Chapter 4
“......”
“......”
Tempatnya di pojok ruang tamu!
Sementara Ayana dan ibuku
berbincang-bincang sambil tertawa dan menyiapkan shabu-shabu di dapur, aku
justru menghadap Seina-san.
“......”
“......”
Meskipun sudah tidak ada
keretakan antara aku dan Seina-san, tapi karena kunjungan mendadak yang
disebabkan oleh ibuku...maka beginilah yang terjadi.
Kalau dilihat sekilas ke arah
dapur, berbeda dengan suasana kami yang begitu hening, Ayana dan ibuku terlihat
sedang bersenang-senang, dan perbedaan kami dengan mereka benar-benar seperti
siang dan malam.
(Tapi
karena kejadiannya terjadi secara tiba-tiba, maka inilah yang terjadi... Tapi
Seina-san pasti khawatir tentang itu. Putrinya yang harusnya bisa dia andalkan,
justru berada di sana.)
Kalau begitu, aku tidak punya
pilihan lain selain melakukan yang terbaik!
Aku membuka mulutku,
membangunkan diriku seperti seorang samurai yang bertarung dalam pertempuran.
“Itu...Anda sedang apes sekali,
ya?”
“……Bener sekali.”
“I-Iya”
“……Benar sekali.”
“……Ya.”
Aku...Aku merasa sangat lemah
sampai-sampai aku ingin menangis.
Ketika aku bertanya, “Anda sedang apes, ya?” tatapan matanya
yang menoleh ke arahku tampak seolah-olah ingin mengatakan, “Kamu pasti tahu jika kamu melihatnya,”
dan nada suaranya terdengar kelelahan.
Meskipun tidak terlalu terlihat
dari ekspresinya, tapi Seina-san pasti masih merasa tidak nyaman berada di
rumah ini.
“Baiklah...”
Jika memang begitu masalahnya,
maka aku perlu berusaha lebih keras lagi. Jika ibu dan Seina-san bisa akrab
satu sama lain, itu bisa menjadi berita yang bagus bagiku. Seina-san juga
pernah bilang kalau dirinya ingin membangun hubungan yang baik dengan ibu, jadi
kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali.
“Seina-san, aku senang kita bisa
bertemu lagi meskipun kita dalam situasi seperti ini.”
“Towa-kun...”
“Aku sebenarnya sudah berencana
untuk menciptakan kesempatan seperti ini. Aku tahu bahwa Seina-san mungkin
belum siap secara emosional, tapi kurasa ibuku juga tidak ada niat buruk...
sebagai putranya, aku ingin mengatakan itu.”
Tidak ada niat buruk... kan,
ibu? Aku bisa mempercayaimu, ‘kan? Aku yakin tentang itu... tapi berkat pembicaraan
ini, ekspresi Seina-san menjadi lebih cerah.
“Baiklah aku mengerti. Aku sangat
terkejut sampai-sampai jantungku berdegup kencang ketika bertemu dengan seseorang dimana
aku tahu cepat atau lambat aku harus berbicara dengannya, ......Saat dia
merangkul bahuku, aku jadi teringat masa lalu dan merasa takut, tapi aku juga
merasa harus mengumpulkan keberanianku.”
“........”
Maafkan aku, Seina-san.
Jika aku hanya mendengarkan
ceritanya, sepertinya semuanya salah ibu... Tapi meskipun begitu, Seina-san terus
tersenyum sambil berbicara.
“Jadi, kamu tidak perlu
khawatir, Towa-kun.”
“......Haha, syukurlah kalau
begitu.”
Kalau begitu, sepertinya aku tidak
perlu terlalu khawatir... mungkin?
Setelah berhenti berbicara
sejenak, Seina-san melihat-lihat sekeliling.
“Apa ada sesuatu yang menarik
perhatian anda, Seina-san?”
"Aku merasa bahwa ini adalah
rumah yang sangat hangat.”
Woahhh... dia mengatakan hal
yang sangat menyenangkan.
Meskipun hanya ada aku dan ibu
yang tinggal di rumah ini, aku tidak pernah merasa kesepian... Aku juga bisa
merasakan kehangatan rumah ini.
Ayana juga pernah mengatakan
hal yang sama, dan aku merasa sangat senang karena ibunya, Seina-san,
mengatakan hal yang sama.
“Okeee~ Makannya sudah siap~”
“Towa-kun, Ibu juga silakan
kemari.”
Oh, sepertinya persiapan makan
malam sudah selesai.
Ketika aku mendengar suara ibu,
menyadari bahu Sena-san bergetar lagi, jadi aku menggenggam tangannya.
“Ayo pergi, Seina-san.”
“...Kamu sungguh baik sekali,
Towa-kun.”
“Yah, hanya segini saja masih
tidak seberapa.”
Aku berjalan menuju meja makan dengan
perasaan seperti seorang kesatria yang mengawal seorang putri.
Aku duduk di sebelah ibuku, dan
Seina-san duduk di sebelah Ayana...dengan kata lain, kami duduk saling
berhadapan sebagai anggota keluarga masing-masing.
“Shabu-shabu ya. Rasanya sudah
lama sekali.”
Pertama-tama, sudah lama sekali
aku bisa berkumpul sambil memakan hot pot
dengan jumlah orang yang cukup banyak seperti ini.
Semuanya bahan makanan kecuali
daging sudah dimasukkan ke dalam panci, menimbulkan suara mendidih yang
merangsang selera makan.
“Jangan khawatir, Towa-kun.
Pancinya tidak akan kabur meskipun kamu menatapnya begitu lama.”
“Tidak, tidak, mana mungkin aku
bertingkah seperti anak kecil seperti itu.”
“Eh~? Benarkah?”
“...Karena kelihatannya enak,
jadi mau bagaimana lagi.”
Meskipun perkataannya sangat
tepat sasaran, tapi aku segera membuka tutup pancinya lagi. Tidak hanya Ayana
tapi juga ibuku dan Seina-san menatapku dengan senyuman hangat, dan mau tak mau
aku menyatukan tanganku untuk memimpin karena tidak tahan dengan tatapan mereka.
“Selamat makan.”
“Ara, kamu memang tegas ya.”
“Berisik.”
Dia seharusnya tidak mengejekku
padahal dia sendiri yang menciptakan situasi ini.
Aku mengabaikan ibuku yang
tampak sangat senang dan mulai memilih daging dan tahu dengan seimbang.
“Baiklah, ehm...”
Shabu-shabu hadir dengan saus
ponzu atau saus wijen...Aku sih pastinya penggemar wijen.
Jadi ketika aku hendak
mengambil saus wijen, tiba-tiba seseorang yang tak terduga justru memberikannya
padaku.
“Towa-kun suka saus wijen.
‘kan? Ini, silakan ambil.”
“Te-Terima kasih banyak.”
Orang yang memberikannya padaku
adalah Seina-san.
Karena saus wijen dan saus
ponzu diletakkan di dekat Seina-san, jadi tidak aneh jika dia memberikannya
padanya...tapi bagaimana dia bisa tahu?
“Bagaimana kamu bisa tahu kalau
Towa menginginkan saus wijen?”
“Tidak…. Entah kenapa aku hanya
merasa begitu.”
Meski dia bilang kalau dia
hanya merasa begitu, tapi entah mengapa aku merasa kalau dia sudah
mengetahuinya sejak awal...?
Ayana yang duduk di depanku,
mengangguk seolah-olah ada sesuatu yang terlintas dalam benaknya tentang
percakapan kami saat ini, tapi saat dia menatap mataku, dia tersenyum.
“Aneh sekali, ya. Hei,
Towa-kun, aku sudah lapar nih, ayo makan.”
“Ya…benar juga!”
Yah, meski ada beberapa hal
yang mengkhawatirkan, tapi untuk saat ini aku hanya akan menikmati pesta di
depanku.
“...Yup, rasanya lezat.”
“Enak banget♪”
Rasa daging yang dilumuri saus
wijen sungguh menggugah selera!
Tentu bukan hanya dagingnya
saja, tapi bahan-bahan lainnya berpadu dengan serasi dan membuatnya semakin
nikmat.
(...Ibu
dan Seina-san masih belum memakannya sama sekali.)
Kami anak-anak sedang menikmati
shabu-shabu, tetapi dua orang dewasa itu masih belum meraih panci atau bahkan
berbicara satu sama lain.
Baik Ibu dan Sena-san tidak
memasang ekspresi muram, tapi mereka berdua terlihat memperhatikan tindakan
satu sama lain.
(Ayana...dia
terlihat tidak terganggu sama sekali)
Aku mengalihkan pandanganku dari
mereka dan kembali menatap Ayana, tapi dia tidak menunjukkan tanda-tanda merasa
terganggu.
Dia sesekali memandang ibunya
dari waktu ke waktu sambil menyantap shabu-shabu yang lezat dan terlihat
tertarik dengan apa yang mereka katakan.
Aku menyadari bahwa mungkin...
dia tidak khawatir sama sekali.
Ketika aku mengatakan kalau dia
tidak khawatir, itu bukan dalam artian yang buruk, tapi mungkin karena dia
berpikir kalau ibuku dan Seina-san bisa melakukannya dengan baik.
“...Fiuh, saling menebak satu
sama lain begini tidak cocok untukku. Meskipun kita duduk mengelilingi hot pot seperti ini, tapi suasananya jadi
muram begini.”
Mungkin karena sudah tidak
tahan dengan kesunyian, ibuku membuka mulutnya.
Seakan-akan itu menjadi
kesempatan untuk mengganggu keheningan ini, aku pun menimpali perkataan ibuku.
“Lagian sedari awal, penyebanya
bermula dari ibu. Apa ibu menyesalinya?”
“Tidak sama sekali!”
“Jangan mengatakannya dengan
percaya diri!”
Aku menepuk pundak ibuku seolah
hendak membalas tsukkomi-nya.
“Auw!?”
Aku ingin mengatakan bahwa itu
tidak terlalu menyakitkan sampai-sampai dia tidak perlu merengek begitu, tapi
sepertinya ibuku akhirnya ingin berbicara.
Aku tahu kalau ibuku tidak
bermaksud untuk tetap diam, tetapi setidaknya pukulanku berhasil menjadi
pemicu.
“Aku tidak bermaksud untuk
tetap diam, aku hanya mengamatimu. Sepertinya kita belum pernah berbicara
seperti ini sejak saat itu, ya.”
“...Ya. Rasanya sudah begitu
lama sejak saat itu, bukan?”
“Sungguh...Waktu yang sudah
berlalu benar-benar begitu panjang.”
Walaupun aku penasaran dengan
percakapan di antara mereka, tapi sebagai anak-anak, kami lebih memilih untuk
menikmati makanan terlebih dahulu.
Rasanya agak sulit untuk
menikmatinya dalam suasana yang seperti ini, tapi sepertinya tidak ada celah
bagi kami untuk menyela percakapan mereka.
“Sejujurnya...hanya karena Towa
sudah memaafkanmu bukan berarti aku bisa memaafkan semuanya. Tapi aku yakin kalau
mereka bahkan lebih jahat darimu.”
“Tidak, aku juga sama. Aku
bahkan tidak bisa mengatakan bahwa aku tidak melakukan apa pun atau mengatakan
apa pun.”
“Itu benar. Itulah sebabnya aku
mendatangi kalian...pada saat itu, aku benar-benar sangat marah sehingga aku
tidak dapat melihat sekelilingku—Sampai-sampai aku bahkan hampir ingin membunuh
kalian semua.”
Aku
hampir ingin membunuh kalian--sorot mata ibuku tampak
serius ketika dia mengatakan itu.
Ibuku sangat mempedulikanku
sebagai putranya ... Jadi itulah sebabnya, ibuku terlihat menakutkan ketika aku
menceritakan hal yang dikatakan oleh Hatsune-san dan Kotone.
“......?”
Pada saat itu, aku menyadari
bahwa tubuh Ayana gemetar.
Meskipun aku dan Ayana tidak
langsung dilihat oleh ibu, kami masih merasakan ketakutan yang tidak bisa
dijelaskan, seolah-olah bulu kuduk kami berdiri ... Mungkin Ayana merasakannya
lebih kuat daripada aku.
Aku diam-diam berdiri perlahan
dan mendekati Ayana.
“Ayana.”
“Towa-kun ...”
Aku merangkul bahunya sambil
mengusap kepalanya untuk menenangkannya.
Ibuku dan Seina-san sedang sibuk
berbicara dan sepertinya mereka tidak menyadari keberadaan kami.
“Tenang saja, ibuku tidak marah
sama sekali, kok.”
“Eh?”
Ya, kata-kata ibu memang keras
dan atmosfernya menakutkan ... tapi sebenarnya dia tidak marah.
Aku tidak tahu alasannya, tapi
secara naluriah aku merasakan hal itu ... mungkin karena aku adalah anaknya.
“Aku sudah bilang sebelumnya kepada
Towa bahwa aku tidak lagi mempermasalahkannya. Tapi saat teringat, hal itu
sulit dihindari ... rasanya sungguh merepotkan.”
“...........”
“Tapi ya ... benar juga. Towa
... putra yang kusayangi sudah mulai melangkah ke depan. Jadi aku juga harus
melangkah maju seperti Towa ... karena itu jauh lebih baik daripada terus-menerus
terbelenggu oleh masa lalu.”
Usai mengatakan itu, ibuku
dengan pelan tersenyum.
Kata-kata yang menakutkan dan
suasana yang menyeramkan tadi tiba-tiba menghilang, dan suasananya menjadi
tenang seolah-olah tidak pernah ada sejak awal.
Seina-san ikut terpengaruh oleh
ibu yang seperti itu, tapi ekspresi wajahnya kembali menegang.
“Aku ... mengucapkan kata-kata
kasar hanya karena alasan bahwa aku tidak suka padanya. Aku mengucapkan
kata-kata yang bahkan melukai putriku sendiri ... Aku sudah memikirkannya
berkali-kali, tapi aku benar-benar bodoh. Sama seperti kamu yang memiliki
seorang putra, aku juga memiliki seorang putri ... Jadi aku tahu persis
bagaimana perasaanmu.”
Mungkin Seina-san ... sekarang
sedang memikirkan banyak hal dari sudut pandang yang berlawanan.
Seandainya saja kecelakaan
menimpa Ayana dan bukannya aku ... meskipun cara perlakuannya salah, karena dia
adalah anak perempuan yang manis, pasti sangat menyakitkan.
“ ‘Aku tidak mengatakannya secara langsung’ ... Aku tidak bermaksud
untuk membuat alasan seperti itu. Aku benar-benar minta maaf."
Seina-san mengatakan hal itu
sambil menundukkan kepalanya.
Sejujurnya, menurutku, dia
tidak perlu meminta maaf lagi, dan aku ingin mengatakan itu padanya. Namun
sekarang ini adalah pembicaraan antara orang tua.
Jadi, saat ini, aku hanya bisa
memperhatikan ibu dan Seina-san.
“Ibu ... benar-benar sudah
berubah, ya?”
Ketika Ayana mengatakan hal
itu, ternyata perubahan Seina-san memang besar.
Setelah menerima permintaan
maaf dari Seina-san, ibuku mengangguk sekali, dan tersenyum dengan tatapan yang
membuatku, putranya, bisa terpesona.
“Aku menerimanya. Sebagai ibu
Towa, aku menerima permintaan maafmu.”
Seina-san mendongak setelah
mendengar kata-kata ibu.
Dia menangis tersedu-sedu
hingga riasan cantiknya hampir luntur, seolah-olah dia menahan diri untuk tidak
menangis sambil menggigit bibirnya.
Mungkin ... tidak, aku yakin Seina-san
sudah mengkhawatirkan hal itu selama ini.
Dengan dimaafkan dari ibuku
sebagai sama-sama orang tua, Seina-san akhirnya bisa terbebas dari belenggu
masa lalu.
“Seina-san.”
Pada saat itu, aku pun
berbicara.
“Aku dan ibuku telah menerima
permintaan maaf. Jadi, masalah ini sudah selesai ... Kita akan memiliki banyak
kesempatan untuk bertemu di masa depan, jadi tolong jaga hubungan baik dengan
kami.”
“Ah ...”
Seina-san benar-benar tidak
bisa menahan emosinya.
Jumlah air mata yang mengalir
di pipinya semakin bertambah, dan jelas sekali bahwa ini bukanlah saat yang
tepat untuk berbicara tentang makanan.
Saat aku memberikannya sebuah
sapu tangan, Seina-san segera menyembunyikan wajahnya dengan cepat.
“Ibu, semuanya baik-baik saja.
Kamu sudah berjuang dengan baik.”
“A-Ayana ...!”
Aku bisa merasakan kehangatan saat
Ayana mengelus punggungnya dengan lembut, tetapi pemandangan tersebut juga bisa
terlihat seperti adik yang menenangkan kakaknya.
(Hal
tersebut menunjukkan seberapa mudanya wajah Seina-san)
Mungkin agak aneh untuk
memikirkan hal seperti ini dalam situasi seperti ini, tetapi sungguh, baik ibu, Seina-san, dan bahkan Hatsune-san, semuanya terlihat jauh lebih muda dari
usia sebenarnya.
Yah, mungkin karena ini awalnya
dunia dari permainan eroge, jadi segala sesuatunya bisa terjadi begitu saja.
Saat aku sedang memikirkan hal
itu, ibu bertepuk tangan dengan keras.
“Baiklah! Kita punya
shabu-shabu yang enak, jadi jangan biarkan ingus menetes sambil makan!”
“Memangnya salah siapa yang sudah
menciptakan suasana seperti ini!”
“Auw!?”
Aku menepak pundak ibuku lagi
sebagai tanggapannya.
Ibuku menatapku dengan tatapan
seolah-olah bertanya mengapa aku memukulnya, tetapi ketika aku kembali
menatapnya dengan tajam dan mengatakan kalau dia pantas mendapatkannya, dia segera
mengalihkan pandangannya.
“Hmm...anakku benar-benar jahat
hari ini.”
Ibuku mengeluh dengan bibirnya
yang sedikit cemberut. Tapi, entah mengapa itu terlihat cocok padanya!
Walau begitu, perkataan ibuku
bisa dimaklumi dan memang tidak pantas untuk berhenti menikmati hidangan yang
begitu lezat ini.
“Ayo, ibu. Mari kita makan
karena ini rasanya enak, loh.”
“Eh... Aku baik-baik saja.
Sudah tidak masalah."
Berkat dorongan dari Ayana,
Seina-san akhirnya mulai sedikit tenang dan menyentuh makanannya.
Tapi, sekarang aku jadi
bertanya-tanya. Jika bir disajikan di hadapan kedua ibu-ibu itu, apa itu
berarti Seina-san juga akan menginap hari ini?
Bahkan jika ibuku
mengantarkannya dengan mobil, dia tidak bisa mengemudi setelah minum bir.
Namun, pada malam seperti ini, mana mungkin juga untuk membiarkan Seina-san pulang
dengan berjalan kaki, terlepas dari dia meminum alkohol atau tidak.
“Apa jangan-jangan Seina-san
akan ikut menginap malam ini?”
“Mungkin... begitulah adanya.
Untuk masalah baju gantinya, mungkin aku akan memintanya dari Akemi-san?”
Jika dia benar-benar menginap,
pasti begitulah yang terjadi... Yah kalau itu sih biar ibu yang akan mengurusnya.
“Ayo minum-minum, jangan
sungkan-sungkan begitu.”
“Aku sebenarnya tidak terlalu
suka minum alkohol.”
“Oh, begitu? Jadi kamu tidak
mau minum?”
“Tidak, aku bisa minum kok.”
Meskipun dia mengatakan dia
baik-baik saja, tapi Seina-san tetap meminum birnya walau dengan ekspresi
enggan.
Aku tahu ibuku sangat toleran
terhadap alkohol, tapi entah bagaimana aku mendapat kesan bahwa Seina-san
sangat lemah dalam hal alkohol, dan prediksi itu segera menjadi kenyataan.
“Sudah kuduga kamu memang
biadab! Memang biadab sih……tapi kamu sungguh anak yang baik!”
“Ahahaha……makasih?”
Akibatnya, dia menjadi mabuk
berat.
“Aku belum pernah melihat ibu
seperti itu. Dia bahkan tidak minum alkohol di rumah.”
“Aku malah berpikir kalau dia
sudah berubah menjadi orang lain.”
“Sebenarnya aku juga merasa
demikian. Ibu biasanya cenderung menuangkan minuman untuk orang lain.”
Ahh~ aku bisa membayangkan hal
itu. Jika ada wanita cantik seperti dirinya menuangkan minuman, aku mungkin
akan terbawa suasana dan minum sebanyak yang aku mau.
“...Tapi, bukannya dia masih
terlalu lemah?”
Wajahnya berubah menjadi merah padam
dan dia mulai memarah-marahi ibuku, tapi kemudian dia berubah pikiran dan mulai
memuji ibu dengan wajah yang berlinangan air mata.
Jadi ini yang namanya kekuatan
alkohol...Aku juga harus berhati-hati dengan alkohol di masa depan.
“Rasanya sudah lama sekali aku tidak
minum bir, tapi rasanya enak ... huh?”
Pada saat itu, Seina-san
mengalihkan pandangannya ke arah kami...dan tiba-tiba berdiri.
“!?!”
“Ah!?”
Manusia gampang dikejutkan oleh
sesuatu yang tiba-tiba.
Baik aku maupun Ayana terkejut
dengan tindakan tiba-tiba Seina-san, dan jari kelingkingku bahkan terbentur
kaki meja... sakit sekali, rasanya sangat sakit!
Ayana mengkhawatirkanku selagi
aku menggeliat kesakitan,, tapi Seina-san bergerak menghampiriku dan tiba-tiba
memelukku.
“Towa-kun, aku ini orang yang jahat.
Bagimu... bagimu...Huwaaaaaaaa!!”
Bukan saja dia lemah terhadap
alkohol, tapi dia malah semakin cengeng dan menjadi-jadi!?
“Tunggu dulu, bu! Tolong jangan
asal memeluk Towa-kun!!”
Sembari mengatakan itu, Ayana
mencoba melepaskan Seina-san, seolah-olah dia berusaha bersaing dengannya, tapi
kekuatan pelukan Seina-san cukup kuat sehingga dia tidak bisa melepaskannya
dengan mudah.
Lebih dari itu...yah, karena
aku juga laki-laki, jadi ada sesuatu yang membuatku sedikit penasaran.
Dan itu adalah payudara yang bahkan
lebih besar dari payudara Ayana, yang menempel di pipiku sekuat tenaga karena
dipeluk—— rasanya begitu lembut dan nyaman... Ayana pasti akan marah jika aku
mengatakan ini, tapi aku hanya penasaran, dan bukan karena aku merasa deg-degan.
(Ba-Bau
alkohol...)
Pasalnya, kelembutan payudaranya
yang besar dan bau alkohol yang begitu menyengat hingga merusak momen yang
biasanya dipenuhi dengan aroma harum.
“Oiii! Jangan ambil anakku!”
Ibuku ikut berkelahi dan
memelukku dari belakang...apa-apaan ini?
Situasi macam apa dimana ibu
pacarku memelukku dari depan dan ibu kandungku memelukku dari belakang...?
Bantu aku, Ayana.
Dan kemudian, keinginanku langsung
terkabul.
“Duhhh kalian berdua sudah
cukup! Bau penuaan kalian akan menular pada Towa-kun, tau!!”
Namun... perkataannya itu
justru menimbulkan pukulan telak.
Ketika Ibu dan Seina-san
mendengar kata-kata ‘bau penuaan’
dari mulut Ayana, mereka berhenti bergerak...secara harafiah, mereka
benar-benar tidak bergerak sama sekali.
Mereka berdua tetap seperti itu
untuk beberapa saat, lalu dengan cepat menjauh dariku dan bergumam lemah.
“...Benar juga. Kita berdua
sudah cukup tua sekarang sekarang, haha.”
“Bau penuaan...benar sekali.Aku
adalah tipe wanita tua yang menggunakan parfum untuk menyamarkannya, ahaha.”
Ayana mengendus-endus saat
mereka tertawa seperti mesin yang rusak. ...... Memangnya ini neraka??
“Ayana, menurutku perkataanmu
tadi sedikit berlebihan...”
“Demi mendapatkan kembali
Towa-kun, sedikit pengorbanan tidak bisa dihindari.”
“Itu sih enggak bisa disebut
sedikit lagi!?”
Mereka berdua terlihat seperti seolah-olah
jiwa mereka akan keluar dari mulut mereka, tau!?
Aku yakin ada banyak kata-kata
yang menyakiti hati wanita, tapi menurutku perkataan dibilang ‘tua’ merupakan
kata yang paling ampuh... Yah, bukan hanya wanita, tapi untuk bapak-bapak juga,
bukannya kata-kata tersebut merupakan hal terakhir yang ingin mereka dengar
dari putri mereka?
(
‘Aku tidak mau dekat-dekat ayah karena bau orang tua!’ Aku yakin di luar sana
ada bapak-bapak yang akan putus asa jika mereka mendengarnya.)
Yah, terlepas dari keadaan para
ayah di luar sana, perkataan Ayana sepertinya memang lebih menusuk kedua ibu
itu daripada sebilah pisau tajam.
Ibuku dan Seina-san, yang tadinya
memelukku, menjauhkan diri dengan sedih, dan Ayana malah memelukku dengan erat.
“Pengusiran selesai.”
Kupikir... Iblis yang paling
jahat dari semuanya adalah Ayana, bukan?
“Ayo, Towa-kun. Ayo kita makan
sisanya.”
“...Benar juga.”
Mungkin inilah yang dinamakan
situasi di mana akulah yang kalah jika aku mengkhawatirkannya.
Butuh beberapa saat setelah
itu, tetapi para ibu kembali hidup dan kali ini pesta shabu-shabu yang menyenangkan
dan meriah dilanjutkan.
Selain aku dan Ayana, Para
ibu-ibu masih minum-minum sambil menikmati makanan shabu-shabu. ...... Setelah
itu, aku tidak perlu menceritakan sisanya.
“......Munya.”
“Suu…..suuu.”
Kedua ibu itu sedang tidur
telungkup di atas meja.
Mereka berdua sudah makan cukup
banyak dan minum alkohol yang sama banyaknya, jadi wajar saja jika hal ini
terjadi.
Meskipun dia sudah banyak minum
saat pertama kali memelukku, rasanya sungguh menakjubkan bahwa kebiasaan
minumnya tidak berkurang setelah itu.
“Seperti yang kuduga, ibu pasti
akan mabuk besok.”
“Kurasa ibuku juga... lagipula
itu cukup berantakan.”
Yah, jika kami mengadakan
sesuatu seperti pesta hotpot, mungkin
hasilnya akan jadi begini.
“Ibu dan Seina-san… menurutku
mereka tidak bisa melakukannya lagi, jadi mari kita bereskan sendiri kekacauan
ini.”
“Baiklah, dipahami.”
Setelah itu, kami mulai
membereskan semuanya semaksimal mungkin tanpa membangunkan mereka berdua yang
sudah tepar.
(...Tadi
itu sangat menyenangkan)
Ya... makan malam malam ini
lebih menyenangkan dari biasanya.
Biasanya cuma ada aku dan ibuku
yang makan, dan Ayana sesekali ikut serta.
Jadi. kalau dibilang meski cuma
empat orang saja, tapi kapan terakhir kali suasananya bisa menjadi semarak
seperti sekarang ini?
“Towa-kun.”
“Apa?”
“Wajahmu kok terlihat kesepian
begitu?”
...Ya ampun, Ayana benar-benar
selalu memperhatikanku, ya.
“Aku mungkin sedikit
merindukannya...Aku tidak terlalu benci kalau rasanya seberisik itu.”
“Sepertinya itu juga berlaku
padaku. Biarpun aku, Towa-kun, dan Akemi-san menghabiskan waktu bersama,
suasananya tidak sampai semeriah itu.”
Walaupun kami bertiga ada
kalanya membuat kebisingan, tetapi rasanya tidak seberisik seperti sekarang
ini.
Meskipun ada sedikit pengaruh
alcohol, tapi suasananya jadi meriah ...... Pada awalnya, sulit untuk menghadapi
ibu-ibu yang mabuk, tetapi itu menyenangkan.
“Meskipun ada banyak hal yang
terjadi, tapi rasanya menyenangkan melihat mereka berdua mabuk.”
“Fufu, aku juga saja. Tentu
saja Akemi-san mabuk berat seperti itu, tapi aku merasa sedikit lega bisa
melihat ibu bersikap rileks dan santai seperti itu.”
“…Ayana, bagimu….”
“Ya?”
“Apa hari ini...merupakan hari
yang baik?”
Aku sudah tahu jawabannya untuk
hal seperti ini.
Meski demikian, aku ingin tetap
mendengarnya secara langsung dari mulut Ayana, jadi aku menanyakan pertanyaan
itu padanya--- Ayana menatapku lekat-lekat, dan mengangguk sambil tersenyum.
“Hari ini merupakan hari yang
begitu menyenangkan sampai-sampai kata ‘terbaik’
saja masih kurang cukup. Itu adalah momen yang membuatku sadar bahwa aku selalu
menginginkan hari yang seperti ini.”
“Begitu ya... Haha, syukurlah
kalau begitu.”
“........”
Ayana berhenti bicara dan
menghentikan tangannya yang sedang mencuci piring.
“Ayana?”
Setelah menyeka tangannya dengan
handuk, dia tiba-tiba pergi ke belakangku dan memelukku.
Aku jadi kesulitan untuk
mencuci piring karena betapa hati-hatinya dia melingkarkan lengannya di
perutku, tapi aku tidak punya niat untuk memintanya menjauh, jadi kurasa aku
akan membiarkan Ayana melakukan apapun yang dia mau.
“Towa-kun.”
“Ya?”
“……Terima kasih banyak.”
“Iya, tidak masalah.”
Aku tidak tahu untuk apa dia
berterima kasih padaku...Ada banyak yang bisa terlintas di benakku, tapi
menurutku dia tidak akan repot-repot bertanya.
Aku sudah mengetahuinya
seolah-olah itu hal yang wajar.
“Aku mencintaimu, Towa-kun.”
“Aku juga.”
“Aku sangat amat mencintaimu.”
“Ah…kurasa perasaanku hampir
sama.”
“Tolong ucapkan dengan
kata-kata.”
“Astaga, dasar putri yang
egois.”
“Tapi dari sudut pandang
Towa-kun, yang begitu jauh lebih menggemaskan, bukan?”
“Yah, memang sih~”
Aku menegaskan dengan kuat
bahwa memang begitulah adanya.
Kemudian, kekuatan pelukannya menjadi
semakin kencang, dan tekanan di perutku menjadi sedikit lebih kuat, tapi
rasanya tidak menyakitkan sama sekali.
“Entah itu bagi Ayana maupun
ibuku dan Seina-san… Aku akan senang jika hari ini adalah hari yang baik.”
Setelah mengatakan itu, aku
mencoba menggerakkan tanganku lagi.
Aku tak sengaja menoleh ke arah
meja makan dan melihat ibuku mengamatiku——tatapan kami bertemu dengan sempurna,
dan dia buru-buru menundukkan wajahnya karena terkejut.
“Bu, Ibu lagi ngapain sih...?”
“Eh!?”
“Ahaha, sepertinya aku ketahuan
ya...”
Ibuku mengatakan itu dengan
senyum kaku di wajahnya.
“Sejak kapan kamu bangun, bu?”
“Percayalah padaku! Aku baru
bangun beberapa waktu yang lalu!”
“...Akemi-san.”
"Ayana-chan, jangan
memasang wajah seperti itu! Aku tidak bermaksud menguping!”
Tidak, tidak, itu sama sekali
tidak meyakinkan, oke?
Yah, karena kami berada dalam
situasi dimana rasanya tidak aneh kalau ada yang melihatnya, dan aku tidak bisa
menyalahkan ibuku karena kupikir dia sudah tertidur.
“Moo~ Apaaan sih~ ribut
banget...”
Karena kami membuat sedikit
keributan, Seina-san pun membuka matanya.
Namun, wajahnya tampak
linglung, dan meskipun ia menatap kami dengan mata terpaku, tapi dia segera
merebahkan diri dan tertidur lagi.
“Untuk saat ini... mari kita
lanjutkan bersih-bersih.”
“Benar juga. Akemi-san, tolong
diamlah.”
“Iya~!”
“Memangnya ibu kayak bocil!?”
Aku kembali menggerakkan
tanganku sambil melakukan tsukkomi, dan dengan bantuan Ayana, masalah
beres-beres sepertinya akan segera selesai.
Aku selalu ingin meringankan
beban ibuku, jadi aku cukup pandang dalam melakukan pekerjaan rumah tangga,
tapi keahlian Ayana benar-benar mengagumkan.
“Ayana memang luar biasa. Kamu
cepat dan akurat dalam segala hal yang kamu lakukan.”
"Hehe♪ Aku selalu berkata
pada diriku sendiri bahwa ini adalah pelatihan untuk menjadi pengantin, dan aku
selalu menikmati dalam melakukannya. Aku melakukan semuanya agar aku tidak malu
sebagai istri Towa-kun♪”
Aku mohon padamu, tolong jangan
mengatakan hal yang memalukan seperti itu...
Aku tidak keberatan jika hanya
kami berdua, tapi saat aku menoleh ke arah ibuku lagi, dia terlihat
cengar-cengir kepada kami... Ya, ya, masa bodo. Kalau begitu, nikmatilah kami
sepuasnya!
“Towa sudah pasrah pada dirinya
sendiri♪”
“Oh?”
“……Maaf.”
“Oh! Akemi-san menyerah pada
kehebatan Towa-kun!”
“Kalau kamu sih sepertinya
sangat bersenang-senang ya Ayana!”
Aku tidak bisa berhenti
tersenyum...memang tidak bisa berhenti tersenyum, tapi aku sangat lelah!!
Setelah itu, aku dan Ayana dengan
rajin menyelesaikan pekerjaan rumah kami sambil diawasi oleh ibuku yang terlihat
bahagia.
Kemudian, aku menggendong Seina-san
yang tertidur.
“Haeuuppp.”
Itulah yang disebut gendongan
ala putri.
Terlepas ini solusi terbaik
atau tidak, kupikir akan lebih mudah bagiku untuk membawanya seperti ini
dibandingkan membiarkan para wanita yang melakukannya... Tapi, aku heran
mengapa Ayana dan ibuku memandang Seina-san dengan tatapan iri.
“Aku jadi iri......”
“Digendong ala putri oleh
Towa...itu memang bisa bikin iri.”
“......”
Seina-san rencananya akan tidur
di kamar ibuku.
Karena rencana yang begitu
mendadak, jadi kami belum bisa membersihkan kamar lain, selain itu….. mana
mungkin aku bisa membiarkan ibu dari pacarku tidur di sofa ruang tamu.
“Tunggu sebentar ya.”
Begitu aku sampai di kamar,
ibuku sudah menyiapkan kasur untuknya.
Karena seprainya baru saja
dicuci, jadi Seina-san seharusnya bisa tidur nyenyak tanpa masalah.
“Fiuh~. Aku mau tidur juga
ahh... Suu.”
“...Eh? Ibu sudah tidur juga?”
“...Suu...suu…”
Saat aku hendak membaringkan Seina-san
di atas futon, ibuku malah sudah tertidur dengan sangat cepat.
“Ini sih terlalu cepat...”
“Ini benar-benar keajaiban...”
Sangat sia-sia sekali menggunakan
kata “keajaiban” dalam situasi
seperti ini, Ayana-san.
Baik ibuku maupun Seina-san
langsung pergi tidur tanpa mandi. Mau bagaimana lagi karena mereka bahkan tidak
mengganti pakaiannya, tapi apa yang bisa kukatakan...Aku akhirnya bisa
mengambil pelajaran bahwa beginilah nasib dari orang-orang yang mabuk karena mengonsumsi
alkohol.
“Hei, Ayana.”
“Ya?”
“Saat kita dewasa nanti, kita
harus berhati-hati saat minum alkohol, oke?”
“...Hehe, iya♪”
Sepertinya usia 20 tahun untuk
bisa minum alkohol masih terasa jauh.
Ketika aku membayangkan
hari-hari dimana aku akan minum bersama gadis ini, yang lebih penting dari
apapun dan paling aku sayangi... haha.
“Apa ada yang salah?”
“Tidak, hanya saja aku sedang
membayangkan diriku bisa minum alkohol bersama Ayana. Aku penasaran apa kita
berdua masih tetap jatuh cinta meski kita sudah setua itu.”
“Kalau itu sih tentu saja!”
Tampaknya dalam diri Ayana sudah
ada kepastian bahwa hubungan kami tidak akan pernah berubah.
“Kelihatannya sudah tidak ada
tugas lain yang perlu kita lakukan, ya?”
“Benar. Yah kurasa sisanya
tinggal mandi dan tidur doang.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau
kamu ikut denganku? Ayo kita mandi bareng~♪”
“Oke.”
Dia bilang sudah waktunya
mandi, Bu.
Bukankah pacar dan calon
istriku itu manis sekali!
“Towa-kun, wajahmu kelihatan
cengar-cengir loh?”
“Itu sih karena aku sedang memikirkan
Ayana.”
“Kalau gitu tolong pikirkan aku
terus~♪”
Ya, sejujurnya aku berpikir
bahwa dia begitu manis ketika melihat senyuman yang dia tujukan padaku.
Setelah itu, kami berdua mandi
bersama, dan yah bisa dibilang kami sedikit berkeringat
meskipun itu adalah tempat untuk membersihkan badan. (TN: IYKWIM :v)
“Fiuh, aku merasa segar.”
“Rasanya sangat menyenangkan dalam artian banyak hal♪”
Ah~...yah, ada benarnya sih.
Kami berdua sangat puas dengan
hari ini hingga kami bahkan tidak bahwa malam kami masih jauh dari selesai.
“Hoaammm...”
“Kamu ngantuk? Mau langsung
tidur?”
Ayana mengangguk dan perlahan-lahan
berbaring di tempat tidur.
Bahkan saat dia menatapku dalam
keadaan seperti itu, kelopak matanya hampir terpejam, jadi aku tahu kalau dia
sangat mengantuk.
“Kamu boleh langsung tidur,
kok?”
“Enggak mau...aku tidak ingin tidur
tanpa kehangatan Towa-kun.”
Baik cara dia mengatakannya
maupun kata-kata yang sebenarnya dia ucapkan sangatlah lucu, tapi dia sudah
memejamkan matanya.
“...Suu...suu….”
“Lah, akhirnya kamu tidur
duluan?”
Bukannya kecepatan tidurnya
hampir sama dengan yang dilakukan Ibu tadi?
Aku memandangi wajah Ayana yang
tertidur sebentar, tapi seolah-olah dia sedang mencoba membujukku, aku perlahan-lahan
mulai mengantuk, jadi kupikir aku akan tidur juga.
Saat aku merangkak ke tempat
tidur agar tidak membangunkan Ayana, dia justru memelukku dengan erat,
seolah-olah aku adalah bantal yang sempurna.
“...Ehehe♪”
Ayana menyeringai padaku,
menempelkan wajahnya di leherku dan menjilatnya dengan lidahnya.
Ayana menjerat kakiku seolah
mengisyaratkan kalau dia sudah menutup jalan keluarku sepenuhnya dan dia masih
tidak berhenti menjilatiku seolah-olah dia akan melakukan apapun yang dia
inginkan.
“Ayana?”
“......”
“Kamu masih bangun, bukan?”
“Ara, aku sudah ketahuan ya?”
Kemampuan aktingnya sungguh
luar biasa karena aku berpikir kalau dia benar-benar sudah tertidur.
Dia membuka matanya dan terus
tersenyum ...... tetapi dia dengan cepat menutup matanya lagi dengan wajah
mengantuk.
“Tapi... sepertinya aku sudah
mencapai batasku. Kali ini aku benar-benar mengantuk.”
“Oh, seriusan nih?”
“Iyaahh…Aku menahan diri karena
ingin mengerjaimu, tapi aku tidak bisa melakukannya lagi.”
Setelah dia mengatakan itu,
kira-kira sekitar 30 detik sudah berlalu?
Ayana akhirnya mulai menarik
napas dalam-dalam, dan kali ini sepertinya dia benar-benar sudah tertidur
dengan nyenyak.
“Hari ini memang ada banyak hal
yang terjadi, tapi untuk sekarang...Selamat malam, Ayana.”
Tentu saja tidak ada jawaban
darinya.
Saat Ayana tertidur dengan
nyenyak, aku merangkul bahunya dan menariknya ke badanku seraya memejamkan mataku
untuk menikmati dan merasakan kehadirannya sebisa mungkin.
▽▼▽▼
“...Fiuh, the ini rasanya
enak.”
Ketika aku bangun tidur, hari
sudah pagi! Atau itulah yang kuharapkan, tapi aku malah baru terbangun di
tengah malam.
Aku sebenarnya bisa kembali
tidur, tetapi tenggorokanku sedikit haus, jadi aku melepaskan diri dari
kekangan Ayana dan akhirnya minum teh di ruang tamu.
“Ternyata itu bukan mimpi...
haha.”
Saya ingat peristiwa hari
ini... Tanggalnya sudah berubah dan sudah menjadi kemarin, tapi aku hanya bisa tersenyum ketika mengingatnya.
Baru beberapa hari yang lalu,
aku berhasil berdamai dengan Seina-san, ibu Ayana, dan aku juga bisa mengobrol
lancar dengannya... Semuanya berjalan begitu baik sehingga aku takut sesuatu
akan terjadi.
“Hmm?”
Aku sedang memikirkan hal ini
dalam diam ketika aku mendengar suara datang dari lorong dan membuatku menegang.
“...Lah, aku ngapain sih?”
Aku tertawa kecil mendengar
suara itu, karena berpikir bahwa Ayana, Ibu, atau Seina-san saja yang mungkin
satu-satunya ada di sana.
Aku juga mempertimbangkan
kemungkinan bahwa Ayana telah menyadari kepergianku dan turun dari lantai dua,
tetapi sepertinya bukan itu yang terjadi.
“Seina-san?”
“Oh, Towa-kun...?”
Ketika aku menatap ke lorong,
di sana ada Seina-san.
Apa dia sedang dalam perjalanan
pulang dari kamar mandi? Yah, aku tidak ingin menanyakannya karena dia seorang
wanita, tetapi agak canggung bertemu di tengah malam seperti ini... Bagaimana
seharusnya aku melanjutkan percakapan?
Rasanya seperti pengulangan ketika
aku pergi ke rumah Ayana... Tapi kali ini, Seina-san yang memulai percakapan.
“Kamu juga kebangun, Towa-kun?”
“Oh... ya. Aku merasa haus.”
“Oh begitu. Aku bangun karena
ingin ke kamar mandi.”
“Oh, begitu ya.”
“Ketika aku bangun, aku sempat
bingung sesaat karena tidak tahu aku berada di mana. Tapi saat aku
melihatnya...wajah Akemi, aku jadi ingat semuanya.”
Akemi... Aah, begitu ya.
Kalau dipikir-pikir, ibuku dan
Seina-san juga mulai saling memanggil dengan nama mereka sejak awal... Ketika
kudengar lagi, aku merasa senang bahwa mereka berdua benar-benar menjadi akrab.
“Ibu dan Seina-san sepertinya
benar-benar akrab sekarang, aku jadi sangat senang.”
“...Aku juga kaget dengan
seberapa baik aku menerima Akemi. Aku merasa kalau dia juga menerimaku dengan
baik.”
“Bukannya itu karena kepribadian
Seina-san?”
“Tolong hentikan. Semua orang
tahu bahwa kepribadianku buruk, termasuk kamu, Towa-kun.”
“Tolong jangan mengatakan hal
yang membuatku kesulitan untuk menjawabnya...”
“Maaf. Aku hanya merasa senang bisa
berbicara denganmu, Towa-kun.”
Bagi orang yang diberi lelucon
yang merendahkan diri sendiri, hal tersebut justru membuatku merasa cemas!
“Apa kamu tidak haus,
Seina-san? Mau minum teh bersama?”
“Bolehkah? Kalau begitu, aku
akan minum satu gelas.”
“Oke akan segera kusiapkan!”
“Fufu, apa maksudnya itu?”
Aku menuangkan teh jahe ke
dalam gelas dan memberikannya kepada Seina-san yang tersenyum-senyum.
“Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Sena-san menerima cangkir itu
dan dia meminum semuanya sekaligus.
“Kamu meminumnya dengan enak
sekali, ya.”
“Seharusnya perutku sudah
keroncongan... tapi sekarang aku merasa baik-baik saja. Tapi aku takut saat
bangun tidur nanti pagi.”
“Oh, apa itu karena efek
mabuk?”
“...Kalau benar begitu, kira-kira
sudah berapa lama terakhir kali aku mabuk ya?”
Ternyata dia jarang sekali
minum minuman keras...
Jika besok dia merasa buruk, aku
ingin melakukan sesuatu... tapi sayangnya, dari pengalaman melihat ibuku yang
mabuk, sepertinya tidak ada yang bisa kulakukan.
['Uboah...
Towa... tolong aku.']
[Tidak
bisa.]
Pertukaran kata seperti itu
pernah terjadi beberapa kali... ya.
“Aku akan mengambil gelasnya,
ya?”
“Aku benar-benar sudah
merepotkanmu.”
Seina-san menatapku dengan
saksama saat aku menerima cangkir dan mencucinya.
Dia hanya menatapku tanpa
melakukan atau mengatakan apapun, jadi aku sedikit kesulitan untuk
menanggapinya... tapi tidak buruk. Karena tatapan matanya begitu lembut.
“Baiklah, sudah selesai.”
Setelah aku selesai mencuci
gelas, Seina-san berdiri di dekat jendela.
Aku juga bisa melihatnya saat
berada di dalam kamarku, tapi hari ini bulan purnama yang indah mengambang di
langit, dan bersama bintang-bintang di sekitarnya, membuatku ingin menikmatinya
sejenak.
“Indah sekali...”
“Iya... bulan malam ini
terlihat sangat indah.”
Apa ada makna tersembunyi yang tersirat
dalam kata-katanya...?
Saat aku meliriknya dan pandangan
mataku bertemu dengan tatapannya, Seina-san tersenyum polos, seolah dia merasa
senang bahwa leluconnya berhasil, tapi senyuman itu terlihat sangat mirip
dengan senyum Ayana.
(...Dia benar-benar cantik saat tersenyum.
Sampai pada titik ini, ekspresi yang dulu pernah menatapku dengan tatapan tajam
itu terasa sangat langka)
Kecuali saat aku dihina di
jalanan?
Perbedaan antara waktu itu dan
sekarang begitu besar... Sepertinya aku bisa percaya jika dikatakan bahwa
mereka adalah orang yang berbeda... Tapi setelah berinteraksi dengannya seperti
ini, aku mengerti bahwa inilah wajah asli dari Seina-san.
“Towa-kun.”
“Ya?”
“Terima kasih atas hari ini.
Aku juga akan mengatakan hal yang sama kepada Akemi besok, tapi hari ini adalah
hari yang bahagia dan menyenangkan bagiku setelah sekian lama.”
“Haha, aku merasa senang jika
Seina-san mengatakan hal seperti itu.”
Dan yang terpenting, mendengar
kata-kata seperti itu adalah kebahagiaan bagiku.
Kejadian kali ini adalah hasil
dari kebetulan yang dibawa oleh ibuku... tidak, mungkin ini adalah sesuatu yang
seharusnya terjadi. Tapi untuk hal ini, aku hanya bisa bersyukur kepada ibuku.
“Aku ingin... bisa menghabiskan
waktu seperti ini lagi.”
“Kamu bisa melakukannya
sebanyak yang kamu mau, Seina-san. Aku akan meneleponmu lagi kapan saja, jadi
silakan datang.”
Setelah aku mengatakan itu
padanya, mata Seina-san berkedip, dan dia menutup matanya dengan tangannya dan
membuang muka.
Aku memilih untuk tidak berkata
apa-apa dan menunggu Seina-san tenang, dan ketika dia akhirnya mengangkat
wajahnya, aku melanjutkan perkataanku.
“Jika aku tidak melakukan
apapun, mungkin kita tidak akan pernah berbicara seperti ini dan hubungan kita
akan tetap buruk... itulah sebabnya, aku sangat senang kita bisa saling
memahami... Aku bahkan merasa puas dengan diriku sendiri karena berhasil
melakukannya.”
“Apa kamu begitu ingin rukun
denganku?”
"Tentu saja!”
“Ka-Kamu sampai mengatakannya
dengan sangat tegas...”
Seina-san melangkah mundur
dengan kaget karena momentumku, tapi aku hanya ingin menunjukkan kepadanya
kalau aku mempunyai semangat seperti itu... Yah, selama aku tidak terlibat,
memang benar aku berpikir itu baik-baik saja, tapi untuk itu... Kurasa aku juga
sedikit takut.
“Boleh aku memegang lenganmu
sebentar?”
“Hah?”
“Enggak boleh?”
“Ehmm... tidak apa-apa sih.”
Meski aku sempat bingung, tapi aku
membalasnya dengan mengangguk, dan pada saat itu Sena-san merangkulku.
Sensasi bahagia yang luar biasa
terasa lembut saat dia memeluk erat tanganku di dadanya.
Sambil mengangguk dengan antusias,
Seina-san berkata, “Kamu terlihat seperti anak laki-laki yang bisa diandalkan.
Aku bisa memahami kenapa Ayana begitu terpesona padamu.”
“Apa aku boleh percaya diri?”
“Towa-kun yang selalu ada di
samping Ayana adalah sosok yang penuh percaya diri. Aku harap kalian berdua
bisa terus maju sampai ke jenjang pernikahan.”
“Pernikahan...”
Meskipun hal semacam itu masih terlalu
cepat, tapi aku tidak bisa menahan diri untuk membayangkan masa depan seperti
itu. Terkadang aku juga membayangkan bagaimana rasanya jika Ayana mengenakan
gaun pengantin.
“Jika memang begitu, Towa-kun
akan menjadi putra, ‘kan?”
“Dan Ayana akan menjadi putri
ibuku.”
“Ini sama-sama menguntungkan!”
“Kamu sangat bahagia ya,
Seina-san?”
“Tentu saja aku angat bahagia!
Ah, aku harap waktu itu segera datang!”
Aku berkata bahwa ‘meskipun itu tidak mungkin dalam beberapa
tahun ke depan, tapi suatu saat nanti aku ingin mewujudkannya’.
Setelah itu, seolah-olah aku
sudah lupa kalau hari sudah larut malam, aku menghabiskan waktu lama bersama
Seina-san sambil menikmati pemandangan langit malam, dan selama itu aku sekali
lagi memikirkan betapa berharga dan membahagiakannya saat ini.
(Satu
tindakan bisa mengubah segalanya... itulah kehidupan, tetapi kita juga bisa
menuju masa depan terbaik yang kita inginkan. Tidak selalu buruk dan menyakitkan...
kita bisa menciptakan sendiri masa depan yang bahagia)
Ketika memikirkan masa depan,
aku merasa masih ada sesuatu yang akan terjadi... Aku bisa mengatakannya dengan
yakin kalau itu pasti akan terjadi.
Aku tidak ingin terlalu percaya
diri tentang hal semacam ini, tapi aku yakin bisa menghadapinya dengan percaya
diri.
"Hmm~... Tapi aku benar-benar
tidak menyangka bisa berhubungan akrab dengan Akemi. Pada saat itu, dia
dipanggil 'Putri Yasha' dari Jalan 3.”
“Apa-apaan dengan julukan aneh
itu?”
“Itulah julukannya sewaktu
masih SMA dulu. Julukan yang mengesankan, bukan?”
Putri Yasha dari jalan 3... Aku
merasa agak khawatir dengan perbedaan yang begitu besar antara bagian sebelum
dan sesudah menikah... Jadi begitu rupanya.
“Ibu... Dia dipanggil Yasha.
Dan bahkan dipanggil 'Putri' juga.”
“Oh, kamu tidak tahu?”
“Aku bahkan baru pertama kali
mendengarnya ... Mungkin Ayana juga tidak tahu julukan itu."
“…Mungkin akan lebih baik jika aku tidak mengatakannya.”
Mungkin benar.
Mungkin lebih baik jika aku
tidak mengetahuinya...?
“Mengapa tidak mencoba bertanya
padanya? Tentang julukan 'Putri Yasha
dari Jalan tiga'?”
“Kira-kira dia akan menangis
enggak, ya?”
“Mungkin dia akan menangis
karena malu.”
Kupikir aku tidak perlu
menanyakannya, tapi sekarang setelah aku menemukan sesuatu untuk diolok-olok, jadi
kupikir rasanya akan menarik untuk menanyakan hal itu kepada Ibu secara
mengejutkan.
“...Hah!”
“Apa?”
Aku segera menoleh ke belakangku.
Pada saat seperti ini, aku
merasa seperti Ayana berdiri di belakang saya, jadi aku berbalik, tapi tidak ada
siapa-siapa di sana, jadi aku merasa lega.
Saat aku menceritakan hal ini
kepada Seina-san yang terkejut, dia tertawa terbahak-bahak sambil memegangi
perutnya seolah dia sangat terhibur.
“Hahaha! Mana mungkinlah...
tapi kedengarannya sangat menarik karena hal itu sangat mungkin terjadi!”
“Benar juga... hah!”
“Hah!”
Pada kenyataannya, ada pola
kami sedang diintip saat sedang bercerita seperti ini!?
Setelah berpikir demikian, aku
kembali memalingkan pandanganku, dan kali ini Seina-san juga ikut-ikutan
tertawa dengan tindakan yang sama.
“Ayana, dia tidak di sini, ya?”
“Dia memang tidak ada di sini.”
Setelah mengatakan itu, kami berdua
sama-sama tertawa dan memutuskan untuk tidur.
“Kalau begitu, Towa-kun, sampai
jumpa besok.”
“Ya. Sampai jumpa besok.”
Saat kami hendak berpisah, Seina-san
berhenti dan menanyakan pertanyaan ini padaku.
“Hey Towa-kun... apa bau
penuaanku memang separah itu?”
“..........”
Ayana, sepertinya ibumu benar-benar
kepikiran dengan perkataanmu, lo.