Chapter 1 — Tahun Pertama Perkuliahan, Bulan Mei, Asamura Yuuta
Kehangatan
yang kurasakan di dalam pelukanku perlahan-lahan menjauh. Seolah-olah api
unggun yang menyentuhku dipadamkan dengan air. Panas yang kurasakan di bagian
depan tubuhku dengan cepat menghilang, dan aku sedikit menggigil. Aku ingin
meraih kehangatan itu, tetapi lenganku terasa mati rasa dan tidak bisa
digerakkan seolah-olah membeku. Demi mencari kehangatan yang semakin jauh
menghilang, aku──.
Berusaha meneriakkan
sesuatu dan terbangun.
Hah, aku menghela napas panjang.
Mimpi, ya?
Sepertinya
aku juga sudah tertidur tanpa sadar.
Melalui kelopak
mataku yang terbuka, dalam cahaya samar-samar, aku bisa melihat wajah Saki yang
tertidur dengan bulu matanya yang panjang bergetar lembut. Rambutnya yang
berwarna cerah terurai di bawah kepalanya. Dari mulut kecilnya, terdengar napas
tidur yang tenang. Kami berdua tidak mengenakan pakaian sama sekali. Kami sama-sama
telanjang. Bahkan dalam cahaya fajar yang sedikit menembus tirai, aku bisa
melihatnya karena selimut yang kami gunakan telah terangkat hingga ke bahu.
Salah satu
lenganku terasa mati rasa. Saki menjadikan lenganku sebagai bantal. Wajar saja
aku jadi tidak bisa bergerak. Begitu aku menyadari itu, mimpi yang ku alami pun
terasa masuk akal. Aku tersenyum pahit menghadapi kenyataan yang tak ada
bandingannya.
Saki
mengeluarkan bersin pelan.
Aku segera
menarik selimut yang terangkat. Pada saat mengangkatnya, aku melihat jam di
samping tempat tidurku.
Pukul 6:32
pagi.
Karena hari
ini adalah hari Minggu, jadi aku tidak mempunyai jadwal perkuliahan, hanya
pekerjaan paruh waktu di toko buku. Itu pun baru mulai sore, jadi aku masih
punya banyak waktu.
Mungkin aku
bisa membiarkannya tidur sedikit lebih lama.
Aku tidak
berpikir ada yang perlu dilakukan di pagi hari Minggu.
Ayahku juga
mungkin masih tidur. Pada hari kerja, dirinya bangun sekitar waktu kami, jadi
seharusnya sekarang dia sudah bangun, tetapi pada hari Minggu, ayahku tidak
akan muncul di ruang tamu sebelum pukul 8 pagi.
Meskipun
begitu, mungkin dirinya sudah terjaga. Jika Saki keluar dari kamarku dan
kebetulan ayah sedang ke toilet dan bertemu Saki di lorong, hal itu akan
merepotkan. Selain itu, mungkin Ibu tiri Akiko-san, akan pulang dari pekerjaannya.
Sambil
memikirkan apa yang harus kulakukan, aku mencoba menarik lengan tempat kepala
Saki bersandar.
Namun, hal itu
tidak berjalan dengan baik.
“Hmm…”
Dia justru memelukku
lebih erat.
Apa yang
harus kulakukan? Aku bisa saja menarik lenganku dengan paksa, tetapi itu pasti
akan membangunkannya.
“……nuhma”
Apa?
Dia
mencengkeram lenganku erat-erat. Aku tidak tahu mimpi apa yang dia jalani,
tetapi aku merasa tertarik dan hampir mengeluarkan suara “wah”. Dengan cepat,
aku menutup mulutku dengan tangan yang satunya. Aku tidak membangunkannya, ‘kan?
……Sepertinya
aman-aman saja.
Aku terus
menatap wajahnya yang sedang tidur pulas. Kebetulan aku bangun lebih awal, jadi
aku bisa melihat wajah tidurnya dengan tenang. Tentu saja, jika Saki terbangun
di tengah malam, posisinya akan terbalik. Ketika memikirkan itu, kenyataan
bahwa kami berdua tertidur tanpa perlindungan menunjukkan bahwa kami saling
mempercayai, dan aku merasakan semacam kepuasan dan rasa aman.
Aku ingin
menjaga gadis ini yang sedang memeluk lenganku dengan sepenuh hati. Ketika
kenyataan bahwa aku telah menghabiskan semalam bersamanya meresap ke dalam
pikiranku, aku merasa jauh dari perasaan yang dulu berusaha menjaga jarak saat
kami baru bertemu. Aku tidak ingin melepaskan kedekatan yang sekarang ini.
“Nee.”
Aku
terkejut. Saki sudah membuka matanya dan menatapku.
“...Enggak
adil.”
Dia
mengucapkannya dengan pelan.
“Eh?”
“Masa cuma Yuuta
saja yang melihatku terus.”
“Yah, itu karena kebetulan aku yang kebangun duluan.”
Setelah aku
mengatakan itu, dia mengerucutkan bibirnya dan memperlihatkan wajah tidak puas.
Lalu dengan sedikit emosi di matanya, dia mengumumkan,
“Lain kali
aku tidak akan kalah.”
Kalah dalam
hal apa?
Memangnya
ini perlombaan bangun pagi? Apa iya begitu?
“Kalau
menang, aku bisa melihatmu dengan seksama, ‘kan, wajah tidurmu?”
Jadi
hadiahnya adalah wajah tidurku.
“Apa
melihatnya itu menyenangkan?”
“Pasti,
menyenangkan.”
Kurasa itu
tidak benar. Karena wajah tidurku kelihatan biasa-biasa saja.
“Yah, rasanya
memang sedikit memalukan. Lagipula, aku bangun kali ini juga karena kebetulan.”
“Tuh, ‘kan?”
Hah?
“Rasanya
pasti memalukan jika dilihat, ‘kan?”
“Ya, memang
sih...”
Bahkan jika
wajahku terlihat bodoh dalam keadaan tidak berdaya──ah.
“Apa kamu
ingin dipanggil mesum?”
“Maaf.”
Ketika aku
meminta maaf dengan tulus, dia tersenyum kecil.
“Aku hanya
bercanda.”
Aku menghela
napas lega.
“Mana
mungkin hanya dengan menatap wajah tidur seseorang disebut mesum. Tidak masalah
kalau itu adil. Aku tidak suka jika tidak adil. Jika aku yang lebih dulu
bangun, aku bisa melihatmu dengan seksama.”
“...Jadi
begitu ya.”
“Kalau soal
bangun pagi, aku tidak akan kalah, jadi lain kali aku berhak melihat wajah Yuuta
dengan seksama, ‘kan?”
“...Baiklah.
Jika begitu, aku akan bersiap-siap kalau itu terjadi.”
Aku tidak
tahu apakah pembicaraan seperti ini akan sering terjadi. Namun anehnya, obrolan
kecil semacam ini terasa sangat menyenangkan.
“Eh. Apa?
Sudah jam 7.”
Aku
mengikuti tatapan Saki dan melihat jam di samping tempat tidur. Tanpa sadar,
jam sudah hampir menunjukkan pukul 7. Aku mulai panik. Situasinya tidak bisa
ditunda lagi.
“Shower. Aku
harus mandi! ...Tapi, jika berisik, Ayah tiri bisa terbangun.”
“Tenang
saja. Umm...”
Aku berusaha
memutar otakku. Hari Minggu pagi biasanya...
“Jangan
khawatir. Saki kadang-kadang mandi pagi, ‘kan? Jadi itu tidak kelihatan aneh.
Pertama-tama, kamu harus kembali ke kamarmu dengan tenang, lalu berpura-pura
baru bangun dan pergi ke kamar mandi.”
“Kalau Yuuta
sendiri gimana?”
“Jika kita
mengatur waktunya, semuanya akan aman-aman saja.”
Mungkin.
“Aku akan
menunggumu selesai mandi sebentar lalu baru saat itulah aku masuk.”
Saki yang dengan
cepat mengenakan pakaiannya keluar dari kamarku dengan langkah yang hati-hati.
Saat berjalan, sepertinya dia agak kesulitan, tetapi mungkin itu karena aku
tidak tahu bagaimana keadaan wanita setelah pengalaman itu, jadi aku
terlalu memperhatikannya.
Aku kembali
memikirkan seberapa canggungnya kami dari awal hingga akhir. Menurutku aku
tidak melakukannya dengan kasar, tetapi sebenarnya bagaimana ya?
Bagaimanapun,
kami berhasil melewati situasi ini dengan berpura-pura menjalani hari Minggu
pagi seperti biasa. Mungkin.
◇◇◇◇
Hijaunya
taman, yang semakin pekat setiap harinya, memberitahuku bahwa musim sedang
berganti. Saat aku berjalan menuju Shibuya dan stasiun di pagi hari, aku
melihat bayangan gelap yang dihasilkan oleh dedaunan di taman dan berpikir
bahwa musim panas sudah dekat. Di kalender seharusnya sudah awal musim panas.
Langit kelihatan
sangat cerah dan sinar matahari terasa kuat. Sejujurnya, suhunya memang panas.
Sambil berjalan menanjak yang landai dan panjang, aku menghela napas.
“Sudah musim
panas, ya.”
“Musim hujan
bahkan belum dimulai.”
Saki berkata
dengan nada terkejut di sampingku.
“Tapi
belakangan ini, rasanya tidak ada musim semi, hanya musim panas 1, musim hujan,
dan musim panas 2.”
“Memang
sih?”
Yah, itu
hanya perasaanku saja sih. Mau tak mau aku jadi berpikir bahwa Jepang mungkin
sedang mengalami subtropisasi, meskipun aku tidak mencari bukti yang jelas.
ku
mengatakannya hanya karena ingin membicarakan sesuatu. Bahkan sekadar mengobrol
tentang hal-hal sepele seperti ini dengan Saki saja sudah menyenangkan bagiku.
Dan entah kenapa, aku mendapati diriku menoleh ke arahnya.
Saki
mengenakan pakaian berwarna limau yang cerah. Kami berdua sudah lulus dari SMA,
jadi kami tidak lagi memakai seragam. Fakta yang begitu jelas saja masih
membuatku merasa sedikit aneh.
Sudah
sekitar dua minggu berlalu sejak aku menghabiskan malam bersamanya.
Aku sering
berpikir bahwa malam itu merupakan titik balik dalam kehidupanku dan aku tidak
bisa kembali seperti semula, tetapi rasanya tidak ada yang berubah dalam
diriku. Hanya sedikit nyeri otot yang kurasakan keesokan harinya, mungkin
karena menggunakan otot yang biasanya tidak terpakai. Bagaimana dengan Saki?
Beberapa wanita terkadang merasa tidak enak badan setelah pengalaman seperti
itu, tetapi... Aku tidak pernah berpikir akan memperhatikan kesehatan wanita di
sampingku seperti ini.
“Bagaimana
kehidupan kampusmu?”
Dia
tiba-tiba bertanya sambil menoleh, dan aku terdiam sejenak. Karena terlalu
mendadak, jadi aku terkejut. Mungkin dia menyadari aku sedang memperhatikannya.
Bagaimana,
ya? Sejauh ini, tidak ada kejadian baru yang terlintas di pikiranku.
“Umm...”
“Ah, maaf.
Apa pertanyaanku terlalu umum? Jika hanya ditanya bagaimana, itu pasti
membuatmu bingung.”
Aku pasti
sudah membuatnya merasa tidak nyaman. Sekarang aku semakin menyadari bahwa
inilah salah satu kekurangan diriku. Sudah saatnya aku mengerti bahwa saat Saki
bertanya seperti ini, dia tidak sedang mencari jawaban yang benar.
“Tidak, aku
yang seharusnya minta maaf.”
Apa yang dia
cari bukanlah jawaban, melainkan komunikasi itu sendiri. Namun, ketika aku
ditanya dengan kalimat tanya, refleksku adalah mencari “jawaban”, dan itu
terasa berat. Ehm, dia hanya ingin berbicara, jadi yang dibutuhkan ialah
jawaban yang bisa melanjutkan percakapan, dan yang dicari ialah sinkronisasi
emosi.
Jadi,
pertama-tama mari kita cari dari perasaan.
“Rasanya
menyenangkan kok.”
Setelah menjawab
demikian, aku mencari alasannya. Mengapa aku merasa senang? Itu karena──.
“Karena ada
banyak orang yang menarik.”
“Hee~”
“Belakangan
ini, aku sering makan bersama dua orang pria yang namanya Nakamura dan
Kikuchi.”
“Ah, umm...
mereka itu orang yang duduk di sebelahmu pada hari pertama, kan?”
“Benar
sekali. Kamu mengingatnya dengan baik.”
“Aku juga
kebetulan akrab dengan orang seperti itu sekarang.”
Jadi begitu
rupanya.
“Sudah
kuduga, tempat duduk memang mempengaruhi ya? ──ah.”
Karena Saki yang
bertanya, jadi seharusnya wajar jika aku membicarakan Nakamura dan Kikuchi,
tetapi aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya. Tapi tunggu sebentar. Ini
bukan debat, jadi seharusnya tidak masalah jika kita berbicara dengan aturan
yang agak longgar. Namun, aku tetap merasa terganggu. Aku harus membiasakan
diri.
“Yah,
ketimbang di sebelah, mereka justru duduk di belakangku. Ya, aku akan
membicarakan mereka nanti, tapi aku penasaran tentang Nakamura-kun dan Kikuchi-kun.
Mereka menarik, ya?”
Tumben-tumbennya
Saki tampak ragu-ragu. Selain itu, dia menunjukkan ekspresi malu sejenak, yang
membuatku penasaran, tetapi tidak ada cara lain untuk membahasnya
sekarang.
Aku
memutuskan untuk berbicara tentang teman-teman baruku, Nakamura Hironobu dan
Kikuchi Yuma.
Selama tiga
tahun semasa SMA, aku hanya memiliki beberapa teman seperti Maru, Yoshida atau
Shinjou, jadi menjalin kedekatan dengan dua orang ini di awal masa kuliah
terasa semacam terobosan bagiku. Selain itu, mereka mungkin bisa dianggap
sebagai “teman nakal” untuk pertama kalinya dalam hidupku.
...Mungkin
Saki juga telah mendapatkan teman seperti itu.
Tidak,
mungkin aku terlalu memikirkannya. Sekilas, Saki memang terlihat seperti gadis
gyaru yang sudah terbiasa bersenang-senang, tetapi aku tahu bahwa penampilannya
ini hanyalah hasil dari upaya untuk menyeimbangkan citra “wanita cantik” dan
“wanita mapan” yang terinspirasi oleh Ibu tiri Akiko-san. Artinya, dia
sebenarnya cukup serius.
Daripada
berimajinasi yang tidak berguna, sebaiknya aku menikmati percakapanku dengan
Saki, jadi aku mulai bercerita tentang dua teman nakal yang baru kutemui. Di
sepanjang jalan menuju stasiun, Saki mendengarkan dengan tenang.
Bunga azalea
yang tumbuh di semak-semak di samping taman juga sudah mendekati akhir masa mekarnya.
◇◇◇◇
Dua tahun
pertama perkuliahan dihabiskan untuk menguasai dasar-dasar studi akademis. Aku
memikirkan hal itu sambil mengikuti jejak kapur yang dibuat oleh dosen di papan
tulis dari belakang ruang kuliah. Dua tahun ini disebut sebagai “program
pendidikan umum” atau “mata kuliah dasar.”
Karena ini
adalah institusi pendidikan tertinggi, banyak orang yang sering menganggap
bahwa kita harus mempelajari bidang spesialisasi secara mendalam. Namun,
sebelum mendapatkan pembelajaran yang spesifik, para mahasiswa perlu menguasai
dasar-dasar ilmu pengetahuan umum dan mempelajari pengetahuan serta kemampuan
berpikir yang luas. Mata kuliah pendidikan umum dirancang untuk tujuan tersebut.
Dalam
program pendidikan umum, mahasiswa diminta untuk secara konsisten mempelajari
dasar-dasar dari berbagai bidang, seperti bahasa, ilmu alam, ilmu humaniora,
dan ilmu sosial. Tentu saja, bukannya berarti bahwa program ini membosankan
atau mudah.
Faktanya,
meskipun ini program pendidikan umum, mengikuti perkuliahan tersebut tidaklah
mudah. Tanpa persiapan dan ulasan, terkadang sulit untuk memahami isi materinya.
Di sisi lain, ada juga kelas yang ternyata lebih mudah diikuti daripada yang
diharapkan. Misalnya saja, perkuliahan tentang ‘Perilaku Konsumen’ yang
sedang aku ikuti saat ini.
Dosen tersebut
menjelaskan bahwa konsumen, yaitu orang yang membeli barang, dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori berdasarkan tingkat penerimaan
mereka terhadap inovasi—yaitu seberapa besar mereka menerima hal-hal baru.
Inilah teori ‘difusi’ yang dikemukakan oleh Rogers.
Aku meyakini
ada banyak orang yang mungkin sudah pernah mendengar istilah-istilah seperti
inovator, adopter awal, mayoritas awal, mayoritas akhir, dan penghalang.
Intinya, ada orang yang langsung menerima hal-hal baru hanya karena mereka baru,
sementara ada juga yang tetap menggunakan hal-hal yang sudah mereka kenal
dengan teguh. Teori ‘difusi’ Rogers ini mendefinisikan dan menggolongkan
hal-hal yang mungkin sudah dipikirkan oleh banyak orang.
Menariknya,
klasifikasi ini dapat diterapkan pada kelompok mana pun dan diyakini memiliki
proporsi yang serupa. Orang yang memiliki sifat inovator, tidak peduli apakah
mereka orang Jepang, Amerika, atau dari negara lain, biasanya sekitar 2,5% dari
total kelompok. Mereka yang merasa bahwa sesuatu yang baru memiliki nilai, jika
dalam kelompok berjumlah 200 orang, hanya ada sekitar 5 orang saja.
Dari
berbagai sudut ruang kuliah, terdengar bisikan “Woah” dan “begitu ya” sebagai reaksi
terhadap penjelasan dosen yang pandai berbicara. Dari pengamatan reaksi mahasiswa,
tampaknya ada beberapa orang yang tidak terlalu mengerti. Di antara mereka, ada
mahasiswa yang tampak kebingungan.
“Kenapa mereka
harus memberi nama yang rumit untuk mengklasifikasikan ini sih?” tanya Nakamura
yang duduk di sebelah kiriku. Kikuchi, yang duduk di sebelah Nakamura, juga
mengangguk sambil berkata, “Aku setuju dengan Hiro. Lagipula, pelanggan ya
pelanggan.”
Mereka
berdua kemudian menatapku. Hah, apa yang mereka harapkan dariku?
“Teori ini
mengklasifikasikan pelanggan berdasarkan sifat-sifat mereka menjadi lima
kategori,” jawabku.
“Jadi,
kenapa harus repot-repot dibedakan?” tanya Nakamura lagi.
Mengapa kita
perlu menggolongkannya, ya?
“Yah, kurasa
jika kamu mendengarkannya, dosen akan menjelaskan,” jawabku. Dan persis seperti
yang kukatakan, dosen mulai menjelaskan berbagai hal, tetapi meskipun
mendengarnya, Nakamura dan Kikuchi tampaknya masih tetap tidak mengerti.
Hal yang
paling sulit dalam belajar adalah ketika kita menemui konsep baru yang belum
pernah kita temui sebelumnya dalam hidup. Meskipun setelah kita mengerti itu
menjadi hal yang mudah, menerima ‘cara berpikir yang baru’ sering kali
menjadi tantangan.
Setelah perkuliahan
selesai, kedua temanku yang masih bingung memintaku untuk menjelaskan materi
perkuliahan tadi dengan caraku sendiri.
Mengapa kita
menggolongkan konsumen berdasarkan pola perilaku? Penjelasan pribadiku adalah
sebagai berikut.
“Jenis
pelanggan yang berbeda berarti cara pemasarannya juga berbeda, dan cara
orang-orang tersebut mengakses informasi juga berbeda. Oleh karena itu, kurasa
penting untuk menggolongkan karakteristik kelompok pembeli.”
Orang yang menyukai
hal baru cenderung aktif mencari informasi tentang produk baru dan sering
membaca majalah informasi, sementara orang yang lebih suka hal-hal yang sudah
akrab mungkin tidak membaca majalah tersebut. Artinya, metode pemasaran yang
harus digunakan pun berbeda.
Logika ini
juga berlaku di toko buku. Rak untuk buku debut penulis baru berbeda dengan rak
untuk karya klasik. Rak untuk buku terlaris juga berbeda dari rak untuk buku
jangka panjang. Begitulah kira-kira.
Aku sudah
mengetahui hal ini dari sebuah buku yang secara kebetulan kubaca. Karena merasa
ini berkaitan dengan pekerjaan paruh waktuku, jadi aku membacanya, dan aku
menemukan itu menarik, sehingga aku juga membaca berbagai buku terkait. Dari
situ, aku bahkan melanjutkan untuk membaca buku tentang perilaku ekonomi, yang
sepenuhnya merupakan dunia hobiku.
Aku mencoba
menjelaskan sebaik mungkin dengan mengaitkan pengalaman kerja paruh waktuku di
toko buku.
“Jadi,
meskipun terlihat sama, setiap pelanggan itu berbeda-beda, ya?”
“Benar.
