Chapter 5 — Cara Menghabiskan Hari Libur
“Kalau hari
libur kamu biasanya ngapain aja, Fujimiya? Bermesra-mesraan dengan Shiina-san?”
Saat teman
sekelasnya, Watanabe, bertanya seperti itu selama waktu istirahat, Amane hanya
berkedip bingung.
Mereka tidak
terlalu dekat, mereka hanya teman yang mengobrol biasa saja, jadi Amane
terkejut dengan pertanyaan mendadak itu. Kebetulan, Mahiru sedang mengobrol
dengan Chitose dan Ayaka di tempat yang jauh, dan Itsuki sedang asyik bermain
ponsel di mejanya, jadi tidak ada yang menyadari kebingungan Amane.
Dari pertanyaan
Watanabe sendiri, Amane tidak merasakan niat jahat atau permusuhan, hanya rasa
penasaran yang murni, dan mungkin karena tidak ada teman dekat di sekitarnya,
jadi dia bertanya demkian. Sikap Watanabe sangat santai saat mengajukan
pertanyaan itu.
“Begini.
Meskipun kami berpacaran, bukan berarti kami selalu bersama, dan meskipun
bersama, kami tidak selalu bermesra-mesraan melulu.”
“Eh?”
“Kenapa kamu
malah terlihat kecewa di situ…”
Amane tidak
bisa menyembunyikan keterkejutannya dan bertanya apa yang sebenarnya
diharapkan, sementara Watanabe berkomentar, “Kalau kalian sampai sedekat itu,
pasti di rumah juga luar biasa,” membuat Amane menghela napas dengan jelas.
Tentu saja,
Amane menyadari bahwa hubungan mereka begitu dekat dan terkadang berpelukan di
rumah, tapi mereka tidak saling terus menemmpel satu sama lain. Faktanya,
sekarang Mahiru tidak ada di samping Amane, dia sedang asyik berbincang dengan
teman-temannya.
Bahkan di
rumah, meskipun mereka berada di ruang yang sama, mereka sering melakukan hal
yang berbeda, dan itu bukan sesuatu yang membuat mereka merasa kesepian, jadi Amane
merasakan perasaan rumit karena dianggap selalu berpelukan.
Lebih dari
itu, asumsi bahwa mereka menghabiskan hari libur di rumah Amane membuatnya
merasa sangat malu. Meskipun itu benar, tetapi ketika orang lain menerimanya
sebagai hal yang wajar, rasanya ada sensasi geli yang aneh.
“Aku hanya
ingin mengatakan kalau bukan berarti dia selalu berada di rumahku. Jangan salah
paham dulu.”
“Meski
begitu, kalian masih membicarakan makan malam dan lain sebagainya.”
“... Kalau
hal itu sih memang berbeda.”
Ketika
Watanabe menekankan hal itu, Amane merasa kesulitan untuk membantahnya, jadi
jika dirinya mengalihkan pembicaraan, Watanabe dengan santai berkata, “Tapi
kamu memang sering bersama, ya,” membuat sudut mulut Amane berkedut.
Amane tahu
bahwa Watanabe tidak bermaksud jahat, jadi dirinya tidak bisa marah dan hanya
bisa menutup erat bibirnya, sementara Watanabe tampak heran.
“Baiklah,
jika begitu, apa yang biasanya kamu lakukan jika di hari libur penuh?”
“Hari libur
penuh?”
“Kamu
bekerja paruh waktu, kan? Di hari tanpa kerja atau tanpa rencana, kamu ngapain?
Apa belajar jadi prioritas juga, bukan hanya berduaan?”
“Hari libur
penuh tanpa kerja, ya.”
Seperti yang
dikatakan Watanabe, Amane bekerja paruh waktu tiga atau empat kali seminggu,
jadi biasanya jadwalnya cukup padat. Karena itu memang pilihan yang dibuatnya
sendiri, jadi Amane tidak bisa mengeluh.
Ketika
ditanya tentang apa yang ia lakukan di hari-hari kosong dalam jadwalnya, Amane
teringat pada hari libur tanpa rencana yang baru-baru ini terjadi.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Hari sekolah
libur dan tidak ada jadwal pekerjaan paruh waktu atau rencana lain menjadi hari
yang berharga bagi Amane belakangan ini. Meskipun ia berencana untuk
menghabiskan waktunya bersama Mahiru, tapi ia tetap berusaha untuk menyisakan
satu hari di akhir pekan, namun jika ada kebutuhan mendesak, ia akan tetap
masuk kerja. Bahkan tanpa adanya pekerjaan paruh waktu, Amane juga memiliki
janji untuk pemeriksaan gigi, pergi ke salon, atau undangan dari
teman-temannya, sehingga sangat jarang ada satu hari penuh yang benar-benar
kosong.
Hari ini merupakan
hari libur penuh yang langka, jadi Amane memutuskan untuk bersantai.
Kebiasaannya membuatnya terbangun sebelum pukul enam pagi, tetapi setelah tidur
kembali, dirinya terbangun dan melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul
tujuh. Amane memanfaatkan kenyataan bahwa tidak ada orang lain di sekitarnya
untuk menguap besar.
“Ngantuk
banget…”
Meskipun Amane
bisa saja tidur kembali, jika dirinya terjebak dalam pesona selimut, ia mungkin
akan terus tidur hingga tiga atau empat kali lagi, jadi lebih baik
menghentikannya di sini. Kesadarannya sudah cukup jelas untuk membuat keputusan
itu.
Amane
menepis keinginan untuk tidur lebih lama dan bangkit dari tempat tidur,
kemudian melepas seprai yang telah digunakan, serta sarung selimut dan sarung
bantal, dan memeluknya di bawah lengan.
(Hari ini
cerah dan prakiraan cuaca hari ini mengumumkan tidak ada hujan, jadi ini tepat
sekali.)
Cahaya
matahari yang masuk melalui celah tirai kurang cerah, mungkin karena sekarang
musim dingin matahari belum sepenuhnya terbit, tetapi dalam satu atau dua jam
ke depan, sinarnya akan menjadi cukup untuk aktivitas manusia.
Meskipun ia
tetap menjemur di hari mendung, tapi karena musim dingin, jika tidak cerah,
pengeringan menjadi sulit. Oleh karena itu, waktu untuk menjemur di siang hari
terbatas, dan hari ini adalah hari yang sangat baik untuk mencucinya.
Waktu tidur
siang yang bahagia terasa berlalu begitu cepat, pikir Amane, sambil membawa barang-barang cuci dan
ponsel masing-masing di tangan menuju kamar mandi. Di dalam keranjang cucian,
masih ada pakaian kotor dari kemarin, jadi dia mencampurkannya ke dalam mesin
cuci dan langsung memilih program pencucian.
Sambil
memastikan tidak ada cucian lain yang perlu dipisahkan, dirinya bersyukur atas
kemajuan peradaban dengan fitur pengisian deterjen otomatis, dan dalam proses
itu, ia juga cepat menyikat gigi setelah bangun tidur.
Mencuci muka
bisa dilakukan nanti setelah jogging di pagi hari, jadi kurasa aku tidak perlu
terburu-buru membunuh bakteri di wajah, pikir Amane
dengan sedikit malas. Setelah kembali ke ruang tamu, ia mengisi ketel dengan
air dan menekan tombol untuk mendidih.
Air dari
kulkas juga baik, tetapi tentu saja, minum air dingin di pagi hari dan kemudian
jogging lagi bisa membuat tubuhnya kedinginan, jadi hari ini Amane memilih air
hangat.
Saat
menunggu air mendidih, ia berniat untuk memeriksa ponselnya, tetapi tiba-tiba
ingat bahwa ponselnya tertinggal di kamar mandi, jadi dirinya buru-buru kembali
ke sana untuk mengambilnya.
(Sepertinya
ada pesan yang masuk saat aku sedang tidur.)
Di layar
kunci ponselnya, terlihat ada beberapa pesan yang menumpuk.
Hanya pesan
terbaru yang ditampilkan, tetapi ada pesan sistem yang menyertakan gambar
dengan tulisan bodoh dari Itsuki, “Lihat, aku super jenius, kan!? Pujilah
aku!” sehingga tanpa sadar Amane menghela napas.
Pesan-pesan dari
Itsuki biasanya cuma berisi hal-hal yang sepele. Begitu ada gambar yang
dilampirkan, Amane sudah bisa menebaknya kalau ia pasti sedang bercanda.
Dengan
asumsi yang sangat tidak sopan bahwa ia pasti melakukan sesuatu yang konyol,
Amane memutuskan untuk menjawab dengan pesan pedas jika tidak ada tawa pagi
yang dihasilkan, lalu mendengar suara ketel yang memanggilnya sehingga dirinya
pergi ke dapur.
Amane
menuangkan air hangat ke dalam cangkir dan menuju ruang tamu, meletakkannya di
meja rendah sambil menyalakan pemanas AC.
Saat merasakan
angin hangat dari AC mulai keluar, Amane membuka kunci ponselnya dan melihat
ikon aplikasi pesan yang menunjukkan angka notifikasi yang menumpuk.
(Apa ada
urusan penting sampai membuatnya menghubungiku?)
Untuk
memeriksa kemungkinan lelucon dari Itsuki, ia membuka aplikasi tersebut. Selain
Itsuki, ada juga pesan dari Mahiru, Chitose, Ayaka, dan grup pekerjaan paruh
waktu yang juga memiliki pesan belum dibaca.
Sementara
itu, Amane memutuskan untuk mengabaikan Itsuki dan membuka pesan grup pekerjaan
yang tampaknya lebih mendesak. Dia melihat pesan dari Owner kafe, Fumika, yang
mengatakan, “AC di ruang istirahat bermasalah, jadi aku sudah meminta
perbaikan, tetapi perbaikannya akan dilakukan lusa, jadi harap berhati-hati
agar tidak terkena flu karena suhu ruangan rendah.” Pesan itu diikuti
dengan balasan dari anggota lainnya yang menyatakan persetujuan.
Amane juga
mengirim pesan “Aku mengerti” dan kemudian membuka pesan dari Mahiru.
Secara umum,
Amane jarang berkomunikasi dengan Mahiru melalui aplikasi perpesanan, karena mereka
lebih banyak melakukan komunikasi langsung. Meskipun ada yang mengatakan
seharusnya tidak seperti itu, mereka bertemu setiap hari dan menghabiskan
banyak waktu bersama, sehingga lebih sering berbicara secara langsung daripada
mengirim pesan.
Seperti yang
diperkirakannya, pesan dari Mahiru berisi ucapan selamat pagi dan rencana
keluar hari ini serta perkiraan waktu pulang. Dia juga menyebutkan bahwa waktu
yang tepat akan diberitahu saat hampir selesai.
“Seingatku,
Mahiru bilang dia akan pergi dengan mereka berdua hari ini.”
Kemarin,
Mahiru mengatakan, “Besok aku akan pergi bersama Chitose-san dan Kido-san,
jadi aku tidak akan di rumah sampai sore,” dan ketika memikirkan kembali,
Amane merasa Ayaka juga sudah cukup akrab dengan Mahiru.
Amane berpikir
Ayaka memang tipe yang cocok dengan Mahiru, tetapi ternyata mereka bisa menjadi
teman yang pergi berlibur bersama adalah hal yang tidak terduga. Mahiru
sebenarnya adalah orang yang pemalu, jadi semakin mengejutkan.
Di
pikirannya, pesan dari Ayaka disertai stiker lucu yang berbunyi, “Besok aku
akan meminjam pacarmu, ya!”. Dia melaporkan dengan sopan, menunjukkan bahwa
dia memperhatikan Amane.
(Sebenarnya dia
bukan milikku dan aku tidak berniat untuk memonopolinya.)
Amane tidak
berniat untuk mengomentari hubungan sosial atau jadwal Mahiru dan tidak berniat
membatasinya. Jika itulah keputusan Mahiru dan selama tidak berbahaya, dia
tidak akan menghalanginya. Pesan dari Ayaka kali ini sepertinya hanya sekadar
sapaan dan sedikit senda gurau.
Amane
berpikir sejenak tentang bagaimana membalasnya dan setelah sekitar sepuluh
detik, ia membalas dengan pesan yang netral, “Terima kasih atas laporannya.
Selamat bersenang-senang,” kemudian membuka pesan dari Itsuki.
Karena ia
dengan sengaja meminta pujian, Amane percaya bahwa ini hanyalah laporan yang
sangat luar biasa. Sambil menyesap air hangat yang sudah mulai dingin, Amane
melihat gambar yang dilampirkan, dan terlihat sebuah menara koin yang ditumpuk
vertikal di atas meja.
Di belakangnya,
ada sisa-sisa penghapus dan pensil mekanik yang tergeletak, jadi jelas bahwa
konsentrasi telah terputus dan itulah hasil dari waktu istirahat yang
dihabiskan untuk bermain. Memang, Amane merasa bahwa itu sangat terampil dan
luar biasa, tetapi diminta untuk memuji itu terasa menyebalkan.
Jadi, Amane
hanya menjawab dengan singkat, “Hebat, hebat.”
(Ia memang
terampil, meskipun kali ini bisa dibilang sia-sia.)
Amane
berpikir bahwa seharusnya lebih baik jika konsentrasi yang hilang itu digunakan
untuk belajar, tetapi ia tidak mengatakannya langsung kepada yang bersangkutan.
Dengan
ekspresi yang sulit diartikan antara keheranan dan senyum kecut, Amane menyesap
air hangat sambil mengambil buku referensi yang tertumpuk di tepi meja rendah,
lalu mengerjakan kembali bagian yang salah kemarin.
Ia berencana
untuk pergi jogging setelah menghabiskan air hangat, jadi meskipun hanya ada
sedikit waktu, ia berusaha untuk belajar di sela-sela waktu yang ada, karena
sedikit demi sedikit bisa menumpuk. Namun, Amane juga merasa bahwa belajar
setiap kali waktu istirahat terasa membosankan, jadi dirinya bersikap santai
tentang hal itu.
Beruntungnya,
berkat penjelasan Mahiru yang teliti tentang kesalahan yang dibuatnya kemarin,
bagian yang sulit itu akhirnya bisa diselesaikan dengan mudah. Amane bersyukur dalam
hati kepada Mahiru yang tidak ada di sini.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Setelah
menghabiskan air hangat dan merasa lebih segar, Amane mengganti pakaiannya
dengan pakaian lari dan keluar.
“Dingin
banget.”
Saat
melangkah ke koridor gedung, cuacanya sudah cukup dingin, tapi ketika turun ke
lantai satu dan melewati pintu masuk, Amane merasakan hawa dingin yang menusuk
kulitnya sehingga tanpa sadar suara itu keluar dari mulutnya.
Pagi musim
dingin ini memang belum cocok untuk beraktivitas, dan meskipun dirinya
mengenakan jaket olahraga, rasa dingin yang menusuk pipinya tetap tidak bisa
dihindari.
Karena hanya
berdiri di sana saja sudah terasa dingin, Amane bertekad untuk segera berlari
agar tubuhnya hangat, jadi ia melakukan pemanasan dengan baik sebelum mulai
menggerakkan kakinya.
Melihat jam
di pergelangan tangannya, waktu sekarang menunjukkan pukul 7:40 pagi. Satu sesi jogging biasanya berlangsung kurang
dari satu jam, jadi ia diperkirakan akan kembali ke apartemen sekitar pukul
setengah sembilan pagi.
Tujuan
jogging kali ini ialah untuk membangun daya tahan dan menjaga otot yang telah
dilatih agar tidak menurun, jadi kecepatan larinya santai.
Saat berlari
di jalanan, Amane melihat pemandangan yang familiar, tetapi disertai ketenangan
yang berbeda dari hari kerja, dan jogging di akhir pekan ternyata cukup
menyenangkan.
Suara
napasnya sendiri dan langkah kakinya yang menginjak beton dan kerikil, serta
keramaian jauh di sana.
Ia
memperhatikan suara-suara yang biasanya tidak didengarnya dan berusaha untuk
mengambil napas dalam-dalam.
(Sebenarnya,
aku cukup suka berlari.)
Meskipun
orang lain menganggapnya sebagai tipe yang lebih suka di dalam ruangan, Amane
sebenarnya tidak membenci olahraga. Menggerakkan tubuh menuju tujuan yang telah
ditetapkan justru terasa menyenangkan.
Dirinya
berpikir, jika ditanya oleh Yuuta dari klub atletik atau Chitose yang dulunya
anggota klub atletik namun masih rutin berlari, mungkin dia akan diundang untuk
berbagai kegiatan.
Sambil
menjaga kecepatannya, Amane terus bergerak maju dengan tenang.
Saat berlari
seperti ini, pikiran-pikiran yang mengganggu perlahan-lahan menghilang, dan Amane
fokus pada langkahnya yang menjejak tanah dan darah yang mengalir hangat dalam
tubuhnya.
Sambil
sesekali meneguk minuman olahraga yang dibawa dari rumah, Amane berlari
sendirian dengan santai, dan saat dirinya kembali tepat di depan apartemen,
waktu yang direncanakan sudah tiba.
Di sini,
semuanya sudah terasa akrab, dan dirinya mengerti dengan baik seberapa cepat
dan berapa lama ia harus berlari agar bisa kembali tepat waktu.
Meskipun dirinya
cuma melakukan jogging, napasnya sedikit terengah-engah, jadi ia berjalan
perlahan untuk menenangkan pernapasannya sambil tidak lupa untuk meregangkan
tubuhnya.
Amane selalu
diingatkan oleh Yuuta bahwa jika ia melewatkan peregangan di sini, ototnya bisa
menjadi kaku atau aliran darahnya terganggu, sehingga olahraga yang dilakukan
untuk kesehatan dan peningkatan kekuatan justru bisa berdampak sebaliknya. Itulah
sebabnya, Amane selalu meluangkan waktu untuk melakukan peregangan dengan baik
dan teliti.
(Dulu aku
tidak bisa berlari selama satu jam, tapi sekarang sudah bisa berlari dengan
normal.)
Jika diminta
untuk berlari maraton penuh, Amane pasti akan merasa sangat berat, tetapi
dibandingkan dengan dulu, daya tahan dan kekuatannya sudah meningkat pesat.
Saat Amane
kembali ke rumah, dirinya merasa telah berkembang ketika membandingkan seberapa
cepat napasnya kembali normal dan rasa lelah di tubuhnya dibandingkan dengan
masa lalu. Setelah menyelesaikan rutinitas pasca-latihan, ia memastikan untuk
menghidrasi diri sebelum mandi untuk menghilangkan keringat.
Mesin cuci
yang tadi dinyalakan sudah berhenti, jadi sebelum mandi, Amane menggantung
pakaian di balkon dan kemudian menuju kamar mandi untuk cepat-cepat mandi.
Karena tujuan
mandi kali ini hanya untuk membersihkan tubuhnya dari keringat, jadi lebih
singkat dibandingkan mandi malam, dan bahkan setelah memperhitungkan waktu
untuk melembapkan wajah dan tubuh, Amane keluar dari kamar mandi lebih cepat
dibandingkan waktu mandi malam.
Mungkin juga
karena perutnya sudah kelaparan. Dirinya buru-buru keluar, dan saat ini sudah
hampir pukul sembilan.
Jika terlalu
larut, sarapan akan berubah menjadi makan siang, jadi Amane mengatur agar
pakaian yang baru saja dicuci dimasukkan kembali ke mesin cuci sebelum mulai
menyiapkan sarapan.
Dulu,
kemampuan memasak Amane bisa dibilang amatiran, tapi sekarang dirinya bisa
menyiapkan sarapan dengan baik. Meskipun begitu, sarapannya cenderung
sederhana, seperti yang populer di internet dengan slogan “ini sudah cukup.”
Karena ia tidak
ingin membuat sesuatu yang terlalu merepotkan di pagi hari dan perutnya sudah
lapar, menu hari ini hanya dua butir telur mata sapi, sosis yang sudah digoreng
bersamaan, onigiri asin yang terbuat dari nasi yang disimpan di freezer, dan
sup miso sederhana menggunakan bola miso yang juga disimpan di freezer.
Selain itu,
dirinya hanya perlu mengambil sedikit lauk yang telah disiapkan oleh Mahiru ke
dalam mangkuk kecil, sehingga sarapan ini terbilang sederhana namun cukup
mengenyangkan.
Makanannya
dibumbui garam dan merica, dan Mahiru sudah membumbuinya, jadi rasanya tidak
perlu diragukan.
“Selamat
makan.”
Sembari
menangkupkan kedua tangannya, Amane menutup matanya dan mengucapkan terima
kasih kepada makanan dan Mahiru, ia kemudian menyantap sarapan yang sedikit
terlambat.
Rasanya bisa
dibilang sesuai dengan yang diharapkannya, dan persis seperti yang dicari.
Telur mata
sapi yang dibumbui dengan garam dan merica sederhana sudah cukup lezat tanpa
tambahan apa pun, dan sosis yang dipanggang dengan cara dikukus terasa sangat
juicy, begitu digigit, daging panasnya langsung menyembur ke mulut dan hampir
membuat lidahnya terbakar, tetapi tetap saja, rasanya sangat menggoda untuk
dimakan.
Adanya sedikit
bekas gosong pada sosis menambah daya tarik baik dari segi penampilan maupun
aroma, sehingga membuat selera makan semakin meningkat, bahkan sebelum
memakannya, mulutnya sudah terasa basah.
Sup miso
dibuat dengan bola miso yang hanya perlu dilarutkan dalam air panas, sehingga
menghemat waktu, tetapi berkat tambahan bahan dan kaldu, sup ini terasa dalam
dan kaya rasa, terutama setelah berolahraga. Dengan tambahan faktor bahwa ini
adalah setelah berolahraga, wajar jika sarapan terasa lebih enak dari biasanya.
Karena
perutnya sudah keroncongan, Amane sudah tidak bisa menahan diri untuk
cepat-cepat memasukkan makanan ke dalam perutnya, jadi ia memanggil Mahiru
dalam pikirannya dan menasihatinya, “Makan cepat itu tidak baik untuk
kesehatan,” dan “Lebih baik kunyah dengan baik agar merasa kenyang dan
pencernaan juga lebih baik,” untuk mengingatkan dirinya sendiri agar lebih
sabar.
Amane mulai
makan sedikit demi sedikit dari kinpira yang disiapkan di mangkuk kecil, sambil
meningkatkan jumlah kunyahan, dan berpikir tentang apa yang harus dilakukan
selanjutnya.
Hari ini merupakan
hari libur total di mana Mahiru tidak ada di rumah pada siang hari. Karena
dirinya tidak ada urusan khusus, dan Amane sengaja mengosongkan hari ini untuk
menyelesaikan berbagai hal yang sering dia tunda.
Meskipun dirinya
berpikir untuk bersantai dan bermalas-malasan, ia juga menyadari bahwa jika
menumpuk pekerjaan yang harus dilakukan, itu akan menjadi sangat merepotkan di
kemudian hari, jadi lebih baik menyelesaikannya dengan cepat.
(Sekarang,
setelah mencuci pakaian yang sedang dicuci, aku akan menggantungnya,
membersihkan ruang tamu dan kamar, lalu menyiapkan makan siang dan belajar…?)
Meskipun Amane
masih sedang makan sarapan, berpikir tentang makan siang terasa seperti
sifatnya agak rakus, tetapi karena hari ini Mahiru tidak ada di rumah saat
siang, dirinya harus menyiapkan semuanya sendiri.
Sebenarnya,
memasak bukanlah hal yang sulit baginya, tetapi Amane harus memikirkan apa yang
akan dibuat, isi kulkas, masa kedaluwarsa bahan-bahan, dan bahan mana yang akan
digunakan untuk makanan mendatang sebelum memutuskan menu.
Satu hal yang
lebih spesifik yang mengkhawatirkannya adalah seberapa banyak telur yang bisa
ia gunakan.
(Tadi ada masih
ada sisa enam butir, jadi aman jika menggunakan dua butir untuk makan siang.)
Memangnya
aman mengonsumsi empat butir dalam sehari?
Pikiran Amane teringat pada komentar Mahiru, tetapi dirinya berpura-pura tidak
mendengarnya dan menikmati kuning telur oranye yang setengah matang sesuai
seleranya.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Setelah selesai
makan sarapan, Amane menyikat gigi dan mulai mencuci piring.
“Jangan
menumpuk cucian”, itulah ajaran Mahiru, jadi dirinya
mencuci piring dan wajan yang telah digunakan dan membersihkan wastafel.
Setelah itu, Amane langsung melanjutkan dengan bersih-bersih.
Namun,
karena dirinya sudah terbiasa membersihkan sedikit-sedikit selama lima hingga
sepuluh menit di waktu luang, tempat ini tidak terlalu kotor dan tidak
memerlukan pembersihan yang serius.
Ia mengelap
debu dan kotoran dari rak dan meja, lalu menggunakan kain basah untuk
menghilangkan debu dan rambut, sebelum akhirnya menyedot debu.
Karena Amane
berusaha untuk tidak meninggalkan barang-barang di atas meja dan lantai, cukup
dengan langkah-langkah ini, rumahnya jadi bisa tetap bersih. Ia sangat memahami
bahwa jika dirinya malas, pekerjaannya jadi akan semakin menumpuk di kemudian
hari, seperti yang dikatakan Mahiru.
(Hmm,
bersih-bersih itu mudah.)
Sambil
membersihkan percikan minyak di kompor yang sepertinya jatuh saat membuat telur
mata sapi, Amane merasa terkesan dengan ketepatan peringatan Mahiru.
Kompor yang
tidak ada sisa minyaknya itu sangat mudah dibersihkan.
Amane sudah
tahu bahwa membersihkan secara rutin membuat pekerjaan lebih mudah, jadi dirinya
benar-benar merasakan bahwa ajaran Mahiru itu benar. Dengan meluangkan sedikit
usaha setiap hari, dirinya tidak akan dituntut untuk melakukan pekerjaan yang
lebih berat di kemudian hari.
Dengan rasa
syukur atas bimbingan Mahiru, Amane melihat papan tanggal kedaluwarsa yang
tergantung di kulkas dan memutuskan untuk membuat omuraisu untuk makan siang.
Jika begitu,
ia harus mulai dengan menanak nasi. Saat melihat jam pada penanak nasi,
waktunya sudah lewat pukul sepuluh, jadi masih sedikit terlalu pagi. Amane
mengatur timer agar nasi matang sekitar waktu makan siang dengan menambahkan
sedikit lebih banyak air.
Amane merasa
bersyukur bisa menanak nasi dengan mudah berkat beras yang tidak perlu dicuci,
dan sambil melakukan itu, dirinya juga menyiapkan kaldu kombu untuk makan malam
di kulkas. Setelah itu, ia pergi ke kamar mandi untuk memeriksa keadaan mesin
cuci.
Sepertinya
mesin cuci sudah selesai karena mesinnya sudah diam.
Ia kemudian
mengeluarkan pakaian dan menggantungnya di balkon untuk menghilangkan kerutan,
agar pakaian yang pertama bisa mendapatkan udara segar.
Tentu saja,
dengan mencuci dua kali, tempatnya cukup banyak, tetapi saat ini Amane tidak
berencana untuk memutar mesin cuci lagi, jadi aku hanya perlu menunggu sampai
semuanya kering.
Karena semua
pekerjaan sudah selesai, Amane punya waktu untuk bersantai, tetapi…
“Sepertinya
aku memang harus melakukan sesuatu.”
Walaupun
pekerjaan paruh waktunya cukup menyita waktu, tapi bukan berarti dirinya bisa
mengabaikan belajarnya. Waktu yang dihabiskan untuk belajar memang berkurang
dibandingkan sebelum dirinya mulai bekerja.
Amane sudah
memutuskan untuk tidak menurunkan nilai saat memutuskan untuk bekerja, jadi dirinya
berusaha menyisipkan waktu belajar di waktu luang sebanyak mungkin, dan sekarang
lah waktu yang tepat untuk menambah waktu belajar tersebut.
Sejujurnya, rasanya
memang ada keinginan untuk bersantai, tetapi Amane berjanji oada dirinya
sendiri untuk menjadi sosok yang bisa dibanggakan di depan Mahiru, lalu
mengambil buku referensi dan catatan yang ada di meja rendah.
(Jika aku
menjadi siswa SMA yang sedang mempersiapkan ujian masuk kampus, aku akan punya
lebih banyak waktu untuk belajar, jadi aku tidak boleh bermalas-malasan. Jika
aku terlalu banyak bermalas-malasan, aku tidak berhak menasihati Chitose.)
Amane dan
Mahiru berada dalam posisi untuk mengajarkan Chitose, tetapi jika dirinya
belajar dengan sembarangan, Amane tidak akan punya muka untuk berhadapan
dengannya. Jika ingin berada di posisi yang memimpin, tentu diperlukan kemampuan
yang sesuai.
Dalam hal
ini, keberadaan Chitose sangat membantu. Semangat untuk tetap menjadi pengajar
muncul demi dirinya, dan dengan mengajarkan, ingatan ini akan tertanam. Chitose
beruntung bisa diajari hal-hal yang tidak dimengertinya. Ini saling
menguntungkan.
(Meski sebenarnya,
Chitose mungkin lebih suka jika dia bisa memahami tanpa perlu diajari.)
Pada
akhirnya, diharapkan dia bisa memahami dengan baik sendiri, tetapi itu bukan
sesuatu yang bisa dicapai segera, jadi Amane berharap dia bisa meluangkan waktu
untuk mempelajarinya perlahan.
“Yah, aku
juga tidak secerdas itu untuk bisa bersantai.”
Meskipun Amane
berada di sisi yang lebih pintar jika dibandingkan dengan teman sekelasnya, ada
orang yang jauh lebih pintar di sampingnya, jadi Amane tidak merasa sombong. Dirinya
selalu berusaha keras mengejar Mahiru dalam hal belajar.
Dirinya
harus berusaha setiap hari supaya bisa berdiri di tempat yang sama dengan
Mahiru. Demi mewujudkan itu, Amane harus memanfaatkan waktu seperti ini dengan
baik, sambil membolak-balik buku referensi yang sudut-sudutnya sedikit kusut, ia
lalu berkata pada dirinya sendiri, “Baiklah,” dan mengambil pensil mekanik.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Tanpa disadari,
waktunya sudah menjelang siang hari.
Setelah
memeriksa waktu di ponsel yang ada di sampingnya, Amane menyadari bahwa sudah
saatnya mempersiapkan makan siang, lalu menutup buku referensi dan catatan.
Tubuhnya
memang cepat beradaptasi; begitu merasa bahwa sudah waktunya makan siang, perutnya
langsung mengeluarkan suara protes yang entah terdengar seperti keluhan atau
tangisan, membuat Amane tersenyum kecut sendiri.
Demi
menenangkan perut yang berisik itu, ia berdiri dan mengenakan celemek untuk
dirinya sendiri sambil menuju ke dapur.
Karena
terlalu fokus dalam belajar, Amane tidak menyadari bahwa nasi di dalam penanak
nasi sudah matang dan bahkan sudah selesai mengukus, bersinar dengan kilau yang
menggoda. Hari ini, dirinya memutuskan untuk membuat omuraisu untuk makan
siang.
Ia berencana
akan menggunakan saus caponata berisi sayuran yang ada di kulkas, jadi dirinya
berencana untuk membuat nasi mentega, bukan nasi ayam.
(Pasti rasanya
bakalan enak sekali.)
Tentu saja,
maksudnya adalah caponata buatan Mahiru yang lezat, bukan kemampuan memasaknya
sendiri. Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat mulut Amane berliuran,
jadi dirinya menelan ludah dan mulai memasak.
Sebenarnya, dirinya
tidak melakukan sesuatu yang rumit; ia hanya perlu membuat nasi mentega yang
dibumbui dengan bawang bombay cincang halus, sedikit bawang putih, dan garam
serta merica, lalu membungkusnya dengan telur dan menambahkan caponata yang
sudah dipanaskan di atasnya.
Amane yang
dulu mungkin merasa kesulitan, tetapi sekarang dirinya bisa memasak dengan
baik, jadi omuraisu ini selesai tanpa kesulitan berarti.
(Kalau
dibilang sendiri sendiri sih, aku merasa percaya diri rasanya akan enak.)
Meskipun
kemampuan memasak dan caponata itu semua berkat Mahiru, jadi hampir semuanya berkat
pujaan hatinya.
Omuraisu
yang mengepul dengan uap memiliki telur yang tidak ada bekas bakaran atau
robekan, berwarna kuning cerah dan berbentuk retro yang mengembang. Karena Amane
lebih suka telur yang matang, inilah hidangan yang terbaik.
Caponata
yang ditambahkan di atasnya, sesuai dengan keinginan Mahiru, penuh dengan
sayuran. Omuraisu yang dihiasi dengan perhatian dan kecintaan Mahiru terhadap
kesehatan benar-benar menggugah selera dengan aroma dan penampilan yang
menggoda.
Jika dirinya mengirim foto ini kepada Mahiru,
mungkin dirinya akan mendapatkan balasan stiker ‘bagus sekali’, tetapi
saat ini, Amane ingin memprioritaskan mengisi perutnya, jadi dirinya tidak
menyentuh ponsel dan berusaha mengambil sendok, tetapi tiba-tiba teringat ada
satu hal yang belum dilakukannya.
“Selamat
makan.”
Amane
menyatukan kedua tangannya dan menutup matanya sejenak untuk mengucapkan rasa
terima kasih kepada bahan makanan.
Setelah
menjalani kebiasaan penting sebelum makan dan semacam etika, Amane tidak bisa
menahan diri lagi dan segera mengambil sendok untuk menyendok omuraisu.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Rasanya
ternyata sangat enak. Atau lebih
tepatnya, caponata buatan Mahiru yang lezat membuat rasa nasi ini terhimpun di
sana, jadi kemampuan memasak Amane hanya sebatas seberapa matang telur yang dibuat,
tetapi tetap saja, rasanya enak dan membuatnya merasa puas.
Setelah
mengucapkan terima kasih atas hidangan tersebut, Amane segera membereskan sisa
nasi dan saus agar tidak mengeras. Setelah itu, dirinya memutuskan untuk
menyeduh kopi setelah makan dan berisitirahat.
Saat melihat
ponsel yang tidak dipegang selama makan, waktu sudah menunjukkan lewat pukul
satu siang.
Amane mendengar
bahwa Mahiru berencana pulang dengan kereta yang tiba pukul tiga sore, dan
pesan tersebut juga sudah dilaporkan, jadi dirinya punya waktu kosong hingga
saat itu.
Sambil
menghirup aroma biji kopi yang harum dari tempat kerjanya, Amane menghitung
waktu yang dibutuhkan untuk berganti pakaian dan pergi ke stasiun dalam pikirannya,
jadi waktu kosongnnya sekitar satu setengah jam. Meskipun bisa dibilang senggang,
waktu tersebut tidak cukup untuk melakukan sesuatu yang penting.
Saat-saat seperti
ini, Amane biasanya memanfaatkan waktunya untuk belajar.
(Untungnya,
aku tipe yang cukup suka belajar.)
Jika Amane
tidak menyukainya, dirinya mungkin tidak akan mau belajar sama sekali, dan jika
pun mau, dirinya akan melakukannya dengan enggan dan tidak akan ada kemajuan.
Karena sebentar
lagi Amane akan menjadi siswa yang mengikuti ujian masuk universitas, lebih
baik jika ia mempersiapkan diri dengan baik, jadi ia mengatur alarm di ponsel
dan memutuskan untuk melanjutkan belajar yang sempat terhenti.
Setelah
terbangun dari konsentrasi oleh suara alarm ponsel, Amane menghabiskan sisa
kopi dingin di gelas dan cepat-cepat berganti pakaian untuk menyambut
kedatangan Mahiru.
Amane sudah
menerima pesan dari Mahiru yang mengatakan, “Tidak perlu repot-repot menjemput,”
tapi dirinya tetap merasa ingin segera melihat Mahiru yang puas setelah
bermain, dan entah bagaimana, Mahiru juga merasa senang jika Amane
menjemputnya, jadi pilihan untuk tidak menjemputnya tidak pernah terlintas di
benaknya.
Setelah
cepat merapikan diri, Amane menuju stasiun dan tiba tepat saat kereta yang
ditumpangi Mahiru tiba.
Karena melewati
gerbang tiket terlalu merepotkan, jadi Amane menunggu di luar pintu masuk. Di
antara kerumunan orang yang memiliki tujuan yang sama, dirinya melihat rambut
pirang berkilau.
Tentu saja,
itu bukan ilusi optik yang membuat Mahiru benar-benar bersinar, tetapi
kemampuan untuk mengenali orang yang kita suka semakin terasah seiring dengan
rasa suka yang semakin membesar. Dia terlihat bersinar karena alasan itu, dan
Mahiru memang gadis yang sangat menarik perhatian, jadi dia mudah ditemukan.
“Mahiru,
sini sini!”
Saat Amane
memanggil Mahiru yang mengikuti arus orang, ia melihat wajah pacarnya yang
seketika langsung cerah.
“Terima
kasih, Amane-kun, sudah repot-repot menjemputku.”
“Tak
apa-apa. Lagipula, aku memang berencana untuk membeli makanan.”
Mahiru yang
berlari kecil mendekat tampak merasa sedikit bersalah, tetapi kebahagiaan yang
lebih besar terlihat di wajahnya, sehingga Amane merasa sangat sayang pada
kerendahan hati dan sifat manisnya. Amane menggigit bibirnya untuk menahan
senyum aneh yang ingin muncul.
Mungkin
karena (terutama Chitose) bermain dengan Chitose dan yang lainnya dengan
sebutan menyegarkan diri, wajah Mahiru tampak berseri-seri, dan dia tersenyum
ceria mendengar kata-kata Amane.
“Apa kamu
sudah membawa catatan dengan baik?”
“Sudah
pasti. ...Eh, aku buru-buru menyimpannya di saku jadi agak kusut.”
“Duhh~,
jangan begitu. Kamu harus lebih rapi.”
Meskipun
Mahiru tampaknya sudah mengingat sebagian besar yang akan dibeli, Amane memilih
untuk diam karena dirinya juga merasakan hal yang sama.
“Maaf, ya.
Sebagai permintaan maaf, aku akan membawakan barangmu.”
“...Kamu
pasti akan membawanya tanpa perlu minta maaf.”
“Hari ini,
aku punya alasan yang bagus.”
“Mouu.”
Ucapan “Mouu”
dari Mahiru lebih mengandung makna ketidakpuasan daripada sekadar keluhan,
sering kali diiringi dengan frasa “Inilah sebabnya Amane-kun seperti itu.”
Meskipun makna “inilah sebabnya” itu tidak terlalu jelas bagi Amane, Mahiru
mengatakan, “Itu bukan dalam arti buruk, malah bisa dibilang pujian, tetapi
pujian yang...”.
“Aku punya
pemanas tangan hangat di saku, jadi hangatkan tanganmu. Cuacanya pasti dingin,
kan?”
Karena ada
barang bawaan, tampaknya Mahiru tidak ingin mengenakan sarung tangan, jadi Amane
menerima barangnya sambil sedikit mengetuk saku mantelnya, dan Mahiru entah
mengapa menggelengkan kepala dengan santai.
“...Aku
lebih suka tangan Amane-kun daripada penghangat tangan.”
“Kalau
begitu, nikmati set lengkap yang mewah.”
“Baiklah,
aku akan menerima tawaranmu.”
Sifat manja
seperti itu sangat menggemaskan, pikir
Amane sambil mengulurkan tangan kepada Mahiru, dan dia tanpa ragu mengambil
tanganku.
Ia merasakan
sensasi dingin di telapak tangannya. Sentuhan lembut mantelnya di lengannya.
Amane
mengerjap beberapa kalim karena Mahiru yang meringkuk di dekatnya, tiba-tiba
memeruk erat lengannya, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Mahiru, yang
menatapnya dengan tatapan sedikit malu.
“Apa yang
mereka katakan padamu hari ini?”
“Kenapa kamu
mencurigaiku sekarang!”
Mahiru
menunjukkan ketidakpuasan dengan jelas, dan meskipun Amane merasa beruntung
karena hanya merasakan mantel di musim dingin ini, dirinya merasa sangat
khawatir jika ini terjadi di musim panas.
Sambil merasa
sedikit malu karena mendapatkan tatapan aneh dari para pejalan kaki yang lewat,
Amane berusaha memberikan tatapan lembut untuk menenangkan Mahiru yang tampak
tidak puas.
“Yah, kupikir
kamu tidak terlalu suka berdekatan di depan umum seperti ini.”
“...Karena
cuacanya dingin, aku hanya ingin berada di sampingmu."
“Begitu.
Jika itu yang kamu inginkan, jangan ragu.”
Ini juga
mungkin merupakan cara Mahiru untuk menunjukkan sifat manja dan perhatian
kecilnya.
Sambil
merasa geli sekaligus senang di dalam hati karena Mahiru kini semakin aktif
menunjukkan perasaannya, Amane mengaitkan jari-jarinya yang dingin dengan jari
Mahiru dan mengundangnya masuk ke saku mantelnya.
Di dalam saku
itu menjadi tempat yang nyaman berkat pemanas tangan, dan Mahiru yang disambut
dengan kehangatan tampak melunak dan merasa nyaman, mengendurkan alisnya.
“Kamu tidak
kedinginan?”
“Berkat Amane-kun,
aku jadi merasa hangat.”
“Tangan dan
wajahmu?”
“...Kamu
tidak boleh bilang begitu.”
“Maaf.”
Dalam
perjalanan pulang, mereka saling bercanda dan tertawa.
“Ngomong-ngomong,
aku sudah menghabiskan caponata yang kamu siapkan untuk makan siang, apa itu
oke?”
“Tidak
masalah, aku juga berpikir untuk segera menghabiskannya. Lalu, kita mau masak
apa selanjutnya?”
“Aku mau spaghetti
bolognese. Dengan banyak daging yang digiling bersama tomat. Aku menyukai
buatanmu karena dagingnya banyak.”
“Memang
lebih enak dan mengenyangkan kalau bahan-bahannya besar. Tapi aku berencana
makan ikan hari ini, jadi tidak bisa, tunggu sampai besok, oke?”
“Ikan apa
yang akan kamu masak?”
“Sepertinya
kita perlu mengunjungi supermarket dulu untuk mencari ikan yang bagus. Dari
iklan, sepertinya ada ikan tuna. Kita bisa merebusnya dengan lobak untuk
membuat sup ikan dengan lobak.”
“Jika ditambah
nasi pasti rasanya enak sekali. ...Oh, aku harus membeli telur."
Ngomong-ngomong,
setelah menghabiskan telur untuk sarapan dan makan siang, sisanya tinggal empat
butir. Memikirkan untuk besok, sepertinya sudah saatnya untuk membeli pasokan cadangan.
Telur sangat penting dalam kehidupan Amane, jadi dia tidak boleh lalai.
Ketika
memikirkan isi kulkas dan barang lain yang perlu dibeli, Amane merasakan
sedikit tekanan dari tangan yang digandengnya. Ketika menoleh ke arah Mahiru,
ia melihat senyuman yang sangat indah mengarah padanya.
“Berapa
banyak telur yang kamu makan pagi dan siang ini?"
"Hehe.”
“Amane-kun?”
“...Empat
butir masih aman, ‘kan?”
“Kalau
begitu, hari ini kita tidak akan memasukkan telur ke dalam ikan dengan lobak.”
“Jangan
bilang begitu.”
Karena itu
hal yang berbeda, jadi Amane meremas tangan Mahiru dengan penuh harapan, tetapi
ekspresi Mahiru berubah menjadi sedikit jengkel.
“Masalahnya,
Amane-kun, kamu akan makan terlalu banyak kalau dibiarkan terus. Meskipun telur
itu bergizi tinggi, tidak baik kalau terlalu banyak."
“Itu benar
sih, tapi...”
“Sehari satu
telur saja sih tidak apa-apa, tapi karena Amane-kun menyukai telur, aku
khawatir kamu akan makan terlalu banyak.”
“Satu butir!
Hanya satu butir saja!”
“Ya ampun, apa
boleh buat deh.”
“Yay!”
Karena
menghilangkan telur dari masakan Mahiru yang sudah pasti enak adalah kerugian
yang besar, jadi Amane berusaha bernegosiasi, dan dengan ekspresi yang
menunjukkan ‘mau bagaimana lagi’, Mahiru akhirnya mengizinkannya. Amane
pun mengangkat tinjunya dengan tangan yang tidak bergandengan dengan Mahiru.
Saat Amane
mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dirinya aman karena ia tidak makan
lima telur setiap hari, tawa Mahiru yang lucu dan menghangatkan hati terdengar
di telinganya.
“Aku tidak
tahu apa Amane-kun itu bisa dibilang anak-anak atau dewasa.”
“Aku ingin
tetap memiliki jiwa kanak-kanak selamanya.”
“Dan itulah
sebabnya kamu merengek soal telur.”
“Mau
bagaimana lagi, ‘kan? Karena kamu bilang takkan menambahkan telur hari ini.”
“Kalau aku
tidak bilang begitu, apa kamu akan menghematnya?”
“Aku
mengurangi satu telur dari telur mata sapi di pagi hari.”
“Jadi, tidak
memakannya bukan pilihan, ya?”
“Ya
enggaklah.”
“Mouu~.”
Dengan nada
yang lebih mencerminkan kasih sayang daripada ketidakpuasan, Mahiru
menyampaikan suaranya kepada Amane, dan dia tidak mengeluh lebih jauh, malah
terlihat senang sambil menyandarkan tubuhnya ke lengan Amane dan berceloteh
bahagia.
Momen-momen
kecil seperti inilah salah satu kesenangan yang mereka nikmati bersama. Ketika pandangan
mata mereka bertemu, raut malu yang menggoda dan sedikit nakal terpancar di
wajah Mahiru.
Sisi Mahiru
yang kekanak-kanakan dan emosional begitu menawan sehingga Amane tidak bisa
menyembunyikan senyum yang mengembang di wajahnya dan menggelitik telapak
tangan Mahiru dengan ujung jarinya.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Setelah mampir
berbelanja di supermarket dan pulang ke rumah, Amane mengecek waktu setelah
menyelesaikan persiapan dan menyimpan barang belanjaan. Jarum jam sudah menunjukkan
angka empat lewat.
Untuk
membuat makan malam sekarang terasa sedikit terlalu awal, jadi dia hanya
mengatur timer penanak nasinya. Sekitar satu jam ke depan akan menjadi
waktu luang.
Hanya karena
mereka menghabiskan waktu bersama bukan berarti mereka selalu melakukan hal
yang sama atau terus-menerus menempel satu sama lain. Hari ini, Mahiru membaca buku
referensi di samping Amane, yang menggeser meja rendah untuk berolahraga.
Amane
berpikir untuk berolahraga di dalam kamar karena khawatir itu akan mengganggu
belajar Mahiru, tetapi Mahiru justru menolaknya dengan tegas. Dia berkata bahwa
lebih mudah untuk menjaga semangat jika mereka bersama.
(Hmm, ini pasti
pengaruh Kido.)
Meskipun itu
perkataan dari orang yang paling dicintainya, Amane tidak menerima semuanya
begitu saja. Mau dilihat bagaimanapun juga, jelas-jelas Mahiru hanya ingin
melihat otot Amane. Padahal, dia tidak perlu melepas bajunya atau semacamnya.
Namun,
karena Mahiru sampai berkata begitu, Amane tidak punya alasan untuk menolak,
jadi dirinya menggelar matras latihan di ruang tamu dan mulai berolahraga
seperti biasa.
Latihannya
lebih fokus pada pemeliharaan bentuk tubuh dan kekuatan, jadi olahraganya tidak
terlalu berat, tetapi tampaknya Mahiru sangat senang melihatnya, bergantian
melihat buku referensi dan Amane dengan penuh kegembiraan.
Amane ingin
bertanya apa materi pelajarannya benar-benar masuk ke dalam kepalanya, tetapi
dia juga yakin bahwa sembilan dari sepuluh kemungkinan itu pasti masuk. Mahiru
takkan melakukan sesuatu dengan hasil yang setengah-setengah, dan jika Amane
bertanya tentang sesuatu yang tertulis di buku referensi itu, dia bisa
memprediksi bahwa jawabannya akan datang tanpa ragu.
Meskipun Amane
juga pernah mengerjakan buku referensi yang dipegang Mahiru beberapa kali, tapi
ia tidak mengingat semua soal dengan sempurna, jadi mustahil untuk melakukannya
sambil berolahraga.
“…Jika aku
naik ke punggungmu sekarang, apa kamu akan terjepit, Amane-kun?”
Mahiru
mengucapkan kata-kata itu sambil melihat Amane yang sedang melakukan plank.
Karena itu waktu yang tepat untuk istirahat, Amane berbaring tengkurap sejenak
dan membayangkan gambaran Mahiru yang berada di punggungnya.
Memang sulit
jika dilakukan saat push-up, tetapi menyandarkan sikunya di lantai mungkin akan
mencegah tubuhnya terlalu dekat dengan lantai. Namun, itu pasti akan membuat
otot inti tubuhnya sedikit turun, jadi Amane berpikir itu tidak cocok sebagai
latihan.
“Aku tidak
akan terjepit, tapi… itu pasti menjadi beban yang cukup berat.”
“Beban?”
“Aku tidak
bilang berat. Hanya saja ini jauh lebih berat dibandingkan plank biasa.”
Karena Mahiru
tampak sedikit khawatir, Amane merasa perlu menjelaskan supaya tidak terjadi
kesalahpahaman. Ia tidak pernah berpikir Mahiru berat, malah dirinya berpikir
Mahiru lebih ringan, tetapi dengan otot yang terbentuk dan gaya hidup sehat,
dia pasti memiliki berat badan yang sehat.
Amane
sendiri belum cukup terlatih untuk mengabaikan aspek itu, jadi baginya, beban
tetaplah beban. Itu cuma masalah yang berbeda dari sekadar berat badan.
Amane memahami
seberapa pedulinya gadis-gadis tentang berat badan mereka, jadi lebih baik
tidak membahasnya terlalu dalam.
“Kalau
begitu, jika kamu mulai khawatir dan berusaha menurunkan berat badan lebih
jauh…”
“…Lebih jauh?”
“Aku akan
berusaha keras untuk memasak makanan bergizi yang banyak."
Amane tidak
berpikir Mahiru akan mengabaikan makanan, tapi dia tahu Mahiru akan mulai
mengatur pola makannya, jadi dirinya harus menghentikannya.
Sebenarnya, Amane
merasa takut jika Mahiru memutuskan untuk menjadi lebih kurus daripada
sekarang, jadi ia berharap Mahiru tidak melakukannya, tetapi Amane juga tahu
bahwa pencarian kecantikan wanita tidak bisa dianggap remeh.
Oleh karena
itu, satu-satunya caranya adalah Amane memasak makanan dan mendorongnya untuk
tidak membuang makanan. Meskipun Amane tidak bisa memasak sejago Mahiru, Mahiru
tidak suka membuang makanan, jadi selama tidak terlalu buruk, dia pasti akan
memakannya.
“Itu mungkin
bisa diterima…”
“Kenapa
begitu? Mahiru sudah cukup kurus dan ringan, jadi jangan memaksakan diri untuk
menurunkan berat badan. Jika kamu mau masakanku, aku akan memasaknya dengan
baik.”
“Diet yang
tidak masuk akal bisa merusak kulit, rambut, dan organ dalam, jadi aku tidak
akan melakukannya… Amane-kun pasti akan khawatir.”
“Aku akan
sangat khawatir.”
“Tenang
saja, aku akan menjalani kehidupan sehat… E-Ei!”
“Guhe!”
Mungkin demi
menunjukkan bahwa dirinya tidak perlu khawatir, Mahiru turun dari sofa dan
sedikit ragu-ragu duduk di atas pantat Amane. Meskipun tidak berat, ada dampak
yang mengejutkan dalam berbagai arti, sehingga suara keluar dari mulut Amane.
Ada sensasi
kaku di atas pantatnya.
Jika harus
memberi alasan, itu cuma main-main saja, setengah dari itu memang disengaja,
dan sebenarnya tidak terasa menyakitkan.
Mahiru
sepertinya juga menyadari hal itu, namun setelah sekitar lima detik terdiam di
atas Amane, dia mulai menggoyang-goyangkan Amane seolah mengeluh.
“Maaf, itu
hanya bercanda. Berhenti menggoyang-goyangkan tubuhku.”
“Apa kamu
sudah menyadarinya?”
“Aku sudah
menyadarinya, jadi tolong jangan dilanjutkan.”
Meskipun rasanya
tidak menyakitkan atau berat, keadaan di mana orang yang disukai berada di
atasnya dan menggoyangkannya sendiri tidak baik dalam berbagai hal.
Entah dia
mengerti atau tidak, Mahiru berhenti sejenak mendengar kata-kata Amane.
“Kamu tidak
bilang untuk turun, ya?”
“Yah, kalau
Mahiru yang mau menaikiku sih...”
“Aku mungkin
mengganggu latihan ototmu, lho?”
“Kalau
begitu, kita anggap saja ini sebagai istirahat.”
Pokoknya, Amane
merasa tidak bisa berkonsentrasi, jadi ia memutuskan untuk menyelesaikan
latihan hari ini.
Jadi,
selama tidak berlebihan, silakan saja, pikir Amane sambil menyerahkan
tubuhnya kepada Mahiru, yang kemudian mengeluarkan suara pelan ‘Mou’ dengan
nada ceria. Mungkin lebih baik tidak menunjukkan bahwa nada suaranya itu
menyenangkan.
“…Amane-kun,
pantatmu keras.”
“Kalau
lembut, itu malah tidak baik.”
“Punggungmu
juga keras.”
“Itu bukti
bahwa aku sudah berlatih.”
“…Kamu
memang berlatih.”
Ujung
jarinya dengan lembut mengusap garis punggung Amane, menyentuh seolah-olah
ingin memeriksa konturnya.
Saat
membangun tubuh, Mahiru telah mengingat nama-nama otot seperti latissimus
dorsi, deltoid, dan trapezius, tetapi awalnya dia hanya menyentuhnya dengan
lembut, kemudian semakin berani merasakan bentuk dan kekerasan otot Amane
dengan jari-jarinya.
Jika
dibiarkan, rasa penasarannya dan kasih sayangnya sepertinya akan membuatnya
terus menyentuh Amane tanpa henti, jadi Amane memutuskan untuk menghentikannya
di sini.
“Aku bisa
membayangkan Mahiru yang menyeringai tanpa harus melihat ke belakang.”
“Ak-Aku
tidak menyeringai, kok!?”
Meskipun dia
berkata begitu, suaranya yang parau menunjukkan bahwa dia benar-benar merasa
gelisah, tapi Mahiru tetap bersikeras bahwa dia tidak menyeringai dan mulai
menepuk-nepuk punggung Amane.
“Benarkah?”
“…Beneran
kok.”
“Kamu
berusaha agar aku tidak bisa memastikannya.”
“Aku tidak
tahu.”
Ketika
Mahiru menekan area sekitar tulang belikat Amane, dirinya tidak bisa berbalik
secara paksa dan hanya bisa sedikit mengangkat tubuhnya dengan menggunakan
tangannya seperti saat plank. Jika dipaksa, Mahiru pasti akan kehilangan
keseimbangannya, jadi Amane tidak punya pilihan selain bersikap tenang.
Mahiru
sangat mengerti situasi ini, tetapi ketika tekanan di punggungnya berubah dari
tangan menjadi sesuatu yang lain, Amane menyadari bahwa beban di area pantatnya
telah menyebar tipis ke seluruh punggungnya, dan sesuatu yang sangat lembut
kini berada di atas punggungnya.
Kemudian,
Mahiru menyelipkan lengannya di bawah ketiak Amane dan mendekatkan tubuhnya
dengan erat, sementara Amane menggigit bibirnya tanpa berbalik.
“…Baiklah,
aku nyerah, tapi itu mengenaiku.”
“Aku tahu.”
“Kalau
begitu, tolong jangan bilang tidak tahu.”
“…Sebenarnya,
ak-aku kan pacarmu, jadi, ini tidak terlalu aneh. Lagipula, setiap kali Amane-kun
memelukku, kamu pasti menikmati, ‘kan?”
“Sembarangan
saja asal menuduh!? Maksudku, aku memang sering memikirkannya, tapi aku
berusaha sebisa mungkin untuk tidak memikirkannya!!?”
Amane juga
adalah seorang remaja yang sehat, dan jika dia merasakan kelembutan dari
pacarnya, tentu saja ada pikiran tertentu yang muncul, dan sebagai hasilnya,
perasaan fisik dan mentalnya bisa meningkat. Ia bahkan ingin merasakan
keuntungan itu lebih lama, dan jika diizinkan, dirinya bahkan ingin
menyentuhnya sendiri.
Namun, Amane
berusaha untuk tidak mengekspresikan perasaan itu dan berinisiatif untuk
mencegahnya, semata-mata karena ia tidak ingin membuat Mahiru merasa tidak
nyaman.
Amane merasa
bahwa Mahiru mungkin tidak akan keberatan, tetapi jika itu berujung pada
perasaan yang tidak diinginkan, itu tidak baik untuk mereka berdua. Amane tidak
ingin memaksakan keinginannya atau hasrat sesaatnya secara sepihak. Dirinya
percaya bahwa keinginan mereka harus terpenuhi saat mereka saling
menginginkannya.
“Itu, um,
terima kasih…?”
“Tidak, itu demi
diriku sendiri… Pokoknya, kalau itu terlalu dekat, aku akan kesulitan.”
Karena
menyebutkan hal-hal spesifik bisa membuat Mahiru semakin tersipu, jadi Amane menahan
diri untuk tidak menyebutkannya, tetapi entah kenapa, dia merasakan tekanan
yang lebih besar.
“Mahiru.”
“…Aku juga
ingin menikmatinya, Amane-kun.”
“Mahiru,
perkataanmu tadi cukup mesum, ya.”
“Bukan
begitu maksudku!?”
“Aduh, aduh,
sakit-sakit.”
Tak
tertahankan oleh serangan bertubi-tubi dari kepalanya yang strukturnya cukup
kokoh berkat kesehatannya.
Amane
berpikir bahwa Mahiru tidak bermaksud dalam arti itu, tetapi tampaknya Mahiru
merasa tersinggung karena dia digoda, dan kali ini dia mulai menyerang dengan
dagunya, menggerakkan dagunya ke punggung Amane sebagai gelombang serangan
kedua.
Semuanya
akibat dari ucapannya sendiri,
jadi Amane menerima dengan lapang dada dan
membiarkan Mahiru melakukan sesuka hatinya. Setelah memberikan serangan manis
kepada Amane untuk beberapa saat, Mahiru mengeratkan pelukannya di dada Amane.
“Aku
hanya ingin tahu lebih banyak tentang usaha Amane-kun.”
“Aku
mengerti. Tapi tolong turun sebentar.”
“…Baik.”
Mahiru
yang tampaknya salah paham dengan suara kecewa turun dari tubuh Amane, dan Amane
bangkit untuk menghadapnya, menatap langsung ke mata Mahiru sambil memiringkan
kepalanya.
“Kamu yakin
tidak mau melakukannya dari depan?”
Sebenarnya,
Amane berpikir bahwa Mahiru lebih suka menikmati penampilannya sambil melihatnya, tapi apakah
cukup hanya dari belakang?
Dengan
membuka tangan dan tersenyum seraya berkata,
“Kalau sekarang, aku bisa
memberimu pelukan juga,” Amane melihat pipi Mahiru yang merona
dan matanya bersinar.
“…To-Tolong, dari depan, ya."
“Baiklah.”
Amane
berpikir bahwa Mahiru akhir-akhir ini semakin jujur tentang apa yang dia
inginkan, dan saat Mahiru melompat ke dalam pelukannya,
Amane merasakan aroma susu khas Mahiru
yang menggelitik hidungnya dan membuat matanya menyipit.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Setelah
mereka saling menikmati satu sama lain dengan
sehat, mereka mulai menyiapkan makan malam.
Meskipun
hari ini mereka sudah menyiapkan kaldu dan makanan pokok, tugas Amane adalah
membuat sup miso dan lauk. Hidangan utama
diserahkan kepada Mahiru, jadi sebenarnya tidak banyak yang perlu dilakukan.
Pengetahuan
dan keterampilan memasak Amane telah
meningkat pesat, sehingga
asalkan mempunyai resepnya, dirinya bisa beroperasi tanpa perlu banyak
arahan, jadi Amane bisa
menyajikan makan malam hari ini tanpa masalah.
Menu makan
malam hari ini merupakan masakan Jepang yang terdiri dari
nasi putih, sup miso tahu dan jamur enoki, sayuran bayam, ikan tuna
dengan lobak rebus yang sudah dijanjikan, dan acar teratai serta kacang rebus
yang telah disiapkan Mahiru di kulkas.
Ia
merasa sedikit menyesal karena meja makan terlihat terlalu cokelat, tetapi ia
ingin segera menghabiskan persediaan yang ada, jadi menu ini disepakati bersama
Mahiru.
“Umm,
enak sekali.”
Setelah
mengatupkan tangan dan mengucapkan selamat makan, ketika Amane mengambil ikan
tuna dengan lobak buatan Mahiru, rasa manis dan pedas yang lembut meresap ke
dalam lobak dan cita rasa ikan tuna menyebar di mulutnya, membuatnya semakin lahap.
Karena ikannya sudah dibumbui dulu, tidak ada bau amis dan sangat
lezat saat berpadu dengan lobak, dan meskipun dirinya
belum selesai makan, keinginan untuk nambah sudah muncul.
“Terima
kasih banyak. Sup miso yang Amane-kun
buat juga enak. Caramu membuat
kaldu sudah semakin baik.”
“Ya,
karena guruku sangat hebat.”
Mahiru
memuji Amane saat dia diam-diam menikmati sup miso,
tapi Amane ingin mengatakan bahwa itu semua berkat cara Mahiru mengajarnya.
Meskipun
tidak setiap kali mereka punya waktu untuk membuat kaldu, hari ini adalah hari
libur, jadi mereka memutuskan untuk merendam kombu dan katsuobushi lebih lama
untuk kaldu.
Sup miso
yang dibuat dengan kaldu yang diambil dengan hati-hati dari bahan-bahan
tersebut memang memiliki rasa yang lembut dan berkualitas, berbeda dari kaldu
bubuk, sehingga membuatnya merasa mewah.
Hari ini,
Amane yang bangga karena berhasil mengambil kaldu tanpa rasa aneh mendapatkan
pujian tulus dari Mahiru.
“Fufu,
muridku hebat, jadi aku juga merasa bangga.”
“Semoga
bimbingan dan dorongannya tetap berlanjut.”
“Kenapa
kamu jadi formal seperti itu? Makanan yang dibuat dengan kaldu yang sama juga rasanya enak ya.”
“Terima
kasih. Kaldu ini enak dan bayamnya juga sedang musim.”
Bayam
yang telah melewati banyak cuaca dingin memiliki rasa manis yang khas, dan
ketika dicampur dengan kaldu, bahan itu bisa
menjadi hidangan yang sangat lezat. Meskipun bumbu lainnya hampir sepenuhnya
berasal dari Mahiru, jadi bisa dibilang delapan puluh persen berkat Mahiru.
“Ngomong-ngomong,
akhir-akhir ini sayuran hijau jadi lebih murah, tapi di supermarket itu
harganya sedikit tinggi dibandingkan dengan jumlahnya."
Di area
tempat tinggal Amane dan teman-temannya ada beberapa supermarket, tetapi mereka
lebih sering menggunakan yang dekat dengan jalan pulang dari sekolah.
Supermarket
ini biasanya menyediakan bahan makanan dan bumbu yang sering mereka gunakan,
jadi kecuali ada keperluan khusus, mereka membeli di sana. Namun, yang jadi
masalah adalah jumlah, kesegaran, dan harga sayuran.
Meskipun
kualitasnya tidak buruk, ketika mempertimbangkan jumlah dan kesegaran, harganya
lebih tinggi dibandingkan toko lain yang lebih dekat. Walaupun kantong bawang bombay memiliki
kualitas dan ukuran yang sama, jumlahnya bisa berbeda, sehingga muncul sedikit kekecewaan.
“Petani
yang menanam juga bekerja keras, begitu juga dengan pengemudi dan petugas yang
menyusun barang di toko. Jadi, kita tidak bisa dengan berani meminta harga yang
lebih murah. Selain itu, bidang yang mereka fokuskan juga berbeda. Untuk
sayuran, supermarket di sana lebih baik, tetapi untuk ikan, yang di sini lebih
baik, jadi rasanya sulit untuk memutuskan.”
“Yah, mau bagaimana lagi, merepotkan
juga harus berpindah-pindah supermarket untuk
membeli sesuatu yang spesifik, dan waktu itu berharga.”
“Benar
juga.”
“…Tapi
untuk beras, kita tidak akan berkompromi.”
“Bahan
pokok itu tidak bisa ditawar, pastinya.”
Ada
sesuatu yang mendesak dalam senyum Mahiru saat dia menyatakan dengan tegas.
“Aku
mungkin bisa berkompromi dalam hal harga, tetapi kualitas tidak bisa ditawar. Karena rasanya bisa
berbeda.”
“Aku
mengerti. Jika berasnya tidak cocok, makanan
pun jadi tidak enak.”
Amane
biasanya tidak menyisakan makanan dan tidak terlalu
pilih-pilih, lebih tepatnya ia cukup toleran dalam hal rasa,
tetapi lidahnya cukup peka.
Ia
tidak mengatakan bahwa beras murah itu buruk, tetapi membayangkan beras yang
tipis dan tidak enak dihidangkan di meja makan setiap kali membuatnya ingin
menolak, jadi ia sepenuhnya setuju dengan kebijakan Mahiru.
Makanan
tidak boleh diabaikan karena berhubungan dengan kesehatan mental dan kualitas
hidup yang serius, jadi faktor itu merupakan sesuatu
yang tidak bisa ditawar.
“Aku
pribadi tidak suka beras dan susu yang hanya mengejar harga murah, rasanya
berbeda. Meskipun susu yang diperkaya nutrisi juga enak, itu bukan rasa yang
kucari saat ingin minum susu.”
“Aku
mengerti maksudmmu, tetapi aku lebih menyukai yang mana saja selama
bisa diminum. …Tapi maaf, aku cukup banyak meminumnya.”
“Tidak
apa-apa, selama dibuka, sebaiknya segera habiskan. Aku juga meminumnya dengan
baik. …Amane-kun cukup banyak minum susu, jadi mungkin itu sebabnya tinggi
badanmu meningkat?”
“Mungkin
lebih karena faktor genetik. Tapi kalau
dipikir-pikir lagi, saat tinggal di rumah, makanan yang disiapkan
benar-benar memperhatikan gizi, dan selama SD dan SMP,
keluarga kami adalah tipe yang suka beraktivitas di luar, jadi aku juga
berolahraga, jadi mungkin ada faktor yang mendukung pertumbuhan.”
Amane
sendiri tidak tahu mengapa dirinya
tumbuh tinggi dengan cepat, tetapi ia merasa mungkin karena ia menjalani kehidupan yang sehat.
“Padahal aku
juga berusaha memperhatikan gizi dan berolahraga, tapi… apa masih mungkin untuk
tumbuh sekarang?”
“Bagaimana
kalau kita cek dengan rontgen?”
“Aku
tidak berniat membuang-buang sumber daya medis untuk hal seperti itu… atau apa
itu berarti masa pertumbuhanku sudah usai?”
“…Itu
tidak mungkin.”
“Silakan
lihat ke sini kalau berbicara.”
“Kupikir
Mahiru sudah cukup imut dan hebat seperti sekarang. Tapi aku juga tidak menyangkal keinginan Mahiru untuk tumbuh lebih tinggi.”
Dengan
senyuman, Mahiru merasa sedikit tidak puas dan berkata, “Aku merasa seolah-olah diberi
tahu bahwa aku tidak akan tumbuh lebih tinggi,”
tetapi tampaknya dia senang dengan kata ‘imut’ dan tidak menunjukkan ekspresi
tidak puas lebih lanjut, lalu kembali diam-diam melanjutkan makan.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
“Terima
kasih atas makanannya.”
“Terima
kasih atas makanannya. Baiklah, Mahiru, berhenti di situ, jangan ambil alih
pekerjaanku.”
Mereka
sudah sepakat untuk mengakhiri makan bersama, jadi setelah mengucapkan terima
kasih satu sama lain, Amane menghentikan Mahiru yang hendak berdiri.
Pada
saat-saat seperti ini, Mahiru biasanya akan mencoba membantu membereskan, tapi mereka sudah berjanji
sebelumnya bahwa Amane yang akan bertanggung jawab untuk membersihkan. Amane
mengerti jika dirinya lelah
setelah bekerja paruh waktu, dirinya akan menerima
kebaikan Mahiru, tetapi hari ini Amane tidak bekerja dan
hanya berada di rumah seharian, jadi dirinya
tidak merasa lelah.
Mahiru
biasanya yang berbelanja dan memasak saat Amane bekerja, jadi jika ia memaksa
Mahiru untuk bekerja keras lagi sekarang, dirinya
tidak akan bisa merasa puas dengan dirinya sendiri.
“Muu.
Rasanya lebih cepat jika kita melakukannya
bersama.”
“Emang
benar sih, tetapi karena aku yang
mengerjakan bagian tertentu, aku harus mengurangi beban kerja di sini. Kamu yang biasanya lebih banyak terbebani, jadi aku
lebih senang jika kamu membiarkan aku mengambil alih kali ini, Mahiru.”
“Iya, ‘kan?” Amane berkata lembut, tetapi
Mahiru tampak tidak puas dan terus menatap Amane yang sudah berdiri.
Pada
dasarnya, ketidakpuasan ini berasal dari sifat perhatian
Mahiru dan kecintaannya untuk melakukan sesuatu bersama Amane, jadi meskipun
Amane merasa senang dengan perhatiannya,
dirinya tidak ingin membebani Mahiru.
Namun,
jika dibiarkan seperti ini, Mahiru mungkin akan cemberut, jadi Amane tersenyum.
“Kalau
begitu, apa kamu bisa membuatkan teh susu setelah makan?
Aku suka teh yang dibuat oleh Mahiru.”
Setelah
mengajukan permohonan kecil, mata Mahiru terbuka lebar, lalu menyipit dengan
tampak bingung.
“...Duhh~.”
Amane
merasa lega karena perkataan “Duhh~”
itu terdengar setuju, sementara ia mulai mengumpulkan piring di atas nampan.
“Hari
ini kamu banyak mengucapkan “duhh~” ya.”
“Memangnya
itu salah siapa coba,
siapa?”
“Akulah yang salah. Jadi, santai saja,
ya?”
“Baka.”
“Aku
tahu.”
Mahiru
menatap Amane dengan ekspresi tidak puas yang berbeda dari sebelumnya, membuat
Amane mengangkat bahu dan cepat-cepat menuju dapur untuk menyelesaikan
pencucian piring.
Karena ia
sudah mencuci sebagian peralatan masak dan piring yang digunakan, area wastafel pun kosong, jadi tidak
perlu bagi Mahiru untuk membantu.
Mencuci
piring dan peralatan yang digunakan tidak memakan waktu lama.
Sementara
itu, Mahiru tidak langsung datang membantu seperti yang diperintahkan Amane,
tetapi begitu Amane selesai mencuci dan menyimpan sisa makanan, Mahiru masuk ke
dapur dengan cepat, membuat Amane tidak bisa menahan getaran di bahu dan
tenggorokannya.
“Aku
membuatkan teh susu royal yang kamu sukai,
Amane-kun.”
“Memang
begitulah Mahiru, selalu merepotkan
diri.”
Meski Amane sendiri yang meminta
untuk dibuatkan teh susu, tetapi memilih teh susu royal yang memerlukan lebih banyak
usaha untuk dicuci menunjukkan betapa Mahiru ingin menghargai kerja keras
Amane. Dia bahkan mencuci panci susu dan saringan sebelum menyajikannya, yang
membuat Amane merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan, tetapi dia memilih
untuk mengabaikannya.
“Aku tidak
keberatan sama sekali kok.”
“Terima
kasih.”
“Sama-sama.”
Amane menyukai kopi dan teh, tetapi teh susu
royal buatan Mahiru merupakan
favorit tersendiri, jadi dirinya
menikmati waktu santai setelah makan sambil berterima kasih atas usaha Mahiru.
Teh susu
royal spesial buatan Mahiru, yang diseduh dengan daun teh yang cocok dan susu
yang melimpah, sangat lezat sehingga
Chitose pun memujinya. Rasanya kaya dan krimi, tetapi tidak terlalu berat,
sehingga rasa daun teh dan kekayaan susu bisa dinikmati dengan sempurna, setara
dengan yang disajikan di kafe.
“Kamu ada
rencana setelah ini,
Mahiru?”
Tentu
saja, setelah makan malam, Amane tidak seketat itu untuk berlari malam, jadi dirinya bersantai. Namun, Mahiru hanya
menjawab, “Hmm,
tidak tahu,” sambil mengalihkan
pandangannya ke meja rendah.
Ada
dua cangkir teh susu royal yang masih mengepul di
atas meja rendah dan alat perlengkapan
belajar yang ditaruh Amane di tepi meja.
Mahiru
ternyata juga memiliki beberapa buku referensi di rumahnya, tetapi di rumah
ini, mereka menggunakan buku referensi yang dibeli bersama Amane. Mahiru
baru-baru ini meninggalkan buku referensi yang baru dibelinya di rumah ini,
jadi Amane juga merasa berterima kasih bisa menggunakannya, dan matanya
mengikuti buku tersebut.
“Kupikir
aku akan belajar setelah perutku
tenang. Hari ini aku berada di luar setengah hari dan tidak bisa meninjau ulang pelajaran.”
“Gadis
pintar.”
“...Aku
tahu Amane-kun juga
mengutamakan belajar dan latihan pada hari libur."
“Aku
punya pekerjaan paruh waktu, jadi aku harus menyelesaikannya di sini agar tidak
berdampak pada nilaiku. Keputusan untuk tidak menurunkan nilai adalah
keputusanku sendiri.”
Amane
sangat menyadari betul bahwa
dirinya mulai bekerja pada waktu yang aneh yaitu musim
gugur kelas 2, sebelum menjadi calon siswa peserta ujian. Dirinya paling sadar akan kekhawatiran
bahwa hal itu mungkin mempengaruhi nilai, jadi Amane
berusaha untuk belajar di waktu luangnya agar tidak memalukan dirinya sendiri
maupun Mahiru.
Meskipun
begitu, ia tidak terlalu tertekan dengan belajar, dan karena sering kali belajar bersama
Mahiru, jadi dirinya tidak
merasa terlalu menderita.
“Tapi,
faktanya kamu tetap belajar dengan rajin, ‘kan?
Menurutku, Amane-kun jauh
lebih hebat. Aku sudah menyelesaikan belajar sebelumnya, jadi aku tidak sedang
mempelajari hal baru.”
“Mahiru,
apa kamu berpikir bahwa orang yang mempersiapkan diri dengan baik saat berusaha
itu curang?”
“...Aku tidak berpikir begitu.”
“Aku
tidak menganggap usaha Mahiru di masa lalu sebagai curang. Selain itu,
pengetahuan itu harus diulang agar tidak menghilang,
jadi jika sudah terukir jelas,
itu adalah usaha berkelanjutan dari Mahiru saat ini. Itu hebat.”
Inilah salah satu kebiasaan buruk Mahiru, dia
cenderung menganggap usaha orang lain lebih berharga dibandingkan usahanya
sendiri. Dia tidak meremehkan usahanya, tetapi sering kali meremehkan jumlah
usaha yang telah dilakukannya.
Dulu,
Amane juga selalu minderan atau
bisa dibilang kurang percaya diri, dan tidak bisa mengakui usahanya secara langsung,
tetapi sekarang Amane bisa menangkap arti usaha dengan benar.
“Jika
Mahiru menganggapku hebat, maka kita berdua sama-sama hebat. Aku juga hebat, dan Mahiru
juga hebat.”
Amane
meminta persetujuan, dan Mahiru menutup bibirnya sejenak—lalu, dia memeluk
lengan Amane dengan erat dan menyandarkan
kepalanya.
Seolah-olah
dia tak sanggup menahannya, tapi tidak jelas apa yang sebenarnya ingin dia
tahan. Setidaknya,
jika dilihat dari ekspresinya, itu adalah emosi bahagia.
“Aku
menyukaimu.”
“Aku
tahu."
“Apa
kamu benar-benar tahu?"
“Aku
benar-benar mengetahuinya.”
“...Kalau
begitu, tidak apa-apa.”
“Apa
aku juga harus mengatakannya?”
“Ti-Tidak, hari ini tidak usah.”
“Hari
ini?”
“Aku
sudah cukup mendengarnya tadi! Begitu juga sebelumnya! Maksudku, kamu biasanya
mengatakannya dengan jelas!”
Sebelum
memasak makan malam, mereka sudah banyak berinteraksi dengan kata-kata, sikap,
dan cara menyentuh yang membuat Amane merasa lega karena semuanya tersampaikan
dengan baik. Namun, bagi Mahiru, jika terlalu berlebihan, dia akan merasa
kewalahan dan terus-menerus menggosokkan kepalanya dengan wajah merah padam.
Amane
ingin menyampaikan perasaannya yang sebenarnya dan lebih memilih untuk
mengekspresikannya daripada membuat Mahiru merasa cemas, tetapi jika berlebihan,
Mahiru akan menghindar karena rasa malu, jadi sulit untuk menemukan batas yang
tepat.
“Bukannya
itu masih belum cukup?”
“Aku
sudah kenyang!”
“Masa sih?
Yah, kalau begitu mau
bagaimana lagi deh.”
Jika
terlalu memaksa, Mahiru akan membuatnya melarikan diri, jadi aturan idealnya adalah mundur dengan mudah
jika Mahiru terlihat sudah mencapai batasnya.
Akan tetapi,
Mahiru akan tampak sedikit kecewa jika
dirinya mundur dan itulah salah satu hal yang membuatnya
lucu, tetapi ini sulit diungkapkan di depan Mahiru.
“Su-Sudah cukup, sekarang waktunya
belajar.”
“Baik.”
Mahiru memalingkan wajahnya untuk
menyembunyikan rasa malunya, sementara Amane diam-diam tersenyum dan menjawab
dengan tulus.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Setelah
mulai berkonsentrasi belajar, waktu berlalu
dengan cepat.
Amane
terkejut ketika menyadari bahwa sudah tiba waktu Mahiru biasanya pulang, dan
saat melihat ponselnya, dia terkejut dengan waktu yang sudah larut malam.
“Aku
akan pulang sebentar lagi.”
“Ya,
aku mengerti. Terima kasih atas kerja kerasnya.”
Mahiru
juga pasti memiliki hal yang harus dilakukan di rumahnya, jadi Amane mengangguk dan tidak ingin menahan Mahiru
terlalu lama.
Mereka
belajar selama sekitar dua jam, dan selama itu, Mahiru tidak sepenuhnya diam...
tetapi mereka sesekali saling memberikan soal untuk dikerjakan. Meskipun mereka
minum, posisi belajar Mahiru tetap terjaga, menunjukkan konsentrasi yang
tinggi.
“Terima
kasih, Amane-kun. Kamu sudah duduk di meja belajar terus-menerus sejak tadi.”
“Yah,
itu karena aku punya contoh seseorang yang bekerja keras di sampingku.”
“Terima
kasih banyak. Semoga kita bisa saling menginsipirasi
satu sama lain.”
“Yah,
rasanya menyenangkan ketika ada seseorang yang menjawab
soal secepat kilat di sampingku.”
Mahiru
yang berpikiran cerdas dan
sudah menguasai berbagai pengetahuan sebelumnya dengan mudah menyelesaikan
soal, membuat Amane merasa semangat.
“Meski
begitu, Amane-kun juga tidak berhenti belajar, ‘kan?
Hebat sekali.”
“Mahiru
juga sama-sama mengesankan kok.”
Mereka
saling memuji satu sama lain, dan Amane dengan lembut namun sedikit berlebihan
mengelus kepala Mahiru, yang membuat Mahiru mengembungkan pipinya dan menatap
Amane dengan tatapan tidak puas.
“...Rambutku
jadi berantakan sekarang.”
“Kamu berencana
mau mandi, ‘kam?”
“Iya sih,
tapi... kalau begitu aku juga akan membuat rambut Amane berantakan."
Mahiru
yang suka bermain-main langsung mengulurkan tangannya ke kepala Amane.
Amane bisa
saja menghentikannya di situ, tapi jika ia melakukannya, Mahiru akan cemberut
untuk sementara waktu, jadi Amane memutuskan untuk pasrah dan membiarkan Mahiru
melakukan apa yang dia inginkan dengan kepalanya.
Mahiru
membelai rambut Amane dengan
sedikit berantakan dan acak-acakan, seolah-olah ia seekor anjing atau
semacamnya, tapi dengan sentuhan yang entah bagaimana terasa penuh kasih
sayang. Kekesalannya yang sebelumnya seketika
sirna saat dia
dengan senang hati memainkan rambut hitam Amane.
“Uhmmm, Amane-kun, jika kamu
mengalihkan poni ke sini dan membuat rambutmu mengembang, penampilanmu akan
berbeda, ya.”
Mahiru
yang awalnya hanya bermain-main dengan rambut Amane mulai serius mengubah gaya
rambutnya, mencoba cara-cara baru untuk mengalirkan rambut dan mengganti
belahan dengan ekspresi yang serius.
Gaya dasarnya masih tetap sama, tapi ketika keluar jalan-jalan, Amane akan membiarkan area mata
terlihat jelas dan sedikit mengalirkan gaya rambut. Namun, sekarang Mahiru
sedang mencoba mengalirkan poni dengan cara yang berbeda sambil mengembangkan rambutnya.
Meskipun Amane tidak
bisa melihatnya sendiri,
ia merasakan bahwa rambutnya mungkin terasa lebih ringan dibandingkan biasanya.
“Aku bisa
saja melakukannya, tapi sebaiknya
buat hari libur berikutntya saja ta. Aku akan latihan dulu.”
“Latihan
untuk apa?”
“Kalau
aku mau memenuhi permintaan Mahiru, aku perlu meningkatkan akurasiku.”
“Akurasi
untuk apa?”
“Teknik
untuk menembus hati Mahiru?”
Amane
merasa sedikit rangsangan itu baik, jadi dirinya
berniat menunjukkan sisi baru dari dirinya supaya
Mahiru semakin menyukainya. Sebenarnya, Mahiru ingin melihat berbagai
penampilan Amane, jadi lebih tepatnya, dia memenuhi keinginan Mahiru daripada
keinginannya sendiri.
“Sudah
tertembak tepat di tengah, jadi tidak masalah..."
“Eh?
Tapi aku akan tetap berlatih.”
“Jangan
berlebihan, ya.”
“Ya,
aku akan berusaha.”
“Kamu
masih tidak mengerti.”
“Aku
memang tidak mengerti sama sekali.”
“Baka.”
Amane
tidak bisa menolak saat Mahiru mengacak-acak rambutnya, dan meskipun itu hanya
membuatnya merasakan gatal di tubuh dan hatinya, itu tidak cukup untuk
menghentikan Amane.
Saat
menerima ejekan lucu dari Mahiru, Amane menyembunyikan wajahnya di bahu Mahiru,
dan dia dengan lembut merangkul punggung Amane,
seolah-olah ingin menikmati kehangatan Amane.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
“Baiklah,
selamat malam. Sampai jumpa besok.”
“Ya,
selamat malam. Sampai jumpa besok.”
Setelah
menikmati pelukan sebelum tidur untuk sementara, meskipun merasa enggan
berpisah dengan Mahiru, Amane memutuskan untuk
bersiap-siap sebelum tidur.
Karena dirinya belum mandi, Amane menyikat gigi terlebih dahulu,
dan kemudian bersiap untuk waktu mandi yang kedua hari ini.
Mandi
pagi untuk membersihkan keringat, sedangkan mandi malam untuk menjaga
kebersihan secara keseluruhan dan juga untuk relaksasi.
Sekarang,
Mahiru mungkin juga sedang mandi, tapi dirinya
tidak memerlukan waktu dan usaha sebanyak yang dilakukan Mahiru, jadi kemungkinan Amane yang
akan keluar lebih dulu.
(Jadi perempuan itu memang butuh banyak usaha, ya.)
Bukan hanya
sekedar mandi biasa, tetapi juga berendam, melakukan pijatan,
dan scrub, dan setelah mandi, masih ada perawatan wajah dan tubuh serta
perawatan rambut yang menunggu, jadi Mahiru
tampak sangat sibuk. Setidaknya, itulah kesan yang didapat Amane saat
melihatnya.
Amane
tidak berniat melakukan lebih dari itu, jadi dirinya
hanya mencuci dengan biasa dan melakukan perawatan kulit yang cukup. Meskipun Amane mulai memperhatikan perawatan kulit, dirinya hanya menggunakan produk
perawatan dasar dan tidak terlalu terobsesi seperti Mahiru; baginya, selama
produk tersebut cocok dengan kulitnya, cuma
itu saja sudah cukup.
Akan tetapi,
tidak dapat dipungkiri bahwa dirinya
telah berkembang dibandingkan dengan masa lalu, dan inilah momen yang membuatnya ingin memuji dirinya
sendiri.
“Semoga
aku bisa terlihat sedikit lebih keren.”
Saat
melihat dirinya di cermin, Amane merasa bahwa penampilannya jauh lebih cerah
dibandingkan dengan yang dulu, dan bentuk tubuhnya juga cukup baik. Meskipun dirinya tidak berotot besar, tapi badannya sudah cukup kencang
sehingga kulitnya memiliki sedikit lekukan, dan berkat postur tubuhnya yang
baik, Amane merasa seolah-olah ada rasa
percaya diri yang muncul dari penampilannya.
“…Mungkin aku harus bertanya
pada Kido tentang seberapa besar kesukaan
Mahiru?”
Amane
tidak berusaha keras untuk berolahraga hanya demi
disukai oleh Mahiru, tetapi karena Mahiru tampaknya terpengaruh oleh seseorang
yang membuatnya menyadari keindahan otot, sehingga
Amane merasa ingin melatih tubuhnya sesuai dengan selera Mahiru.
Meskipun
Mahiru tampaknya sangat menyukainya, jika ada bentuk
ideal yang diinginkan, Amane
ingin mewujudkannya.
(Jika
dibilang seperti binaragawan, mungkin aku akan berpikir dua kali.)
Namun,
jika seandainya Mahiru menyukai bentuk tubuh yang memerlukan
pengelolaan pola makan yang ketat dan latihan yang sangat keras, Amane yang
akan menjadi siswa peserta ujian
mulai musim semi tidak memiliki waktu luang untuk melakukan itu, jadi dirinya akan menyerah.
Ia
berharap Mahiru bisa puas dengan tingkat tertentu, dan setelah keluar dari
kamar mandi, Amane mengoleskan toner ke permukaan
wajahnya yang hangat setelah mandi. Berkat ajaran Mahiru untuk
segera melembapkan setelah mandi, kulitnya tidak mengalami masalah dan bebas
dari jerawat, jadi semua ini berkat Mahiru.
Setelah selesai melembapkan kulitnya, Amane
hanya perlu mengeringkan rambut dan menyikat gigi, dan persiapan untuk
mengakhiri hari pun selesai.
Karena
Amane bukan orang yang menghabiskan waktu lama untuk mandi, setelah
menyelesaikan semua persiapan dan melihat jam, waktunya
sudah lewat pukul 10 malam.
Meskipun
belajar sebelum tidur juga menarik, tubuhnya sudah dalam posisi siap tidur,
jadi saat-saat seperti ini, lebih baik cepat-cepat tidur sebelum kedinginan.
Amane
meyakinkan dirinya bahwa jika ingin belajar, lebih baik bangun pagi dan
melakukannya, meskipun mungkin dirinya
takkan melakukannya besok, dan Amane
mengalihkan perhatian pada kehangatan yang membawa rasa kantuk yang nyaman dari
dalam.
Tubuh
Amane yang dibungkus piyama hangat terasa lembut dan hangat hingga ujung jari.
Amane
sangat memahami bahwa saat-saat seperti ini, jika dirinya tidak memikirkan hal-hal yang
mengguncang emosi dan hanya membiarkan pikirannya melayang, kesadarannya akan
segera tenggelam.
(…Besok,
aku harus bangun lebih pagi
untuk menyiapkan bekal.)
Alasan
mengapa Amane tidur lebih awal karena besok merupakan hari di mana dirinya
menyiapkan bekal.
Setiap
kali meminta Mahiru untuk membuatkan bekal, Amane merasa sangat bersalah, jadi
ia berusaha untuk secara teratur membuatkan bekal untuk dirinya sendiri dan
Mahiru. Meskipun isinya tidak terlalu sulit, Mahiru sangat senang hanya dengan
Amane yang membuatnya, jadi Amane berpikir untuk memasukkan makanan kesukaan
Mahiru agar dia semakin bahagia.
(Beberapa
telur dadar manis, onigiri ume dan tuna, serta takoyaki, dan kemudian──)
Beberapa
waktu yang lalu, Amane membuatkan Mahiru bekal yang mirip dengan yang dibuatkan
orang tuanya, dan Mahiru sangat senang serta mengatakan ingin memakannya lagi. Jadi Amane sangat mengingat momen itu.
Akhir-akhir
ini, Amane sering memasak makanan yang
sudah disiapkan sebelumnya atau yang dibekukan dengan cepat, jadi bekal yang
dibuatnya tidak terlihat seperti bekal
pada umumnya. Besok, Amane ingin
mencoba membuat sesuatu yang benar-benar seperti bekal.
Dengan pikiran
itu, Amane perlahan-lahan terbenam dalam kebahagiaan sambil membayangkan wajah
bahagia Mahiru.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
“Yah,
mungkin aku hanya
melakukan rutinitasku seperti
biasa, seperti belajar sedikit, dan bersantai.”
Saat
Amane mengingat hari libur yang benar-benar santai dan merangkumnya, Watanabe hanya menatapnya
dengan ekspresi seolah-olah ingin berkata, “Eh?”.
“Tak disangka kamu belajar dengan rajiin ya.”
“Tentu
saja aku belajar, tapi bukan sampai berlebihan; itu masih dalam batas normal, sudah menjadi
kebiasaan. Apa Watanabe menganggapku sebagai orang yang belajar keras?”
“Aku
tidak menganggapmu belajar keras, tapi aku memang
menganggapmu sebagai
orang yang serius.”
“Itu
pujian atau bukan...? Aku bukan orang yang
seserius itu. Aku bukan tipe yang akan mengorbankan waktu yang kubutuhkan cuma demi belajar
terus-menerus.”
Tentu
saja, Amane melakukan belajar yang
diperlukan dengan baik dan tidak merasa terbebani oleh hal itu, tapi dirinya sama sekali tidak termasuk
dalam kategori orang yang sangat serius yang menghabiskan seluruh waktu
luangnya untuk belajar. Jika merasa lelah, Amane
akan beristirahat secukupnya, pergi bermain, membaca buku, atau menghabiskan
waktu dengan Mahiru. Amane
memastikan untuk mengambil waktu untuk dirinya sendiri.
Amane
merasa kebingungan mengapa orang menganggapnya
begitu kaku dan disiplin, dan menatap Watanabe dengan heran, tetapi Watanabe
menjawab, “Tidak,
aku tidak bisa berpikir begitu, atau aku tidak akan bisa melakukannya...” dengan pernyataan yang
membingungkan.
Ketika Amane
memiringkan kepalanya karena kebingungan, Watanabe mengeluh
sambil berbisik, “Aku
mengerti bahwa kau orang yang pandai... sialan,” lalu pergi sambil
memegangi dahinya.
Amane
merasa sedikit bersalah karena telah membuat Watanabe
merasa tidak nyaman, lalu melihat
ke arah punggung Watanabe dan mendengar suara memanggilnya, “Kamu ini...” Ternyata, Itsuki yang juga tadinya mendengarkan tampak tidak bisa
berkata-kata.
“...Kamu tidak berbohong, tapi juga
tidak mengatakan yang sebenarnya, ‘kan?”
“Kenapa
bisa begitu? Jika mempertimbangkan waktu rata-rata kebanyakan siswa peserta ujian masuk universitas, aku
tidak menghabiskan waktu sebanyak itu.”
Berdasarkan
informasi yang dicari Amane di
internet, sepertinya ada banyak orang yang menghabiskan sebagian besar harinya
untuk belajar, jadi jika dibandingkan dengan
mereka, jumlah waktu belajar
Amane tidak ada apa-apanya. Meskipun
tidak berniat membandingkan usahanya,
jika dipikirkan dari segi waktu, Amane
tidak melakukan sebanyak itu.
“Walaupun
kamu bilang santai, tapi kamu juga melakukan pekerjaan rumah, ‘kan?”
“Memangnya
kamu pikir aku ini orang
egois yang membiarkan semua urusan rumah tangga dilakukan Mahiru...? Dulu aku memang dibantu
dengan bersih-bersih! Sekarang aku melakukannya sendiri!”
Memang
benar bahwa Amane
memberikan beban yang besar kepada Mahiru pada awal pertemuan mereka, dan
menyadari bahwa dirinya sangat
berutang budi kepada Mahiru, bahkan sampai merasa ingin bersujud sebagai ungkapan terima kasih.
Namun, Amane juga berusaha untuk bisa mandiri
sedikit demi sedikit dan kini sudah mampu mengurus semua urusan rumah tangga
sendiri. Ini adalah sesuatu yang disetujui
Mahiru.
(Aku memaklumi kalau Itsuki
meragukanku
karena ia pernah melihat
masa-masa terburukku.)
Memang wajar
jika muncul keraguan apakah dirinya
bisa bertahan sendiri, tetapi Amane
merasa sudah cukup terbiasa hidup sendiri dan ingin menegaskan bahwa dirinya bisa menjaga tempat tinggalnya
meskipun tanpa Mahiru. Mengenai makanan, Amane
tidak bisa menegaskan kalau dirinya
bisa memasak semahir Mahiru.
“Dan
bersantai, ya...?”
“Aku
sudah mengatakannya kepada Watanabe, tapi aku
tidak belajar mati-matian seperti
yang kamu bayangkan. Aku istirahat secukupnya
dan berdiskusi soal-soal
dengan Mahiru, jadi tidak ada kesan mendesak. Lagipula, aku tidak benci
belajar.”
“Bagaimana
dengan game atau manga?”
“Hmm,
aku hanya mengikuti manga yang berseri, dan untuk game, belakangan ini tidak
ada game yang ingin aku mainkan, dan game yang kusimpan
hanyalah game yang ragu untuk
kumainkan jika ada Mahiru.”
“Ohoho, begitu rupanya.”
“Lagipula,
itu game horor.”
“Cih.”
“Kenapa
kamu malah mendecakkan lidahmu di
situ... emangnya kamu pikir itu game apaan?”
“Tentu
saja yang ahan~ dan ufun~.”
“Mana
mungkin aku membelinya, dan jika aku membelinya, Mahiru pasti akan menanyai
bagaimana aku mendapatkannya.”
“Oh,
jadi Shiina-san juga cemburuan
ya.”
“Tidak,
dia paling cuma penasaran kenapa aku berpikir
untuk memiliki sesuatu yang seharusnya tidak dimiliki saat ini, dan bagaimana
cara mendapatkannya.”
“Ah...”
Walaupun Mahiru
adalah pacarnya, tapi dia tidak pernah mengkritik tindakan atau selera Amane. Jika Amane melepaskan stres dengan cara
tertentu, dia tidak akan marah, dan sepertinya dia memahami bahwa ‘pria memang seperti itu,’ jadi dia tidak akan terlalu
mendalami masalah tersebut. Asalkan, tentu saja,
Amane memenuhi kriteria usia yang diperlukan.
“Mahiru
tidak akan mengkritik hal itu,” pungkasnya.
“Eh,
itu dari pengalaman langsung?”
“Bukan,
aku hanya berbicara seandainya aku memilikinya di masa lalu.”
“Ah,
itu membosankan sekali.”
“Aku
tidak berniat menjadi bahan
hiburanmu...”
Mengapa kamu justru mengharapkan
ada masalah, Amane
merasa bingung dengan tatapan mencurigakan, tetapi Itsuki tampak santai. Jika memang
ada sesuatu yang dipermasalahkan, Itsuki
pasti akan tertawa terbahak-bahak, jadi Amane
mempertahankan ketajaman tatapannya.
Ngomong-ngomong,
jika ia berencana untuk terus menggoda, Amane
serius mempertimbangkan untuk membocorkannya
kepada Chitose tentang apa saja yang ada di kamar Kizuki, tetapi kesempatan itu
tidak pernah datang.
“Apa
yang sedang kalian bicarakan?”
Sebelum Itsuki bisa menjawab, Mahiru yang
sebelumnya keluar ruangan kembali dan mengulurkan
wajahnya.
“Ini
bukan pembicaraan yang penting. Hanya membicarakan
isi kepala orang ini yang berpikiran pink melulu.”
“......Aku
tidak mengerti maksudnya, tapi sedikit mengerti?”
“Jangan
setuju begitu saja, Shiina-san!”
Kekhawatiran
akan kesalahpahaman yang besar terasa jelas dalam suara Itsuki yang panik, dan Amane sedikit merasa lega, meskipun
ingin menyimpan perasaan itu sebagai rahasia.
Sementara
itu, Mahiru hanya tersenyum lembut melihat Itsuki
yang gelisah.
“Aku
sudah mendengar banyak hal dari
Chitose-san.”
“Eh,
tunggu, kalian berdua
membicarakan apa, Shiina-san!?”
“Entahlah?”
Melihat
ekspresi lembut Mahiru yang
sama sekali tidak menyimpan niat jahat, pipi Itsuki
semakiin berkedut. Dari sudut pandang orang lain, senyumnya
terlihat sangat tulus dan tidak berbahaya, tetapi Itsuki justru merasakan sebaliknya.
Itsuki
yang wajahnya tampaknya sedikit pucat pergi
keluar kelas untuk bertanya kepada Chitose yang tidak ada di sini, membuat Amane terkejut dan bingung apakah ada
sesuatu yang seharusnya tidak diketahui.
“......Ngomong-ngomong,
sebenarnya kalian membahas apa?”
“Itu
hanya kejadian sehari-hari, Chitose-san juga
takkan terlalu blak-blakan. Kurasa
Akazawa-san akan menginterpretasikan dengan cara yang berbeda, mungkin ia punya
ide tentang itu.”
“Mahiru tuh kaddang-kadang
menakutkan, ya.”
Mungkin
itu hanya lelucon kecil, tetapi tampaknya itu memberi dampak besar bagi
seseorang yang tampaknya memiliki luka di kakinya.
Mahiru
yang tidak menyadari dampak tajam dari kata-katanya membuat Amane diam-diam mengeluarkan keringat
dingin di punggungnya, dan berjanji dalam hati untuk tidak berlebihan dalam
berdekatan dengan Mahiru sampai dia merasa terganggu.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya
