Chapter 3 — Konsultasi
Hasil
ujian tengah semester hanya akan dipasang di koridor untuk 50 peringkat teratas. Kertas
besar buatan para guru dibentangkan di dinding. Sementara para guru bergerak
dengan cepat, kami mendekati dengan cermat seperti semut yang berkumpul di
sekitar permen. Setelah mereka menancapkan paku emas di keempat sudut, mereka
mundur menjauh dari kami.
Ketika
aku melihat dari sisi kiri,
terlihat urutan dan nama serta nilai dari peringkat 50. Karena lagipula namaku tidak
ada di sebelah kiri, jadi aku
langsung mengarahkan pandanganku ke arah paling
kanan dan langsung menemukan namaku.
Peringkat
1 — Okusu
Naoya, 778 poin.
Posisi
tetap. Pemandangan yang sudah sangat familiar.
“Ah,
lagi-lagi peringkat satu.”
Saito mengeluh sambil menaruh tangan di belakang punggungnya,
tidak berusaha mencari namanya.
“Oh,
Nakabayashi dari kelas 3 berhasil masuk
peringkat 50. Hanasaki juga masih di peringkat 4,
ya.”
“Setiap
nilai memiliki tumpukan usaha di
baliknya. Kupikir ada baiknya
kamu juga berusaha melihat
namamu.”
“Itu sih tidak
mungkin.”
Aku tahu
nilai Saito, dan itu jelas bukan prestasi yang bisa membuatnya masuk 50 besar.
Malahan, mungkin ia berada di urutan 50 dari belakang.
“Belakangan
ini cuacanya jadi semakin dingin,
ya. Di musim dingin, aku hanya bisa bermain game sambil menghangatkan diri.”
“Musim
panas terlalu panas, jadi kita hanya bisa bermain game di depan kipas angin,
bukan?”
“Intinya,
kalian tidak bisa belajar sama sekali.”
Pengumuman
hasil ujian mirip seperti semacam
festival. Banyak siswa yang datang untuk melihatnya meskipun namanya tidak
tercantum. Sebaliknya, aku cukup percaya diri dengan peringkatku sehingga aku tidak perlu pergi melihatnya.
Hasil
ujian sudah dikembalikan per mata pelajaran terlebih
dahulu. Nilai yang aku perkirakan tidak jauh berbeda
dari yang sebenarnya. Jadi, aku yakin tidak akan kalah dari siapapun.
Aku
menyusuri nama-nama setelah peringkat 2, tapi hampir tidak ada perubahan di
peringkat atas. Nama Nishikawa berada
di peringkat 9, dan dari sana hingga peringkat 50, tidak ada banyak nama yang mengejutkan.
Para siswa tampak antusias, mengikuti nama dengan mata mereka atau
mengabadikannya dengan kamera ponsel. Meskipun begitu, berbeda dengan ujian
masuk, tidak ada teriakan atau kemarahan yang muncul hanya karena hasil ujian
tengah semester.
Seorang
siswi datang di sampingku.
“Peringkatku
tidak berubah...”
Rupanya itu
Hanasaki. Wajahnya tampak
lesu.
“Tapi,
aku rasa mempertahankan peringkat 4 juga lumayan sulit kok.”
“Aku tidak
merasa senang jika orang peringkat 1 yang mengatakannya padaku.”
“…Maaf.”
Tentu
saja, tidak ada maksud lain.
“Karena Okusu
memang begitu, jadi kupikir Hanasaki juga
tidak perlu terlalu memikirkannya,
‘kan? Jika dibandingkan denganku, ada kesenjangan yang sangat lebar.”
“Walaupun
peringkat 4 adalah hal yang membanggakan, merasa kalah terus-menerus itu
menyedihkan.”
“Ayo cepetan,
hibur dia.”
Seperti
biasa, Saito tampak terlalu memikirkan hal-hal yang tidak
perlu. Dia menjauh dari kami dan mulai berbicara dengan siswa lain.
“Ampun deh...”
Aku
bersandar di dinding yang berlawanan dengan tempat hasil ujian dipasang. Karena letaknya berdekatan dengan ruang kelas, bagian atas tubuhku
bersentuhan dengan kaca buram.
“Sudah
kubilang tidak usah khawatir. Kamu bisa mengabaikan soal
kompetisi itu.”
“Maaf...”
Sepertinya
dia sangat tertekan. Hal tersebut
menunjukkan betapa seriusnya dia.
“Baik
dalam memasak maupun belajar, Okusu-kun selalu lebih
baik.”
“Keduanya
bukan level yang luar biasa. Masih ada banyak
hal di mana aku tidak bisa mengalahkan Hanasaki, misalnya
saja seperti cara bergaul
dengan orang lain.”
“...Terima
kasih.”
Itulah perasaanku yang tulus.
Sebenarnya, aku sedang menciptakan ketegangan dengan Tsuno.
“Oh iya, ngomong-ngomong,” Hanasaki mengangkat wajahnya. “Tentang memasak yang kita
bicarakan sebelumnya. Sepertinya aku bisa membawanya besok. Bisa kamu mencicipinya nanti?”
“Karena ujian
sudah selesai, jadi kurasa waktunya limayan pas. Tentu saja, aku baik-baik saja.”
“Syukurlah.”
Entah
kenapa, aku merasakan sensasi seolah-olah sesuatu sedang dibangun dari luar.
“Ngomong-ngomong,
berapa banyak yang akan kamu buat?”
“Eh,
aku berencana membuat bento untuk dua orang. Jika kamu tidak keberatan, sih.”
“Tentu
saja tidak keberatan.”
Hanasaki adalah gadis yang imut. Mana mungkin aku tidak senang
mendengar hal seperti itu dari gadis seimut dirinya.
Namun, aku tidak bisa sepenuhnya fokus pada jawabanku karena bayangan orang
lain terlintas di benakku.
—Apa yang
sebenarnya terjadi pada Enami-san hari itu?
Dia
terlihat berbeda dari biasanya. Hanya pada saat itu, Enami-san tampak lemah.
Sesekali,
aku tidak bisa menahan diri untuk menatapnya dari celah kaca. Berlawanan dengan
kerumunan di koridor, Enami-san duduk tenang di kursinya. Rambutnya tertiup
angin. Dia tampak melamun
di sudut kelas yang gelap.
Entah
kenapa, setelah hari itu, aku jadi penasaran dengan Enami-san. Apa yang dia pikirkan?
Aku mendapati diriku merenungkan pertanyaan sulit itu secara tiba-tiba.
“Jadi Okusu-kun,
kamu tidak perlu membuat bento besok. Saat istirahat siang, aku akan diam-diam
memberikannya padamu. Setelah itu, aku yang akan membawanya pulang, jadi tidak akan
membebani kamu.”
“Baik.”
“Jadi,
baik lewat telepon maupun langsung di kelas, aku ingin mendengar pendapatmu.
Jika hanya makan tidak cukup, aku juga ingin bercerita tentang bagaimana aku
membuatnya.”
“Baiklah.”
“...Okusu-kun,
apa kamu mendengarkanku?”
“Ya.”
Aku
segera mengembalikan wajahku ke depan. Di depanku, Hanasaki tampak sedikit
marah.
“Aku merasa
bersyukur karena tidak perlu membuat bento. Tentu saja, jika
rasanya tidak enak, aku harus menetralkan rasa.”
“Ah,
itu kejam!”
“Haha,
aku hanya bercanda.”
Hanasaki
sepertinya akan menghasilkan masakan dengan tingkat tertentu. Selain itu,
mendapatkan bento sambil bersembunyi dari orang-orang di sekitar juga membuatku
berdebar. Aku harus memastikan Saito dan Shindo tidak menyadarinya.
Kemudian,
saat kami terlibat dalam obrolan yang tidak penting, waktu sudah satu menit
sebelum pelajaran dimulai.
“Sepertinya
kita harus kembali.”
Aku
mengakhiri percakapan dan kembali ke dalam kelas. Sayangnya, masih ada satu
pelajaran tersisa hari ini.
Dalam
perjalanan menuju tempat dudukku, Tsuno yang berdiri dekat papan tulis
menatapku dengan tajam.
—Apa ini?
Kemudian,
terdengar suara kesal yang menggerutu.
Ia
tidak berusaha mendekatiku, tetapi emosinya bisa terlihat dengan jelas. Jalanku menuju tempat
duduk terhalang, jadi aku harus memintanya untuk bergerak. Aku pun memutuskan
untuk berbicara.
“Eh,
boleh?”
Aku
menunjukkan dengan gerakan tangan bahwa aku hanya ingin lewat. Namun, dia terus
menatapku dengan tajam. Itu bukan tatapan meremehkan seperti sebelumnya, melainkan
menunjukkan rasa frustrasi yang mengalir dari seluruh tubuhnya.
“Pelajaran
akan dimulai.”
“…”
“Eh…”
“…nayo.”
Aku tidak
bisa mendengar kata terakhirnya. Setelah menggangguku cukup lama, akhirnya dia
mau bergerak.
Apa yang sebenarnya terjadi? Aku tidak
pernah berurusan dengan Tsuno, jadi aku tidak ingat telah membuatnya marah.
Saat aku
mengeluarkan buku pelajaran dari meja, aku hampir mengeluarkan suara “ah”.
—Ngomong-ngomong.
Aku
teringat tentang peringkat tes yang dipasang hari ini. Di sebelah kiri
kiriku—di posisi ketiga—ada nama Tsuno.
◇◇◇◇
“Ada
apa?”
Dalam perjalanan pulang. Saat aku berjalan
berdampingan dengan Enami-san, dia bertanya seperti itu.
“Apa
kamu puas karena mendapatkan peringkat pertama seperti biasa?”
“Bukan
begitu. Aku punya banyak hal yang
ingin dipikirkan...”
Tentang
Enami-san yang berdiri di sampingku. Alasan mengapa Tsuno membenciku.
Hubunganku dengan Hanasaki. Hari ini saja sudah banyak hal yang terjadi.
“Selain
karena ada ujian yang sudah
dekat, apa kamu juga belajar saat tidak ada ujian?”
“Aku
pikir belajar itu harus dilakukan setiap hari.”
“Ah,
begitu.”
Dia
menatapku seolah-olah melihat makhluk aneh.
“Peringkat
tes itu tidak penting, kan? Daripada itu, kamu lagi-lagi
diganggu, ya?”
“Kamu
melihatnya?”
“Lebih
tepatnya, aku kebetulan melihat. Apa ada
sesuatu yang terjadi?”
“Tidak...”
Apa dia mengkhawatirkanku? Meskipun begitu, aku tidak
ingin melibatkan Enami-san.
“Mungkin,
dia hanya sedang dalam suasana hati yang buruk. Aku rasa sekarang sudah
baik-baik saja.”
“Hmm.”
Sepertinya
Enami-san tidak sepenuhnya yakin.
“Ia
sangat menguntitmu. Mungkin dia benar-benar menyukaimu?”
Pada
akhirnya, aku tidak tahu alasan mengapa Tsuno memperhatikanku. Sebenarnya, aku
tidak ingat sejak kapan ia mulai memperhatikanku. Sebelum kami satu kelas, aku
pernah mendapatkan masalah serupa. Setelah kami berada di kelas yang sama,
frekuensinya meningkat, dan itu semakin
parah setelah aku mulai
berinteraksi dengan Enami-san.
Aku
berusaha untuk tidak terlalu meladeninya,
tetapi mungkin aku juga sudah
mendekati batas.
“Hei—”
Saat itu,
Enami-san sepertinya telah mengambil keputusan dan membuka mulutnya.
“Kamu
biasanya memikirkan apa?”
“Eh?”
Aku
secara tidak sengaja berhenti. Suara riuh di sekeliling seolah menghilang
sejenak. Tatapan Enami-san terlihat serius, dan dia tidak terlihat
sedang menggodaku.
“Kenapa
kamu bertanya seperti itu?”
“…Tidak
ada alasan yang khusus mengenai itu,
aku hanya merasa
penasaran saja.”
Ketika kami
berdua melihat ke depan, sebenarnya pikiranku terfokus
pada hal lain. Mobil melintas di samping kami, dan aku bingung untuk menjawab.
—Orang
ini.
Dia selalu
begitu. Aku tidak bisa membaca pikiran Enami-san.
“Hanya
hal yang biasa.”
Setelah
beberapa detik keheningan yang singkat, aku mengeluarkan
kata-kata yang sangat umum.
“Aku
hanya sibuk dengan hal-hal di depan mataku. Misalnya seperti,
aku harus belajar, dan berbagai hal lainnya.”
“Hmm.”
“Apa
maksudmu dengan 'Hmm'?”
“Tidak
ada maksud lain. Aku hanya berpikir seperti itu."
Apa iya begitu? Ketidakpastian tentang pikiran
Enami-san membuatku merasa cemas. Aku
kemudian berkata,
“Justru
kamu yang misterius, Enami-san.
Mungkin semua orang di kelas kita juga penasaran. Kamu tidak pernah berusaha
bergaul dengan orang lain, dan sering terlambat atau tidak hadir.”
“Itu…”
Apa dia
masih berniat untuk tidak menjawab apa pun?
“Apa
kamu punya waktu hari ini?”
Enami-san
bertanya demikian. Kami sudah berada di tikungan menuju stasiun.
Ketika aku
membalasnya dengan mengangguk, dia mulai melangkah lagi.
“Kamu tidak
keberatan kalau kita ke kafe itu lagi? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan di
sana.”
“Sesuatu
yang dibicarakan? Tidak masalah sih....”
Aku merasa
penasaran apa yang ingin dia bicarakan? Apa itu akan berlangsung lama? Tapi,
aku tidak mempunyai alasan untuk menolaknya. Jadi aku berjalan di sepanjan
jalan menuju kage bersama Enami-san.
◇◇◇◇
“Kamu
menambahkan terlalu banyak gula lagi. Rasanya nanti tidak enak, tahu.”
“Menurutku
ini enak.”
Seperti
biasa, Enami-san memesan kopi hitam.
Aku menuangkan semua gula dan susu yang diberikan. Sambil beralasan bahwa gula
baik untuk otak, aku menelannya. Hanya setelah melakukan ini, rasa pahit kopi
hilang, dan aku bisa menikmatinya dengan nyaman. Meskipun dibilang seperti anak-anak,
itu tidak masalah. Tidak merasakannya adalah tanda bahwa lidahku sudah menurun
seiring bertambahnya usia.
“Jadi,
apa yang ingin kamu bicarakan?”
Hari ini
juga pengunjung kafe ini terlihat sedikit. Itulah
alasan mengapa Enami-san menyukainya. Rasanya tidak buruk sama sekali, dan
suasana di toko ini juga bagus. Tempat yang tidak terlalu ramai ini sangat
cocok untuk berbicara.
Sama seperti sebelumnya, kami duduk di pojokan. Jarak dari pengunjung lain
cukup jauh, jadi tidak perlu khawatir tentang didengar.
“Ya.”
Tidak
seperti biasanya, ekspresi Enami-san tampak suram. Aku
teringat saat kami berbicara di tempat menunggu atau ketika dia memanggilku di
stasiun. Aku segera menyadari bahwa ini akan menjadi pembicaraan serius.
Aku
menelan ludah bersama dengan kopi.
“Aku
hanya ingin kamu mendengarkan ceritaku.”
“Maksudmu
curhat?”
“Curhat...
mungkin mendekati itu. Tapi, aku tidak ingin kamu menyelesaikan sesuatu
untukku. Aku hanya ingin ada
yang mendengarkan.”
“Jangan-jangan...?”
Aku
berkata sambil mengaduk kopi di dalam cangkir.
“Itulah yang
jadi penyebab Enami-san terlihat aneh?"
“Benar.”
Ternyata
benar. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi. Aku merasa ini berkaitan dengan
alasan Enami-san merasa tidak stabil.
“Aku
tidak akan tahu jika tidak mendengarnya, tapi apa ini cerita yang boleh aku dengar?”
“Ini bukan masalah besar. Aku juga
memberitahunya kepada Nishikawa.”
“Nishikawa juga?”
"Karena itu bukan cerita yang perlu
disembunyikan. Bahkan Sensei
juga tahu.”
Oh, jadi Sensei juga mengetahuinya, ya. Mungkin itulah sebabnya ia tampak begitu perhatian kepada Enami-san.
Enami-san
menyentuh bibirnya ke tepi cangkir kopi. Dari sudut pandangku, aku bisa melihat bulu matanya
yang panjang bergerak seiring dengan kelopak matanya.
Setelah
menjauhkan bibirnya dari cangkir, Enami-san berkata dengan nada ringan,
“Situasi
keluargaku tidak begitu baik...”
“Eh,
ya.”
“Pertama,
keberadaan ayahku seolah-olah tidak
ada."
“…ya.”
“Selain
itu, ibuku sedikit mengalami masalah mental.”
“…Tunggu.
Tunggu dulu sebentar.”
Tiba-tiba,
itu terlalu mengejutkan. Aku seharusnya bisa menerimanya, tetapi rasanya
seperti ada bola cepat yang membuatku
terlempar jauh.
“Pertama,
aku ingin mengatur pembicaraan ini.”
Aku
meraih kopi manisku untuk menenangkan diri. Aku melupakan bahwa itu masih panas
dan langsung meminumnya, sehingga lidahku terasa terbakar.
“Ah,
panas!”
“Bagaimana
kalau kamu yang menenangkan diri dulu?”
Enami-san
melihatku dengan tatapan dingin saat aku panik sendirian. Tidak, jika membahas
hal seperti ini, seharusnya dia lebih memperhatikan cara membicarakannya.
“…Kamu bisa mengesampingkan tentang aku, oke?
Ehm, maaf, tapi izinkan aku untuk mengonfirmasi satu per satu.”
Aku
mengelap permukaan meja dengan serbet. Aku juga menghapus kopi yang menempel di
sudut mulutku.
“Ayahmu…?”
“Seolah-olah
tidak ada. Ia masih
hidup, sih.”
“Ibu…?”
“Dia
mengalami masalah mental.”
“Begitu ya.”
Aku
sendiri tidak tahu apa yang aku maksud dengan ‘begitu ya’. Aku sudah cukup bingung.
Ungkapan ‘seolah-olah tidak ada’ sepertinya menyimpan makna yang
dalam. Apa orang tuanya
bercerai? Apa dia tidak pernah bertemu?
Seberapa
parah sebenarnya masalah mental ibunya?
“Tolong,
kamu mau mendengarkannya, kan?”
Berbeda
dengan diriku yang sedang sangat gelisah, Enami-san tampak
santai saat menyeruput kopinya.
“Tentu
saja. Hanya saja, aku perlu memastikan beberapa kali, apa ini benar-benar
cerita yang boleh aku dengar?"
“Kamu
terlalu ngotot. Sudah
kubilang itu tidak masalah.”
Aku harus
menyiapkan diriku kembali. Aku lengah. Ini seperti melempar bola cepat saat aku
tidak siap. Seharusnya aku bisa menerimanya jika aku sudah siap…
Aku
menghela napas panjang dan kemudian kembali menatap Enami-san.
“…Jadi?”
Saat aku
mendorongnya untuk melanjutkan, Enami-san meletakkan cangkir kopinya di atas tatakan.
“Untuk
cerita tentang ayahku, ya
sudahlah. Aku juga tidak ingin terlalu mengingatnya. Masalah terbesarnya
sekarang adalah ibuku. Masalah ini
sangat sulit.”
Perkataan
Enami-san terlintas di benakku.
(Aku
tidak ingin terlalu lama
di rumah. Tanpa kusadari,
waktunya sudah larut malam.)
Aku sudah
bisa membayangkan situasinya.
“Suatu
kali, ketika kami pergi ke rumah sakit, segalanya
tidak berjalan dengan baik. Jadi, dia
terus berada di rumah, tetapi berurusan dengannya cukup sulit. Di satu sisi,
aku merasa harus lebih peduli, tetapi di sisi lain, jika terus begini, aku
merasa aku juga bisa mengalami masalah mental.”
“Apa
aku boleh bertanya lebih spesifik?”
Aku dengan
hati-hati bertanya, dan Enami-san mengangguk sambil memutar sendoknya.
“Entah kenapa, kamarnya sangat kotor. Ketika
aku mencoba membersihkannya,
dia jadi marah, jadi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tapi, itu sangat
menggangguku. Aku
tidak punya orang yang bisa diajak berdiskusi dengan baik, jadi aku
membiarkannya begitu saja.”
“Ayah...
bagaimana? Apa kata Sensei?”
“Sensei
juga punya batasan dalam hal yang bisa dilakukan. Sepertinya dia memang
memikirkan itu.”
“Begitu ya.”
Aku jadi mengerti mengapa dia awalnya
mengatakan, “Aku
tidak ingin kamu menyelesaikannya.”
“Aku
merasa tidak nyaman saat berada di dalam rumah.
Karena ibuku, ada hal-hal aneh yang muncul. Itulah
sebabnya aku bekerja paruh waktu atau kadang-kadang menginap di warnet supaya aku tidak
pulang ke rumah."
“Apa
kejadian hari itu juga karena itu?”
“Begitulah.”
Enami-san
berdiri sendirian di pintu masuk stasiun. Dalam suasana malam yang dingin, dia
terlihat berbeda dari biasanya.
“Awalnya,
aku tidak berencana untuk menginap hari itu, tetapi ada sesuatu yang tidak bisa
kutahan, jadi aku melarikan diri. Saat aku berpikir tentang apa yang harus
dilakukan, tiba-tiba aku mengingatmu dan meneleponmu.”
“…Aku
sedang belajar.”
“Maaf
ya. Tapi, baguslah kamu berhasil mendapatkan peringkat pertama di ujian tengah.”
“Itu sih sudah sewajarnya.”
Tapi, begitu rupanya. Ternyata ada alasan di
balik kejadian itu. Aku tidak bisa menyalahkan Enami-san.
“Itulah
alasan kenapa aku jarang berangkat ke sekolah. Gaya kehidupanku yang sekarang
tidak teratur. Kadang-kadang aku tidak bisa tidur di malam hari. Lambat laun, aku merasa konyol untuk pergi ke sekolah dengan
serius, jadi aku berpikir mungkin sudah cukup.”
“Tapi...
belakangan ini kamu datang dengan serius, kan? Kamu
juga mulai belajar dengan baik.”
“Berkatmu,
aku bisa menghindari nilai merah. Aku sangat berterima kasih.”
Aku belum
mendengar hasilnya, tetapi sepertinya dia benar-benar bisa menghindari nilai
merah. Penilaianku tidak salah.
Enami-san
bersandar pada sandaran kursi dan menatap langit-langit. Kipas langit-langit
yang berputar juga terlihat olehku.
“Aku
juga memikirkan banyak hal. Entahlah. Suatu ketika, aku berpikir untuk
berusaha, hampir putus asa, lalu bersemangat lagi, dan hampir menyerah lagi, hal itu terus berulang terus-menerus.”
Ah, aku
benar-benar tidak berguna. Aku merasa seperti itu dari lubuk hatiku.
Aku tidak
mengenal Enami-san dengan baik. Bahkan sekarang, aku hanya mendengar sebagian
dari ceritanya. Namun, aku pernah merasa seolah-olah aku mengerti dan
memberikan nasihat.
Setiap
orang memiliki keadaan yang berbeda. Diri sendiri dan orang lain itu berbeda.
Hal yang seharusnya jelas ini tidak bisa aku sadari. Aku tidak bisa lagi
membandingkan diriku yang dulu dengan Enami-san yang sekarang.
Di
depanku ada seseorang yang menderita dengan cara yang sama sekali berbeda.
“Tiba-tiba
membahas hal seperti ini pasti membuatmu bingung, kan? Tapi, mendengarkannya saja sudah cukup. Nishikawa juga
begitu. Hanya dengan membicarakannya
sedikit sudah membuatku terasa lebih ringan.”
“Begitu ya.”
Wajah Enami-san menunduk tepat di depanku.
“Aku
sadar bahwa aku telah membuatmu merasa tidak nyaman. Aku tidak ingin kamu menyelesaikannya
untukku. Aku juga tidak ingin kamu merasa kasihan hanya karena situasi ini. Aku
mengerti bahwa suatu saat aku harus menghadapi ini sendiri. Hanya saja, aku
ingin mengeluh bahwa aku merasa lelah."
"Ya.”
“Jadi,
aku berharap kita bisa terus berhubungan.”
“Ya...
ya?”
Aku tidak
bisa menyembunyikan rasa aneh saat Enami-san tiba-tiba kembali tersenyum.
“Apa
maksudnya dengan 'terus berhubungan'?”
“Mungkin
aku akan memanggilmu tiba-tiba lagi di masa
depan, jadi tolong bantuannya
saat itu terjadi.”
“…”
Ujung-ujungnya
tetap akan menjadi begini ya. Oh ya, sebelum datang ke sini,
dia memang sempat tersenyum licik...
“Hanya
mendengarkan saja.”
“Ya.
Itulah sebabnya aku tidak keberatan
jika kamu ingin menolak.”
Tidak,
aku tidak bisa menolak. Setelah mendengar cerita seperti itu, mana mungkin aku bisa menolaknya.
Jadi selama
ini aku terus menari di telapak tangan
Enami-san. Aku merasa seperti terjebak.
“…Aku
mengerti permintaan Enami-san dengan baik. Tentu saja, aku ingin menghindari
saat-saat menjelang ujian, tetapi jika sesekali, aku bisa menemanimu untuk
mengisi waktu.”
Aku juga
tidak punya banyak waktu luang.
Lagipula, keluar larut malam bisa membuat keluargaku khawatir.
“Itu
saja sudah cukup.”
“Apa kamu
tidak memanggil Nishikawa?”
“Tidak
masalah. Karena ini acak.”
Apa
maksudnya itu? Sepertinya bukan cuma aku satu-satunya yang
terombang-ambing oleh keinginan Enami-san.
“Ngomong-ngomong.”
Namun,
aku tidak bisa sepenuhnya menerima pembicaraan ini. Aku perlu mengubah nada
bicaraku.
“Pertama-taman,
aku merasa aneh jika ada gadis
SMA berjalan sendirian di malam hari. Aku mengerti bahwa Enami-san memiliki
keadaan yang sulit, tetapi tetap saja, sebisa mungkin
kamu harus menghindarinya. Ada banyak orang
yang tidak baik di luar sana, jadi itu berbahaya jika dipikirkan secara
normal."
“Oh,
begitu?”
“Tentu
saja. Itu adalah norma sosial bahwa seorang siswa SMA tidak seharusnya
melakukan hal seperti itu. Baik laki-laki maupun perempuan, jika ketahuan, bisa
saja diringkus pihak keamanan. Jika
kamu berkonsultasi, aku bisa memikirkan cara lain, jadi tolong jangan terlalu
sering berpikir untuk menginap di warnet.”
“Ya
ya.”
Dia
tampak acuh tak acuh. Aku bahkan meragukan apa dia benar-benar mendengarkan perkataanku.
“Untungnya,
keamanan di sekitaran daerah ini tidak
terlalu buruk, tetapi kadang-kadang ada orang aneh yang berkeliaran. Lebih
baik jika kamu mempertimbangkan untuk menginap di rumah temanmu.”
“Hmm...
rumah teman?”
“Iya.”
“Jadi
maksudnya kamu sedang mengundangku?”
“Hah?
Tidak, maksudku, itu bukan maksudku.”
“Hehe.”
Sepertinya
dia hanya bermain-main denganku lagi. Tidak mungkin aku berpikir untuk mengajaknya ke dalam rumahku. Di rumahku ada ayah dan juga
Sayaka. Aku tidak tahu bagaimana
mereka akan memandangku. Jika Enami-san benar-benar dalam kesulitan, aku akan
ragu apakah aku harus membantunya atau tidak.
“Maaf,
maaf.”
“Sudahlah. Pokoknya, hanya
itu yang ingin kukatakan.”
“Ya.
Aku mengerti.”
Apa yang
kukatakan merupakan hal yang
sangat biasa. Enami-san pasti sudah memahami hal ini dengan baik. Meskipun
begitu, mungkin dia sudah terbiasa dengan hal-hal serupa sehingga menjadi kebal
terhadapnya.
“Aku
dengar kamu bekerja paruh waktu, tapi kamu pasti punya uang yang cukup, kan?”
“Kalau
aku tidak punya uang, mana
mungkin aku bisa menginap di warnet.
Aku juga punya tabungan, jadi tidak perlu khawatir tentang itu. Kerja paruh
waktuku juga biasa-biasa saja, jadi tidak perlu dipikirkan.”
Entah
sudah berapa lama dia bekerja paruh waktu. Aku pernah mendengar bahwa dia
mengurangi jam kerjanya setelah mulai belajar. Mungkin dia masih bekerja untuk
menabung uang agar bisa pergi jika situasi memburuk.
“…Kamu
itu memang aneh, ya.”
Enami-san
berkata demikian sambil mengaduk es batu dari kopi esnya yang
sudah habis.
“Eh?”
“Tidak, bukan apa-apa.”
Seharusnya
aku yang bilang begitu,
pikirku.
Aku tidak
bisa mengetahui apa yang dipikirkan orang lain. Namun, aku bisa membuat
beberapa dugaan dari ekspresi,
sikap, serta pengalaman pribadiku. Tapi, hal tersebut
tidak berlaku terhadap Enami-san. Banyak perilakunya
yang melampaui pemahamanku. Dia tidak bergerak dalam kerangka “ini akan terjadi"
atau “dia akan berpikir seperti ini”.
Itulah
yang membuat Enami-san menjadi sosok yang misterius dan mungkin juga poin bagusnya.
Itulah yang
kupikirkan.
Sebelumnya | Selanjutnya
