Chapter 1 — Tinggal Bersama Dimulai
[Sudut Pandang Isurugi Haru]
Isurugi Haru, saat ini berusia
19 tahun, dan merupakan keturunan langsung dari Grup konglomerat Isurugi,
sebagai cucu dari pemilik grup, serta putra ketiga dari presiden saat ini, pada
semester ketiga di universitas—
Tamaki Rio, sekarang menginjak
usia 21 tahun, putri dari toko manisan terbesar di timur laut, bernama
[Tamakiya]. Dengan satu kakak laki-laki, dia adalah putri sulung dan
satu-satunya dalam keluarga, dan saat semester ke-6 di universitas (setelah satu tahun di luar negeri) saat
ini—
Hal tersebut sudah cukup untuk
menyimpulkan situasi kami berdua dalam beberapa kalimat. Keluarga Isurugi dan
Tamaki terkenal di seluruh penjuru negeri — mengatakan itu akan sedikit
berlebihan, tetapi mereka memang terkenal di bagian timur laut jepang, membuat
diri mereka menjadi keluarga yang terpandang.
Dari sudut pandang orang luar,
pernikahan kami pasti akan terlihat seperti acara yang membahagiakan bagi kedua
keluarga, karena itu adalah pernikahan dua keluarga konglomerat. Kami berdua
mendapat berkah keluarga terhormat, berada dalam kelompok pemenang dalam hidup,
menapaki jalan yang mudah.
Namun, pada kenyataannya sangatlah
berbeda. Pernikahan kami jauh dari kata mudah. Rumit, kompleks…… dan lebih dari
segalanya, kondisi emosi buruk yang terus-menerus. Baik Rio maupun aku tidak
memutuskan pernikahan ini karena ada perasaan cinta di antara kami.
Tentu saja, aku tidak dapat
mengesampingkan fakta bahwa pernah ada saat-saat dimana kami berbagi perasaan seperti
itu … tapi semuanya sudah menjadi kisah masa lalu. Kami berdua memilih
pernikahan ini untuk memenuhi tujuan kami masing-masing.
Rio ingin menstabilkan keadaan
finansial keluarganya. [Tamakiya] adalah produsen manisan Jepang dengan sejarah
lama di sini di timur laut Jepang, tapi karena beberapa peristiwa malang yang
terus menimpa mereka dalam beberapa tahun terakhir, keadaan finansial mereka
sangat merosot. Itulah sebabnya, Rio memutuskan untuk menikah denganku untuk
memulihkan kondisi keuangan [Tamakiya]. Tentu saja, tidak ada cinta maupun
perasaan romantis sama sekali. Bahkan jika ada secuil cinta, maka perasaan
tersebut akan tertuju [Tamakiya], dan pastinya bukan untukku.
Sedangkan diriku, aku terpaksa
segera mencari pasangan karena suatu alasan. Karena kami berdua memiliki
keadaan yang membuat kami terpojok, dan karena kami masih menjadi mahasiswa,
kami memutuskan untuk menikah demi alasan kenyamanan. Tentu saja, hanya sedikit
orang yang mengetahui kebenaran ini. Bahkan orang tua kami mengira kalau kami
menjalin ikatan cinta yang murni.
Dalam kehidupan pengantin baru
yang akan datang ini, kami harus bertingkah seperti pasangan yang bahagia, dan
terus menipu semua orang—
Hari pertama kehidupan pengantin
baru kami dimulai. Pada Minggu pagi, kami berdua tidak perlu khawatir tentang
jam kuliah. Setelah menggosok mata, aku bangkit dari tempat tidurku, dan
melangkah keluar ke ruang tamu. Di sana, aku bertemu Rio yang sedang melipat
futonnya. Sejenak, otakku terasa membeku. Tampaknya hal yang sama juga terjadi
padanya, karena dia baru saja memulainya dengan rasa tidak percaya.
“Ah…”
“Y-Ya… pagi.”
“…Pagi.”
Kami bertukar salam dengan canggung.
Benar, hal ini hampir meleset dari pikiranku. Kami mulai hidup bersama kemarin.
Maksudku, aku mengetahuinya, dan aku telah mempersiapkan diri sampai batas
tertentu, tapi itu tidak membuat situasi ini kurang mengejutkan. Setelah bangun
tidur, aku disambut oleh istriku. Hanya itu saja… terlalu luar biasa untuk aku
pahami. Meski ini adalah rumahku sendiri, entah kenapa rasanya sangat asing.
Aku yakin Rio pasti menyadari
celah ini, wajahnya jelas-jelas tercengang. Tidak, aku rasa dia tidak sama. Dia
pindah ke rumahku, tempat yang tidak dia kenal, dan bermalam di lingkungan yang
berbeda. Dia pasti melakukan hal berbeda dari rutinitasnya yang biasa.
“Jadi…yah… Apa kamu… bisa
tidur?”
“Selain futon yang murahan, ya,
aku bisa tidur nyenyak.” Dia berkata sambil mendesah.
“Maaf saja kalau itu murahan,
oke. Aku yakin ini pasti berbeda dengan tempat tidur mewah yang biasa kamu
nikmati di tempatmu.”
“Serius, kenapa aku harus tidur
di ruang tamu, sih.”
“Karena cuma tempat ini satu-satunya
pilihan yang tersisa, ingat?”
Di apartemen 1LDK* ini, cuma ada
satu ruangan selain ruang tamu, ruang makan, dan dapur yaitu single bedroom.
Biasanya, pria dan wanita yang tinggal bersama sebagai pasangan akan tidur di
kamar yang sama. Namun, kami adalah pasangan palsu. Kami tidak bisa tidur di
ranjang yang sama. Dan mengenai masalah ini, kami melakukan debat sengit pada malam
sebelumnya. (TN:
1 Living room, Dining, Kitchen alias satu ruang tamu, ruang makan, dan dapur)
“Hei, di mana aku bisa tidur?”
Rio bertanya.
“Untuk jaga-jaga, aku sudah
membeli futon.”
“Futon? yah, baiklah… Tapi, di
mana aku harus menaruhnya? ”
“… Di sebelah tempat tidurku,
mungkin?”
“Ap… A-Apa kamu menyuruhku
untuk tidur sekamar denganmu?”
“Aku tidak punya ruangan lain
yang dapat kamu gunakan. Aku sendiri merasa enggan, tapi aku akan tahan dengan
itu.”
“Hah? Kenapa kamu sangat
menentangnya?”
“Kenapa tidak? Kamu akan
merusak tidur nyenyakku.” Aku memberikan komentar yang pedas.
“Hmpf, meski kamu bilang
begitu. Pada dasarnya, kamu terlalu kegirangan untuk berada di ruangan yang
sama denganku sampai-sampai kamu tidak bisa tidur iya ‘kan.”
“Bisa tidak jangan mengartikan
seenak jidatmu!?”
“Aku sudah muak. Apa menurutmu
sesuatu akan terjadi hanya karena kita tidur di kamar yang sama? Masih berharap
karena aku ini mantanmu? Maaf saja ya, tapi aku ini bukan wanita gampangan.”
“... Kamu benar-benar tidak
perlu senarsis begitu, lagian tidak ada yang bertanya.”
“Pokoknya, aku tidak ingin
tidur sekamar denganmu. Tidak ada yang tahu apa yang mungkin kamu lakukan
padaku.”
“Lalu apa? Aku bisa tidur di
ruang tamu, jadi kamu bisa mengambil tempat tidurku?”
“Ogahh. Tidur di tempat
tidurmu… pasti sangat bau. ”
“… Apa kamu sudah puas
mengejekku?”
Akibat percakapan ini, Rio tidur
di ruang tamu dengan futon baru yang kubeli.
“Kita perlu memikirkan sesuatu.”
“Eh?”
“Aku sedang membicarakan tempat
tidurmu. Kamu tidak bisa terus-terusan tidur di ruang tamu. Kita bisa memasang
tirai di kamar tidur dan mendapatkan tempat tidur lain, atau pindah ke
apartemen yang lebih besar. ”
“Tidak perlu. Aku pasti akan
terbiasa. Apalagi… Aku tidak ingin menggunakan terlalu banyak uang. ” Rio
menolak tawaranku tanpa ragu-ragu. “Lagipula, kamu tidak punya banyak uang,
‘kan? Ayahmu sangat rewel dalam hal uang. Apa motto keluargamu? ”
“'Jangan tinggalkan tanah demi keturunanmu'.”
“Benar, memang begitu.”
'Jangan
tinggalkan tanah demi keturunanmu'. Kata-kata ini telah ditinggalkan
oleh Saigou Takamori, yang pada dasarnya diterjemahkan menjadi 'Jangan tinggalkan harta apapun untuk
anak-anakmu, atau mereka tidak akan bekerja keras untuk mendapatkan uang
mereka'. Keluarga Isurugi mempunyai garis keturunan yang panjang menjadi
tuan tanah pada masa feodal, dan motto ini rupanya masih bertahan hingga saat
ini. Tentu saja, aku tidak terkecuali, dan motto ini telah berakar kuat dalam
diriku sejak aku masih muda.
“Nah, karena keluargaku sudah
membiayai sekolah dan menyediakan tempat tinggal, setidaknya aku harus mencari
nafkah sendiri dengan bekerja sambilan.”
“Hampir seperti yang sudah aku
duga. Kurasa beberapa hal tidak pernah berubah. Keluargamu selalu memiliki lebih
banyak uang ketimbang keluargaku, namun kamu tidak menggunakannya sama sekali.”
Ujar Rio, hampir seperti dia tidak percaya. “Kemudian lagi, aku sendiri tidak
mampu untuk hidup dalam kemewahan. Aku perlu menghemat uang sebisa mungkin.”
“Cara berpikir yang cukup
mengagumkan, bukan.”
“Aku tidak punya pilihan lain,
kan.” Ucapnya dengan kesal, tapi tetap teguh. “Mulai sekarang, kita harus hidup
bersama sebagai pasangan yang sudah menikah, ‘kan.”
“………”
“Yah, kita berdua masih
mahasiswa, jadi melakukan semuanya sendiri mungkin tidak mungkin… Tapi, aku
ingin mandiri sebisa mungkin.”
Aku terkejut………terlalu kasar
untuk mengatainya begitu, tapi aku benar-benar terkejut dengan betapa seriusnya
Rio mempertimbangkan kehidupan pengantin baru kami mulai sekarang. Tentu saja,
itu tidak akan cukup untuk menghilangkan semua kekhawatiran yang aku miliki,
tetapi mengetahui bahwa dia memikirkan hal ini setidaknya meyakinkan. Aku
melihat Rio dengan sentimen seperti ini, ketika…
“A-Apa? Mengapa kamu tiba-tiba
menatapku… Ah, jangan bilang. ” Rio menunjukkan senyum tipis, dan
menyembunyikan tubuhnya di balik lengannya. “Kegirangan saat melihat mantanmu
memakai piyamanya?”
“... Apa yang kamu bicarakan.”
Kepalaku mulai sakit. Aku
merasa seperti orang bodoh karena sempat memujinya.
“Aku tidak peduli tentang kamu
dan piyamamu.”
“Meski kamu bilang begitu, tapi
aku merasa kalau kamu menatapku untuk sementara waktu sekarang ~”
'Terutama
di sekitar area ini' — ujarnya, dan menunjuk dadanya sendiri. Karena
dia mengenakan piyama longgar, dadanya lebih terbuka daripada yang aku
harapkan. Dari sana, aku bisa melihat lebih dalam pada belahan dadanya.
“Urk ...” Aku kehilangan
kata-kata.
Sejujurnya… Aku benar-benar
melihatnya. Aku juga seorang pria, tahu. Jika ada belahan dada terbuka tepat di
depanku, mana mungkin tatapanku tidak akan mengarah ke sana. Atau, sejujurnya —
penampilan piyamanya benar-benar seksi. Aku bahkan belum pernah melihatnya
berpakaian seperti itu saat kita masih berpacaran, tahu? Dia… begitu tidak
berdaya, dan penuh dengan celah.
Belum lagi kalau kamu
mengenakan piyama adalah sesuatu yang hanya akan kamu tunjukkan kepada
seseorang yang dekat denganmu. Seperti keluargamu, kekasih yang tinggal
bersamamu — atau pasangan dalam pernikahan. Sekarang aku melihatnya seperti
itu, anehnya aku merasa puas, dan damai. Tapi tentu saja, aku tidak bisa secara
terbuka menunjukkan emosi ini. Jika dia tahu kalau aku benar-benar melihat
penampilannya, dia akan menggodaku terus-terusan.
Dengan pemikiran ini di
benakku, aku berencana untuk mengalihkan pandanganku… Tapi, pemikiran tersebut
masih terlalu naif.
“Hehe ~” Rio menyeringai penuh
kemenangan. “Ya Tuhan, kamu masih saja pria yang lugu, Haru. Kamu bilang kalau kamu
takkan melihatku sebagai seorang wanita, namun kamu terus menerus menatapku
dengan nafsu. Imutnya ~ ”Dia mendekatiku, dipenuhi dengan kegembiraan ke titik
di mana terlalu menyilaukan untuk melihatnya, dan mengintip wajahku dari dekat.
“Yah, aku bukan iblis, jadi… Jika kamu memohon padaku, aku mungkin akan
membiarkanmu melihat sekilas? 'Rio-onee-sama,
aku mohon!', Ayo, bilang~”
“…Dasar bego.” Aku mati-matian
menyembunyikan keterkejutanku, dan menanggapi dengan ekspresi dingin. “Jika
kamu akan menggodaku, setidaknya cuci muka dulu. Masih ada air liur di mulutmu.
”
“Eh. mana mungkin!?” Rio dengan
panik melompat ke belakang, menyembunyikan mulutnya.
Aku memunggunginya, dan…
“Cuma bercanda.” Kataku, dan
menuju kamar mandi.
“~~ !! Be-Berani-beraninya kamu
menggodaku seperti itu. Padahal kamu itu cuma Haru! ” Setelah mengeluh dengan
nada merajuk, Rio mengejarku, mencoba untuk menuju ke kamar mandi duluan. “Minggir.
Aku akan menggunakannya dulu.”
“Di mana rasa terima kasihmu
untuk pemilik apartemen ini?”
“Mulai hari ini, aku juga
pemiliknya.”
“…Benar juga.” Aku menghentikan
kakiku, dan mendesah.
Ya ampun, bahkan belum tiga
puluh menit berlalu, dan kita sudah membuat keributan seperti ini? Apa kita
akan baik-baik saja?
Karena kami berkeliling
mengunjungi kerabat kami hampir sepanjang waktu hingga akhir-akhir ini, kami
sering makan di luar, lemari es hampir kosong. Oleh karena itu, kami sarapan
sederhana dengan roti panggang. Selama paruh pertama hari ini, aku tidak punya
urusan, jadi aku bisa menikmati secangkir kopi.
“Kamu mau kopi juga?”
“Tentu ~”
“Dengan kafein atau tanpa
kafein?”
“Hmm, tanpa kafein.”
Aku menuangkan beberapa sendok
dengan Dolce Gustoku, dan membuatnya untuk Rio juga. Tentu saja, aku tahu bahwa
Rio meminum kopinya tanpa kafein, dan aku sudah menyiapkan bungkus kopi tanpa
kafein bahkan sebelum dia pindah bersamaku, tetapi jika dia mengetahuinya ...
'Huh,
jadi kamu menyiapkan ini hanya untukku, kan. Kamu bahkan masih mengingat selera
mantan pacarmu ... Agak menjijikkan.’
Aku takut mendengar hal itu
darinya, jadi aku pergi untuk mengkonfirmasi hal itu dengannya untuk yang
terakhir kali… Rasanya seperti aku hanya melawan diriku sendiri pada saat ini,
tapi terserahlah.
“Ini dia.”
“Terima kasih.”
Aku menyerahkan cangkir kepada
Rio, saat dia duduk di sofa. Duduk di sebelahnya pasti terlalu berlebihan, jadi
aku memilih kursi di meja makan.
“Rio, apa kamu punya rencana
hari ini?”
“Ara~? Apa kamu tertarik dengan
rencanaku? ”
“Setidaknya itu yang bisa aku
tanyakan sebagai suamimu, tahu? Jika kamu tidak ingin memberitahuku, tidak
apa-apa.”
“Aku sedang berpikir untuk
pergi berbelanja.” Kata Rio, melihat sekeliling ruangan, sambil menghela nafas.
“Harus kuakui kalau ruangan ini sangat bersih sampai-sampai aku tidak mengira
ada pria yang tinggal di sini sendirian, tetapi ... ruangan ini hampir tidak
ada apa-apa, itu benar-benar membuatku takut.”
“Kamu ini berniat memujiku atau
mengeluh, sih.”
Bukannya aku menjalani gaya
hidup minimalis, tapi aku bukanlah tipe orang yang menaruh barang-barang di
apartemen yang tidak terlalu aku butuhkan. Aku baru tinggal di sini selama
sekitar satu tahun, tapi memang benar bahwa apartemenku cukup ... kosong dalam
hal furnitur. Meski, sampai dibilang kalau itu membuatnya takut sangatlah
berlebihan jika kamu bertanya kepadaku.
“Karena tidak ada cukup barang
bagi kita untuk tinggal di sini dengan nyaman, aku perlu membeli beberapa
barang. Peralatan makan, handuk, dan semacamnya. Aku juga ingin membeli sampo
dan riasanku sendiri. Saat aku menggunakan sampomu tadi malam… rasanya seperti
langsung melukai rambut indahku. ”
“Yah, maaf saja Ojou-sama. Ini
sampo pria untuk menghilangkan seluruh kulit kepala yang mati.”
“Kita memang memiliki sejumlah
uang dari hadiah pertunangan, jadi kami dapat menggunakannya untuk membeli
kebutuhan sekarang.” Tutur Rio, dan meletakkan cangkirnya.
Dia menyibakkan rambutnya, dan
menyilangkan kakinya.
“Kalau kamu bagaimana, Haru?
Jika kamu mau membawa semua barang untukku, aku tidak keberatan untuk membawamu?
” Dia berbicara dengan nada merendahkanku.
Aku memikirkannya sebentar. Dari
awal, aku sudah berencana untuk ikut dengannya, tetapi tidak jadi ikut jika dia
menunjukkan sikap seperti itu kepada aku. Tidak bisakah dia jujur dan
bertanya padaku seperti biasa?
“... Aku takkan ikut” Balasku.
“Kita tidak perlu bersama di hari libur seperti ini. Kita berdua harus menghargai
kehidupan pribadi kita.”
“………”
“Jika ada sesuatu yang kita
butuhkan, kita harus membelinya untuk diri kita sendiri. Itu membuat segalanya
lebih efisien.”
“… Baiklah kalau itu maumu.
Meski aku berusaha keras untuk mengajakmu.” Rio berbicara dengan nada cemberut,
dan mengeluarkan smartphone-nya.
Sikapmu tadi termasuk ajakan?
“Kamu benar-benar tidak bisa diandalkan
lagi, Haru. Kalau begitu aku akan melakukannya sendiri.”
“…Asal kamu tau.” Aku mendapat
firasat buruk dari dia mengoperasikan smartphone-nya, jadi aku angkat bicara.
“Kamu tidak boleh menggunakan mobil keluarga atau semacamnya, oke?”
“Ugh…” Rio membeku.
Aku pikir dia sedang mencoba
memanggil pembantu dari keluarganya untuk membantu.
“Tepat sasaran, ya ... Bukannya
tadi kamu bilang ingin menjadi mandiri?”
“Me-Mendapatkan sedikit bantuan
itu wajar, ‘kan !? Aku tidak punya mobil atau SIM!”
Jelas tidak. Tapi, aku tidak
bisa menyalahkannya. Sejak kita masih muda, kita telah hidup bermewah-mewahan. Aku
mendengar kalau pembantu dari keluarganya mengantarnya ke sekolah. Jadi hal itu
pasti sudah terukir di kepalanya bahwa 'Tempat
Tujuan = Tempat yang bisa dituju oleh pembantu dari keluargaku'.
“Mahasiswa normal biasa menggunakan
alat transportasi umum, lho. Dari tempat ini, pasti lebih mudah naik bus. Tapi
yah, itu mungkin agak terlalu sulit untuk wanita tajir yang manja seperti
kamu.”
“Huuuuuh? Bisa tidak jangan
mengolok-olokku? Aku tahu cara menggunakan bus, oke. ” Dia membalas dengan nada
percaya diri, tapi aku bisa merasakan tingkat kecemasan darinya. “Um… yang itu,
kan? Aku harus membeli tiket di halte bus sebelum naik ke atasnya, ‘kan? ”
Dan dengan hal itu sudah jelas.
Masuk akal, dia bahkan tidak pernah menggunakan kereta dalam hidupnya. Jika aku
harus menebak, dia mungkin juga tidak pernah menggunakan bus umum. Dibandingkan
dengan keluargaku yang menyerahkan segalanya kepada anak-anaknya, Keluarga
Tamaki cenderung sangat protektif dalam membesarkan anak-anaknya.
“... Astaga.” Aku menghela
nafas panjang, dan berdiri dari kursiku. “Kalau begitu ayo pergi.”
“Eh?”
“Aku tidak punya urusan dalam
jadwalku pagi ini, jadi aku akan menemani Nona Kaya.”
Rio menunjukkan ekspresi kaget
sesaat, lalu segera membusungkan pipinya dengan cemberut.
“… Hmpf. Kamu harusnya bilang
begitu dari awal. Kejujuran lebih cocok untukmu.”
“Kamu ini tidak pernah kapok,
ya.”
Sambil mengajari wanita manja
itu cara naik bus, kami menuju ke tujuan kami — Toko perabotan interior besar
yang menjual berbagai macam barang. Karena lantai pertama praktis merupakan
seluruh tempat parkir, kami naik lift ke lantai dua.
“Setelah kita di dalam, ayo
jaga jarak di antara kita.”
Begitu kami turun dari lift,
Rio melemparkan kata-kata itu ke arahku dengan ekspresi tegas.
“Kenapa?”
“Coba pikirkan baik-baik. Di
akhir pekan seperti ini, seorang pria dan wanita berbelanja kebutuhan
sehari-hari. Jika seseorang melihat kita di sini… ”Rio melanjutkan, sedikit
tersipu. “Me-Mereka akan menganggap kita sebagai pasangan pengantin baru yang
sangat mesra, ‘kan…!”
“………”
Aku mengerti apa yang dia coba
katakan. Jika seseorang melihat pasangan muda seperti kita berbelanja kebutuhan
sehari-hari, 9 dari 10 orang akan menilai hubungan kita seperti itu — Pasangan
yang sudah menikah, atau pasangan yang tinggal bersama.
“Kita tidak pernah tahu siapa
yang melihat. Tidak seperti kamu, aku sebenarnya punya banyak teman di
universitas. ”
“Aku juga punya teman, oke.”
sanggahku. “Aku mengerti apa yang ingin kamu katakan, tapi ... memamerkan daya
tarik 'pasangan yang sudah menikah'
kepada orang-orang di sekitar kita sangat penting untuk pernikahan kita,
ingat?”
Bahkan orang tua atau saudara
kami tidak tahu kalau kami berdua sebenarnya dalam pernikahan palsu. Itulah
sebabnya, kita harus menipu keluarga kita, serta seluruh dunia. Agar tidak ada
yang tahu bahwa kami hanya berpura-pura, kami perlu menunjukkan kemesraan kami.
Kami harus selalu berhati-hati bahkan dalam kehidupan kita sehari-hari — Tidak,
terutama karena kita sedang berada di luar sekarang, kita tidak boleh ceroboh.
Lagipula… ada salah satu kerabatku yang cukup merepotkan…
“Supaya tidak ada yang curiga,
kita harus berperilaku layaknya pasangan yang sudah menikah dalam situasi di
mana seseorang bisa mengawasi kita.”
“… Aku mengerti, tapi…”
“Tentu saja, aku takkan
memaksamu. Jika kamu terlalu malu tentang itu, aku tidak keberatan menjaga
jarak.”
Aku pribadi berpikir bahwa aku
sedang menaruh perhatian, tapi…
“H-Hah? Siapa juga yang akan
malu?” Rupanya, dia salah paham. “Aku tidak keberatan, oke? Buat apa merasa
malu segala.”
“Bukannya kamu merasa malu
kalau ada teman-temanmu melihatmu bersamaku?”
“Itu… A-Aku khawatir karena akting
payahmu! Hal ini jelas-jelas menunjukkan kalau kamu sama sekali tidak punya
pengalaman dengan wanita, jadi siapa yang akan percaya kalau kamu sudah
menikah!”
“Urk…”
Wanita ini, omongannya selalu
saja bikin nyelekit…!
“Aku tak keberatan, tahu ~
Karena aku tidak menaruh rasa apa-apa padamu, aku bisa bertindak seenak yang
aku mau ~”
“Dan kamu ingin bilang kalau aku
ini berbeda? Jangan bercanda, sedikit akting saja bukan masalah besar. ”
“Hmm benarkah? Lalu — bagaimana
kalau kita berpegangan tangan? ”
“Apa…”
Ketika aku melihat Rio
menawarkan tangannya, aku gagal menyembunyikan keterkejutanku. Seperti yang
diharapkan, Rio menunjukkan senyum cerah.
“Lihat, kamu jadi malu ‘kan! Aku
benar-benar melihatnya! Wajahmu merah padam, lho! ”
“……”
“Hmmmmm? Aneh ~ Kupikir ini
bukan masalah besar untukmu, ‘kan ~? ”
“... Dasar wanita sialan.”
Rio tampak gembira melihatku
tersipu, dan terus menggodaku. Rasa malu yang kurasakan karena darah mengalir
deras ke kepalaku.
“Hehe ~ Merasa malu karena cuma
berpegangan tangan doang, kamu masih muda—”
Saat Rio berjalan di depan, aku
menyusul di sampingnya, dan meraih tangannya. Set, aku mengerahkan
banyak tenaga saat menggenggamnya. Itu bukan hanya pegangan biasa, aku
membuatnya agar jari-jari kami terjalin — menciptakan pegangan kekasih.
“Eh… hah…” Untuk sesaat, wajah
Rio memerah seperti tomat.
Awalnya aku berencana
menggodanya tentang itu, tapi… Sejujurnya, aku tidak punya waktu luang untuk
melakukan itu. Kehangatan dan sensasi lembut yang aku rasakan di telapak
tanganku merampas kemampuan berpikirku, saat jantungku mulai berdegup kencang.
Sudah berapa tahun sejak aku memegang tangan Rio seperti ini…
“A-Apa yang sedang kamu
lakukan…?”
“… Bukankah kamu yang menawarinya
duluan?”
“Tapi, melakukannya dengan
paksa …”
Dia tampak marah, tapi suaranya
semakin lama semakin mengecil, dan dia tidak menunjukkan niat untuk
menyingkirkan tanganku. Menurutku dia tidak terlalu membencinya. Atau, itulah
yang ingin aku percayai.
“… Saat kita masih pacaran,
kita cuma bergandengan tangan sampai lima kali…”
“Kamu menghitungnya? Dan masih
mengingatnya?”
“Ap… A-Apa tidak boleh!? Maaf saja
ya, sayangnya aku punya ingatan yang sangat bagus! ” wajah Rio menjadi semakin
memerah, dan mencoba berteriak keberatan, tapi aku tidak bisa mengolok-oloknya
karena itu.
Lagipula — aku juga masih mengingatnya.
Di masa-masa SMA, kami cuma pacaran sebentar, tetapi kebahagiaan yang aku
rasakan saat itu masih terukir jelas di hatiku. Aku ingat kami berpegangan
tangan sampai lima kali. Dan, setiap situasi saat itu terjadi masih mengakar
kuat di otakku. Aku punya inisiatif dua kali, sedangkan Rio memulainya tiga
kali. Sungguh, ini menjijikkan. Aku masih menaruh rasa padanya, aku bahkan
tidak bisa mengejeknya.
“Aku bisa melepaskannya jika
kamu membencinya.”
“… A-Aku tidak membencinya. Aku
tidak merasakan apa-apa, kok. Rasanya tak jauh berbeda dengan bernapas bagiku.:
Atau begitulah yang dia katakan, saat ekspresi mukanya menyatakan kebalikannya.
“Y-Yah, menunjukkan daya tarik pengantin baru sambil berjalan-jalan tidak ada
salahnya, kurasa?”
“… Ya, kita harus terlihat
seperti pasangan yang sudah menikah jika kita berbicara seperti ini.”
“Dan….cuma berdiri terus akan
membuang-buang waktu, jadi ayo pergi.”
“Ya.”
Dengan tangan yang saling
terjalin, kami mulai berjalan. Kami hampir seperti pasangan yang sudah menikah
— Namun, kali ini tidak berlangsung lama. Dari sudut di depan kami muncul
sebuah keluarga kecil.
““ – !? ””
Kami berdua segera melepas
genggaman tangan kami . Keluarga kecil melewati kami, terlalu asyik dengan
percakapan mereka sehingga mereka bahkan tidak melihat kami. Ini bukan
seolah-olah kami dilihat buruk, tapi… Bagi kami berdua, berpegangan tangan di
depan umum tampaknya menjadi rintangan yang terlalu tinggi untuk ditangani saat
ini.
“Bu-Bukannya kamu terlalu
panik?” Rio menatapku, berusaha mendapatkan kembali ketenangannya.
“…Apa maksudmu?”
“Kamu menarik tanganmu duluan,
‘kan.”
“Hah? Jangan ngaco deh. Kamu
sendiri yang pertama kali melepaskannya.” balasku.
“Tidak, tidak, tidak, pasti
kamu dulu. Aku hanya terkejut saat kamu menarik tanganmu, jadi aku secara refleks
menarik tanganku juga.”
“Aku terkejut dengan wajah
anehmu, itulah sebabnya aku menarik tanganku.”
“Ak-Aku tidak memasang wajah
aneh!”
Kami mulai bertengkar seperti
anak kecil. Setelah kami melanjutkan pertarungan tanpa hasil ini untuk sesaat,
kami mulai berjalan lagi. Tentu saja, kali ini tanpa berpegangan tangan.
Karena kesalahan ini, kami
menjaga jarak canggung yang hanya diisi dengan ketegangan, tetapi kami entah
bagaimana bisa selesai membeli semua yang kami butuhkan. Peralatan makan dan
peralatan memasak, handuk biasa dan handuk mandi, dll. Aku rasa kita
benar-benar membutuhkan lebih banyak barang sekarang karena kita tinggal
bersama.
“Bagaimana kita pergi makan di
suatu tempat?”
Setelah meninggalkan area
belanja, posisi mentari tepat di atas kepala kami.
“Oh ya.” Balas Rio tampak acuh
tak acuh.
“Kamu tidak keberatan makan di
restoran keluarga, kan?”
“Tentu.”
Kami mulai berjalan menuju ke
restoran keluarga terdekat.
“… Oh, iya. Karena kita tidak
punya bahan makanan di kulkas, kita harus membeli beberapa untuk makan malam.
Makan di luar dua kali akan menusuk hati nuraniku… ”
Pergi ke supermarket sambil
membawa semua barang yang kita beli hanya akan bikin repot, jadi lebih baik
kita pulang dulu… Aku sedang membuat rencana begitu, tapi Rio tiba-tiba angkat
bicara.
“Nee, Haru.” Rio membuka
mulutnya. “Setelah kita makan siang, bagaimana kalaa kita berpisah dulu?”
“Berpisah?”
“Aku masih ingin membeli
make-up, sampo, dan sebagainya. Dan, kamu ada kerja sambilan di sore hari, kan?”
“Memang sih… Tapi, itulah
mengapa aku berbicara tentang makan malam sekarang. Tidak ada waktu untuk pergi
berbelanja setelah aku pulang kerja…”
“Makan malam? Hehe, kamu bisa
fokus saja pada pekerjaanmu, dan serahkan semuanya padaku, Haru. ” Rio membusungkan
dadanya yang montok. “Karena kamu sudah memiliki istri yang sangat berbakat
sekarang.”
Sederhananya, keterampilan
memasak Rio adalah… cukup rendah. Atau bahkan bisa dibilang, hampir tidak ada.
Tentu saja, ini bukan karena dia tidak cakap memasak, melainkan karena asuhan
keluarganya. Pekerjaan rumah tangga dan memasak adalah tugas para pembantu,
karena ini adalah mentalitas keluarga kaya. Alih-alih meminta bantuannya dalam
pekerjaan rumah, dia malah disuruh fokus pada belajarnya. Begitulah anak bungsu
dan putri satu-satunya dari Keluarga Tamaki — Tamaki Rio tumbuh.
Ada suatu waktu di masa lalu di
mana aku harus menyantap makanan yang dia buat sendiri. Aku pikir itu terjadi
sekitar sebulan setelah kami mulai resmi berpacaran. Kami bertemu di taman
dekat sekolah setelah jam pelajaran berakhir, menikmati kencan yang sangat
mirip seperti kebanyakan siswa SMA — saat Rio menawariku kotak makan siang
buatannya.
'I-Ini
... Aku ingin kamu mencobanya.' Dia menyodorkan kotak makan
siang ke arahku dengan nada malu-malu, yang aku terima dengan senang hati.
Aku membuka tutupnya — dan tak
bisa berkata apa-apa. Hal yang aku lihat di dalam kotak bekal itu adalah pemandangan
hitam dan putih. Aku pikir dunia tiba-tiba berubah menjadi monokrom, karena
menunjukkan tanpa warna apa pun, hanya dua warna yang ada di dalam kotak itu.
'Um
... kamu suka hamburger ‘kan, Haru. Aku mencoba yang terbaik untuk membuatnya.’
Berkat penjelasan Rio, aku
mengerti benda apa yang tampak gumpalan hitam seperti batu bara. Pada saat yang
sama, nasi putih di sebelahnya tampak sempurna, kemungkinan dibuat dari seorang
pembantu di kediamannya, yang membantunya memasak. Kotak makan siang dengan
warna monokrom ini ternyata adalah kotak makan siang buatan Rio yang pertama.
'... Um ... M-Maaf, kupikir aku akan bisa menanganinya dengan lebih baik,
tapi ... K-Kamu tidak perlu memakannya jika kamu tidak menyukainya.'
Dia pasti merasa cemas karena
reaksiku, saat dia menunjukkan ekspresi minta maaf. Melihat ekspresinya itu,
dan tangannya penuh dengan plester, hanya ada satu pilihan yang harus aku
ambil. Aku mengeluarkan sumpit, dan mulai mengunyah makanan.
'Eh,
H-Haru?'
'...
Yup, enak!' Aku mengunyahnya dengan agresif, lalu
menelannya. ‘Aku bisa memakannya dengan
baik. Ini dibuat dengan cukup baik’
Aku mencoba yang terbaik untuk
membuatnya terdengar positif, tetapi… Tentu saja, rasanya tidak enak sama
sekali. Sebaliknya, memakannya cukup sulit. Bayangkan saja kalau kamu makan
arang, gimana rasanya?. Untungnya, rasanya tidak seburuk itu aku harus
memuntahkan semuanya lagi. Meskipun bagian luar hamburger dibakar sampai
garing, rasa daging yang berbeda bisa aku ambil di dalamnya, dan nasinya
dimasak dengan sempurna, jadi itulah anugrah tersembunyi untukku. Aku berusaha
sebaik mungkin untuk tetap tersenyum sambil menelan hamburger yang terbakar —
dan Rio memperhatikanku dengan ekspresi bahagia.
Selesai. Kilas balik selesai.
Itu adalah kenangan yang pahit manis… atau lebih tepatnya, kenangan yang tidak
menyenangkan dari masa mudaku. Mungkin karena aku pernah mengalami hal ini
sebelumnya, aku langsung diserang dengan firasat buruk ketika Rio mengungkit
memasak makanan. Sebagai seorang pria, aku harus menyantap makanannya dengan
senyuman tidak peduli seberapa buruk itu, tapi — Sekarang, kami adalah pasangan
yang sudah menikah.
Jika cuma sesekali, aku mungkin
bisa mengatasinya. Bukan berarti masakan yang buruk akan membunuhku. Tapi… beda
lagi ceritanya jika dia memasak setiap hari. Aku tidak tahu apa aku bisa
mengatasinya. Memikirkan tentang kehidupan kita bersama mulai sekarang, aku
perlu membuat Rio menyadari betapa buruknya masakan dia yang sebenarnya. Tapi,
bagaimana aku harus memberitahunya hal itu?
Dengan kekhawatiran ini, aku
menuju ke tempat kerjaku. Namun, beberapa jam kemudian, aku terpaksa menelan
perkataanku sendiri.
“Apa…!”
Waktunya sudah lewat jam 6
sore. Setelah aku pulang dari pekerjaanku, aku melihat hidangan di atas meja,
benar-benar kagum. Steak hamburger, nasi, sup miso, salad, yoghurt buah,
bukanlah makan malam yang mewah, tapi pasti juga tidak kurang… Sederhananya,
itulah yang kamu harapkan dari makan malam biasa.
“Hehehe. Apa ada yang salah, Darling?”
Kata Rio, memakai celemek di atas bajunya.
Dia tampak sangat senang
melihat ekspresi tercengangku.
“Apa kamu… yang membuat semua
ini?”
“Tentu saja, memangnya siapa
lagi?” Ujarnya dengan senyum percaya diri, dan membusungkan dadanya. “Kenapa
kamu begitu terkejut? Sesuatu dari level ini benar-benar normal ~ Aku baru saja
membuat makan malam biasa ~ ”
“… Maksudku, tentu saja aku akan
terkejut. Masakanmu… Seingatku, aku masih bisa melihat filter monokrom setelah
makan kotak makan siang monokrommu. ”
“Jangan menyebutnya kotak makan
siang monokrom! Lupakan saja tentang itu!” Rio membalas dengan panik. “Maksudku
... bahkan aku sudah tumbuh dewasa.” Imbuhnya, dengan seringai nakalnya.
Meski dibuat terkejut, aku tetap
duduk, dan mulai makan. Tentu saja, aku mengharapkan beberapa perkembangan
seperti 'Kelihatannya bagus tapi rasanya
tidak enak', tapi ternyata tidak seperti yang kukira.
“Jadi? Bagaimana? Apa rasanya
enak?”
“… Ya, rasanya enak kayak biasa.”
“Hei, apa maksudmu dengan kayak
biasa?” Rio menyuarakan keluhan, tetapi aku bisa mendengar sedikit kelegaan dan
kegembiraan dalam suaranya.
Tanpa dibesar-besarkan, rasanya
enak. Tentu saja, itu bukanlah sesuatu yang luar biasa, tapi setidaknya bisa
dimakan. Ke tingkat di mana aku ingin memakannya setiap hari.
“Ayo, makan lebih banyak hamburger.
Ini bukan makanan yang dipanaskan kembali. Aku sudah berlatih keras, jadi aku
yakin. Cobalah sup miso, ya! Aku membuatnya dari kaldu sup biasa.”
“Ba-Baiklah, aku mengerti.”
Saat aku mendengarkan
kesombongan Rio, aku menguji masakan buatannya. Setelah memperhatikanku
sebentar, dia mulai makan sendiri.
“Hm… Enaknya. Seperti yang
diharapkan dari bakat jeniusku.”
“Sejak kapan kamu bisa memasak
begitu baik…”
“Seperti yang sudak kubilang,
aku sudah tumbuh dewasa. Akhir-akhir ini, aku banyak berlatih di rumah.” Tutur
Rio. “Ini bukan hanya memasak, tahu? bersih-bersih, mencuci, aku bisa melakukan
semuanya sendiri. Dulu saat aku pacaran denganmu… Aku mungkin adalah wanita
manja yang tidak bisa melakukan apa-apa sendiri, tapi wanita berubah. Ini hanya
beberapa tahun, tetapi itu bisa sangat berarti.”
“………”
“Pada dasarnya, gadis yang kamu
putus bertahun-tahun yang lalu telah tumbuh menjadi wanita yang pantas.” Dia
menyeringai, dan melanjutkan dengan nada percaya diri. “Dan? Kamu melewatkan
kesempatanmu, ‘kan? ”
Aku benci mengakuinya, tapi
sekarang dia menunjukkan kesempatan besar kepadaku, aku tidak bisa membantah.
“Ya, aku rasa begitu.” Aku
menunjukkan senyum masam, dan memberikan respon yang samar-samar.
❀❀❀❀
[Sudut Pandang Tamaki Rio]
Setelah makan malam—
Aku duduk di balkon, sedang
menelepon. Balkon di apartemen ini agak besar, tempat yang tepat untuk
berbicara di telepon tanpa ada orang yang mengupingmu.
'-Begitu
rupanya. Jadi masakan Anda berhasil tanpa kegagalan.’
“Sempurna. Aku berharap kamu
bisa melihat ekspresi kaget Haru, Hayashida.”
'Saya
turut senang mendengarnya. Saya tahu betul Anda sudah bekerja keras, Rio-sama.’
Dengan nada yang tenang seperti
biasa, aku bisa merasakan tingkat kehangatan tertentu dari ujung lain telepon —
Dari Hayashida Saeko. Dia adalah pembantu Keluarga Tamaki, berusia 29 tahun
pada tahun ini. Dia selalu dalam posisi pengasuhku, dan kemungkinan besar
pembantu yang paling dekat denganku. Meskipun posisi kami membuatnya agak
rumit, pada dasarnya aku menganggapnya sebagai kakak perempuan.
Sejak pernikahan palsuku dengan
Haru diputuskan, aku memintanya untuk mengajariku lebih banyak tentang memasak.
Tentu saja, sama halnya dengan masalah bersih-bersih dan cucian. Karena aku
adalah seorang wanita kaya yang tidak tahu apa-apa, Hayashida mengajariku
hal-hal praktis tentang segala hal. Itu hanya beberapa bulan, tetapi aku ingin
berpikir aku berusaha keras. Kurasa — kamu bisa menyebutnya sebagai pelatihan
istri.
‘Syukurlah,
Rio-sama. Anda berhasil membuat Haru-sama tersayang Anda bahagia.’
“Memang, kamu bisa mengatakan
itu lagi. Aku sangat senang karena Haruku tersayang menyukainya — Tunggu,
tunggu! ” Aku mengangguk pada awalnya, tetapi dengan cepat menyangkalnya.
“A-Apa yang kamu bicarakan, Hayashida!”
'Hm?
Apa Saya mengatakan sesuatu yang salah? Bukannya Anda sedang berlatih memasak
untuk memuaskan suami Anda tercinta, Haru-sama? Saya berasumsi bahwa niat Anda
mempelajari tugas-tugas rumah tangga dari saya adalah satu-satunya tujuan untuk
menyenangkan Haru-sama, apakah saya salah? '
“Sangat salah! Ini cuma
pernikahan palsu! Bukankah aku sudah memberitahumu tentang itu ?! ”
Hayashida jelas berpura-pura
untuk menggodaku, sedangkan aku dengan panik menyangkal segalanya. Dia adalah
salah satu dari sedikit orang terpilih yang tahu tentang pernikahan palsu ini.
Meski orang tua kita tidak tahu apa-apa, dia tahu semuanya. Tentang fakta bahwa
kami adalah pasangan nikah palsu… dan bahwa kami telah berpacaran sementara
waktu di SMA.
“Aku sudah tidak punya rasa
apa-apa lagi pada Haru, oke!”
'Ah,
jadi itu settingan yang akan kita lakukan.' Hayashida dengan tenang
mengabaikan upaya putus asaku untuk mengoreksinya.
Apa maksudmu dengan 'settingan'…
“A-Alasanku ingin belajar lebih
banyak tentang memasak dan bersih-bersih… supaya Ia tidak mengejekku. Akan
memalukan jika dia hanya menganggapku sebagai wanita manja yang tidak dapat
melakukan apa un sendiri. Pada dasarnya, aku ingin Ia menyesal karena sudah
melepaskanku, tapi sama sekali tidak ada perasaan romantis yang terlibat… ”
'Seperti
biasa, Saya tidak tahu apa yang sebenarnya Anda perjuangkan ...'
Hayashida terdengar seperti dia muak denganku. "Anda tidak perlu khawatir tentang hal seperti itu. Haru-sama
bukanlah tipe pria yang menyalahkan Anda atas ketidakmampuan anda, bukan? Ia
mungkin masih muda, tapi Ia memiliki kecerdasan dan akal sehat, belum lagi
sifat baiknya lebih dari apapun. Ia tidak akan berprasangka buruk bahwa nilai
seorang wanita sama dengan keterampilan pekerjaan rumah tangganya. "
“... Itulah sebabnya.” Aku
angkat bicara. "Orang itu ... Ia pasti tidak akan mengeluh tidak peduli
seberapa buruk masakanku ... Ia hanya akan memakannya dalam diam ... karena Ia
memang tipe pria yang seperti itu”
Aku teringat hari-hari SMA-ku —
masa lalu kelam yang lebih baik aku lupakan sekarang. Kotak makan siang yang
benar-benar kubuat, Haru memakannya seperti makanan itu adalah hal terlezat di
dunia. Kebahagiaan yang aku rasakan saat itu, dan rasa frustrasi yang muncul
karenanya, perasaan tersebut masih membekas di hatiku.
“Sejak aku menikah dengan pria
itu, aku hanya bisa bekerja keras untuk membuatkannya makanan yang enak.”
'...
Jika Anda ingin membual tentang betapa besarnya anda dicintai, saya selalu bisa
menutup telepon, tahu?'
“Ap… A-Aku tidak membual! Aku
hanya kesal karena Ia terus memedulikanku! Ia harusnya memberitahuku jika
rasanya tidak enak!”
“Ahh,
Saya iri sekali ...Saya juga ingin menikahi pria yang seperti Haru-sama. Mulai
sekarang, saya seharusnya berhenti dari posisiku, dan menjadi seorang istri
sebagai gantinya… 'Dia berbicara dengan acuh tak acuh, tapi aku
bisa mendengar nada sedih yang pasti dalam suaranya.
Beberapa tahun lalu, Hayashida
berhenti bekerja sebagai pembantu karena akan mengadakan pernikahan… Tapi, dia
langsung kembali. Aku belum mendengar detailnya, tetapi tampaknya pertunangan
itu dibatalkan.
'...
Sampai berapa lama saya akan bekerja sebagai pembantu ... Dan di sinilah saya,
merawat gadis kecil yang masih membutuhkan bantuan saya setelah menikah ...'
“…Aku bisa mendengarnya dengan
jelas, tau.”
Dan, kamu sengaja mengatakan
itu karena aku bisa mendengarmu, kan? Ya ampun.
'Mmm.
Pokoknya, 'Hayashida berkata seolah-olah ingin mengalihkan topik itu
sendiri. ‘Lakukanlah yang terbaik,
Rio-sama. Namun, pekerjaan rumah adalah pekerjaan yang berat, jadi jangan
berlebihan. Anda tidak perlu berbuat sejauh itu hanya untuk terlihat sebagai
wanita hebat di hadapan Haru-sama. "
“A-Aku tahu itu.”
'Yang
namanya Pernikahan mirip seperti perlombaan berkaki tiga. Tidak peduli seberapa
cepat atau lambatnya Anda, kedua belah pihak harus menyesuaikan kecepatan
mereka, sehingga mereka dapat bergerak maju. Itulah bagian yang terpenting.’
“…Ya terima kasih.” Suara tawa
samar keluar dari bibirku. “Fufu, kamu benar-benar bisa diandalkan, Hayashida.”
'Tidak
terlalu. Dan…Saya pikir saya harusnya tidak memberi anda banyak nasihat,
mengingat saya sendiri masih lajang. Dengan bagaimana pernikahan saya sendiri
berakhir, perkataan saya tidak memiliki banyak kredibilitas.”
“I-Itu tidak benar! Bagaimana bilangnya
ya… Karena kamu pernah gagal sampai begitu menyedihkan, perkataanmu jauh lebih
berharga! Seperti beban kutukan!”
'……'
Klik,
panggilan berakhir dengan Hayashida menutup telepon duluan. Aku ingin
memberikan tindak lanjut yang baik, tetapi kurasa aku memilih kata-kata yang
salah.
Setelah aku selesai mengucapkan
terima kasih dan melapor kepada Hayashida, aku kembali ke dalam. Haru berdiri
di dapur, mencuci piring. Ia mengurus peralatan makan yang kita gunakan
bersama, serta peralatan masak — Tunggu, mencuci piring !? A-Ahhhhhh!
“Dengarkan
baik-baik, Rio-sama.”
Saat aku mulai panik, kata-kata
Hayashida yang dia katakan tempo hari mulai memenuhi kepalaku.
'Memasak
di rumah termasuk pembersihan setelahnya. Seseorang yang terbiasa memasak selalu
berpikir tentang mencucinya saat mereka memasak.’
Inilah yang dikatakan Hayashida
kepadaku selama pelatihan.
'Bahkan
jika masakan anda berhasil dengan sempurna, Rio-sama, selama Anda tidak
membersihkannya dengan benar, semuanya akan sia-sia. Itu hanya akan membuatnya
berpikir 'Huh, jadi dia biasanya tidak memasak, ya', dan hal itu sangat
menurunkan pesona feminin anda. '
Dia mengatakan kepadaku sampai
tingkat itu membuat telinga aku berdarah. Namun, aku tetap saja…
'Ya,
aku sudah mengerti. Aku pasti akan melakukannya selama hari jadinya nanti, jadi
hari ini kamu saja yang mengurusnya, Hayashida.”
"...
Sungguh, anda ini wanita yang sangat manja.’
Waaaaaaaaah Aku benar-benar
mengacaukannya! Aku lupa tentang itu! Masuk akal jika aku akan melupakannya jika
aku tidak pernah melakukannya dalam latihan! Aku terlalu sibuk merasa bahagia
karena aku tidak mengacaukan makanan itu sendiri! Aku bahkan memotretnya untuk
merayakan kesuksesanku! Aku baru saja meninggalkan semua peralatan memasak dan
bahkan bahan-bahannya di sana—
“Ha-Haru!” Aku lari ke dapur
dengan panik. “Apa yang sedang kamu lakukan?”
“Maksudku… Mencuci piring?
Memangnya apa lagi?”
“Bi-Biar aku saja yang
melakukannya, kamu tidak perlu…”
“Ayolah, kamu sudah repot-repot
untuk memasak, jadi setidaknya aku bisa mencuci piring. Jangan khawatirkan
masalah itu, aku akan segera selesai.” Ucap Haru sambil bekerja membersihkan
wajan dengan gerakan berpengalaman.
Peralatan makan yang sudah Ia
masukkan ke mesin pencuci piring. Aku sudah terlambat, dia melihat semuanya
sekarang. Ia melihat situasi bencana di dalam dapur, menunjukkan bahwa aku
biasanya tidak memasak.
“U-Um… ini bukan seperti yang
kamu pikirkan, oke? Aku biasanya langsung bersih-bersih, tapi hari ini aku
merasa tidak enak… ”
“…Benar.” Saat aku sibuk
mencari-cari alasan, Haru hanya mengangguk seakan-akan sudah memahami semuanya.
“Ini benar-benar berantakan. Kamu meninggalkan semua yang kamu gunakan, bahkan
bahan-bahannya. Ini benar-benar terlihat seperti dapur setelah memasak dari seseorang
yang jarang memasak.”
“Urk… Kamu bisa tahu sampai sebanyak
itu?”
“Tentu saja.”
“Ka-Kalau begitu, apa kamu juga
sadar kalau aku menyuruh Hayashida mengurus semua belanja bahan-bahannya?”
“… Aku tidak tahu tentang itu.”
Ahhhh, sekarang aku bahkan
memberitahunya lebih dari yang dibutuhkan!
“Kamu meminta bantuan
Hayashida-san lagi…?”
“A-Apa lagi yang harus aku
lakukan! Aku tidak pernah berlatih berbelanja bahan-bahannya! Belum lagi aku
bahkan tidak tahu di mana supermarket lokal berada! ”
“Kalau begitu tanyakan saja padaku.
Aku bisa memberitahumu.” Haru menyingkirkan penggorengan sembari menghela nafas.
Sepertinya Ia selesai
membersihkan semua piring dengan sempurna.
“Ugh… Tertawalah sesukamu. Kamu
mungkin menganggapku sebagai wanita manja naif yang mencoba bertingkah keren,
bukan?”
“Aku tidak berpikiran begitu.”
Kata Haru. “Yah, mungkin sedikit.”
“Yang mana…”
“Aku takkan menertawakanmu
karena itu. Makan malam yang kamu buat… sangat lezat. Kamu membuat ini, ‘kan? ”
“Y-Ya.”
“Kalau begitu. itu saja sudah
cukup. Aku pikir kamu sudah melakukannya dengan baik.” Ia menunjukkan senyum
lembut, lalu menyeringai pada dirinya sendiri. “Berpikir tentang seberapa
banyak kamu telah tumbuh dibandingkan dengan masa-masa SMA kita, aku merasa
ingin menangis, sejujurnya. Aku bahkan tidak bisa membayangkan berapa banyak
usaha, keringat dan air mata, bahkan mungkin darah yang kamu curahkan untuk
meningkatkan seperti ini ... dan aku bahkan tidak ingin tahu seberapa besar penderitaan
Hayashida-san yang sudah kamu sebabkan untuk bisa mencapai tahap ini. ”
“Ap… O-Oke, aku sudah
mengerti!” Saat aku meledak marah, Haru terkekeh.
Ia mendesah lembut, dan
melanjutkan.
“Ya ……..kamu tahu lah. Kita
tidak hidup di zaman di mana seorang wanita seharusnya melakukan semua pekerjaan
rumah, dan kamu juga bukan ibu rumah tangga. Ayo berbagi tugas sebanyak yang
kita bisa.” tuturnya.
Aku merasa senang dengan
perkataan lembutnya, tapi ...
“… Hmpf, tentu saja.” Mau tidak
mau aku mambalas menjawab dengan nada tidak sopan. “Tapi… karena aku lebih tua
darimu, dan tidak memiliki pekerjaan paruh waktu, aku pikir aku setidaknya
harus melakukan lebih darimu.”
“Tumbennya kamu baik hati
sekali. Tapi, kita bisa membicarakannya. Hal terbaik ialah bagaimana membagi
tugas di antara kita.”
“Kamu benar. Kita adalah
pasangan, jadi kita harus melakukan ini dengan tempo kita sendiri. ” Aku
melanjutkan. “Kamu tahu apa yang pepatah katakan. 'Pernikahan itu seperti perlombaan berkaki tiga', ‘kan.”
“… Memangnya ada pepatah yang
seperti itu?”
“Tampaknya sih begitu.”
“Kedengarannya kurang
meyakinkan.”
“Benarkah?”
“Ya, kedengarannya seperti
sesuatu yang dikatakan oleh orang idiot tanpa pengalaman dalam pernikahan.”
“... Kamu baru saja menyakiti
seseorang tanpa menyadarinya.”
Dan beginilah, hari pertama
kehidupan pernikahan baru kami berakhir. Bagaimana bilangnya ya… ini adalah
hari yang penuh dengan peristiwa. Aku masih sedikit khawatir, tetapi pada
akhirnya, kami hanya perlu mengambil satu langkah dan berjalan bersebelahan.
Karena, pernikahan itu seperti perlombaan berkaki tiga.
<<=Sebelumnya |
Daftar isi | Selanjutnya=>>