Misalnya, untuk pria dan wanita. Atau untuk orang dewasa dan anak-anak. Menurutku
kamu bisa langsung mengerti jika itu dibedakan seperti itu. Perbedaan cara
orang berinteraksi dengan hal baru juga mempengaruhi saat membeli barang,” aku
menjelaskan.
“Jadi, Asamu
tuh membaca buku-buku yang seperti itu, ya?”
“Kamu cukup
nyeleneh juga ya, Yuuta?”
Nakamura
memandangku dengan wajah yang menunjukkan bahwa dia menganggapku aneh.
Enggak,
enggak, apa sih yang mereka berdua bicarakan? ‘Teori difusi’ adalah
teori yang berasal dari sosiologi, dan mereka seharusnya juga mahasiswa
fakultas sosiologi, kan?
“Aku hanya
kebetulan tahu,” jawabku.
Meski
begitu, sejauh yang kudengar dari beberapa perkuliahan, materi yang disampaikan
oleh pengajar tersebut sering kali terasa akrab. Aku merasa seolah-olah ia
berbicara sesuai dengan kecenderungan bacaanku. Dengan kata lain, kesegarannya
tidak terlalu mencolok.
Justru
sebaliknya, topik-topik terbaru yang ditambahkan di akhir perkuliahan lebih
menggugah rasa penasaranku. Setelah menyimpang di akhir kuliah, ada kalimat
yang membuatku tersenyum sambil berkata, “Ah, ini terlalu sulit untuk mahasiswa
tahun pertama”. Bel akhir jam perkuliahan berbunyi pada titik ini sampai-sampai
aku berpikir bahwa itu ddisengaja. Ia pasti berusaha membangkitkan minat
peserta dan menghubungkannya ke topik berikutnya.
Saat aku
berpikir demikian, Nakamura tiba-tiba berkata seolah teringat akan sesuatu.
“Eh, Yuuta.
Hari ini, mau makan di luar?”
“Di luar?
Maksudnya di luar kampus?”
“Katanya Yuma
menemukan tempat yang enak.”
Nakamuura
mengangkat ibu jarinya. Di belakangnya, Kikuchi balas mengangguk.
“Ada senior
dari klubku yang mengajakku ke sana.”
“Hee.”
“Makanannya
enak loh. Kurasa Asamu juga akan menyukainya.”
“Hmm,” aku
berpikir sejenak.
Sebelum
mendengar cerita itu, aku berencana untuk makan di kantin dengan telur dadar
dan nasi serta sup miso.
Satu porsi
telur dadar harganya 200 yen, nasi 150 yen, dan sup miso 40 yen, jadi kombinasi
ini takkan melebihi 500 yen. Menurutku itu menu dengan biaya terbaik. Kakekku
dari Nagano selalu mengatakan kepada ayahku setiap kali pulang, "Jangan terlalu
pelit soal makanan,” sehingga aku tidak terlalu memiliki kesadaran untuk “mengurangi
dari biaya makan,” tetapi aku tidak bisa membuang-buang uang. Mungkin aku
bisa membuat bekal, tapi rasanya cukup sulit karena aaku harus bangun 30 menit
lebih awal dari biasanya.
Sudah lebih
dari sebulan sejak memulai kehidupan universitas, aku menyadari bahwa biayanya
jauh lebih tinggi dibandingkan saat SMA. Oleh karena itu, kesadaran untuk
berhemat mulai tumbuh. Biaya kuliah yang tinggi—lebih dari 300.000* yen per
semester—tentu saja (meskipun karena ini universitas negeri, masih lebih baik
daripada swasta), ditambah lagi dengan harga buku pelajaran yang mahal, buku
referensi yang mahal, biaya transportasi yang tinggi, dan ternyata biaya untuk
bersosialisasi juga meningkat. (TN: Kurang lebih
sekitar 33 juta rupiah)
Ketika aku
menemani Maru berbelanja di toko anime, kami sering menghabiskan waktu
berjam-jam di restoran cepat saji hanya untuk membeli secangkir kopi, yang mana
tentu saja menyulitkan pihak restoran. Namun, Nakamura dan Kikuchi selalu
bersemangat mencari tempat baru di dekat universitas dan mengajakku keluar
(yang menunjukkan bahwa mereka berdua inovator yang haus akan hal-hal baru).
Jika aku menuruti semua ajakan mereka, danaku tidak akan cukup.
Daerah di
mana Universitas Ichinose berada memiliki biaya hidup yang lebih rendah
dibandingkan dengan pusat kota, meskipun masih lebih baik daripada Shibuya di
mana secangkir kopi bisa lebih dari seribu yen.
“Katanya,
itu makanan jiwa bagi mahasiswa kampus Ichinose.”
“Kedengarannya
menarik, ya?”
Makanan
jiwa, hmm... Makanan jiwa berarti masakan yang berakar pada budaya tertentu. Rasanya
seperti mengundang rasa nostalgia, atau lebih tepatnya, terhubung dengan
kenangan di daerah tersebut. Kurasa ini berarti bahwa mahasiswa yang kuliah di
universitas ini pasti pernah mencobanya setidaknya sekali.
“Yah...”
Setelah
mendengar itu, meskipun aku tipe yang jauh dari kata aktif, aku mulai tertarik.
Jika hanya untuk satu kali makan, sepertinya tidak akan terlalu menguras isi dompet.
Apalagi jika disebut sebagai makanan jiwa, itu berarti didukung oleh penduduk
setempat, dan aku bisa memperkirakan bahwa itu bukan masakan mahal.
“Baiklah.
Jika sampai dibilang begitu, aku akan ikutan.”
“Sepakat!
Karena waktu sangat berharga, jadi mari kita cepat pergi!”
◇◇◇◇
Aku,
Nakamura, dan Kikuchi berjalan menuju stasiun melalui jalan yang disebut [Jalanan
Universitas]. Saat kami melihat bundaran di depan stasiun, kami belok ke
kiri. Rupanya tempatnya terletak di gang sempit.
“Lihat, itu dia.”
Kikuchi
menunjuk ke sebuah papan putih yang sering terlihat di jalanan pusat
perbelanjaan, yang menyala saat malam tiba. Di belakangnya terlihat sebuah
pintu. Pintu itu berwarna biru tua yang sedikit kehijauan. Sebuah papan kecil
bertuliskan menu dipasang agar terlihat dari jalan.
Begitu kami
masuk, suasana tenang menyambut di dalam toko yang tidak terlalu besar. Aku
berpikir tempatnya tidak terlalu ramai meski berada di dekat stasiun, tetapi
setelah mendengar bahwa tempat ini terdiri dari dua lantai, aku mulai mengubah
pendapatku. Ternyata toko ini cukup besar.
Kami bertiga
mengambil tempat di bagian belakang dan melihat menu.
Roti
panggang, gratin, pizza, kari... Sepertinya ada berbagai hidangan Barat yang
biasa. Namun, aku baru pertama kali mengunjungi tempat ini, aku bingung harus
memilih apa...
“Apa menu rekomendasi
di sini?”
Aku bertanya
kepada Kikuchi yang katanya mendapatkan informasi tentang tempat ini dari
seniornya.
“Yang
terkenal adalah kari. Tapi kalau dariku, rekomendasiku adalah beef stroganoff.”
Hee~.
“Enak?”
“Tentu saja.
Dan porsinya juga besar.”
“Besar?”
Aku
mengerutkan dahiku. Misalnya jika itu hamburger atau omelet, aku bisa mengerti
jika diberi deskripsi “besar”. Tapi beef stroganoff adalah hidangan yang
dibuat dengan merebus irisan tipis daging sapi dengan jamur dan bawang bombai. Aku
bisa mengerti jika deskripsi “banyak” digunakan, tapi penggunaan kata “besar”
terasa kurang tepat.
Aku tidak
ingat pernah memakannya berkali-kali, tapi kedengarannya menarik.
“Kalau tidak
salah itu masakan tradisional Rusia, ‘kan?”
“Betul. Aku
belum pernah ke Rusia dan mencobanya, jadi aku juga tidak tahu seberapa mirip
dengan aslinya, tapi mungkin mirip dengan yang ada di bayanganku.”
“Bagus. Aku
akan pesan itu. kamu sendiri mau pesan apa, Yuuta?”
“Kalau
begitu, aku juga yang sama.”
“Sepakat.”
“Aku mau
kari yang tidak sempat aku coba sebelumnya.”
Jadi, aku
dan Nakamura memesan hidangan beef stroganoff, sementara Kikuchi memesan kari. Tanpa
perlu menunggu lama, pesanan makanan kami segera diantar. Mungkin karena kami
datang sedikit lebih awal dari waktu puncak siang.
Makanan itu
diletakkan di depan kami.
“Wah.”
Besar sekali...
Aku langsung
mengerti. Memang, ini seharusnya lebih tepat disebut “besar” daripada “banyak”.
Beef
stroganoff di restoran ini disajikan di piring besar yang dibagi dua, satu sisi
diisi nasi, dan sisi lainnya diisi beef stroganoff. Namun, jumlahnya sangat
melimpah. Aku membayangkan akan ada pulau kecil nasi di lautan kuah yang
kental, tetapi bayanganku salah. Piring besar itu terisi hingga tepian, dan
nasi tidak ditekan datar, melainkan ditumpuk tinggi, sementara kuah yang kental
dan lengket melimpah ruah. Penampilannya sangat mengesankan.
“Besar, iya
‘kan?” tanya Kikuchi. Aku mengangguk dan menjawab, “Iya.”
Di tahap
ini, aku sudah merasa puas. Ini adalah menu yang tampaknya populer di kalangan
mahasiswa yang sedang tumbuh.
Saat aku
bersiap untuk menyerang tumpukan makanan, tiba-tiba aku melihat pemandangan
yang aneh.
“Apa yang sedang
kamu lakukan?”
Nakamura
mengarahkan ponselnya ke piring di depannya.
“Aku mau mengunggahnya
di akun Instagram.”
“Foto
makananmu?”
Instagram
adalah aplikasi media sosial yang utamanya digunakan untuk membagikan foto
kepada publik... atau begitulah kelihatannya. Yah, aku memang tahu tentang
keberadaannya, tapi aku hampir tidak pernah melihatnya. Oh iya, kalau
dipikir-pikir, Saki ──.
“Sipp! Hasilnya
cukup bagus!”
“Cepat makan
sebelum dingin. Kuliah sore juga akan segera dimulai.”
Sementara
itu, Kikuchi sudah sibuk menggerakkan sendoknya. Sepertinya cukup pedas, karena
ia tampak berkeringat setiap kali menyendokkan makanannya ke dalam mulutnya.
“Enggak ada
salahnya juga, toh enggak membutuhkan waktu lama. Ini cuma kebiasaanku doang.”
“Jadi, kamu
setiap kali mengambil foto?”
“Kalau lagi
jalan-jalan sih, iya. Hal-hal menarik seperti ini ingin dibagikan, kan?
Makanan, setelah masuk perut, semuanya sama saja... tapi, kan?”
“Kamu tidak
perlu memaksakan diri untuk berbicara dalam bahasa Jepang standar.”
Dialek utama
Nakamura berasal dari Kansai, tapi sepertinya ia ingin berbicara dalam bahasa Jepang
standar, jadi terkadang dia mencoba meniru cara bicara orang Kanto. Akibatnya, aku
merasa dialek Kansainya juga sedikit terganggu.
“Menyesuaikan
diri dengan cara bicara orang lain juga bagian dari komunikasi. Hal-hal menarik
seperti ini lebih baik dibagikan daripada dinikmati sendiri. Itu juga bisa
menjadi bahan percakapan nanti.”
“Bahan
percakapan nanti...”
Setelah
mendengar itu, aku sedikit mengubah cara pandangku terhadap Nakamura. Ketika
memikirkan orang-orang yang memiliki kepribadian ceria dan kuat dalam
berkomunikasi, yang langsung terlintas di kepalaku adalah teman-teman dari SMA
seperti Narasaka-san, Maru, dan Yoshida. Namun, meskipun Nakamura juga termasuk
dalam kategori itu, ia adalah tipe yang belum pernah aku temui sebelumnya.
“Ngomong-ngomong,
Yuuta, kamu tidak punya Instagram, ya? Akhir-akhir ini aku tidak banyak
menggunakan LINE, jadi agak merepotkan untuk berkomunikasi.”
“Kamu bisa
menggunakan Instagram untuk berkomunikasi?”
“Iya. Kalau
kita saling terhubung, tentunya bisa kan? Aku bisa menghubungi Yuuma lewat situ
kapan saja, jadi rasanya lebih mudah.”
“Oh, Asamu
tidak punya Instagram, ya?”
“Hmm.
Sebenarnya... aku punya akun.”
Itu pun aku
baru mengingatnya.
Tahun lalu, aku
pernah menemani Saki pergi ke konser temannya, Melissa. Pada saat itu, Saki
bertemu dengan seorang desainer bernama Akihiro Ruka. Karena tertarik, Saki
membuat akun untuk melihat ilustrasi dan foto-fotonya yang diposting di
Instagram. Pada waktu itu, aku juga membuat akun, meskipun tidak pernah
menggunakannya dan membiarkannya begitu saja.
“Aku punya
akun yang tidak pernah digunakan, tapi kalau itu lebih mudah, aku akan
memberitahumu nanti.”
“Makasih.
Nah, mari kita makan.”
Setelah
mengatakan itu, Nakamura menyimpan ponselnya dan mulai makan dengan sendok. Porsi
beef stroganoff yang banyak langsung berkurang dengan cepat.
“Yuuta, kamu
tidak mau makan?”
“Eh? Oh,
iya. Tentu saja aku akan memakannya.”
Aku terdiam
karena kata-kata Nakamura sebelumnya masih terngiang-ngiang di benakku.
Aku memasukkan
sendok ke dalam piring dan mengambil bagian kuah cokelat yang memenuhi setengah
piring. Saat aku memasukkannya ke mulut, aku merasakan sedikit rasa asam di
tengah rasa krim yang kaya. Menurut Kikuchi, rasa asam ini berasal dari krim
asam. Saat aku mengunyahnya, rasa daging sapi terasa sangat kuat. Dagingnya
dipotong tipis sehingga mudah dimakan, dan sangat cocok dengan jamur serta
bawang, memberikan kepuasan saat dimakan. Yang terpenting, rasanya enak.
“Rasanya emang
enak.”
“Iya, ‘kan?”
Kikuchi membalas
sambil tersenyum. Aku menyadari bahwa Kikuchi, yang biasanya sedikit murung dan
sinis, memiliki ekspresi kekanak-kanakan ketika membicarakan sesuatu yang lezat.
Selanjutnya,
aku membawa nasi ke dalam mulut bersama dengan beef stroganoff. Rasa yang kaya
menjadi lebih ringan saat dicampur dengan nasi, dan rasanya juga enak. Aku
menelan nasi panas dan beef stroganoff yang juga panas, lalu menghela napas dan
minum air dari gelas. Sekarang aku sudah ingin mengambil suapan berikutnya. Tanganku
tidak bisa berhenti.
“Rasanya enak
banget. Nanti aku akan menulis pendapatku tentang tempat ini.” Ucap
Nakamura.
“Di
Instagram?”
Ia
mengangguk. Begitu rupanya, jadi ia tidak hanya memposting foto tapi juga
komentar, ya.
Kami
mengobrol sedikit sambil makan, dan Nakamura memberitahuku bahwa meski dirinya
mengunggah foto makanan, tapi ia juga menulis komentar singkat ketika makanan
itu enak. Mungkin itu berasal dari keinginannya untuk “berbagi hal-hal
menarik dengan orang lain”. Sementara itu, Kikuchi tampaknya memiliki
banyak teman yang merupakan rekan bermain game di SNS, dan saat berkomunikasi,
dia lebih sering menggunakan aplikasi Discord.
“Ada banyak
juga yang kamu gunakan, ya?”
“Discord itu
praktis. Asamu juga tidak mau mencobanya?”
Aku bilang
akan memikirkan tentang itu. Aku tidak yakin bisa membedakan penggunaan jika
terlalu banyak aplikasi.
“Aku juga
punya Instagram sih. Begini kira-kira.”
Kikuchi
mengarahkan layar ponselnya ke arahku dan menunjukkan beberapa foto. Banyak
dari foto tersebut hanyalah potret pemandangan sehari-hari. Selain itu, ia juga
mengunggah foto yang memperlihatkan sekilas wajahnya, seperti “Aku baru
potong rambut”, dan sepertinya ia juga mengunggah tentang baju yang
dibelinya. Aku mengomentari kalau postingannya itu seperti laporan
perkembangan, dan Kikuchi membalas bahwa itu memang salah satu tujuannya.
Meskipun ia mengatakan bahwa dirinya tidak menyukai ‘orang-orang yang supel’,
tampaknya ia tidak sepenuhnya menyukai kesendirian meskipun dirinya
pemalu.
Mereka
berdua aktif berkomentar satu sama lain dan berbicara dengan teman-teman
mereka. Kikuchi tersenyum canggung dan mengatakan bahwa dirinya memiliki lebih
banyak teman di dunia game dibandingkan di dunia nyata.
Sambil
menghabiskan sisa beef stroganoff, Nakamura berkata, “Kalau kita simpan
fotonya, kita bisa melihat kembali kapan saja dan membuat kita berpikir ‘waktu
itu rasanya seru’.”
“Meski ada
kemungkinan itu bisa jadi kenangan buruk,” jawabku.
“Kalau itu
yang terjadi, tinggal dihapus saja.”
Nakamura
berbicara dengan santai, tetapi mungkin sikap itu tidak ada dalam diriku.
“Lebih baik
menyesal karena melakukan sesuatu daripada menyesal karena tidak
melakukannya.”
“Itulah
sebabnya orang percaya diri sangat sulit dihadapi. Aku sendiri tidak ingin
menyesali apapun sejak awal. Lagipula, ada beberapa tindakan yang tidak bisa
diperbaiki setelah dilakukan.”
“Ah, itu
memang benar. Tindakan yang dilakukan tanpa kesiapan untuk bertanggung jawab merupakan
hal yang terparah. Itu tidak boleh.”
Bukannya
pembicaraan ini sudah melenceng?
Meskipun
topik pembicaraan kami mulai melenceng, tapi kami menyelesaikan makan. Supaya
tidak terlambat untuk kuliah sore, kami kembali melalui jalan yang sama.
◇◇◇◇
Setelah jam
perkuliahan di universitas selesai, aku terhuyung-huyung di dalam kereta menuju
Shinjuku.
Sambil
memandang pemandangan luar jendela yang semakin gelap, aku merenungkan
percakapan siang tadi.
Aku teringat
tentang Maru. Dirinya juga bercerita bahwa ia lebih sering berdiskusi tentang
anime dengan teman-teman online-nya, dan ia mengenal pacarnya, Narasaka-san,
melalui media sosial (meskipun waktu itu ia tidak tahu kalau itu
Narasaka-san).
Hal tersebut
menyadarkanku kembali bahwa selama ini aku memiliki sikap ‘tidak mengejar
yang pergi dan tidak menolak yang datang’, sehingga aku jarang aktif dalam
menjalin pertemanan. Bahkan dengan Maru dan Narasaka-san, jika aku kembali ke
diriku yang dulu—sewaktu baru masuk SMA—mungkin hubungan kami akan terputus
setelah aku masuk universitas. Mereka mungkin teman pertama yang tidak ingin
kujauhi setelah lulus.
Aku
menyadari bahwa hubungan dengan orang lain bisa terputus secara tiba-tiba jika
kita tidak berusaha untuk menjaganya. Mungkin itulah yang terjadi ketika Saki,
yang sebelumnya memanggilku “Asamura-kun” dengan sikap formal, tiba-tiba
memanggilku “Nii-san”.
Aku merasa
itu aneh. Biasanya, panggilan ‘Nii-san’ yang seharunya membuat kami lebih
dekat sebagai anggota keluarga justru membuatku merasa jarakku dengan Saki
semakin jauh. Aku bingung dengan jarak itu dan merasakan kesepian. Dari situ, serangkaian
peristiwa yang terjadi membuatku memperoleh posisi yang aneh sebagai kakak
sekaligus pacar, dan selanjutnya berusaha untuk tidak hanya menjadi kakak dan
adik, tetapi juga sebagai sepasang kekasih. Aku tidak ingin kehilangan jarak
yang telah terbentuk itu.
Sekarang aku
menyadari bahwa sikapku untuk tidak mengejar mereka yang pergi adalah kebiasaan
yang kumiliki setelah ibu kandungku meninggalkan rumah. Ini adalah keseimbangan
untuk tidak memiliki harapan yang berlebihan terhadap hubungan dengan orang
lain. Jika tidak berharap, maka tidak akan ada kekecewaan.
Di masa lalu,
aku pernah mendapatkan kritik tajam tentang sikap ini dari seseorang.
── Jika kamu
benar-benar datar, mana mungkin kamu akan berbisik dalam hati bahwa “Aku tidak
berharap pada wanita”. Menekankan hal itu justru menunjukkan bahwa pada titik
itu, kamu sudah tidak datar lagi. Itulah cerminan dari kesadaran dan
ketidakpastian. … Begitulah perkataan dari
Fujinami-san.
Sekarang, aku
merasa berharap pada Saki.
Kupikir Saki
juga memiliki harapan terhadapku. Aku ingin memenuhi harapan itu.
Aku ingin
menghargai hubunganku dengan orang lain. Bukan secara tidak sadar, tetapi
dengan kesadaran, orang pertama yang membuatku memiliki perasaan seperti itu
adalah Saki. Namun selama masa SMA, aku perlahan-lahan mengembangkan perasaan
itu. Sekarang, aku merasa lebih menghargai hubunganku dengan lebih banyak
orang.
Pemandangan berwarna
merah tua melintas di luar jendela gerbong kereta.
Kereta terus
melaju ke depan, melemparkan pemandangan kota melalui jendela ke langit yang
gelap nan muram di belakang, ke masa lalu. Pemandangan yang berlalu dengan
cepat itu seperti kenangan sehari-hari. Pemandangan yang dapat diingat sangat
sedikit, sementara sisanya menghilang dalam kegelapan.
Jika kita tidak
ingin kenangan itu menghilang, kita perlu berusaha untuk menjaganya. Sama seperti
Nakamura yang mengunggah foto makanan di Instagramnya.
“Tidak butuh
waktu lama untuk melakukan ini. Ini cuma kebiasaanku doang.”
Benar, yang
penting bukanlah upaya besar maupun waktu yang lama, melainkan sikap kecil yang
bisa dijadikan kebiasaan.
Kikuchi yang
memposting selfie setelah membeli pakaian yang cocok juga melakukan hal yang
sama. Ia menetapkan sedikit kebiasaan untuk dirinya sendiri agar tidak
kehilangan hal-hal yang penting baginya. Aku merasa terkejut ketika menyadari
hal tersebut.
Aku sempat
berpikir bahwa sesuatu yang baru pasti akan dimulai ketika lingkungan dan
kehidupanku berubah.
Bukannya aku
pernah berpikir bahwa hal-hal baru akan mendatangiku?
“Apa aku
sudah melakukan sesuatu yang baru?”
Sambil
bersandar di dinding dekat pintu, aku bergumam pada diriku sendiri. Di dalam
kereta pulang menuju pusat kota, jumlah penumpang sedikit dan gumamanku hilang
tertelan oleh deru roda dan getaran.
Aku tidak
bergabung dengan klub mana pun, dan pekerjaan paruh waktuku masih di toko buku
yang sama seperti sebelumnya. Walaupun hubunganku dengan Saki maju satu langkah
tepat sebelum kehidupan baru dimulai, tapi saat aku melihat kembali satu bulan
ini, bukannya aku cuma mengulangi kehidupan sehari-hariku yang biasa?
Aku diliputi
perasaan bahwa cuma aku satu-satunya yang tidak memperluas duniaku.
Padahal Saki
sudah memulai pekerjaan barunya.
Ngomong-ngomong
tentang itu...
Aku
mengeluarkan ponsel dari saku dan mencari aplikasi Instagram. Karena tidak
terbiasa, aku bahkan tidak ingat ikonnya, jadi aku kesulitan menemukannya
hingga akhirnya berhasil dibuka. Aku sendiri tidak pernah memperbarui akunku,
tetapi Saki—aku mengetuk akunnya. Layar berganti dan thumbnail muncul dalam
tiga kolom yang tidak muat dalam satu layar.
“Banyak juga...
ya. Kapan ini semua terjadi?”
Aku mengetuk
layar untuk menggulir ke atas, tetapi barisan thumbnail tidak kunjung berhenti.
Saki mulai menggunakan Instagram sejak musim gugur tahun lalu. Sejak saat itu,
dia mulai memposting secara tidak menentu, tapi sepertinya jumlahnya meningkat
pesat setelah dia mulai kuliah.
Tidak, bukan
sepertinya lagi. Aku menyadarinya ketika melihat foto bunga sakura. Foto-foto
di sana berasal dari musim semi ini.
Aku
menggulir kembali... dan terkejut melihat jumlah foto yang begitu banyak.
Pemandangan yang tampaknya diambil di kampus universitasnya, selfie dengan dua
wanita yang tampak seperti temannya (wanita dengan rambut oranye abu-abu
yang aktif dan wanita yang terlihat lebih kalem). Ada banyak foto aksesori
dan barang-barang modis yang baru dibelinya juga.
Foto makanan
yang standar juga diposting seperti biasa. Makanan di luar dan masakan buatan
sendiri disusun bergantian, yang sangat menunjukkan sifat Saki. Masakan buatan
sendiri sering kali berupa hidangan pembuka bergaya Eropa yang dihias cantik.
Meskipun terdengar baik jika disebut hidangan pembuka, sebenarnya itu cuma
makanan ringan yang dibuat untuk ayahku. Makanan seperti cracker dengan keju,
ditambah paprika berwarna-warni yang dipotong kecil-kecil dan buah, terlihat
cerah dan meriah. Hidangan itu tampaknya bisa disajikan di bar tempat ibu tiri
Akiko-san bekerja. Mungkin saja ini justru resep langsung dari sana.
Dan banyak
foto makanan penutup. Di bagian akhir, ada scone yang tampaknya baru dipanggang
dan teh. Di samping toples gula, terdapat selai blueberry dan krim putih. Ah,
ini pasti dari kafe terkenal di dalam department store Ginza yang terkenal
dengan scone-nya. Scone yang besar dan krim kentalnya sangat lezat, dan dia
pernah menjelaskan sambil menunjukkan foto ini. Saat itu, dia juga mengatakan
ingin merasakan afternoon tea bergaya Inggris suatu saat nanti.
Mungkin itu
sekitar dua minggu yang lalu. Alasanku masih mengingatnya karena aku pernah mencarinya
dan berpikir itu bisa menjadi tempat untuk berkencan. Namun, ternyata, setelah
mencarinya lebih detail, menu afternoon tea di restoran harganya minimal
4000* yen. Di tempat yang lebih mahal, harganya bahkan bisa mencapai 8000* yen,
yang jelas-jelas bukan sesuatu yang bisa dinikmati mahasiswa begitu saja. (TN: Sekitar 430k dan 870k rupiah)
Meskipun
begitu, foto-foto terbaru yang kulihat semuanya merupakan sesuatu yang belum
pernah kulihat. Aku menghela napas dalam hati. Layar ponselku dipenuhi berbagai
hal tentang keseharian Saki yang tak kuketahui. Selama SMA, kita memiliki
lingkungan kehidupan yang tumpang tindih, jadi aku tidak menyangka ada begitu
banyak perbedaan antara dunia yang dia lihat dengan dunia yang kulihat.
Meskipun
kita bertemu langsung dan mengobrol hampir setiap hari, , rasanya semakin
banyak hal yang tidak kuketahui tentangnya setiap harinya. Bahkan saat kami
mengobrol ketika sedang makan malam, dia terkadang tampak lelah dan menjawab
setengah hati. Sepertinya dia juga tidak sepenuhnya hadir dalam
percakapan.
Kehidupan
sehari-hari Saki yang tidak kuketahui—begitulah yang kurasakan.
Kereta mulai
melambat.
Pengumuman
mengumumkan kedatangan di stasiun Shinjuku baru. Di sini, aku harus pindah
kereta. Saat aku turun dari gerbong yang berhenti, aku melihat langit timur di
belakang sudah gelap. Rasanya seperti hari ini telah ditelan oleh kegelapan
tanpa jejak.
◇◇◇◇
Ada sesuatu
yang disebut bumbu dasar untuk nasi campur.
Kita mungkin sering melihatnya dengan paket siap saji, tapi jika mengunjungi
supermarket atau toko obat, kita juga bisa menemukan paket plastik berisi
sayuran musiman (seperti rebung atau sayuran liar) yang direndam dalam
kaldu.
Ini sangat
praktis. Cukup masukkan ke dalam penanak bersama nasi, dan terlihat lebih mewah
dibandingkan meja makan yang hanya berisi nasi putih.
Itulah
sebabnya, karena makan malam hari ini menjadi tanggung jawabku, bumbu nasi
rebung rasanya sangat berguna. Musim rebung biasanya dimulai dari Maret hingga
Mei, jadi aku harus menikmatinya sebelum musimnya berakhir.
Suara buatan
dari penanak nasi memberi tahu bahwa nasi sudah matang, dan setelah
mempertimbangkan waktu pengukusan, aku membuka tutupnya. Uap yang naik bersama
aroma rebung yang kaya kaldu menyelimuti wajahku. Perutku sudah mulai lapar,
dan tiba-tiba perutku langsung keroncongan.
“Yup.
Nasinya matang dengan baik. Mau aku menyajikannya?”
Aku
mengangkat pandangan dan memanggil Saki yang sedang bekerja di ruang tamu. Saki
tampak serius membuka buku teks universitas dan mencatat di buku catatannya.
Mungkin dia sedang belajar atau mengulang pelajaran sambil menunggu makan.
“Ya. Aku
akan makan. Aku akan membantu membawanya.”
“Terima
kasih.”
Aku menyusun
hidangan yang sudah jadi di meja makan. Ada nasi rebung, sup miso (belakangan
ini aku membuatnya sendiri, bukan yang kering beku atau dalam cangkir. Tentu
saja, jika tidak ada waktu, aku menggunakan yang lain), salad dengan tahu
yang dipotong dadu, dan satu hidangan lagi yaitu natto.
“Paket natto
untuk satu orang itu praktis, ya. ... Rasa plum?”
“Karena
kelihatannya menarik, jadi aku coba untuk membelinya.”
“Hee,
begitu.”
Natto yang
biasanya kami konsumsi adalah yang biasa-biasa saja, tetapi kali ini aku yang
bertugas belanja, jadi aku melihat berbagai pilihan di supermarket yang tidak
biasa kami sajikan di meja makan. Dari hal kecil seperti ini, aku berusaha
untuk keluar dari kebiasaan “selalu”. Meskipun usaha ini terasa sangat
kecil.
Aku
menempelkan tangan dan mengucapkan “itadakimasu”.
Makan malam hari
ini agak lebih awal dari biasanya, dan biasanya aku menunggu ayahku pulang.
Namun, malam ini ayah memberitahu bahwa dia akan makan bersama ibu tiri Akiko-san
sebelum pulang (Sepertinya hari ini merupakan hari libur ibu tiri Akiko-san
setelah sekian lama). Jadi, aku memutuskan untuk makan dulu. Karena makan
terlalu larut malam tidak baik untuk kesehatan.
Topik
pembicaraan selama makan hanyalah laporan tentang kehidupan sehari-hari kami
berdua dan sedikit komentar tentang berita yang menghebohkan. Hal-hal kecil
seperti itu memang wajar, karena kehidupan sehari-hari orang biasa tidak
dipenuhi dengan peristiwa dramatis seperti di film. Namun, jika ditanya apakah
pembicaraan kecil itu membosankan, setidaknya bagiku, tidak demikian. Jika ingin
mengetahui peristiwa dramatis, cukup membaca buku. Tapi, tak peduli seberapa
banyak novel yang kubaca, tidak ada yang menuliskan tentang Saki, wanita yang
ada di hadapanku. Dan kepribadian seseorang bisa seaneh dan semenarik sebuah
karya sastra yang hebat.
