Chapter 3 — Suasana dan Nafsu Makan
Pada hari itu, Alisa terlihat sedang
berada di depan sebuah warung ramen. Nama
“The Cauldron of Hell” ditulis dengan huruf merah yang sangat
mengerikan di papan kayu. Itu adalah warung yangkhusus menyajikan ramen super
duper pedas sehingga Alisa, yang sebelumnya pernah masuk bersama Masachika dan
Yuki, hampir saja melihat neraka seperti yang tersirat dari nama warungnya.
Lantas, kenapa Alisa sekarang mencoba
menginjakkan kakinya di tempat yang pernah memberinya pengalaman mengerikan? …
Semuanya berawal saat kencannya bersama Masachika tempo hari … atau bukan.
Ketika dirinya memberi latihan yang mirip seperti pra-kencan untuk mengajari
Masachika yang naif mengenai apa itu hati seorang wanita, Masachika lalu
memberitahu Alisa kalau Ia menyukai makanan pedas.
(Tidak, bukannya berarti aku ingin memahami selera makanan Masachika-kun
atau semacamnya!)
Entah untuk siapa, tapi Alisa
membuat alasan semacam itu di dalam kepalanya. Ya, ini cuma karena dia berpikir
jika ada beberapa orang yang menyukainya, maka makanan pedas pasti memiliki
rasa kelezatannya tersendiri. Ini hanyalah upaya demi membawa lebih banyak
variasi dalam menu makanannya sehari-hari. Tantangan tersebut berdasarkan pada gagasan jika dirinya bisa belajar memahami
kelezatan makanan pedas selain makanan manis, dia mungkin bisa melipatgandakan
kenikmatan makanannya.
Yah, sebagai efek samping dari
itu? Kira-kira, apa aku bisa menikmati
makanan bersama teman lainnya~ itulah yang Alisa pikirkan. Tentu saja, teman
yang dimaksud bukanlah Masachika, melainkan Yuki.
“Yosh, baiklah!”
Setelah selesai membuat-buat
alasan dan mempersiapkan diri, Alisa lalu membuka pintu geser.
“Ugh!”
Segera, udara dengan bahan-bahan
yang menyengat mulai merangsang mata dan hidungnya, dan walaupun dia sudah bersiap-siap
sampai batasan tertentu, Alisa secara refleks menyipitkan matanya.
“Selamat datang~!”
Alisa mengedipkan matanya saat
mendengar suara energik karyawan toko, dan mengalihkan perhatiannya kepada
karyawan toko wanita yang mendekatinya ... tapi tiba-tiba, Alisa memeriksa dua
kali ke wajah familiar yang muncul di sudut penglihatannya.
“Eh, Kimishima-san?”
“……? Ah.”
Menanggapi suara Alisa, Ayano yang
sedang duduk di meja untuk dua orang di dekat pintu masuk, mendongak dari buku
di tangannya dan matanya sedikit melebar. Karyawan toko wanita yang tadi
mendekati Alisa, melihat mereka berdua secara bergantian, dan berkata.
“Umm, apa Anda bersama
pelanggan ini?”
“Ehh, umm, iya.”
Bagaimana dirinya harus
menjawab dalam situasi seperti itu? Alisa malu dengan jawabannya yang tidak
jelas karena kurangnya pengalaman. Namun, karena sudah mengatakan kalau dia
bersamanya, Alisa kemudian melangkah menuju meja Ayano.
“Umm, apa aku boleh ikut
bergabung denganmu?”
“Iya, silakan.”
Alisa meminta ijin dengan agak
sungkan dan duduk di seberangnya. Ayano juga memasukkan buku yang ada di
tangannya ke dalam tasnya.
“...”
“...”
Dan kemudian diam. Dua gadis
cantik sama-sama diam sambil saling menatap.
(Ummm ...)
Dalam suasana canggung yang tak
terlukiskan ini, Alisa mencoba mengatakan sesuatu … tapi dia tidak tahu harus
berkata apa dan menutup kembali mulutnya yang hendak terbuka. Dari dulu, Alisa
tidak sering memulai obrolannya sendiri. Selain itu … dia dan Ayano masih memiliki
hubungan yang sangat ambigu.
(Apa bisa kuanggap kalau kita ... berteman? Bukan, iya ‘kan? Karena
kami hampir tidak pernah berbicara satu sama lain sih, paling banter kami cuma
sesama anggota OSIS saja... Tapi sebagai kandidat lawan, bisa dibilang kalau
dia adalah teman sekaligus musuh. Tapi, tapi, aku dan Yuki sudah berteman, jadi
...)
Istilah apa yang tepat untuk
menggambarkan hubungan antara dirinya dan Ayano? Hubungan seperti apa yang
harus dipertimbangkan dan seberapa intens percakapan yang harus dilakukan?
Tentu saja, buat Alisa sendiri, dia bukannya tidak mau berteman dengan Ayano. Tapi
dirinya tidak diminta untuk berteman, dan dia juga kurang percaya diri dalam
kepribadiannya untuk menyebut dirinya sebagai teman yang akrab .... Alisa terus
mencemaskan hal semacam itu layaknya orang yang menderita gangguan
berkomunikasi.
Sebaliknya,
apakah pihak lain mau memulai topik pembicaraan duluan …
ketika berpikir begitu, Alisa langsung menyerah setelah melihat tatapan mata
Ayano. Karena dia memiliki tatapan mata yang benar-benar lurus. Wajahnya tidak
memancarkan sedikit pun kecanggungan. Dia meletakkan tangannya di kakinya dan
menegakkan punggungnya, dia sudah dalam posisi sempurna untuk mendengarkan,
Alisa bahkan hampir bisa mendengar suara hatinya yang berkata “Silakan, saya siap mendengarkan apa pun
yang Anda katakan, loh?”.
“Ini air putihnya~. Silakan
panggil saya lagi jika Anda sudah memutuskan pesanan Anda~”
Kontes tatapan misterius itu
terputus ketika karyawan wanita dari sebelumnya datang sambil membawa segelas
air. Setelah mengalihkan pandangannya dari Ayano, Alisa lalu mengambil buku menu.
Dia tersenyum masam pada nama-nama hidangan yang masih terlihat brutal. Alisa
kemudian melirik ke arah Ayano dan bertanya.
“Hidangan mana yang kamu pilih,
Kimishima-san?”
“Ya, saya memilih——”
Saat Ayano hendak menjawab
pertanyaan Alisa, yang sudah mengerahkan segala keberaniannya, jawabannya
justru baru saja muncul di atas nampan.
“Maaf sudah membuat Anda
menunggu~. Di sini ‘Pincushion of Hell’
pesanan Anda~”
Semangkuk sup merah cerah
dengan tumpukan bawang putih setipis jarum dan ditumpuk seperti gunung dibawa
ke atas meja. Hidangan kedua dari atas menu. Ramen tersebut merupakan ramen
yang mempunyai kepedasan satu tingkat di atas ‘Blood Pond of Hell’ yang pernah dimakan Alisa sebelumnya.
“... ini pesanan saya.”
“Begitu ……”
Melihat ramen yang disajikan,
Alisa langsung berpikir beberapa detik. Awalnya, hari ini Alisa bermaksud
memesan Blood Pond of Hell yang pernah
dia makan sebelumnya. Tetapi ketika dia melihat Ayano memesan ramen pedas level
lain, pemikiran “Bukannya nanti aku
takkan mendapat kemajuan jika terus memakan hal yang sama?” terlintas di
benak Alisa. Dan yah, kalau memesan ramen paling tidk pedas di sini, dia merasa
akan kalah. Padahal ini bukan pertandingan, sih.
“Umm, permisi. Aku ingin
memesan menu yang sama seperti dia.”
Alisa memerintahkan begitu
ketika dia menghentikan karyawan wanita yang mencoba meninggalkan ramen dan
kembali ke dapur. Kemudian dia menoleh ke Ayano dan mendesaknya untuk makan
duluan.
“Kalau begitu, saya terima
tawaran baik Anda.”
Ketika dia menyatukan tangannya
dan mengatakan itu, Ayano menggunakan sumpitnya untuk mencelupkan setumpuk
bawang putih ke dalam sup sambil menarik mie keluar dari dalam dan menyeruputnya
tanpa mengeluarkan suara.
“Gh!!”
“??”
“...”
Kemudian, setelah menghentikan
gerakannya sejenak, Ayano mulai memasukkan mie ke dalam mulutnya dengan
perlahan-lahan. Dia kemudian dengan cepat menyeka bibirnya dengan serbet kertas
dan mengunyah. Ekspresi wajahnya tidak berubah sama sekali.
(He-Hebat sekali! Aku tidak menyangka dia bisa memakan ramen yang
terlihat sangat pedas itu tanpa menggerakkan alis sedikit pun ... Kimishima-san
pasti menyukai makanan pedas juga...)
Diiringi rasa kengerian, Alisa merasa
terkesan dan sedikit tidak sabar. Dia masih mengingat dengan jelas rasa pedas yang
merusak dari ramen tempo hari. Alisa penasaran apa dirinya bisa menghabiskan
ramen yang lebih pedas dari itu….
(Ti-Tidak apa-apa! Lagipula, aku sudah terbiasa dengan rasa pedas,
dan terakhir kali, salahku sendiri yang menambahkan kepedasan di tengah-tengah
jalan saat memakan ramen!)
Ketika dia melirik ke tepian
meja sambil menyemengati dirinya sendiri, ada toples kecil yang memberi kesan
mencurigakan di antara bumbu-bumbu lain seperti kecap dan merica. Itu adalah
bumbu super pedas yang disebut Demon
Tears.
(Selama aku tidak menyentuh benda itu, aku pasti akan baik-baik saja
...!)
Di depan Alisa yang mengatakan itu
pada dirinya sendiri dan membangkitkan semangat juangnya, ... Ayano sedang
mengunyah suapan ramen keduanya.
(Pedas ... pedas sekali, hiks, hiks ...)
Tapi di dalam hati, dia
benar-benar berlinangan air mata.
Ya, sebenarnya, Ayano sama
sekali tidak menyukai makanan pedas. Jadi, kenapa dia repot-repot mendatangi
restoran yang semacam itu? Alasannya cuma ada satu. Semua upaya ini dilakukan
agar dia bisa ikut memakan makanan super pedas yang sangat disukai oleh kedua
tuannya yang tercinta.
Demi mencapai tujuan itu, Ayano
diam-diam mengunjungi restoran yang menyajikan makanan sangat pedas di hari libur
dan terus berusaha berlatih untuk membiasakan dirinya. Berkat usahanya, dia
menjadi jauh lebih toleran terhadap makanan pedas daripada dua tahun lalu
ketika dia memulai pelatihannya dalam masakan pedas, tapi tetap saja ... bagi
Ayano, ramen
yang sangat pedas ini cukup menantang.
(Panas sekali, pedas ... hiks, mulutku
serasa terbakar ...)
Rasa pedasnya terasa jelas dari
gigitan pertama. Seolah-olah sisa kepedasan di mulut tersulut oleh panasnya
mie. Kombinasi rasa pedas dan panasnya mie menyebabkan ledakan yang
menghanguskan bagian dalam mulut. Dia sendiri tidak tahu lagi apakah dia
merasakan panas atau pedas.
(Fuu, huu, hau, fuuuu ...)
Jika bisa, dia ingin membuka
mulut dan menarik napas panjang. Pokoknya, dia cuma ingin membuka mulutnya.
Namun, pelanggaran tata krama semacam itu tidak boleh dilakukan karena akan
mencoreng prinsipnya sebagai super Maid. Kalau dia sendirian sih tidak masalah,
tapi dia sedang bersama Alisa yang sedang duduk di depannya. Mana mungkin dia
akan melakukan tindakan memalukan semacam
itu di depan teman seangkatannya yang cantik sekaligus saingan dari tuannya,
Yuki.
“Fuu…”
Ayano berhasil menelan apa yang
ada di mulutnya tanpa mengubah ekspresinya dan menghela nafas kecil. Secara
naluriah dia ingin meneguk air, tapi berdasarkan pengalamannya selama ini, hal
itu tidak terlalu efektif meredakan rasa pedas di mulut, jadi dia berusaha
untuk menahan diri. Sebagai gantinya, dia memutuskan untuk mencicipi bawang
yang relatif aman.
(Dibandingkan mie yang sudah terendam di
dalam kuah ... Mari mencicipi sedikit bawang yang belum terkena kuah )
Dengan pemikiran itu, dia
membawa bawang ke mulutnya dan ... segera menyesalinya. Pasalnya, saat dia
mengunyah bawang hijau yang renyah, rasa pedas khas bawang hijau menusuk-nusuk
lidahnya seperti jarum.
“!!?”
Pandangan mata Ayano menjadi
basah karena merasakan kepedasan bawang yang jelas-jelas bukan dari bawang
biasa. Rasa pedasnya yang menusuk sangat berbeda dengan pedasnya cabai yang
membakar. Secara kimiawi, pedasnya bukan berasal dari zat capsaicin, melainkan dari zat anilin.
Jika digambarkan dalam elemen, elemennya terdiri dari api dan angin. Dua jenis
kepedasan yang sangat berbeda meledak di mulut dan hampir membuat air matanya
keluar.
(Be-Begitu rupanya ... jadi ini yang
namanya adalah Pincushion of Hell’...)
Dua jenis kepedasan yang
menyerang dari arah yang sama sekali berbeda tanpa berbenturan satu sama lain.
Ayano
langsung memejamkan matanya saat menyadari kalau rasa pedas ganda inilah yang
menjadi inti dari ramen ini. Dia menganggukkan kepalanya dan menekan kelenjar
lakrimalnya untuk menghentikan air mata, seolah-olah dia menikmati makanan itu
dengan mata tertutup. Kemudian dia menelan apa yang ada di mulutnya dan perlahan
meraih gelas untuk meneguk air. Ayano membuka mulutnya saat dia menghembuskan
napas lega pada sensasi mulutnya dicuci bersih.
“Rasanya sungguh lezat sekali. Di
balik kepedasannya, rasa sayuran dan daging cincangnya terasa sangat enak.”
Ngomong-ngomong, Ayano tidak
bermaksud berbohong. Setelah melalui latihan yang panjang, Ayano bisa merasakan
umami dengan baik di balik rasa pedasnya. Jadi, dia sama sekali tidak
berbohong. Hanya saja, dia tidak mengatakan yang sebenarnya kalau umami itu
sangat sulit dirasakan sehingga dia tidak mampu menikmati kelezatan seperti
itu.
Namun, Alisa sama sekali tidak
menyadari pikiran batin Ayano.
“Be-Begitu ya ... kalau gitu,
aku sangat menantikannya.”
Dengan senyum yang sedikit
canggung, Alisa diam-diam ketakutan.
(Ak-Aku tak percaya dia bisa terus memakannya dengan begitu santai
... Kimishima-san, kamu memang menyukai makanan pedas, ya ...)
Saat Ayano mulai menyeruput
ramennya lagi dalam diam, Alisa menjadi semakin cemas. Mungkin saja mereka bisa
memperpendek jarak di antara mereka di hadapan musuh bersama sembari mengatakan
sesuatu seperti, “Uhh, ramen ini pedas
sekali ya~” dan dibalas, “Beneran
deh, pedas sekali~”... tapi harapan samar semacam itu dengan cepat
menghilang. Ayano adalah pejuang veteran
yang tidak membutuhkan rekan. Sejak awal, cuma dia saja satu-satunya yang
prajurit baru.
(Uhh ...)
Meski sudah sangat terlambat,
Alisa merasa menyesal karena sudah duduk bersama Ayano. Jika ada seseorang
mencoba mengeluh “pedas~ pedas~” di
hadapan pejuang tangguh, wajar saja dia akan mendapat tatapan yang menyiratkan,
“buat apa kamu datang kemari?”. Jika
itu yang terjadi, lebih baik kalau ramennya baru dibawa masuk setelah Ayano
selesai makan dan meninggalkan toko... yah, mana mungkin hal praktis semacam
itu bisa terjadi.
“Maaf sudah membuat Anda
menunggu~. Di sini ‘Pincushion of Hell’
pesanan Anda~”
Ketika Ayano sudah menghabiskan
sekitar setengah porsi, ramen disajikan di depan Alisa. Karena tidak punya cara
lain untuk melarikan diri, Alisa memutuskan untuk membulatkan tekadnya, dan
mengambil sumpit sekali pakai seolah-olah dia adalah seorang prajurit yang
menuju medan perang dengan pistol di tangannya.
“Itadakimasu”
Pertama-tama, kontak pertama
itu penting. Gigitan pertama ini akan menentukan langkah selanjutnya...
“!? Ugufupht!”
Saat Alisa menyeruput mienya, senyawa
capsaicin segera menghantam bagian
belakang tenggorokannya dan membuatnya tersedak. Dia hampir saja memuntahkan
kembali mienya, tapi dia tidak bisa berhenti tersedak.
“Ughk! Uhuk! uhuk!”
Dia berulang kali terbatuk sambil
menahan mie di mulutnyaSetelah dia berhasil menenangkan diri, dia dengan
hati-hati membawa mie ke mulutnya dengan sumpitnya. Dia membawanya ...... dan
diam-diam merasa kesakitan karena rasa pedas yang seakan-akan membakar di dalam
mulutnya.
(Unnn ~~~~ !?)
Rasanya pedas, panas, dan menyakitkan.
Apa mereka semua itu bodoh? Baik orang yang membuat makanan ini maupun orang
yang memesannya.
(Dengan kata lain, aku juga, bodoh...!)
Alisa buru-buru menyeka
bibirnya dengan serbet kertas, pikirannya berkecamuk karena rasa ramennya
terlalu pedas. Dia bisa memahaminya dengan baik saat melakukan kontak pertama.
Makanan ini, benar-benar musuh bebuyutannya.
(Ak-Aku merasa tidak bisa menghabiskannya ...)
Alisa menelan suapan pertamanya
dengan perasaan putus asa. Kemudian Ayano memanggilnya dengan tatapan mata yang
sedikit khawatir.
“Apa Anda baik-baik saja?
Sepertinya Anda tadi terbatuk cukup keras ...”
“A-Aku baik-baik saja, kok.”
Ketika ditanya dengan nada
cemas, Alisa membalasnya dengan sok kuat.
“Supnya baru saja jatuh ke
tenggorokanku. Sepertinya aku tadi menyeruputnya terlalu keras.”
“Ah, saya juga pernah
mengalaminya. Itulah yang terjadi jika Anda tidak berhati-hati.”
Usai membalas dengan senyum
samar kepada Ayano yang mengangguk setuju, Alisa kemudian menatap kembali
mangkuk ramennya... Dia hampir putus asa ketika melihat jalannya untuk
menghabiskan ramen pedas masih sangat panjang. Alisa menghentikan sumpitnya
tanpa sadar. Ayano cuma mau makan.
(Ka-kalau aku coba memasukkan bawangnya sekali saja, mungkin
pedasnya sedikit berkurang...)
Dan kemudian dia terjebak ke
dalam perangkap yang sama karena mengikuti pemikiran yang sama persis seperti
Ayano.
(Pe-Pedas sekali, ugh, uhuk!)
Wajah poker Alisa hampir runtuh
karena pedasnya daun bawang yang mengenai kelenjar air mata dari dalam mulutnya.
Namun, ketika Alisa mempertahankan ekspresinya dengan semangatnya, dia segera
merasakan kalau semakin banyak dia menggigit bawang itu, semakin pedas rasanya.
Setelah meminimalkan jumlah kunyahan, dia dengan setengah hati menelannya
dengan air. Kemudian, dinginnya air es dan rasa pedas yang menusuk dari daun
bawang berpadu menciptakan sensasi aneh dan menggelitik di mulutnya.
(Aku bisa memakai ini!)
Dia tahu kalau itu hanyalan
sensasi menyegarkan yang palsu. Tapi, walaupun itu cuma imajinasinya saja,
dirinya tidak bisa terus makan tanpa mengandalkan ini. Usai memutuskan hal itu,
Alisa mulai makan secepat yang dia bisa, menyeruput mie sebanyak mungkin
sembari menambahkan kaldunya sesedikit mungkin. Semua itu demi mengalahkan
musuh sebanyak mungkin sementara waktu tak terkalahkan palsu terus berlanjut.
Ayano tampak terkejut saat melihat Alisa menggerakkan sumpitnya.
(Di-Dia memakannya begitu banyak satu
demi satu ... menakjubkan sekali. Tampaknya Alisa-sama juga menyukai makanan
pedas, ya.)
Itu cuma salah paham. Mereka
benar-benar salah kaprah karena daya tahan palsu mereka satu sama lain.
(Saya juga tidak boleh kalah ...!)
Bagaimanapun juga, dia terinspirasi
oleh pemandangan lawannya. Ayano melanjutkan makan tanpa menghentikan sumpitnya
karena tidak mau kalah dari Alisa. Melihat pemandangan itu, Alisa juga …
(Dia memakannya dengan begitu santainya ... Aku juga harus berjuang
keras!)
Hasilnya adalah neraka. Itu
benar-benar gambaran neraka. Sebagai akibat dari kesalahpahaman satu sama lain
karena pihak lawan mampu mengimbangi, pilihan untuk menyerah sudah menghilang
dari pikiran mereka berdua. Jika itu yang terjadi lagi, sisanya tinggal
mendorong maju dengan tekad dan kebanggaan. Sampai mereka melewati neraka ini.
Tak berselang lama kemudian …
“Fyuuhh ... terima kasih atas
makanannya.”
Pada akhirnya, Ayano berhasil menaklukkan
ramen Pincushion of Hell’. Sambil
merasakan pencapaian yang membuatnya ingin mengibarkan bendera, Ayano
dimabukkan oleh air es, dan bukan anggur kemenangan.
(Entah kenapa, Kimishima-san terlihat sangat puas...? Ap-Apakah
rasanya selezat itu? Aku sih tidak bisa memahaminya ... tapi punyaku juga
tinggal sedikit lagi!)
Setelah melihat Ayano berhasil
mencapai puncak selangkah lebih maju, Alisa juga mengerahkan upaya terakhirnya.
Dia menancapkan sumpitnya ke dalam porsi mie yang jumlahnya sudah berkurang drastis——
Srrr
Alisa menghentikan sumpitnya
ketika dia merasakan sensasi yang tidak menyenangkan di ujung sumpitnya. Itu
adalah kesalahan yang dilakukan Alisa karena dia masih seorang pemula dalam
bidang ramen super pedas. Sesuatu yang menyentuh ujung sumpitnya adalah
kumpulan cabai dan daging giling yang mengendap di dasar mangkuk karena dia
tidak mengaduk kuah ramennya selama makan.
(? Apa?)
Dan karena dia masih seorang pemula...
Alisa membuat kesalahan yang lebih fatal lagi disini. Sensasi aneh yang
menyentuh sumpitnya menyebabkan dia tanpa sadar mengikisnya dan mengintip ke
kedalaman neraka. Alhasil…
(Heghpft, eh, ini...!?)
Segumpal bahan pedas yang
mengendap di bagian bawah dan setengah mengeras ... Kawanan iblis yang telah
disegel di dasar neraka mulai dilepaskan. Sekarang jumlah kuah itu sendiri
sudah berkurang, kepadatannya tidak sebanding dengan sebelumnya. Dia buru-buru
menarik mie, tapi semuanya sudah terlambat. Mie yang diangkatnya ditutupi
dengan begitu banyak potongan cabai merah dan butiran lada hitam sehingga tidak
lagi dalam kondisi bisa disingkirkan dengan cara ditiup.
(... Eh, aku harus memakannya? Mie ini?)
Alisa merasa seolah-olah puncaknya
telah meletus ketika dirinya sudah berada di ambang puncak.
Namun, dia tidak bisa terus melihatnya
seperti ini selamanya. Tujuannya sudah di depan mata. Ayano yang sudah mencapai
puncak lebih dulu, sedang menunggu tepat di depannya.
(Aku takkan kalah. Aku akan menghabiskannya. Aku pasti akan
menghabiskannya ...)
Alisa mendorong semangat
juangnya sambil menatap mie dengan ekspresi yang sedikit mengerikan. Benar
sekali, jika dia mundur sekarang, dia takkan pernah tahu kenapa dia berjuang
mati-matian melalui siksaan lidah ini. Untuk alasan apa dia rela melakukan
semua ini ... demi persaingannya dengan Ayano? Demi kepuasannya sendiri? Tidak,
sejak awal ...
(Aku juga ingin bisa menikmati makanan pedas bersama Masachika-kun!!!)
Di kedalaman neraka, Alisa
akhirnya mengungkapkan niatnya yang sebenarnya. Dan kemudian, dia memasukkan
mie ke dalam mulutnya…….
◇◇◇◇
“Ugh! ...?”
Alisa tiba-tiba mendapati
dirinya duduk di bangku taman yang pernah dia kunjungi sebelumnya. Dia melihat
sekeliling sambil berkedip terus-menerus dan melihat Ayano duduk tepat di
sebelahnya, menatapnya dengan tatapan penuh kekhawatiran.
“... Apa Anda baik-baik saja,
Alisa-sama?”
“Eh? Umm, aku ...”
Dia mencoba mengingat mengapa
dia bisa ada di sini, tapi sayangnya dia tidak dapat mengingatnya seolah-olah
ada kabut yang menutupi kesadarannya. Ayano perlahan membuka mulutnya kepada
Alisa, yang memiringkan kepalanya sambil mengerutkan kening.
“Sebenarnya ... setelah Anda
memakan ramennya, Alisa-sama bertingkah seolah-olah jiwa Anda habis
terkuras...”
“Eh, ah, jadi, begitu rupanya
...”
Alisa melirik-lirik Ayano sambil
meringkuk dalam rasa malu dan kecanggungan yang tak terlukiskan.
“Umm, terima kasih banyak,
Kimishima-san. Kamu sampai membawaku sampai sejauh ini, ‘kan...? Oh iya,
pembayaran! Aku belum membayar ramennya...”
“Untuk sementara, saya
membayarnya untuk bagian anda juga ...”
“Ahh, maafkan aku! Aku akan
menggantinya segera! Umm, kira-kira berapa harganya ...”
Setelah pertukaran uang
selesai, Ayano mendadak bertanya padanya dengan nada yang sedikit sungkan.
“Alisa-sama, Anda umm ... tidak
terlalu menyukai makanan pedas, ‘kan?”
“Uhh~……”
Dia ingin langsung menyangkalnya,
tapi dia tidak sanggup menyangkalnya saat dirinyaa baru saja tersadar dari
keadaan pingsan. Alisa mengalihkan pandangannya sebentar dan kemudian mengangguk
dengan pasrah.
“... Ya. Aku memang tidak
terlalu menyukai hal itu ...”
“Begitu rupanya……”
Alisa yang sudah bersiap-siap untuk pertanyaan, “Kalau begitu, kenapa kamu pergi ke restoran itu?” tapi dia dibuat
kaget karena mendengar sesuatu yang sama sekali tidak terduga.
“Sebenarnya, saya juga sama.”
“Ehh...?”
“Saya mencoba yang terbaik
untuk bisa memakan makanan yang sama dengan Yuki-sama dan Ma ......, namun
rasanya sulit untuk membiasakannya.”
Ayano kemudian memberi tahu
motif dan perasaan yang sama seperti dirinya. Di dalam pikiran Alisa, rasa simpati
dan ketertarikannya pada Ayano mulai melonjak tajam. Dia merasa seperti akhirnya
bisa bertemu dengan orang yang hidup, karena cuma ada para iblis yang bermain
riang di sekelilingnya di kedalaman neraka.
“Se-Sebenarnya aku juga sama…
aku ingin bisa menikmati makanan yang sama dengan temanku Yuki-san…”
“Apa benar begitu?”
Persetujuan Alisa membawa
pandangan senang di mata Ayano. Pandangannya persis seperti menemukan kawan di
medan perang yang sepi. Bagaimanapun juga, mungkin hal terbaik yang harus
dilakukan dalam hubungan manusi adalah menjadi jujur.
“Kalau begitu, jika Anda tidak
keberatan ... mulai sekarang, apa Anda ingin terus berlatih makanan pedas
bersama saya?”
“Ehh...?”
Alisa langsung tertegun ketika
mendengar saran Ayano. Sejujurnya, Alisa tidak dalam kondisi di mana dia bisa
memikirkan hal selanjutnya.
“Umm, karena saya berpikir
kalau kita berdua bisa saling menyemangati dan membantu ...”
Namun, melihat Ayano yang kesulitan
mengungkapkan kata-katanya sambil menunduk ke bawah dan curi-curi pandang ke
arahnya, membuat Alisa tidak tega menolaknya.
(Mungkin ... Aku bisa mendapatkan lebih banyak teman)
Sisanya, yah, dia mempunyai
sedikit motif tersembunyi semacam itu.
“Ya baiklah, aku mengerti.
Mulai sekarang mohon kerja samanya, ya? Kimishima-san.”
“Ah——iya!”
Alisa menerima tawaran itu
tanpa banyak berpikir. Alhasil, mulai sekarang Alisa dan Ayano akan menjalani
perjalanan latihan yang panjang dan menyakitkan bersama, …. tapi itu cerita di
lain waktu.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya