Gimai Seikatsu Volume 15 Chapter 1 Bahasa Indonesia

Chapter 1 — Tahun Pertama Perkuliahan, Bulan Mei, Asamura Yuuta

 

Kehangatan yang kurasakan di dalam pelukanku perlahan-lahan menjauh. Seolah-olah api unggun yang menyentuhku dipadamkan dengan air. Panas yang kurasakan di bagian depan tubuhku dengan cepat menghilang, dan aku sedikit menggigil. Aku ingin meraih kehangatan itu, tetapi lenganku terasa mati rasa dan tidak bisa digerakkan seolah-olah membeku. Demi mencari kehangatan yang semakin jauh menghilang, aku──.

Berusaha meneriakkan sesuatu dan terbangun.

Hah, aku menghela napas panjang.

Mimpi, ya?

Sepertinya aku juga sudah tertidur tanpa sadar.

Melalui kelopak mataku yang terbuka, dalam cahaya samar-samar, aku bisa melihat wajah Saki yang tertidur dengan bulu matanya yang panjang bergetar lembut. Rambutnya yang berwarna cerah terurai di bawah kepalanya. Dari mulut kecilnya, terdengar napas tidur yang tenang. Kami berdua tidak mengenakan pakaian sama sekali. Kami sama-sama telanjang. Bahkan dalam cahaya fajar yang sedikit menembus tirai, aku bisa melihatnya karena selimut yang kami gunakan telah terangkat hingga ke bahu.

Salah satu lenganku terasa mati rasa. Saki menjadikan lenganku sebagai bantal. Wajar saja aku jadi tidak bisa bergerak. Begitu aku menyadari itu, mimpi yang ku alami pun terasa masuk akal. Aku tersenyum pahit menghadapi kenyataan yang tak ada bandingannya.

Saki mengeluarkan bersin pelan.

Aku segera menarik selimut yang terangkat. Pada saat mengangkatnya, aku melihat jam di samping tempat tidurku.

Pukul 6:32 pagi.

Karena hari ini adalah hari Minggu, jadi aku tidak mempunyai jadwal perkuliahan, hanya pekerjaan paruh waktu di toko buku. Itu pun baru mulai sore, jadi aku masih punya banyak waktu.

Mungkin aku bisa membiarkannya tidur sedikit lebih lama.

Aku tidak berpikir ada yang perlu dilakukan di pagi hari Minggu.

Ayahku juga mungkin masih tidur. Pada hari kerja, dirinya bangun sekitar waktu kami, jadi seharusnya sekarang dia sudah bangun, tetapi pada hari Minggu, ayahku tidak akan muncul di ruang tamu sebelum pukul 8 pagi.

Meskipun begitu, mungkin dirinya sudah terjaga. Jika Saki keluar dari kamarku dan kebetulan ayah sedang ke toilet dan bertemu Saki di lorong, hal itu akan merepotkan. Selain itu, mungkin Ibu tiri Akiko-san, akan pulang dari pekerjaannya.

Sambil memikirkan apa yang harus kulakukan, aku mencoba menarik lengan tempat kepala Saki bersandar.

Namun, hal itu tidak berjalan dengan baik.

“Hmm…”

Dia justru memelukku lebih erat.

Apa yang harus kulakukan? Aku bisa saja menarik lenganku dengan paksa, tetapi itu pasti akan membangunkannya.

“……nuhma”

Apa?

Dia mencengkeram lenganku erat-erat. Aku tidak tahu mimpi apa yang dia jalani, tetapi aku merasa tertarik dan hampir mengeluarkan suara “wah”. Dengan cepat, aku menutup mulutku dengan tangan yang satunya. Aku tidak membangunkannya, ‘kan?

……Sepertinya aman-aman saja.

Aku terus menatap wajahnya yang sedang tidur pulas. Kebetulan aku bangun lebih awal, jadi aku bisa melihat wajah tidurnya dengan tenang. Tentu saja, jika Saki terbangun di tengah malam, posisinya akan terbalik. Ketika memikirkan itu, kenyataan bahwa kami berdua tertidur tanpa perlindungan menunjukkan bahwa kami saling mempercayai, dan aku merasakan semacam kepuasan dan rasa aman.

Aku ingin menjaga gadis ini yang sedang memeluk lenganku dengan sepenuh hati. Ketika kenyataan bahwa aku telah menghabiskan semalam bersamanya meresap ke dalam pikiranku, aku merasa jauh dari perasaan yang dulu berusaha menjaga jarak saat kami baru bertemu. Aku tidak ingin melepaskan kedekatan yang sekarang ini.

“Nee.”

Aku terkejut. Saki sudah membuka matanya dan menatapku.

“...Enggak adil.”

Dia mengucapkannya dengan pelan.

“Eh?”

“Masa cuma Yuuta saja yang melihatku terus.”

“Yah, itu karena kebetulan aku yang kebangun duluan.”

Setelah aku mengatakan itu, dia mengerucutkan bibirnya dan memperlihatkan wajah tidak puas. Lalu dengan sedikit emosi di matanya, dia mengumumkan,

“Lain kali aku tidak akan kalah.”

Kalah dalam hal apa?

Memangnya ini perlombaan bangun pagi? Apa iya begitu?

“Kalau menang, aku bisa melihatmu dengan seksama, ‘kan, wajah tidurmu?”

Jadi hadiahnya adalah wajah tidurku.

“Apa melihatnya itu menyenangkan?”

“Pasti, menyenangkan.”

Kurasa itu tidak benar. Karena wajah tidurku kelihatan biasa-biasa saja.

“Yah, rasanya memang sedikit memalukan. Lagipula, aku bangun kali ini juga karena kebetulan.”

“Tuh, ‘kan?”

Hah?

“Rasanya pasti memalukan jika dilihat, ‘kan?”

“Ya, memang sih...”

Bahkan jika wajahku terlihat bodoh dalam keadaan tidak berdaya──ah.

“Apa kamu ingin dipanggil mesum?”

“Maaf.”

Ketika aku meminta maaf dengan tulus, dia tersenyum kecil.

“Aku hanya bercanda.”

Aku menghela napas lega.

“Mana mungkin hanya dengan menatap wajah tidur seseorang disebut mesum. Tidak masalah kalau itu adil. Aku tidak suka jika tidak adil. Jika aku yang lebih dulu bangun, aku bisa melihatmu dengan seksama.”

“...Jadi begitu ya.”

“Kalau soal bangun pagi, aku tidak akan kalah, jadi lain kali aku berhak melihat wajah Yuuta dengan seksama, ‘kan?”

“...Baiklah. Jika begitu, aku akan bersiap-siap kalau itu terjadi.”

Aku tidak tahu apakah pembicaraan seperti ini akan sering terjadi. Namun anehnya, obrolan kecil semacam ini terasa sangat menyenangkan.

“Eh. Apa? Sudah jam 7.”

Aku mengikuti tatapan Saki dan melihat jam di samping tempat tidur. Tanpa sadar, jam sudah hampir menunjukkan pukul 7. Aku mulai panik. Situasinya tidak bisa ditunda lagi.

“Shower. Aku harus mandi! ...Tapi, jika berisik, Ayah tiri bisa terbangun.”

“Tenang saja. Umm...”

Aku berusaha memutar otakku. Hari Minggu pagi biasanya...

“Jangan khawatir. Saki kadang-kadang mandi pagi, ‘kan? Jadi itu tidak kelihatan aneh. Pertama-tama, kamu harus kembali ke kamarmu dengan tenang, lalu berpura-pura baru bangun dan pergi ke kamar mandi.”

“Kalau Yuuta sendiri gimana?”

“Jika kita mengatur waktunya, semuanya akan aman-aman saja.”

Mungkin.

“Aku akan menunggumu selesai mandi sebentar lalu baru saat itulah aku masuk.”

Saki yang dengan cepat mengenakan pakaiannya keluar dari kamarku dengan langkah yang hati-hati. Saat berjalan, sepertinya dia agak kesulitan, tetapi mungkin itu karena aku tidak tahu bagaimana keadaan wanita setelah pengalaman itu, jadi aku terlalu memperhatikannya.

Aku kembali memikirkan seberapa canggungnya kami dari awal hingga akhir. Menurutku aku tidak melakukannya dengan kasar, tetapi sebenarnya bagaimana ya?

Bagaimanapun, kami berhasil melewati situasi ini dengan berpura-pura menjalani hari Minggu pagi seperti biasa. Mungkin.

 

◇◇◇◇

 

Hijaunya taman, yang semakin pekat setiap harinya, memberitahuku bahwa musim sedang berganti. Saat aku berjalan menuju Shibuya dan stasiun di pagi hari, aku melihat bayangan gelap yang dihasilkan oleh dedaunan di taman dan berpikir bahwa musim panas sudah dekat. Di kalender seharusnya sudah awal musim panas.

Langit kelihatan sangat cerah dan sinar matahari terasa kuat. Sejujurnya, suhunya memang panas. Sambil berjalan menanjak yang landai dan panjang, aku menghela napas.

“Sudah musim panas, ya.”

“Musim hujan bahkan belum dimulai.”

Saki berkata dengan nada terkejut di sampingku.

“Tapi belakangan ini, rasanya tidak ada musim semi, hanya musim panas 1, musim hujan, dan musim panas 2.”

“Memang sih?”

Yah, itu hanya perasaanku saja sih. Mau tak mau aku jadi berpikir bahwa Jepang mungkin sedang mengalami subtropisasi, meskipun aku tidak mencari bukti yang jelas.

ku mengatakannya hanya karena ingin membicarakan sesuatu. Bahkan sekadar mengobrol tentang hal-hal sepele seperti ini dengan Saki saja sudah menyenangkan bagiku. Dan entah kenapa, aku mendapati diriku menoleh ke arahnya.

Saki mengenakan pakaian berwarna limau yang cerah. Kami berdua sudah lulus dari SMA, jadi kami tidak lagi memakai seragam. Fakta yang begitu jelas saja masih membuatku merasa sedikit aneh.

Sudah sekitar dua minggu berlalu sejak aku menghabiskan malam bersamanya.

Aku sering berpikir bahwa malam itu merupakan titik balik dalam kehidupanku dan aku tidak bisa kembali seperti semula, tetapi rasanya tidak ada yang berubah dalam diriku. Hanya sedikit nyeri otot yang kurasakan keesokan harinya, mungkin karena menggunakan otot yang biasanya tidak terpakai. Bagaimana dengan Saki? Beberapa wanita terkadang merasa tidak enak badan setelah pengalaman seperti itu, tetapi... Aku tidak pernah berpikir akan memperhatikan kesehatan wanita di sampingku seperti ini.

“Bagaimana kehidupan kampusmu?”

Dia tiba-tiba bertanya sambil menoleh, dan aku terdiam sejenak. Karena terlalu mendadak, jadi aku terkejut. Mungkin dia menyadari aku sedang memperhatikannya.

Bagaimana, ya? Sejauh ini, tidak ada kejadian baru yang terlintas di pikiranku.

“Umm...”

“Ah, maaf. Apa pertanyaanku terlalu umum? Jika hanya ditanya bagaimana, itu pasti membuatmu bingung.”

Aku pasti sudah membuatnya merasa tidak nyaman. Sekarang aku semakin menyadari bahwa inilah salah satu kekurangan diriku. Sudah saatnya aku mengerti bahwa saat Saki bertanya seperti ini, dia tidak sedang mencari jawaban yang benar.

“Tidak, aku yang seharusnya minta maaf.”

Apa yang dia cari bukanlah jawaban, melainkan komunikasi itu sendiri. Namun, ketika aku ditanya dengan kalimat tanya, refleksku adalah mencari “jawaban”, dan itu terasa berat. Ehm, dia hanya ingin berbicara, jadi yang dibutuhkan ialah jawaban yang bisa melanjutkan percakapan, dan yang dicari ialah sinkronisasi emosi.

Jadi, pertama-tama mari kita cari dari perasaan. 

“Rasanya menyenangkan kok.” 

Setelah menjawab demikian, aku mencari alasannya. Mengapa aku merasa senang? Itu karena──. 

“Karena ada banyak orang yang menarik.” 

“Hee~” 

“Belakangan ini, aku sering makan bersama dua orang pria yang namanya Nakamura dan Kikuchi.” 

“Ah, umm... mereka itu orang yang duduk di sebelahmu pada hari pertama, kan?” 

“Benar sekali. Kamu mengingatnya dengan baik.” 

“Aku juga kebetulan akrab dengan orang seperti itu sekarang.” 

Jadi begitu rupanya. 

“Sudah kuduga, tempat duduk memang mempengaruhi ya? ──ah.” 

Karena Saki yang bertanya, jadi seharusnya wajar jika aku membicarakan Nakamura dan Kikuchi, tetapi aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya. Tapi tunggu sebentar. Ini bukan debat, jadi seharusnya tidak masalah jika kita berbicara dengan aturan yang agak longgar. Namun, aku tetap merasa terganggu. Aku harus membiasakan diri. 

“Yah, ketimbang di sebelah, mereka justru duduk di belakangku. Ya, aku akan membicarakan mereka nanti, tapi aku penasaran tentang Nakamura-kun dan Kikuchi-kun. Mereka menarik, ya?” 

Tumben-tumbennya Saki tampak ragu-ragu. Selain itu, dia menunjukkan ekspresi malu sejenak, yang membuatku penasaran, tetapi tidak ada cara lain untuk membahasnya sekarang. 

Aku memutuskan untuk berbicara tentang teman-teman baruku, Nakamura Hironobu dan Kikuchi Yuma. 

Selama tiga tahun semasa SMA, aku hanya memiliki beberapa teman seperti Maru, Yoshida atau Shinjou, jadi menjalin kedekatan dengan dua orang ini di awal masa kuliah terasa semacam terobosan bagiku. Selain itu, mereka mungkin bisa dianggap sebagai “teman nakal” untuk pertama kalinya dalam hidupku. 

...Mungkin Saki juga telah mendapatkan teman seperti itu. 

Tidak, mungkin aku terlalu memikirkannya. Sekilas, Saki memang terlihat seperti gadis gyaru yang sudah terbiasa bersenang-senang, tetapi aku tahu bahwa penampilannya ini hanyalah hasil dari upaya untuk menyeimbangkan citra “wanita cantik” dan “wanita mapan” yang terinspirasi oleh Ibu tiri Akiko-san. Artinya, dia sebenarnya cukup serius. 

Daripada berimajinasi yang tidak berguna, sebaiknya aku menikmati percakapanku dengan Saki, jadi aku mulai bercerita tentang dua teman nakal yang baru kutemui. Di sepanjang jalan menuju stasiun, Saki mendengarkan dengan tenang. 

Bunga azalea yang tumbuh di semak-semak di samping taman juga sudah mendekati akhir masa mekarnya. 

 

◇◇◇◇

 

Dua tahun pertama perkuliahan dihabiskan untuk menguasai dasar-dasar studi akademis. Aku memikirkan hal itu sambil mengikuti jejak kapur yang dibuat oleh dosen di papan tulis dari belakang ruang kuliah. Dua tahun ini disebut sebagai “program pendidikan umum” atau “mata kuliah dasar.”

Karena ini adalah institusi pendidikan tertinggi, banyak orang yang sering menganggap bahwa kita harus mempelajari bidang spesialisasi secara mendalam. Namun, sebelum mendapatkan pembelajaran yang spesifik, para mahasiswa perlu menguasai dasar-dasar ilmu pengetahuan umum dan mempelajari pengetahuan serta kemampuan berpikir yang luas. Mata kuliah pendidikan umum dirancang untuk tujuan tersebut.

Dalam program pendidikan umum, mahasiswa diminta untuk secara konsisten mempelajari dasar-dasar dari berbagai bidang, seperti bahasa, ilmu alam, ilmu humaniora, dan ilmu sosial. Tentu saja, bukannya berarti bahwa program ini membosankan atau mudah.

Faktanya, meskipun ini program pendidikan umum, mengikuti perkuliahan tersebut tidaklah mudah. Tanpa persiapan dan ulasan, terkadang sulit untuk memahami isi materinya. Di sisi lain, ada juga kelas yang ternyata lebih mudah diikuti daripada yang diharapkan. Misalnya saja, perkuliahan tentang ‘Perilaku Konsumen’ yang sedang aku ikuti saat ini.

Dosen tersebut menjelaskan bahwa konsumen, yaitu orang yang membeli barang, dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori berdasarkan tingkat penerimaan mereka terhadap inovasi—yaitu seberapa besar mereka menerima hal-hal baru. Inilah teori ‘difusi’ yang dikemukakan oleh Rogers.

Aku meyakini ada banyak orang yang mungkin sudah pernah mendengar istilah-istilah seperti inovator, adopter awal, mayoritas awal, mayoritas akhir, dan penghalang. Intinya, ada orang yang langsung menerima hal-hal baru hanya karena mereka baru, sementara ada juga yang tetap menggunakan hal-hal yang sudah mereka kenal dengan teguh. Teori ‘difusi’ Rogers ini mendefinisikan dan menggolongkan hal-hal yang mungkin sudah dipikirkan oleh banyak orang.

Menariknya, klasifikasi ini dapat diterapkan pada kelompok mana pun dan diyakini memiliki proporsi yang serupa. Orang yang memiliki sifat inovator, tidak peduli apakah mereka orang Jepang, Amerika, atau dari negara lain, biasanya sekitar 2,5% dari total kelompok. Mereka yang merasa bahwa sesuatu yang baru memiliki nilai, jika dalam kelompok berjumlah 200 orang, hanya ada sekitar 5 orang saja.

Dari berbagai sudut ruang kuliah, terdengar bisikan “Woah” dan “begitu ya” sebagai reaksi terhadap penjelasan dosen yang pandai berbicara. Dari pengamatan reaksi mahasiswa, tampaknya ada beberapa orang yang tidak terlalu mengerti. Di antara mereka, ada mahasiswa yang tampak kebingungan.

“Kenapa mereka harus memberi nama yang rumit untuk mengklasifikasikan ini sih?” tanya Nakamura yang duduk di sebelah kiriku. Kikuchi, yang duduk di sebelah Nakamura, juga mengangguk sambil berkata, “Aku setuju dengan Hiro. Lagipula, pelanggan ya pelanggan.”

Mereka berdua kemudian menatapku. Hah, apa yang mereka harapkan dariku?

“Teori ini mengklasifikasikan pelanggan berdasarkan sifat-sifat mereka menjadi lima kategori,” jawabku.

“Jadi, kenapa harus repot-repot dibedakan?” tanya Nakamura lagi.

Mengapa kita perlu menggolongkannya, ya?

“Yah, kurasa jika kamu mendengarkannya, dosen akan menjelaskan,” jawabku. Dan persis seperti yang kukatakan, dosen mulai menjelaskan berbagai hal, tetapi meskipun mendengarnya, Nakamura dan Kikuchi tampaknya masih tetap tidak mengerti.

Hal yang paling sulit dalam belajar adalah ketika kita menemui konsep baru yang belum pernah kita temui sebelumnya dalam hidup. Meskipun setelah kita mengerti itu menjadi hal yang mudah, menerima ‘cara berpikir yang baru’ sering kali menjadi tantangan.

Setelah perkuliahan selesai, kedua temanku yang masih bingung memintaku untuk menjelaskan materi perkuliahan tadi dengan caraku sendiri.

Mengapa kita menggolongkan konsumen berdasarkan pola perilaku? Penjelasan pribadiku adalah sebagai berikut.

“Jenis pelanggan yang berbeda berarti cara pemasarannya juga berbeda, dan cara orang-orang tersebut mengakses informasi juga berbeda. Oleh karena itu, kurasa penting untuk menggolongkan karakteristik kelompok pembeli.”

Orang yang menyukai hal baru cenderung aktif mencari informasi tentang produk baru dan sering membaca majalah informasi, sementara orang yang lebih suka hal-hal yang sudah akrab mungkin tidak membaca majalah tersebut. Artinya, metode pemasaran yang harus digunakan pun berbeda.

Logika ini juga berlaku di toko buku. Rak untuk buku debut penulis baru berbeda dengan rak untuk karya klasik. Rak untuk buku terlaris juga berbeda dari rak untuk buku jangka panjang. Begitulah kira-kira.

Aku sudah mengetahui hal ini dari sebuah buku yang secara kebetulan kubaca. Karena merasa ini berkaitan dengan pekerjaan paruh waktuku, jadi aku membacanya, dan aku menemukan itu menarik, sehingga aku juga membaca berbagai buku terkait. Dari situ, aku bahkan melanjutkan untuk membaca buku tentang perilaku ekonomi, yang sepenuhnya merupakan dunia hobiku.

Aku mencoba menjelaskan sebaik mungkin dengan mengaitkan pengalaman kerja paruh waktuku di toko buku.

“Jadi, meskipun terlihat sama, setiap pelanggan itu berbeda-beda, ya?”