Jika ada
film yang hanya mengamati kehidupan sehari-hari Saki, aku pasti akan
menontonnya tanpa merasa bosan. Jika itu orang yang tidak kupedulikan, mungkin
tidak masalah, tetapi bagi seseorang yang kusukai, setiap gerakannya bisa mengguncang
emosiku. Hmm, tapi mungkin pemikiran ini terdengar sedikit seperti seorang penguntit
dan agak menakutkan.
“Kamu
mendengarkanku?”
“Eh, oh,
tentu saja.”
“Kamu
terlihat melamun. Apa mungkin kamu kelelahan?”
“Aku
baik-baik saja. Aku cuma sedang mengingat sesuatu.”
Sambil
meminta maaf karena menjawab dengan setengah hati, aku mulai bercerita tentang
saat aku pergi makan siang di luar sebagai permintaan maaf. Aku pergi makan
dengan teman-teman baru di restoran bergaya barat dekat stasiun terdekat
universitas. Aku bercerita tentang betapa enaknya beef stroganoff yang kumakan
di sana.
Sambil
bercerita, aku mengeluarkan ponselku.
“Ngomong-ngomong,
aku mengambil foto itu.”
“Eh?”
Entah
mengapa Saki tampak terkejut. Aku membuka aplikasi Instagramku dan berpindah ke
akun Nakamura. Foto yang diambil Nakamura muncul di layar.
“Lihat
ini.”
“Eh? ...
Siapa orang ini?”
Dia sepertinya
menyadari bahwa itu bukan akunku dan bertanya begitu.
“Dialah
Nakamura. Salah satu teman baru yang pernah kuceritakan sebelumnya. Sepertinya
ia mempunyai kebiasaan mengambil foto makanannya. Lihat, ini beef
stroganoff.”
“Aku tahu
itu beef stroganoff, tetapi, eh, jadi kamu sendiri tidak mengambil fotonya,
Yuuta?”
“Aku juga
berpikir untuk melakukannya, tapi saat itu aku sudah memakan setengah
hidangannya. Lagipula, aku tidak terbiasa mengambil foto makanan juga.”
“Pastinya. Aku
sedikit terkejut.”
Begitu
rupanya, jadi dia terkejut karena berpikir kalau aku memposting foto makanan di
Instagram.
... Jangan-jangan
dia berpikir kalau aku bukan tipe orang yang melakukan hal semacam itu jadi
itulah sebabnya dia terkejut?
“Ngomong-ngomong,
Saki, kamu sekarang cukup sering memposting foto seperti ini di Instagram, ‘kan?”
“Ya.
Sedikit-sedikit. Aku sedang berusaha sebaik mungkin.”
Apa
maksudnya berusaha sebaik mungkin?
Aku merenungkannya
dalam hati, tetapi untuk saat ini, aku akan melanjutkan pembicaraan dan
menunjukkan foto Nakamura lagi.
“Porsinya
cukup besar. Cuma memakan ini saja sudah membuat perut kenyang.”
Saki yang
sebelumnya diam-diam menatap foto itu tiba-tiba berkata.
“... Sayangnya,
aku tidak bisa tahu seberapa besar ukurannya kalau cuma melihatnya dari foto
saja.”
“Eh, masa?”
Aku membalik
ponselku untuk memastikan apa yang dikatakan Saki. ...Jadi dia tidak bisa
mengiranya, ya?
“Ukurannya
kira-kira segini.”
Sambil
berkata demikian, aku membuat lingkaran dengan jari untuk menunjukkan ukuran
piring.
“Yang itu.”
“Yang
mana?”
“Ukuran yang
kamu buat dengan jarimu kelihatan lebih besar dari ponsel, iya ‘kan? Itulah
sebabnya aku tidak bisa mengetahuinya kalau hanya melihat dari foto saja.”
Ah...
Aku kembali
melihat layar ponselku untuk memastikannya.
“Tapi,
piring ini memang benar-benar besar. Oh, aku hanya berpikir begitu karena aku
melihatnya secara langsung dan tahu ukuran piringnya... Mungkin itulah yang
terjadi.”
Saki
mengangguk.
“Apa kamu
bisa menjelaskannya lebih detail?”
“Umm jadi
begini. Aku tahu kalau porsinya besar karena isinya penuh sampai ke tepian.
Tapi, seperti yang kamu bilagn tadi, aku juga tidak tahu ukuran piringnya yang
sebenarnya dan seberapa tinggi nasi itu.”
Ah, begitu
rupanya.
“Jadi, bagusnya
gimana?”
“Aku
kesulitan mengetahui skalanya karena tidak ada objek perbandingan. Karena
fotonya hanya memperlihatkan piring saja di sini. Setidaknya jika ada sendok
yang juga terlihat, itu bisa membantu. Sendok, atau gelas, atau mungkin
hidangan lain yang ada di meja. Beef stroganoff ini dagingnya dipotong kecil,
dan bahan-bahannya juga tenggelam dalam saus, jadi sulit untuk menilai ukurannya.
Seandainya ada satu potong jamur yang terlihat jelas. Mungkin hanya bisa
menilai ukuran dari butiran nasi.”
“Dari
butiran nasi...?”
Emangnya
kamu Sherlock Holmes, ya?
“Selain itu,
jika bisa, lebih baik foto diambil dari sudut sedikit miring, bukan dari atas.
Dengan begitu, tinggi nasinya bisa terlihat lebih jelas. Kita tidak benar-benar
tahu seberapa tinggi nasinya karena difoto dari atas.”
“O-Ohh.”
“Ah, maaf. Aku
tidak bermaksud mengkritik kok. Begini, baru-baru ini aku sedikit memperhatikan
hal-hal seperti itu saat mengambil foto, jadi aku tidak bisa menahan diri buat
mengomentari....”
Saki tampak
malu seolah-olah merasa telah berbicara terlalu banyak.
“Eh. Jadi,
foto-foto yang Saki unggah itu...?”
Aku dengan
cepat beralih dari akun Nakamura ke akun Instagram Saki. Sambil mengingat apa
yang dikatakan, aku mulai melihat foto-fotonya.
“Eh tunggu!
Itu memalukan!”
“Hmm. Jadi,
misalnya foto kue ini, apa kamu juga memikirkan hal-hal seperti itu saat
mengambilnya?”
Aku
meletakkan ponselku di atas meja dan menunjuk foto cheesecake yang diambil Saki.
“Ini? Hmm,
cheesecake itu berwarna putih, iya ‘kam?”
“Ya,
benar.”
Meskipun
tidak sepenuhnya putih, tapi ya tetap saja, putih.
“Jadi, aku
berusaha agar tidak membuat bayangan di atas kue. Jika terlihat hitam, tampilannya
jadi kurang enak dilihat. Selain itu, bagian bawah cheesecake itu mirip dengan
kue kering, kan?”
“Ah...”
Aku sudah
mengerti tanpa diajari. Jika diambil dari atas, bagian bawah kue kering tidak
akan terlihat. Itulah sebabnya dia mengambilnya dari sudut miring.
“Selain itu,
keindahan potongan melintangnya, dan seperti yang kukatakan sebelumnya, kesan
skalanya. Aku meletakkan sendok di samping piring sebelum mengambil foto. Aku
juga sengaja meletakkan gelas berisi air di latar belakang yang kabur. Tentu
saja, jika kelebihan kue itu berada di tempat lain, aku akan melakukan hal lain
agar itu terlihat.”
“Ohhh...”
Kupikir dia
hanya iseng mengambil foto dan mengunggahnya....
Saki
kelihatan agak malu-malu dan kemudian dia berkata, “Aku mulai bekerja di kantor
Akihiro-san, ‘kan?”. Lalu dia memberitahuku alasan mengapa dia mulai aktif
menggunakan Instagram karena sepertinya semua desainer menggunakan Instagram
dengan baik.
Selain itu, dia
mengatakan bahwa para desainer seniornya telah memberinya banyak nasihat, jadi
akhir-akhir ini dia terbiasa memikirkan foto-foto yang telah diambilnya,
meskipun sebelumnya dia hanya mengambilnya secara sembarangan.
Aku merasa
sedikit terkejut.
Perusahaan
tempat Saki magang adalah biro desain. Memang, jika orang-orang bekerja di
perusahaan seperti itu, mereka pasti akan berpikir tentang sesuatu saat
mengambil foto, tidak peduli seberapa sederhananya itu. Namun, apa kesadaran itu
bisa berubah sedemikian rupa...?
“Mereka
selalu mengingatkanku untuk memikirkan bagaimana orang lain melihatnya,”
katanya.
“Begitu
ya.”
“Aku
menyadari ini mirip dengan saat aku bekerja di toko buku.”
“Mirip?”
“Di toko
buku, Yuuta sering mengatakan bahwa saat menyusun buku, kamu memikirkan
bagaimana tampilannya bagi pelanggan.”
Ah, begitu
rupanya.
“Akun
Instagramku tidak dilihat oleh banyak orang, tetapi saat mengambil foto, pasti
ada bagian yang ingin ditonjolkan, ‘kan? Misalnya seperti, ‘ini lucu’
atau ‘indahnya’. Namun, ketika aku mengambil bagian yang kuanggap bagus,
rasanya tidak selalu berarti itu akan tersampaikan kepada orang lain.”
“Aku juga
memahami perasaan itu. Bukan berarti orang-orang bisa menemukan buku hanya
dengan menyusunnya saja.”
Hanya karena
kita menemukan keindahan, bukan berarti orang lain akan segera menyadarinya.
Manusia memiliki prasangka, dan prasangka itu berbeda-beda untuk setiap orang,
jadi meskipun melihat hal yang sama, belum tentu itu selalu diterima dengan
cara yang sama.
“Benar, iya,
‘kan? Jadi, aku berpikir untuk membiasakan diri supaya bagian yang ingin kusampaikan
dapat tersampaikan dengan baik.”
Ekspresi
Saki saat mengatakan itu menunjukkan sekilas emosi yang mirip seperti anak
kecil yang sedang asyik dan kegirangan dengan mainan baru.
Hal itu
merupakan sesuatu yang menggembirakan, mengingat dia selalu memiliki ekspresi
dan sikap yang agak dingin selama SMA, dan hanya bisa menggambarkan dirinya
sebagai ‘bersenjata’— seorang wanita yang
bersedia berjuang bahkan jika itu berarti menjadikan dunia sebagai musuhnya.
Sebagai kakak dan juga pacarnya, aku ingin mendukungnya. Melihat ekspresinya
yang begitu terasa menghangatkan hatiku.
Namun.
Jauh di
dalam lubuk hatiku, muncul sedikit rasa iri terhadap Saki.
“Ah, tapi
bagian enak dari beef stroganoff sudah tersampaikan kok. Yang tidak tersampaikan
adalah soal ukurannya. Jika yang ingin disampaikan adalah ‘enak’, maka ini
sudah cukup...”
Dia mungkin
teringat bahwa ia adalah teman baruku di universitas. Saki segera memuji foto
di Instagram, tetapi aku merasa dia tidak perlu terlalu khawatir. Saki tidak
bermaksud mencari-cari kesalahan, mungkin karena dia terbiasa berpikir seperti
itu, sehingga kata-katanya terucap begitu saja. Tidak apa-apa, aku mengerti itu
dengan baik.
“Ya,
enak.”
Setelah
mengatakannya, aku tiba-tiba berpikir.
“Kalau
dipikir-pikir, semur daging sapi dan beef stroganoff itu mirip, ya? Menurutmu apa
bedanya?”
Kupikir Saki
yang pandai memasak dan sangat menyukai semur daging sapi pasti tahu
perbedaannya. Saki segera menjawab pertanyaanku.
“Kurasa perbedaannya
ada pada cara memotong daging dan bumbu yang digunakannya, mungkin.”
Setelah
mengatakan itu, dia menjelaskan lebih rinci.
“Semur
daging sapi adalah masakan Prancis di mana daging dimasak utuh hingga empuk.
Beef stroganoff adalah masakan Rusia di mana daging dipotong tipis. Jika
dipotong kecil dan ditumis terlebih dahulu, waktu memasaknya bisa lebih
singkat.”
“Ah, jadi
dari situ saja sudah berbeda.”
“Bumbunya
juga berbeda. Semur daging sapi menggunakan saus domi-glace.”
“Domi...?
Bukan demi-glace?”
“Kedua-duanya
sama kok. ‘Demi’ dalam bahasa Prancis berarti setengah, tetapi... jika
diucapkan dengan benar dalam bahasa Prancis, seharusnya terdengar seperti ‘dumi’.
Jadi, bagi orang Jepang, baik ‘domi’ maupun ‘demi’ keduanya
benar.”
“Ah, kata demi
yang sama dari demi-human, ya.”
Saki memiringkan
kepalanya dengan kebingungan.
“Ah, bukan
apa-apa, lupakan saja. Itu topik lain.”
Demi-human adalah istilah yang sering digunakan dalam cerita untuk
menggambarkan makhluk yang hanya setengah manusia. Biasanya digunakan dalam
genre fiksi ilmiah atau fantasi. Kadang diterjemahkan sebagai sub-manusia.
“Aku tidak
begitu paham, tapi mungkin begitu. Saus yang dimasak hingga setengah. Sementara
itu, beef stroganoff menggunakan bumbu krim asam.”
“Itukah yang
dikatakan Kikuchi juga. Ia bilang kalau rasa asamnya berasal dari krim
asam.”
Saki sekali
lagi mengangguk.
“Meski masih
ada beberapa perbedaan kecil lainnya, tapi itu saja untuk saat ini.”
“Ngomong-ngomong,
semur daging yang kita makan di restoran sebelumnya tidak terasa asam.”
“Benar,
kan?”
“Yah,
bagaimanapun juga, sulit untuk menciptakan kembali cita rasa restoran di
rumah,” imbuh Saki, seolah-olah dia pernah
mendengar hal itu di tempat lain sebelumnya.
“Mungkin kita
bisa mengetahuinya jika kita membuat keduanya dan mencobanya.”
Setelah
menjadi kenangan, rasa tiba-tiba menjadi kabur. Aku merasa seperti tidak akan
pernah menjadi koki atau penikmat kuliner.
“Mungkin aku
juga belum benar-benar mencoba beef stroganoff.”
“Kalau
begitu, aku bisa mencoba membuatnya.”
“Ya, kurasa
mungkin itu patut dicoba. Karena itu dikenal sebagai masakan rumahan.
Seharusnya tidak terlalu sulit. Jika ada kesempatan, aku juga ingin mencoba
membuatnya.”
Sudah kuduga,
jika ada pertanyaan, sebaiknya langsung dipraktekkan. Aku sendiri tidak terlalu
suka memasak, dan bukan tipe yang harus memasak sendiri, tetapi keterampilan
memasak itu tidak ada salahnya untuk dipelajari.
Saat kami
makan malam sambil mengobrol seperti itu, Saki tiba-tiba berkata ketika cangkir
teh kami hampir kosong.
“Ngomong-ngomong,
Yuuta—”
Hmm? Aku mengangkat wajahku tanpa berpikir.
“Bagaimana
menurutmu tentang ‘papa katsu’?”
Sesaat, aku
masih belum menelaah perkataannya. Dan begitu aku mulai menyadari maksud
ucapannya, aku ingin memuji diriku sendiri karena tidak menyemburkan sup miso
yang sedang aku seruput.
Eh,
maksudnya apa? Apakah Saki menyadari keterkejutan aku atau tidak, dia
melanjutkan dengan ekspresi yang tampak berpikir keras.
“Apa benar
ada orang yang mau membayar 10.000 yen atau 20.000 yen hanya untuk berbicara
dengan seorang gadis?” (TN: Sekitar 1,1 juta atau
2,2 juta rupiah)
Aku
mengamati ekspresinya dengan hati-hati.
Aku pernah
melihat ekspresi ini sebelumnya. Saat itu, ketika dia tidak bisa memahami
psikologi karakter dalam soal pemahaman bacaan bahasa Jepang. Ekspresinya
sangat mirip. Artinya, Saki serius. Kalau begitu, aku juga harus memberikan
jawaban yang tepat.
Namun,
ehm... ‘papa katsu’? Aku sendiri pun tidak mengerti dunia itu.
“Aku ingin
memastikannya dulu.”
Untuk
menghindari kesalahpahaman, penting untuk berbagi pemahaman. Jika definisi katanya
berbeda, percakapan yang baik tidak akan terjalin.
“Memastikan
apa?”
“Apa ‘papa
katsu’ yang kamu maksud itu ‘papa katsu’ yang begituan?”
“Memangnya
ada banyak jenis ‘papa katsu’’?”
“Tidak,
maksudku, seperti aktivitas paparazzi, atau semacam itu. Atau mungkin aktivitas
film yang disebut papa-katsu, ‘kan?”
Dia memandangku
dengan tatapan aneh. Tunggu. Kenapa aku yang harus diberi tatapan seperti ‘apa
sih yang kamu bicarakan’?
“Kurasa
bukan begitu maksudnya.”
“Sudah
kuduga.”
Jadi,
maksudnya yang begituan, ya. Sebuah kegiatan bantuan yang didasarkan pada
kesepakatan antara wanita muda yang ingin mendapatkan dukungan finansial dan
pria yang ingin mendukung wanita tersebut. ... Jika dilihat dari penjelasan ini
saja rasanya mirip dengan karya terkenal Jean Webster, ‘Daddy-Long-Legs’. Aku
pernah membaca bukunya sewaktu kecil dulu, jadi ingatanku agak kabur.
Tapi, bukan
topik semacam itulah yang sedang dibahas sekarang.
“Kurasa
semuanya tergantung pada alasan membayar.”
“Alasan
membayar?”
“Menurutku
itu tergantung seberapa besar kamu bersedia membayar dan untuk apa ...”
“Ehm,
mungkin cuma demi berbicara dengan gadis?”
Kedengarannya
itu aktivitas ‘papa katsu’ yang cukup ceria dan santai.
Baiklah,
untuk sementara aku bisa menganggap kalau dia tidak membicarakan tentang papa
katsu yang gelap. Jika itu memang versi yang lebih ringan, maka ini menjadi
lebih mudah untuk dipahami. Intinya, apa seseorang bersedia membayar sejumlah
uang hanya untuk berbicara dengan seorang wanita.
“Kalau
memang cuma begitu... kurasa itu tergantung pada isi percakapannya.”
“Isi
percakapan...”
Setelah
melihat Saki yang berpikir keras, aku menuangkan daun teh dan air panas ke
dalam teko. Aku memastikan apakah dia ingin minum teh sebelum menuangkan teh ke
dalam cangkirnya. Cangkir Saki kecil dengan pola bunga sakura, sementara
cangkirku hari ini adalah yang biasa digunakan di restoran sushi yang didapat
ayahku dari tempat kerjanya. Ada nama ikan yang ditulis dengan huruf kaligrafi
sebagai pola. Cangkirku terlalu besar, sehingga tidak mungkin untuk menuangkan
teh sampai penuh. Namun, karena ini hanya untuk menghabiskan waktu, jadi cuma sedikit
saja sudah cukup.
“Ehm, jadi
begini. Jika seseorang ingin membayar untuk berbicara, itu berarti isi
percakapan itu harus bernilai, atau percakapan itu sendiri memiliki nilai,
bukan?”
Saki kini mendongak
sedikit ke atas dan menatap langit-langit sambil berpikir.
“Isi
percakapannya... maksudnya, apa itu berarti mereka mau membayar jika informasi
yang diberikan sebanding dengan uang yang dibayar?”
“Benar. Tapi
itu tidak terbatas pada ‘informasi’ saja.”
Kedengarannya
seperti kegiatan mata-mata industri.
“Misalnya, seandainya
saja mereka sedang mengembangkan produk untuk wanita muda dan ingin mendengar
pendapat mereka.”
“Kurasa
mereka tidak akan membayar sampai 20.000 yen segala...”
“Nilai itu
bersifat relatif. Jika bagi seseorang jumlah itu terasa sedikit, mungkin mereka
akan membayar. Seperti sultan minyak, misalnya.”
Itu memang
contoh yang agak ekstrem. Selain itu, sultan minyak mana mungkin berjalan-jalan
di sekitaran sini.
Mungkin
saja. Kurasa tidak ada. Tapi jika beneran ada miliarder yang sedang merayu
gadis-gadis di Shibuya, aku akan minta maaf.
“Jadi
maksudmu, orang-orang mungkin bersedia membayar 20.000 yen jika isi percakapan memang
seberharga begitu, ‘kan? Jadi begitu rupanya. Jika itu informasi yang berharga,
aku bisa mengerti jika mereka membayar. Lalu, bagaimana dengan sisi di mana
percakapan itu sendiri memiliki nilai?”
“Dalam hal
ini, apa yang dibicarakan bukanlah masalah, melainkan apa mereka merasakan
nilai dalam komunikasi itu sendiri.”
“Apa
mengobrol bisa begitu menyenangkan?”
Memang benar
kalau Saki bukan tipe orang yang menganggap hal itu berharga. Namun—
“Aku merasa
senang berbicara dengan Saki seperti ini.”
“Jadi, apa
kamu mau membayarku 20.000 yen?”
Ketika dibilang
begitu, aku terdiam sejenak dan tidak bisa menjawab. Aku tak tahu apakah itu
hal yang baik, atau buruk bagi seorang kekasih.
“Tapi
bagaimana kalau Saki sedang di luar negeri atau semacamnya dan kita tak bisa
bertemu selama berbulan-bulan? Kalau begitu, yah...”
“Aku tidak
akan pergi, kok?”
“Ini cuma perumpamaan
saja. Kalau aku bisa berbicara dan mendengar suaramu untuk pertama kalinya
setelah enam bulan, kurasa aku akan dengan senang hati membayarnya jika biaya
telepon internasionalnya 20.000 yen...”
“Kalau
begitu... aku juga mungkin akan begitu.”
Meskipun aku
sendiri yang mengatakan ini, tapi mungkin itu bukan yang disebut papa-katsu.
“Kembali ke topik
pembicaraan tadi, jika seseorang merasakan nilai dalam percakapan itu sendiri
dan tidak merasa jumlah uang itu terlalu tinggi, mereka pasti akan membayar.”
“Memangnya
berbicara dengan seorang gadis muda benar-benar menyenangkan dan berharga bagi
seorang pria?”
“Sepertinya
akan merepotkan jika harus berhati-hati memilih kata-kata saat berbicara.”
“Jadi
maksudnya itu tidak menyenangkan?”
Dia tampak
terkejut, tapi mungkin begitulah yang kurasakan.
Semakin
banyak perbedaan dengan lawan bicara, semakin hati-hati seseorang dalam
berbicara. Jika aku seorang pria dewasa yang lebih tua dan lawan bicaraku
adalah seorang mahasiswi yang lebih muda, aku pasti akan merasa lebih lelah
saat berbicara. Karena ada terlalu banyak perbedaan. Dalam cerita yang bertema
kontak pertama dengan makhluk asing atau alien, selalu ada banyak perhatian
yang diperlukan. Jika harus mengubah diri hingga hampir kehilangan kemanusiaan
demi memahami lawan bicara, dan tidak bisa berkomunikasi tanpa melakukannya, mau
tak mau merasa bahwa biaya yang harus dibayar terlalu besar. Tidak, mungkin itu
bukan bagian yang tepat untuk menangis dalam cerita ... Namun, pada dasarnya,
saling memperhatikan dan menikmati percakapan adalah esensi dari komunikasi,
dan jika hanya satu pihak yang merasa nyaman, maka itu tidak bisa disebut
percakapan dalam arti yang sebenarnya.
Namun, jika
kita ingin memaksakan agar terlihat seperti percakapan—
“Mungkin aku
harus membayar dengan niatan aku akan berbicara tanpa merasa harus mempertimbangkan
perasaan orang lain dan berharap lawan bicaraku tidak marah.”
“‘Aku
memang berbicara kasar, tapi tolong maafkan aku ya’... hal itu sendiri
sudah terdengar tidak sopan. Maksudku, aku bahkan tidak ingin dibayar jika
lawan bicaraku orang yang seperti itu.”
Saki pasti
setuju. Karena dia tidak menyukai hal semacam itu, itulah sebabnya dia memakai ‘persenjataan’
demi melindungi diri.
Setelah
memikirkan sejauh itu, aku akhirnya mengerti jawaban sebelumnya. Uang
seharusnya tidak boleh terlibat dalam percakapan yang menyenangkan dengan
keluarga dan teman. Yang harus diberikan adalah perhatian, bukan “maafkan
ketidaksopananku karena aku sudah mencari nafkah”. Hal semacam itu tidak
berlaku dalam lingkungan keluarga, terutama di zaman modern. Tindakan itu
justru bisa merusak keluarga. Aku sudah mengetahuinya. Apa yang terjadi antara
ibu kandungku dan ayahku adalah contoh nyata dari hal itu. Dan sekarang, ketika
ibu tiri Akiko-san bisa mendapatkan hari libur setelah sekian lama, ayahku
memutuskan untuk pulang lebih awal dari kerja dan berusaha mengajak Akiko-san
makan malam.
Sudah hampir
dua tahun sejak pernikahan kedua mereka. Dari sudut pandang anak, mereka adalah
pasangan yang harmonis, tetapi itu karena mereka berusaha untuk saling memahami
berdasarkan pengalaman masa lalu mereka. Tentu saja, sebagai anak, aku tidak
keberatan untuk membantu. Mungkin rasanya akan berbeda jika aku masih SD,
tetapi baik aku maupun Saki sudah mahasiswa sekarang. Aku tidak akan merasa kesal
hanya karena orang tuaku tidak ada di meja makan karena berkencan.
“Bagaimanapun
juga, aku tidak bisa memahami perasaan 'menyenangkan berbicara dengan gadis
muda'. Mungkin karena perbedaan usia membuatku tidak bisa membayangkannya,
tetapi dalam kasusku, aku juga memiliki toleransi yang tinggi terhadap
kesepian.”
“Apa itu
berarti kamu merasa tidak masalah buat sendirian?”
Aku
mengangguk.
Aku bisa
menghabiskan waktu sepuasku dengan membaca buku, dan aku tidak pernah merasa
butuh seseorang untuk mengisi kesepianku. Jika aku sangat menginginkannya, aku
pasti akan berusaha untuk mencari pacar saat SMA. Meskipun memiliki inisiatif
tidak selalu menjamin bisa mendapatkannya. Kalau dipikir-pikir lagi, hubungan
pertemananku dengan Maru juga merupakan hasil dari serangkaian kebetulan.
Intinya, bagi
orang sepertiku yang bahkan tidak keberatan memiliki satu teman dekat seperti
Maru hingga musim panas kelas 2 SMA, sulit untuk memahami perasaan orang-orang
yang ingin memiliki lawan bicara karena merasa kesepian.
“Percakapan
menjadi menyenangkan karena Saki yang menjadi lawan bicaranya, bukan karena kamu
gadis muda, setidaknya begitulah bagiku.”
“... Terima
kasih.”
“Ah,
tidak... ya.”
Sial. Aku
merasa telah mengatakan sesuatu yang sangat memalukan.
“Tapi,
begitu ya. Ya, aku mengerti. Pada akhirnya, apakah seseorang menikmati hal itu
atau tidak tergantung pada orang itu sendiri...”
“Yah, kurasa
begitu. Ya.”
“Apa
berbicara denganku itu menyenangkan?”
“Tentu
saja.”
“Kalau
begitu, ini tidak memerlukan biaya. Jadi silakan jadikan aku sebagai teman
mengobrolmu kapan saja.”
Dia
mengatakannya dengan seringai nakal di wajahnya. Meskipun dia mengatakannya
dengan nada seperti ‘kami menunggu kedatangan Anda kembali’. Ya, itu
berarti perhatian tetap diperlukan. Tentu saja, aku tidak merasa
keberatan.
“Sebaliknya,
aku malah khawatir apa kamu merasa lebih senang berbicara denganku, Saki.”
“Tentu saja,
aku mengobrol denganmu karena itu menyenangkan. Tidak masalah.”
“Be-Begitu
ya. Terima kasih.”
Duduk
berhadapan di meja makan sambil minum teh dari cangkir, aku penasaran bagaimana
tampaknya dari luar ketika kami saling tersipu. Meskipun begitu, waktu kecil
yang sederhana ini, di mana kami berbagi cerita sehari-hari, sangat
menyenangkan bagiku saat ini, dan aku tidak ingin menukar Saki dengan orang
lain. Jika memungkinkan, aku berharap bisa menyimpan momen ini selamanya.
Aku teringat
saat-saat makan malam di masa SMP. Setelah pindah ke apartemen ini, ibuku pergi
dalam beberapa tahun. Karena tinggal berdua dengan ayahku, aku menghabiskan
malamku dalam kesendirian saat menunggunya pulang larut malam karena pekerjaannya.
Aku juga selalu makan malam selalu sendirian.
Tapi
bukannya berarti aku merasa kesepian. Untungnya, saat itu aku sudah belajar
menikmati dunia cerita. Makan malam bisa berupa kotak makan siang, mie instan,
atau pesan antar, dan itu sudah cukup. Aku bahkan mengabaikan waktu makan untuk
membuka buku dan terjun ke dalam dunia luar angkasa, dunia lain, atau masa
lalu. Rasanya sangat menyenangkan. Ketika aku selesai membaca halaman terakhir
dan mengangkat wajahku, aku melihat lampu LED putih yang menerangi ruangan yang
monoton, dan aku ingat betapa kapal luar angkasa, naga, iblis, dan Tengu yang
ada di dalam imajinasiku menghilang, meninggalkanku dalam kebingungan.
Mungkin,
sifat dasarku tidak berubah sejak saat itu.
Meski
demikian—.
Berkat adik perempuan
tiriku yang berambut pirang yang datang setelah pernikahan kedua ayahku, aku
menyadari bahwa ada kehidupan yang menyenangkan di dunia nyata ketika aku
mengalihkan pandangan dari buku. Hal itu bisa dianggap sebagai pertumbuhanku
dalam dua tahun terakhir.
Aku berharap
bisa melanjutkan ini ke depan. Tahun depan, dan tahun setelahnya. Sepuluh
tahun, atau bahkan dua puluh tahun nanti.
Aku berharap
orang yang mendengarkan ceritaku di seberang meja adalah Saki. Sekarang,
setelah melewati malam pertama titik balik kehidupan kami, aku mulai menggambar
peta masa depan seperti itu.
Pemandangan
yang pernah kulihat dalam mimpi tiba-tiba muncul di benakku.
Aku sedang
berada di dalam mobil yang menuju laut. Aku yang mengemudikan, Saki di kursi
samping, dan kedua anak kami duduk di kursi belakang. Adegan mimpi itu
membuatku merasa malu setiap kali aku mengingatnya. Rasanya itu terlalu
cepat.
Meski begitu,
pemandangan dalam ingatan mimpiku itu adalah sesuatu yang ingin kuwujudkan
suatu hari nanti—.
“Aku
berpikir untuk mendapatkan SIM.”
Aku
tiba-tiba mengucapkan kata-kata itu.
“SIM...
untuk mobil?”
“Ya. Itulah
yang kupikirkan. Aku ingin mendapatkan SIM. Kalau tidak, aku tidak bisa
mengemudikan mobil.”
“Itu benar
sih.”
Saki
memandangku seolah-olah ingin bertanya mengapa aku mengatakan sesuatu yang
sudah jelas. Namun, aku merasakan semangat dalam pemikiranku.
Benar. Aku akan mendapatkan SIM. Dan pergi ke pantai bersama Saki.
Meskipun itu
bukan hal yang besar untuk memperluas duniaku, tapi...
Aku ingin
membuka setidaknya satu hal baru.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya
