
Chapter 6 — Pertanda Akhir yang Bahagia
Maish ada
tersisa seminggu sebelum festival budaya. Di tengah kesibukan itu,
aku kembali dijemput Mary-san dan diseret ke dalam limusin.
“Ya
ampun, tak kusangka bakalan Kotaro lagi. Kebetulan
sekali. Mau ngobrol sebentar?”
“Walau kamu bilang begitu,
tapi jelas-jelas kamu sedang mengintai.”
“Sudah,
sudah, jangan bilang begitu... Ini cuma obrolan ringan. Ceritanya sebentar lagi
mencapai klimaks, kan? Anggap saja ini semacam reli sebelum babak final.”
(Tetap
saja… Bahasa Jepang Mary-san sungguh mengesankan. Seperti yang
diharapkan dari seorang heroine yang sempurna. Dia
mungkin unggul di setiap bidang yang bisa dibayangkan.)
“Tinggal seminggu
lagi, dan aku bisa menjerumuskan Ryoma ke dalam keputusasaan yang mendalam...
Ah, aku tak sabar melihatnya. Aku penasaran seperti apa raut wajahnya nanti
setelah aku menolak pengakuannya?”
Dan dia
juga punya bakat nyata dalam berakting.
Di
hadapan Ryuzaki, dia memainkan peran sebagai karakter heroine yang ceria dan
polos—dan dia berhasil melakukannya dengan sempurna.
Dirinya sudah sepenuhnya
berada di bawah pengaruh Mary-san. Jadi, aku tidak perlu
khawatir tentang Ryuzaki.
Namun
jika menyangkut Mary-san… mungkin itu belum cukup.
Kecuali
dia akhirnya sangat mencintai Ryuzaki hingga dia menyerah pada ‘romcom pembalasan’-nya, kita tidak
akan bisa menghancurkan skenarionya.
Itulah
sebabnya aku memutuskan sudah waktunya untuk bertindak.
“Ada satu
hal yang menggangguku.”
“Oh?
Kalau ada yang kamu pikirkan, aku mau mendengarnya. Lagipula,
meminta pendapat dari pihak ketiga bisa sangat berarti bagi seorang kreator.”
“Terima
kasih. Mungkin cuma perasaanku saja, tapi... bukannya Ryuzaki mungkin
masih punya perasaan pada Shiho? Sejak kita bertemu dengannya di pusat
perbelanjaan, perasaan itu terus menggangguku.”
Saat aku
mengatakan itu, Mary-san mengangkat sebelah alisnya sedikit.
“Oh…
dan apa yang membuatmu berpikir begitu?”
“Ryuzaki
secara aktif menghindari Shiho—seperti, berusaha keras untuk menjauhinya. Bukannya itu berarti ia
masih memendam perasaannya? Kalau ia benar-benar menyukaimu sekarang,
dirinya
pasti tidak akan peduli lagi pada Shiho.”
...Aku
benar-benar pandai mengatakan hal-hal yang kedengarannya masuk akal.
“Ada benarnya
juga.
Aku tidak punya bukti kuat untuk menyangkalnya.”
Tampaknya
Mary-san tidak bisa begitu saja menertawakannya.
“Hm.
Waktu aku mendengar kamu dan Shiho mau berkencan, kupikir
bakal seru kalau kita ketemu kalian berdua secara kebetulan, jadi aku dan Ryoma
pergi ke mal... tapi kurasa keinginan kecilku itu malah mengingatkan Ryoma pada
Shiho.”
“Itulah sebabnya, menurutku akan
lebih baik jika Ryuzaki semakin jatuh cinta padamu.”
Baiklah. Aku
berhasil mengarahkan pembicaraan ke arah yang aku inginkan.
“…Memangnya
kamu beneran
berpikir itu mungkin?”
“Aku
punya beberapa ide. Misalnya—”
Aku
ceritakan padanya rencanaku untuk membuat Ryuzaki jatuh cinta pada Mary-san. Meski,
lebih tepatnya, itu lebih merupakan rencana agar mereka tumbuh lebih dekat dan
berakhir dengan akhir yang bahagia.
Jadi,
sebenarnya, itu adalah strategi untuk ‘membuat mereka berdua
lebih intim’.
“Hm… yah,
kedengarannya lumayan.”
Setelah
mendengarkanku, Mary-san memberikan respon yang baik.
“Tapi
kenapa tiba-tiba mau bekerja sama? Sampai sekarang, kamu sama sekali tidak
terlihat termotivasi... jangan bilang kamu sedang merencanakan sesuatu?”
Pada saat
yang sama, Mary-san tampak curiga padaku. Tentu saja begitu… Aku
sudah memperkirakan reaksi ini juga.
“Saat
Shiho melihat Ryuzaki, dia kembali kosong—sama seperti sebelumnya. Karena itulah,
meskipun kemungkinannya kecil, aku ingin menghilangkan kemungkinan mereka
terlibat lagi... Aku ingin menghapus Ryoma Ryuzaki, sang 'protagonis',
untuk selamanya. Supaya Shiho tidak terluka lagi.”
Aku sudah
menyiapkan jawaban yang tepat. Tentu saja, aku mencampurkan sebagian
kebenaran dengan kebohongan supaya lebih sulit dilihat.
“Nihihihi. Aku mengerti
sekarang. Hm, menarik... menghilangkan rintangan untuk melindungi seseorang.
Aku tidak membenci pemikiran seperti itu.”
Mary-san
pintar. Biasanya, orang sepertiku tidak akan bisa menipunya. Tapi
karena dia jenius, dia terlalu percaya diri… dan meremehkanku.
“Tidak
mungkin orang seperti dirinya bisa membodohiku.”
Justru
karena dia berpikir seperti itu, maka aku mampu memanipulasinya dengan mudah.
Sekarang,
aku akan memicu sebuah ‘peristiwa’ yang membuat tokoh
heroine
utama jatuh cinta pada protagonis.
Untuk
menjatuhkan kreator ini… dan mengubahnya menjadi “gadis yang sedang jatuh
cinta” biasa.
◇◇◇◇
(Sudut Pandang Mary Parker)
Apa yang ditunjukkan
Kotaro…
jauh di lubuk hatiku, aku sendiri sudah merasakannya.
Kadang-kadang,
rasanya seperti Ryoma sedang berbicara dengan orang lain, bukan dengan
diriku.
“Mary,
hari ini cuacanya cukup dingin—pastikan kamu menjaga dirimu
sendiri.”
Tuh, ‘kan?
Begitu saja. Seolah-olah dia berbicara kepadaku, seolah-olah aku ini gadis yang
lemah dan sakit-sakitan.
“Hahahaha! Amerika jauh
lebih dingin, loh? Kalau cuma segini
saja—aku
bisa pakai baju lengan pendek dan tetap baik-baik saja!"
Aku
menanggapinya dengan nada riang, sambil tertawa seolah itu hanya lelucon. Baru
kemudian Ryoma seakan ingat bahwa akulah yang ada di
sampingnya. Ia berkedip beberapa kali dan kembali ke dunia nyata.
“…Ah, ya.
Kamu
benar. Maaf, aku tidak tahu apa yang kukatakan.”
“Jangan-jangan kamu khawatir sama aku!? Terima kasih—Ryoma, kamu manis
banget, aku mencintaimu!”
“Haha.
Makasih. Aku senang mendengarnya.”
Ryoma kelihatan
tidak membenci
dengan kasih sayangku—malahan, dia tampak sedikit senang.
“Ah,
maaf. Aku mau ke toilet sebentar.”
“Oke!
Sampai jumpa sebentar lagi~♪”
Sepulang
sekolah. Kami sedang berlatih drama di ruang kelas yang kosong ketika Ryoma
bangun untuk ke toilet. Dilihat dari tingkah lakunya… ia pasti
punya perasaan padaku.
Tetap
saja, aku tidak bisa menahan perasaan sedikit gelisah.
Aku
benar-benar tidak ingin berpikir dia masih terpaku pada Shiho... tapi untuk
amannya, aku akan memastikan hati Ryoma lebih condong ke arahku.
Saat
Ryoma keluar, aku berjalan mendekati Kotaro yang tengah membaca naskah di sudut
kelas.
“Kotaro,
apa kamu
punya waktu sebentar? Aku mau ngadain operasi 'Dimarahi dan Jantungku
Berdebar♪ Makasih Udah Marah Demi diriku☆' hari ini.”
Ini,
tentu saja, bagian dari rencana yang berkelanjutan untuk membuat Ryoma jatuh
cinta padaku.
“Aku
tidak pernah memberinya nama yang konyol seperti itu.”
“Tapi
mudah dimengerti, ‘kan?”
Dirinya mengusulkan
sesuatu seperti,“Bagaimana kalau ada acara
di mana Ryuzaki memarahimu?” Rasanya ini saat yang
tepat untuk mencobanya.
“'Kamu begitu peduli
sampai-sampai kau marah padaku... Aku sangat senang! Kurasa aku semakin jatuh
cinta padamu, Ryoma♪' ... Bukan berarti orang-orang biasanya mengatakan
hal-hal semudah itu.”
Ini
adalah salah satu peristiwa tipikal protagonis dan heroine utama. Sejujurnya, aku tidak pernah
menyukai pemandangan seperti ini.
“'Aku
marah cuma karena aku peduli padamu'—bukankah menurutmu itu semacam pelecehan
emosional? Seperti om-om hidung belang yang menggurui perempuan di bar-bar khusus
wanita.”
“Apakah
kamu yakin itu perbandingan yang baik untuk dilakukan oleh seorang siswa SMA?”
Bukannya
itu
pada dasarnya itu hal yang sama? Pokoknya aku berencana
untuk dimarahi Ryoma sekarang.
“Jadi,
apa yang harus kukatakan agar dia benar-benar marah? Aku tidak mau terlalu
jauh. Aku ingin mendengar pendapatmu.”
“Hmm biar kupikir-pikir dulu... Sejujurnya, aku bahkan tidak ingin
membayangkan apa yang sebenarnya dipikirkan orang itu, tapi... mungkin ia kesal
kalau orang-orang menjelek-jelekkan orang terdekatnya. Seperti gadis-gadis yang berteman
dengannya—misalnya Yuzuki, atau Kirari.”
Begitu.
Kedengarannya seperti sesuatu yang akan dilakukan seorang protagonis.
Ryoma
sangat percaya diri, jadi kalau kamu menghinanya secara langsung, ia mungkin
akan menanggapinya dengan “Apalah, cuma omongan orang
saja.”
Namun,
jika ada seseorang yang menghina salah satu heroine pendukung—yang
menjadi sumber kepercayaan diri, atau lebih tepatnya, kesombongannya—ia mungkin merasa
seperti ada yang mengejek harta miliknya yang sangat berharga.
Dan Ryoma
takkan marah demi gadis-gadis itu—melainkan demi dirinya sendiri. Mungkin
itulah logika di balik saran Kotaro. Ia benar-benar memikirkan
semuanya dengan matang.
“Baiklah,
aku setuju. Koutaro, sebaiknya kamu bersembunyi di lemari
perlengkapan di sana. Kalau cuma kita berdua, Ryoma akan lebih mudah marah.”
Karena sekarang latihan khusus untuk para pemain, jadi tidak ada orang lain
di sekitar. Jika Koutaro juga tidak terlihat, Ryoma akan lebih terbuka
mengungkapkan perasaannya.
“Eh...
apa aku benar-benar perlu di sini? Kalau dia tahu, rasanya
bakalan
gawat.”
“Karakter
sampingan
hampir tidak punya eksistensi. Ia tidak mungkin menyadari keberadaanmu.”
“Aku…
tidak bisa menyangkalnya…”
“Lebih
mudah bagi kita berdua untuk berbagi catatan setelahnya jika kamu memperhatikan apa
yang terjadi.”
Setelah
mendengar itu, Kotaro dengan enggan mengangguk kecil. Dan dengan begitu, aku
mendorongnya ke dalam lemari perlengkapan dan menunggu Ryoma kembali.
Beberapa
menit berlalu. Saat aku melirik jam, Ryoma muncul tak lama kemudian.
“Hm?
Orang itu
tidak ada di sini?”
“Maksudmu
Kotaro? Katanya ada urusan dan pulang! Nihihi~♪”
“Begitukah?
Yah, aku sih tidak peduli dengan Nakayama... tapi tetap saja, suasana hatimu
sedang bagus, ya? Sepertinya kamu sedang bersenang-senang.”
Bahkan
orang bebal seperti Ryoma tampaknya menyadari perubahan itu—mungkin karena aku
memastikan untuk tersenyum cerah.
Seperti
yang diharapkan dari Mary, aktris papan atas. Penampilanku sempurna.
“Itu
karena aku bisa berdua denganmu, Ryoma!”
“Itu bukan
hal yang perlu dibanggakan. Kita sudah sering berduaan.”
“Ehh?
Tapi itu jarang banget di sekolah, ya? Karena selalu ada gadis lain di sekitar
sini...”
Dan
kemudian, aku mengucapkan namanya keras-keras.
“Seperti,
Kirari! Dia selalu berada di dekatmu, dan jujur saja, itu agak
menggangguku, tau? Rasanya seperti dia menghalangi hubunganku dan Ryoma. Aku kurang
menyukainnya tau~☆”
Sengaja
dibuat ceria. Aku merangkai kata-kata
dengan nada riang, polos, dan bebas dari niat jahat. Dan tepat saat aku
membidik—ekspresi Ryoma berubah.
“Hei,
tunggu sebentar.”
Seperti
yang diprediksi Kotaro… ia tidak tahan jika ada yang menghina salah satu gadis
yang mengaguminya.
“Itu
bukan cara yang baik untuk mengatakannya. Kedengarannya itu tidak seperti dirimu,
Mary.”
Dia tidak
tampak marah, tetapi perubahan suasana hatinya jelas serius.
“Kirari
tidak menghalangi. Dia hanya berusaha akrab dengan kita... tidak, denganmu , Mary. Mungkin kalian berdua tidak cocok, tapi dia sudah
berusaha dengan caranya sendiri untuk menjembatani kesenjangan itu. Jangan meremehkan usahanya.”
Bagaimana
mungkin dirinya bisa mengatakan
itu dengan wajah datar?
Kalau
Kirari tidak menyukaiku, mungkin itu
karena
gara-gara Ryoma. Tapi, seperti yang kuduga dari seorang protagonis—ia
bersembunyi di balik ketidaktahuannya untuk membebaskan diri. Rasanya
pasti
menyenangkan, berada di posisi itu.
Bahkan
saat pikiran-pikiran itu memenuhi kepalaku, aku berhati-hati agar tidak sedikit
pun terlihat di wajahku.
Sebaliknya,
aku memasang ekspresi sedih dan lesu.
“M-Maaf...
Aku tidak bermaksud meremehkannya atau semacamnya, oke? Itu cuma bercanda, jadi
jangan terlalu marah, ya?”
“Meski
cuma bercanda, mengejek seseorang tetap salah. Aku tahu kamu tidak bermaksud
jahat, tapi kamu harus lebih berhati-hati dengan komentar yang menyakiti
seseorang.
Hal-hal seperti itu bisa membuat orang membencimu suatu hari nanti.”
“Kamu benar… Aku akan
lebih berhati-hati lain kali.”
Aku
berpura-pura berpikir.
Aku
menunduk, menundukkan pandanganku, melengkungkan bahuku ke dalam—berpose penuh
penyesalan—lalu, Ryoma menepuk kepalaku pelan.
“Maaf
kalau ucapanku terdengar kasar. Tapi aku bilang begitu karena aku
peduli padamu, Mary. Kuharap kamu bisa mengerti.”
Ia
berubah dari dingin menjadi baik dalam sekejap—
Rasanya
seperti pelecehan emosional. Aku tidak suka.
“Iya!
Itu karena kamu baik sekali, Ryoma! Makasih ya udah marah demi
diriku!”
…Hanya
mengatakannya
saja sudah membuat bulu kudukku merinding.
Maksudku,
serius deh—gadis macam apa yang senang dimarahi?
Koutaro, yang
mengintip melalui celah lemari perlengkapan, mungkin sedang meringis sekarang. Ini
adalah pemandangan yang benar-benar aneh—tetapi Ryoma tidak menyadarinya sama
sekali.
Ia hanya
dapat menafsirkan segala sesuatu dengan cara yang nyaman baginya, dan ia
tampaknya menganggap ucapan terima kasih atas hal itu adalah hal yang wajar.
“Haha.
Aku bukannya baik atau gimana-gimana. Biasa aja.”
“Kamu
tidak biasa!
Kamu baik banget sejak kita ketemu... ingat? Kamu pernah menolongku waktu itu!”
Pagi itu,
saat aku sedang berjalan-jalan dengan anjing, aku hampir tertabrak mobil—dan
Ryoma menyelamatkanku.
Tentu
saja, semuanya itu rekayasa. Aksi mobilnya juga—semuanya
direncanakan dengan matang agar tidak ada bahaya yang berarti.
Namun
Ryoma tidak tahu itu.
Dirinya yakin telah
menyelamatkan hidupku.
Dan
itulah sebabnya ia berpikir aku punya alasan
untuk menyukainya.
Meskipun
itu sama sekali tidak pernah terjadi... protagonis yang malang.
“Ya,
Mary, kamu agak linglung.”
“Hahahah ya ampun!”
Aku
tertawa dan merangkul bahunya. Akhir-akhir ini, aku mulai
meningkatkan kontak fisik kita. Itu juga salah satu saran Kotaro.
“Aku
benar-benar orang sembrono, jadi sebaiknya kamu terus mengawasiku, oke?”
Saat aku
mengatakan itu, Ryoma tersenyum gembira.
“Ya,
tentu saja. Serahkan saja padaku... apa pun yang terjadi, aku akan
melindungimu.”
“Makasih!
Oh, dan kalau aku berbuat jahat, pastikan untuk memarahiku, ya? Ayahku bahkan
tidak pernah memarahiku, jadi rasanya agak menyegarkan hari ini. Aku mungkin
agak gugup~”
“Haha.
Yah... ya, mungkin cuma aku yang bakal marah sama kamu demi kamu. Aku juga akan
terus mengawasimu mulai sekarang.”
“Kyah~♪
Kamu bilang 'mulai sekarang'… tunggu, tunggu, jangan-jangan
itu lamaran? Ryoma, jangan bilang—kamu sebenarnya…?”
“Ti-Tidak! Bukannya begitu, oke?!”
“…Bahkan
jika seperti itu, aku tidak akan keberatan.”
"Hah?
Apa-apaan
itu tadi?"
“Bu-Bukan apa-apa! Aku cuma ngomong sendiri, kok!?”
Jadi,
kami memainkan percakapan buku teks lainnya. Tidak ada yang baru, tidak
ada yang orisinal—hanya jenis dialog yang bisa kamu temukan di mana
saja.
Namun
melalui itu, ikatan antara Ryoma dan aku tumbuh lebih dalam.
Beberapa
hari terakhir ini penuh dengan kejadian seperti ini.
Ryoma
adalah protagonisnya, jadi momen-momen genit ini terjadi secara rutin tanpa
disadarinya. Dan dengan bantuan Koutaro di balik layar, kini aku
bisa berkata dengan yakin bahwa aku telah sepenuhnya merebut hati Ryoma.
Hmm…
dengan keadaan saat ini, semuanya seharusnya baik-baik saja.
Tiga
hari lagi menuju festival budaya. Semuanya sudah siap.
Ryoma
benar-benar jatuh cinta padaku.
Yang
tersisa adalah menunggu saat yang tepat.
Nihihi.
Aku tidak sabar untuk melihat ekspresinya
nanti saat aku mengkhianatinya.
Jantungku
berdebar kencang karena antisipasi.
Setiap
kali aku melihat Ryoma, aku merasa gelisah.
Aku
mungkin mulai bersemangat.
Ketika aku membayangkan si protagonis kehilangan kesabarannya—jantungku tak
henti-hentinya
berdebar kencang.
◆◆◆◆
(Sudut Pandang Koutaro)
Dari
dalam lemari perlengkapan, aku memperhatikan mereka berdua dengan saksama. Melalui
celah sempit itu, aku dapat melihat Mary-san dan Ryuzaki saling tersenyum.
Mereka
tampak… sungguh bahagia.
Melihatnya
tersenyum seperti itu menggugah sesuatu yang aneh dalam diriku.
Karena
saat pertama kali kami bertemu, Mary-san memiliki aura kemahakuasaan yang luar
biasa dalam dirinya…
Namun
sekarang, dia tampak seperti gadis lainnya.
Dia
benar-benar tampak seperti seorang gadis yang sedang jatuh cinta.
Pandangan matanya menyipit, pipinya mengendur, sudut mulutnya terangkat
pelan… seluruh wajahnya memerah, dan ada kilatan di matanya.
Tidak
terasa ada sedikit pun kebohongan dalam senyum itu.
Aku harap
ini berhasil.
Akhir-akhir
ini, aku berpura-pura menjadi sekutu, mengatur segala sesuatunya agar Ryuzaki
dan Mary-san semakin dekat. Aku juga harus tetap waspada agar dia tidak
menyadari niatku yang sebenarnya... tapi semua usaha itu hampir berakhir.
Tiga
hari lagi festival budaya, ya…
Ketika
saatnya tiba, Mary-san mungkin akan mencoba menyelesaikan ‘romcom pembalasan karma’ yang ditulisnya
sendiri.
Tapi aku
tidak akan membiarkannya.
Tepat
sebelum akhir, aku akan membuatnya menyadari perasaannya yang sebenarnya.
Kisah
yang Mary-san ciptakan tidak akan berakhir dengan “rasakan
akibatnya’.
Justru akan
berjalan begini:
“Setelah
segalanya, Mary-san menemukan kebahagiaan.”
Dan
mereka hidup bahagia selamanya.
Aku ingin
menutup kisahnya dengan sesuatu yang sederhana seperti itu.
…Meskipun,
aku sebenarnya tidak tahu apakah ini akan berhasil.
Suara
hati yang tiba-tiba itu membuatku mengerutkan kening tanpa berpikir.
Namun aku
meyakinkan diriku sendiri bahwa itu bukan apa-apa—dan sekali lagi, berpura-pura
tidak mendengarnya.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya