Bab 2 Bagian 3
Pada suatu hari dalam perjalanan
pulang dari sekolah bimbel. Ketika selesai belajar untuk ujian dan berjalan
menuju stasiun di jalan yang benar-benar gelap, aku tiba-tiba dipanggil dari
belakang.
“Kashima-kun.”
Aku dibuat terkejut. Aku tahu
siapa orang yang memanggilku bahakn sebelum aku berbalik.
“Kurose-san ... Apa jadwal
lesmu sudah selesai?”
Kurose-san berjalan di
sampingku dan menatapku sambil tersenyum.
“Enggak, aku habis dari ruang
belajar mandiri. Aku telat masuk karena harus belajar untuk ujian.”
“Oh, aku juga.Lagipula, minggu
depan ada ujian, ‘kan.”
“Bener~. Aku ingin melihat
video barunya Kino-san, dan video yang ingin aku tonton semakin menumpuk.”
“Ngomong-ngomong tentang video,
aku menonton video yang Kurose-san merekomendasikanku tempo hari.”
“Ehh, benarkah!?”
Kemudian kami mulai
membicarakan tentang streaming video game, dan kami pun pulang bersama sambil
berbincang dengan antusias.
“Ngomong-ngomong, karena
Kashima-kun menyebutkannya, aku menonton video gim manusia serigala KEN-san
untuk pertama kalinya beberapa hari yang lalu.”
“Ohh, jadi bagaimana?”
“Rasanya seru banget! Mungkin
ada beberapa orang yang lebih jago bermain manusia serigala daripada KEN-san,
tapi tidak banyak orang yang bisa membuat video gim semenarik KEN-san.”
“Benarkah?”
Ketika Kurose-san yang
merupakan penggemar gim manusia serigala, memberitahuku hal ini, aku merasa
senang seolah-olah aku lah yang dipuji.
“Kalau begitu, coba tonton
video gim Yourcraft, deh.”
“Ohh, yang katanya Ijichi-kun juga
ikutan muncul, ‘kan? Aku pernag mendengar kamu bicara tempo hari."
“Bener, yang itu. Kupikir
yang itulebih mudah untuk diikuti karena
kedatangan orang baru.”
“Benar, sih. Kalau begitu, coba
beri tahu judulnya.”
“Ya ... tunggu dulu, aku akan
mencarinya. Uwahh, sudah sebanyak ini. Video yang diunggah KEN terlalu banyak
sekali.”
Jadi, dalam waktu singkat, kami
akhirnya tiba di stasiun K.
“Kurose-san, hari ini pakai
sepeda?”
Saat aku bertanya padanya di
bundaran depan stasiun, Kurose-san mengalihkan pandangannya sedikit dan
menggelengkan kepalanya.
“Enggak. Aku jalan kaki.”
“Begitu ya……”
Aku merasa bingung karena aku kembali
teringat saat terakhir kali aku mengantarnya pulang. Aku kebetulan bertemu
dengan Luna yang sedang menunggu di depan rumah Kurose-san dan mendapat tatapan
curiga darinya.
Tapi waktu sudah menunjukkan
pukul 10 malam. Meski hanya sekedar teman, aku penasaran bagaimana rasanya
menjadi seorang cowok yang meninggalkan seorang gadis pulang sendirian.
Setelah merasa bimbang sejenak,
kesimpulan yang kudapatkan adalah ...
“... Aku bisa pulang lewat
jalan sini. Ayo belok dari jalan utama dan pergi bersama ke minimarket di ujung
jalan.”
Dengan begitu, aku bisa
mengantarnya sampai setengah jalan dengan alasan yang wajar bahwa “Aku kebetulan bertemu dengan teman
sekelasku yang sedang dalam perjalanan pulang.”
“… terima kasih, ya.”
Kurose-san terlihat sedikit
sedih, lalu tersipu dan berkata.
