian,
Satsuki menyandarkan kepalanya di bahuku.
Mata
kami terpaku pada matahari yang terbenam di balik cakrawala. Kami berdua
terpesona oleh pemandangan fantastis permukaan air yang berkilauan dan jejak
matahari yang ditelan kegelapan.
Tanpa
salah satu dari kami yang memulainya, jari-jari Satsuki saling bertautan dengan
jariku.
“Ayo
kita datang lagi, ya.”
Satsuki
bisik pelan. Wajahnya, diterangi sinar terakhir matahari terbenam, bersinar
dengan cahaya lembut.
“Iya...”
Kali
berikutnya kita datang ke sini, kita pasti akan menghabiskan waktu yang bahagia
dan indah bersama.