“Benar. Misalnya, untuk pria dan wanita. Atau untuk orang dewasa dan anak-anak. Menurutku kamu bisa langsung mengerti jika itu dibedakan seperti itu. Perbedaan cara orang berinteraksi dengan hal baru juga mempengaruhi saat membeli barang,” aku menjelaskan.

“Jadi, Asamu tuh membaca buku-buku yang seperti itu, ya?”

“Kamu cukup nyeleneh juga ya, Yuuta?”

Nakamura memandangku dengan wajah yang menunjukkan bahwa dia menganggapku aneh.

Enggak, enggak, apa sih yang mereka berdua bicarakan? ‘Teori difusi’ adalah teori yang berasal dari sosiologi, dan mereka seharusnya juga mahasiswa fakultas sosiologi, kan?

“Aku hanya kebetulan tahu,” jawabku.

Meski begitu, sejauh yang kudengar dari beberapa perkuliahan, materi yang disampaikan oleh pengajar tersebut sering kali terasa akrab. Aku merasa seolah-olah ia berbicara sesuai dengan kecenderungan bacaanku. Dengan kata lain, kesegarannya tidak terlalu mencolok.

Justru sebaliknya, topik-topik terbaru yang ditambahkan di akhir perkuliahan lebih menggugah rasa penasaranku. Setelah menyimpang di akhir kuliah, ada kalimat yang membuatku tersenyum sambil berkata, “Ah, ini terlalu sulit untuk mahasiswa tahun pertama”. Bel akhir jam perkuliahan berbunyi pada titik ini sampai-sampai aku berpikir bahwa itu ddisengaja. Ia pasti berusaha membangkitkan minat peserta dan menghubungkannya ke topik berikutnya.

Saat aku berpikir demikian, Nakamura tiba-tiba berkata seolah teringat akan sesuatu.

“Eh, Yuuta. Hari ini, mau makan di luar?”

“Di luar? Maksudnya di luar kampus?”

“Katanya Yuma menemukan tempat yang enak.”

Nakamuura mengangkat ibu jarinya. Di belakangnya, Kikuchi balas mengangguk.

“Ada senior dari klubku yang mengajakku ke sana.”

“Hee.”

“Makanannya enak loh. Kurasa Asamu juga akan menyukainya.”

“Hmm,” aku berpikir sejenak.

Sebelum mendengar cerita itu, aku berencana untuk makan di kantin dengan telur dadar dan nasi serta sup miso.

Satu porsi telur dadar harganya 200 yen, nasi 150 yen, dan sup miso 40 yen, jadi kombinasi ini takkan melebihi 500 yen. Menurutku itu menu dengan biaya terbaik. Kakekku dari Nagano selalu mengatakan kepada ayahku setiap kali pulang, "Jangan terlalu pelit soal makanan,” sehingga aku tidak terlalu memiliki kesadaran untuk “mengurangi dari biaya makan,” tetapi aku tidak bisa membuang-buang uang. Mungkin aku bisa membuat bekal, tapi rasanya cukup sulit karena aaku harus bangun 30 menit lebih awal dari biasanya.

Sudah lebih dari sebulan sejak memulai kehidupan universitas, aku menyadari bahwa biayanya jauh lebih tinggi dibandingkan saat SMA. Oleh karena itu, kesadaran untuk berhemat mulai tumbuh. Biaya kuliah yang tinggi—lebih dari 300.000* yen per semester—tentu saja (meskipun karena ini universitas negeri, masih lebih baik daripada swasta), ditambah lagi dengan harga buku pelajaran yang mahal, buku referensi yang mahal, biaya transportasi yang tinggi, dan ternyata biaya untuk bersosialisasi juga meningkat. (TN: Kurang lebih sekitar 33 juta rupiah)

Ketika aku menemani Maru berbelanja di toko anime, kami sering menghabiskan waktu berjam-jam di restoran cepat saji hanya untuk membeli secangkir kopi, yang mana tentu saja menyulitkan pihak restoran. Namun, Nakamura dan Kikuchi selalu bersemangat mencari tempat baru di dekat universitas dan mengajakku keluar (yang menunjukkan bahwa mereka berdua inovator yang haus akan hal-hal baru). Jika aku menuruti semua ajakan mereka, danaku tidak akan cukup.

Daerah di mana Universitas Ichinose berada memiliki biaya hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan pusat kota, meskipun masih lebih baik daripada Shibuya di mana secangkir kopi bisa lebih dari seribu yen. 

“Katanya, itu makanan jiwa bagi mahasiswa kampus Ichinose.” 

“Kedengarannya menarik, ya?” 

Makanan jiwa, hmm... Makanan jiwa berarti masakan yang berakar pada budaya tertentu. Rasanya seperti mengundang rasa nostalgia, atau lebih tepatnya, terhubung dengan kenangan di daerah tersebut. Kurasa ini berarti bahwa mahasiswa yang kuliah di universitas ini pasti pernah mencobanya setidaknya sekali. 

“Yah...” 

Setelah mendengar itu, meskipun aku tipe yang jauh dari kata aktif, aku mulai tertarik. Jika hanya untuk satu kali makan, sepertinya tidak akan terlalu menguras isi dompet. Apalagi jika disebut sebagai makanan jiwa, itu berarti didukung oleh penduduk setempat, dan aku bisa memperkirakan bahwa itu bukan masakan mahal. 

“Baiklah. Jika sampai dibilang begitu, aku akan ikutan.” 

“Sepakat! Karena waktu sangat berharga, jadi mari kita cepat pergi!” 

 

◇◇◇◇

 

Aku, Nakamura, dan Kikuchi berjalan menuju stasiun melalui jalan yang disebut [Jalanan Universitas]. Saat kami melihat bundaran di depan stasiun, kami belok ke kiri. Rupanya tempatnya terletak di gang sempit. 

“Lihat, itu dia.” 

Kikuchi menunjuk ke sebuah papan putih yang sering terlihat di jalanan pusat perbelanjaan, yang menyala saat malam tiba. Di belakangnya terlihat sebuah pintu. Pintu itu berwarna biru tua yang sedikit kehijauan. Sebuah papan kecil bertuliskan menu dipasang agar terlihat dari jalan. 

Begitu kami masuk, suasana tenang menyambut di dalam toko yang tidak terlalu besar. Aku berpikir tempatnya tidak terlalu ramai meski berada di dekat stasiun, tetapi setelah mendengar bahwa tempat ini terdiri dari dua lantai, aku mulai mengubah pendapatku. Ternyata toko ini cukup besar. 

Kami bertiga mengambil tempat di bagian belakang dan melihat menu. 

Roti panggang, gratin, pizza, kari... Sepertinya ada berbagai hidangan Barat yang biasa. Namun, aku baru pertama kali mengunjungi tempat ini, aku bingung harus memilih apa... 

“Apa menu rekomendasi di sini?” 

Aku bertanya kepada Kikuchi yang katanya mendapatkan informasi tentang tempat ini dari seniornya. 

“Yang terkenal adalah kari. Tapi kalau dariku, rekomendasiku adalah beef stroganoff.” 

Hee~. 

“Enak?” 

“Tentu saja. Dan porsinya juga besar.” 

“Besar?” 

Aku mengerutkan dahiku. Misalnya jika itu hamburger atau omelet, aku bisa mengerti jika diberi deskripsi “besar”. Tapi beef stroganoff adalah hidangan yang dibuat dengan merebus irisan tipis daging sapi dengan jamur dan bawang bombai. Aku bisa mengerti jika deskripsi “banyak” digunakan, tapi penggunaan kata “besar” terasa kurang tepat. 

Aku tidak ingat pernah memakannya berkali-kali, tapi kedengarannya menarik. 

“Kalau tidak salah itu masakan tradisional Rusia, ‘kan?” 

“Betul. Aku belum pernah ke Rusia dan mencobanya, jadi aku juga tidak tahu seberapa mirip dengan aslinya, tapi mungkin mirip dengan yang ada di bayanganku.”

“Bagus. Aku akan pesan itu. kamu sendiri mau pesan apa, Yuuta?” 

“Kalau begitu, aku juga yang sama.” 

“Sepakat.” 

“Aku mau kari yang tidak sempat aku coba sebelumnya.”

Jadi, aku dan Nakamura memesan hidangan beef stroganoff, sementara Kikuchi memesan kari. Tanpa perlu menunggu lama, pesanan makanan kami segera diantar. Mungkin karena kami datang sedikit lebih awal dari waktu puncak siang. 

Makanan itu diletakkan di depan kami. 

“Wah.” 

Besar sekali... 

Aku langsung mengerti. Memang, ini seharusnya lebih tepat disebut “besar” daripada “banyak”. 

Beef stroganoff di restoran ini disajikan di piring besar yang dibagi dua, satu sisi diisi nasi, dan sisi lainnya diisi beef stroganoff. Namun, jumlahnya sangat melimpah. Aku membayangkan akan ada pulau kecil nasi di lautan kuah yang kental, tetapi bayanganku salah. Piring besar itu terisi hingga tepian, dan nasi tidak ditekan datar, melainkan ditumpuk tinggi, sementara kuah yang kental dan lengket melimpah ruah. Penampilannya sangat mengesankan. 

“Besar, iya ‘kan?” tanya Kikuchi. Aku mengangguk dan menjawab, “Iya.” 

Di tahap ini, aku sudah merasa puas. Ini adalah menu yang tampaknya populer di kalangan mahasiswa yang sedang tumbuh. 

Saat aku bersiap untuk menyerang tumpukan makanan, tiba-tiba aku melihat pemandangan yang aneh. 

“Apa yang sedang kamu lakukan?” 

Nakamura mengarahkan ponselnya ke piring di depannya. 

“Aku mau mengunggahnya di akun Instagram.” 

“Foto makananmu?” 

Instagram adalah aplikasi media sosial yang utamanya digunakan untuk membagikan foto kepada publik... atau begitulah kelihatannya. Yah, aku memang tahu tentang keberadaannya, tapi aku hampir tidak pernah melihatnya. Oh iya, kalau dipikir-pikir, Saki ──. 

“Sipp! Hasilnya cukup bagus!” 

“Cepat makan sebelum dingin. Kuliah sore juga akan segera dimulai.” 

Sementara itu, Kikuchi sudah sibuk menggerakkan sendoknya. Sepertinya cukup pedas, karena ia tampak berkeringat setiap kali menyendokkan makanannya ke dalam mulutnya. 

“Enggak ada salahnya juga, toh enggak membutuhkan waktu lama. Ini cuma kebiasaanku doang.” 

“Jadi, kamu setiap kali mengambil foto?” 

“Kalau lagi jalan-jalan sih, iya. Hal-hal menarik seperti ini ingin dibagikan, kan? Makanan, setelah masuk perut, semuanya sama saja... tapi, kan?” 

“Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk berbicara dalam bahasa Jepang standar.” 

Dialek utama Nakamura berasal dari Kansai, tapi sepertinya ia ingin berbicara dalam bahasa Jepang standar, jadi terkadang dia mencoba meniru cara bicara orang Kanto. Akibatnya, aku merasa dialek Kansainya juga sedikit terganggu. 

“Menyesuaikan diri dengan cara bicara orang lain juga bagian dari komunikasi. Hal-hal menarik seperti ini lebih baik dibagikan daripada dinikmati sendiri. Itu juga bisa menjadi bahan percakapan nanti.” 

“Bahan percakapan nanti...”

Setelah mendengar itu, aku sedikit mengubah cara pandangku terhadap Nakamura. Ketika memikirkan orang-orang yang memiliki kepribadian ceria dan kuat dalam berkomunikasi, yang langsung terlintas di kepalaku adalah teman-teman dari SMA seperti Narasaka-san, Maru, dan Yoshida. Namun, meskipun Nakamura juga termasuk dalam kategori itu, ia adalah tipe yang belum pernah aku temui sebelumnya. 

“Ngomong-ngomong, Yuuta, kamu tidak punya Instagram, ya? Akhir-akhir ini aku tidak banyak menggunakan LINE, jadi agak merepotkan untuk berkomunikasi.” 

“Kamu bisa menggunakan Instagram untuk berkomunikasi?” 

“Iya. Kalau kita saling terhubung, tentunya bisa kan? Aku bisa menghubungi Yuuma lewat situ kapan saja, jadi rasanya lebih mudah.” 

“Oh, Asamu tidak punya Instagram, ya?” 

“Hmm. Sebenarnya... aku punya akun.” 

Itu pun aku baru mengingatnya. 

Tahun lalu, aku pernah menemani Saki pergi ke konser temannya, Melissa. Pada saat itu, Saki bertemu dengan seorang desainer bernama Akihiro Ruka. Karena tertarik, Saki membuat akun untuk melihat ilustrasi dan foto-fotonya yang diposting di Instagram. Pada waktu itu, aku juga membuat akun, meskipun tidak pernah menggunakannya dan membiarkannya begitu saja. 

“Aku punya akun yang tidak pernah digunakan, tapi kalau itu lebih mudah, aku akan memberitahumu nanti.” 

“Makasih. Nah, mari kita makan.” 

Setelah mengatakan itu, Nakamura menyimpan ponselnya dan mulai makan dengan sendok. Porsi beef stroganoff yang banyak langsung berkurang dengan cepat. 

“Yuuta, kamu tidak mau makan?” 

“Eh? Oh, iya. Tentu saja aku akan memakannya.” 

Aku terdiam karena kata-kata Nakamura sebelumnya masih terngiang-ngiang di benakku. 

Aku memasukkan sendok ke dalam piring dan mengambil bagian kuah cokelat yang memenuhi setengah piring. Saat aku memasukkannya ke mulut, aku merasakan sedikit rasa asam di tengah rasa krim yang kaya. Menurut Kikuchi, rasa asam ini berasal dari krim asam. Saat aku mengunyahnya, rasa daging sapi terasa sangat kuat. Dagingnya dipotong tipis sehingga mudah dimakan, dan sangat cocok dengan jamur serta bawang, memberikan kepuasan saat dimakan. Yang terpenting, rasanya enak. 

“Rasanya emang enak.” 

“Iya, ‘kan?”

Kikuchi membalas sambil tersenyum. Aku menyadari bahwa Kikuchi, yang biasanya sedikit murung dan sinis, memiliki ekspresi kekanak-kanakan ketika membicarakan sesuatu yang lezat. 

Selanjutnya, aku membawa nasi ke dalam mulut bersama dengan beef stroganoff. Rasa yang kaya menjadi lebih ringan saat dicampur dengan nasi, dan rasanya juga enak. Aku menelan nasi panas dan beef stroganoff yang juga panas, lalu menghela napas dan minum air dari gelas. Sekarang aku sudah ingin mengambil suapan berikutnya. Tanganku tidak bisa berhenti. 

“Rasanya enak banget. Nanti aku akan menulis pendapatku tentang tempat ini.” Ucap Nakamura. 

“Di Instagram?” 

Ia mengangguk. Begitu rupanya, jadi ia tidak hanya memposting foto tapi juga komentar, ya. 

Kami mengobrol sedikit sambil makan, dan Nakamura memberitahuku bahwa meski dirinya mengunggah foto makanan, tapi ia juga menulis komentar singkat ketika makanan itu enak. Mungkin itu berasal dari keinginannya untuk “berbagi hal-hal menarik dengan orang lain”. Sementara itu, Kikuchi tampaknya memiliki banyak teman yang merupakan rekan bermain game di SNS, dan saat berkomunikasi, dia lebih sering menggunakan aplikasi Discord. 

“Ada banyak juga yang kamu gunakan, ya?” 

“Discord itu praktis. Asamu juga tidak mau mencobanya?” 

Aku bilang akan memikirkan tentang itu. Aku tidak yakin bisa membedakan penggunaan jika terlalu banyak aplikasi. 

“Aku juga punya Instagram sih. Begini kira-kira.”

Kikuchi mengarahkan layar ponselnya ke arahku dan menunjukkan beberapa foto. Banyak dari foto tersebut hanyalah potret pemandangan sehari-hari. Selain itu, ia juga mengunggah foto yang memperlihatkan sekilas wajahnya, seperti “Aku baru potong rambut”, dan sepertinya ia juga mengunggah tentang baju yang dibelinya. Aku mengomentari kalau postingannya itu seperti laporan perkembangan, dan Kikuchi membalas bahwa itu memang salah satu tujuannya. Meskipun ia mengatakan bahwa dirinya tidak menyukai ‘orang-orang yang supel’, tampaknya ia tidak sepenuhnya menyukai kesendirian meskipun dirinya pemalu. 

Mereka berdua aktif berkomentar satu sama lain dan berbicara dengan teman-teman mereka. Kikuchi tersenyum canggung dan mengatakan bahwa dirinya memiliki lebih banyak teman di dunia game dibandingkan di dunia nyata. 

Sambil menghabiskan sisa beef stroganoff, Nakamura berkata, “Kalau kita simpan fotonya, kita bisa melihat kembali kapan saja dan membuat kita berpikir ‘waktu itu rasanya seru’.” 

“Meski ada kemungkinan itu bisa jadi kenangan buruk,” jawabku. 

“Kalau itu yang terjadi, tinggal dihapus saja.” 

Nakamura berbicara dengan santai, tetapi mungkin sikap itu tidak ada dalam diriku. 

“Lebih baik menyesal karena melakukan sesuatu daripada menyesal karena tidak melakukannya.” 

“Itulah sebabnya orang percaya diri sangat sulit dihadapi. Aku sendiri tidak ingin menyesali apapun sejak awal. Lagipula, ada beberapa tindakan yang tidak bisa diperbaiki setelah dilakukan.” 

“Ah, itu memang benar. Tindakan yang dilakukan tanpa kesiapan untuk bertanggung jawab merupakan hal yang terparah. Itu tidak boleh.” 

Bukannya pembicaraan ini sudah melenceng? 

Meskipun topik pembicaraan kami mulai melenceng, tapi kami menyelesaikan makan. Supaya tidak terlambat untuk kuliah sore, kami kembali melalui jalan yang sama. 

 

◇◇◇◇

 

Setelah jam perkuliahan di universitas selesai, aku terhuyung-huyung di dalam kereta menuju Shinjuku. 

Sambil memandang pemandangan luar jendela yang semakin gelap, aku merenungkan percakapan siang tadi. 

Aku teringat tentang Maru. Dirinya juga bercerita bahwa ia lebih sering berdiskusi tentang anime dengan teman-teman online-nya, dan ia mengenal pacarnya, Narasaka-san, melalui media sosial (meskipun waktu itu ia tidak tahu kalau itu Narasaka-san). 

Hal tersebut menyadarkanku kembali bahwa selama ini aku memiliki sikap ‘tidak mengejar yang pergi dan tidak menolak yang datang’, sehingga aku jarang aktif dalam menjalin pertemanan. Bahkan dengan Maru dan Narasaka-san, jika aku kembali ke diriku yang dulu—sewaktu baru masuk SMA—mungkin hubungan kami akan terputus setelah aku masuk universitas. Mereka mungkin teman pertama yang tidak ingin kujauhi setelah lulus. 

Aku menyadari bahwa hubungan dengan orang lain bisa terputus secara tiba-tiba jika kita tidak berusaha untuk menjaganya. Mungkin itulah yang terjadi ketika Saki, yang sebelumnya memanggilku “Asamura-kun” dengan sikap formal, tiba-tiba memanggilku “Nii-san”. 

Aku merasa itu aneh. Biasanya, panggilan ‘Nii-san’ yang seharunya membuat kami lebih dekat sebagai anggota keluarga justru membuatku merasa jarakku dengan Saki semakin jauh. Aku bingung dengan jarak itu dan merasakan kesepian. Dari situ, serangkaian peristiwa yang terjadi membuatku memperoleh posisi yang aneh sebagai kakak sekaligus pacar, dan selanjutnya berusaha untuk tidak hanya menjadi kakak dan adik, tetapi juga sebagai sepasang kekasih. Aku tidak ingin kehilangan jarak yang telah terbentuk itu.

Sekarang aku menyadari bahwa sikapku untuk tidak mengejar mereka yang pergi adalah kebiasaan yang kumiliki setelah ibu kandungku meninggalkan rumah. Ini adalah keseimbangan untuk tidak memiliki harapan yang berlebihan terhadap hubungan dengan orang lain. Jika tidak berharap, maka tidak akan ada kekecewaan. 

Di masa lalu, aku pernah mendapatkan kritik tajam tentang sikap ini dari seseorang. 

── Jika kamu benar-benar datar, mana mungkin kamu akan berbisik dalam hati bahwa “Aku tidak berharap pada wanita”. Menekankan hal itu justru menunjukkan bahwa pada titik itu, kamu sudah tidak datar lagi. Itulah cerminan dari kesadaran dan ketidakpastian. … Begitulah perkataan dari Fujinami-san. 

Sekarang, aku merasa berharap pada Saki. 

Kupikir Saki juga memiliki harapan terhadapku. Aku ingin memenuhi harapan itu. 

Aku ingin menghargai hubunganku dengan orang lain. Bukan secara tidak sadar, tetapi dengan kesadaran, orang pertama yang membuatku memiliki perasaan seperti itu adalah Saki. Namun selama masa SMA, aku perlahan-lahan mengembangkan perasaan itu. Sekarang, aku merasa lebih menghargai hubunganku dengan lebih banyak orang. 

Pemandangan berwarna merah tua melintas di luar jendela gerbong kereta. 

Kereta terus melaju ke depan, melemparkan pemandangan kota melalui jendela ke langit yang gelap nan muram di belakang, ke masa lalu. Pemandangan yang berlalu dengan cepat itu seperti kenangan sehari-hari. Pemandangan yang dapat diingat sangat sedikit, sementara sisanya menghilang dalam kegelapan. 

Jika kita tidak ingin kenangan itu menghilang, kita perlu berusaha untuk menjaganya. Sama seperti Nakamura yang mengunggah foto makanan di Instagramnya. 

“Tidak butuh waktu lama untuk melakukan ini. Ini cuma kebiasaanku doang.” 

Benar, yang penting bukanlah upaya besar maupun waktu yang lama, melainkan sikap kecil yang bisa dijadikan kebiasaan. 

Kikuchi yang memposting selfie setelah membeli pakaian yang cocok juga melakukan hal yang sama. Ia menetapkan sedikit kebiasaan untuk dirinya sendiri agar tidak kehilangan hal-hal yang penting baginya. Aku merasa terkejut ketika menyadari hal tersebut. 

Aku sempat berpikir bahwa sesuatu yang baru pasti akan dimulai ketika lingkungan dan kehidupanku berubah. 

Bukannya aku pernah berpikir bahwa hal-hal baru akan mendatangiku? 

“Apa aku sudah melakukan sesuatu yang baru?”

Sambil bersandar di dinding dekat pintu, aku bergumam pada diriku sendiri. Di dalam kereta pulang menuju pusat kota, jumlah penumpang sedikit dan gumamanku hilang tertelan oleh deru roda dan getaran. 

Aku tidak bergabung dengan klub mana pun, dan pekerjaan paruh waktuku masih di toko buku yang sama seperti sebelumnya. Walaupun hubunganku dengan Saki maju satu langkah tepat sebelum kehidupan baru dimulai, tapi saat aku melihat kembali satu bulan ini, bukannya aku cuma mengulangi kehidupan sehari-hariku yang biasa? 

Aku diliputi perasaan bahwa cuma aku satu-satunya yang tidak memperluas duniaku. 

Padahal Saki sudah memulai pekerjaan barunya. 

Ngomong-ngomong tentang itu... 

Aku mengeluarkan ponsel dari saku dan mencari aplikasi Instagram. Karena tidak terbiasa, aku bahkan tidak ingat ikonnya, jadi aku kesulitan menemukannya hingga akhirnya berhasil dibuka. Aku sendiri tidak pernah memperbarui akunku, tetapi Saki—aku mengetuk akunnya. Layar berganti dan thumbnail muncul dalam tiga kolom yang tidak muat dalam satu layar. 

“Banyak juga... ya. Kapan ini semua terjadi?” 

Aku mengetuk layar untuk menggulir ke atas, tetapi barisan thumbnail tidak kunjung berhenti. Saki mulai menggunakan Instagram sejak musim gugur tahun lalu. Sejak saat itu, dia mulai memposting secara tidak menentu, tapi sepertinya jumlahnya meningkat pesat setelah dia mulai kuliah. 

Tidak, bukan sepertinya lagi. Aku menyadarinya ketika melihat foto bunga sakura. Foto-foto di sana berasal dari musim semi ini. 

Aku menggulir kembali... dan terkejut melihat jumlah foto yang begitu banyak. Pemandangan yang tampaknya diambil di kampus universitasnya, selfie dengan dua wanita yang tampak seperti temannya (wanita dengan rambut oranye abu-abu yang aktif dan wanita yang terlihat lebih kalem). Ada banyak foto aksesori dan barang-barang modis yang baru dibelinya juga. 

Foto makanan yang standar juga diposting seperti biasa. Makanan di luar dan masakan buatan sendiri disusun bergantian, yang sangat menunjukkan sifat Saki. Masakan buatan sendiri sering kali berupa hidangan pembuka bergaya Eropa yang dihias cantik. Meskipun terdengar baik jika disebut hidangan pembuka, sebenarnya itu cuma makanan ringan yang dibuat untuk ayahku. Makanan seperti cracker dengan keju, ditambah paprika berwarna-warni yang dipotong kecil-kecil dan buah, terlihat cerah dan meriah. Hidangan itu tampaknya bisa disajikan di bar tempat ibu tiri Akiko-san bekerja. Mungkin saja ini justru resep langsung dari sana. 

Dan banyak foto makanan penutup. Di bagian akhir, ada scone yang tampaknya baru dipanggang dan teh. Di samping toples gula, terdapat selai blueberry dan krim putih. Ah, ini pasti dari kafe terkenal di dalam department store Ginza yang terkenal dengan scone-nya. Scone yang besar dan krim kentalnya sangat lezat, dan dia pernah menjelaskan sambil menunjukkan foto ini. Saat itu, dia juga mengatakan ingin merasakan afternoon tea bergaya Inggris suatu saat nanti.

Mungkin itu sekitar dua minggu yang lalu. Alasanku masih mengingatnya karena aku pernah mencarinya dan berpikir itu bisa menjadi tempat untuk berkencan. Namun, ternyata, setelah mencarinya lebih detail, menu afternoon tea di restoran harganya minimal 4000* yen. Di tempat yang lebih mahal, harganya bahkan bisa mencapai 8000* yen, yang jelas-jelas bukan sesuatu yang bisa dinikmati mahasiswa begitu saja. (TN: Sekitar 430k dan 870k rupiah)   

Meskipun begitu, foto-foto terbaru yang kulihat semuanya merupakan sesuatu yang belum pernah kulihat. Aku menghela napas dalam hati. Layar ponselku dipenuhi berbagai hal tentang keseharian Saki yang tak kuketahui. Selama SMA, kita memiliki lingkungan kehidupan yang tumpang tindih, jadi aku tidak menyangka ada begitu banyak perbedaan antara dunia yang dia lihat dengan dunia yang kulihat. 

Meskipun kita bertemu langsung dan mengobrol hampir setiap hari, , rasanya semakin banyak hal yang tidak kuketahui tentangnya setiap harinya. Bahkan saat kami mengobrol ketika sedang makan malam, dia terkadang tampak lelah dan menjawab setengah hati. Sepertinya dia juga tidak sepenuhnya hadir dalam percakapan. 

Kehidupan sehari-hari Saki yang tidak kuketahui—begitulah yang kurasakan. 

Kereta mulai melambat. 

Pengumuman mengumumkan kedatangan di stasiun Shinjuku baru. Di sini, aku harus pindah kereta. Saat aku turun dari gerbong yang berhenti, aku melihat langit timur di belakang sudah gelap. Rasanya seperti hari ini telah ditelan oleh kegelapan tanpa jejak. 

 

◇◇◇◇

 

Ada sesuatu yang disebut bumbu dasar untuk nasi campur.  Kita mungkin sering melihatnya dengan paket siap saji, tapi jika mengunjungi supermarket atau toko obat, kita juga bisa menemukan paket plastik berisi sayuran musiman (seperti rebung atau sayuran liar) yang direndam dalam kaldu. 

Ini sangat praktis. Cukup masukkan ke dalam penanak bersama nasi, dan terlihat lebih mewah dibandingkan meja makan yang hanya berisi nasi putih. 

Itulah sebabnya, karena makan malam hari ini menjadi tanggung jawabku, bumbu nasi rebung rasanya sangat berguna. Musim rebung biasanya dimulai dari Maret hingga Mei, jadi aku harus menikmatinya sebelum musimnya berakhir. 

Suara buatan dari penanak nasi memberi tahu bahwa nasi sudah matang, dan setelah mempertimbangkan waktu pengukusan, aku membuka tutupnya. Uap yang naik bersama aroma rebung yang kaya kaldu menyelimuti wajahku. Perutku sudah mulai lapar, dan tiba-tiba perutku langsung keroncongan. 

“Yup. Nasinya matang dengan baik. Mau aku menyajikannya?”

Aku mengangkat pandangan dan memanggil Saki yang sedang bekerja di ruang tamu. Saki tampak serius membuka buku teks universitas dan mencatat di buku catatannya. Mungkin dia sedang belajar atau mengulang pelajaran sambil menunggu makan. 

“Ya. Aku akan makan. Aku akan membantu membawanya.” 

“Terima kasih.” 

Aku menyusun hidangan yang sudah jadi di meja makan. Ada nasi rebung, sup miso (belakangan ini aku membuatnya sendiri, bukan yang kering beku atau dalam cangkir. Tentu saja, jika tidak ada waktu, aku menggunakan yang lain), salad dengan tahu yang dipotong dadu, dan satu hidangan lagi yaitu natto. 

“Paket natto untuk satu orang itu praktis, ya. ... Rasa plum?” 

“Karena kelihatannya menarik, jadi aku coba untuk membelinya.” 

“Hee, begitu.” 

Natto yang biasanya kami konsumsi adalah yang biasa-biasa saja, tetapi kali ini aku yang bertugas belanja, jadi aku melihat berbagai pilihan di supermarket yang tidak biasa kami sajikan di meja makan. Dari hal kecil seperti ini, aku berusaha untuk keluar dari kebiasaan “selalu”. Meskipun usaha ini terasa sangat kecil. 

Aku menempelkan tangan dan mengucapkan “itadakimasu”. 

Makan malam hari ini agak lebih awal dari biasanya, dan biasanya aku menunggu ayahku pulang. Namun, malam ini ayah memberitahu bahwa dia akan makan bersama ibu tiri Akiko-san sebelum pulang (Sepertinya hari ini merupakan hari libur ibu tiri Akiko-san setelah sekian lama). Jadi, aku memutuskan untuk makan dulu. Karena makan terlalu larut malam tidak baik untuk kesehatan. 

Topik pembicaraan selama makan hanyalah laporan tentang kehidupan sehari-hari kami berdua dan sedikit komentar tentang berita yang menghebohkan. Hal-hal kecil seperti itu memang wajar, karena kehidupan sehari-hari orang biasa tidak dipenuhi dengan peristiwa dramatis seperti di film. Namun, jika ditanya apakah pembicaraan kecil itu membosankan, setidaknya bagiku, tidak demikian. Jika ingin mengetahui peristiwa dramatis, cukup membaca buku. Tapi, tak peduli seberapa banyak novel yang kubaca, tidak ada yang menuliskan tentang Saki, wanita yang ada di hadapanku. Dan kepribadian seseorang bisa seaneh dan semenarik sebuah karya sastra yang hebat. 

Jika ada film yang hanya mengamati kehidupan sehari-hari Saki, aku pasti akan menontonnya tanpa merasa bosan. Jika itu orang yang tidak kupedulikan, mungkin tidak masalah, tetapi bagi seseorang yang kusukai, setiap gerakannya bisa mengguncang emosiku. Hmm, tapi mungkin pemikiran ini terdengar sedikit seperti seorang penguntit dan agak menakutkan. 

“Kamu mendengarkanku?” 

“Eh, oh, tentu saja.” 

“Kamu terlihat melamun. Apa mungkin kamu kelelahan?” 

“Aku baik-baik saja. Aku cuma sedang mengingat sesuatu.”

Sambil meminta maaf karena menjawab dengan setengah hati, aku mulai bercerita tentang saat aku pergi makan siang di luar sebagai permintaan maaf. Aku pergi makan dengan teman-teman baru di restoran bergaya barat dekat stasiun terdekat universitas. Aku bercerita tentang betapa enaknya beef stroganoff yang kumakan di sana. 

Sambil bercerita, aku mengeluarkan ponselku. 

“Ngomong-ngomong, aku mengambil foto itu.” 

“Eh?” 

Entah mengapa Saki tampak terkejut. Aku membuka aplikasi Instagramku dan berpindah ke akun Nakamura. Foto yang diambil Nakamura muncul di layar. 

“Lihat ini.” 

“Eh? ... Siapa orang ini?” 

Dia sepertinya menyadari bahwa itu bukan akunku dan bertanya begitu. 

“Dialah Nakamura. Salah satu teman baru yang pernah kuceritakan sebelumnya. Sepertinya ia mempunyai kebiasaan mengambil foto makanannya. Lihat, ini beef stroganoff.” 

“Aku tahu itu beef stroganoff, tetapi, eh, jadi kamu sendiri tidak mengambil fotonya, Yuuta?” 

“Aku juga berpikir untuk melakukannya, tapi saat itu aku sudah memakan setengah hidangannya. Lagipula, aku tidak terbiasa mengambil foto makanan juga.” 

“Pastinya. Aku sedikit terkejut.” 

Begitu rupanya, jadi dia terkejut karena berpikir kalau aku memposting foto makanan di Instagram. 

... Jangan-jangan dia berpikir kalau aku bukan tipe orang yang melakukan hal semacam itu jadi itulah sebabnya dia terkejut? 

“Ngomong-ngomong, Saki, kamu sekarang cukup sering memposting foto seperti ini di Instagram, ‘kan?” 

“Ya. Sedikit-sedikit. Aku sedang berusaha sebaik mungkin.” 

Apa maksudnya berusaha sebaik mungkin? 

Aku merenungkannya dalam hati, tetapi untuk saat ini, aku akan melanjutkan pembicaraan dan menunjukkan foto Nakamura lagi. 

“Porsinya cukup besar. Cuma memakan ini saja sudah membuat perut kenyang.” 

Saki yang sebelumnya diam-diam menatap foto itu tiba-tiba berkata. 

“... Sayangnya, aku tidak bisa tahu seberapa besar ukurannya kalau cuma melihatnya dari foto saja.” 

“Eh, masa?” 

Aku membalik ponselku untuk memastikan apa yang dikatakan Saki. ...Jadi dia tidak bisa mengiranya, ya? 

“Ukurannya kira-kira segini.” 

Sambil berkata demikian, aku membuat lingkaran dengan jari untuk menunjukkan ukuran piring. 

“Yang itu.” 

“Yang mana?” 

“Ukuran yang kamu buat dengan jarimu kelihatan lebih besar dari ponsel, iya ‘kan? Itulah sebabnya aku tidak bisa mengetahuinya kalau hanya melihat dari foto saja.” 

Ah... 

Aku kembali melihat layar ponselku untuk memastikannya. 

“Tapi, piring ini memang benar-benar besar. Oh, aku hanya berpikir begitu karena aku melihatnya secara langsung dan tahu ukuran piringnya... Mungkin itulah yang terjadi.” 

Saki mengangguk. 

“Apa kamu bisa menjelaskannya lebih detail?” 

“Umm jadi begini. Aku tahu kalau porsinya besar karena isinya penuh sampai ke tepian. Tapi, seperti yang kamu bilagn tadi, aku juga tidak tahu ukuran piringnya yang sebenarnya dan seberapa tinggi nasi itu.” 

Ah, begitu rupanya. 

“Jadi, bagusnya gimana?” 

“Aku kesulitan mengetahui skalanya karena tidak ada objek perbandingan. Karena fotonya hanya memperlihatkan piring saja di sini. Setidaknya jika ada sendok yang juga terlihat, itu bisa membantu. Sendok, atau gelas, atau mungkin hidangan lain yang ada di meja. Beef stroganoff ini dagingnya dipotong kecil, dan bahan-bahannya juga tenggelam dalam saus, jadi sulit untuk menilai ukurannya. Seandainya ada satu potong jamur yang terlihat jelas. Mungkin hanya bisa menilai ukuran dari butiran nasi.” 

“Dari butiran nasi...?” 

Emangnya kamu Sherlock Holmes, ya? 

“Selain itu, jika bisa, lebih baik foto diambil dari sudut sedikit miring, bukan dari atas. Dengan begitu, tinggi nasinya bisa terlihat lebih jelas. Kita tidak benar-benar tahu seberapa tinggi nasinya karena difoto dari atas.” 

“O-Ohh.” 

“Ah, maaf. Aku tidak bermaksud mengkritik kok. Begini, baru-baru ini aku sedikit memperhatikan hal-hal seperti itu saat mengambil foto, jadi aku tidak bisa menahan diri buat mengomentari....”

Saki tampak malu seolah-olah merasa telah berbicara terlalu banyak. 

“Eh. Jadi, foto-foto yang Saki unggah itu...?”

Aku dengan cepat beralih dari akun Nakamura ke akun Instagram Saki. Sambil mengingat apa yang dikatakan, aku mulai melihat foto-fotonya. 

“Eh tunggu! Itu memalukan!” 

“Hmm. Jadi, misalnya foto kue ini, apa kamu juga memikirkan hal-hal seperti itu saat mengambilnya?” 

Aku meletakkan ponselku di atas meja dan menunjuk foto cheesecake yang diambil Saki. 

“Ini? Hmm, cheesecake itu berwarna putih, iya ‘kam?” 

“Ya, benar.” 

Meskipun tidak sepenuhnya putih, tapi ya tetap saja, putih. 

“Jadi, aku berusaha agar tidak membuat bayangan di atas kue. Jika terlihat hitam, tampilannya jadi kurang enak dilihat. Selain itu, bagian bawah cheesecake itu mirip dengan kue kering, kan?”

“Ah...” 

Aku sudah mengerti tanpa diajari. Jika diambil dari atas, bagian bawah kue kering tidak akan terlihat. Itulah sebabnya dia mengambilnya dari sudut miring. 

“Selain itu, keindahan potongan melintangnya, dan seperti yang kukatakan sebelumnya, kesan skalanya. Aku meletakkan sendok di samping piring sebelum mengambil foto. Aku juga sengaja meletakkan gelas berisi air di latar belakang yang kabur. Tentu saja, jika kelebihan kue itu berada di tempat lain, aku akan melakukan hal lain agar itu terlihat.”

“Ohhh...” 

Kupikir dia hanya iseng mengambil foto dan mengunggahnya.... 

Saki kelihatan agak malu-malu dan kemudian dia berkata, “Aku mulai bekerja di kantor Akihiro-san, ‘kan?”. Lalu dia memberitahuku alasan mengapa dia mulai aktif menggunakan Instagram karena sepertinya semua desainer menggunakan Instagram dengan baik. 

Selain itu, dia mengatakan bahwa para desainer seniornya telah memberinya banyak nasihat, jadi akhir-akhir ini dia terbiasa memikirkan foto-foto yang telah diambilnya, meskipun sebelumnya dia hanya mengambilnya secara sembarangan. 

Aku merasa sedikit terkejut. 

Perusahaan tempat Saki magang adalah biro desain. Memang, jika orang-orang bekerja di perusahaan seperti itu, mereka pasti akan berpikir tentang sesuatu saat mengambil foto, tidak peduli seberapa sederhananya itu. Namun, apa kesadaran itu bisa berubah sedemikian rupa...? 

“Mereka selalu mengingatkanku untuk memikirkan bagaimana orang lain melihatnya,” katanya. 

“Begitu ya.” 

“Aku menyadari ini mirip dengan saat aku bekerja di toko buku.” 

“Mirip?” 

“Di toko buku, Yuuta sering mengatakan bahwa saat menyusun buku, kamu memikirkan bagaimana tampilannya bagi pelanggan.” 

Ah, begitu rupanya. 

“Akun Instagramku tidak dilihat oleh banyak orang, tetapi saat mengambil foto, pasti ada bagian yang ingin ditonjolkan, ‘kan? Misalnya seperti, ‘ini lucu’ atau ‘indahnya’. Namun, ketika aku mengambil bagian yang kuanggap bagus, rasanya tidak selalu berarti itu akan tersampaikan kepada orang lain.” 

“Aku juga memahami perasaan itu. Bukan berarti orang-orang bisa menemukan buku hanya dengan menyusunnya saja.” 

Hanya karena kita menemukan keindahan, bukan berarti orang lain akan segera menyadarinya. Manusia memiliki prasangka, dan prasangka itu berbeda-beda untuk setiap orang, jadi meskipun melihat hal yang sama, belum tentu itu selalu diterima dengan cara yang sama. 

“Benar, iya, ‘kan? Jadi, aku berpikir untuk membiasakan diri supaya bagian yang ingin kusampaikan dapat tersampaikan dengan baik.” 

Ekspresi Saki saat mengatakan itu menunjukkan sekilas emosi yang mirip seperti anak kecil yang sedang asyik dan kegirangan dengan mainan baru.

Hal itu merupakan sesuatu yang menggembirakan, mengingat dia selalu memiliki ekspresi dan sikap yang agak dingin selama SMA, dan hanya bisa menggambarkan dirinya sebagai ‘bersenjata’ seorang wanita yang bersedia berjuang bahkan jika itu berarti menjadikan dunia sebagai musuhnya. Sebagai kakak dan juga pacarnya, aku ingin mendukungnya. Melihat ekspresinya yang begitu terasa menghangatkan hatiku. 

Namun. 

Jauh di dalam lubuk hatiku, muncul sedikit rasa iri terhadap Saki. 

“Ah, tapi bagian enak dari beef stroganoff sudah tersampaikan kok. Yang tidak tersampaikan adalah soal ukurannya. Jika yang ingin disampaikan adalah ‘enak’, maka ini sudah cukup...” 

Dia mungkin teringat bahwa ia adalah teman baruku di universitas. Saki segera memuji foto di Instagram, tetapi aku merasa dia tidak perlu terlalu khawatir. Saki tidak bermaksud mencari-cari kesalahan, mungkin karena dia terbiasa berpikir seperti itu, sehingga kata-katanya terucap begitu saja. Tidak apa-apa, aku mengerti itu dengan baik. 

“Ya, enak.” 

Setelah mengatakannya, aku tiba-tiba berpikir. 

“Kalau dipikir-pikir, semur daging sapi dan beef stroganoff itu mirip, ya? Menurutmu apa bedanya?” 

Kupikir Saki yang pandai memasak dan sangat menyukai semur daging sapi pasti tahu perbedaannya. Saki segera menjawab pertanyaanku. 

“Kurasa perbedaannya ada pada cara memotong daging dan bumbu yang digunakannya, mungkin.” 

Setelah mengatakan itu, dia menjelaskan lebih rinci. 

“Semur daging sapi adalah masakan Prancis di mana daging dimasak utuh hingga empuk. Beef stroganoff adalah masakan Rusia di mana daging dipotong tipis. Jika dipotong kecil dan ditumis terlebih dahulu, waktu memasaknya bisa lebih singkat.” 

“Ah, jadi dari situ saja sudah berbeda.” 

“Bumbunya juga berbeda. Semur daging sapi menggunakan saus domi-glace.” 

“Domi...? Bukan demi-glace?” 

“Kedua-duanya sama kok. ‘Demi’ dalam bahasa Prancis berarti setengah, tetapi... jika diucapkan dengan benar dalam bahasa Prancis, seharusnya terdengar seperti ‘dumi’. Jadi, bagi orang Jepang, baik ‘domi’ maupun ‘demi’ keduanya benar.” 

“Ah, kata demi yang sama dari demi-human, ya.” 

Saki memiringkan kepalanya dengan kebingungan. 

“Ah, bukan apa-apa, lupakan saja. Itu topik lain.” 

Demi-human adalah istilah yang sering digunakan dalam cerita untuk menggambarkan makhluk yang hanya setengah manusia. Biasanya digunakan dalam genre fiksi ilmiah atau fantasi. Kadang diterjemahkan sebagai sub-manusia. 

“Aku tidak begitu paham, tapi mungkin begitu. Saus yang dimasak hingga setengah. Sementara itu, beef stroganoff menggunakan bumbu krim asam.” 

“Itukah yang dikatakan Kikuchi juga. Ia bilang kalau rasa asamnya berasal dari krim asam.” 

Saki sekali lagi mengangguk. 

“Meski masih ada beberapa perbedaan kecil lainnya, tapi itu saja untuk saat ini.” 

“Ngomong-ngomong, semur daging yang kita makan di restoran sebelumnya tidak terasa asam.” 

“Benar, kan?” 

“Yah, bagaimanapun juga, sulit untuk menciptakan kembali cita rasa restoran di rumah,” imbuh Saki, seolah-olah dia pernah mendengar hal itu di tempat lain sebelumnya. 

“Mungkin kita bisa mengetahuinya jika kita membuat keduanya dan mencobanya.”

Setelah menjadi kenangan, rasa tiba-tiba menjadi kabur. Aku merasa seperti tidak akan pernah menjadi koki atau penikmat kuliner. 

“Mungkin aku juga belum benar-benar mencoba beef stroganoff.” 

“Kalau begitu, aku bisa mencoba membuatnya.” 

“Ya, kurasa mungkin itu patut dicoba. Karena itu dikenal sebagai masakan rumahan. Seharusnya tidak terlalu sulit. Jika ada kesempatan, aku juga ingin mencoba membuatnya.” 

Sudah kuduga, jika ada pertanyaan, sebaiknya langsung dipraktekkan. Aku sendiri tidak terlalu suka memasak, dan bukan tipe yang harus memasak sendiri, tetapi keterampilan memasak itu tidak ada salahnya untuk dipelajari. 

Saat kami makan malam sambil mengobrol seperti itu, Saki tiba-tiba berkata ketika cangkir teh kami hampir kosong. 

“Ngomong-ngomong, Yuuta—” 

Hmm? Aku mengangkat wajahku tanpa berpikir. 

“Bagaimana menurutmu tentang ‘papa katsu’?” 

Sesaat, aku masih belum menelaah perkataannya. Dan begitu aku mulai menyadari maksud ucapannya, aku ingin memuji diriku sendiri karena tidak menyemburkan sup miso yang sedang aku seruput. 

Eh, maksudnya apa? Apakah Saki menyadari keterkejutan aku atau tidak, dia melanjutkan dengan ekspresi yang tampak berpikir keras. 

“Apa benar ada orang yang mau membayar 10.000 yen atau 20.000 yen hanya untuk berbicara dengan seorang gadis?” (TN: Sekitar 1,1 juta atau 2,2 juta rupiah)

Aku mengamati ekspresinya dengan hati-hati. 

Aku pernah melihat ekspresi ini sebelumnya. Saat itu, ketika dia tidak bisa memahami psikologi karakter dalam soal pemahaman bacaan bahasa Jepang. Ekspresinya sangat mirip. Artinya, Saki serius. Kalau begitu, aku juga harus memberikan jawaban yang tepat. 

Namun, ehm... ‘papa katsu’? Aku sendiri pun tidak mengerti dunia itu. 

“Aku ingin memastikannya dulu.” 

Untuk menghindari kesalahpahaman, penting untuk berbagi pemahaman. Jika definisi katanya berbeda, percakapan yang baik tidak akan terjalin. 

“Memastikan apa?” 

“Apa ‘papa katsu’ yang kamu maksud itu ‘papa katsu’ yang begituan?” 

“Memangnya ada banyak jenis ‘papa katsu’’?” 

“Tidak, maksudku, seperti aktivitas paparazzi, atau semacam itu. Atau mungkin aktivitas film yang disebut papa-katsu, ‘kan?” 

Dia memandangku dengan tatapan aneh. Tunggu. Kenapa aku yang harus diberi tatapan seperti ‘apa sih yang kamu bicarakan’

“Kurasa bukan begitu maksudnya.” 

“Sudah kuduga.” 

Jadi, maksudnya yang begituan, ya. Sebuah kegiatan bantuan yang didasarkan pada kesepakatan antara wanita muda yang ingin mendapatkan dukungan finansial dan pria yang ingin mendukung wanita tersebut. ... Jika dilihat dari penjelasan ini saja rasanya mirip dengan karya terkenal Jean Webster, ‘Daddy-Long-Legs’. Aku pernah membaca bukunya sewaktu kecil dulu, jadi ingatanku agak kabur. 

Tapi, bukan topik semacam itulah yang sedang dibahas sekarang. 

“Kurasa semuanya tergantung pada alasan membayar.” 

“Alasan membayar?” 

“Menurutku itu tergantung seberapa besar kamu bersedia membayar dan untuk apa ...” 

“Ehm, mungkin cuma demi berbicara dengan gadis?” 

Kedengarannya itu aktivitas ‘papa katsu’ yang cukup ceria dan santai.

Baiklah, untuk sementara aku bisa menganggap kalau dia tidak membicarakan tentang papa katsu yang gelap. Jika itu memang versi yang lebih ringan, maka ini menjadi lebih mudah untuk dipahami. Intinya, apa seseorang bersedia membayar sejumlah uang hanya untuk berbicara dengan seorang wanita. 

“Kalau memang cuma begitu... kurasa itu tergantung pada isi percakapannya.” 

“Isi percakapan...” 

Setelah melihat Saki yang berpikir keras, aku menuangkan daun teh dan air panas ke dalam teko. Aku memastikan apakah dia ingin minum teh sebelum menuangkan teh ke dalam cangkirnya. Cangkir Saki kecil dengan pola bunga sakura, sementara cangkirku hari ini adalah yang biasa digunakan di restoran sushi yang didapat ayahku dari tempat kerjanya. Ada nama ikan yang ditulis dengan huruf kaligrafi sebagai pola. Cangkirku terlalu besar, sehingga tidak mungkin untuk menuangkan teh sampai penuh. Namun, karena ini hanya untuk menghabiskan waktu, jadi cuma sedikit saja sudah cukup. 

“Ehm, jadi begini. Jika seseorang ingin membayar untuk berbicara, itu berarti isi percakapan itu harus bernilai, atau percakapan itu sendiri memiliki nilai, bukan?” 

Saki kini mendongak sedikit ke atas dan menatap langit-langit sambil berpikir. 

“Isi percakapannya... maksudnya, apa itu berarti mereka mau membayar jika informasi yang diberikan sebanding dengan uang yang dibayar?” 

“Benar. Tapi itu tidak terbatas pada ‘informasi’ saja.” 

Kedengarannya seperti kegiatan mata-mata industri. 

“Misalnya, seandainya saja mereka sedang mengembangkan produk untuk wanita muda dan ingin mendengar pendapat mereka.” 

“Kurasa mereka tidak akan membayar sampai 20.000 yen segala...” 

“Nilai itu bersifat relatif. Jika bagi seseorang jumlah itu terasa sedikit, mungkin mereka akan membayar. Seperti sultan minyak, misalnya.” 

Itu memang contoh yang agak ekstrem. Selain itu, sultan minyak mana mungkin berjalan-jalan di sekitaran sini. 

Mungkin saja. Kurasa tidak ada. Tapi jika beneran ada miliarder yang sedang merayu gadis-gadis di Shibuya, aku akan minta maaf. 

“Jadi maksudmu, orang-orang mungkin bersedia membayar 20.000 yen jika isi percakapan memang seberharga begitu, ‘kan? Jadi begitu rupanya. Jika itu informasi yang berharga, aku bisa mengerti jika mereka membayar. Lalu, bagaimana dengan sisi di mana percakapan itu sendiri memiliki nilai?” 

“Dalam hal ini, apa yang dibicarakan bukanlah masalah, melainkan apa mereka merasakan nilai dalam komunikasi itu sendiri.” 

“Apa mengobrol bisa begitu menyenangkan?” 

Memang benar kalau Saki bukan tipe orang yang menganggap hal itu berharga. Namun— 

“Aku merasa senang berbicara dengan Saki seperti ini.” 

“Jadi, apa kamu mau membayarku 20.000 yen?” 

Ketika dibilang begitu, aku terdiam sejenak dan tidak bisa menjawab. Aku tak tahu apakah itu hal yang baik, atau buruk bagi seorang kekasih. 

“Tapi bagaimana kalau Saki sedang di luar negeri atau semacamnya dan kita tak bisa bertemu selama berbulan-bulan? Kalau begitu, yah...” 

“Aku tidak akan pergi, kok?” 

“Ini cuma perumpamaan saja. Kalau aku bisa berbicara dan mendengar suaramu untuk pertama kalinya setelah enam bulan, kurasa aku akan dengan senang hati membayarnya jika biaya telepon internasionalnya 20.000 yen...” 

“Kalau begitu... aku juga mungkin akan begitu.”

Meskipun aku sendiri yang mengatakan ini, tapi  mungkin itu bukan yang disebut papa-katsu. 

“Kembali ke topik pembicaraan tadi, jika seseorang merasakan nilai dalam percakapan itu sendiri dan tidak merasa jumlah uang itu terlalu tinggi, mereka pasti akan membayar.” 

“Memangnya berbicara dengan seorang gadis muda benar-benar menyenangkan dan berharga bagi seorang pria?”

“Sepertinya akan merepotkan jika harus berhati-hati memilih kata-kata saat berbicara.” 

“Jadi maksudnya itu tidak menyenangkan?” 

Dia tampak terkejut, tapi mungkin begitulah yang kurasakan. 

Semakin banyak perbedaan dengan lawan bicara, semakin hati-hati seseorang dalam berbicara. Jika aku seorang pria dewasa yang lebih tua dan lawan bicaraku adalah seorang mahasiswi yang lebih muda, aku pasti akan merasa lebih lelah saat berbicara. Karena ada terlalu banyak perbedaan. Dalam cerita yang bertema kontak pertama dengan makhluk asing atau alien, selalu ada banyak perhatian yang diperlukan. Jika harus mengubah diri hingga hampir kehilangan kemanusiaan demi memahami lawan bicara, dan tidak bisa berkomunikasi tanpa melakukannya, mau tak mau merasa bahwa biaya yang harus dibayar terlalu besar. Tidak, mungkin itu bukan bagian yang tepat untuk menangis dalam cerita ... Namun, pada dasarnya, saling memperhatikan dan menikmati percakapan adalah esensi dari komunikasi, dan jika hanya satu pihak yang merasa nyaman, maka itu tidak bisa disebut percakapan dalam arti yang sebenarnya. 

Namun, jika kita ingin memaksakan agar terlihat seperti percakapan— 

“Mungkin aku harus membayar dengan niatan aku akan berbicara tanpa merasa harus mempertimbangkan perasaan orang lain dan berharap lawan bicaraku tidak marah.” 

“‘Aku memang berbicara kasar, tapi tolong maafkan aku ya’... hal itu sendiri sudah terdengar tidak sopan. Maksudku, aku bahkan tidak ingin dibayar jika lawan bicaraku orang yang seperti itu.” 

Saki pasti setuju. Karena dia tidak menyukai hal semacam itu, itulah sebabnya dia memakai ‘persenjataan’ demi melindungi diri.

Setelah memikirkan sejauh itu, aku akhirnya mengerti jawaban sebelumnya. Uang seharusnya tidak boleh terlibat dalam percakapan yang menyenangkan dengan keluarga dan teman. Yang harus diberikan adalah perhatian, bukan “maafkan ketidaksopananku karena aku sudah mencari nafkah”. Hal semacam itu tidak berlaku dalam lingkungan keluarga, terutama di zaman modern. Tindakan itu justru bisa merusak keluarga. Aku sudah mengetahuinya. Apa yang terjadi antara ibu kandungku dan ayahku adalah contoh nyata dari hal itu. Dan sekarang, ketika ibu tiri Akiko-san bisa mendapatkan hari libur setelah sekian lama, ayahku memutuskan untuk pulang lebih awal dari kerja dan berusaha mengajak Akiko-san makan malam. 

Sudah hampir dua tahun sejak pernikahan kedua mereka. Dari sudut pandang anak, mereka adalah pasangan yang harmonis, tetapi itu karena mereka berusaha untuk saling memahami berdasarkan pengalaman masa lalu mereka. Tentu saja, sebagai anak, aku tidak keberatan untuk membantu. Mungkin rasanya akan berbeda jika aku masih SD, tetapi baik aku maupun Saki sudah mahasiswa sekarang. Aku tidak akan merasa kesal hanya karena orang tuaku tidak ada di meja makan karena berkencan. 

“Bagaimanapun juga, aku tidak bisa memahami perasaan 'menyenangkan berbicara dengan gadis muda'. Mungkin karena perbedaan usia membuatku tidak bisa membayangkannya, tetapi dalam kasusku, aku juga memiliki toleransi yang tinggi terhadap kesepian.” 

“Apa itu berarti kamu merasa tidak masalah buat sendirian?” 

Aku mengangguk. 

Aku bisa menghabiskan waktu sepuasku dengan membaca buku, dan aku tidak pernah merasa butuh seseorang untuk mengisi kesepianku. Jika aku sangat menginginkannya, aku pasti akan berusaha untuk mencari pacar saat SMA. Meskipun memiliki inisiatif tidak selalu menjamin bisa mendapatkannya. Kalau dipikir-pikir lagi, hubungan pertemananku dengan Maru juga merupakan hasil dari serangkaian kebetulan. 

Intinya, bagi orang sepertiku yang bahkan tidak keberatan memiliki satu teman dekat seperti Maru hingga musim panas kelas 2 SMA, sulit untuk memahami perasaan orang-orang yang ingin memiliki lawan bicara karena merasa kesepian. 

“Percakapan menjadi menyenangkan karena Saki yang menjadi lawan bicaranya, bukan karena kamu gadis muda, setidaknya begitulah bagiku.” 

“... Terima kasih.” 

“Ah, tidak... ya.” 

Sial. Aku merasa telah mengatakan sesuatu yang sangat memalukan. 

“Tapi, begitu ya. Ya, aku mengerti. Pada akhirnya, apakah seseorang menikmati hal itu atau tidak tergantung pada orang itu sendiri...” 

“Yah, kurasa begitu. Ya.” 

“Apa berbicara denganku itu menyenangkan?” 

“Tentu saja.” 

“Kalau begitu, ini tidak memerlukan biaya. Jadi silakan jadikan aku sebagai teman mengobrolmu kapan saja.” 

Dia mengatakannya dengan seringai nakal di wajahnya. Meskipun dia mengatakannya dengan nada seperti ‘kami menunggu kedatangan Anda kembali’. Ya, itu berarti perhatian tetap diperlukan. Tentu saja, aku tidak merasa keberatan. 

“Sebaliknya, aku malah khawatir apa kamu merasa lebih senang berbicara denganku, Saki.” 

“Tentu saja, aku mengobrol denganmu karena itu menyenangkan. Tidak masalah.” 

“Be-Begitu ya. Terima kasih.”

Duduk berhadapan di meja makan sambil minum teh dari cangkir, aku penasaran bagaimana tampaknya dari luar ketika kami saling tersipu. Meskipun begitu, waktu kecil yang sederhana ini, di mana kami berbagi cerita sehari-hari, sangat menyenangkan bagiku saat ini, dan aku tidak ingin menukar Saki dengan orang lain. Jika memungkinkan, aku berharap bisa menyimpan momen ini selamanya. 

Aku teringat saat-saat makan malam di masa SMP. Setelah pindah ke apartemen ini, ibuku pergi dalam beberapa tahun. Karena tinggal berdua dengan ayahku, aku menghabiskan malamku dalam kesendirian saat menunggunya pulang larut malam karena pekerjaannya. Aku juga selalu makan malam selalu sendirian. 

Tapi bukannya berarti aku merasa kesepian. Untungnya, saat itu aku sudah belajar menikmati dunia cerita. Makan malam bisa berupa kotak makan siang, mie instan, atau pesan antar, dan itu sudah cukup. Aku bahkan mengabaikan waktu makan untuk membuka buku dan terjun ke dalam dunia luar angkasa, dunia lain, atau masa lalu. Rasanya sangat menyenangkan. Ketika aku selesai membaca halaman terakhir dan mengangkat wajahku, aku melihat lampu LED putih yang menerangi ruangan yang monoton, dan aku ingat betapa kapal luar angkasa, naga, iblis, dan Tengu yang ada di dalam imajinasiku menghilang, meninggalkanku dalam kebingungan. 

Mungkin, sifat dasarku tidak berubah sejak saat itu. 

Meski demikian—. 

Berkat adik perempuan tiriku yang berambut pirang yang datang setelah pernikahan kedua ayahku, aku menyadari bahwa ada kehidupan yang menyenangkan di dunia nyata ketika aku mengalihkan pandangan dari buku. Hal itu bisa dianggap sebagai pertumbuhanku dalam dua tahun terakhir. 

Aku berharap bisa melanjutkan ini ke depan. Tahun depan, dan tahun setelahnya. Sepuluh tahun, atau bahkan dua puluh tahun nanti. 

Aku berharap orang yang mendengarkan ceritaku di seberang meja adalah Saki. Sekarang, setelah melewati malam pertama titik balik kehidupan kami, aku mulai menggambar peta masa depan seperti itu. 

Pemandangan yang pernah kulihat dalam mimpi tiba-tiba muncul di benakku. 

Aku sedang berada di dalam mobil yang menuju laut. Aku yang mengemudikan, Saki di kursi samping, dan kedua anak kami duduk di kursi belakang. Adegan mimpi itu membuatku merasa malu setiap kali aku mengingatnya. Rasanya itu terlalu cepat. 

Meski begitu, pemandangan dalam ingatan mimpiku itu adalah sesuatu yang ingin kuwujudkan suatu hari nanti—. 

“Aku berpikir untuk mendapatkan SIM.”

Aku tiba-tiba mengucapkan kata-kata itu. 

“SIM... untuk mobil?”

“Ya. Itulah yang kupikirkan. Aku ingin mendapatkan SIM. Kalau tidak, aku tidak bisa mengemudikan mobil.” 

“Itu benar sih.”

Saki memandangku seolah-olah ingin bertanya mengapa aku mengatakan sesuatu yang sudah jelas. Namun, aku merasakan semangat dalam pemikiranku. 

Benar. Aku akan mendapatkan SIM. Dan pergi ke pantai bersama Saki. 

Meskipun itu bukan hal yang besar untuk memperluas duniaku, tapi... 

Aku ingin membuka setidaknya satu hal baru.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama