Roshidere Jilid 6 Chapter 7 Bahasa Indonesia

Bab 7 — Kekerasan Bisa Menyelesaikan Segalanya

 

“Takeshi!"

Pertama-tama, Masachika bergegas menuju Takeshi, yang dilihatnya dari atas panggung, untuk mengumpulkan para anggota band di bawah Alisa.

“Hei! Takeshi!”

“O-Oohh...”

Masachika sedikit mengernyit ke arah Takeshi, yang sangat lamban menanggapinya meskipun ia memanggilnya dari dekat…..namun, Masachika juga membeku saat melihat orang yang ada di ujung pandangannya.

“Shiratori ...”

“.....”

Karena tidak tahu harus berbuat apa, Nao diam-diam memalingkan mukanya. Masachika ragu-ragu sejenak dan kemudian memanggil Takeshi lagi, yang juga ikut terdiam dalam kebingungan karena tidak tahu apa yang harus dilakukan.

“Takeshi, kamu bisa menunda dulu masalah dengan Shiratori dan cepatlah kembali ke atas panggung.”

“Eh, tapi...”

“Shiratori tidak akan lari, dan kalian bisa membicarakannya nanti! Jadi, untuk saat ini, berkonsentrasilah pada pertunjukan konser! Kamu ingin menunjukkannya kepada adikmu, ‘kan!!”

Begitu mendengar kata-kata Masachika, Takeshi mengguncang bahunya sejenak dan kemudian dengan panik melihat sekeliling.

“Be-Benar juga, Kanau! Anak itu lagi ada di mana, sih—”

“Oi, tunggu~~~, Shiratori!”

Terkejut dengan Takeshi yang tiba-tiba melesat pergi, Masachika mengambil beberapa langkah sebelum menoleh ke arah Nao. Dan kemudian, ia menundukkan kepalanya pada Nao, yang menoleh padanya sambil menyentakkan bahunya.

“Maaf, mungkin perkataanku sebelumnya terlalu berlebihan!”

“Eh ──”

“Maaf, aku akan menceritakan rincian lebih lanjutnya nanti!”

Setelah mengatakan hal tersebut dengan cepat, Masachika mengejar Takeshi. Untungnya, Takeshi hanya berkeliaran sambil melihat-lihat sekeliling, jadi Masachika tidak kehilangan jejaknya dan segera menyusulnya. Lalu pada saat yang sama, Takeshi berhasil menemukan adik laki-lakinya.

“Kanau!”

“Ah, Nii-chan!”

“Apa kamu baik-baik saja!? Apa kamu terluka di sana!?”

“Enggak, berkat Onee-san ini yang melindungiku...”

Usai mengatakan itu, Kanau menatap ke arah Sayaka yang sedang bergandengan tangan dengannya. Dengan menggenggam erat tangan lainnya yang bebas itu, Takeshi membungkuk dalam-dalam.

“Sayaka-san! Terima kasih banyak!”

“Ah, eh, yah, aku cuma kebetulan berada di dekatnya...”

“Sekali lagi, terima kasih banyak...!”

Bahkan saat matanya melebar karena rasa terima kasih Takeshi yang begitu antusias, Sayaka berusaha untuk tetap tenang dengan mengangkat kacamatanya... tapi tubuhnya menjadi kaku saat menyadari kalau kedua tangannya terhalang. Masachika memanggil Takeshi sambil merasa terkejut dengan ekspresi bermasalah Sayaka yang tidak biasa.

“Maaf karena sudah mengganggu adegan mengharukan ini, tapi bisakah kamu kembali ke panggung secepat mungkin? Kamu bisa membawa adikmu bersamamu.”

“Eh, tapi...”

“Kita akan tetap mengadakan konser. Jadi tolong percayalah padaku dan bersiap-siaplah. Aku akan segera menghubungi Hikaru dan Nonoa juga.”

Begitu mendengar perkataan Masachika, Takeshi dan Sayaka saling berpandangan sejenak sebelum mengangguk, dan mereka bertiga pun menuju ke atas panggung. Melihatnya kepergian mereka, Masachika mengeluarkan ponselnya dan memikirkan di mana dua orang lainnya berada.

“Hikaru... toilet, ya? Itu berarti ia sedang di dalam gedung sekolah.”

Masachika kemudian berlari menuju gedung sekolah sambil menelpon Hikaru.

 

◇◇◇◇

 

“Uughh, perutku masih merasa mual... Aku selalu saja seperti ini ketika sedang merasa gugup.”

Setelah menggunakan toilet, Hikaru berjalan menyusuri koridor dengan raut wajah enggan untuk kembali ke halaman sekolah. Lalu, tepat di samping gedung sekolah, ia mendengar suara seperti pria dan wanita sedang berdebat satu sama lain.

Ketika melihat ke arah sana, ada tontonan sekelompok pria yang mengelilingi seorang gadis yang berpenampilan sedikit mencolok. Cuma percobaan rayuan..... tapi suasananya sama sekali tidak tenang. Pertama-tama, rasanya memang aneh ketika ada empat pria mengelilingi seorang gadis. Selain itu, semua pria itu mewarnai rambut mereka dengan warna-warna mencolok seperti emas atau hijau dan berpakaian dengan gaya yang tidak rapi. Jelas-jelas mereka adalah anak berandalan, sesuatu yang tidak gampang dilihat di Akademi Seirei dan sekitarnya.

(Apa...? Kenapa orang-orang semacam itu bisa datang ke sekolah ini?)

Apa mereka teman nakal dari murid di sini…, tapi rasanya sedikit mustahil. Pertama-tama, nama pengundang tertulis di tiket undangan, jadi jika siswa mengundang seseorang yang bermasalah, siswa yang mengundangnya juga akan dimintai pertanggungjawaban. Sulit dipercaya bahwa ada siswa yang mengundang orang yang berisiko seperti itu dan kemudian membiarkan mereka begitu saja dengan tidak terkendali.

(Lah, sekarang bukan waktunya untuk memikirkan itu)

Sekilas terlihat ada beberapa siswa di sekitar yang memperhatikan kelompok pria tersebut, namun tidak ada yang mau bergerak untuk menolong. Hikaru sendiri tidak memiliki pengalaman dengan hal-hal kasar, dan ini baru pertama kalinya ia berurusan dengan berandalan, tapi dirinya tidak bisa mengabaikan gadis yang sedang kesusahan tersebut.

“Upss?”

Di sana, smartphone Hikaru mulai bergetar di saku celananya. Namun, Hikaru mengabaikannya dan mendekati orang-orang itu.

“Dibilangin, aku diundang oleh Onee kemari! Tolong biarkan aku pergi!”

“Makanya, kenapa kamu tidak memanggil Onee-sanmu untuk kemari juga~?”

“Betuh tuh~, aku akan membiarkanmu melakukannya bersama Onee-sanmu, loh~?””

Sambil menimbulkan tawa vulgar di sekitar gadis yang mulai terlihat jengkel, para pria secara bertahap pindah ke sisi area yang lebih sepi. Pada saat itu, Hikaru mengumpulkan keberaniannya dan memanggil mereka.

“Umm, permisi”

Namun, orang-orang itu hanya melirik Hikaru dan mengabaikan keberadaannya.

“Um! Boleh minta waktu kalian sebentar!”

“Hahh! Apa?”

Memutuskan bahwa tidak ada jalan keluar, Hikaru dengan berani mencengkeram bahu salah satu pria itu. Dan kemudian, sambil menelan ludah pada tatapan keji yang diarahkan padanya, Hikaru mengencangkan perutnya.

“Aku adalah anggota panitia persiapan festival sekolah. Bisakan kamu menahan diri dari perilaku merayu yang mengabaikan keinginan orang lain di sekolah?”

Suara tenang yang bercampur dengan sedikit gertakan. Namun demikian, pihak lain bukanlah orang yang mudah diajak bicara.

“Ah~~~ iya, iya, aku bosan mendengar omong kosong itu.”

Pria itu dengan kasar menepis tangan Hikaru, dan kemudian dengan paksa meraih lengan gadis itu seolah-olah ia kehilangan keinginan untuk menebus keasalahan.

“Aduh, sakit tau!”

“Ap—! Kalian itu tamu undangan, ‘kan!? Jika kalian membuat masalah di sini, orang yang mengundang kalian juga akan dihukum!!”

Setelah mendengar perkataan Hikaru, orang-orang itu berhenti bergerak sejenak, dan kemudian menunjukkan seringai menjijikkan sekaligus.

“Orang yang mengundang kami, ya~?”

“Asal kamu tahu saja, kami melakukan ini atas permintaan orang yang mengundang kami, tau~.”

“Hah……?”

Ketika Hikaru masih dalam keadaan terkejut, pria yang menyeringai di depannya tiba-tiba berubah menjadi beringas——— pada saat berikutnya, sebuah guncangan keras menghantam perutnya.

“Kugh!? Gaho!!!?”

Dalam sekejap, kakinya kehilangan tenaga, dan Hikaru pun jatuh tersungkur di tempat. Segera setelah itu, sensasi menyakitkan yang terasa seperti organ dalamnya terbalik melonjak naik dari perut ke tenggorokannya, menyebabkan Hikaru mengerang kesakitan.

“Puhahahahaha, lemah banget~~ Jangan bertingkah sok keren lu, dasar kampret!!”

“Oi oi, mendingan kamu lebih berlatih keras lagi sana, dasar cowok letoy!”

“Ap-Apa yang sudah kalian lakukan!”

Dari atas kepalanya, Hikaru bisa mendengar suara ejekan para pria itu dan teriakan protes gadis itu, tapi dirinya tidak punya waktu untuk menyadari hal-hal seperti itu. Hikaru hanya bisa menatap tanah dengan air mata yang mengaburkan pandangannya dalam rasa sakit terbesar yang pernah ia rasakan dalam sejarah hidupnya. Namun,

“Ah, Onee! Leo!”

Gadis itu mengangkat suaranya dan tahu bahwa seseorang akan datang untuk menolongnya. ......

(Ah, syukurlahh)

Hikaru merasa sedikit lega di sudut batinnya.

 

◇◇◇◇

 

Pada saat berusia empat tahun, Nonoa dengan jelas menyadari kesenjangan antara dirinya dan lingkungan sekitarnya.

Semuanya berawal ketika waktu istirahat makan siang di suatu taman kanak-kanak. Ada lebih selusin anak dari kelompok yang sama berkumpul di sana setelah mendengar desas-desus kalau ada katak besar di sebuah kolam kecil di sudut halaman sekolah. Kemudian, mereka menemukan seekor katak besar yang belum pernah mereka lihat di atas pohon, mati mencuat dari dekat bagian tengah kolam, dan beberapa bocah nakal mulai melemparinya dengan batu.

Kemudian salah satu guru berlari mendekat dengan panik. Dia biasanya memberi peringatan untuk tidak mendekati kolam karena berbahaya, jadi dia mungkin bermaksud memperingatkan mereka tentang hal itu kali ini.. Namun, ekspresi sang guru berubah saat melihat beberapa bocah laki-laki tanpa henti melempar batu ke arah katak yang kabur ke dalam air.

“Hentikan! Si kataknya jadi kasihan, ‘kan!”

Mendengar teriakan guru, bocah-bocah yang tadinya melempar batu, seketika berhenti bergerak. Anak-anak lain yang ikut menonton di sekitar mereka juga tertunduk dengan wajah canggung. Di antara mereka, hanya Nonoa.

Hanya dirinya saja yang berpikir dengan polosnya, “Apa sih yang Sensei katakan?”

Mana mungkin Sensei bisa tahu apakah katak-katak itu menyedihkan atau tidak. Mengapa Sensei mengatakan kebohongan yang bisa dipahami siapa pun dengan wajah tenang seperti itu? Padahal dirinya sendiri yang selalu bilang kepada anak-anak untuk, “Jangan pernah berbohong”. Kenapa……

“Iyaa~”

“Paham~”

Mengapa anak-anak lain bisa setuju dengan begitu mudahnya? Saking anehnya sampai-sampai membuat Nonoa merasa ngeri. Sensei yang berbohong dengan wajah serius, dan anak-anak di sekitarnya yang tertipu olehnya. Mau tak mau dirinya merasa seperti makhluk yang berbeda.

Nonoa paham kalau seharusnya dia tidak boleh mendekati kolam. Karena berbahaya jika tenggelam. Nonoa juga paham kalau dirinya tidak boleh memukul teman. Karena jika kamu memukul seseorang, orang tersebut akan balas memukulmu. Tapi Nonoa tidak mengerti mengapa dirinya tidak boleh melempari katak dengan batu. Jika seseorang melempar batu ke katak, katak itu takkan melempar balik batu ke arahnya. Tidak peduli seberapa keras dirinya memutar otak, Nonoa tidak mempercayai bahwa manusia bisa disakiti oleh katak. Mereka tidak secara ajaib menjadi manusia seperti katak dalam buku cerita. Nyatanya, Sensei tidak mengatakan, “Karena itu berbahaya”, tetapi, “Karena itu kasihan”. Dengan kata lain……

(Begitu ya, jadi mereka semua cuma idiot saja, ya)

Nonoa meyakini kalau itulah yang terjadi. Sebenarnya, bahkan Sensei sendiri mungkin tidak mengerti mengapa dia tidak boleh melempari katak dengan batu. Dia tidak tahu, jadi dia mencoba menipu mereka dengan berbohong. Dan anak-anak lain dengan gampangnya tertipu. Sensei yang mengira bisa menipu dan anak-anak yang gampang tertipu semuanya adalah orang idiot. Saat dia menyadari hal itu, Sensei berubah menjadi sosok yang tidak bisa dipercaya di benak Nonoa. Karena dia berbohong. Karena dia berbohong dan mencoba menipunya.

“Apa kalian sudah mengerti, anak-anak?”

““““““““Iya, bu~””””””””

Namun, Nonoa juga menyadari bahwa jika dia repot-repot menyangkal perkataan Sensei, itu akan merepotkan. Selain itu, ibunya juga menyuruhnya untuk mendengarkan baik-baik apa yang dikatakan oleh guru. Oleh karena itu, Nonoa….

“Iya, bu.”

Dengan patuh mengangguk, menyelaraskan diri dengan suasana di sekelilingnya.

Sejak saat itu, ketidakpercayaan Nonoa terhadap gurunya terus tumbuh semakin besar. Jika dia mendengarkan dengan seksama, kata-kata gurunya penuh dengan kebohongan dan kontradiksi. Sejauh yang bisa diketahui oleh anak seusianya, gurunya mungkin sebenarnya mengatakan lebih banyak kebohongan. Ketika dia memikirkan hal itu, Nonoa menjadi tidak bisa mempercayai apa pun lagi.

“Nee Papa, Mama, mengapa Sensei berbohong?”

Suatu hari, Nonoa sudah merasa tidak tahan lagi dengan keanehan di sekelilingnya, jadi dia menanyakan hal itu kepada orang tuanya di rumah. Orang tuanya kemudian menatapnya dengan heran dan bertanya apa yang terjadi. Sebagai tanggapan, Nonoa berbicara dengan kata-kata yang canggung dan blepotan.

Dia mulai menceritakan kalau gurunya tidak pernah mengatakan sesuatu yang benar. Gurunya hanya mencoba memaksakan apa yang dikatakannya dengan sembarangan.

Ketika dia mencoba yang terbaik untuk menyampaikannya, ayahnya hanya mengangguk dengan ekspresi serius dan membelai kepala Nonoa.

“Begitu ya... Nonoa ternyata jauh lebih dewasa dan pintar daripada anak-anak lainnya.”

“... Pintar?”

“Ya, karena Nonoa cukup pintar untuk bisa mengetahui kebohongan orang dewasa.”

Gadis pintar. Itu adalah kata yang tidak terduga. Dari dulu Nonoa berpikir kalau dirinya sangat berbeda dari yang lain. Oleh karena itu, pujian tak terduga dari ayahnya menjadi titik cahaya terang bagi Nonoa.

“Berbohong… sudah kuduga, apa semua orang juga berbohong?”

“Hmmmm~, sulit untuk mengatakan apanya yang bohong...”

Ibunya membuka mulutnya menggantikan Ayahnya yang masih bergumam kebingungan.

“Begini ya, Nono-chan. Di dunia ini, apa yang dianggap benar oleh semua orang akan menjadi benar, loh?”

“Eh? Bahkan jika itu adalah kebohongan??”

“Ya. Meski itu kebohongan, jika semua orang menganggapnya sebagai kebenaran, maka itu akan menjadi benar.”

“… menjijikkan sekali.”

Orang tuanya terlihat sedikit bermasalah ketika Nonoa menggumamkan itu sambil merengut. Nyatanya, pada saat itu, mereka masih belum menyadari keanehan putri mereka yang sesungguhnya. Keanehan bawaaan Nonoa …. Yang mana itu adalah tidak adanya rasa bersalah dan kurangnya empati.

Alasan utama mengapa Nonoa merasa aneh dengan lingkungan sekelilingnya adalah karena dia tidak bisa merasa bersalah karena sudah menindas katak hidup. Dan karena dia tidak bisa berempati dengan orang-orang di sekitarnya yang berpikir, “Rasanya kasihan sekali karena makhluk hidup itu ditindas.”

Orang tuanya mengira bahwa Nonoa dapat melihat niat dan kepura-puraan orang dewasa karena kepintarannya, tetapi mereka salah. Hanya karena dia tidak memahami emosionalisme dan tidak terpengaruh oleh perasaannya sendiri atau pendapat orang-orang di sekitarnya, dia dengan tenang menilai kata-kata gurunya sebagai ‘penipuan yang menyembunyikan sifat sebenarnya dari situasi tersebut.'

Namun, walaupun mereka membuat kesalahpahaman semacam itu, orang tua Nonoa secara ajaib mendapatkan jawaban yang benar saat ini.

“Nonoa. Kamu boleh merasa bangga dengan kepintaranmu, tapi... menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekitarmu juga sama pentingnya, oke? Bayangkan, pasti rasanya sangat merepotkan kalau kamu harus melawan orang lain dan mendapatkan gangguan atau peringatan, bukan?”

“Jika kamu masih tidak puas dengan apa yang dikatakan gurumu, coba beritahu Mama atau Papa dulu, ya? Kami akan berbicara dengan gurumu nanti.”

Perkataan dari kedua orang tuanya, yang benar-benar peduli dengan kesejahteraan putri mereka, membuat hati Nonoaa terharu.

Dan kemudian, mulai sejak saat itu, hanya orang tuanya saja satu-satunya orang dewasa yang bisa dipercaya Nonoa. Dia lalu memutuskan untuk menuruti apa yang dikatakan orang tuanya agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan demi menghindari masalah. Aturan absolut itu menjadi satu-satunya prinsip yang mengikat Nonoa dan melindunginya.

Dan Nonoa yang sekarang….

Mulai mempertanyakan prinsipnya sendiri di depan pria yang mendekatinya dengan wajah menyeringai.

Di belakang pria itu, adik perempuannya, Rea, sedang dicengkeram oleh lengan pria lain. Temannya, Hikaru, sedang berjongkok sambil memegangi perutnya. Sedangkan adik laki-lakinya, Leo, sedang dipukuli ketika mencoba menyelamatkan Rea. Saat melihat pemandangan tersebut… Nanoa merasakan kalau jantungnya berdetak dengan kencang untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

(Ahhh, bagus sekali...)

Hatinya terasa bergerak, dan tubuhnya mulai memanas. Perasaan bahwa kehendaknya, yang selalu memiliki pandangan luas terhadap dunia, menyatu dengan tubuhnya sendiri. Sensasi kegembiraan karena dirinya menjadi seorang manusia. (TN: Nih cewek udah gila :v)

(Aku ingin lebih membenamkan diri dalam perasaan ini... tapi yang ini cuma jadi pengganggu)

Nonoa mulai berpikir saat menatap pengganggu yang ada di depannya. Apa yang harus dirinya lakukan sekarang di tempat ini? Dia berusaha mengingat kembali sejumlah aturan yang diberikan orang tuanya sampai sekarang.

[Bersikap baik lah kepada adik laki-laki dan perempuanmu] [Jagalah teman-temanmu dengan baik] [Jangan memulai sesuatu duluan] [Jangan melakukan sesuatu yang berbahaya] [Jika kamu dalam bahaya, segeralah melarikan diri. Jika kamu tidak dapat melakukannya, mintalah bantuan] [Jika kamu terlibat dengan orang berbahaya, kamu harus….

Dia kembali memeriksa aturan-aturan itu dalam pikirannya sendiri, lalu mempertimbangkan apa yang harus dan tidak boleh dia lakukan dalam situasi yang sedang dialaminya. Dan kemudian, Nonoa sampai pada suatu kesimpulan.

“Oi, oi, oi, seriusan nih? Cewek yang satu ini juga sangat imut──”

“Seseorang tolong aku~~~~!! Tolong bantu aku~~~~~!!”

“!?”

Di hadapan pria yang mendekatinya dengan senyuman vulgar, Nonoa berteriak sekuat tenaga. Pria itu langsung tertegun setelah mendengar teriakan yang mendadak itu. Tidak, alasan sebenarnya kenapa pria itu tertegun adalah karena…. gadis di depannya tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan.

Meskipun dia berteriak minta tolong dengan suara lantang, tapi gadis ini tidak terlihat takut sama sekali. Mata gadis itu tampak berubah menjadi seperti bola kaca setelah dia selesai berteriak, seakan-akan dia baru saja melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Ekspresinya yang tidak wajar dikombinasikan dengan rupa wajahnya yang cantik, memancarkan kesan seram yang tidak manusiawi.

“!!!”

Karena dihadapkan dengan entittas yang tidak dikenal, pria itu tanpa sadar mundur selangkah. Sembari menatap wajah pria itu dengan ekspresi kosong, Nonoa tetap mematuhi aturannya sendiri dan memutuskan untuk segera melenyapkan pengganggu yang ada di depannya.

(Untuk saat ini, mendingan aku colok dulu matanya.)

Dia hanya sampai pada kesimpulan yang rasional, dan tanpa ragu-ragu sedikit pun.

Nonoa kemudian menjulurkan jari-jarinya ke arah kedua mata pria itu, ke arah titik-titik lemahnya..

“Uwaaa!?”

Namun, tusukan jarinya tidak mengenainya, karena pria itu secara refleks berpaling dan memalingkan wajahnya. Tapi maksudnya sudah tersampaikan dengan baik.

‘Ap-Apa? Apa yang baru saja dia lakukan!?’

Pria itu bertanya pada dirinya sendiri dalam hati, tapi ia sendiri sudah tahu jawabannya. Hanya saja, akal sehatnya tidak mau mengakuinya.

Matanya menjadi sasaran. Teknik terlarang yang biasanya dihindari tidak hanya dalam seni bela diri, tapi juga dalam perkelahian yang tidak membutuhkan aturan. Matanya menjadi incarannya. Gadis di depannya yang melakukan itu, terlihat sedikit curiga dan kecewa, seolah-olah dia baru saja meleset dalan menendang bola….

“Hiiiii !”

Ketakutan yang mengerikan menjalar di punggungnya, dan pria itu tanpa sadar mengeluarkan rengekan yang memilukan.

Itu merupakan pengalaman pertama bagi seorang pria yang sudah terbiasa menggunakan kekerasan. Tidak ada haus darah, tidak ada kemarahan, maupun wajah kegembiraan, yang ada hanyalah serangan tiba-tiba dari  kekerasan yang terlalu keji. Pria itu benar-benar ngeri dari lubuk hatinya dengan makhluk di depannya yang melakukan hal seperti itu dengan wajah tenang.

“Uwaaaaa!!”

Jadi itulah evakuasi darurat dalam bentuk kekerasan. Dirinya takkan membiarkan sosok yang ada di depannya. ‘Sesuatu’ yang berbentuk gadis cantik ini harus disingkirkan sekarang juga.

Tinju yang diayunkan dalam gerkan impuls dengan mudahnya membelah udara… karena targetnya tiba-tiba mundur. Dan kemudian, tepat di depan wajah pria yang penuh celah setelah melakukan gerakan ayunan besar….

“Guhaa!?”

Sebuah tinju menghantam kepala dan kesadaran pria itu pingsan akibat pukulan tersebut.

“Ah, Kuzecchi.”

“Kamu ini ... seenggaknya kamu berusaha menghindar, kek.”

Masachika, yang menarik Nonoa dari belakang dan secara tidak sengaja melayangkan pukulan tinju kanan balasan ke wajah pria itu, memberi tahu Nonoa dalam genggaman lengannya dengan nada tercengang. Ia dalam posisi memegang bahunya dari belakang, tapi wajah Masachika tidak terlihat malu, dan tidak ada ekspresi apa pun di wajah Nonoa yang terlihat seperti ekspresi. Tidak, jika dilihat-lihat lagi dari dekat, ia bisa melihat sesuatu seperti kilatan emosi yang goyah di kedalaman matanya... tetapi seketika itu juga, Nonoa mengubah ekspresinya dan membenamkan wajahnya di bahu Masachika.

“Ma-Makasih... tadi, aku sangat ketakutan sekali...”

(Ugee)

Tiba-tiba Nonoa mulai berperilaku seperti gadis lemah yang takut akan kekerasan, dan Masachika mengeraskan otot-otot wajahnya agar ekspresi wajahnya tidak terlihat.

Saat ini, hanya Masachika saja satu-satunya orang yang menyadari akting Nonoa. Para siswa yang berada di sekelilingnya juga memandang Nonoa dengan perasaan lega dan senang atas perilakunya. Dan... Teman-teman Nonoa yang luar biasa segera bergegas menghampiri setelah mendengar tangisannya.

“Huh? Ap-Apa mau kalian!”

“Hahhh? Kalian sendiri mau apaan, hah?! Apa yang ingin kamu coba lakukan kepada Nonoa?”

“Babat habis. Aku benar-benar akan menghabisi mereka.”

Dua siswa laki-laki bertubuh besar muncul dengan niat haus darah dan memburu sisa anak berandal lainnya seperti iblis. Masachika menyaksikan pemandangan itu dengan ekspresi ‘Uwaa’ sambil memegangi Nonoa di tangannya.

Bahkan Masachika tidak tahu banyak mengenai keduanya. Namun, ia tahu bahwa mereka merupakan pengikut setia Nonoa, dan rela melakukan hal-hal yang tidak dapat dipublikasikan sebagai kaki tangannya. Di permukaan, mereka mungkin terlihat sebagai penggemar sederhana yang mengagumi Nonoa dari jauh, tapi pada kenyataannya mereka adalah seorang fanatik yang mengubur dalam kegelapan orang-orang yang menghalangi Nonoa.

(Sepertinya aku bisa menyerahkan sebelah sana kepada mereka...atau lebih tepatnya, apa aku perlu memperingati mereka agar tidak berlebihan?)

Setelah menilai begitu, Masachika akhirnya bergegas ke sisi Hikaru yang telah mengangkat bagian atas tubuhnya.

“Oi Hikaru, kamu baik-baik saja?”

“Uh, ya... Aku baik-baik saja sekarang karena keadaannya sudah sedikit tenang.”

Sambil memegangi perutnya dengan tangan, Hikaru perlahan-lahan mencoba untuk berdiri, tetapi…. ia tampaknya kehilangan kekuatan pada kakinya dan sedikit goyah.

“Upss.”

Masachika dengan cepat meraih lengan kanan Hikaru untuk menopangnya. Namun di saat yang sama, ada juga seseorang yang menopang lengan kiri Hikaru…. atau lebih tepatnya, memeluknya.

“Anooo, terima kasih banyak karena sudah menolongku.”

“A-Ahh, itu tidak seberapa...”

Gadis yang memeluk lengan kiri Hikaru dan menggosokkan dirinya dengan mata berbinar adalah gadis yang jadi korban rayuan dari para berandalan tadi.

“Um, kamu... jangan-jangan, kamu adiknya Nonoa-san...?”

“Ya! Namaku Miyamae Rea, adik perempuannya Onee! Ah, yang ini adik laki-lakiku, Leo.”

Usai mengatakan itu, Rea dengan ceroboh menunjuk ke arah seorang anak laki-laki yang tampak sedikit nakal dengan pipi bengkak seraya berusaha berdiri dengan muka cemberut.

“Apa kamu baik-baik saja? Apa mereka memukulmu?”

“Tidak, luka segini tidak seberapa.”

Leo memalingkan wajahnya dengan kesal karena perhatian Masachika. Setelah melirik ke arahnya sejenak seolah-olah ingin mengatakan, 'Dasar bocil', Rea langsung tersenyum dan menatap Hikaru.

“Kalau boleh tahu, siapa nama Onii-san?”

“Eh, ahh... Namaku Kiyomiya Hikaru.”

“Hikaru... sungguh nama yang indah sekali! Kira-kira, apa aku boleh memanggilmu Hikaru-san?”

Gadis yang sedikit memiringkan kepalanya saat mengatakan hal itu kelihatan sangat imut, meskipun dia sedikit perhitungan, karena dia adalah adik perempuan Nonoa......

“Ah, hahaha...”

Dari sudut pandang Hikaru, sejujurnya dia adalah tipe gadis yang ingin ia jauhi. Hikaru hanya memberikan jawaban yang ambigu dengan senyum masam. Namun, Rea tidak peduli sama sekali.

“Kalau begitu izinkan aku memanggilmu begitu, ya? Hikaru-san, terima kasih banyak sudah menyelamatkanku.”

“Tidak, nyatanya aku tidak melakukan apa-apa ...”

“Itu sama sekali tidak benar! Jika Hikaru-san tidak menyelamatkanku, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku….”

Pandangan mata Rea terlihat berkaca-kaca ketika dia meletakkan tangannya ke mulutnya dan sedikit menurunkan pandangannya. Itu adalah sikap yang membangkitkan keinginan seseorang untuk melindunginya, tapi reaksi Hikaru cukup biasa saja.

“Yah, untungnya tidak terjadi apa-apa... Tidak, kedengarannya tidak sopan kalau aku bilang begitu, ya.”

“Fufu, kamu memang baik hati sekali ya, Hikaru-san. Tapi, aku lebih mengkhawatirkanmu, Hikaru-san…. Apa perutmu baik-baik saja?”

“Ya, baik-baik saja, kok.”

Menanggapi percakapan tersebut, Masachika menajamkan pandangannya dan bertanya.

“Apa kamu dipukul? Atau kamu ditendang?”

“Kurasa aku dipukuli.”

“Sama siapa?”

“Yahh… orangnya lagi di sana.”

Setelah mengikuti tatapan Hikaru, Masachika melihat seorang pria yang berbaring telentang.

“Heh...”

Sembari mengatakan demikian dengan suara dingin, Masachika perlahan berbalik ke arah pria itu. Pergelangan tangannya dicengkeram oleh Hikaru, yang didorong oleh rasa bahaya.

“Hei, apa yang ingin kamu lakukan?”

“Tunggu saja sebantar. Aku akan membangunkannya dan membuatnya berlutut untuk meminta maaf padamu.”

“Tidak, tidak, itu saja sudah cukup. Lagipula, kelihatannya ia sudah mimisan parah...atau lebih tepatnya, bukannya gigi depannya juga patah? Hah.”

“Itu sih cuma pembelaan diri, jadi yang begitu tidak masuk hitungan.”

“Tidak, dibilangin itu sudah lebih dari cukup!”

Setelah mengurungkan niatnya untuk menghabisinya, Masachika mendengus pada pria yang pingsan itu dan berbalik ke arah Mitsuru.

“Kalau gitu, ayo pergi ke ruang UKS untuk berjaga-jaga.”

“Hah? Enggak usah lah, aku baik-baik saja, kok.”

“Tidak. Jika ada kerusakan pada tulang dan organ dalam, itu bisa berbahaya, ‘kan?”

“Itu benar sekali! Aku juga akan menemanimu, jadi bisakah kita pergi bersama?”

Hikaru memasang wajah seperti, “Yang benar saja...”, tapi sayangnya, Masachika tidak punya banyak waktu. Mempertimbangkan bahwa ada lebih banyak penyusup ketimbang anak-anak berandalan ini,Masachia tidak bisa tinggal di sini selamanya.

“Kalau begitu, Rea-san? Bisakah aku menyerahkan Hikaru padamu?”

“Eh, tunggu—”

“Ya! Ayo Leo, kamu harus ikutan ke UKS juga.”

“Aku sih tidak usah...”

Nonoa berkata dengan tegas kepada Leo yang enggan.

“Enggak boleh, bagian dalam mulutmu pasti ada yang robek, kan?”

“Hei, sudah kubilang jangan memperlakukanku seperti anak kecil dong, Nee-chan!”

“? Aku bukan memperlakukanmu seperti anak kecil, tapi justru seperti adikku.”

“Apa-apaan sih maksudnya.”

Nonoa mencoba menyentuh pipi adiknya yang bengkak, tapi tangannya ditepis oleh adik laki-lakinya. Masachika lalu mendekatinya dan berbisik pelan ke samping telinga Nonoa.

“(Setelah selesai merawat Hikaru, tolong kembalilah ke panggung. Selain itu, bisakah aku menyerahkannya kepada teman-temanmu untuk mengurus orang-orang itu?)”

“(Oke, siap~)”

Jawaban yang singkat dan tidak antusias. Hanya sekarang, Masachika merasa kalau kata-katanya tersebut bisa diandalkan.

“(Tolong ya)”

Setelah mengucapkannya dengan rasa terima kasih, Masachika mulai bergerak demi memenuhi janjinya pada Alisa.

 

◇◇◇◇

 

Pada waktu yang sama, sekelompok anak berandal lainnya muncul di kafe pelayan yang dikelola oleh Kelas D dan F.

“Kyaa!”

“Oi, oi, oi, dia tadi berteriak ‘Kyaa!' loh. Memangnya para Ojou-sama tuh masih  berusaha terlihat anggun bahkan saat sedang berteriak?”

“To-Tolong hentikan ...”

“Ehhh enggak apa-apa dong, masa cuma pegang pantat saja enggak boleh. Beri aku layanan dong, Maid-san.”

Mereka berperilaku seolah-olah mereka salah mengira tempat ini sebagai klub kabaret atau semacamnya, tapi para gadis itu tidak berbuat apa-apa. Absennya Sayaka dan Nonoa yang merupakan inti dari mereka, menjadi faktor terbesar yang sangat penting. Bagaimanapun juga, Akademi Seirei adalah sekolah untuk orang kaya. Banyak siswa yang dibesarkan dengan sangat hati-hati tanpa terlibat dalam kekerasan. Siswa-siswa di sini sama sekali tidak pernah terlibat dengan orang-orang semacam mereka yang memancarkan kebrutalan...atau lebih tepatnya, secara aktif memamerkannya.

“Hehehe, kupikir rasanya akan membosankan pergi ke festival sekolahnya orang-orang kaya, tapi ternyata rasanya jauh lebih menyenangkan dari yang kukira.”

“Bener banget. Para Ojou-sama yang sebenarnya memang benar-benar berbeda. Mereka kelihatan beda banget dari gadis-gadis kotor dari sekolah kita.”

“Terima kasih banyak karena sudah mengajakku! Gonda-san”

“Oke. Kamu harus lebih banyak berterima kasih padaku, tau?”

Seorang pria bertubuh besar dengan alis tipis dan senyum yang tajam. Pria yang dipanggil Gonda oleh teman-temannya ini adalah ketua dari geng berandalan tersebut.

Faktanya, ia sendiri tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Akademi Seirei. Ia hanyalah anak berandalan yang bersekolah di SMA negeri yang berjarak delapan stasiun, dan terkenal sebagai sarangnya berandalan di daerah setempat. Satu-satunya pengetahuan yang ia miliki tentang Akademi Seirei adalah ‘semacam sekolah untuk orang-orang pintar dan kaya’.Mengapa orang semacam dirinya bisa datang ke Festival Shuureisai bersama teman-temannya? Semuanya bermula karena amplop dari pengirim yang tidak dikenal, dikirim kepadanya dua minggu yang lalu.

Di dalam amplop tersebut terdapat sepuluh undangan dan sepucuk surat. Surat tersebut berisi permintaan untuk 'mengacaukan Festival Budaya Akademi Seirei' dan metode serta imbalan yang terperinci, termasuk jam berapa mereka bisa masuk tanpa ketahuan oleh pihak keamanan, rute pelarian setelah hal tersebut terjadi, dan bagaimana cara membayar imbalannya. Gonda yang awalnya merasa ragu, mulai merasa yakin kalau surat itu asli ketika ia memeriksa loker di stasiun tempat uang muka ditulis, dan benar-benar menemukan uang tunai di dalamnya.

“Kamu seriusan ingin mentraktir kami, Gonda-san!?”

“Yoi lah, kebetulan aku mendapat duit secara cuma-cuma saat beberapa hari yag lalu.”

“Kamu memang hebat! Seperti yang diharapkan dari Gonda-san, kamu sangat murah hati sekali!”

Meski demikan, Gonda tidak punya niatan untuk mengamuk dengan bodohnya karena mengikuti instruksi tersebut. Surat itu mengatakan bahwa apa pun yang dirinya lakukan, itu sama sekali bukan kejahatan, tapi ia tidak sebodoh itu untuk mempercayainya begitu saja. Oleh karena itu, Gonda tidak berniat melakukan apapun yang dapat menyebabkan penyelidikan polisi. Paling banter, ia akan menggunakan uang muka ini untuk bermain-main sepuas hatinya. Meski begitu, jika dirinya dibayar karena melakukan itu…. Gondo merasa seperti mendapat rejeki nomplok.

(Tapi...rasanya tidak seburuk yang aku kira)

Gadis-gadis di sekitarnya memandangnya dengan gentar, dan mereka terlihat seperti dibesarkan dengan baik. Mereka memiliki kulit mulus nan putih dengan sedikit riasan dan rambut hitam indah yang mungkin belum pernah diwarnai. Bahkan jika mereka sama-sama gadis SMA, mereka terlihat seperti makhluk yang sama sekali berbeda dari gadis-gadis dari sekolah yang mereka hadiri. Tentunya, dunia yang mereka tinggali pada dasarnya berbeda dari Gonda dan yang lainnya, yang bahkan tidak punya uang untuk bersekolah, apalagi bersekolah di sekolah swasta.

Para Ojou-sama tersebut, yang bahkan biasanya tidak dapat berbicara satu sama lain secara setara, kini sedang melihat wajahnya sendiri. Bagi Gonda, pengalaman itu terasa sangat menyenangkan. Sensasi yang ia rasakan sangat berbeda dengan menaklukan junior yang ada di sekolahnya, di mana hasrat untuk mendominasi terpuaskan bersama dengan rasa kemahakuasaan yang luar biasa.

“Hei! Mau sampai berapa lama kalian akan terus duduk di sini!?”

Namun kemudian, ada orang lain yang muncul untuk meredam situasi. Seorang gadis dengan rambut yang diwarnai dan riasan yang berbeda dibandingkan siswa lainnya, memelototi mereka dengan tangan di pinggul. Tanpa sepengetahuan mereka, dia adalah salah satu bawahan setia Nonoa. Dengan keputusasaan di kaki dan matanya, dia berteriak seolah-olah dia takkan mentolerir kebrutalan mereka lagi karena ketidakhadiran Ratu mereka.

“Sepertinya kamu sering melakukan pelecehan seksual terhadap gadis-gadis kami. Kami tidak butuh uang kalian, jadi cepatlah pergi dari sini!”

“Hahhnn?”

Seorang pria mengangkat alisnya dan bangkit dari tempat duduknya ketika gadis itu menantangnya. Tapi….

“Oi”

Gonda memelototi pria itu dan membuatnya duduk, ia lalu menoleh ke arah gadis itu dengan senyuman palsu.

“Maafin ya, sepertinya aku sedikit kurang sopan. Di sekolah kami, cuma menyentuh bokong saja tidak dianggap sebagai pelecehan seksual. Kami akan memesan dengan benar, jadi bisakah kamu memafkan kami?”

Gadis itu berkedip cepat seakan-akan dia terkejut dengan tawaran yang tidak disangka-sangka itu. Namun, dia segera mengerutkan alisnya dan menolak tawaran tersebut.

“Jangan mencari-cari alasan terus. Kami merasa merepotkan jika kalian tetap tinggal di sini lebih lama lagi. Cepat angkat kaki kalian dari sini.”

“Oi, oi, sudah kubilang, kami akan membayarmu, oke? Lagipula, siapa yang akan merasa terganggu dengan kehadiran kita? Lihat?”

Gonda melihat sekelilingnya saat mengatakan itu, tapi semua pelanggan lainnya sudah lama pergi. Sangat jelas sekali kalau Gonda dan yang lainnya adalah penyebabnya.

“Karena ulah kalian, pelanggan lain jadi merasa enggan untuk masuk!”

“Itu sih maaf banget. Oii kalian, kita juga harus menghamburkan uang demi menutupi bagian yang lainnya.”

“Apa boleh buat, deh. Kalau gitu, aku pesan cola!”

“Oh, kalau aku sih bir.”

“Dasar bego, minuman begitu tidak ada di menu, tau?”

Mereka saling tertawa terbahak-bahak dan cekikikan. Gonda berusaha mengelak dan menghindari tuntutan gadis itu, tapi... tepat ketika gadis itu hampir kehilangan kesabarannya, pintu kelas tiba-tiba berayun terbuka.

“Sudah cukup sampai di situ saja, desuwa!”

Seorang gadis cantik berpakaian seperti pria dengan gaya rambut gulungan vertikal berwarna madu yang mempesona, masuk sambil melontarkan kalimat-kalimat layaknya karakter tokusatsu.

“““Sumire-senpai!”””

Para pelayan langsung bersukacita begitu melihat penampilannya yang sangat memukau hari ini, dan sementara Gonda dan yang lainnya terkejut, Sumire menatap mereka dan berkata dengan bangga.

“Hanya berbicara baik-baik tidak akan menyelesaikan apa pun. Mari kita lakukan kekerasan dengan tenang di sini!”

“Melakukan kekerasan dengan tenang, ya”

Gonda dan teman-temannya dibutakan oleh komentar beringasnya, yang tidak seperti penampilannya yang anggun. Tapi Sumire tidak memedulikan hal itu, dan sambil menghunuskan pedang tiruan di depan wajahnya, dia lalu dengan anggun berkata seraya tersenyum ganas.

“Serang mereka, desuwa.”

Dengan kata-kata tersebut sebagai isyarat, lima anggota komite kedisiplinan bergegas masuk ke dalam kelas.

“Oi, tunggu—Kami sama sekali tidak mengacau—  gehaa!?”

“In-Ini berbeda dari kesepakatannya— gaha!

“Pakai senjata itu curang ughoooo!?”

Hanya butuh waktu kurang dari satu menit untuk Gonda dan yang lainnya berhasil diamankan tanpa membantah maupun melawan.

 

◇◇◇◇

 

“Kujou-senpai! Ada laporan lain dari siswa yang terlibat masalah!”

“Lokasinya?”

“Ummm, lokasinya di dekat gedung olahraga... ada tiga laki-laki yang secara paksa merayu dua gadis.”

“Kalau begitu, masalahnya sama dengan laporan sebelumnya. Ketua panitia, ayo kirim penjaga keamanan ke sana.”

“Hah? Maaf, tolong tunggu sebentar, tapi sepertinya masalah tersebut sudah diselesaikan. Sepertinya pengunjung yang berada di sana sudah menangkap orang yang membuat keributan...”

“Pengunjung? Apa orang tersebut mengalami luka?”

“Sepertinya tidak. Aku tidak bisa mendapatkan cerita lengkapnya, tetapi ketika memeriksa tiket masuknya, kupikir dia mungkin anggota keluarga Sarashina-senpai...”

“Oh, keluarganya Chisaki-chan, ya...”

Di dalam markas panitia penyelenggara festival yang terletak di ruang konferensi utama, Maria bekerja sama dengan ketua dan wakil ketua panitia untuk memahami dan mengendalikan situasi. Laporan masalah dengan pelanggan yang mengganggu dan insiden kekerasan yang datang silih berganti. Para anggota panitia, yang tidak pernah membayangkan situasi semacam itu, benar-benar terguncang. Meski begitu, alasan mereka entah bagaimana bisa bergerak untuk merespon adalah karena ketiganya dengan tenang memberikan instruksi.

“Ketua! Sepertinya ada seorang pria yang menyelinap masuk ke atas panggung di gimnasium!”

“Tenang, pasti ada beberapa guru yang berjaga di gimnasium. Yang lebih penting lagi, apa gerbang sekolah sudah ditutup? Bagaimana dengan persiapan untuk pengumuman sekolah?”

“Sepertinya penutupan gerbang sudah selesai! Di gerbang sekolah, Inoue sedang memberikan penjelasan kepada para pengunjung.”

“Bagus, selanjutnya—”

“Permisi!”

Tiba-tiba, Touya dan Chisaki memasuki ruang konferensi utama. Kejutan dan kelegaan menyebar pada saat bersamaan dengan munculnya kedua orang yang tidak terduga.

“Touya... apa yang terjadi dengan orang-orang Raikoukai?”

“Aku sudah meminta mereka untuk memanggil pengawal pribadi yang mereka bawa untuk menunggu bersama mereka di ruang OSIS. Mana mungkin aku bisa memandu mereka mengelilingi festival dalam situasi seperti ini.”

“Begitu ya…”

Menanggapi perkataan Touya, Ketua panitia menunjukkan sedikit kekhawatiran sebelum mengangguk dan mengeluarkan serangkaian instruksi lainnya.

“Baiklah, aku mengerti. Touya, tolong bantu aku di sini. Sedangkan Sarashina...”

“Aku tahu. Aku hanya perlu menghancurkan semua orang yang menyebabkan masalah, bukan?”

Pipi Ketua panitia berkedut kaku saat tatapan mata Chisaki terlihat berbinar-binar dengan semangat bertarung dan hawa haus darah.

“Asalkan jangan berlebihan, oke? Dan juga, tolong sebisa mungkin jangan melibatkan orang yang tidak terkait. Aku sedang memeriksa kamera keamanan, tapi sepertinya tiket undangan yang dibawa penyusup terbuat dari kertas yang berbeda dari yang asli, jika kamu menemukan seseorang yang mencurigakan, pertama-tama kamu harus pergi ke sana dulu—”

“Dipahami. Tapi aku tidak bisa menjamin kalau aku takkan melakukannya berlebihan. Aku tidak akan pernah memaafkan mereka karena sudah mengacaukan festival sekolah yan gsudah kita selenggarakan dengan susah payah.”

Setelah mengatakan itu dengan amarah yang membara, Chisaki berlari keluar dari ruang konferensi utama tanpa menunggu kata-kata ketua panitia. Ketika Ketua panitia mengawasi punggungnya dengan setengah yakin dan setengah khawatir (karena Chisaki mungkin akan melakukannya secara berlebihan), seorang anak laki-laki berkacamata tiba-tiba berdiri.

“Aku akan pergi ke tempat kejadian juga.”

“Kaji?”

“Karena Kenzaki-kun juga sudah ada di sini, jadi aku ingin berbicara sedikit dengan para guru tentang situasi keamanan.”

Usai mendengar kata-kata itu, Ketua panitia mengangguk sambil berpikir, ‘Memang, pasti rasanya sangat canggung jika ia bekerja dengan Touya, ya?’

“Baiklah, aku mengerti.”

“Ya, kalau begitu aku pamit dulu”

“Ketua! Sepertinya masalah di kelas 1-D sudah diselesaikan dengan aman!”

“Oh, syukurlah kalau begitu.”

Namun, masalah yang terjadi secara bersamaan itu dapat diatasi dengan baik berkat tanggapan cepat dari panitia penyelenggara dan komite kedisiplinan.

 

◇◇◇◇

 

“Terlalu banyak omong kosong.”

Yuki mengalahkan seorang pria paruh baya di koridor yang mengomel dan mengoceh tentang sesuatu yang tidak bisa dimengerti seperti ‘Hidupku hancur karena ulah kalian’ atau ‘Perusahaanku dihancurkan oleh kalian’, dan bergumam dalam hati saat melihat tiket undangan di tangan pria itu.

Nama pengundang tertulis di sana, bersama dengan nama tamu, tapi Yuki sama sekali tidak ingat nama pengundangnya. Dengan kata lain, itu adalah nama fiktif yang tidak ada di dalam daftar siswa.

“Mereka seharusnya tidak bisa masuk ke dalam Akademi dengan tiket undangan seperti itu…”

Nama-nama di kolom tamu ini diperiksa oleh anggota komite kedisiplinan yang bertugas di gerbang sekolah. Jika mereka menggunakan nama siswa fiktif, mereka akan ditolak masuk pada saat itu juga.

“Ojou-chan, kira-kira aku harus membawa pria ini kemana?”

“Oh, maaf. Tolong bawa dia ke ruang komite kedisiplinan... apa anda tahu di mana tempatnya?”

“Jangan khawatir. Karena aku juga lulusan dari sekolah ini.”

"Kalau begitu, bolehkah saya meminta tolong anda untuk membawanya ke sana?”

“Ahh, tentu saja.”

Setelah meninggalkan pria itu dalam pengawasan orang dewasa di dekatnya, Yuki menoleh ke arah Ayano dan mengangkat bahunya.

“Rupanya, selain orang-orang yang menyebarkan undangan palsu, sepertinya ada juga orang yang memandu penyusupan dari dalam. Meskipun ada kemungkinan kalau pelakunya adalah orang yang sama…”

“Begitukah?”

“... Untuk saat ini, simpan dulu senjatamu. Itu bukan sesuatu yang harus dilihat oleh banyak orang.”

“Ah... maafkan saya.”

Atas permintaan Yuki, Ayano kembali menyembunyikan sesuatu seperti pensil mekanik yang dia gunakan untuk menaklukkan pria tadi di lengan bajunya. Dan kemudian, dia tiba-tiba bergumam.

“… Ruang OSIS.”

“Hmm?”

“Jika itu Masachika-sama, saya pikir ia akan menuju ke ruang OSIS.”

Yuki mengerutkan keningnya setelah mendengar perkataan Ayano dan berpikir selama beberapa detik...

“...Begitu rupanya. Tujuan asli dari pelaku adalah Raikokai, ya.”

Setelah mengatakan hal itu pada dirinya sendiri, Yuki membawa Ayano menuju ruang OSIS.

 

◇◇◇◇

 

Sementara itu, di dalam ruang OSIS. Keributan besar-besaran yang melibatkan seluruh sekolah yang terjadi di akademi yang mereka kunjungi sebagai alumni. Jika mereka adalah anggota masyarakat, skandal yang terjadi ini akan menjadi masalah tanggung jawab yang tak terelakkan bagi para manajer dan supervisor, dan para anggota Raikokai yang berkumpul di tempat ini secara alami mengungkapkan ketidaksenangan mereka…. tapi, sepertinya tidak demikian.

“Sekarang... bagaimana mereka akan menyelesaikan masalah ini?”

“Yang lebih penting lagi, aku jadi penasaran siapa yang menyebabkan keributan ini? Aku yakin semua masalah ini ditujukan kepada Ketua OSIS saat ini... atau bisa jadi kepada mantan ketua dan wakil ketua OSIS angkatan sebelumnya.”

Justru sebaliknya, mereka malah menikmati keributan yang terjadi. Bahkan mata yang memandang ke bawah halaman sekolah tempat keributan itu terjadi, ada lebih banyak rasa penasaran daripada rasa khawatir. Penampilan mereka benar-benar persis seperti menjadi penonton.

Tentu saja, jika itu benar-benar menjadi kerusuhan di mana terdapat banyak korban luka, mereka akan mengerahkan para pengawal pribadi mereka yang ada di sini untuk membantu mengendalikan situasi. Namun, pada tahap ini, mereka masih dalam posisi mengamati bagaimana reaksi para junior mereka. Karena bagi mereka, tidak jarang kegaduhan semacam ini terjadi selama kampanye pemilu.

“Festival Shureisai diketuai oleh mantan ketua OSIS dan dikelola oleh anggota OSIS angakatan sekarang. Dulu, hal yang begini sudah menjadi praktik standar di generasi kita bagi mereka yang ingin menggulingkan OSIS angkatan sekarang untuk menargetkan tempat ini.”

“Sebaliknya, dikatakan bahwa hanya dengan berhasil selamat dari Festival Shureisai ini, seseorang baru memenuhi syarat untuk bergabung dengan Raikoukai….  Apa ini merupakan tanda lain dari perubahan zaman?”

“Meski begitu, ini tetap terlihat menyedihkan... Permisi. Aku tidak bermaksud menghina cucu perempuan Suou-san.”

“Aku tidak keberatan. Memang benar bahwa cucu perempuanku tidak bisa mencegah situasi ini terjadi.”

Ketika mereka masih menjadi pelajar. Pada zaman itu, hukuman fisik oleh guru merupakan hal yang lumrah terjadi di sekolah-sekolah di seluruh penjuru negeri. Akademi Seirei adalah tempat yang bagus untuk bersosialisasi bagi para siswa yang bersekolah di sana, dan kampanye pemilihan merupakan pertarungan antar fraksi di mana para siswa mewakili keluarga mereka masing-masing.

Raikokai, yang awalnya hanya sekelompok alumni yang berpengaruh, memperkenalkan sistem pemilihan umum sekitar 70 tahun yang lalu sebagai upaya untuk memusatkan kekuasaan dan menjadikannya lebih elit. Sejak saat itu, para siswa akademi akan memperebutkan dua kursi, dengan memanfaatkan sepenuhnya kekuasaan, sumber daya keuangan, dan terkadang bahkan kekerasan. Dan dalam kampanye pemilihan umum yang serba legal itu, tidak jarang ada orang yang terluka atau bahkan dikeluarkan dari akademi.

Namun, itulah sebabnya posisi ketua OSIS dan wakil ketua OSIS begitu istimewa. Memenangkan pertarungan antar faksi dan mengambil alih posisi Ketua OSIS ea rah dengan menjadi penguasa generasi. Dan organisasi tempat berkumpulnya para penguasa tersebut adalah Raikokai saat ini. Tanpa berlebihan, mereka memiliki kekuatan untuk menggerakkan Jepang. Dengan koneksi pribadi mereka, dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada yang tidak bisa mereka lakukan di Jepang. Oleh karena itu… dari sudut pandang mereka, kampanye pemilihan generasi saat ini terlihat begitu lembek.

Perkembangan dalam jejaring sosial dan kepatuhan. Gelombang zaman telah membuat pertarungan sengit dalam pemilu yang sebelumnya lazim terjadi menjadi terhenti…. Sistem debat yang mengeliminasi lawan tanpa ampun dan salam dari para pengurus OSIS masih berlaku, tapi pada kenyataannya hal itu tidak lebih dari sekadar kontes popularitas di antara para siswa. Mereka tidak menghormati ketua dan wakil ketua OSIS era sekarang, yang terpilih dalam system kampanye pemilihan semacam itu. Sebaliknya, di dalam hati mereka bahkan mungkin tidak mengakui mereka sebagai anggota Raikoukai yang sama.

“Tapi, sepertinya ada beberapa siswa yang menarik tahun ini, kok? Katanya, ia berencana untuk memasukkan calon lawan-lawannya ke dalam anggota OSIS-nya jika dirinya berhasil terpilih.”

Gensei mengerutkan alisnya pada suara yang dilontarkan oleh seorang pria demi menghilangkan suasana yang sedikit canggung. Namun, pria itu sepertinya tidak menyadarinya, dan para anggota Raikokai yang lain menanggapinya dengan penuh ketertarikan.

“Hoou, termasuk calon lawannya juga? Fumu, ia memang cukup menarik… sepertinya murid tersebut sangat memahami inti dari kampanye pemilu.”

Inti dari kampanye pemilu yang dimaksud mereka, adalah membangun koneksi. Mereka membuat koneksi yang akan berguna di masa depan, membentuk fraksi dan, ketika terpilih, memberikan posisi eksekutif kepada anggota fraksi mereka. Begitulah cara mereka mengendalikan para siswa sekolah dan generasi mereka. Itulah inti kampanye pemilu bagi mereka.

“Dalam hal ini, kurasa kita bisa memiliki harapan untuk kampanye pemilu periode berikutnya… Sepertinya ada siswa yang punya nyali besar sampai-sampai berani menyebabkan keributan seperti ini.”

“Fufufu, sejauh ini, sepertinya semuanya berjalan sesuai dengan rencana orang tersebut, tapi… yah, kira-kira apa yang akan terjadi selanjutnya?”

Berbeda dengan situasi beberapa ea ra yang lalu, tapi di zaman sekarang, mana mungkin pelakunya bisa lolos begitu saja setelah menyebabkan keributan sebesar ini. Akan tetapi, ada satu cara mudah untuk bisa lolos dengan bebas.

Karena mengetahui hal tersebut, mereka dengan sabar menunggu. Mereka menunggu momen berikutnya ketika pintu ruang OSIS terbuka.

 

◇◇◇◇

 

“Oh…”

Ara

Masachika berhenti sejenak saat melihat Yuki dan Ayano, yang baru saja muncul dari seberang lorong di depan ruang OSIS. Namun, saat mereka berdua berjalan mendekat, Masachika juga berjalan dalam diam.

Begitu sampai di depan ruang OSIS, para kandidat ketua dan wakil ketua OSIS saling berhadapan.

“…”

Masachika dan Yuki saling berpandangan dalam diam selama beberapa detik, dan kemudian secara bersamaan mengalihkan perhatian mereka ke pintu ruang OSIS, dan dua orang yang tampaknya adalah pengawal, berdiri di kedua sisinya.

“Permisi, saya Kuze Masachika, anggota urusan umum OSIS saat ini. Berdasarkan arahannya, saya telah diinstruksikan oleh Ketua Kenzaki untuk memeriksa bagaimana keadaan tamu-tamu Raikoukai.”

“Demikian pula, saya Suou Yuki dari bagian humas OSIS.”

“Saya Kimishima Ayano, anggota urusan umum OSIS.”

Mereka bertiga memperkenalkan diri dan menunjukkan kartu pelajar mereka, Masachika lalu bertanya sebagai perwakilan mereka.

“Kira-kira apa ada seseorang yang datang ke sini sebelum kami? Saya pikir akan lebih aman jika ada pengawal yang hadir, tetapi kami tidak ingin ada orang tidak bertanggung jawab yang mengetahui keberadaan tamu-tamu penting dari Raikoukai.”

Menanggapi pertanyaan Masachika, kedua pengawal tersebut saling bertukar pandang sejenak sebelum menjawab singkat.

“Tidak ada orang yang datang ke sini.”

“…Begitu. Terima kasih banyak.”

Masachika dan Yuki merasa lega mendengar kata-kata itu. Sepertinya mereka berhasil sampai tepat waktu.

“Jadi, apa yang harus kita lakukan? Masachika-kun.”

“…”

Tak jauh dari ruang OSIS, Yuki bertanya kepada Masachika. Dia kemudian menatap mata kakaknya dan tersenyum kecut.

“Lalu, bagaimana kalau kita masing-masing mengawasi siapa yang akan datang? Tidak peduli siapa yang akan datang, tidak boleh ada dendam.”

“Oke.”

Setelah mengangguk kecil, Masachika pun berbalik. Yuki juga berbalik dan kembali ea rah dirinya datang bersama Ayano. Merasakan kehadiran di belakang punggungnya, Masachika berbelok ke sudut koridor dan menyandarkan punggungnya ke dinding.

Kemudian, setelah beberapa menit. Ketika sesosok kehadiran muncul di seberang koridor, Masachika berdiri di tengah lorong dan menyambutnya dengan senyum tipis.

“Yoo~, Kiryuuin. Ada urusan apa kamu datang ke sini?”

“…Hai Kuze. Kamu juga sama, apa yang sedang kamu lakukan di tempat seperti ini?”

Menanggapi senyum Masachika yang tidak tersenyum… Yushou juga menjawab dengan seringai tipis.

 

◇◇◇◇

 

“…. ternyata pelakunya anda, ya?”

Di sisi lain, seorang siswa laki-laki juga muncul di hadapan Yuki yang berjalan berlawanan arah dengan Masachika.

Mendongak dari landasan ke arah Yuki yang sedang menunggu di depan tangga, laki-laki itu sedikit menyipitkan matanya di balik kacamatanya. Seraya menatap matanya, Yuki berkata dengan tenang.

“Sungguh sangat disayangkan sekali, Ketua.”

Laki-laki itu tersenyum masam setelah mendengar cara memanggilnya itu.

“Aku sudah bukan ketua lagi… Suou-san.”

“Saya rasa itu ada benarnya juga ……Ketua Komite Kedisiplinan Publik, Kaji-senpai.”

Ketua OSIS angkatan ke-67 dan ke-68 dari divisi SMP Akademi Seirei saling berhadapan di seberang tangga.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama