Bab 2 — Pahlawan yang Perhatian dan Penyihir yang Kikuk
Bagian
1
Begitu kami kembali keruang kelas, semua mata tertuju pada kami.
Yah, wajar saja reaksi mereka begitu.
Bagaimanapun juga, murid pindahan itu entah bagaimana membolos jam pelajaran
pertama pada hari pertama dia pindah.
Si Penyihir tampak sangat tidak
nyaman dengan semua perhatian itu, tapi dia berhasil kembali ke tempat duduknya
dengan tenang.
“Oi, oi, Godou, kamu memang gerak
cepat, ya?” Shinji mengucapkan itu
sembari menyilangkan tangannya. Ada seringai menjijikkan di wajahnya.
“Shiina-san bilang kalau dia
merasa tidak enak badan, jadi aku mengantarnya ke ruang UKS. Tidak ada yang
lebih dari itu. Iya, ‘kan?”
Aku meninggikan suaraku supaya
Si Penyihir yang berada di ujung kelas bisa mendengarku.
“Y-Ya… Mu-Mungkin karena aku
gugup, ta-tapi aku merasa tidak enak badan…” Kata penyihir itu dengan suara
kecil.
Apa dia benar-benar penyihir
yang angkuh itu? Rasanya sangat aneh melihatnya seperti ini.
“Aku memahami kenapa dia membolos,
tapi kenapa kamu ikutan bolos juga? Jika cuma mengantarnya, kamu bisa
melakukannya dan kembali dengan cepat.”
Hina mendekatiku saat
menanyakan pertanyaan itu.
“Aku merasa ngantuk. Mumpung sudah
ada di sana, jadi kupikir sekalian saja tidur di sana sebentar.”
Aku mengangkat bahu sebagai tanggapan.
Itu bohong, tapi mana mungkin aku mengatakan yang sebenarnya tentang apa yang
terjadi.
“Hmm… tetap saja, bagaimana caranya
kamu bisa begitu dekat dengannya secepat ini? Ada sesuatu yang mencurigakan
terjadi di sini…”
Hina menatapku dengan curiga.
“Itu sebabnya aku juga bilang
apa, ‘kan? Kalau kamu tidak bisa lengah, Hina. Orang ini alami dalam hal ini.”
Kata Shinji sambil menepuk
pundakku. Serius, hentikan itu, itu menyakitkan, tau.
Hina memelototi Shinji sebelum
berbalik dan berjalan menuju kursi duduk Si Penyihir.
“Apa kamu sudah baik-baik saja
sekarang, Shiina-san?”
“Y-Ya! A-aku sudah merasa
baikan…”
“Karena ini hari pertamamu,
jadi ada banyak hal yang harus dilakukan. Jika kamu ada masalah, jangan ragu
untuk meminta bantuanku, oke?”
Hina membusungkan dadanya saat
berkata begitu.
Berkat itu, senjata terbesarnya
menjadi lebih menonjol dan Si Penyihir harus menyaksikannya dengan penuh
kemuliaan.
Ada sedikit rasa iri pada
tatapan penyihir saat menatap Hina dalam diam. Melihat ekspresinya yang begitu,
aku mendecakkan lidahku.
“Apa ada yang salah?”
Melihat Hina yang bingung, Si
penyihir menggelengkan kepalanya.
“Bu-Bukan apa-apa! U-Um, a-aku
akan meminta bantuanmu jika aku butuh bantuan, um…”
Astaga, nada bicaramu terlalu
kaku, loh. Tenanglah, dia itu teman sekelasmu.
“Hahaha, Shiina-san, kita ‘kan sekelas!
Jangan terlalu kaku begitu, oke? Bicaralah padaku dengan santai!”
“E-Eh?! U-Um… A-Aku mengerti!”
“Itu masih terlalu kaku.”
“E-Eh?! U-Um… L-Lalu… O-Oke… Be-Begitukah
caramu melakukannya?”
“Hahaha, kamu melakukannya
lagi. Nah, jika kamu merasa lebih nyaman begitu, Shiina-san, tidak apa-apa. Apa
aku sudah memperkenalkan diri kepadamu? Namaku Kirishima Hina. Kmu boleh
memanggilku apa pun yang kamu mau. ”
“Ki-Kirishima-san, ya? Na-Namaku
Shiina Mai, se-senang bertemu denganmu!”
“Hahaha, aku sudah tahu namamu,
Shiina-san. Kamu tuh orang yang menarik, ya~?”
Hina tertawa terbahak-bahak
mendengar jawaban Si penyihir.
Seriusan, tuh orang groginya
sudah kebangetan.
Aku tahu kalau dia tidak pandai
berbicara dengan orang-orang, tapi aku tak menyangka kalai dia bakal separah
ini.
Aku melihatnya berbicara dengan
orang banyak sebelumnya hari ini, tapi aku hanya mengamatinya dari jauh, jadi
sama sekali tidak tahu detail tentang percakapan mereka. Jika terus seperti
ini, tidak heran jika gadis-gadis lain menertawakannya saat itu.
Ngomong-ngomong, aku baru saja
menyadari kalau aku belum pernah melihatnya berbicara benar dengan orang lain
di dunia itu.
Sekarang aku mulai merasa tidak
nyaman dengannya.
Apa dia benar-benar bisa beradaptasi
dengan dunia ini? Maksudku, ya, dia sudah tinggal di sini selama enam belas
tahun, tapi tetap saja…
Setelah Hina meninggalkan
sisinya, aku segera pergi ke tempat duduk Si penyihir dan berbisik padanya,
“Oi…”
“Apa?”
“Jangan terlalu grogi begitu.”
“…Ngomong doang sih gampang!
Kamu tahu sendiri kalau aku buruk dalam hal ini! Sejak awal, penyihir tidak
seharusnya ramah dengan orang lain!”
“Kenapa kamu begitu sombong
tentang itu? Memangnya kamu tidak menyadari kalau kamu terdengar menyedihkan
sekarang? ”
“Me-Menyedihkan?! Ti-Tidak! Aku
hanya suka hidup dalam kesendirian, itu saja!”
“Kamu tidak perlu menutupinya,
penyendiri.”
“Tinggalkan aku sendiri!”
Dia mulai berkaca-kaca karena
ejekanku. Tiba-tiba, Shinji memotong pembicaraan kami dan memanggilnya.
“Oi, oi, jangan ninggalin aku
sendirian gitu dong. Heya, Shiina-san~”
Melihat Shinji mendekatinya
dengan santai seperti itu, tubuh Si penyihir langsung menegang. Oi, kenapa kamu
seperti ini? Ayo cepat katakan sesuatu napa!
Si penyihir mengirim sinyal SOS
melalui tatapannya padaku. Yah, apa boleh buat.
“Shinji, kamu mengganggunya.”
“Apa maksudmu? Aku cuma
memanggil namanya!”
“Bodoh, apakah kamu melihat
dirimu sendiri? Kamu terlihat seperti seorang tukang gombal, kamu membuatnya
takut, pergilah.”
“Apa aku benar-benar terlihat
begitu?…”
Shinji kemudian mengeluarkan
ponselnya dan melihat bayangannya sendiri di sana.
“Hei, apa yang kalian
bicarakan~?”
Orang lain menyela pembicaraan
kami. Gadis yang ikut nimbrung percakapan kami adalah Shindou Yuuka.
Rambut hitamnya diikat ke
samping. Senyum lembut yang menghiasi wajahnya sangat cocok dengan sikap
tenangnya.
Dia sangat disukai oleh semua
orang di kelas dan oleh karena itu, dia menjadi salah satu pusat di kelas.
“Yo, Yuuka, dengarin aku deh–”
Shinji berbicara tentang
bagaimana aku memperingatinya kalau Ia menakuti Si penyihir. Sebagai tanggapan,
Yuuka mengangguk senang.
“Ucapannya benar, jadi
menjauhlah darinya dengan cepat."
Daripada Yuuka, justru Hina yang
malah menjawabnya. Dia membawa sekelompok gadis bersamanya dan menendang Shinji
keluar dari sekitar Si penyihir.
Dan sekali lagi, orang-orang berkumpul
di sekitar Si penyihir.
Mereka berbicara dengan
penyihir dan sesekali menanyakan satu atau dua pertanyaan padanya, di mana dia
hanya mengangguk ringan sebagai tanggapan
…Kurasa hanya aku yang tahu
betapa bermasalahnya dia saat ini.
Dia mengirimiku sinyal SOS lain
menggunakan tatapannya.
Sepertinya getaran positif yang
Yuuka dan yang lainnya keluarkan terlalu mengintimidasinya.
“Haha, benarkah, Yuuka-chan?
Itu gila~!”
Dia tampaknya sangat
terintimidasi oleh Hina.
Hina terlihat seperti gyaru, tapi sebenarnya dia tidak pernah
berkencan dengan siapapun. Aku mengetahui itu karena dia adalah teman masa
kecilku. Dia menerima banyak pengakuan, tapi dia tidak pernah menerimanya.
Mungkin dia sudah memiliki seseorang
yang dia sukai, entahlah.
“Betul banget, ‘kan? Bagaimana
menurutmu, Shiina-san?”
Mungkin menyadari kalau si
penyihir tidak dilibatkan dalam percakapan, Yuuka mencoba menyeretnya ke dalam
percakapan. Seperti yang diharapkan, Si penyihir terus gagap ketika berbicara,
meski dia berhasil menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya. Walaupun tidak
terlihat di wajahnya, tapi sepertinya Yuuka juga mengalami beberapa kesulitan
untuk membuatnya membaur dengan teman sekelas lainnya.
Tidak ada yang salah dengan
Yuuka. Apa yang dia lakukan adalah tepat dalam situasi itu. Masalahnya terletak
pada kurangnya keterampilan komunikasi Si penyihir.
Aku bisa melihat butiran air
mata sudah terbentuk di sudut matanya.
…Serius, bukannya dia
seharusnya Penyihir Malapetaka? Bukankah seharusnya dia memiliki nyali lebih
dari ini?
Bagian dirinya yang begini
benar-benar tidak berubah, ya?
“Oi, jam pelajaran berikutnya
akan segera dimulai.”
Ketika aku membubarkan kerumunan
gadis-gadis itu, wajah Si penyihir langsung menjadi sumringah.
Kamu seharusnya jangan terlalu
senang dengan hal seperti ini ...
Aku lalu kembali ke tempat
dudukku dan disambut oleh pertanyaan dari Shinji.
“Sudah kuduga, pasti ada
sesuatu yang terjadi di antara kalian berdua.”
Aku tahu mustahil untuk
membodohinya. Bagaimanapun juga, Ia adalah salah satu teman terdekatku.
Selain itu, pria ini sangat
jeli dan bisa membaca suasana dengan sangat baik.
“…Aku sudah mengenalnya sejak
lama. Walaupun aku tidak terlalu dekat dengannya sih.”
“Begitu rupanya. Tapi kenapa kamu
menyembunyikannya dariku?”
Aku tidak berbohong. Memang
benar kalau aku mengenalnya dari kehidupanku yang sebelumnya.
“Terlalu merepotkan. Selain
itu, aku tidak berkewajiban untuk memberi tahu segalanya tentang hubungan
pribadiku. ”
Aku mengangkat bahuku saat
mengatakan itu, sementara Shinji tertawa sebagai tanggapan.
“Baiklah, aku akan berhenti sampai
di situ.”
◇◇◇◇
Pada jam istirahat makan siang.
“Godou-kun, boleh aku berbicara
denganmu sebentar?”
Saat aku sedang makan bersama
Shinji, Yuuka tiba-tiba mendekati kami.
Yuuka adalah teman sekelas
Shinji selama SMP. Karena dia memiliki banyak teman, mereka tidak sering
nongkrong bareng, tetapi berkat hubungan yang mereka miliki, aku dan dia bisa
bergaul dengan baik. Dia datang untuk berbicara denganku seperti ini bukanlah
kejadian yang langka.
Baik Yuuka dan Shinji menonjol
karena penampilan mereka. Karena aku sellau bergaul dengan mereka berdua,
seluruh kelas memperlakukanku dengan cara yang sama layaknya memperlakukan
mereka. Padahal, aku merasa kalau aku tidak pantas diperlakukan seperti itu
karena aku tidak terlihat sebagus mereka.
“Ada apa?”
“Bukan apa-apa sih, tapi… kamu
sudah menyelesaikan tugasmu untuk jam pelajaran kelima?”
“…Hah? Tugas apa?”
Jam pelajaran kelima adalah
matematika. Guru yang bertanggung jawab dikenal sebagai orang yang galak dan
tidak ragu-ragu untuk menurunkan nilaimu jika kamu melewatkan tugas darinya.
Tapi, aku sama sekali tidak ingat apa-apa kalau kami ada PR matematika hari
ini.
Ketika aku memiringkan kepalaku
dengan bingung, Yuuka terkikik.
“Sudah kuduga, kamu belum
mengerjakannya. Sensei memberi PR kepada kita menjelang akhir jam pelajarannya.
Kamu mungkin tidak mendengarnya karena ketiduaran pada saat itu, dan juga
karena aku lupa memberitahumu.”
“Tu-Tunggu sebentar ... Kamu
seriusan?!”
Hina tiba-tiba menyela
pembicaraan kami.
Ekspresi wajahnya tampak pucat.
“Ya. Maaf, aku juga lupa
memberitahumu.”
“Ti-Tidak, itu bukan salahmu,
Yuuka-chan, itu salahku karena ketiduran beberapa hari yang lalu! Aduh, gimana
nih? Kira-kira bakalan tepat waktu enggak jika aku mulai mengerjakannya
sekarang?…”
Si Penyihir yang diundang makan
siang oleh Hina, mendengarkan percakapan kami dengan tatapan kosong.
“Maaf, Shiina-san! Aku harus
mengerjakan PR-ku dulu, jadi silakan makan duluan tanpa perlu menungguku! ”
Dia meminta maaf kepada Si
penyihir dan buru-buru mengeluarkan buku pelajaran matematika dan buku
catatannya.
“Hina memang murid yang rajin,
ya?”
Yuuka terkikik setelah melihat
adegan itu, sementara Shinji dan aku hanya mengangkat bahu.
“Gadis itu tidak tahu bagaimana
caranya menyerah. Pada saat-saat seperti inilah kita harus menerima takdir
kita.”
“Bener banget, ‘kan? Lagi pula,
aku sudah tahu tentang tugas itu, tapi buat apa juga aku harus mengerjakan PR
matematika, ew.”
“Tunggu dulu, kamu sudah tahu,
Shinji? Jika kamu sudah tahu, kenapa kamu tidak memberitahuku tentang itu?”
“Kenapa juga aku melakukan itu,
sahabatku tersayang? Jika aku akan dimarahi, maka jelas-jelas aku akan
menyeretmu bersamaku.”
“Aku bukan berandalan
sepertimu! Berhenti memperlakukanku seperti itu! Aku ini murid teladan, tau!”
“Seorang murid teladan takkan
membolos sepertimu.” Kata Shinji sambil menghela nafas.
Aku bahkan tidak bisa
membalasnya karena dia benar.
“Yuuka-chan sedang mengajariku,
kalian juga harus ikut bergabung.”
“Sensei tidak memberi kami
banyak soal untuk dipecahkan. Kita seharusnya bisa menyelesaikannya saat
istirahat makan siang jika kita melakukan yang terbaik!~”
Ketika aku melihat sekeliling
kelas, ada banyak teman sekelas yang telah meletakkan makan siang mereka dan
sedang mengerjakan tugas matematika. Yuuka pasti telah memberi tahu mereka
tentang tugas itu. Inilah sebabnya mengapa semua orang memujanya, dia orang
yang sangat baik.
“Memangnya kamu itu bodoh ya,
Hina? Untuk mengerjakan tugas, aku harus menyelesaikan soal dan demi
menyelesaikannya aku harus memahami soalnya terlebih dahulu. Aku selalu
ketiduran di kelas selama beberapa minggu terakhir, jadi aku benar-benar tidak
tahu apa-apa.”
“Itu bukan sesuatu yang bisa
dibanggakan juga kali!”
“Daripada mengkhawatirkanku,
kamu harus mengkhawatirkan dirimu sendiri. Kamu sendiri belum mengerjakan
apa-apa, kan?”
“Kamu tidak perlu memberitahuku
tentang itu!!” Kata Hina sambil mencoret-coret buku catatannya dengan pensilnya.
“Kamu boleh mencontek milikku,
jadi kamu harus mengerjakan milikmu juga, Godou-kun.”
Yuuka mengeluarkan tugasnya dan
memberikannya kepadaku.
“Ohh, dewiku…”
Dewi benar-benar ada di dunia
ini.
Pada saat di dunia itu, mereka
hanya ada sebagai gambaran palsu yang diciptakan oleh gereja.
“Kamu bereaksi berlebihan… Lain
kali, lakukanlah sendiri, oke? Berjanjilah padaku.”
Aku membuat gerakan seolah-olah
aku sedang berdoa kepadanya dan dia terkikik ketika melihatnya.
“Ah, enggak adil! Yuuka-chan,
kamu terlalu memanjakannya!”
“Itu menunjukkan seberapa dalam
ikatan antara aku dan Yuuka. Kamu hanya tidak memiliki cukup poin kasih sayang
dengannya, itu sebabnya dia tidak menunjukkan tugasnya kepadamu.”
“Poin kasih sayang apanya?! Ini
bukan game kali!”
“Bu-Bukan begitu, aku hanya
berpikir kalau Hina bisa menyelesaikan soal dengan normal, jadi dia tidak perlu
melihat PR-ku…”
Yuuka buru-buru membela diri.
Melihat pemandangan ini, Shinji menyilangkan tangannya dan berbicara,
“Yah, apa boleh buat deh kalau
begitu. Jika jawabannya tepat di depanku seperti ini, maka aku harus
melakukannya bahkan jika aku tidak mau.”
“Apa-apaan dengan nada songongmu
itu?”
“Hmph, berbeda denganmu dan
ikatan bodohmu atau apa pun, aku akan membayarnya untuk kebaikannya. Jadi,
berapa banyak?”
“Hm… Belikan aku jus nanti.”
“Oke, siap.”
Setelah kesepakatan itu
terjadi, kami dengan cepat menyimpan makan siang kami dan mengeluarkan buku
catatan kami.
Si Penyihir lalu menatap kami
dan bertanya,
"A-Apa tidak masalah jika
aku tidak mengerjakan PR?”
“Tentu saja. Sensei tidak sekejam
itu untuk memarahi murid pindahan baru dengan PR yang lama.”
“Be-Begitu ya. M-Maaf, aku
menanyakan sesuatu yang aneh…”
“Tidak, jangan meminta maaf!
Terus, bawa santai saja, jangan terlalu gugup! ”
Yuuka berusaha selembut mungkin
saat berbicara dengannya, tapi Si penyihir masih tegang saat berbicara
dengannya.
Ketika tatapan mata kami tanpa
sadar bertemu, dia justru memelototiku.
Memangnya sesulit itu untuk
bertingkah biasa sebagaimana dia bertindak di sekitarku daripada bertindak
lemah lembut seperti ini?
Setelah semuanya tenang, Si
penyihir mengeluarkan sebuah buku dan mulai membacanya. Dia terlihat santai
saat melakukannya.
Membaca buku pada hari pertama
kamu pindah? ...Maksudku, itu bukan hal yang buruk, tapi melakukan itu justru
akan mempersulitmu untuk mendapatkan teman.
“Yoshha! Entah bagaimana, aku berhasil
menyelesaikan semuanya…”
Aku menyelesaikan tugas dengan
cepat. Itu semua berkat Yuuka.
“Aku menyelesaikannya lebih
cepat darimu.” Kata Shinji dengan seringai sambil menyilangkan tangannya. Terus,
masalah buat lu?
Sambil mengambil kembali buku
catatannya, Yuuka membisikkan sesuatu kepada kami.
“Aku ingin tahu apa dia lebih
suka sendirian? Apa aku melakukan sesuatu yang tidak perlu?”
Dia mengalihkan pandangannya ke
arah Si penyihir yang sedang asyik sendiri dengan bukunya.
“Hmm… entahlah… lagipula, kita
terlalu memaksanya…” Ujar Hina dengan ekspresi rumit di wajahnya.
Baik dia dan Yuuka suda mencoba
yang terbaik supaya murid baru itu bisa terbiasa dengan lingkungan baru dengan
cepat, tapi mereka mulai berpikir bahwa rencana mereka menjadi bumerang dan
menyalahkan diri mereka sendiri karena murid baru tersebut terlihat sangat
tidak nyaman di sekitar mereka.
Sebenarnya, bukan itu
masalahnya.
Si Penyihir hanya terlalu
terbiasa sendirian. Dia telah hidup sendiri selama setengah hidupnya dan dia
tahu bagaimana menghadapi kesendirian semacam itu. Itu sebabnya dia terlihat
santai ketika membaca bukunya sendiri seperti itu.
Tapi tetap saja, hanya karena dia
terbiasa sendirian, bukannya berarti dia jadi suka sendirian.
Sebenarnya, gadis itu, Cerys
Flores, benci yang namanya sendirian.
Dia mendambakan kehangatan
keluarga, teman, atau segala jenis interaksi manusia.
Namun, kurangnya keterampilan
komunikasi serta trauma dibenci sebagai penyihir membuatnya sulit untuk
berinteraksi dengan orang lain. Dia takut seseorang akan datang untuk
membencinya. Itulah alasan di balik kegugupan dan kecemasannya setiap kali ada
orang lain di sekitarnya.
Aku sendiri termasuk kasus
khusus karena kami berdua awalnya musuh. Dia bisa bertindak angkuh karena dia
tidak peduli jika aku membencinya. Atau lebih tepatnya, kita seharusnya saling
membenci sejak awal.
Bagaimanapun juga, aku ingin
semua orang berbicara lebih banyak dengannya sehingga dia bisa mengatasi
traumanya itu, tapi rasanya akan sangat tidak wajar jika aku meminta mereka
untuk melakukannya secara terbuka seperti itu.
“Ngomong-ngomong, Godou,
bukannya kamu mengenal Shiina-san? Jadi, ada apa dengan itu?”
Lalu Shinji mengatakan itu
padaku.
Aku menjelaskan sebentar kepada
Yuuka dan Hina bahwa aku mengenal Si penyihir.
Aku harus berbicara dengan Si
penyihir nanti sehingga kami dapat menguraikan latar belakang yang tepat untuk
diceritakan kepada semua orang.
“Hah, begitu rupanya. Jadi itu
sebabnya kalian berdua cepat akrab.”
“Mhm yah begitulah. Aku sendiri
awalnya tidak menyadari bahwa itu adalah dia, tetapi ketika kami berbicara
sebentar, aku berhasil memastikan bahwa itu benar-benar dirinya.”
Aku terus melanjutkan dan
menjelaskan kepada semua orang. Mereka semua adalah pusat perhatian di kelas,
jadi jika mereka memahami kepribadian Si penyihir, semua orang juga akan
mengerti dan mereka takkan mengisolasi maupun menghindarinya karena itu.
“Gadis itu tidak banyak bicara,
tapi dia suka berada di dekat orang lain, jadi jangan ragu untuk berbicara
dengannya.”
Sementara aku sibuk mencoba
menjelaskan keadaannya, Si penyihir itu justru asyik sendiri membaca bukunya.
Karena sikapnya membuatku kesal, aku menepak bahunya dengan kasar.
“Oi.”
“A-Apa?!”
“Aku berusaha keras untuk membuat
beberapa teman untukmu dan kamu malah tersesat
di duniamu sendiri.”
“Tapi aku tidak menyuruhmu
melakukan hal seperti itu ?!”
Semua orang melihat bagaimana
dia berteriak padaku.
“Hah, aku mengerti. Jadi Shiina-san
orang yang begitu, ya~?”
Hina menatapnya dengan heran.
“Entah bagaimana, kalian berdua
terlihat seperti akan memasuki duniamu sendiri… Apa kami perlu memberi kalian
berdua ruang tersendiri?” Kata Yuuka sambil cekikikan.
“Yah, bagaimanapun juga, dia
tipe gadis seperti itu. Anggap saja dia sebagai gadis yang sangat pemalu.”
“Tunggu sebentar, apa yang kamu
katakan tentang aku ...”
Penyihir itu mencoba berdebat,
tetapi suaranya berangsur-angsur menjadi lebih kecil saat dia memperhatikan
tatapan semua orang. Pada akhirnya, dia terdiam di tengah kalimat. Tentu saja,
aku menertawakannya sebagai tanggapan.
Tepat setelah itu, bel berbunyi, menandakan kalau istirahat makan siang telah berakhir.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya