Chapter 9 — Bukannya Latihan Band Orang-Orang Ini Terlalu Kuat?
“Akhirnya~ kita bisa selaras
satu sama lain~! Awalnya aku benar-benar khawatir apa kita bisa melakukannya
tepat waktu...”
“Betul, terutama lagu Mu—— Phantom
ini, kita harus mulai dari awal membuat partitur nada untuk setiap bagian.”
“Benar sekali. Tapi ketika kita
semua mencoba menggabungkannya, lagu phan …. tom ini sekali lagi, adalah lagu
yang bagus.
“Duhh, dibilangin pakai kata 'Mugen' juga tidak apa-apa, kok...”
“Aku tertawa ngakak karena
pembuatnya mulai merengek.”
“Maafkan aku Taniyama-san,
bukannya aku tidak puas dengan judul lagunya...”
Mereka berlima tampaknya
benar-benar terbuka satu sama lain dan berbicara dengan santai. Masachika
menyaksikan ini dari kejauhan sambil sedikit memiringkan kepalanya.
(Hmmm~
.... ini, apa keberadaanku diperlukan di
sini?)
Itulah yang dipikirkan
Masachika sekarang. Ia pikir mereka bisa melakukan lebih baik dari yang
diharapkan, tapi ternyata mereka melakukannya dengan sangat baik, dan tidak ada
ruang bagi Masachika untuk campur tangan.
(Kupikir
bakalan sulit untuk menyatukan sekelompok anggota yang mempunyai kepribadian
unik masing-masing...)
Setidaknya untuk saat ini,
mereka semua berinteraksi satu sama lain dengan santai. Dan orang yang menjadi pusat
dari semua itu pastilah Alisa. Sayaka yang memimpin latihan band, tapi Alisa lah
yang menyatukan hati para anggota band.
Sedari dulu, Sayaka terampil
dalam memotivasi orang, tetapi dia tidak menganggap dirinya dekat dengan hati
anggota timnya. Bisa dibilang, dia adalah tipe orang dengan wajah datar yang akan mengatakan
sesuatu seperti, “Dengan kemampuanmu, aku
yakin kamu bisa melakukannya. Masalah mental? Itu bukan urusanku, jadi silahkan
curhat dengan teman dekatmu atau merengek kepada pacarmu untuk mengembalikan
dirimu ke jalur yang benar. Jika kamu tidak bisa melakukan itu, aku akan
menyerahkan tugasmu kepada orang lain”. Bagi Sayaka, semua manusia,
termasuk dirinya, adalah pion. Dirinya hanyalah pion komandan yang menggerakkan
pion lainnya, dan bukan tanggung jawab komandan untuk mengurus masalah pribadi
pion lainnya. Dia sangat berkepala dingin dan menarik batas dengan yang lain.
(Taniyama
sangat unggul sebagai komandan, tapi jika ditanya apa dia seorang pemimpin, dia
sama sekali tidak begitu .... Kali ini, Alya secara tidak sengaja mengambil
peran sebagai pengurus. Tidak, mungkin saja semuanya …. sesuai seperti
perhitungan Taniyama?)
Bagaimanapun juga, pada tingkat
ini, Alisa mungkin bisa memenangkan posisi pemimpin band dengan upayanya sendiri
tanpa dukungan Masachika. Itu sendiri adalah hal yang membahagiakan …. Tapi
jika begitu, pentingnya keberadaannya sendiri sebagai seorang manajer akan
dipertanyakan. Kesampingkan mengenai
Alisa, sekarang dirinya tidak melakukan bantuan atau tindak lanjut
kepada Takeshi atau Hikaru, apa yang sebenarnya harus dirinya lakukan ….
(...Aku
yakin mereka akan segera istirahat, jadi kurasa lebih baik membelikan mereka
minuman yang bisa melegakan tenggorokan.)
Dalam hati mencemooh dirinya
sendiri karena terdengar seperti manajer klub atletik, Masachika diam-diam
meninggalkan ruang musik.
“Entah kenapa~...”
Begitu Masachika melangkah keluar
ke lorong meninggalkan lima anggota band di belakangnya, anehnya Ia merasa
terasing dan tanpa sadar mengeluarkan keluhan. Dan kemudian Masachika tersenyum
kecut pada dirinya sendiri.
(Aku
gagal menjadi manajer jika merasa tidak puas saat melihat mereka melakukannya
dengan sangat baik...)
Jika mereka melakukannya dengan
sangat baik sampai-sampai tidak membutuhkan seorang manajer, itu merupakan
sebuah kabar yang baik. Pertama-tama, Masachika menjadi manajer bukan karena
ada yang memintanya, tapi karena keinginannya sendiri. Dirinya tidak berhak
untuk mengeluh karena kehilangan pekerjaan. Jika tidak mau, Ia seharusnya
bergabung saja dengan mereka sebagai keyboardis daripada mengundang Nonoa dari
awal.
(Cuma
bercanda~)
Ia tahu betul bahwa dirinya
tidak bisa melakukan itu. Masachika tidak berniat bermain piano lagi. Itu
sebagian karena sikap keras kepalanya kepada ibunya. Tapi lebih dari itu ...
(Musikku
…. tidak memiliki kekuatan untuk membuat orang tersenyum.)
Dari dulu selalu saja seperti
itu. Setiap kali Masachika memainkan piano, semua orang menjadi tanpa ekspresi.
Anak-anak yang bersorak keras untuk penampilan temannya dan orang tua yang
tersenyum dan bertepuk tangan untuk penampilan anak-anak mereka semua menjadi
tanpa ekspresi ketika Masachika mulai bermain. Dan mereka memandang Masachika
seolah sedang melihat sesuatu yang asing.
(Setelah
kupikir-pikir lagi sekarang, mereka benar-benar dibuat terpukau~... Yah, kurasa
aku sendiri tidak bertingkah seperti anak kecil, dan aku juga tidak terlalu
menyukai piano. Cuma Yuki satu-satunya merasa bahagia dengan polosnya ...
Tidak, kalau tidak salah ada satu cowok yang memelototiku dengan rasa
persaingan?)
Pada intinya, Masachika tidak
memiliki kenangan yang baik tentang piano. Menambahkan seseorang seperti itu ke
dalam sebuah hanya akan menimbulkan kekacauan.
(Lagian,
aku sendiri tidak tahu kalau aku masih bisa bermain piano atau tidak ...)
Sambil memikirkan hal-hal
seperti itu, Ia membeli minuman untuk semua orang dan kembali ke ruang musik,
kebetulan saja mereka berlima sedang istirahat.
“Kerja bagus semuanya~ Aku
membawakan minuman──”
Di permukaan, Masachika
mengangkat kaleng itu sambil tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. Namun, senyum
itu dengan cepat berubah menjadi kaku.
“Seriusan deh, meski begitu,
nyanyian Alya-san semakin lama semakin bagus. Tidak, dari awal kamu memang jago
bernyanyi.”
Julukan nama Alisa keluar dari
mulut Takeshi dengan santai. Sampai saat itu, hanya Masachika saja satu-satunya
cowok di sekolah yang diperbolehkan memanggil nama tersebut. Masachika
merasakan api hitam membakar isi perutnya sekaligus karena Takeshi memanggilnya
seperti itu.
“Hmm~? Kuzecchi, apa itu untuk
kami~?”
“A-Ah... yah begitulah.”
Masachika melanjutkan
langkahnya dengan canggung ketika mendengar panggilan Nonoa dan meletakkan
kaleng jus di meja terdekat. Bahkan saat melakukan itu, Ia bisa mendengar
percakapan anggota lain.
“Apa Alya-san memiliki pengalaman
menyanyi?”
“Tidak ada sih ... Tapi ketika
aku masih kecil, aku pernah menjadi anggota paduan suara gereja untuk sementara
waktu?”
“Ehh, apa itu berarti Alya-san
orang Kristen?”
“Bukannya seperti itu. Atau
lebih tepatnya, menurutku kebanyakan anak muda di Rusia saat ini tidak
beragama, sama seperti orang Jepang, lho?”
(TN: Faktanya Rusia memiliki populasi Muslim terbesar
di Eropa dan menjadikannya sebagai kelompok agama terbesar kedua di negara ini
setelah Kristen Ortodoks. Tapi ada juga yang bukan penganut agama tertentu
tetapi percaya)
Julukan nama Alisa tidak hanya keluar
dari mulut Takeshi, tapi juga keluar dari mulut Hikaru. Masachika pusing karena
kegelisahan dan kecemburuan.
“Kamu kenapa, Kuzecchi? Eh
salah ding, Masacchi.”
“Masacch...? Ah, bukan
apa-apa...”
Sambil tersenyum kikuk pada
pertanyaan Nonoa, Masachika dengan putus asa bertanya sambil berpura-pura
santai.
“Apa kalian memutuskan untuk
memanggil satu sama lain dengan nama asli kalian?”
"Hmm? Ahh~ itu karena saran
dari Alissa~”
“Oh begitu ya....”
Saran dari Alisa. Dengan kata
lain, Alisa sendiri yang meminta mereka agar dia dipanggil dengan nama
panggilannya ...
“Ahh iya~... aku mau lihat keadaan
kelasku dulu.”
Merasa tidak yakin bahwa Ia
bisa berpura-pura tenang lagi, Masachika berkata begitu dan meninggalkan ruang
musik lagi.
“Sialan!”
Kemudian, ketika sudah
mendekati tangga, Masachika menggaruk kepalanya dan mengumpat, lalu menuju
ruang kelas dengan langkah kasar. Untuk beberapa alasan, dirinya tidak menyukai
semuanya sekarang.
Alisa yang dengan mudah
membiarkan orang lain selain dirinya memanggilnya dengan nama panggilannya, dua
sahabatnya yang akrab dengan nama panggilannya, dan …. dirinya sendiri yang
menunjukkan sikap posesifnya terhadap hal semacam itu.
“Cih.”
Masachika menuruni tangga
dengan hati yang sangat berat. Ketika dirinya mencapai pijakan, sebuah suara
yang akrab memanggilnya dari belakang.
◇◇◇◇
“? Masachika-kun?”
Alisa terlihat ragu saat
Masachika pergi lagi begitu dirinya kembali. Sayaka memanggilnya dengan tegas
sambil menghela nafas ringan.
“Bukannya lebih baik kalau kamu
mengejarnya?”
“Ehh?”
“Sudah menjadi tugas Alisa-san
untuk menghiburnya. Tolong bicara dengannya dengan benar sebelum semuanya
menjadi rumit.”
“Iya ... aku mengerti, kok?”
Alisa mengejar Masachika,
meskipun dia masih belum yakin dengan situasinya. Sayaka menghela nafas lagi
saat melihatnya pergi.
“Kamu memang baik banget, ya~
Sayacchi~”
“Hah?”
Sayaka mengangkat alisnya
ketika Nonoa memanggilnya dengan seringai di wajahnya. Kemudian, sambil
memalingkan wajahnya, Sayaka mendorong kacamatanya.
“Aku hanya mendorong orang
untuk memastikan kalau semua orang di tim dalam kondisi yang baik.”
“Hmm~?”
“... apa-apaan dengan tatapan
mata itu?”
Sayaka terlihat tidak nyaman
saat Nonoa tersenyum penuh arti padanya. Lalu, Hikaru juga memanggilnya dengan sedikit
senyum masam di wajahnya.
“Kami juga mengucapkan terima
kasih. Meski aku juga sedikit khawatir …. Tapi kupikir sebaiknya memang harus
Alya-san yang mengejarnya.”
“Hah? Apanya? Apa maksudnya?”
Sayaka yang merasa tidak nyaman
dan menuju tasnya sambil mengabaikan Takeshi, yang tidak mengerti apa-apa. Dia
kemudian mengeluarkan lap kacamata dari kotak kacamatanya dan mulai menyeka
lensa dengan itu.
“? Apa ada sesuatu?”
“Ah, enggak …Sayaka-san tuh
suasananya jadi sedikit berubah saat kamu melepas kacamatamu, ya.”
“... Ah, aku sadar diri kalau
mataku kelihatan galak.”
“Tidak, maksudku bukan seperti itu... entah kenapa rasanya seperti, terlihat keren? Kupikir itu bagus, kok.”
“?”
Entah kenapa Ia terlihat
gelisah, tapi dia tidak bisa melihat dengan baik karena dia melepas
kacamatanya. Dengan perasaan bahwa tidak baik untuk mengkhawatirkannya, Sayaka
memalingkan muka dari Takeshi dan dengan cepat mengenakan kembali kacamatanya
dan meletakkan gitar bassnya.
“Aku akan pergi dulu sebentar.”
“Ah, mau ke toilet? Aku juga
ikut dong~”
Dia mencela Nonoa yang
mengucapkan kata “toilet” tanpa rasa
malu, dan Sayaka menjawab sambil menghela nafas.
“... Aku hanya ingin mencari
udara segar dulu.”
“Eh? Kalau gitu aku tetap mau
ikut.”
“...”
Sayaka yakin kalau dia akan tetap
ikut tak peduli apa yang dikatakannya. Setelah menatapnya seakan ingin menebak
niatnya, Sayaka menyerah begitu saja dan meninggalkan ruang musik bersama
Nonoa. Segera setelah itu, Nonoa memanggilnya sambil menyeringai.
“Hiyaa~, meski begitu, aku tak
menyangka kalau Sayacchi sangat memedulikan hubungan mereka berdua, ya~?”
“Seperti yang sudah kubilang sebelumnya,
ini semua demi band. Tidak ada hubungannya dengan perasaan pribadiku.”
“Tapi, aku merasa kalau kamu
menaruh banyak perhatian pada Alissa, bukan? Jika Sayacchi mau melakukan itu,
kamu bisa mengatur kita berlima dengan lebih baik lagi.”
“... Aku hanya tidak ingin
menggunakan otakku untuk hal-hal yang tidak perlu ketika aku bermain di sebuah
band. Jika ada orang lain yang bisa memimpin, akan lebih mudah membiarkan orang
itu memimpin, bukan?”
“Dengan kata lain, kamu akan
menyerahkan posisi pemimpin band kepada Alissa?”
“...”
Sayaka sedikit enggan untuk
mengatakan apa-apa karena dia merasa sedang digoda. Kemudian, dia melirik Nonoa
dan melakukan serangan balik sedikit.
“Meski kamu bilang begitu, tapi
sepertinya Nono-chan lebih bersenang-senang dari biasanya, tuh? Apa bandnya
semenyenangkan itu?”
“Hmmm~ gimana ya~...”
Bahkan Sayaka menyadari bahwa
perasaan yang biasanya ditunjukkan teman masa kecilnya ini tidak benar-benar
dari hati. Nonoa selalu mendengarkan reaksi orang-orang di sekitarnya dan
langsung memberikan tanggapan terbaik saat itu juga.
Sayaka menyadarinya hal itu, tapi
dia tidak punya niat untuk mengorek terlalu jauh ke dalamnya. Karena dia tahu
kalau dirinya bisa bergaul lebih baik dengan teman masa kecilnya ini jika dia
melakukan itu.
Namun akhir-akhir ini, Nonoa
memancarkan aura kesenangan sejati bahkan dari sudut pandang Sayaka. Hal itu
cukup mengejutkan Sayaka... tapi pada saat yang sama, itu juga hal yang
membahagiakan.
“... Yah, mungkin rasanya lebih
menyenangkan dari yang kukira, band.”
“Begitu ya.”
Setelah sedikit merilekskan
ekspresinya, Sayaka dengan tenang berjalan menyusuri koridor. Kemudian, wajah
yang dikenalnya muncul dari belokan di depannya dan berhenti.
“Loh, ada Yuusho toh~.”
“Oh, sudah lama kita tidak
berbicara ya. Miyamae, Taniyama.”
Orang itu adalah Kiryuin Yuusho,
ketua klub piano saat ini dan mantan anggota OSIS SMP. Bagi mereka berdua, Ia juga
merupakan lawan yang memiliki sejarah, setelah mengalahkannya dalam debat selama
kampanye pemilihan dan mengeluarkannya dari posisinya sebagai calon ketua OSIS.
Entah dia menyadarinya atau tidak, tapi Nonoa masih bertingkah seperti biasanya,
tapi... seperti yang diharapkan, Sayaka tidak bisa melakukan itu, dan
menghadapi Yuusho dengan sedikit kewaspadaan.
“Sudah lama tidak ketemu,
Kiryuin-san. Apa kamu ada urusan dengan kami?”
“Tidak, aku bukannya ada urusan
apa-apa, kok. Hanya kebetulan saja kita bertemu di sini.”
Setelah mengatakan itu dan
mengangkat pundaknya, Yuusho menunjukkan senyum penuh arti.
“Hanya saja, benar juga... Aku
mendengar kabar angin kalau kalian bermain di sebuah band dengan Kujou Alisa
yang itu di festival sekolah mendatang. Apa itu benar?”
“Ya, lantas ada apa dengan
itu?”
“Bukan apa-apa kok, aku cuma
berpikir itu mengejutkan. Aku tak pernah menyangka kamu akan begitu mendukung
murid pindahan itu.”
Cara bicara Yuusho yang bahkan
tidak berusaha menyembunyikan maksudnya, membuat Sayaka perlahan menaikkan
kacamatanya dengan ekspresi dingin.
“Apa maksudmu dengan murid pindahan itu? Sejauh yang aku tahu,
kamu dan Kujou-san seharusnya tidak pernah berhubungan sama sekali.”
“Tanpa bertemu langsung pun aku
sudah tahu. Kamu memahami apa yang ingin kukatakan, bukan?”
Yuusho lalu dengan sinis
mengangkat sudut mulutnya.
“Ketua OSIS harus seseorang
yang dapat berkontribusi pada Raikoukai di masa depan. Seseorang yang dapat
menggerakkan Jepang dengan kekuatan finansial, pengaruh, dan segala macam
kekuatan adalah orang yang tepat untuk menjadi ketua OSIS …. Tapi bagaimana
dengan murid pindahan itu? Tidak ada uang, status, maupun koneksi pribadi, dia
sama sekali tidak mempunyai apa-apa. Selain itu, sangat diragukan seberapa banyak
pemahamannya mengenai Jepang. Mana mungkin orang semacam itu pantas menjabat
posisi ketua OSIS. …. Kukira kamu setuju denganku mengenai hal ini juga?”
Itu adalah ekspresi penuh
kesadaran diri dan ambisi yang tidak dapat dibayangkan dari tingkah laku
bangsawannya yang biasa. Namun, Sayaka menghela nafas ringan tanpa merasa
kesal.
“Aku memahami maksudmu, tapi
aku tidak pernah ingat setuju denganmu.”
“Kenapa? Sebagai putri presiden
dari Industri Berat Taniyama, kamu juga bertujuan untuk bergabung dengan Raikokai
sebagai pemimpin masa depan Jepang, bukan?? Bukannya Miyamae juga mencalonkan
diri supaya bisa bergabung dengan Raikokai dan mengembangkan bisnis keluargamu
lebih jauh?”
“Aku? Enggak juga, kok? Aku
hanya bekerja sama dengan Sayacchi karena dia ingin mencalonkan diri.”
Yuusho terang-terangan
mencemooh tanggapan Nonoa. Ia kemudian mengangkat bahunya untuk menunjukkan
penghinaan.
“Aku benar-benar terkejut. Aku
tidak pernah menyangka kalau kalian tidak menyadari situasinya. .... Pantas
saja kursi ketua OSIS diremehkan akhir-akhir ini.”
Sayaka menyipitkan matanya
karena penghinaan yang diarahkan padanya dari depan. Tapi, sebelum Sayaka mengatakan
apapun, Nonoa lebih cepat membalas dengan ekspresi mengejek.
“Junyuusho-chan, kamu mengatakan
sesuatu yang sombong, ya.”
Sayaka tidak mengerti arti dari
nama sebutan itu. Tapi efeknya cukup drastis.
Dalam sekejap, Yuusho
mengernyitkan alisnya, dan giginya bisa terlihat dari celah senyum bibirnya
yang berkedut. Namun, ekspresi itu langsung disembunyikan oleh senyuman kering.
(TN: Tebakan
mimin, Nonoa memberi julukan Junyuusho-chan buat mengejek Yuusho karena kalah
terus sama Masachika selama kompetisi piano pas masih kecil, karena arti dari Junyuusho adalah posisi kedua atau runner-up)
“Kamu ini benar-benar ... aku
benar-benar tidak mengerti kenapa orang sepertimu bisa begitu populer.”
“Kenapa, ya~? Aku sendiri tidak
tahu~.”
Nonoa menanggapi kemarahan
Yuusho yang mendidih dengan melihat kukunya seolah-olah dia tidak peduli.
Melihatnya dari samping, Sayaka menghela nafas ringan dan menatap Yuusho dengan
tatapan tajam.
“Yah, ada banyak hal yang ingin
kukatakan, tapi... intinya, kamu hanya
ingin menjadi ketua OSIS saja, iya ‘kan?”
“Aku tidak tertarik pada
jabatan ketua OSIS itu sendiri. Tetapi saat ini, jika seseorang tidak menjadi
ketua OSIS, dia tidak akan dapat bergabung dengan Raikoukai, jadi aku hanya
mencoba untuk sampai ke sana.:
“Begitu rupanya. Meski begitu,
aku belum pernah mendengarmu melakukan kegiatan kampanye.”
Mulut Yuusho berubah menjadi
sinis pada serangan balik acuh tak acuh Sayaka.
“Bukannya kegiatan kampanye
hanya tentang menjadi populer secara terbuka?”
Sayaka mengerutkan kening pada
cara bicaranya yang mengandung maksud tersembunyi.
“… apa maksudmu?”
“Entahlah. Tapi jika kalian berpikir
kalau Suou atau Kujo akan menjadi ketua OSIS, maka aku cuma bisa bilang kalau
kalian terlalu cepat menyimpulkannya. Orang-orang yang tampaknya baik-baik saja
adalah orang-orang yang kecolongan di tempat yang paling tidak terduga ....
yah, kurasa itu tidak ada hubungannya dengan kalian.”
Sambil mengangkat bahunya,
Yuusho memelototi Sayaka dan Nonoa dengan senyum mengejek di sudut mulutnya.
“Aku merasa lega setelah
berbicara dengan kalian... kurasa aku tidak perlu waspada terhadap apa pun dengan
kalian yang sekarang.”
Setelah mengatakan itu, Yuusho
mulai berjalan menjauh dari mereka.
“Baiklah, sampai ketemu lagi.
Tolong jangan berbuat aneh-aneh sekarang, dan nikmati aktivitas band kalian
sebanyak mungkin.”
Yuusho meninggalkan kata-kata
itu saat mereka berpapasan. Melihat dari balik bahunya, Sayaka menaikkan
kacamatanya dan berkata,
“Aku sih sama sekali tidak
peduli dengan apa yang kamu katakan, tapi mengambil kesempatan dalam kesempitan
bisa menjadi senjata makan tuan, loh*? Sebelum mengkhawatirkan Alisa-san,
kenapa kamu tidak mempertanyakan kemampuan bahasa Jepangmu sendiri?” (TN: Peribahasa aslinya bukan begitu, tapi
mimin lokalisasi dengan peribahasa Indonesia yang paling mendekati artinya)
“Sayacchi benar-benar kehasut.
Bikin ngakak deh~”
Itu adalah balasan karena Ia
mengoceh seenak jidatnya, tapi Yuusho tidak bereaksi sama sekali. Sayaka juga
mendengus pelan dan berbalik menghadap ke depan, lalu melanjutkan langkahnya.
“Yare~ yare, intinya apa sih
yang ingin orang itu katakan?”
“Bukannya Ia cuma ingin
menunjukkan bahwa dirinya melakukan sesuatu di belakang layar? Karena Yuusho orang yang lumayan caper, iya
‘kan?”
“Apa memang hanya begitu...”
“Jadi, apa yang akan kamu
lakukan? Apa kamu mau memberi peringatan pada Yukki dan Alissa?”
Begitu mendengar pertanyaan
Nonoa, Sayaka mengangkat alisnya sejenak lalu menggerakkan bahunya naik turun.
“Kurasa itu tidak perlu. Tidak
peduli apa yang Ia rencanakan, jika Suou-san dan Alisa-san dikalahkan oleh
rencananya, maka apa boleh buat... itu tidak ada hubungannya dengan kita.”
“Begitu ya. Lalu~ mendingan
jadi penonton saja dari jauh, ya~”
Suaranya terdengar santai,
tetapi wajah Nonoa memancarkan aroma yang berbahaya, dan senyum yang
menyenangkan muncul di bibirnya. Meski Sayaka menyadari hal itu, dia tidak
menyebutkannya.
“Yah, mau tak mau mereka harus
menghadapinya.”
Sayaka berkata begitu seraya mengangkat
bahunya.
◇◇◇◇
“Masachika-kun!”
Masachika mengerutkan keningnya
sesaat ketika mendengar suara yang memanggilnya dari belakang. Hanya sekarang,
Ia tidak ingin menghadapinya.
Meski begitu, Masachika dengan
cepat memperbaiki ekspresinya dan berbalik seolah tidak terjadi apa-apa.
“... Alya? Ada apa?”
“... yah, ada sesuatu….”
Melihat ekspresi Masachika yang
tampaknya meragukan, tatapan Alisa mengembara dan kata-katanya menjadi
terbata-bata. Ketika turun ke landasan tangga, dia terlihat bermasalah selama
beberapa detik, lalu membuka mulutnya dengan ragu.
“Aku sedikit khawatir dengan ….
keadaan Masachika-kun.”
“!!”
Masachika tak bisa berkata
apa-apa, karena tak menyangka kalau Alisa akan menyadari keadaan batinnya.
Namun, Arisa, yang mengalihkan pandangannya, sepertinya tidak menyadarinya dan
melanjutkan dengan tergagap.
“Entah kenapa, kamu sepertinya
sedang menjaga jarak … apa aku melakukan sesuatu yang salah?”
Setelah mendengar kata-kata itu
... Masachika merasa sedikit jengkel.
“Itu sih, bukannya kamu juga
sama?”
“Ehh...?”
“Ah...”
Ia secara tidak sengaja membuat
pernyataan menuduh, yang segera disesali Masachika. Memang benar Ia merasa
kalau Alisa sedikit jauh darinya belakangan ini. Masachika tidak bisa
mengatakan bahwa dirinya sedang dihindari... tapi Ia merasa kalau Alisa sedang
menahan diri karena suatu alasan. Tapi tidak pantas juga untuk menyalahkannya
di sini, dan dia hanya mencemaskan keadaannya saja.
“Umm~~”
Masachika menggaruk kepalanya
untuk menyingkirkan rasa frustrasinya dan membungkuk pada Alisa dengan ekspresi
canggung.
“Maaf, tadi itu cuma
pelampiasan kekesalanku saja padamu.”
“Eh, ya...”
“Haa... Yah, gimana, ya. Um, saat
melihatmu bertingkah akrab dengan mereka... bagaimana bilangnya, ya?”
Aku
merasa cemburu. Masachika tidak bisa menyingkirkan perasaan
malunya untuk bisa mengatakan kalimat itu dengan jujur.
“Umm ... aku jadi sedikit
kesepian!”
Sebaliknya, kalimat yang muncul
adalah kata-kata yang bukan kebohongan, tapi juga bukan kebenaran. Meski
begitu, dirinya masih merasa malu. Masachika menundukkan wajahnya dan
menggertakkan giginya untuk menahan rasa malu.
“... Hmm~, gitu ya”
Setelah itu, Masachika bisa
mendengar suara Alisa dengan senyum yang jelas. Ketika mendongak, Masachika melihat
bahwa ekspresi yang sedikit cemas di wajahnya telah hilang. Alisa menatapnya
sambil menyeringai, mirip seperti kucing yang menemukan mangsanya.
“Karena melihatku bergaul
dengan Takeshi-kun dan yang lainnya... jadi membuatmu merasa kesepian?”
“Takeshi-kun”. Masachika
mendapati dirinya dengan jelas mengernyitkan alisnya karena cara panggil Alisa.
Secara alami, pesan tersirat itu juga disampaikan kepada Alisa yang ada di
depannya.
“Hmm~?”
Layaknya kucing yang perlahan
memburu mangsanya, mata Alisa menyipit dengan seringai beringas, dan mendekatkan
wajahnya. Dia kemudian berbisik ke Masachika dari jarak dimana dia hampir bisa
merasakan nafasnya.
“Apa jangan-jangan ... kamu
cemburu?”
“!! Iya, aku ngaku! Aku cemburu!
Aku memang cemburu~! Aku sangat muak dengan diriku sendiri sehingga aku
melarikan diri karena merasa jijik~! Apa kamu sudah puas sekarang!?”
Dalam keputusasaan, Masachika
mencurahkan segalanya. Alisa tertawa dengan senyum yang paling menyenangkan dan
dengan cepat menjauhkan tubuhnya.
“Fufufu~, ya, aku merasa sangat
puas, kok?”
Dengan langkah ringan, Alisa
berbalik ke sisi kanan Masachika seolah-olah akan mulai menari kapan saja. Dia
kemudian meletakkan tangannya di bahu Masachika yang gemetaran karena malu, dan
menciumnya dengan menyentuh lembut pipinya.
“!?”
Masachika berbalik seolah-olah
sedang dipermainkan setelah Ia menegang sejenak saat menyentuh pipinya. Sambil menatap
wajahnya, Alisa tersenyum nakal.
“Jangan khawatir, oke?”
Lalu dia berbisik pelan dalam
bahasa Rusia.
【Karena
kamu orang yang istimewa di hatiku】
Jantung Masachika melonjak ketika mendengar kata-kata itu.
“Ap-Apa?”
Saat Masachika bertanya balik
dengan canggung, Alisa mengangkat dagunya sedikit dan tertawa “Fufun~”, lalu berjalan menaiki tangga
dengan ringan. Dan saat berada di tengah tangga, dia berbalik dan dengan nakal
meletakkan jarinya di depan bibirnya.
"Kalau begitu, aku akan
memberimu sedikit waktuku untuk Masachika-kun yang sangat cemburuan dan gampang
kesepian.”
"Ehh?”
“Aku akan bersamamu selama
waktu senggang di festival sekolah. Jadi tolong lakukan yang terbaik untuk
menghiburku, oke?”
Setelah mengatakan itu, Alisa
kembali memunggunginya dan berjalan menaiki tangga, lalu menghilang ke koridor.
Masachika menatap punggungnya dengan tercengang selama beberapa detik, lalu
berdiri terhuyung-huyung dan bersandar pada dinding di belakangnya. Kemudian,
Ia duduk diam di lantai tangga.
“Uwaaaaa~~… apa-apaan sih tadi
itu.”
Masachika menggaruk poninya dan
mengangkat suaranya yang terdengar seperti rintihan. Kemudian,
seolah mencoba mengeluarkan beberapa kata, dia menggumamkan beberapa kata.
“... itu sih mainnya curang,
pakai cara begitu.”
Bahkan Masachika sendiri bisa
merasakan dengan jelas kalau pipinya terasa panas, dan hatinya melayang-layang
seperti orang idiot. Jantungnya berdetak kencang sampai-sampai bisa terdengar
di telinganya. Ia mengalami kecemburuan yang hanya membuatnya merasa jijik.
Ditambah lagi, Alisa sampai...
“~~~~!!! Ugyiiii~~!”
Masachika memegangi pipinya dan
menggeliat tidak karuan saat mengingat sensasi waktu itu. Ia menggeliat dan
menghantam-hantam dahinya ke dinding. Kemudian, Masachika tiba-tiba disadarkan
dengan banyak suara yang datang dari lantai bawah.
“Hup .. ..”
Ia bergegas berdiri dan menyeka
celananya dengan tangan untuk menghilangkan debu. Seolah-olah ingin melarikan
diri, Masachika memasuki kamar kecil terdekat, dan memutuskan untuk menenangkan
diri sejenak di sana. Kemudian, setelah merasa sedikit tenang, Ia kembali ke
ruang musik dengan langkah canggung.
“Ah, orangnya sudah kembali,
tuh.”
Kemudian, Masachika memiringkan
kepalanya kepada Takeshi yang terlihat sedang menunggunya.
“... ada apa? Memangnya terjadi
sesuatu?”
“Tidak, aku tidak tahu harus
berkata apa... kami baru saja membicarakannya. Aku ingin kita tahu kira-kira
apa kita semua bisa saling memanggil dengan nama depan?”
“Ah ... Bukannya itu bagus?”
Masachika mengangguk, berusaha
untuk tidak menunjukkannya, meskipun dia merasakan jantungnya berdebar lagi.
Sebagai tanggapan, Takeshi menunjukkan seringai puas.
“Oh!! Sudah pasti itu ide yang
bagus ‘kan!! Rasanya seperti melambangkan masa muda banget!”
Saat Masachika membalas dengan
tertawa kecut pada senyum polosnya, pada saat itulah Hikaru memanggilnya.
“Asal kamu tahu saja, itu
termasuk Masachika juga, tau?”
“Eh?”
“Eh? Tunggu... Bukannya
Masachika anggota 'Fortitude' juga?”
Masachika terkejut sejenak
dengan perkataan Hikaru... Setelah menelaah kata-kata itu, Ia tersenyum kecut.
“Ahh … itu benar.”
Ketika Ia dengan santai melihat
Alisa sambil mengatakan itu, Alisa mengangkat bahunya sehingga hanya Masachika
saja yang bisa melihatnya. Melihat sosok itu dan kata-kata yang Ia terima sebelumnya
.... membuat dada Masachika tiba-tiba terasa lebih ringan.
(Ah,
benar juga... ya ampun, apa sih yang
membuatku cemburu?)
Rasanya begitu memalukan bahwa
dirinya memiliki perasaan yang begitu gelap terhadap teman-teman dekatnya yang
baik ini. Seolah-olah ingin perasaan malunya, Masachika menoleh ke arah Sayaka dan
Nonoa.
“Umm, kalau begitu...Sayaka, dan,
Nonoa... apa begitu baik-baik saja?”
“Yah …”
“Bukannya itu bagus?”
Entah bagaimana, Masachika
tersenyum masam lagi karena tidak menyangka akan didekatkan melalui peristiwa
ini dengan dua orang yang pernah bekerja sama dengannya di OSIS. Sebelum Ia
menyadarinya, api gelap yang membara di dadanya telah menghilang.
“Hmm, kalau begitu
...Masachika-san.”
“Ah, iya”
“... entah kenapa, rasanya jadi
sedikit aneh, ya.”
“Haha, emang. Kita sering
bersama selama di SMP, tapi sekarang...”
Dan kemudian, Masachika
tiba-tiba merasakan panas terik di sana.
(Loh?
Percikan panas?)
Ketika Ia memalingkan matanya
ke arah itu sambil bercucuran keringat dingin, Ia melihat Alisa menatapnya
dengan mata dingin. Namun...
(Tunggu
dulu sebentar? Bukannya ini kesempatan yang pas untuk melakukan serangan
balik?)
Kenangan karena dibuat
ombang-ambing beberapa waktu lalu membuat Masachika merasa ingin melakukan
kejahilan. Masachika lalu diam-diam mendekati Alisa dan berbisik pelan supaya
orang lain tidak bisa mendengarnya.
“Apa jangan-jangan ... kamu
cemburu?”
Jika Ia mengatakan ini, Alisa
pasti akan merasa malu dan memalingkan wajahnya──
“Nyebelin.”
… ternyata tidak sesuai
harapannya. Malahan dirinya justru dipelototi secara tajam.
“Ah, nyelekit banget.”
Masachika merasa tertekan
setelah menerima respon yang sepuluh kali lebih kuat dari yang Ia duga.
◇◇◇◇
“Begitu, aku senang
mendengarnya kalau semuanya berjalan dengan lancar.”
Di salah satu kamar di gedung apartemen
bertingkat tinggi tertentu, ada sosok Yuusho yang menelepon dengan smartphone-nya.
“Yah, mungkin ada beberapa yang
terluka, tapi … tidak ada artinya jika tidak melakukan itu, ‘kan?”
Pernyataan berbahaya yang
dibuat begitu santai menimbulkan teriakan protes dari sisi lain telepon. Namun,
Yuusho tampaknya tidak peduli sama sekali, dan menyunggingkan sudut mulutnya.
“Jangan bilang kalau kamu ingin
berhenti sekarang? Jika kamu berhenti sekarang, wakil ketua akan … hahaha, kamu
paham, ‘kan?”
Tawa di wajahnya yang cantik
berubah menjadi jahat. Seolah-olah mengejek kebodohan lawan bicaranya. Meski
begitu, Yuusho masih berbisik manis dengan suaranya yang tetap lembut, layaknya
iblis yang memikat orang ke jalan kejahatan.
“Kalau begitu, silakan
lanjutkan seperti yang sudah direncanakan ... Ketua.”
Seiring berjalannya waktu dan festival
sekolah semakin dekat ...., di tengah jalinan beberapa agenda beberapa pihak,
akhirnya tirai acara festival sekolah pun terbuka.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya