[LN] Anti-NTR Jilid 3 Bab 3 Bahasa Indonesia

Chapter 3

 

Di kehidupan sebelumnya, keberadaan seorang pacar tidak pernah ada dalam hidupku, jadi kehidupan sehari-hari bersama keberadaan seperti itu benar-benar seperti mimpi bagiku.

Ada banyak hal yang ingin kulakukan.

Hanya berdampingan dan berbincang-bincang sudah cukup bagiku, bahkan aku merindukan untuk berjalan-jalan bersama saat berangkat dan pulang sekolah tanpa bergandengan tangan... dan jika hubungan dengan pacarku semakin berkembang, memeluk dan mencium, hal-hal semacam itu dulunya sangat jauh dari kenyataan bagiku, itulah sebabnya mengapa hal itu bisa disebut sebagai mimpi.

“Itulah sebabnya ... Begitu rupanya, jadi beginilah kehidupan orang yang punya pacar.”

Aku bergumam pelan.

Beberapa hari setelah aku memiliki pacar yang bernama Ayana ... aku tidak pernah melewatkan hari tanpa merasakan kebahagiaan dan rasa syukur, bahkan saat bangun tidur—pada saat seperti ini aku selalu memikirkan hal-hal seperti itu.

“... Masih jam enam ya.”

Aku masih merasa kantuk, mungkin karena bangun tiga puluh menit lebih awal dari waktu bangun biasanya.

Tiga puluh menit di pagi hari sangat berharga, tapi... tubuhku pasti bilang “masih ingin tidur” kalau aku merasa kantuk. Baiklah, aku tidur lagi!

“Selamat malam.”

Sambil memeluk selimut, aku merebahkan tubuhku dan menyerahkan diri pada sisa waktu tidur yang singkat ini... dan tiga puluh menit tidur terasa seperti sekejap mata.

 (Sudah tiga puluh menit ya?)

Karena sudah terbiasa bangun pukul setengah tujuh di hari biasa, meskipun masih mengantuk, aku pasti akan bangun di waktu tersebut. Meskipun masih merasa kantuk, jika aku bangun kembali seperti ini, pasti sudah waktunya untuk bangun.

“……?”

Kupikir aku akan bangun dengan tenang, tapi aku merasakan kehadiran seseorang di balik pintu.

Mungkin ibu...? Aku pikir begitu, tapi ibu jarang sekali naik ke lantai dua pada waktu seperti ini... Tapi selain aku, hanya ibu yang ada di rumah ini... Jadi mungkin memang ibu.

Sambil menutupi kepala dengan selimut, aku memperhatikan pintu, dan yang masuk dengan perlahan ternyata bukanlah ibu.

“Selamat pagi~”

Dengan suara pelan, orang yang masuk dengan hati-hati adalah Ayana.

Kenapa dia datang pada waktu seperti ini padahal seharusnya dia pulang kemarin...? Tanpa mempedulikan kebingunganku, Ayana tersenyum sambil mendekat.

Sepertinya dia tidak menyadari bahwa aku sudah bangun.

“Towa-kun sepertinya masih tidur ya. Karena aku sangat ingin bertemu denganmu, jadi aku datang pada waktu seperti ini... Astaga, seberapa besar aku sangat menyukaimu, Towa-kun.”

Hmmm…Rupanya Ayana datang pagi-pagi begini karena ingin bertemu denganku, ya.

“Towa-kun~? Ini sudah pagi loh~... Hehe♪ Ini menyenangkan. Meskipun bukan kali pertama, tapi membangunkan orang yang kusukai seperti ini adalah impianku♪”

…. Sebelum aku tidur lagi, aku merasa ada beberapa hal yang ingin aku lakukan jika memiliki pacar, dan salah satunya adalah ingin dibangunkan oleh pacarku.

Seperti yang dikatakan Ayana, ini bukan pertama kalinya... tapi aku sangat ingin dia datang dan membangunkanku seperti ini!

“Hmm~, sebenarnya kamu sudah bangun dan ingin menikmati reaksiku saja, ‘kan?”

Giku!?

“Towa-kun tuh kadang-kadang suka bermain-main seperti ini... Ayo kita memeriksanya.”

Gikugiku!?

“Kalau kamu sudah bangun, pasti dalam hati kamu bilang giku, kan♪”

Bagaimana dia bisa tahu?

Selama aku bersama Ayana, aku merasa seolah-olah bahwa dia bisa membaca pikiranku, dan mungkin saja dia benar-benar memiliki kemampuan yang tidak aku ketahui.

(Yah, kurasa itu tidak mungkin)

Saat aku berpikir sendiri sambil tersenyum masam, aku bisa merasakan kalau Ayana mendekati sisiku.

“Selamat pagi, Towa-kun.”

“……”

“Sepertinya kamu beneran masih tidur ya. Kamu terlihat sangat imut dan keren saat tidur♪”

Yang bener yang mana, imut atau keren?!

Bagiku, wajah Towa memang tampan, jadi mungkin wajar jika disebut imut juga... tapi, sekarang ini tentang wajahku sendiri, dan jika begitu, aku terlihat seperti orang yang terlalu narsis.

(…Apa?)

Aku telah membuka mataku beberapa saat yang lalu, tapi aku menutupnya sehingga Ayana yang sedang mendekatiku, tidak menyadarinya, jadi satu-satunya informasi yang bisa kuterima adalah pendengaranku......karena saking dekatnya, bahkan jika aku sedikit bergerak pun akan menyentuhnya... Tidak diragukan lagi, dia benar-benar ada di sana!

“Un... haa~♪ Wajah tidur Towa-kun... mantap sekali♪”

Ayana-san... kok napasmu terdengar ngos-ngosan begitu!

Aku tidak hanya bisa mendengar napasnya, tapi juga suaranya yang bermasalah, yang membuat jantungku berdetak lebih cepat di pagi hari..... Tetapi bahkan saat-saat seperti ini pun terasa menyenangkan ketika aku menganggapnya sebagai suatu keistimewaan untuk memiliki seorang pacar.

Tapi... mau sampai berapa lama aku harus berpura-pura tidur...?

“Aku bisa menatap wajahmu sepanjang waktu. Itu menunjukkan seberapa besarnya aku mencintai Towa-kun.”

Kurasa dia mungkin tidak mengharapkan kalau aku akan bangun setelah mendengar bisikannya seperti itu... sepertinya dia benar-benar terpesona dengan wajah tidurku.

Aku tidak bisa sengaja membuat wajah aneh pada saat seperti ini... Bukan, rasanya memang sulit untuk membuat wajah tidur yang baik dengan sengaja, dan dengan sengaja ngelindur juga lumayan sulit.

“….Towa-kun, kamu benar-benar masih tidur, ya?”

Jantungku berdebar-debar dengan sangat keras.

Jika aku membuka mata sekarang, apa Ayana akan terkejut karena aku mendadak terbangun? Tentu saja hal itu mana mungkin, ‘kan?

Mungkin ini adalah hukuman karena berpura-pura tidur di depan kekasihku yang begitu berharga.

“Ayana-chan, Towa masih belum bangun ya?”

“Sepertinya begitu, Akemi-san... Apa kamu mau melihat wajah tidurnya bersama-sama denganku?”

Apa yang mereka bicarakan?

“Kurasa itu bagus! Aku juga ingin melihat wajah tidur putra yang kusayangi setelah sekian lama!”

Ibu, apa yang sedang kamu katakan?!

Jumlah kehadiran di sampingku bertambah menjadi dua, dan aku bisa merasakan kehadiran Ayana dan ibuku yang menatap tajam ke wajahku yang tertidur.

(Apa ini hukuman bagi diriku yang berpura-pura tidur? Dimana ada pacarku dan ibuku yang memandangiku seperti ini... apa ini neraka? Tidak, ini pasti neraka)

Beberapa menit kemudian, aku membuka mata dengan alami... Kalian memahami maksudku, ‘kan? Aku menghabiskan waktu sekitar lima menit berpura-pura tidur sambil ditatap oleh mereka berdua.

“Yah, kadang-kadang hal semacam ini rasanya  menyenangkan juga! Aku ingin melihatnya lagi lain waktu!”

“Aku akan dengan senang hati akan menemanimu!”

“Tolong hentikan!”

Wajar saja jika suaraku jadi bergema seperti itu.

 

▽▼▽▼

 

“Ya ampun... pagi-pagi begini aku sudah dibuat capek.”

“Fufu, itu sih karena kamu pura-pura tidur♪”

Ayana mengatakan itu saat aku menghela nafas. Ternyata, bukan hanya Ayana saja, tapi ibuku juga tahu kalau aku sedang berpura-pura tidur... dan rasanya sungguh menakutkan karena mereka langsung menyadarinya seketika begitu masuk ke dalam ruangan.

Mereka mungkin menyadarinya karena mereka selalu berada di dekatku, tapi tetap saja aku sangat terkejut.

“... Hehehe.”

“Apa ada yang salah?”

Ayana menatapku dengan heran saat aku tiba-tiba tertawa.

Bukannya aku tertawa tanpa alasan; aku punya alasan kuat untuk tersenyum.

“Bukan apa-apa, aku hanya teringat dengan Seina-san. Meskipun Ayana tidak ada di sana, aku merasa berhasil menemukan titik akhir yang terbaik.”

“Ah... fufu, benar juga.”

Seina-san, ibu Ayana... Aku pikir rasanya mustahil kami berdua bisa berdamai, bahkan setelah Ayana menengahi kami. Namun, rasanya sungguh merupakan langkah besar bagiku untuk bisa berbicara dengan Seina-san dan dia bahkan dengan tulus mengundangku untuk datang ke rumahnya.

“Akulah yang paling terkejut, tau?”

Ya, kurasa memang begitu. Tidak mengherankan kalau dia merasa seperti itu.

Wajah Seina-san ketika aku datang ke rumahnya memang sangat suram, tapi setelah kami berdamai, hanya ada senyuman yang terpancar dari wajahnya.

Mengapa aku menjauhkan diri dari lingkungan yang hangat seperti ini... Aku benar-benar bodoh, ya.

Meski dia sesekali melontarkan komentar negatif, tapi dia biasanya selalu tersenyum. Dan aku juga mulai mengetahui semua alasan mengapa Seina-san membenciku... atau lebih tepatnya, tidak menyukai Touwa.

“Aku benar-benar tidak pernah membayangkan kalau Ayahku dan Seina-san adalah teman masa kecil.”

Ya... Aku tidak pernah menyangka bahwa ada hubungan seperti itu. Meski aku mencoba menggunakan kenangan dari kehidupan sebelumnya, tidak ada informasi semacam itu yang tersisa. Jadi, inilah kebenaran yang bisa aku pelajari sebagai penduduk dunia ini.

(...Jadi mereka juga teman masa kecil, ya?)

Teman masa kecil... itu adalah latar belakang yang umum dalam cerita komedi romantis, tapi jika memikirkan bahwa hubungan ini telah membawa begitu banyak konflik, hal tersebut menjadi cukup rumit.

“Kamu belum menceritakan ini pada Akemi-san, ‘kan?”

“Tentu saja... jika ada Seina-san, mungkin aku bisa membicarakannya, tapi ini bukanlah sesuatu yang bisa aku bicarakan dengan enteng tanpa kehadirannya.”

“Benar sekali...”

Aku sudah memberitahu ibuku bahwa aku sudah berdamai dengan Seina-san, dan jika ada kesempatan, ibuku juga ingin berbicara dengannya... meskipun dia sedikit terkejut karena pembicaraan yang tiba-tiba.

“Tapi aku yakin kalau semuanya bergerak ke arah yang benar... Nee, Towa-kun?”

“Hm? Ada apa?”

Ayana berhenti dan menatapku.

Angin sepoi-sepoi bertiup dan menggoyangkan rambut hitam panjangnya serta roknya... dan kedua mata yang mengintip dari poninya yang berayun menatapku dengan serius.

“Ayo berjalan sambil bergandengan tangan.”

“Y-Ya...”

Mengingat tatapan dan suaranya yang serius, itu adalah ajakan yang cukup lucu...

Aku menggenggam tangan Ayana sesuai permintaannya, dan kami berjalan bersama, menyusuri jalanan yang semakin ramai.

“Towa-kun, apa mungkin... kamu bisa melihat masa depan?”

“!!?”

Pundakku gemetar tanpa sadar ketika mendengar pertanyaan Ayana. Untungnya, kegelisahanku tidak terlihat oleh Ayana, tapi siapa pun pasti terkejut jika ditanya seperti itu... terutama bagi orang sepertiku.

“Tidak ada maksud yang mendalam, kok. Hanya saja, ketika aku bersamamu, entah mengapa semuanya bergerak ke arah yang baik... aku merasa seolah-olah kamu bisa meramalkan hal buruk yang akan terjadi di masa depan, dan membantuku menghindarinya... itulah yang kupikirkan.”

Ayana tersenyum saat mengatakan itu.

Dia sangat cerdas dan peka... aku sudah tahu itu sejak dulu, tapi dia bisa sampai pada pemikiran seperti itu meskipun hanya dalam imajinasinya... sungguh, Ayana benar-benar gadis yang luar biasa.

“Benar sekali.”

“Ehh?”

Itulah sebabnya aku ingin memberitahunya sedikit kebenaran.

“Aku sebagian tahu apa yang akan terjadi. Jadi, aku berusaha memikirkan apa yang bisa kulakukan.”

Kamu mungkin akan tersenyum saat mendengar kata-kataku.

“Fufufu  Towa-kun memang luar biasa!”

“Melihat senyummu yang seperti itu, kurasa kamu memang tidak mempercayainya, ya?”

“Itu sama sekali tidak benar ♪. Tapi, jika memang begitu, itu adalah hal yang sangat menyenangkan... Aku sangat mencintaimu, Towa-kun ♪!”

Seperti yang kuduga, dia tertawa dan memberiku kejutan termanis.

Ayana sepertinya masih puas hanya dengan berpegangan tangan, jadi dia mendekap lenganku dengan erat.

“Ayo kita pergi ke kelas dengan seperti ini!”

“Setidaknya sampai gerbang sekolah saja bisa kagak?”

“Eh~”

Bukannya karena aku tidak menyukainya, oke?

Tapi, terlalu bermesra-mesraan di sekolah bisa membuat kita diingatkan oleh guru... Nyatanya, aku pernah melihat sepasang senior yang ditegur karena terlalu mesra di sekolah.

“Hmph... apa boleh buat, deh. Yah, kalau memang ingin bermesra-mesraan di sekolah, kita bisa sembunyi-sembunyi. Sama seperti sebelumnya~♪”

“Benar sekali.”

“Jadi, kamu tidak akan melarangku?”

“Mana mungkin aku akan melarangnya, karena aku juga ingin bermesra-mesraan dengan Ayana.”

“...Eh?”

“Kenapa wajahmu mendadak tersipu?”

“…. Aku sendiri juga tidak tahu. Tapi, setiap kata yang kamu ucapkan membuatku bahagia. Dan jika kamu mengatakan itu dengan santai seperti sekarang, hatiku berdebar-debar!”

“Sepertinya kau sangat terkesan ya?”

“Tentu saja!”

…..Astaga, aku heran kenapa pacarku bisa begitu lucu dan menggemaskan?.

Ketika aku mengatakan hal ini kepadanya, wajahnya menjadi semakin memerah, dan sepertinya dia akan bereaksi seolah-olah benar-benar ditembak.

“...Hahaha.”

“Kenapa kamu malah tertawa!”

“Maaf, maaf. Aku tidak bermaksud untuk mengolok-ngolokmu, kok.”

“Lalu kenapa?”

“Karena kamu selalu menunjukkan berbagai ekspresi di dekatku... Dan selalu menunjukkan ekspresi manis di dekatku... Itu saja membuatku bahagia.”

“......~~~~~~!!”

Ah, itu konyol, saking konyolnya sampai-sampai aku merasa malu.

Tapi rasa malu itu tidak hanya dirasakan olehku, Ayana juga terlihat merasa malu, dan dia memukulku dengan lembut.

“Ngomong-ngomong, seberapa besar kekuatan yang tadi?”

“...Sebesar ledakan bom cinta di dalam dadaku.”

Aku baru pertama kali mendengar istilah [bom cinta].

Hari ini, selain berbagai macam kata-kata yang keluar dari mulut Ayana, tapi dia juga menunjukkan ekspresi yang lucu sehingga membuat hari ini terasa luar biasa sebagai awal yang sempurna.

Saat itulah, ketika aku sedang menatap Ayana.

“Kalian berdua... Apa kalian tidak pernah memikirkan waktu dan tempat?”

Suara nyaring layaknya bel bergema di telingaku, dan secara paksa, pandanganku teralihkan dari Ayana.

Tentu saja aku tahu siapa pemilik suara itu, tapi Ayana dan aku secara bersamaan memalingkan pandangan kami ke arah sumber suara.

“Selamat pagi kalian berdua. Kalian sudah sangat mesra sekali meskipun ini masih pagi.”

Meskipun dia menunjukkan ekspresi tercengang, matanya terpancar kebaikan yang jelas.

Dia—-Iori berdiri di samping kami.

“Selamat pagi, Ketua.”

“Selamat pagi, Honjou-senpai.”

Iori mengucapkan selamat pagi sekali lagi, lalu melanjutkan perkataannya sambil melihat sekeliling.

“Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, tolong lihat situasi dan tempatnya. Aku tidak mengatakan itu buruk, tapi kalian cukup mencolok tadi.”

“Uu... maaf. Tapi itu karena Towa-kun...”

“Jadi aku yang salah?”

Tentang hal itu, aku ingin menyatakan keberatan!

Memang benar bahwa kata-kata konyol yang keluar dari mulutku menjadi penyebabnya, tetapi sebenarnya Ayana yang memulai pembicaraan... tapi, apa itu memang salahku? Aku merasa begitu dan akhirnya aku hanya bisa diam.

“Apa-apaan sih. Otonashi-san, tolong ceritakan padaku.”

Seolah-olah baru saja menemukan mainan yang menarik, Iori berkata kepada Ayana dengan mata berbinar.

Ayana tidak mengatakan apa pun secara khusus dan memberi tahu Iori percakapan seperti apa yang kami lakukan, tapi... Iori segera membuka mulutnya lagi dengan ekspresi terkejut di wajahnya.

“Ujung-ujungnya, kalian berdua cuma sedang bermesra-mesraan ya?”

Akhirnya, aku dan Ayana hanya tersenyum getir sambil mengangguk.

“Kalian tidak menyusahkan orang lain, jadi aku tidak akan memperingati kalian lagi. Sebagai gantinya, bolehkah aku ikut bergabung bersama kalian?”

Aku dan Ayana mengangguk setuju atas tawaran Iori.

Kemudian, kami bertiga berjalan menuju sekolah, dan aku sengaja sedikit mundur dari mereka.

(Sudah kuduga, aku tidak bisa ikut campur dalam percakapan tadi)

Saat ini mereka berdua sedang berbicara tentang kosmetik dan perawatan rambut, topik yang benar-benar percakapan wanita, dan aku merasa seperti orang pihak ketiga.

Akan tetapi, hanya dengan mendengarkan percakapan antara wanita saja sudah merupakan pengalaman yang baik, karena terkadang topik pembicaraan yang tidak biasa bisa menjadi pelajaran.

“Memang ya, mengobrol dengan Otonashi-san rasanya selalu menyenangkan.”

“Aku senang mendengarnya jika kamu mengatakan itu.”

“Selain itu... oh, maafkan aku, Yukishiro-kun. Aku sudah menghabiskan waktu dengan Otonashi-san.”

“Tidak, tidak. Aku juga senang melihat kalian berdua berbicara dengan riang gembira.”

Jika aku merasa kesepian karena waktu Ayana diambil orang lain, aku cukup bisa meminta perhatiannya sepulang sekolah nanti, dan itu saja sudah lebih dari cukup.

“Hee? Kamu terlihat sangat tenang ya, atau lebih tepatnya, kamu sangat mempercayai Otonashi-san.”

“Hehe♪ Kalau memang ada waktu yang membuat kami merasa kesepian, kami bisa pergi ke rumah satu sama lain untuk menghilangkan rasa kesepian itu, kan?♪”

“...Yah begitulah.”

Selain ucapannya yang mencerminkan hubungan manis kami yang terang-terangan, tapi gerakan jari di bibirnya juga terlihat begitu memikat.

Meskipun Ayana tidak sengaja menunjukkan hal itu, tapi aku bisa merasakan reaksi para siswa di sekitarnya, termasuk Iori, yang jelas-jelas dibuat terpesona olehnya.

(Gadis ini benar-benar luar biasa dalam banyak hal...)

Tidak hanya aku, tapi semua orang di sekitarnya terpesona oleh daya tariknya yang tak terbatas.

Aku selalu merasakan kedalaman kekuatan heroine yang tak terbatas... itulah sebabnya aku tidak bisa mengalihkan pandangan darinya.

“...Jika aku tidak waspada, rasanya aku juga bakalan terbawa suasana. Otonashi-san benar-benar luar biasa ketika bersama Yukishiro-kun.”

“Itu semua karena kekuatan cinta! Kekuatan cinta!”

“Oke oke, aku mengerti... Apa Otonashi-san memang selalu begini?”

“Tidak... Yah sebenarnya tidak ada yang berubah, sih.”

Aku menjawab pertanyaan Iori dengan demikian.

Bagi yang mengenal Ayana selama ini pastinya akan terharu melihatnya mengungkapkan rasa cintanya dengan kata-kata seperti ini.

“Apapun bentuknya, itu adalah bagian dari Ayana, tetapi raut wajahnya yang begitu ekspresif seperti ini adalah Ayana yang sejati. Aku mengetahui hal tersebut karena aku selalu bersamanya sejak dulu.”

“Begitu ya.”

Penampilan Ayana yang sangat mencerminkan konsep ‘Yamato Nadeshiko’ juga merupakan bagian dari dirinya, begitu juga dengan sisi polosnya saat masih kecil. Berkat keseimbangan emosional di dalam hatinya dan hubungannya denganku, kepolosannya terkadang juga terlihat di depan orang lain, dan aku pikir itu adalah hal yang baik.

“Tapi memang begitu ya. Jadi begini ya maksudnya, Otonashi-san?”

“Akhirnya kamu mengerti juga sekarang, Honjou-senpai.”

“...Apaan sih?”

Mungkin dia sedang mengatakan bahwa aku akan terus menggunakan kata-kata manis saat berbicara tentang Ayana... Seharusnya akulah yang justru ingin mengeluh tau?

“Karena kami adalah teman masa kecil, dia sudah lucu dari dulu. Jadi tidak heran jika dia menjadi seperti ini. Bahkan semisalnya Ketua menjadi laki-laki dan mempunyai pacar seperti Ayana, bukannya Ketua juga akan bertingkah sama sepertiku?”

“Aku ingin mengatakan bahwa aku masih tidak mengerti meskipun kamu berbicara tentang hipotesis seperti itu, tapi sepertinya memang begitu jika Otonashi-san adalah pacarku.”

“Nah, ‘kan?”

“Memang.”

Ngomong-ngomong, aku dan Iori melanjutkan percakapan ini sambil menatap wajah Ayana.

Wajahnya berangsur-angsur memerah saat dia menatap kami berdua, dan sekarang dia sudah menunduk karena malu, tapi Iori dan aku bisa melihat dengan jelas semua ini.

“Imut sekali, kan?”

“Iya, benar-benar imut.”

“Duhh, sudah cukup sampai di suit saja, oke!”

Baiklah, sudah cukup, mari kita berhenti melanjutkannya lebih jauh karena aku merasa kasihan pada Ayana

“Ya ampun... Pagi-pagi aku sudah mengalami hari yang buruk.”

“Aku justru senang karena sudah melihat hal yang baik sejak pagi. Hei, jika kita bertemu lagi di jalan ke sekolah, apa kita bisa pergi bersama lagi seperti ini?”

Aku sendiri tidak keberatan, tapi... Ketika aku melihat Ayana, dia juga mengangguk tanpa ekspresi menolak sama sekali, jadi sepertinya itu tidak masalah.

“Bukannya berarti kita akan sering bersama seperti ini, dan aku juga tidak akan mengganggu waktu kalian berdua, jadi jangan khawatir.”

“Aku bukan orang yang berpikiran sempit seperti itu, kok.”

“Benar sekali. Kami justru merasa senang jika Honjou-senpai tetap berbicara dengan kami tanpa merasa sungkan.”

“Benarkah? Kalau begitu, aku akan melakukannya tanpa ragu♪”

Setelah membuat janji seperti itu, kami melanjutkan perjalanan kami dan segera tiba di sekolah.

Kami berdua berpisah dengan Iori di depan pintu loker sepatu indoor, lalu Ayana dan aku menuju ke ruang kelas kami masing-masing...tapi dalam perjalanan, aku melihat pemandangan yang cukup menarik.

“....Hmm?”

“Ada apa?”

Ayana memiringkan kepalanya ke samping saat aku tiba-tiba berhenti, dan dia juga berhenti bergerak saat melihat apa yang aku lihat.

“Itu... “

Apa yang kami berdua lihat... adalah Aisaka dan Mari.

Mari yang bertubuh kecil dan mudah dikenali dari jauh karena aura ceria yang ditunjukkannya, dan kepala cepak yang dapat dikenali karena alasan tertentu dari mana pun aku melihatnya pastilah Aisaka.

“Jarang-jarang melihat mereka berdua mengobrol berduaan begitu.”

“Memang sih, tapi bukan hal yang tidak mungkin karena mereka sama-sama siswa di sekolah yang sama.”

Tapi, entah mengapa... Sepertinya ada sesuatu yang membuat sensor di dalam diriku merespon saat melihat mereka.

Karena Aisaka membelakangi kami sehingga aku tidak bisa melihat ekspresinya, tetapi Mari terlihat sedang menikmati percakapan dengan senyum cerah di wajahnya... Dan sepertinya pembicaraan mereka sudah selesai.

Mari berjalan menjauh dengan membelakangi kami, dan ketika Aisaka membalikkan tubuhnya ke arah kami, aku dan Ayana terkesiap.

“Ah, wajahnya memerah.”

“Wah, nampaknya dia senang.”

Meskipun kata-kata yang kami ucapkan berbeda, tapi hal itu benar adanya.

Selain tidak bisa menyembuyikan ekspresi gembiranya, tapi Aisaka juga terlihat tersipu dengan pipinya yang memerah.

(Kalau diingat-ingat... Ia pernah bilang kalau ia menyukai adik kelas)

Aku sudah merasakan bahwa dia memiliki perasaan pada seseorang yang lebih muda, tapi mungkin... apa jangan-jangan gadis yang disukainya adalah Mari!?

“Dasar Aisaka... Ia mungkin menyukai Mari.”

“Eh!?”

Meskipun aku masih belum terlalu yakin, tetapi melihat Aisaka seperti itu membuatku mau tak mau jadi mencurigainya... Tapi bukan berarti aku akan mempertanyakan hal itu padanya secara langsung.

“Yah, itu masih baru kemungkinan saja sihh. Terakhir kali, ketika aku bertanya padanya apa ada orang yang ia sukai, dirinya tersipu ketika menjawab kalau ada adik kelas yang disukainya.”

“Begitu ya... Tetapi sepertinya memang kelihatan begitu, ‘kan?”

“...Hmm~”

Aku dan Ayana melihat adegan yang sama, tapi kami merasakannya secara berbeda... Berbeda denganku yang laki-laki, dari sudut pandang Ayana yang perempuan, sepertinya Aisaka benar-benar menyukai Mari.

Nah, di tengah-tengah percakapan seperti itu, Aisaka, yang berjalan ke arah kami, menyadari keberadaan kami.

“Oh, rupanya ada Yukishiro dan Otonashi-san toh, pagi!”

“... Pagi juga.”

“Selamat pagi, Aisaka-kun.”

Bukankah suaranya terdengar lebih bersemangat dari biasanya ... Apa ini memang sudah pasti?

“Meski kamu biasanya memang seperti ini, tapi bukannya kamu terlihat lebih bersemangat dari biasanya? Apa ada sesuatu yang baik terjadi?”

“Eh? Ah ... eng-enggak kok, enggak ada sesuatu yang terjadi.”

Tidak, tidak, kenapa matamu terlihat gelisah?

Meski dari kejauhan, Aisaka sepertinya tidak menyangka kalau aku dan Ayana sedang melihat apa yang baru saja terjadi, jadi dirinya berpura-pura berdeham untuk mengalihkan perhatian.

“Baiklah, aku akan pergi ke kelas duluan ya! Sampai jumpa nanti kalian berdua!”

Aisaka berlari dengan cepat seolah-olah ia sedang menunjukkan kekuatan kakinya yang terlatih di klub baseball.

Saat berlari dengan kecepatan seperti itu, sebelum kita sempat memberikan peringatan bahwa dirinya akan dimarahi oleh guru, Aisaka sudah menjauh begitu saja.

Kami terkesan oleh kepergian Asaka dengan cepat ... tapi kata-kata yang terucap dari bibir kami sama.

“Ini sih sudah pasti.”

“Benar, sudah dipastikan.”

Begitu ya ... jadi begitulah adanya.

Yah, aku juga sudah merasa begitu sejak tadi, tapi itu masih belum pasti ... memang belum pasti sih! Tapi reaksi Aisaka terlalu jujur.

“Untuk saat ini, mari kita pergi ke kelas saja dulu.”

“Tentu.”

Jadi kami akhirnya memutuskan untuk menuju ke ruang kelas. Sepanjang perjalanan, kami saling berjanji untuk tidak bertanya-tanya tentang Aisaka karena situasinya belum pasti.

“...fiuh”

Aku pergi ke sekolah bersama Ayana, dan Iori bergabung dengan kami dalam perjalanan...mungkin karena kejadiannya begitu intens sejak pagi, jadi aku mendadak merasa lelah begitu aku duduk.

Ketika aku berpikir untuk tidur sebentar sampai jam wali kelas pagi dimulai…

“Yukishiro.”

“Eh?”

Aku terkejut mendengar suara yang tiba-tiba, dan memalingkan pandanganku.

Orang yang memanggilku adalah Toudo-san—— teman Ayana yang selalu menjadi topik pembicaraan kami antara dirinya dan Someya akhir-akhir ini.

“Ada apa?”

“Malah tanya ada apa ... Lihat ke sana.”

Toudo-san menunjuk ke sudut papan tulis dan memintaku untuk melihatnya.

“... Oh, jadi begitu maksudnya.”

Di situ tertulis nama belakangku dan Toudo-san---dengan kata lain, kami sedang bertugas piket hari ini.

“Aku hanya ingin menyapa.”

“Kamu sangat sopan.”

“... Ayana cemburu karena dia merasa iri padaku.”

“Eh?”

Aku memalingkan pandanganku sebentar dari Toudo-san dan melihat ke arah Ayana yang duduk di kursinya.

Meskipun dia mengangguk dan ikut serta dalam percakapan teman-temannya, tapi dia masih memperhatikan kami dengan pandangan yang tajam ... tidak, itu sih, apa dia mencoba mendengar pembicaraan kami?

“Yah, gimana ya ... Maaf banget ya?”

“... Yah, tiu bukan masalah besar, sih. Tapi sejak dia mulai berpacaran denganmu, dia semakin sering menunjukkan wajah manisnya. Karena Ayana sudah mirip seperti idola di antara kita, jadi melihatnya begitu gembira ikut membuat kami senang juga.”

“Hee ... aku tidak pernah mendengar kamu bicara tentang Ayana seperti ini sebelumnya, jadi jadi rasanya begitu baru.”

“Kalau dipikir-pikir, memang begitu. Meskipun kita sudah sering berbicara, tapi aku tidak pernah membicarakan Ayana seperti ini sebelumnya.”

Aku mengangguk-angguk setuju.

Walaupun aku berbicara dengan orang yang jarang diajak bicara, sifat asli Towa membuatku tidak merasa canggung sama sekali, dan aku pandai menyesuaikan diri dengan pembicaraan lawan.

(Yah sebenarnya, aku juga suka berbicara dengan orang)

Aku mengangguk lagi sebagai jawaban atas kata-kata yang ada di kepalaku, dan seperti yang kuduga, Toudo-san menatapku dengan aneh.

“Apa Yukishiro-kun tuh orang yang aneh?”

“Itu salah paham.”

Aku tahu Toudo-san suka berbicara tanpa basa-basi.

Meskipun ada percakapan seperti itu, tapi percakapanku dengan Toudo-san semakin menarik, dan aku begitu asyik mengobrol dengannya sampai-sampai aku tidak menyadari kalau Ayana sedang berdiri di sebelahku.

“Kelihatannya kalian berdua sedang bersenang-senang, ya.”

“Uwahh, muncul juga!!”

“Setsuna, tolong jangan berteriak kaget begitu seolah-olah aku ini hantu.”

Ayana mengalihkan pandangan tajamnya ke arah Toudo-san, lalu dia bergerak ke belakangku.

Dia mendekatkan dadanya ke kepalaku, dan sebagai bonus, dia meletakkan tangannya di bahuku dan memijatnya dengan lembut.

“Ayana tuh sangat suka menempel begitu. Memangnya seberapa besar cintamu pada Yukishiro?

“Bukannya itu sudah jelas?”

“Aku sudah tahu, kok... atau lebih tepatnya, ini rasanya benar-benar aneh.”

“Apanya yang aneh?”

“Meskipun kalian melakukannya di depan mataku, aku sama sekali tidak merasa kesal, dan aku selalu berpikir bahwa aku ingin melihatnya lebih lama lagi?”

Itu sih... suatu kehormatan jika memang dianggap seperti itu.

Karena dia adalah teman Ayana, dan melalui percakapan yang baru saja kulakukan tadi, aku tahu bahwa Toudo-san adalah gadis yang baik dan ramah.

Itulah sebabnya perkataannya sama sekali tidak terdengar bohong, dan tampaknya dia benar-benar merasakannya.

“Jadi, Ayana? Apa kamu ada urusan sesuatu?”

“Oh, iya. Bukannya karena aku khawatir bahwa kalian berdua terlalu dekat atau sesuatu seperti itu.”

“Ayana, Ayana, jangan bicara terlalu cepat.”

“Kamu terlalu ribut.”

Toudo-san, yang dengan nada tegas disebut ribut, justru tersenyum dengan gembira tanpa ekspresi yang tidak nyaman maupun marah.

“Maaf, maaf. Aku tidak pernah menyangkan akan ada hari di mana aku bisa mengolok-olok Ayana dengan cara seperti ini. Jadi aku aku sedikit terbawa suasana dan bersenang-senang.”

“Aku pikir kamu selalu terlihat senang.”

“Apa kamu ingin mengatakan kalau orang yang selalu ceria?”

“Aku mengatakan bahwa kamu adalah orang yang ceria dan luar biasa. Senyummu membuat semua orang, termasuk aku, merasa lebih baik.”

“Terima kasih...”

Apa ini... aku merasa seperti terdampar di tengah suasana yang aneh.

Sekarang, sepertinya guru akan datang sebentar lagi, dan ini adalah awal hari dimana aku jadi petugas piket, jadi aku harus lebih bersemangat.

“Oh iya, Towa-kun.”

“Yeah?”

“Ketika kamu menerima jurnal dari guru, tolong berikan saja padaku ya.”

“Hah? Mengapa?”

“Kenapa emangnya?”

Ketika Ayana mengucapkan kata-kata itu, aku dan Toudo-san bersama-sama mengungkapkan rasa penasaran.

Ayana menjauh dari belakangku dan sambil tersenyum lebar kepadaku, dia melanjutkan,

“Aku akan menyelesaikannya semua untukmu.”

“Enggak boleh kali.”

“Enggak boleh gitu lah.”

Kami berdua menegurnya secara bersamaan, dan Ayana menggembungkan pipinya dengan cemberut.

 

▽▼▽▼

 

Waktu berlalu dan sekarang waktunya pulang sekolah.

Tugas piketku bersama Toudo-san berjalan dengan lancar, dan kami berhasil menyelesaikannya tanpa memberikan jurnal kepada Ayana. Kami menyerahkan buku jurnal tersebut ke kantor guru dan kembali ke kelas.

“Selamat datang kembali, Towa-kun, kamu juga, Setsuna.”

Saat kami memasuki ruang kelas, Ayana menyambut kami dengan ramah.

“Oh. Terima kasih buat kerja kerasmu hari ini, Toudo-san.”

“Kamu juga, Yukishiro. Makasih banget sudah menjadi rekat piketku hari ini ♪”

Tidak, tidak, aku sangat senang mendengarnya. Sejujurnya, saat kami bertugas piket bersama, aku berpikir kalau dia mungkin ingin bersama Someya ketimbang diriku. Namun, aku bersyukur semuanya berjalan lancar.

“Yo, Yukishiro, apa Setsuna sudah menyusahkanmu?”

Someya yang masih berada di dalam kelas bertanya padaku, dan Toudo-san langsung memprotes sembari berdiri di depannya.

“Menyusahkan bagaimana? Coba jelaskan padaku secara spesifik.”

“Tidak, itu... “

“Ayo, ceritakan padaku~. Aku akan mendengarkannya~ oke~ hmm?”

“Maaf...”

Someya menundukkan kepalanya, namun setelah beberapa saat, ia tersenyum dengan senang, dan tampaknya Toudo-san juga senang.

“Hei, gimana kalau kita pergi karaoke sekarang?”

“Ohh, ide bagus, tuh! Ayo pergi! Tunggulah sebentar.”

“Pelan-pelan saja, jangan buru-buru begitu.”

“Biarpun kamu bilang begitu, aku harus bergegas! Aku ingin cepat pergi!”

Sesuai dengan perkataannya, Someya selesai bersiap-siap untuk pergi.

Aku hanya bisa tersenyum saat membayangkan bahwa ia benar-benar ingin pergi keluar bersama Toudo-san, tapi karena Todo-san memiliki reaksi yang sama...Aku hanya bisa tersenyum kecil.

“Towa-kun, wajahmu jadi cengengesan loh.”

“Upss, maaf... Tapi, kamu sendiri juga mengerti, ‘kan?”

“Aku mengerti. Itu pemandangan yang menghangatkan hati.”

Sambil berbicara begitu, aku juga sudah selesai bersiap-siap untuk pulang dan meninggalkan ruang kelas bersama Ayana.

“Mau mampir dulu ke suatu tempat?”

“Aku akan pergi ke mana pun selama itu bersamamu, Towa-kun.”

Oh, jawabannya itu membuatku berpikir sejenak. Aku bisa saja pulang langsung ke rumah atau pergi ke kafe atau karaoke... Hmm, enaknya ngapain dulu ya~?

Aku memutuskan untuk memikirkannya sambil berjalan, jadi aku meninggalkan loker sepatu dan menuju keluar.

Saat aku berjalan di samping Ayana, aku melihat Mari berlari dengan seragam olahraganya dari balik gerbang sekolah.

“Ah! Ayana-senpai dan Yukishiro-senpai!”

Begitu Mari melihat kami, dia menghampiri kami dengan senyum lebar di wajahnya.

Secara alami, pipiku jadi mengendur melihat penampilan Mari, yang mengingatkanku pada seekor hewan kecil yang akan kegirangan jika dia memiliki ekor.

“Mari-chan tuh mirip seperti anak anjing, ya?”

“Aku juga berpikir begitu.”

Melihat Mari dengan senyumnya yang menggemaskan, membuatku tanpa sadar jadi ikut tersenyum. Terkadang, karena postur tubuhnya yang kecil, aku merasa seperti ingin merawatnya.... Dengan kata lain, aku ingin memanjakannya seperti anak kecil.

Rupanya Ayana lebih sering melakukan itu daripada aku.

“Apa kalian berdua akan pulang sekarang?”

“Iya, benar. Mari-chan sedang berlatih keras untuk klubnya, kan?”

“Ya! Karena minggu depan ada kompetisi, jadi sekarang aku harus berlatih lebih keras lagi!”

Mari mengepalkan tangannya dan mengubah senyumannya menjadi senyuman penuh motivasi.

Meskipun keimutannya tidak hilang sama sekali, tetapi ekspresinya memiliki sedikit kegagahan yang segar.

Mumumu, entah mengapa aku merasakan pandangan hangat dari kalian berdua!"

“Benarkah?”

“Apa iya?”

“Loh... apa itu cuma imajinasiku saja kali, ya?”

Mari menundukkan kepalanya sambil menggaruk pipinya, dan meminta maaf karena telah mengatakan sesuatu yang aneh.

“Kamu tidak perlu meminta maaf segala, oke?”

“Benar, Mari-chan. Karena kamu tidak sepenuhnya salah.”

“Eh?”

Dari senyuman, lalu berubah menjadi tampilan yang bermartabat, dan kemudian berganti menjadi wajah terkejut.

Ekspresi Mari yang terus berubah-ubah begitu menarik, sehingga yana mengulurkan tangannya dan mulai membelai kepala Mari.

Yosh~yosh~ yosh~. Mari-chan tuh imut banget ya~.”

“Hehehe~♪”

“... Dia lebih mirip seperti kucing daripada anjing.”

Dia lebih mirip seperti kucing daripada anjing... baiklah, kedua pujian tersebut sama-sama bagus, tetapi intinya Mari terlihat begitu imut karena menunjukkan berbagai ekspresi.

(Menjaga jarak dari Shu, ya...)

Namun, saat melihat Mari yang seperti ini, aku jadi teringat dengan apa yang dikatakan Iori.

Meskipun awalnya pertemuan mereka telah diatur sedemikian rupa, Mari pasti merasa tertarik pada kepribadian Shu setelah mengenalnya... Tampaknya, dia tidak membencinya atau merasa jengkel padanya, tetapi Shu telah berubah... perubahannya begitu besar sehingga Mari merasa perlu menjaga jarak dengannya.

“Tch...”

Tanpa sadar, aku menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran-pikiran yang berlebihan.

Memang benar kalau akulah penyebabnya, tapi jika aku memikirkan hubunganku dengan Ayana, aku tidak punya pilihan selain melangkah maju...tentu saja, aku tidak menyesalinya.

Aku merasa bahwa jika aku terus-terusan membiarkan keadaan semacam itu, hal tersebut akan membawa dampak yang lebih buruk.

Ayana segera menyadari perubahan ekspresiku... karena itu, aku mengubah pikiranku dan memulai percakapan dengan Mari.

“Kita sedang berbicara denganmu, tapi sepertinya kamu masih berada di klub olahraga, Mari?”

“Oh, tidak masalah, kok! Ketika aku kembali, aku bisa istirahat sekitar lima belas menit!"

Sepertinya tidak ada masalah.

Tapi meskipun begitu, kami berdua sudah berniat pulang... tapi, jika kami bilang begitu, apa dia akan terlihat sedih?

“Uh... umm... ya.”

“Ayana-senpai? Ada apa?”

“Ah enggak, hanya saja... hmm... apa yang harus kita lakukan, Touwa-kun?”

“Kenapa malah aku yang harus mengatakannya!?”

“Hmm??”

Mungkin Ayana juga memikirkan hal yang sama persis seperti yang kupikirkan.

Keimutan Mari yang seperti hewan kecil memiliki kekuatan untuk membuat seseorang tetap berada di sampingnya... mungkin bagi orang lain yang sama sekali tidak mengenalnya hal itu tidak akan terjadi, tapi karena aku dan Ayana memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Mari, hal tersebut membuat kami jadi sulit untuk meninggalkannya.

Beranilah... Tunjukkan keberanianmu, Yukishiro Towa!

“Ayana, ayo kita pulang...”

“…. Ah, ya, benar juga. Kalian berdua akan pulang, ya...”

“.........”

Saat aku mengumpulkan keberanian untuk menyarankan pulang, bahu Mari tiba-tiba merosot dengan lesu.

Sial... Apa itu hanya khayalanku saja kalau aku mendapat gambaran seekor anjing menggonggong tanpa tenaga? Siapa pun tolong beri tahu kalau itu hanya imajinasiku saja!

“…Mari-chan, kamu sungguh gadis yang menakutkan.”

“Eh, eeh!? Kenapa aku mendadak jadi menakutkan!?”

“Sifatmu yang tidak menyadarinya juga menakutkan.”

“Kenapa!?”

... entah kenapa, Ayana terlihat seperti kakak perempuan yang berurusan dengan anak kecil tetangga sekitar.

Namun, jika hal ini terus berlanjut, kami akan benar-benar lupa kapan waktunya pulang, tapi sebuah suara bergema yang menarik perhatian kami bertiga.

Kring! Bunyi logam... bunyi pukulan bola dengan tongkat pemukul.

:Aku sering mendengar suara ini saat klub olahraga berlatih di luar, dan setiap kali itu terdengar, aku selalu melihat ke arah suara tersebut.”

Itulah yang dikatakan oleh Mari.

Meskipun kami tidak bisa melihat seluruh lapangan dari tempat ini, Mari melanjutkan dengan mengarahkan pandangannya ke arah suara tersebut.

“Ketika aku melihat mereka berusaha sekuat tenaga mengejar bola, aku jadi merasa harus berlari dan berusaha sebanyak itu juga!”

Begitu ya... melihat klub bisbol yang sedang berjuang sebagai anggota klub olahraga yang sama, dia merasa termotivasi untuk berusaha sekuat mereka.

Itu adalah kalimat yang begitu optimis dan penuh semangat, sangat khas dari Mari yang selalu positif.

“Oh, itu Aisaka-senpai!”

Aku dan Ayana dengan cepat mengalihkan pandangan kami seolah-olah ada suara efek ‘gyuin’ yang menyertai.

Bagi kami saat ini, mana mungkin kami tidak bereaksi terhadap kombinasi Mari dan Aisaka, lalu saat kami mengalihkan pandangan, kami dapat melihat Aisaka memungut bola.

“….Hehehe, Aisaka-senpai juga bekerja sangat keras. Aku mendapat kesan bahwa anggota klub baseball itu besar dan menakutkan, tapi Aisaka-senpai adalah orang yang sangat baik dan menyenangkan. Kalau tidak salah kalian berdua sekelas dengannya, ‘kan?”

“Iya.”

“Ya, apa kamu pernah berhubungan dengannya, Mari-chan?”

Ohh, tanggapan yang bagus, Ayana.

Mari ditanya demikian oleh Ayana, tapi dia berbicara dengan lancar seolah-olah dia tidak punya niat khusus untuk menyembunyikannya.

“Sebenarnya tidak ada yang istimewa sama sekali. Saat aku sedang meregangkan otot di sudut lapangan, bola berguling ke arahku, dan aku menyerahkannya kepadanya, itulah yang menjadi pemicunya. Kadang-kadang aku melambaikan tanganku kepadanya ketika kami tatapan mata kami saling bertemu meskipun itu di balik pagar.”

“Jadi begitu ya.”

“Hee...”

Hmmm gimana bilangnya ya….. rasanya ada semacam nuansa masa muda yang begitu masam nan manis.

Ketika aku mulai merasa bahwa aku memiliki gambaran tentang Aisaka, Mari kembali melanjutkan kegiatan klubnya karena waktu istirahatnya sudah habis, tapi karena dia sesekali menoleh ke arah kami, jadi itu sungguh merisaukan.

“Nah, sekarang, karena Mari sudah pergi, ayo pulang... Ayana?"

Pada akhirnya, karena Mari kembali ke aktivitas klubnya, jadi kupikir kami harus pulang juga, jadi aku memanggilnya, tapi Ayana terlihat sedikit aneh.

Ayana bergumam pada dirinya sendiri sambil menatap punggung Mari yang menjauh.

“…Beberapa waktu yang lalu, aku hampir mencoba menyakiti gadis sebaik itu.”

Setelah mendengar kata-katanya, aku meletakkan tanganku di pundak Ayana. Aku kemudian memberitahunya saat dia menatapku dengan tubuhnya yang gemetar ketakutan.

“Semua itu sudah berlalu dan tidak akan terulang lagi, ‘kan? Sekarang Ayana sudah baik-baik saja—hal seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi.”

Hampir mencoba untuk melakukannya... tapi sekarang hal itu tidak akan terjadi lagi.

Jadi, tidak perlu khawatir tentang prosesnya... jadi jangan tunjukkan wajah seperti itu, ketika aku memberitahunya begitu, Ayana tersenyum kecil.

“Meskipun aku harus memikul beban perbuatan itu sebagai dosaku, itu tidak seharusnya menjadi belenggu yang menghalangiku untuk melangkah ke depan... bukan begitu? Terima kasih, Towa-kun. Kata-katamu selalu menyelamatkanku.”

“Aku senang mendengarnya. Kalau suatu saat kamu merasa sedih lagi, aku akan merangkulmu dengan erat dan membantumu kembali ke sisiku.”

“Itu sih... hehe, ya♪!”

Tentu saja, hal seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi!

“Towa-kun, bagaimana kalau kita pergi ke tempat bowling sekarang?”

“Oh, ayo saja!”

“Ya! Kita bisa melempar bola sekuat tenaga dan menghilangkan perasaan buruk ini!”

Oh... semangat Ayana benar-benar membara!

Aku sebenarnya sedang memikirkan rencana sambil berjalan, jadi tawaran dari Ayana datang pada saat yang tepat.

Karena sudah lama sejak terakhir kali aku pergi bowling bersama Ayana, mari kita bersenang-senang dengan sepenuh hati!

 

▽▼▽▼

 

Hal tersebut terjadi pada suatu hari menjelang bulan Mei.

Karena keesokan harinya adalah hari Sabtu, jadi setelah sepulang sekolah, Ayana datang ke rumah dengan membawa tas ganti pakaiannya.

“Menginap~ menginap♪ Aku akan menginap di rumah Towa-kun♪”

Jika besok adalah hari libur, kedatangan Ayana untuk menginap sudah tidak lagi sesuatu yang aneh.

Sejak saat itu, aku berhubungan baik dengan Seina-san, jadi perasaanku jauh lebih ringan daripada saat kami berdua belum berbaikan.

“Selama di sekolah, kamu sepertinya sangat menantikan waktu untuk datang ke rumahku, ya?”

“Tentu saja. Karena aku bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu, Towa-kun♪”

Setiap kata yang diucapkannya menusuk hatiku dengan dalam.

Aku merindukan pelukannya, dan saat aku mencoba untuk memeluknya, Ayana malah melompat ke dalam pelukanku.

“Hufufu... Aku begitu bahagia~♪”

Dia begitu manis... itulah satu-satunya kata yang terlintas dalam pikiranku.

Sambil memeluk Ayana seperti itu, aku melihat jam... waktu menunjukkan sudah pukul tujuh malam.

Hari ini, ibuku juga tahu kalau Ayana akan datang, jadi kami berencana untuk makan malam yang agak istimewa dengan menyajikan shabu-shabu.

Aku dan Ayana sudah menyiapkan bahan makanannya, jadi sekarang tinggal menunggu ibuku pulang.

“Ibu, dia lumayan terlambat ya.”

“Iya... semoga tidak terjadi apa-apa.”

“Ibu jarang sekali terlambat.”

“Kurasa itu ada benarnya.”

Bukannya kami tidak mengkhawatirkan Ibu, hanya saja kami memercayainya karena kami mengenalnya.

Setelah itu, aku terus memeluk Ayana dan menonton TV untuk menghabiskan waktu, dan akhirnya ibuku pulang.

“Aku pulang~!”

Aku berdiri ketika mendengar suara datang dari pintu depan.

Aku menuju ke pintu depan untuk menyambut ibuku, tapi...dalam artian lain, aku benar-benar lengah saat melihat pemandangan yang membuatku tak bisa berkata-kata.

“...Hah?”

Ibuku bukan satu-satunya orang yang ada di sana... di sampingnya masih ada orang lain.

“Ke-Kenapa, kok bisa?”

Tanpa sadar, kata-kata tersebut keceplosan begitu saja.

Kurasa itu wajar saja…...karena...... orang yang bersama ibuku adalah Seina-san.

“Aku kebetulan bertemu dengannya di sekitar kota! Jadi aku membawanya ke sini karena ini bisa menjadi kesempatan yang bagus!”

“...Selamat malam, Towa-kun.”

Seina-san, yang membungkuk di samping ibuku yang tersenyum ceria sambil menepak-nepak pundaknya, sudah terlihat lelah di wajahnya, seakan-akan menandakan kalau dia dibawa ke sini secara paksa.

Boleh aku mengatakan sesuatu dulu untuk saat ini?

Ibu...apa yang akan kamu lakukan?

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama