Chapter 5
Itu adalah momen yang memang
sudah ditakdirkan terjadi.
“Karena dirimu, Ayana pergi...!
Karena dirimu... karena dirimu!”
Aku masih memiliki kenangan itu
saat menjadi Towa.
Ketika aku memimpikan masa lalu
yang dialami Towa bersama dengan kenangannya, aku tidak pernah…..aku tidak
pernah melihat ekspresi kebencian dari dalam diri Shu.
Namun saat ini, ia memelototiku
seolah-olah sedang melihat musuh bebuyutannya.
(Rasanya
seperti sekarang memang sudah waktunya... tetapi ini adalah kesempatan yang pas.)
Aku hanya membalas tatapan
mata dinginnya dan menatapnya kembali.
Aku takkan lari atau
bersembunyi—jadi, Shu, bagaimana kalau kita berbicara sebentar?
▽▼▽▼
“Belakangan ini, Otonashi-san
nampaknya sangat bahagia dan banyak tersenyum, ya?”
“Apa maksudmu dengan itu? Apa
kamu mengincarnya!”
“Aku tidak bermaksud begitu!
Jadi cepat singkirkan tatapanmu yang menakutkan itu!”
Apa maksudnya dengan “tatapan menakutkan”? Aku bukanlah
prajurit berpengalaman atau semacamnya.
Aku memalingkan pandangan dari
Aisaka yang tiba-tiba saja mulai bicara hal-hal yang tidak jelas, dan fokus
untuk menghilangkan ‘kotoran’ dari
tubuh—jangan memaksaku mengatakan itu, aku hanya pergi ke toilet.
“Fyuuh...”
Setelah beberapa saat, aku
meninggalkan toilet dengan perasaan lega.
Aisaka berjalan di sebelahku,
tapi ia hanya mengikutiku saat aku pergi ke toilet... Meski begitu, aku
penasaran mengapa ia berpikir seperti itu tentang Ayana.
“Jadi, kenapa kamu menganggap
Ayana seperti itu?”
Sebelum masuk ke dalam kelas,
aku berhenti sejenak dan bersandar di dinding, lalu bertanya demikian.
“Yahh, bukan karena aku terus
memperhatikannya atau semacamnya, tapi Otonashi-san yang berada di dekat
Yukishiro terlihat selalu tersenyum seperti biasa, tapi minggu ini dia terlihat
lebih ceria dari biasanya.”
“Hm...”
“...Kurasa itu bukan sesuatu
yang harus kukatakan, maaf jika aku terlalu lancang.”
“Tidak, tidak, kamu tidak perlu
meminta maaf segala. Tapi begitu ya... jadi dia terlihat seperti itu?”
“Dari sikapnya tadi...?”
Meskipun aku tidak langsung
memeriksanya dengan Ayana, tapi aku masih bisa menebak alasan di balik
sikapnya.
Pertama-tama, akulah yang lebih
cepat menyadari perubahan suasana hati Ayana daripada orang lain.
“Yah, bisa dibilang memang ada
sesuatu. Bagi diriku dan Ayana, ada masalah yang ingin kami selesaikan, dan
akhirnya kami berhasil menyelesaikannya dengan benar.”
Ya—masalah keluarga telah
terselesaikan.
Beberapa hari telah berlalu
sejak saat itu, dan aku bahkan melihat ibu berbicara dengan Seina-san di
telepon di malam hari. Itu membuktikan bahwa kejadian itu bukanlah mimpi atau
khayalan.
“Aku tidak bisa memberitahumu
detailnya, tapi senyum Ayana merupakan bukti dari itu semua."
Aku tersenyum dan menyampaikan
hal tersebut.
“Begitu ya... kalau gitu kurasa
aku tidak perlu bertanya lebih lanjut! Jika Yukishiro dan Otonashi-san
tersenyum, aku juga merasa bahagia sebagai teman kalian!”
Nih orang... ia benar-benar memiliki
kepribadian yang baik.
Aku pernah mendengar kabar
bahwa ia diharapkan menjadi kapten tim bisbol berikutnya, dan Mari terlihat
senang ketika membicarakan Aisaka... dia benar-benar orang yang baik.
“Aisaka benar-benar orang yang
baik, ya.”
“Ada apaan sih, mendadak bilang
begitu.”
“Yah santai saja. Lagipula,
seharusnya aku yang bilang 'mendadak'
itu, ‘kan? Belakangan ini kamu terlalu sering mengucapkan kata-kata yang
ketinggalan zaman, tahu?”
“Eh? Apa iya...?”
Ya, kurangnya kesadaran dirimu
benar-benar membuatku kesulitan.
Aku tersenyum getir saat Aisaka
menggosok-gosok kepalanya yang mungkin kasar dengan sehelai rambut, dan tadinya
aku ingin bertanya kepadanya mengenai Mari, tapi aku mengurungkan niatku.
(Selain
itu, ada percakapan dengan Ayana juga.)
Ini bukan topik pembicaraan
yang ingin kusentuh.
Aku yakin kalau Mari masih
memendam perasaan terhadap Shu, dan meskipun aku tidak berpikir ini akan
berubah segera... tapi jika ada perkembangan, tampaknya perubahan Aisaka yang
begitu jelas tidak akan terlewatkan, jadi aku akan menikmati proses ini dengan
sabar.
“Eh, kenapa wajah senyam-senyum
begitu?”
“Bukan apa-apa, aku cuma sedang
memikirkanmu.”
“...Eh?”
“Jangan terlalu terkejut dengan
kebodohanmu.”
“Itu hanya bercanda, bercanda.”
Aku akan terkejut jika reaksi
aneh ditunjukkan olehnya.
Setelah itu, aku masuk ke dalam
kelas bersama Aisaka, dan seperti biasa, Ayana langsung berjalan mendekatiku.
“Selamat datang kembali,
Towa-kun.”
“Aku pulang, Ayana.”
“Oh, percakapan kalian
kedengaran seperti pasutri saja!”
“Kami memang suami istri, kok?”
Ups, sepertinya komentar Aisaka
telah memicu reaksi aneh dari Ayana.
Jawaban bangga Ayana membuat Aisaka
menatap ke arahku, tapi aku memutuskan untuk tidak bereaksi dan hanya
memperhatikan perkembangan situasi dulu.
“Tidak hanya Aisaka-kun, tapi
aku juga menyembunyikannya dari teman-temanku bahwa aku dan Towa-kun sudah
menikah.”
“…Eh? Otonashi-san? Apa yang
sebenarnya kamu katakan—”
“Aku benar-benar minta maaf. Tentu
saja, menikah saat masih bersekolah SMA akan menimbulkan berbagai masalah, jadi
ini adalah hal yang… Ah, maaf! Aku terlalu senang dan keceplosan begitu saja.”
“Eh…? Eh…?”
Hmm? Apa-apaan dengan suasana
ini?
Perlu diingat bahwa percakapan
aneh ini tentu saja hanya terjadi di antara kami bertiga, dan tidak
mungkin teman sekelas di sekitar kami bisa mendengarnya karena kebisingan yang
terjadi.
Tentu saja Ayana pasti sudah
memperhitungkannya, tapi… Apa-apaan ini?
(Padahal
Ayana mengatakannya dengan bercanda… tapi reaksi Aisaka…)
Dasar Aisaka….. bukannya ia
terlalu memaksa untuk mempercayai kebohongan Ayana?
Ekspresi Ayana masih kelihatan
tenang dan penuh keyakinan… dan mungkin karena hal itu, Aisaka tampaknya hampir
mempercayainya meski hal tersebut seharusnya jelas-jelas tidak mungkin..… ia
sungguh bodoh.
“Lihat, sudah ada cincin di
jariku.”
Ayana menunjukkan jarinya——tentu
saja, tidak ada cincin di sana.
“Tidak ada sama sekali, kok…?”
“Eh… Kamu tidak bisa melihatnya?
Aku diberitahu kalau cincin ini tidak bisa dilihat oleh orang yang berpikiran
kotor… Jangan-jangan Aisaka-kun, kamu…?”
“A-Apa aku orang yang begitu!?”
Dasar bodoh… Kebodohannya
sampai-sampai tidak bisa tertolong.
Yah aku juga terkejut dengan
konsep cincin tak terlihat itu, dan tidak pernah menyangka kalau Ayana akan
membuat lelucon seperti ini... atau mungkin, kemampuan Ayana untuk membuat
lelucon sebesar itu menunjukkan kalau suasana hatinya sedang sangat bagus.
“Ap-Apa kamu bisa melihatnya,
Yukishiro?”
“…Ahh~…”
“Towa-kun.”
Aku merasa kalau Ayana ingin
aku mengikuti candaannya, jadi aku balas mengangguk.
Setelah Aisaka melihat ke
arahku dan bergumam “Seriusan?”
dengan ekspresi yang serius, ia dengan hati-hati mengajukan permintaan.
“Umm….bo-boleh aku menyentuh
tanganmu sebentar, Otonashi-san?”
“Tentu saja. Aku tidak
keberatan.”
Aisaka perlahan-lahan menyentuh
jari manis Ayana... di tempat yang Ayana tunjukkan sebelumnya.
Ia berusaha untuk tidak
membuatnya merasa tidak nyaman karena menyentuh jari wanita, dan Ayana
tampaknya tidak merasa tidak nyaman karena dia juga mengizinkannya.
“…Hei, Yukishiro.”
“Yeah?”
“Beneran ada... Aku bisa
merasakan cincin itu!”
Baiklah, ia benar-benar orang
idiot tulen.
Setelah percakapan sampai pada
titik ini, Ayana akhirnya berhenti menggoda Aisaka, tetapi sebenarnya dia
tampaknya tidak bisa menahan tawa karena melihat reaksi Aisaka.
“Pfufufu….Hahahaha... Maafkan
aku, Aisaka-kun. Semua yang kukatakan tadi adalah bohong.”
“Lagi-lagi! Itu pasti bohong, kan?
Habisnya aku bisa merasakan sensasi cincin di jarimu tadi, loh?”
“…Aisaka-kun? Apa kamu masih
ngelindur?”
Walaupun dia sendiri yang
memulainya, tapi Ayana justru semakin khawatir.
Rupanya Aisaka benar-benar
mempercayainya, dan meskipun aku merasa dia benar-benar bodoh karena itu, tapi
kemampuan Ayana untuk membuatnya percaya hanya berdasarkan suasananya saja...
mungkin dia bisa sukses di bidang itu juga?
“Sialan~! Aku benar-benar
tertipu...”
“Aku benar-benar maaf. Aku
tidak pernah menyangka kalau kamu akan percaya begitu saja.”
“Kamu tidak perlu minta maaf.
Ini hanya karena aku terlalu bodoh.”
Daripada dibilang terlalu
bodoh, kupikir seharusnya ia perlu lebih curiga terhadap orang lain.
Tapi... mungkin aku merasa
sedikit lelah setelah melihat pertunjukan yang tidak akan pernah aku lihat
sejak pagi.
Setelah itu, waktu berlalu
dengan cepat dan sudah waktunya jam istirahat siang.
Setelah selesai makan siang
bersama Ayana, aku memberitahunya beberapa patah kata dan keluar dari kelas.
“...Hm?”
Pada saat itu, tampaknya Shu
juga keluar dari kelas mengikutiku.
Sekarang... tujuan awalku
sebenarnya ingin menggunakan toilet, tapi mungkin akan sedikit canggung jika
Shu juga ingin ke sana?
Setelah berpikir begitu, aku
memutuskan untuk melewati kamar kecil, tapi Shu masih tetap mengikutiku.
...Eh? Apa? Apa ia ada urusan
denganku?
“………”
Jika memang begitu, ini bisa
menjadi kesempatan bagus—tentu saja, mungkin Shu memiliki urusan lain yang
harus dilakukan, tapi aku memutuskan untuk menahan keinginan ke toilet dan
menuju ke atap yang seharusnya sepi pada saat itu.
Aku dan Shu akhirnya tiba di
atap, tapi sesampainya di sana, Shu terus menunduk tanpa mengatakan apapun... Sejujurnya,
itu agak menyeramkan.
Beberapa puluh detik kemudian, ia
mengangkat kepalanya dan memelototiku......ia kemudian perlahan-lahan mulai
mendekatiku.
(Meskipun
ada pagar di belakangku, tapi ini jalan buntu)
Di sekeliling atap sekolah,
terdapat pagar pengaman untuk mencegah jatuh. Melihat sejarah sekolah SMA ini,
sepertinya tidak pernah terjadi kecelakaan malang seperti seseorang jatuh dari
atap, jadi aku merasa sangat lega.
….Yup, aku bisa membayangkannya
sedikit.
Pada saat ini, hubungan antara
diriku dan Shu sudah hancur berantakan, dan aku secara tidak langsung telah
merebut teman masa kecil yang dicintainya.
Oleh karena itu, aku dengan
tidak sopan memikirkan kemungkinan akan didorong dengan keras oleh Shu karena
ia mempunyai dendam kesumat padaku.
(Yah…. tapi sepertinya itu hanya ketakutan tak
berdasar.)
Kurasa aku tidak perlu
mengkhawatirkan hal itu. Shu memang mendekatiku sambil memelotot tajam, tetapi
ia berhenti ketika sudah mendekati jarak tertentu.
“..........”
“..........”
Ada keheningan yang terjadi di
antara kami.
Namun, sepertinya aku punya
sedikit waktu luang untuk memikirkan fakta bahwa akhir-akhir ini, aku tidak
melakukan apa-apa selain istirahat makan siang.
Karena diam-diam satu sama lain
hanya membuang-buang waktu saja, jadi aku mencoba memulai percakapan dengannya,
tapi pada saat itu—— Shu membuka mulutnya.
“Kenapa... kenapa kamu berbohong?”
“Berbohong?”
Aku bertanya balik dengan
tulus, tapi Shu malah memelototiku dengan lebih tajam.
“Bukannya kamu bilang kalau
kamu akan mendukung hubunganku dengan Ayana! Tapi kenapa kamu malah berpacaran
dengan Ayana!?”
“........”
‘Kupikir
ia ingin mengatakan apa, tapi ternyata masalah itu toh,’ Aku
menghela nafas ketika memikirkan hal tersebut.
Mungkin karena tidak terlalu
menyukai sikapku, Shu mencoba melangkah mendekat, tapi seolah ingin mematikan
kesempatannya, aku menjawabnya dengan tatapan serius.
“Aku sudah meminta maaf
mengenai hal itu selama panggilan telepon. Aku tahu kalau kamu selalu menyukai
Ayana, dan meskipun aku tidak menjawab saat di kamar rumah sakit, tapi aku
masih mengingat kalau aku memang mengangguk. Tapi aku juga menyukai Ayana...
itulah sebabnya aku menyampaikan perasaanku padanya dan menunjukkan tekad untuk
bersama-sama membangun masa depan.”
Hubungan seperti ini membuatku
terjebak dalam posisi sulit, meskipun hubungan kita tidak buruk.
Ada tiga teman masa kecil, dua
laki-laki dan satu perempuan... jika perasaan kami saling bersinggungan, maka
akan ada kehadiran yang tidak bisa disatukan... Akulah yang bersatu dengan
Ayana, dan takdir menentukan bahwa itu bukanlah Shu... Hah, mudah sekali untuk
mengatakannya, tapi sebenarnya sulit.
“Apa maksudmu dengan itu...?
Aku juga menyukai Ayana! Kami berdua selalu bersama... Jika aku yang
mengungkapkan perasaanku duluan, Ayana pasti akan….”
“Kamu berpikir Ayana pasti akan
menerimamu?”
“…...”
Shu menundukkan kepala sambil
menggigit bibirnya.
Aku mempertimbangkan semuanya
dan bertindak setelah mengingat semuanya, itulah sebabnya aku mengerti perasaan
Ayana... Aku juga ingin menunjukkan perasaanku dan memilih jalan ini.
Aku sangat mencintai Ayana dan
benar-benar ingin melindunginya.
Kata-kata yang aku sampaikan
padanya bukanlah janji untuk membuatnya bahagia, tapi cara hidup kami untuk
saling mendukung dan memberikan kebahagiaan satu sama lain.
“........”
Sebenarnya aku agak kesal
dengan ucapan Shu setelah memikirkan banyak hal.
Bukan karena perasaan Shu yang
bertepuk sebelah tangan pada Ayana, melainkan cara ia mengatakan sesuatu yang
selalu mengutamakan dirinya sendiri tanpa mempertimbangkan perasaan Ayana..
Aku pun tidak menganggap bahwa
pemikiranku selalu benar.
Meskipun aku merasa benar, ada
kemungkinan orang lain akan meragukan pemikiranku.
Namun demikian, aku ingin
menyampaikan kata-kata yang keras kepada Shuu.
Mungkin ada keretakan yang akan
membuat hubungan kami semakin memburuk, tapi aku tidak bisa berhenti sekarang.
“Shu, kamu tidak akan pernah
bisa membuat Ayana bahagia.”
Aku dengan jelas menyatakan
bahwa dirinya takkan mampu melakukannya karena dirinya tidak bisa melihat sifat
asli Ayana.
Shu tercengang sampai tak bisa berkata-kata
setelah mendengar ucapanku, namun segera ia kembali berbicara.
“Bagaimana kamu bisa tahu hal
itu!? Aku lebih mencintai Ayana daripada dirimu! Aku selalu bersamanya! Akulah
yang bisa membuatnya bahagia!”
Shu terus berteriak bahwa ia
mencintai Ayana seperti sedang meratapi keadaan yang tak bisa diubah.
“Karena dirimu, Ayana pergi...!
Karena dirimu... karena salahmu!”
“...Haaa.”
Tanpa sadar, aku menghela nafas
lagi.
Shu, apa kamu masih belum
menyadari hal ini? Memang benar kalau kamu mencintai Ayana dengan sepenuh hati,
tetapi kata-katamu tidak memperhatikan perasaannya... Bukankah semuanya hanya
tentang dirimu sendiri?
“Aku yakin... aku, lebih dari
dirimu, bisa membuat Ayana bahagia....huh…”
“Berhenti berbicara dengan
suara pelan seperti itu—”
“Jangan egois terus!!”
Akhirnya, sesuatu dalam diriku
benar-benar tersentak.
Aku mungkin pernah merasa emosi
yang kuat terhadap Shuu sebelumnya, tetapi ini mungkin pertama kalinya aku
merasa murka seperti ini.
“Sejak tadi, kamu hanya
memikirkan dirimu sendiri! Kamu sama sekali tidak mempertimbangkan perasaan
Ayana... Memangnya kamu pikir kebahagiaanmu sendiri juga akan membuat Ayana
bahagia!? Berhentilah menjadi egois!”
Aku terus meluapkan kemarahan
tanpa memberi kesempatan kepada Shu untuk menyela.
Mungkin Shu belum pernah
melihatku menunjukkan emosi sejelas ini sebelumnya. Aku pun tidak ingat pernah
melakukannya... Mungkin itulah sebabnya Shu hanya bisa terdiam.
Napasku sedikit
tersenggal-senggal karena aku mengucapkan kata-kata itu tanpa mengambil nafas....
Shu menggelengkan kepala dan dengan sedikit perlawanan, ia berkata dengan suara
pelan.
"Jadi... jadi menurutmu,
kamu bisa membuat Ayana bahagia!?”
Aku balas mengangguk tanpa ragu.
“Tentu saja. Aku pasti akan
membuat Ayana bahagia... Mungkin terdengar sombong untuk mengatakannya, tapi
aku memang memiliki tekad yang kuat untuk mewujudkannya.”
Dan aku juga akan bahagia di
sisinya... itulah yang aku inginkan.
Walaupun aku mampu
menyelesaikan sejumlah masalah, aku tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi
di masa depan.... hanya Tuhan yang tahu hal seperti itu.
Tapi itu tidak masalah.
Kami berdua akan saling
mendukung dan kami akan menjadi bahagia bersama—tekad itu tetap tidak akan
berubah.
“Bukan hanya salah satu dari
kami yang memberikan sesuatu secara sepihak...Kami saling mendukung dan terus
bergerak maju apa pun yang terjadi...Kami saling percaya dan kami berdua pasti
akan bahagia. Itulah tekad kami.”
“............”
Shu sepertinya tidak bisa
berkata apa-apa untuk membalasku, dan dirinya hanya menundukkan kepala tanpa
bergerak sama sekali.
... Kupikir suatu saat nanti
aku harus berbicara dengan Shu, tetapi setelah mendengar perkataannya, aku
malah menjadi emosi dan mengatakan semua yang ingin kukatakan.
Tapi aku tidak menyesalinya
sama sekali ... karena itu adalah sesuatu yang harus kukatakan.
“... Upss, kelihatannya istirahat
siang akan segera berakhir.”
Aku memeriksa jam di ponselku
dan menyadari kalau jam pelajaran berikutnya akan segera tiba dalam sepuluh
menit.
Setelah meihat Shu yang ada di
depanku, kurasa sepertinya ini adalah akhir dari percakapan kali ini ... Dalam
perjalanan kembali ke kelas, aku berbisik padanya saat melewati sampingnya.
“Jangan terlambat ke kelas.”
Aku tahu ia mendengarnya,
tetapi Shu sama sekali tidak menjawab.
Meskipun aku sudah mengatakan
semua yang ingin kukatakan, aku berharap bahwa ini bukanlah percakapan terakhir
kami ... Tapi mungkin itu hanya keinginan egoisku sendiri?
Saat aku masuk ke dalam gedung
dan menuruni beberapa anak tangga, tiba-tiba aku melihat seseorang yang tak terduga.
“... Ketua?”
Iori ... Ketua OSIS sedang
berdiri bersandar di dinding sambil menyilangkan tangan.
Mengapa dia bisa ada di sini
...? Wajar saja kalau aku mempertanyakan hal itu, tapi apakah dia mendengar
percakapan kami ...?
“Halo, Yukishiro-kun.”
“Oh, ya, halo.”
Sikapnya ... masih terlihat seperti
biasa.
Dia melirik ke arah tangga
tempat aku turun dan membuka mulutnya.
“Aku tidak bermaksud menguping.
Aku hanya kebetulan melihat kalian berdua dalam perjalanan pulang dari kamar
kecil.”
“Dengan kata lain, kamu
mendengar semuanya, ya...”
“Iya...aku sungguh minta maaf.”
“Tidak, tidak, Ketua tidak
perlu meminta maaf segala.”
Jika aku berada di posisinya,
aku pasti akan merasa penasaran juga... Dan ketika aku memberitahunya kalau aku
tidak merasa tersinggung karena kami sudah saling mengenal, Iori tersenyum
sambil mengatakan, “Syukurlah kalau
begitu”.
“Kamu memang luar biasa,
Yukishiro-kun. Kamu selalu mempertimbangkan masa depanmu dan memiliki pendirian
yang kuat. Kata-katamu yang mengatakan bahwa kamu akan membuat Otonashi-san
bahagia benar-benar menyentuh hatiku.”
“Apa itu menyentuh hatimu,
Ketua?”
“Memangnya itu salah? Aku tahu
ini terdengar aneh, tapi sebagai seorang wanita, itu membuatku berdebar-debar,
tau.”
“Benarkah?”
Aku mengalihkan pandanganku
karena terkejut oleh kedipan matanya yang tiba-tiba.
Aku sudah terbiasa melihat Ayana
yang cantik, tapi aku masih merasa tidak nyaman ketika dia melakukan hal
seperti itu dengan jarak yang begitu dekat... Itu membuatku merasa gugup.
“Merasa dihargai seperti itu
adalah sesuatu yang sangat membahagiakan. Tolong jaga Otonashi-san dengan baik,
ya?”
“Aku akan melakukannya tanpa
harus diingatkan.”
“Fufufu♪.”
Tentu saja, itu merupakan hal
yang wajar tanpa harus diingatkan oleh siapa pun. Bahkan ketika kami sedang
berbicara, Iori terlihat khawatir tentang apa yang ada di ujung tangga, jelas
sekali bahwa dia memedulikan Shu... tidak, dia hanya khawatir tentangnya.
“Kamu mengkhawatirkan Shu,
bukan?”
“….Ya, aku merasa kasihan
melihatnya dalam keadaan seperti itu. Meskipun aku merasa sedih melihatnya terus-menerus
terpaku dengan kepergian Otonashi-san, waktu yang telah aku habiskan bersamanya
tidak akan pernah hilang.”
Iori mengungkapkan perasaannya
dengan sangat sedih.
Keheningan yang agak canggung
berlanjut, tak satu pun dari kami mengatakan apa pun, dan Iori tersenyum kecil
seolah-olah ingin merubah suasana.
“Maaf ya kalau membuat suasananya
jadi aneh begini. Istirahat siang sudah selesai, bagaimana kalau kita kembali
ke kelas?”
“Benar juga. Oh iya.”
“Apa ada yang salah?”
Hal yang aku katakan mulai
sekarang bisa dikatakan bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan karena
situasi permainan sudah berubah... ini hanya sekadar kebaikan hati.
“Ketua akan melanjutkan kuliah,
bukan?”
“Ya, tapi... kenapa tiba-tiba
menanyakan itu? Aku tidak keberatan membicarakan hal seperti ini, tapi
sepertinya masih terlalu cepat untuk membicarakannya.”
“Yah, baiklah... ummm, aku
mendengar bahwa ada beberapa klub yang mencurigakan di universitas. Jadi, aku
hanya ingin mengingatkanmu untuk lebih berhati-hati.”
Meskipun tidak semuanya sesuai
skenario permainan, aku mendengar bahwa ada klub yang mencurigakan atau bahkan
berorientasi pada hal-hal yang tidak baik di dunia nyata... tapi entah mengapa,
Iori tampak terkejut mendengar hal itu.
“Umm...”
“...Aku penasaran mengapa kamu
tiba-tiba mulai membicarakan tentang universitas, tapi aku tidak pernah menyangka
kamu akan begitu mengkhawatirkanku.”
Benar
sekali, kataku dengan tersenyum masam sambil menggaruk-garuk
kepalaku.
Memang benar bahwa dari sudut
pandang Iori, dia akan terkejut jika seseorang mengatakan sesuatu seperti ini
secara tiba-tiba, dan aku sepenuhnya menyadari hal itu... Tidak aneh jika dia
mengatakan bahwa saya tidak bisa membedakan antara kenyataan dan khayalan.
Tapi tentu saja, aku masih
merasa khawatir.
“Hmm~... Aku senang kamu
mengkhawatirkanku, tapi sayangnya aku bukan tipe wanita yang mudah
dipermainkan, dan aku sangat berhati-hati dalam segala hal.”
Dia terlihat bangga dan tampil
dengan percaya diri, tapi penampilannya itu justru membuatku semakin khawatir.
Habisnya
kamu... dalam permainan, setelah mengatakan hal seperti itu di awal skenario,
adegan selanjutnya sudah berbeda.
“Lagian sedari awal, aku tidak
akan mendekati kelompok klub seperti itu, dan aku tidak berniat menerima
tawaran minuman alkohol. Yah, karena ini mengenai aku, aku yakin kalau aku
cukup kuat terhadap minuman beralkohol.”
Tidak,
kamu sangat lemah terhadap alkohol...atau lebih tepatnya, meskipun itu adalah
hasil dari bimbingan dan strategi Ayana, kamu bergabung dengan kelompok s*ks
bebas tanpa ragu-ragu......
Tanpa tahu apa yang kupikirkan,
Iori terus berkata dengan percaya diri.
“Jangan khawatir, aku bukanlah
wanita yang selemah itu!”
Dia mendengus dan menyatakan
itu dengan percaya diri... Tidak mungkin dia bisa diandalkan!
Berbeda dengan sikap kerennya
yang biasa, penampilannya yang penuh semangat dan percaya diri memberikan kesan
yang segar sekaligus imut, tetapi dengan tingkah lakunya yang memicu banyak
kejadian, bahkan aku yang ahli dalam hal ini juga tidak bisa mengatakan bahwa
semuanya baik-baik saja.
“... Kamu kelihatannya masih
tidak puas, ya.”
“Tidak... “
Aku secara refleks mengalihkan
pandangan dari Iori, tapi bukankah itu berarti aku mengakuinya?
Aku sangat menyadari bahwa
salah rasanya jika mencampur-adukkan permainan dengan kenyataan... tetapi
karena bayangan wajahnya yang tenggelam dalam kenikmatan birahi masih terbayang
di pikiranku, aku menjadi khawatir bahkan saat dia menunjukkan wajah yang penuh
percaya diri.
“Yukishiro-kun?”
“...Eh!?”
“Kamu sedang melamun, tau.”
“Maaf!”
Tidak baik, sepertinya aku
terlalu tenggelam dalam pikiran saya.
Sementara itu, jam pelajaran
sudah hampir dimulai, jadi kami memutuskan untuk kembali ke ruang kelas
masing-masing.
“Yukishiro-kun.”
“Iya?”
“Adapun mengenai Shu-kun... Aku
akan mencari jawabanku sendiri.”
“...Ya.”
“Dan juga terima kasih sudah
khawatir. Meskipun aku merasa baik-baik saja, tapi di dunia ini, ada banyak hal
yang tak terduga. Kata-katamu bukan hanya sekadar nasihat, tapi juga sesuatu
yang perlu benar-benar kuperhatikan.”
Dengan berkata demikian, Iori
berjalan pergi.
“...Aku tidak pernah menyangka
kalau dia akan mengatakan hal seperti itu.”
Hal yang aku minta hanyalah dia
harus lebih berhati-hati lagi... Kupikir awalnya dia tidak benar-benar serius,
tapi mengapa dia mengatakannya dengan serius pada bagian akhir?
“Hmm... Aku harus pergi ke
toilet! Harus cepat-cepat!”
Lebih baik tidak terlambat ke
kelas dan mendapat teguran dari guru.
...Tapi Shu, tuh anak masih belum
turun dari atap, bukan? Aku merasa sedikit khawatir, tapi pada akhirnya Shu
kembali tepat waktu sebelum pelajaran dimulai, jadi aku merasa lega.
Itulah yang kupikirkan berulang
kali, dan setelah aku bertahan melewati pelajaran yang membosankan setelah
siang hari….
“Yukishiro.”
“Hmm? Ada apa, Aisaka?”
Setelah jam wali kelas selesai,
Aisaka mendekatiku segera setelah guru meninggalkan ruang kelas.
Aisaka biasanya langsung pergi
ke kegiatan klub sepulang sekolah, tapi ia jarang sekali datang ke sini dan
mengajakku bicara seperti ini... bisa dibilang memang cukup jarang, iya ‘kan?
“Sebenarnya, hari ini kegiatan
klubku sedang libur. Jika kamu mau, aku berpikir kita bisa pergi ke suatu
tempat untuk bersenang-senang...”
“Hee~, tumben-tumbennya ada
libur dari kegiatan klubmu.”
Oh iya kalau tidak salah, tadi
pagi ada pengumuman yang mengatakan kalau ada meberapa pekerjaan yang dilakukan
oleh kontraktor di lapangan hari ini.... mungkin itu sebabnya.
Sepulang sekolah... akhir-akhir
ini aku biasanya selalu bersama Ayana.
Aku tidak punya banyak
kesempatan untuk bersenang-senang dengan Aisaka setelah sepulang sekolah karena
ia juga sangat sibuk dengan klubnya... Hmm, kira-kira aku harus bagaimana ya?
“Towa-kun, jika kamu ingin
pergi bersama Aisaka-kun, kamu boleh pergi kok.”
Ayana berkata begitu padaku
yang sedang bimbang.
“Eh, kamu yakin?”
“Ya. Akhir-akhir ini kita
selalu bersama... Oh, tentu saja, tidak peduli seberapa lama kita bersama,
perasaanku untuk selalu berada di dekat Towa-kun tidak akan goyah. Tapi, karena
Aisaka-kun sudah mengajakmu, alangkah baiknya jika kamu bermain bersamanya.”
...Benar juga. Karena Ayana sudah
mengatakan begitu, jadi hari ini aku akan pergi bersama Aisaka!
“Kalau begitu, aku akan pergi
bersama Aisaka. Bagaimana denganmu, Ayana?”
“Aku tidak punya rencana khusus,
jadi aku akan langsung pulang ke rumah. Jadi jangan khawatir. Bahkan nanti aku
akan mengirim pesan singkat sekali dalam sepuluh menit.”
“Ahaha... Enggak usah repot-repot
sampai segitunya, ‘kan?”
“Benarkah? Hmph...”
Mungkin Ayana yang merasakan
beban yang lebih berat, dan karena perasaan Ayana yang begitu dalam, itulah
sebabnya dia begitu perhatian.
Setelah berbicara sebentar
dengan Ayana, aku keluar dari gedung sekolah bersama Aisaka.
Begitu melangkah keluar,
rasanya agak sepi karena biasanya suara dari klub olahraga terdengar di sini...
sepertinya bukan hanya klub bisbol, tetapi klub sepak bola dan atletik juga
libur hari ini.
“Suasanya jadi kelihatan sepi
ya kalau klub olahraga yang biasanya aktif di luar sedang libur.”
“Iya sih... tapi, besok pasti
akan ramai lagi."
“Tapi di sisi lain, hal itu justru
membuat suasana jadi lebih tenang. Ketika aku keluar dari gedung sekolah dan
mendengar suara dari klub olahraga, aku merasa bahwa sekolah hari ini sudah
selesai.”
“Haha, kamu ngelantur apaan
sih.”
Ya sudahlah, begitulah adanya.
Kami berdua pergi ke kawasan
kota sambil bercanda seperti itu.
▽▼▽▼
(Sudut Pandang Ayana)
“Ahh~ ia beneran sudah pergi
ya...”
“Ah, kalau kamu mengeluh begitu,
seharusnya kamu tidak memberikannya pada Aisaka. Kalau pun mereka pergi
bermain, seharusnya kamu juga bisa ikut, Ayana.”
Ughhh... memang benar seperti
yang dikatakan Setsuna.
Sebenarnya aku berencana untuk
menghabiskan waktuku bersama Towa-kun hari ini juga, tapi karena Aisaka-kun
mengajak Towa-kun duluan, aku memintanya untuk memprioritaskan hal itu.
“Aku juga ingin ia selalu
memprioritaskanku. Tapi pertemanan juga sangat penting, jadi aku ingin Towa-kun
menghargai kesempatan ini.”
“Apakah begitu?”
“Iya. Itu sama seperti yang aku
rasakan terhadap Setsuna dan yang lainnya."
“Kugh... Ayana, jangan mengatakan hal seperti itu dengan ekspresi
yang membuat hati berdebar-debar bahkan pada sesama wanita!”
“Apa maksudmu...”
“Apa kamu bahkan berniat untuk
membuat wanita ikut tergoda juga!”
Sudah kubilang, apa maksudnya
itu...?
Memang benar Setsuna adalah
gadis yang menarik, tapi aku tidak bisa membayangkan hal seperti itu dengan sesama
jenis dan pada dasarnya aku juga tidak tertarik... Tidak peduli apapun
situasinya, satu-satunya orang yang aku cintai hanyalah Towa-kun.
... ..Ngomong-ngomong, aku
berpura-pura tidak melihat teman-teman yang lain menganggukkan kepala menanggapi
perkataan Setsuna!!
“Jadi, kamu mau bagaimana,
Ayana? Kamu bilang pada Yukishiro kalau kamu akan langsung pulang ke rumah.”
“Aku memang berniat begitu. Aku
akan segera pulang setelah menyelesaikan urusanku.”
Meskipun aku mengatakan 'urusan', sebenarnya itu bukanlah hal
yang besar.
Setelah sedikit memberi salam
kepada Setsuna dan yang lainnya, aku meninggalkan ruang kelas—— dan menuju
ruang OSIS dimana Honjou-senpai kemungkinan berada.
“.........”
Inilah 'urusan' yang kubicarakan.
Aku tidak dipanggil oleh Honjou-senpai,
dan aku juga tidak memiliki rencana jelas untuk mengunjungi tempat tersebut...
aku hanya merasa sedikit penasaran.
Mungkin karena aku mendengar
sesuatu dari Towa-kun saat istirahat makan siang tadi.
“Honjou-senpai... apa kamu ada
di sini?”
Jika
Honjou-senpai tidak ada di ruang OSIS, aku akan langsung pulang.
Sambil berpikir demikian, aku
mengetuk pintu, dan suara Honjou-senpai terdengar dari dalam.
“Silakan masuk.”
“.... Maaf sudah mengganggu.”
Hal pertama kali terlihat saat
aku membuka pintu adalah tumpukan besar dokumen di atas meja.
Honjou-senpai yang sedang
menangani tumpukan dokume sampai-sampai mampu membuat orang lain merasa muak,
terkejut saat melihatku datang berkunjung.
“Otonashi-san? Ada apa?”
“Maafkan aku karena tiba-tiba
datang.”
“Kamu tidak perlu meminta maaf.
Eh, apa jangan-jangan kita sudah punya janji atau semacamnya?”
Tampaknya Honjou-senpai mulai meragukan
dirinya sendiri bahwa dia mungkin telah membuat janji denganku karena
kedatanganku yang mendadak.
Hmm... sekarang aku merasa
bersalah karena mengunjungi tanpa alasan yang jelas... Aku harus menjelaskannya
terlebih dahulu.
“Aku belum membuat janji
khusus, jadi jika Senpai sedang sibuk, aku akan pulang saja... Aku hanya ingin
berbicara dengan Honjo-senpai sebentar.”
Sejujurnya, Honjou-senpai kelihatannya
terkejut lagi... Memangnya seaneh itu, ya?
"Ini bukan pertama kalinya
kamu datang ke sini, Otonashi-san, tapi kamu lebih sering untuk membantu
pekerjaanku. Meski begitu, kamu hanya ingin bicara denganku?”
“……Ya.”
“... Fufufu, ketimbang dibilang
tumben, mungkin ini justru pertama kalinya kamu datang dengan niat begitu. Tapi
baiklah, silakan duduk.”
Apa dia akan baik-baik saja
dengan tumpukan besar dokumen itu?
Mungkin dia menyadari bahwa aku
menatap dokumen dengan seksama, Honjou-senpai mengatakan bahwa dia baik-baik
saja dan tertawa. Dia juga mengatakan bahwa itu bukan sesuatu yang harus segera
ditangani, meskipun aku tidak yakin apa itu benar atau tidak, tapi itu
membuatku merasa lega.
“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?”
“..........”
Dengan meja di antara kami,
Honjou-senpai menatapku dari seberang meje.
Apa yang ingin kubicarakan...
apa yang seharusnya aku katakan?
“Aku benar-benar minta maaf.
Meskipun aku bilang ingin berbicara, tapi sebenarnya aku hanya merasa
penasaran.”
“Penasaran?”
“Ya. Aku mendengar tentang peristiwa
istirahat makan siang dari Towa-kun... dan...”
“Ah begitu rupanya~”
Honjou-senpai mengangguk
setuju.
“Jadi begitu. Apa maksudmu
tentang itu? Bahwa aku punya perasaan terhadap Shu-kun akhir-akhir ini, dan karena
itulah kamu merasa bersalah karena mempertemukan aku dengan dirinya?”
“Mungkin…”
“Begitu.”
Mungkin….. aku memang merasa
bersalah.
Awalnya, satu-satunya orang
yang ingin aku balas dendam adalah orang-orang yang menyakiti Towa-kun…….Tapi,
demi lebih menyiksa dan menyakiti Shu-kun lebih jauh, aku mulai melibatkan
Honjou-senpai dan Mari-chan.
Aku... Aku benar-benar hendak
melakukan hal yang mengerikan.
Aku tidak akan pernah melakukan
hal seperti itu lagi sekarang, tapi dulu, aku benar-benar berencana melakukan
hal yang mengerikan... Tapi, aku tidak bisa mengabaikan semuanya begitu saja.
Sebagai ganjaran atas niatku untuk bergerak maju, hubungan yang telah aku
siapkan menjadi semakin terdistorsi.
“... Fufu, aku tidak menyangka
bahwa kamu memikirkan hal seperti itu.”
“Aku...”
“Asal kamu tau saja, aku tidak
menyesal telah mengenal Shu-kun. Dan aku tidak ingin berpura-pura bahwa waktu
yang kuhabiskan bersama Shu-kun tidak pernah terjadi.”
Setelah mendengar kata-katanya,
aku menatap wajah Honjou-senpai.
Dia juga balas menatapku tanpa
mengalihkan pandangannya, dan dari pandangan matanya terpancar kehangatan yang
begitu lembut.
“Seperti yang kubilang pada
Yukishiro-kun, ada bagian dari diriku yang memikirkan Shu-kun akhir-akhir ini.
Apa yang dialaminya hanyalah patah hati... semua orang mengalaminya saat mereka
sedang jatuh cinta. Aku mengerti perasaannya, tapi sikapnya yang keras kepala
dan tidak mau menerima kenyataan seperti anak manja itu membuatnya terlihat
menyedihkan.”
“..........”
“Namun... bukannya berarti itu
akan menghapus kenanganku bersama Shu-kun sejauh ini. Pada awalnya, Otonashi-san
berdiri di antara kita dan menghubungkan kami... dan setelah itu, Shu-kun mulai
memperlakukanku apa adanya. Sederhana, begitu sederhana... bahkan terlalu
sederhana sampai-sampai hampir terasa memalukan, tapi aku suka menghabiskan
waktu dengan Shu-kun seperti itu.”
“Jadi... begitu ya.”
“Ya. Aku mungkin merasa tidak
enakan pada Shu-kun jika mengatakan ini, tapi mungkin aku hanya tertarik pada
pria yang sedikit tidak bisa diandalkan.”
Aku
benar-benar gadis yang bermasalah, begitulah kata Honjou-senpai
sambil tertawa.
Pria yang sedikit tidak bisa
diandalkan... mungkin tidak hanya sedikit, tetapi memang, Honjou-senpai selalu
terlihat senang ketika bersama Shu-kun.
Sebelumnya, aku tidak merasakan
apa pun saat melihat kedekatan mereka berdua... tetapi ketika aku mengingatnya
kembali, sepertinya Honjou-senpai benar-benar menikmati waktu tersebut.
“Jadi, meskipun ia terlihat
menyedihkan, meninggalkan semuanya dan mengucapkan selamat tinggal seperti itu
terlalu menyedihkan.”
“Benarkah begitu?”
“Yah, dengan menjaga jarak,
kupikir ia perlu waktu untuk menyembuhkan lukanya. Dan aku ingin ia
memikirkannya lagi— apa yang akan terjadi di masa depan jika dirinya tidak
berubah sekarang. Untungnya, sepertinya kata-kata Yukishiro-kun cukup
mempengaruhi Shu-kun.”
Aku tidak tahu apa yang
dikatakan Towa-kun, aku tidak tahu semuanya.
Namun, aku mendengar bahwa
setelah bertengkar dengan Shu-kun, ketika ia memberitahunya sesuatu tentang
masa depan, Shu-kun sepertinya tidak bisa membalas apa pun.
“Yukishiro-kun benar-benar
sangat mencintaimu sehingga ia bisa mengatakannya dengan begitu kuat,...
Sebagai seorang wanita, aku merasa iri dengan hal itu.”
“….Begitu ya?”
“Oh, wajahmu memerah, tau?”
“Ahh, Senpai mah cerewet ih.”
Ah... aku malah mengatakan dia
orang yang cerewet...
Honjo-senpai begitu terhibur
dengan reaksiku hingga dia tertawa dan mengganti topik pembicaraan—sepertinya
dia ingin membicarakan Towa-kun sekarang.
“Dia... Yukishiro-kun adalah
orang yang sangat aneh. Kata-katanya selalu begitu berkesan.”
“Aku juga merasakan hal yang
sama. Kata-kata Towa-kun sudah beberapa kali menyelamatkanku.”
Kata-kata Towa-kun begitu
berkesan bagaikan memiliki kekuatan khusus, perkataannya sangat mengena di hatiku.
Itu semua berkat Towa-kun yang
menyelamatkanku, mengubahku, dan membuatku melangkah maju, dan itu semua berkat
kata-kata yang dia berikan padaku.
“Apa kamu sudah mendengar apa
yang ia bicarakan denganku?”
“Hanya sedikit... tapi Towa-kun
bilang kalau itu hanya seputar percakapan sehari-hari.”
“Oh, begitu. Jadi kamu belum
mendengar tentang universitas?”
“Universitas?”
Aku penasaran apa Towa-kun
berdiskusi tentang universitas dengan Honjou-senpai?
Selain Honjou-senpai, Towa-kun
dan aku juga sama-sama khawatir tentang masa depan, tapi aku tidak bisa
menyangkal bahwa masih terlalu dini untuk membicarakannya.... Aku jadi sedikit
penasaran.
Pada awalnya, aku berpikir
mereka akan membicarakan tentang universitas mana yang akan dihadiri dan
jurusan apa yang akan dipelajari. Namun, pembicaraan dengan Honjou-senpai
justru membahas hal yang tak terduga.
“Aku mendengar ada beberapa
klub mencurigakan di universitas, jadi aku diberitahu untuk berhati-hati.”
“Klub yang mencurigakan?”
“Hmm... klub yang mungkin bisa
disebut ‘Yarisa’?” (TN: Yang nonton hentong pasti paham :v)
Yarisa...
dengan kata lain, klub yang tujuannya melakukan itu?
Pria-pria yang tidak baik...
tentu saja ada juga wanita, tapi aku juga mengetahui kalau klub semacam itu
beneran ada.
(...
Ugh tiba-tiba, aku merasa sedikit jijik karena itu pernah sesuai dengan
pemikiranku sebelumnya)
Entah mengapa, kurasa aku
mungkin pernah memikirkan hal itu sebagai rencana untuk menjebak Honjou-senpai
saat dia kuliah.
“Ahem... terus?”
Untuk saat ini, mari kita dengar
lanjutannya dulu.
“Aku memang terkejut saat ia
tiba-tiba mengatakan hal seperti itu Tapi kalau dipikir-pikir dengan
tenang, tidak mungkin aku mendekati klub mencurigakan seperti itu, dan bahkan
jika seseorang yang kukenal mengajakku, aku pasti tidak akan bergabung.”
“Tentu saja.”
“Benar, ‘kan? Jadi waktu itu
aku hanya tertawa... tapi... tapi, ya? Entah mengapa, aku tidak bisa
menertawakan kata-kata Yukishiro-kun...dan mengabaikan kekhawatirannya. Aku
tidak tahu mengapa perkataannya justru terus terngiang-ngiang di
kepalaku......Itulah sebabnya aku berpikir kalau dia sungguh orang yang aneh.”
“.........”
“Pada akhirnya, aku menerima
peringatannya dan memutuskan untuk berhati-hati agar hal itu tidak terjadi,
jadi aku berterima kasih kepada Yukishiro-kun dan berkata,—terima kasih, aku akan berhati-hati.”
Honjou-senpai pasti kebingungan
dengan nasihat mendadak Towa-kun... Namun, alasan dia bisa menerima
dan bahkan berterima kasih kepadanya dengan cara seperti ini karena Honjou-senpai
mempercayai Towa-kun?
“Towa-kun bahkan membantu
Honjou-senpai, ya.”
“Bukannya aku benar-benar dalam
bahaya atau semacamnya, oke? Tapi aku senang hal itu membuatku berpikir untuk
berhati-hati dan memperhatikan hal-hal yang tidak merugikan. Aku sangat percaya
pada diriku sendiri ... dan karena itu, aku mungkin akan dilecehkan oleh
seseorang.”
“Memang, meskipun Honjou-senpai
terlihat kuat, tapi sepertinya kamu punya sisi ceroboh juga, ya?”
“Jangan bilang blak-blakan
begitu, Otonashi-san.”
“Ah...”
Aku... tak sengaja berkata
begitu.
Melihatku yang menutup mulutku
dengan cepat, Honjou-senpai langsung mengembangkan pipinya dengan lucu, tapi
sepertinya dia tidak terlalu mempermasalahkannya, jadi aku merasa lega.
Honjou-senpai melipat tangannya
dan melihat ke luar jendela sambil terus berbicara.
“Apa yang dikatakan Yukiyo-kun
memang tiba-tiba... tapi ada juga perasaan aneh yang membuatku berpikir
sebaliknya. Hei, Otonashi-san.”
“Ya?”
“Yukishiro-kun sebenarnya bukan
manusia dari masa depan, ‘kan?”
“Apa yang kamu katakan?”
“Fufufu, hal semacam itu pasti
mustahil, iya ‘kan?”
Jika seandainya Towa-kun memang
benar orang dari masa depan... hmm~, mungkin rasanya sedikit menarik karena ia
bisa menyelamatkanku seolah-olah ia tahu segalanya.
“Misalnya... ya. Misalnya saja
Towa-kun memang berasal dari masa depan atau memiliki sesuatu yang berbeda dari
kita, aku takkan mempermasalahkannya. Aku mencintai segalanya tentang
Towa-kun... aku akan menerima semuanya dan terus bersamanya.”
“Oh, tiba-tiba jadi membual ya.”
“Tentu saja, karena aku memiliki
pacar yang begitu luar biasa.”
Honjou-senpai menunjukkan
minatnya dengan antusias.
Hanya saja... akhir-akhir ini,
aku terlalu mencintai Towa-kun sehingga ketika perasaan cinta ini meluap, aku
tidak bisa berhenti berbicara.
Hmm... kurasa aku harus memperbaiki
sikapku yang begini.
“Perasaan cinta Otonashi-san tuh
terlalu berat ya. Memangnya kamu tidak khawatir kalau Yukishiro-kun akan hancur?”
“Menurutku sih…..itu tidak mungkin
terjadi. Karena Towa-kun akan menerima semuanya.”
“Kamu sangat mempercayainya ya?”
“Karena memang beginilah kami
berdua.”
Aku sangat menyadari betul
kalau perasaan cintaku terlalu berat... dan aku bisa mengatakannya dengan
bangga karena aku tahu bahwa Towa-kun akan menerimaku.
Sementara aku terus mengungkapkan
perasaanku, Honjou-senpai hanya tersenyum... dan di tengah itu, aku melanjutkan
pembicaraanku.
“Sama seperti yang dipikirkan
Honjou-senpai, aku merasa bahwa ada sesuatu tentang Towa-kun.”
“Begitu ya?”
“Ya. Bohong rasanya kalau aku
tidak merasa penasaran, tapi aku hanya perlu menunggu Towa-kun untuk
memberitahuku tentang itu.”
“Menakjubkan sekali...”
"Ya, Towa-kun memang
menakjubkan... tapi…”
“?”
“Tidak peduli apa kebenarannya,
ketika aku mengetahuinya, aku yakin cintaku akan berkembang lebih besar dari
sekarang♪♪”
“Rasanya jadi aku ingin melihat
itu...”
Bukannya kamu mengatakan bahwa
kamu sangat mencintai Towa-kun sepanjang waktu?
... Tidak, bahkan bagiku itu
kedengarannya terlalu bodoh dan menjijikkan... Aku tidak bisa mengatakannya
dengan pasti, tapi aku akan berhati-hati!
“Sudah kuduga, mengobrol dengan
Otonashi-san selalu terasa menyenangkan. Melihatmu yang begitu tulus kepada
orang yang kamu cintai membuat hatiku hangat.”
“Aku merasa kalau hanya aku
saja yang terus berbicara…..”
“Aku merasa justru itulah
bagian bagusnya. Sekarang, kupikir sudah waktunya untuk kembali bekerja.”
“Ah, maaf sudah mengganggu.”
"Aku tidak keberatan.
Silakan kembali lagi ya? Jika kamu merasa kesepian dan ingin berbicara denganku,
silakan datang kapan saja.”
Dia mengatakan ini sambil
senyum jahil, dan aku menyangkal bahwa aku datang karena merasa kesepian.
Namun, aku juga sangat menikmati
waktu yang kuhabiskan untuk berbicara dengan Honjou-senpai, dan aku berharap
kalau aku bisa memiliki kesempatan seperti ini lagi.
“Oh iya, benar juga!”
“Apa?”
Honjou-senpai tiba-tiba
bertepuk tangan.
“Kita sudah cukup lama mengenal
satu sama lain, bukan? Jadi, mungkin ini saatnya bagi kita untuk memanggil satu
sama lain dengan nama yang lebih akrab?”
“Maksudnya memanggil dengan nama
depan? Iori-senpai?”
Jika memang begitu maksudnya,
ayo ambil inisiatif untuk memanggilnya.
Honjou…..Iori-senpai tampak
terkejut, tapi dia segera mengangguk dengan gembira.
“Tentu! Ayana-san!”
Dengan begitu, kami mulai
memanggil satu sama lain dengan nama depan.
Setelah percakapan seperti itu,
aku meninggalkan ruang OSIS dan pulang ke rumah -- cukup menyegarkan dalam perjalanan
pulang tanpa Towa-kun di sampingku, tapi aku masih merasa kesepian.
“Towa-kun adalah orang yang
aneh, huh…”
Aku mengingat kembali
pembicaraanku dengan Iori-senpai dan menggumamkan sesuatu seperti itu.
Towa-kun benar-benar orang yang
misterius...Aku penasaran bagaimana ia bisa menyelamatkan begitu banyak orang.
“... Haa, aku benar-benar payah.”
Saat aku memikirkan Towa-kun
seperti ini, aku selalu ingin bertemu dengannya.
Setelah memeriksa waktu di
layar ponsel, aku mengubah arah jalan pulangku menuju rumah Towa-kun, bukan ke rumahku
sendiri... astaga, aku benar-benar wanita yang bermasalah.