“... Aku benar-benar minta maaf
mengenai waktu sebelumnya. Setelah itu, kamu pasti dimarahi Luna, ‘kan?”
Setelah kami mulai berjalan
pergi, Kurose-san menanyakan hal seperti itu kepadaku.
Kurasa dia merujuk pada saat
kami bertemu dengan Luna tempo hari.
“Ahh ... enggak, dia enggak
marah sama sekali, kok.”
“Hah, masa?”
Kurose-san membalas dengan
wajah terkejut.
“Luna tuh jarang marah pada
teman-temannya, tapi saat dia marah di depanku, dia terlihat sangat menakutkan.
Jadi kupikir dia juga menunjukkan sisi dirinya yang begitu kepada Kashima-kun.”
“Eh? Eng-Enggak kok... yah …”
Wajah Luna saat marah, ya ... Aku sudah melihatnya menunjukkan emosi yang
lebih dari biasanya pada beberapa kesempatan, seperti ketika dia merajuk
seperti anak manja atau ketika dia cemburu, tapi aku tidak bisa membayangkan
situasi di mana dia akan sangat marah.
“Kurasa perlakukan pacar dan
adiknya sendiri memang berbeda, ya?.”
Kurose-san dengan lembut
menyipitkan matanya seolah-olah ingin menelusuri kembali kenangan di masa lalu.
“Kami berdua adalah sahabat
terbaik sekaligus saingan ..... setidaknya itulah yang kupikirkan.”
“... Kira-kira bagaimana kalau
Shirakawa-san marah?”
Saat aku bertanya, Kurose-san
mengalihkan pandangannya ke arah kejauhan.
“Kupikir satu-satunya kejadian
yang paling membuat Luna sangat marah adalah insiden 'Chi-chan'.”
Setelah mengatakan itu, dia
tersenyum kecil.
“'Chi-chan' adalah mainan boneka kucing. Saat aku kecil, ketika aku
pergi bermain dengan bibiku, aku melihat-lihat pusat perbelanjaan dan bibiku membelikannya
untukku.”
Kami berjalan berdampingan di
trotoar lebar jalan utama. Kurose-san terus berbicara seraya menatap kakinya
yang diterangi oleh lampu jalan.
“Tapi aku tidak terlalu tertarik
dengan boneka binatang. Jadi aku membawanya pulang ke rumah dan membiarkannya
begitu saja, lalu Luna bertanya padaku, 'Boneka
binatang ini buat aku saja, ya?' aku pun menjawab ‘Boleh, kok’, kemudian Luna menamainya ‘Chi-chan’ dan mulai membuatnya terlihat lucu dengan membungkus pita
di sekelilingnya dan mendandani pakaiannya yang terbuat dari saputangan.”
Ketika aku membayangkan wujud
Luna di masa kecil seperti itu, hal tersebut membuatku tersenyum, dan
mendebarkan hati.
“Ketika aku melihat itu, aku
jadi berpikir kalau Chi-chan tampak sangat imut dan merasa rindu padanya. Jadi ketika Luna akan
pergi keluar bermain bersama Chi-chan, aku memintanya untuk mengembalikan
Chi-chan, tapi dia tiba-tiba menjadi sangat dan memukuliku dengan berkata ‘Enggak mau!’. Aku baru berusia enam
tahun atau lebih, tetapi aku bisa mengingatnya dengan jelas. Aku sangat
ketakutan dengan Luna pada waktu itu.”
Kurose-san menggigit bibirnya
dengan ringan dan menundukkan kepalanya.
“Kalau dipikir-pikir lagi
sekarang, kurasa akulah yang salah. Tapi aku menangis begitu keras pada saat itu
karena berpikir kalau dia tidak perlu begitu marah segala.”
Dengan senyum tipis, Kurose-san
mengangkat wajahnya. Garis pandangnya disambut oleh bulan sabit yang mengambang
rendah di langit malam.
“... Aku benar-benar mengagumi
Luna, iya ‘kan? Jadi aku menginginkan sesuatu yang disukai oleh Luna. Mungkin tidak
harus mengenai Chi-chan saja.”
Lalu dia menertawakanku yang
mendengarkan dalam diam.
“Kami berdua benar-benar tidak
mirip, iya ‘kan?”
“U-Umm …”
“Hanya karena terlihat imut,
bukan berarti bisa membuat seseorang populer. Orang-orang menyukainya karena
Luna adalah Luna. Itulah bakat alami yang dimiliki Luna.”
Kurose-san jadi sering
berbicara jika membahas mengenai Luna. Meskipun kami menempati jumlah
percakapan yang sama dalam streaming game, tapi ketika berkaitan dengan Luna,
dia jadi lebih sering berbicara karena mungkin dia memiliki banyak informasi
tentang Luna.
Dan kupikir itu tidak
mengherankan karena dia ingin membicarakannya.
Benar sekali.
Kurose-san sangat menyayangi
Luna. Bahkan sekarangpun masih sama.
Sedemikian rupanya sehingga dia
sangat ingin membicarakannya kepada seseorang.
“Aku merasa iri pada cLuna ...
Aku tidak memiliki bakat yang disukai orang.”
Sosoknya yang menatap bulan dan
memberitahuku bagaimana perasaannya, terlihat memilukan.
Menurutku dia adalah gadis yang
cantik. Dari dulu, hingga sekarang.
Aku sangat ingin melihat
sosoknya ini. Empat tahun yang lalu ketika aku memegang secercah harapan dengan
menyatakan perasaanku padanya, tapi hal tersebut cepat berlalu dan hancur
berantakan.
“... Itu sama sekali tidak
benar, kok. Sejak kelas satu SMP, Kurose-san sangat populer.”
Aku memberitahu hal itu sembari
mengingat waktu itu dengan kepahitan di belakang tenggorokanku.
Jika bukan karena patah hati
itu, aku takkan menjadi diriku yang sekarang.
Aku sudah siap untuk ditolak
sama seperti waktu itu, jadi aku bisa menyatakan perasaanku pada Luna untuk
mengakhiri cinta tak berbalasku yang sembrono sesegera mungkin.
Masa kini adalah kelanjutan
dari masa lalu.
Aku memang “tidak punya pengalaman”, tapi bukan berarti aku tidak pernah merasakan
jatuh cinta.
Jika menyebut proses jatuh
cinta pada seseorang hingga rasa itu terkubur sebagai “cinta”, maka aku sedang
jatuh cinta dengan indahnya.
Aku
memberimu cinta pertamaku.
Hal
itu mungkin sesuatu yang tidak kamu inginkan.
Meski
begitu, aku tidak menyesal karena sudah jatuh cinta padamu.
“... Masa kelas 1 SMP, ya?”
Kurose-san bergumam pelan, seolah
ingin mengunyah kata-kataku.
“Pada saat itu, aku penuh
dengan kebohongan.”
Kurose-san menatapku dengan
senyum yang mencela diri.
“Waktu itu aku bertingkah ‘sebagai gadis yang mirip seperti Luna'.
Itu sebabnya, kurasa orang yang membuat Kashima-kun jatuh cinta adalah Luna.”
“... Tidak, itu sama sekali
tidak benar.”
Aku menggelengkan kepalaku
untuk membantahnya.
“Kurose-san adalah Kurose-san.”
Kurose-san benar-benar berbeda
dari Luna sejak saat itu.
Aku menyukai keunikan
Kurose-san.
“Itu sebabnya ... Jika ada yang
tahu gadis seperti apa Kurose-san yang sebenarnya, aku yakin ada banyak orang
yang akan menyukaimu di masa depan.”
Namun, ekspresi Kurose-san
bahkan tidak cerah sama sekali.
“Ada banyak orang, ya ...”
Kurose-san bergumam dengan
senyum kesepian seraya menatap bulan dengan tatapan jauh.
“... Sudah kuduga, aku tidak
bisa mengalahkan bulan itu, ya?”
Pada saat itulah aku menyadari.
Niat dia yang sebenarnya.
—
Aku hanya menyukaimu atas keegoisanku sendiri.
Pada hari festival olahraga,
kupikir aku mengerti perasaan sebenarnya yang tersembunyi dalam kata-kata yang diucapkan
Kurose-san di atap gedung sekolah.
Sejak hari itu, aku sudah
bertanya-tanya.
Mengapa Kurose-san, yang seharusnya
menyadari sepenuhnya bahwa aku tidak berniat putus dengan Luna, terus “mencintaiku dengan egois” ?
Saat Icchi mengungkapkan
perasaannya kepada Tanikita-san di festival, Tanikita-san mengatakan hal
seperti ini.
──Pengakuan
perasaan bukanlah permainan. Jika itu gacha dengan probabilitas 1/10, kamu bisa menang sekali jika terus memainkannya
sepuluh kali, tetapi bahkan jika kamu menyatakan perasaanmu orang yang sama
sepuluh kali pada waktu yang sama, bukan berarti kamu bisa mendapat jawab “Oke”
sekali, tau. Jika tidak berhasil, ya itu pasti tidak berhasil. Apalagi dunia
nyata tidak bisa diputar ulang.
──Bukankah
itu juga salah satu bentuk cinta untuk tidak memaksakan perasaanmu pada
seseorang yang kamu sukai?
Saat itu aku memikirkan tentang
Kurose-san.
Aku merasa bimbang karena
berpikir apakah Kurose-san merasakan hal yang sama seperti itu terhadapku.
Tapi kenyataanya bukan begitu.
Kurose-san hanya tidak memutar
gacha, karena dia tahu kalau dirinya tidak akan mendapatkan apa yang
diinginkannya.
Kemudian dia sedang menunggu bug yang mungkin terjadi secara tidak
sengaja pada saat-saat tertentu.
Bug dimana aku memilih Kurose-san
daripada Luna.
Rasanya pasti sangat menyakitkan.
Sampai sekarang, aku hanya
memikirkan hubunganku dengan Luna dan mengkhawatirkan hubunganku dengan
Kurose-san.
Jika aku benar-benar selaras
dengan perasaan Kurose-san sejak awal, aku mungkin menyadari jalan yang seharusnya
aku ambil lebih cepat.
Aku minta maaf atas hal
tersebut.
──Jaga
duniamu sendiri. Nikmatilah hidupmu sebebas mungkin. Memangnya kamu yakin tidak
bisa berteman dengan gadis lain selama sisa hidupmu?
Sekiya-san mengatakan itu
padaku.
Menurutku ada yang namanya
urutan dalam berbagai hal.
Pertama-tama, aku tidak punya satu
pun teman gadis sampai aku berpacaran dengan Luna. Bahkan berbicara dengan
gadis-gadis pun jarang.
Semuanya dimulai dengan Luna.
Sejak aku berpacaran dengan
Luna, dunia baru telah terbuka untukku.
Tanpa adanya Luna, aku tidak
akan pernah berteman dengan Kurose-san yang kutemui lagi. Bahkan Yamana-san dan
Tanikita-san akan berpindah kelas tanpa pernah berbicara satu sama lain
denganku.
Semuanya itu berkat keberadaan Luna.
Bagiku, hal yang terpenting
adalah Luna.
Itu sebabnya aku ingin ada
gadis lain yang dekat-dekat denganku jika aku kehilangan cintaku pada Luna.
Aku berbeda dari Sekiya-san. Konsep
teman wanita adalah sesuatu yang tidak pernah ada di duniaku sejak awal..
Jadi kurasa itulah pilihan yang
akan kulakukan.
“... Maafkan aku, Kurose-san.”
Kurose-san menatapku dengan
curiga saat aku mengatakan ini setelah beberapa saat terdiam.
“Mungkin lebih baik jika kita
seharusnya tidak berbicara satu sama lain lagi.”
Mata Kurose-san melebar dan
ekspresinya membeku.
“Kurose-san adalah gadis yang
luar biasa, dan kita berdua memiliki hobi yang sama ... Rasanya sungguh
menyenangkan bisa berbicara denganmu. Oleh karena itu ... aku benar-benar minta
maaf sampai sekarang.”
Aku dengan tergagap memberi
tahu Kurose-san tanpa melihat wajahnya.
“Bahkan jika waktu berlalu ... seandainya suatu hari, saat kita bisa berteman
lagi, ... Aku ingin berbicara dengan
Kurose-san lagi.”
Aku tahu kalau itu pernyataan
yang egois. Aku mungkin takkan pernah berteman lagi dengannya lagi jika ada
seseorang yang mengatakan hal itu kepadaku. Kupikir kemungkinan tersebut
sangatlah tinggi.
Meski demikian, aku tidak punya
pilihan lain selain memilih jalan ini.
“Terima kasih sudah mau menjadi
salah satu dari sedikit temanku dalam waktu yang singkat ini.”
Ekspresi wajah Kurose saat aku
melihatnya lagi ternyata sangat lembut.
“… sama-sama, aku juga”
Seakan dia sudah bersiap bahwa
hari ini pasti akan datang, Kurose-san tersenyum pelan.
Tanpa kami sadari, kami sudah
sampai di depan minimarket di persimpangan jalan.
“Kalau begitu, selamat tinggal
...”
Setelah mengatakan bagianku,
aku tidak bisa memikirkan topik lain untuk memperpanjang pembicaraan lebih
jauh, jadi aku mencoba berbalik untuk pergi.
“Kashima-kun”
Lalu pada saat itu, Kurose-san
menghentikanku.
“Terakhir, boleh aku bertanya
sesuatu padamu?”
“… I-Iya?”
Kurose-san tersenyum tipis dan
berkata kepadaku saat aku menoleh ke belakang.
“Saat kita kelas 1 SMP, kenapa
kamu bisa menyukaiku?”
“Ehh .....”
Aku tidak menyangka akan
ditanyai pertanyaan seperti itu, jadi aku kebingungan dan tidak bisa
berkata-kata.
Hal tersebut membawa kembali
kenangan saat aku jatuh cinta dengan Kurose-san. Suara-suara yang datang dari
kursi di sebelahku, napasnya, suara obrolannya ... Jantungku dibuat berdetak
kencang dengan setiap gerik-geriknya saat itu.
Padahal dia gadis yang cantik,
tapi dia bersikap sangat baik padaku. Jadi aku pikir mungkin saja dia
menyukaiku..
Mana mungkin aku tidak menyukainya.
“... Karena kamu gadis yang
imut”
Tidak peduli seberapa banyak
aku memikirkannya, aku tidak bisa memikirkan jawaban yang bagus, jadi aku tidak
punya pilihan selain berkata begitu.
“Begitu ya”
Kurose-san mengangkat alisnya
sedikit dan tersenyum.
“... Boleh aku bertanya padamu
juga?”
Aku juga mengajukan pertanyaan
yang sudah lama menggangguku.
“Kenapa kamu baru menyukaiku
yang sekarang setelah pernah mencampakkanku di masa lalu ...?”
Ketika Kurose-san menyebarkan
fitnah tentang Luna, dia memberitahuku kalau dia jatuh cinta kepadaku setelah
aku mendengarkannya dan memberinya nasihat dengan keras.
Tapi apa benar hanya sebatas
itu saja? Apa benar hanya itu saja yang diperlukan untuk membuatnya terus
memiliki perasaan terhadapku bahkan setelah ditolak sekali?
Aku ingin tahu apa yang ada di
dalam lubuk hatinya, perasaan dia yang sebenarnya.
“…………”
Kurose-san menatapku dengan
saksama dan tersenyum seolah-olah ingin mengendurkan syarafnya.
“Dulu ... saat aku bertemu
Kashima-kun, hal yang terpenting bagiku adalah disukai orang lain. Karena di
situlah hatiku berlabuh ketika ayahku
tidak mau memilihku.”
Kedengarannya seperti cerita
yang pernah kudengar sebelumnya.
“Disukai laki-laki berarti
membuatnya merasakan perasaan cinta untukku, bukan? Aku tak peduli sama siapa
saja. Aku ingin sebanyak mungkin anak cowok menyukaiku. Ketika ada anak cowok
yang menyatakan perasaannya padaku, aku merasa lega. Alasan kenapa aku menolak
Kashima-kun karena aku tidak ada niatan untuk berpacaran dengan siapa pun. Tidak
penting bagiku untuk menyukai seseorang, dan jika aku berpacaran dengan
seseorang, aku tidak bisa populer lagi.”
Aku mendengarkan ceritanya
dalam diam.
“Alasan kenapa aku menyukai
Kashima-kun sekarang karena ... aku membenci diriku sendiri yang seperti itu.
Kupikir mustahil bisa membuat orang lain menyukaiku lagi. Aku merasa iri pada
Luna yang masih disukai oleh semua orang meskipun sudah mempunyai pacar. Itu
juga membuatku frustrasi bahwa Kashima-kun lebih mempercayai Luna ketimbang
diriku. Padahal dulu kamu menyukaiku ... seandainya saja waktu itu aku
menjangkaunya ... Jika demikian, semua kebaikanmu akan menjadi milikku, tapi
... sekarang sebagian besar kebaikanmu diarahkan kepada Luna .. .tapi terkadang
kamu masih menunjukkannya padaku ... padahal dulunya semua kebaikan Kashima-kun
adalah milikku.”
Kurose-san menggigit bibirnya
dan bergumam dengan ekspresi murung menghiasi wajahnya.
“... Ketika berpikir begitu, isi
kepalaku sudah dipenuhi dengan Kashima-kun.”
Ketika aku tetap diam, Kurose-san
mendongak dan menatapku
“Konyol sekali, bukan? Aku sendiri
memahami betul hal itu.”
Kurose-san lalu tersenyum kaku
dan membalikkan punggungnya.
“Kalau begitu, aku pulang dulu
ya. Bye-bye.”
“Ah, iya...”
Ketika aku melihat bagian
belakang punggungnya yang semakin menjauh, aku mulai berpikir sendiri.
Ahh
begitu rupanya.
Mungkin
aku adalah “Chi-chan” di matanya.
──
Jika ada seorang gadis yang mendekatimu di masa depan nanti, aku berani
mengatakan kalau gadis itu bukannya tertarik padamu, melainkan dia menyadari
akan keberadaan Luna.
Aku teringat dengan kata-kata yang
diucapkan Yamana-san tempo hari.
Karena Kurose-san mengagumi
Luna.
──Bahkan jika cowok tersebut sama sekali bukan tipemu, kamu mungkin terkada
berpikir bahwa “Jika cowok itu yang dia pilih, cowok itu pasti cowok yang luar
biasa”, dan cowok tersebut akan terlihat 50% lebih tampan.
Seperti yang dikatakan Tanikita-san,
psikologi semacam itu mungkin saja bisa terjadi.
Perasaanku dibuat campur aduk
karena diliputi perasaan lega sekaligus kecewa.
Tanpa sekali pun berbalik untuk
melihat ke arahku, Kurose-san semakin menjauh dariku.
Orang yang dilihat Kurose-san
bukanlah diriku, melainkan Luna.
Jika demikian, bukankah
kebahagiaan sejatinya terletak pada mendapatkan kembali ikatannya dengan Luna
sekali lagi?
“... Entahlah, aku mungkin
terlalu banyak berpikir.”
Sebagai cowok perjaka, aku takkan
pernah tahu kebenarannya tidak peduli seberapa keras aku mencoba
membayangkannya.
Untuk saat ini, semoga saja
rencana pertemanan Luna bisa berjalan dengan lancar dan hubungan mereka berdua
bisa kembali seperti semula.
Karena aku tidak bisa berbuat
apa-apa lagi.
Sementara aku memikirkan hal
itu, sosok Kurose-san semakin mengecil.
Kurose sedang berjalan di jalan
terakhir menuju rumahnya. Ini adalah gang belakang sempit yang membentang
ratusan meter, dan seingatku di sana ada kuil sepi di depat apartemen,
memberikan nuansa yang cukup mencekam.
Kurose-san akan melewati kuil
dan hampir sampai ke apartemennya.
Ketika aku berpikir untuk
pulang setelah selesai mengawasinya dari jauh ….
Di belakang sosok Kurose-san
yang sudah sebesar kacang polong, ada sosok lain yang tiba-tiba muncul dan
menuju ke arahnya.
Ketika aku melihatnya dengan
gelisah …. setelah beberapa saat, aku bisa mendengar suara teriakan seseorang.
Itu adalah jeritan yang berasal
dari jauh, suaranya begitu kecil sehingga orang-orang di jalan utama tidak ada yang
menyadarinya.
Karena aku menyaksikan sosok
itu sebelumnya, aku pun khawatir dan berlari mendekati area kuil karena
penasaran. Aku tidak bisa melihat sosok Kurose-san lagi. Aku ingin tahu apakah
teriakan tadi hanya imajinasiku saja dan dia sudah sampai di apartemennya?
Aku harap semoga saja begitu.
Saat aku hendak mencoba
melintasi pintu masuk kuil sambil berharap-harap cemas.
“...!?”
Sosok hitam melompat keluar di
depanku.
“Uwaa!?”
Aku melompat mundur karena
terkejut, dan sosok yang terlihat seperti laki-laki itu berlari di berlari di
belakangku.
“…………”
Ternyata itu bukan Kurose-san.
Aku melihat sekeliling untuk
mencari keberadaannya dan menemukan ...
“Kurose-san!?”
Kurose-san sedang terbaring
lemas di halaman kuil.
“Apa kamu baik-baik saja …!?”
Saat aku mendekati dan
memanggilnya, Kurose-san berdiri terhuyung-huyung.
“Kashima... kun..?”
“Apa yang sudah terjadi,
Kurose-san...”
“... Aku diserang oleh pria tak
dikenal...”
Kurose-san terlihat sangat
pucat dan gemetaran ketika mengatakan itu.
Sosok yang melompat keluar di
depanku barusan pasti pelakunya.
“Saat aku berteriak, Ia malah
mendorongku...”
Aku tidak bisa meninggalkannya
sendirian dalam keadaan seperti ini, jadi aku meminjamkan bahuku dan
membantunya berdiri.
Setelah pria yang mencurigakan
itu sudah lama melarikan diri, aku membawa Kurose-san dan menuju ke pos polisi
terdekat.
“Oh, pelecehan seksual? Sudah
kuduga kalau kuil di sana memang cukup sepi”
“Kamu pasti merasa syok. Tolong
ceritakan pada kami kejadiannya di ruangan itu.”
Dua polisi keluar dan memandu
Kurose-san yang gemetaran, ke ruang belakang.
“Kalau kamu? Apa kamu
temannya?”
Salah satu pak polisi yang
lebih tua menanyaiku, dan aku pun tertegun.
Kami berdua sudah bukan teman
lagi ... Kami hanya sekedar teman sekelas.
“Tidak ... aku hanya teman
sekelasnya. Aku kebetulan lewat.”
Aku penasaran apa yang
dirasakan polisi itu dari reaksiku, dan polisi itu tiba-tiba menjadi tidak
ramah.
“Oh, begitu ya. Kalau begitu
serahkan pada kami. Orang tuamu akan khawatir jika kamu tidak pulang juga.”
“Ah, iya…”
Pintu geser pos polisi ditutup,
aku tidak punya pilihan selain meninggalkan tempat itu dan mulai berjalan.
Jalan utama dekat pos polisi
cukup terang dan ada banyak mobil yang berlalu-lalang. Orang-orang dewasa dalam
perjalanan pulang kerja berjalan di trotoar dengan cepat, menyalipku saat
mereka berjalan perlahan.
Jika itu aku yang sebelumnya,
aku yakin kalau aku takkan membuat Kurose-san mengalami ini. Aku akan
mengantarnya pulang sampai ke apartemennya.
Tapi aku sendiri yang memilih
jalan ini.
Bahkan saat aku memikirkan itu,
beban penyesalan mencengkeram erat di dalam dadaku, dan membuatku merasa
gelisah.
Kira-kira apa yang harus kulakukan,...
Setelah berjalan tanpa tujuan
beberapa saat dengan tangan di saku celana, aku mendadak berhenti ketika gedung
apartemenku mulai terlihat.
Aku mengeluarkan smartphone-ku dan
menelepon Luna.
Setelah panggilan kelima,
panggilanku akhirnya tersambung.
“Halo, Ryuuto? Tumben sekali
Ryuuto mendadak meneleponku! Horee!”
Ketika mendengar suara ceria
Luna, entah kenapa aku merasa lega dan senyumku meluap.
“Halo, Luna ...”
“Hmm?”
“Bisakah kamu menghubungi
ibumu?”
Luna sepertinya terkejut dengan
pertanyaanku.
“Ehh, Ibu? Maksudnya ibuku?”
“Ya…”
Setelah merasa ragu sejenak,
aku pun mulai menjelaskan.
“Kurose-san diserang orang tak
dikenal beberapa waktu lalu dan sekarang berada di kantor polisi. Aku ingin
walinya datang untuk menjemputnya.”
Aku yakin Kurose-san atau
polisi akan menghubunginya nanti, dan mungkin aku tidak perlu memberi tahunya
mengenai hal ini.
“Hanya saja.
Padahal aku sama sekali tidak
salah, tapi tiba-tiba jiwa dan ragaku serasa disakiti oleh orang asing... Tidak
ada lagi yang bisa kulakukan untuk Kurose-san, yang mungkin merasa sedikit
kesepian di depan petugas polisi, karena aku bahkan bukan temannya, hanya
sebatas ini saja yang bisa kulakukan untuknya
Bahkan jika kami berhenti
berteman, kami masih teman sekelas. Aku tidak ingin menyangkal keinginanku
untuk melakukan sesuatu untuknya sebagai sesama teman sekelas.
Selain itu, aku harus berbicara
dengan Luna juga.
Tampaknya hanya itu
satu-satunya cara untuk menghilangkan kabut kegelisahan yang bersemayam di dadaku
ini.
“Eh, Maria!? Uh, ya, aku mengerti…
aku akan menghubunginya dulu…”
Luna berkata begitu dengan nada
kebingungan.
“Eh, apa jangan-jangan kamu
tadi bersama Maria?”
“Mengenai hal itu ... kira-kira
apa kita bisa bertemu sebentar sekarang? Aku akan pergi ke dekat rumahmu.”
Dia sama sekali tidak menjawab.
“... Luna?”
Ketika aku bertanya apakah dia
tidak bisa mendengarku, dia akhirnya menjawab.
“Ah, ya ... baiklah, aku
mengerti.”
Entah kenapa, suaranya
terdengar gelap dan muram karena suatu alasan.
Sebelumnya || || Selanjutnya