[LN] Tanin wo Yosetsukenai Vol 1 Chapter 3 Bahasa Indonesia

 Chapter 3 — Konsultasi

 

Hasil ujian tengah semester hanya akan dipasang di koridor untuk 50 peringkat teratas. Kertas besar buatan para guru dibentangkan di dinding. Sementara para guru bergerak dengan cepat, kami mendekati dengan cermat seperti semut yang berkumpul di sekitar permen. Setelah mereka menancapkan paku emas di keempat sudut, mereka mundur menjauh dari kami.

Ketika aku melihat dari sisi kiri, terlihat urutan dan nama serta nilai dari peringkat 50. Karena lagipula namaku tidak ada di sebelah kiri, jadi aku langsung mengarahkan pandanganku ke arah paling kanan dan langsung menemukan namaku.

Peringkat 1 Okusu Naoya, 778 poin.

Posisi tetap. Pemandangan yang sudah sangat familiar.

Ah, lagi-lagi peringkat satu.”

Saito mengeluh sambil menaruh tangan di belakang punggungnya, tidak berusaha mencari namanya.

Oh, Nakabayashi dari kelas 3 berhasil masuk peringkat 50. Hanasaki juga masih di peringkat 4, ya.”

Setiap nilai memiliki tumpukan usaha di baliknya. Kupikir ada baiknya kamu juga berusaha melihat namamu.

“Itu sih tidak mungkin.

Aku tahu nilai Saito, dan itu jelas bukan prestasi yang bisa membuatnya masuk 50 besar. Malahan, mungkin ia berada di urutan 50 dari belakang.

Belakangan ini cuacanya jadi semakin dingin, ya. Di musim dingin, aku hanya bisa bermain game sambil menghangatkan diri.”

Musim panas terlalu panas, jadi kita hanya bisa bermain game di depan kipas angin, bukan?

Intinya, kalian tidak bisa belajar sama sekali.

Pengumuman hasil ujian mirip seperti semacam festival. Banyak siswa yang datang untuk melihatnya meskipun namanya tidak tercantum. Sebaliknya, aku cukup percaya diri dengan peringkatku sehingga aku tidak perlu pergi melihatnya.

Hasil ujian sudah dikembalikan per mata pelajaran terlebih dahulu. Nilai yang aku perkirakan tidak jauh berbeda dari yang sebenarnya. Jadi, aku yakin tidak akan kalah dari siapapun.

Aku menyusuri nama-nama setelah peringkat 2, tapi hampir tidak ada perubahan di peringkat atas. Nama Nishikawa berada di peringkat 9, dan dari sana hingga peringkat 50, tidak ada banyak nama yang mengejutkan. Para siswa tampak antusias, mengikuti nama dengan mata mereka atau mengabadikannya dengan kamera ponsel. Meskipun begitu, berbeda dengan ujian masuk, tidak ada teriakan atau kemarahan yang muncul hanya karena hasil ujian tengah semester.

Seorang siswi datang di sampingku.

Peringkatku tidak berubah...

Rupanya itu Hanasaki. Wajahnya tampak lesu.

Tapi, aku rasa mempertahankan peringkat 4 juga lumayan sulit kok.

“Aku tidak merasa senang jika orang peringkat 1 yang mengatakannya padaku.”

…Maaf.

Tentu saja, tidak ada maksud lain.

“Karena Okusu memang begitu, jadi kupikir Hanasaki juga tidak perlu terlalu memikirkannya, kan? Jika dibandingkan denganku, ada kesenjangan yang sangat lebar.

Walaupun peringkat 4 adalah hal yang membanggakan, merasa kalah terus-menerus itu menyedihkan.

“Ayo cepetan, hibur dia.

Seperti biasa, Saito tampak terlalu memikirkan hal-hal yang tidak perlu. Dia menjauh dari kami dan mulai berbicara dengan siswa lain.

“Ampun deh...

Aku bersandar di dinding yang berlawanan dengan tempat hasil ujian dipasang. Karena letaknya berdekatan dengan ruang kelas, bagian atas tubuhku bersentuhan dengan kaca buram.

“Sudah kubilang tidak usah khawatir. Kamu bisa mengabaikan soal kompetisi itu.”

Maaf...

Sepertinya dia sangat tertekan. Hal tersebut menunjukkan betapa seriusnya dia.

Baik dalam memasak maupun belajar, Okusu-kun selalu lebih baik.

Keduanya bukan level yang luar biasa. Masih ada banyak hal di mana aku tidak bisa mengalahkan Hanasaki, misalnya saja seperti cara bergaul dengan orang lain.

...Terima kasih.

Itulah perasaanku yang tulus. Sebenarnya, aku sedang menciptakan ketegangan dengan Tsuno.

Oh iya, ngomong-ngomong, Hanasaki mengangkat wajahnya. Tentang memasak yang kita bicarakan sebelumnya. Sepertinya aku bisa membawanya besok. Bisa kamu mencicipinya nanti?

“Karena ujian sudah selesai, jadi kurasa waktunya limayan pas. Tentu saja, aku baik-baik saja.

Syukurlah.

Entah kenapa, aku merasakan sensasi seolah-olah sesuatu sedang dibangun dari luar.

Ngomong-ngomong, berapa banyak yang akan kamu buat?

Eh, aku berencana membuat bento untuk dua orang. Jika kamu tidak keberatan, sih.

Tentu saja tidak keberatan.

Hanasaki adalah gadis yang imut. Mana mungkin aku tidak senang mendengar hal seperti itu dari gadis seimut dirinya. Namun, aku tidak bisa sepenuhnya fokus pada jawabanku karena bayangan orang lain terlintas di benakku.

—Apa yang sebenarnya terjadi pada Enami-san hari itu?

Dia terlihat berbeda dari biasanya. Hanya pada saat itu, Enami-san tampak lemah.

Sesekali, aku tidak bisa menahan diri untuk menatapnya dari celah kaca. Berlawanan dengan kerumunan di koridor, Enami-san duduk tenang di kursinya. Rambutnya tertiup angin. Dia tampak melamun di sudut kelas yang gelap.

Entah kenapa, setelah hari itu, aku jadi penasaran dengan Enami-san. Apa yang dia pikirkan? Aku mendapati diriku merenungkan pertanyaan sulit itu secara tiba-tiba.

“Jadi Okusu-kun, kamu tidak perlu membuat bento besok. Saat istirahat siang, aku akan diam-diam memberikannya padamu. Setelah itu, aku yang akan membawanya pulang, jadi tidak akan membebani kamu.

Baik.”

Jadi, baik lewat telepon maupun langsung di kelas, aku ingin mendengar pendapatmu. Jika hanya makan tidak cukup, aku juga ingin bercerita tentang bagaimana aku membuatnya.

Baiklah.

...Okusu-kun, apa kamu mendengarkanku?

Ya.

Aku segera mengembalikan wajahku ke depan. Di depanku, Hanasaki tampak sedikit marah.

“Aku merasa bersyukur karena tidak perlu membuat bento. Tentu saja, jika rasanya tidak enak, aku harus menetralkan rasa.

Ah, itu kejam!

Haha, aku hanya bercanda.

Hanasaki sepertinya akan menghasilkan masakan dengan tingkat tertentu. Selain itu, mendapatkan bento sambil bersembunyi dari orang-orang di sekitar juga membuatku berdebar. Aku harus memastikan Saito dan Shindo tidak menyadarinya.

Kemudian, saat kami terlibat dalam obrolan yang tidak penting, waktu sudah satu menit sebelum pelajaran dimulai.

Sepertinya kita harus kembali.

Aku mengakhiri percakapan dan kembali ke dalam kelas. Sayangnya, masih ada satu pelajaran tersisa hari ini.

Dalam perjalanan menuju tempat dudukku, Tsuno yang berdiri dekat papan tulis menatapku dengan tajam.

—Apa ini?

Kemudian, terdengar suara kesal yang menggerutu.

Ia tidak berusaha mendekatiku, tetapi emosinya bisa terlihat dengan jelas. Jalanku menuju tempat duduk terhalang, jadi aku harus memintanya untuk bergerak. Aku pun memutuskan untuk berbicara.

Eh, boleh?

Aku menunjukkan dengan gerakan tangan bahwa aku hanya ingin lewat. Namun, dia terus menatapku dengan tajam. Itu bukan tatapan meremehkan seperti sebelumnya, melainkan menunjukkan rasa frustrasi yang mengalir dari seluruh tubuhnya.

Pelajaran akan dimulai.

Eh…

…nayo.

Aku tidak bisa mendengar kata terakhirnya. Setelah menggangguku cukup lama, akhirnya dia mau bergerak.

Apa yang sebenarnya terjadi? Aku tidak pernah berurusan dengan Tsuno, jadi aku tidak ingat telah membuatnya marah.

Saat aku mengeluarkan buku pelajaran dari meja, aku hampir mengeluarkan suara ah.

—Ngomong-ngomong.

Aku teringat tentang peringkat tes yang dipasang hari ini. Di sebelah kiri kiriku—di posisi ketiga—ada nama Tsuno.

 

◇◇◇◇

 

Ada apa?

Dalam perjalanan pulang. Saat aku berjalan berdampingan dengan Enami-san, dia bertanya seperti itu.

Apa kamu puas karena mendapatkan peringkat pertama seperti biasa?

Bukan begitu. Aku punya banyak hal yang ingin dipikirkan...

Tentang Enami-san yang berdiri di sampingku. Alasan mengapa Tsuno membenciku. Hubunganku dengan Hanasaki. Hari ini saja sudah banyak hal yang terjadi.

“Selain karena ada ujian yang sudah dekat, apa kamu juga belajar saat tidak ada ujian?

Aku pikir belajar itu harus dilakukan setiap hari.

Ah, begitu.

Dia menatapku seolah-olah melihat makhluk aneh.

Peringkat tes itu tidak penting, kan? Daripada itu, kamu lagi-lagi diganggu, ya?

Kamu melihatnya?

Lebih tepatnya, aku kebetulan melihat. Apa ada sesuatu yang terjadi?

Tidak...

Apa dia mengkhawatirkanku? Meskipun begitu, aku tidak ingin melibatkan Enami-san.

“Mungkin, dia hanya sedang dalam suasana hati yang buruk. Aku rasa sekarang sudah baik-baik saja.

“Hmm.

Sepertinya Enami-san tidak sepenuhnya yakin.

“Ia sangat menguntitmu. Mungkin dia benar-benar menyukaimu?

Pada akhirnya, aku tidak tahu alasan mengapa Tsuno memperhatikanku. Sebenarnya, aku tidak ingat sejak kapan ia mulai memperhatikanku. Sebelum kami satu kelas, aku pernah mendapatkan masalah serupa. Setelah kami berada di kelas yang sama, frekuensinya meningkat, dan itu semakin parah setelah aku mulai berinteraksi dengan Enami-san.

Aku berusaha untuk tidak terlalu meladeninya, tetapi mungkin aku juga sudah mendekati batas.

Hei—

Saat itu, Enami-san sepertinya telah mengambil keputusan dan membuka mulutnya.

Kamu biasanya memikirkan apa?

Eh?

Aku secara tidak sengaja berhenti. Suara riuh di sekeliling seolah menghilang sejenak. Tatapan Enami-san terlihat serius, dan dia tidak terlihat sedang menggodaku.

Kenapa kamu bertanya seperti itu?

…Tidak ada alasan yang khusus mengenai itu, aku hanya merasa penasaran saja.

Ketika kami berdua melihat ke depan, sebenarnya pikiranku terfokus pada hal lain. Mobil melintas di samping kami, dan aku bingung untuk menjawab.

—Orang ini.

Dia selalu begitu. Aku tidak bisa membaca pikiran Enami-san.

“Hanya hal yang biasa.

Setelah beberapa detik keheningan yang singkat, aku mengeluarkan kata-kata yang sangat umum.

Aku hanya sibuk dengan hal-hal di depan mataku. Misalnya seperti, aku harus belajar, dan berbagai hal lainnya.

“Hmm.

Apa maksudmu dengan 'Hmm'?

Tidak ada maksud lain. Aku hanya berpikir seperti itu."

Apa iya begitu? Ketidakpastian tentang pikiran Enami-san membuatku merasa cemas. Aku kemudian berkata,

Justru kamu yang misterius, Enami-san. Mungkin semua orang di kelas kita juga penasaran. Kamu tidak pernah berusaha bergaul dengan orang lain, dan sering terlambat atau tidak hadir.

Itu…

Apa dia masih berniat untuk tidak menjawab apa pun?

Apa kamu punya waktu hari ini?

Enami-san bertanya demikian. Kami sudah berada di tikungan menuju stasiun.

Ketika aku membalasnya dengan mengangguk, dia mulai melangkah lagi.

“Kamu tidak keberatan kalau kita ke kafe itu lagi? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan di sana.”

“Sesuatu yang dibicarakan? Tidak masalah sih....”

Aku merasa penasaran apa yang ingin dia bicarakan? Apa itu akan berlangsung lama? Tapi, aku tidak mempunyai alasan untuk menolaknya. Jadi aku berjalan di sepanjan jalan menuju kage bersama Enami-san.

 

◇◇◇◇

 

“Kamu menambahkan terlalu banyak gula lagi. Rasanya nanti tidak enak, tahu.”

“Menurutku ini enak.”

Seperti biasa, Enami-san memesan kopi hitam. Aku menuangkan semua gula dan susu yang diberikan. Sambil beralasan bahwa gula baik untuk otak, aku menelannya. Hanya setelah melakukan ini, rasa pahit kopi hilang, dan aku bisa menikmatinya dengan nyaman. Meskipun dibilang seperti anak-anak, itu tidak masalah. Tidak merasakannya adalah tanda bahwa lidahku sudah menurun seiring bertambahnya usia.

Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?

Hari ini juga pengunjung kafe ini terlihat sedikit. Itulah alasan mengapa Enami-san menyukainya. Rasanya tidak buruk sama sekali, dan suasana di toko ini juga bagus. Tempat yang tidak terlalu ramai ini sangat cocok untuk berbicara.

Sama seperti sebelumnya, kami duduk di pojokan. Jarak dari pengunjung lain cukup jauh, jadi tidak perlu khawatir tentang didengar.

Ya.

Tidak seperti biasanya, ekspresi Enami-san tampak suram. Aku teringat saat kami berbicara di tempat menunggu atau ketika dia memanggilku di stasiun. Aku segera menyadari bahwa ini akan menjadi pembicaraan serius.

Aku menelan ludah bersama dengan kopi.

Aku hanya ingin kamu mendengarkan ceritaku.

“Maksudmu curhat?

“Curhat... mungkin mendekati itu. Tapi, aku tidak ingin kamu menyelesaikan sesuatu untukku. Aku hanya ingin ada yang mendengarkan.

“Jangan-jangan...?

Aku berkata sambil mengaduk kopi di dalam cangkir.

“Itulah yang jadi penyebab Enami-san terlihat aneh?"

Benar.

Ternyata benar. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi. Aku merasa ini berkaitan dengan alasan Enami-san merasa tidak stabil.

Aku tidak akan tahu jika tidak mendengarnya, tapi apa ini cerita yang boleh aku dengar?

Ini bukan masalah besar. Aku juga memberitahunya kepada Nishikawa.

Nishikawa juga?

"Karena itu bukan cerita yang perlu disembunyikan. Bahkan Sensei juga tahu.

Oh, jadi Sensei juga mengetahuinya, ya. Mungkin itulah sebabnya ia tampak begitu perhatian kepada Enami-san.

Enami-san menyentuh bibirnya ke tepi cangkir kopi. Dari sudut pandangku, aku bisa melihat bulu matanya yang panjang bergerak seiring dengan kelopak matanya.

Setelah menjauhkan bibirnya dari cangkir, Enami-san berkata dengan nada ringan,

“Situasi keluargaku tidak begitu baik...

Eh, ya.

Pertama, keberadaan ayahku seolah-olah tidak ada."

…ya.

Selain itu, ibuku sedikit mengalami masalah mental.

…Tunggu. Tunggu dulu sebentar.

Tiba-tiba, itu terlalu mengejutkan. Aku seharusnya bisa menerimanya, tetapi rasanya seperti ada bola cepat yang membuatku terlempar jauh.

Pertama, aku ingin mengatur pembicaraan ini.

Aku meraih kopi manisku untuk menenangkan diri. Aku melupakan bahwa itu masih panas dan langsung meminumnya, sehingga lidahku terasa terbakar.

Ah, panas!

Bagaimana kalau kamu yang menenangkan diri dulu?

Enami-san melihatku dengan tatapan dingin saat aku panik sendirian. Tidak, jika membahas hal seperti ini, seharusnya dia lebih memperhatikan cara membicarakannya.

Kamu bisa mengesampingkan tentang aku, oke? Ehm, maaf, tapi izinkan aku untuk mengonfirmasi satu per satu.

Aku mengelap permukaan meja dengan serbet. Aku juga menghapus kopi yang menempel di sudut mulutku.

Ayahmu…?

Seolah-olah tidak ada. Ia masih hidup, sih.

Ibu…?

Dia mengalami masalah mental.

Begitu ya.

Aku sendiri tidak tahu apa yang aku maksud dengan begitu ya’. Aku sudah cukup bingung.

Ungkapan seolah-olah tidak ada sepertinya menyimpan makna yang dalam. Apa orang tuanya bercerai? Apa dia tidak pernah bertemu?

Seberapa parah sebenarnya masalah mental ibunya?

Tolong, kamu mau mendengarkannya, kan?

Berbeda dengan diriku yang sedang sangat gelisah, Enami-san tampak santai saat menyeruput kopinya.

Tentu saja. Hanya saja, aku perlu memastikan beberapa kali, apa ini benar-benar cerita yang boleh aku dengar?"

Kamu terlalu ngotot. Sudah kubilang itu tidak masalah.

Aku harus menyiapkan diriku kembali. Aku lengah. Ini seperti melempar bola cepat saat aku tidak siap. Seharusnya aku bisa menerimanya jika aku sudah siap…

Aku menghela napas panjang dan kemudian kembali menatap Enami-san.

…Jadi?

Saat aku mendorongnya untuk melanjutkan, Enami-san meletakkan cangkir kopinya di atas tatakan.

Untuk cerita tentang ayahku, ya sudahlah. Aku juga tidak ingin terlalu mengingatnya. Masalah terbesarnya sekarang adalah ibuku. Masalah ini sangat sulit.

Perkataan Enami-san terlintas di benakku.

(Aku tidak ingin terlalu lama di rumah. Tanpa kusadari, waktunya sudah larut malam.)

Aku sudah bisa membayangkan situasinya.

Suatu kali, ketika kami pergi ke rumah sakit, segalanya tidak berjalan dengan baik. Jadi, dia terus berada di rumah, tetapi berurusan dengannya cukup sulit. Di satu sisi, aku merasa harus lebih peduli, tetapi di sisi lain, jika terus begini, aku merasa aku juga bisa mengalami masalah mental.

Apa aku boleh bertanya lebih spesifik?

Aku dengan hati-hati bertanya, dan Enami-san mengangguk sambil memutar sendoknya.

Entah kenapa, kamarnya sangat kotor. Ketika aku mencoba membersihkannya, dia jadi marah, jadi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tapi, itu sangat menggangguku. Aku tidak punya orang yang bisa diajak berdiskusi dengan baik, jadi aku membiarkannya begitu saja.

Ayah... bagaimana? Apa kata Sensei?

“Sensei juga punya batasan dalam hal yang bisa dilakukan. Sepertinya dia memang memikirkan itu.

Begitu ya.

Aku jadi mengerti mengapa dia awalnya mengatakan, Aku tidak ingin kamu menyelesaikannya.

“Aku merasa tidak nyaman saat berada di dalam rumah. Karena ibuku, ada hal-hal aneh yang muncul. Itulah sebabnya aku bekerja paruh waktu atau kadang-kadang menginap di warnet supaya aku tidak pulang ke rumah."

“Apa kejadian hari itu juga karena itu?

Begitulah.

Enami-san berdiri sendirian di pintu masuk stasiun. Dalam suasana malam yang dingin, dia terlihat berbeda dari biasanya.

Awalnya, aku tidak berencana untuk menginap hari itu, tetapi ada sesuatu yang tidak bisa kutahan, jadi aku melarikan diri. Saat aku berpikir tentang apa yang harus dilakukan, tiba-tiba aku mengingatmu dan meneleponmu.

…Aku sedang belajar.

Maaf ya. Tapi, baguslah kamu berhasil mendapatkan peringkat pertama di ujian tengah.

Itu sih sudah sewajarnya.

Tapi, begitu rupanya. Ternyata ada alasan di balik kejadian itu. Aku tidak bisa menyalahkan Enami-san.

“Itulah alasan kenapa aku jarang berangkat ke sekolah. Gaya kehidupanku yang sekarang tidak teratur. Kadang-kadang aku tidak bisa tidur di malam hari. Lambat laun, aku merasa konyol untuk pergi ke sekolah dengan serius, jadi aku berpikir mungkin sudah cukup.

Tapi... belakangan ini kamu datang dengan serius, kan? Kamu juga mulai belajar dengan baik.

Berkatmu, aku bisa menghindari nilai merah. Aku sangat berterima kasih.

Aku belum mendengar hasilnya, tetapi sepertinya dia benar-benar bisa menghindari nilai merah. Penilaianku tidak salah.

Enami-san bersandar pada sandaran kursi dan menatap langit-langit. Kipas langit-langit yang berputar juga terlihat olehku.

Aku juga memikirkan banyak hal. Entahlah. Suatu ketika, aku berpikir untuk berusaha, hampir putus asa, lalu bersemangat lagi, dan hampir menyerah lagi, hal itu terus berulang terus-menerus.

Ah, aku benar-benar tidak berguna. Aku merasa seperti itu dari lubuk hatiku.

Aku tidak mengenal Enami-san dengan baik. Bahkan sekarang, aku hanya mendengar sebagian dari ceritanya. Namun, aku pernah merasa seolah-olah aku mengerti dan memberikan nasihat.

Setiap orang memiliki keadaan yang berbeda. Diri sendiri dan orang lain itu berbeda. Hal yang seharusnya jelas ini tidak bisa aku sadari. Aku tidak bisa lagi membandingkan diriku yang dulu dengan Enami-san yang sekarang.

Di depanku ada seseorang yang menderita dengan cara yang sama sekali berbeda.

Tiba-tiba membahas hal seperti ini pasti membuatmu bingung, kan? Tapi, mendengarkannya saja sudah cukup. Nishikawa juga begitu. Hanya dengan membicarakannya sedikit sudah membuatku terasa lebih ringan.

Begitu ya.

 Wajah Enami-san menunduk tepat di depanku.

Aku sadar bahwa aku telah membuatmu merasa tidak nyaman. Aku tidak ingin kamu menyelesaikannya untukku. Aku juga tidak ingin kamu merasa kasihan hanya karena situasi ini. Aku mengerti bahwa suatu saat aku harus menghadapi ini sendiri. Hanya saja, aku ingin mengeluh bahwa aku merasa lelah."

"Ya.

Jadi, aku berharap kita bisa terus berhubungan.

Ya... ya?

Aku tidak bisa menyembunyikan rasa aneh saat Enami-san tiba-tiba kembali tersenyum.

Apa maksudnya dengan 'terus berhubungan'?

“Mungkin aku akan memanggilmu tiba-tiba lagi di masa depan, jadi tolong bantuannya saat itu terjadi.

Ujung-ujungnya tetap akan menjadi begini ya. Oh ya, sebelum datang ke sini, dia memang sempat tersenyum licik...

Hanya mendengarkan saja.

Ya. Itulah sebabnya aku tidak keberatan jika kamu ingin menolak.

Tidak, aku tidak bisa menolak. Setelah mendengar cerita seperti itu, mana mungkin aku bisa menolaknya.

Jadi selama ini aku terus menari di telapak tangan Enami-san. Aku merasa seperti terjebak.

…Aku mengerti permintaan Enami-san dengan baik. Tentu saja, aku ingin menghindari saat-saat menjelang ujian, tetapi jika sesekali, aku bisa menemanimu untuk mengisi waktu.

Aku juga tidak punya banyak waktu luang. Lagipula, keluar larut malam bisa membuat keluargaku khawatir.

Itu saja sudah cukup.

“Apa kamu tidak memanggil Nishikawa?

Tidak masalah. Karena ini acak.

Apa maksudnya itu? Sepertinya bukan cuma aku satu-satunya yang terombang-ambing oleh keinginan Enami-san.

Ngomong-ngomong.

Namun, aku tidak bisa sepenuhnya menerima pembicaraan ini. Aku perlu mengubah nada bicaraku.

“Pertama-taman, aku merasa aneh jika ada gadis SMA berjalan sendirian di malam hari. Aku mengerti bahwa Enami-san memiliki keadaan yang sulit, tetapi tetap saja, sebisa mungkin kamu harus menghindarinya. Ada banyak orang yang tidak baik di luar sana, jadi itu berbahaya jika dipikirkan secara normal."

Oh, begitu?

Tentu saja. Itu adalah norma sosial bahwa seorang siswa SMA tidak seharusnya melakukan hal seperti itu. Baik laki-laki maupun perempuan, jika ketahuan, bisa saja diringkus pihak keamanan. Jika kamu berkonsultasi, aku bisa memikirkan cara lain, jadi tolong jangan terlalu sering berpikir untuk menginap di warnet.

Ya ya.

Dia tampak acuh tak acuh. Aku bahkan meragukan apa dia benar-benar mendengarkan perkataanku.

“Untungnya, keamanan di sekitaran daerah ini tidak terlalu buruk, tetapi kadang-kadang ada orang aneh yang berkeliaran. Lebih baik jika kamu mempertimbangkan untuk menginap di rumah temanmu.

Hmm... rumah teman?

“Iya.

“Jadi maksudnya kamu sedang mengundangku?

Hah? Tidak, maksudku, itu bukan maksudku.

Hehe.

Sepertinya dia hanya bermain-main denganku lagi. Tidak mungkin aku berpikir untuk mengajaknya ke dalam rumahku. Di rumahku ada ayah dan juga Sayaka. Aku tidak tahu bagaimana mereka akan memandangku. Jika Enami-san benar-benar dalam kesulitan, aku akan ragu apakah aku harus membantunya atau tidak.

Maaf, maaf.

Sudahlah. Pokoknya, hanya itu yang ingin kukatakan.

Ya. Aku mengerti.

Apa yang kukatakan merupakan hal yang sangat biasa. Enami-san pasti sudah memahami hal ini dengan baik. Meskipun begitu, mungkin dia sudah terbiasa dengan hal-hal serupa sehingga menjadi kebal terhadapnya.

Aku dengar kamu bekerja paruh waktu, tapi kamu pasti punya uang yang cukup, kan?

Kalau aku tidak punya uang, mana mungkin aku bisa menginap di warnet. Aku juga punya tabungan, jadi tidak perlu khawatir tentang itu. Kerja paruh waktuku juga biasa-biasa saja, jadi tidak perlu dipikirkan.

Entah sudah berapa lama dia bekerja paruh waktu. Aku pernah mendengar bahwa dia mengurangi jam kerjanya setelah mulai belajar. Mungkin dia masih bekerja untuk menabung uang agar bisa pergi jika situasi memburuk.

…Kamu itu memang aneh, ya.

Enami-san berkata demikian sambil mengaduk es batu dari kopi esnya yang sudah habis.

“Eh?

Tidak, bukan apa-apa.

Seharusnya aku yang bilang begitu, pikirku.

Aku tidak bisa mengetahui apa yang dipikirkan orang lain. Namun, aku bisa membuat beberapa dugaan dari ekspresi, sikap, serta pengalaman pribadiku. Tapi, hal tersebut tidak berlaku terhadap Enami-san. Banyak perilakunya yang melampaui pemahamanku. Dia tidak bergerak dalam kerangka ini akan terjadi" atau dia akan berpikir seperti ini.

Itulah yang membuat Enami-san menjadi sosok yang misterius dan mungkin juga poin bagusnya.

Itulah yang kupikirkan.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama