Chapter 2 — Kebohongan
“Maaf ya, aku jadi tidak bisa
melihat penampilan gagahmu, Masachika.”
“Tidak, itu sih enggak
apa-apa...”
Setelah berhasil menyelesaikan
festival olahraga, Masachika pulang ke rumah untuk makan malam bersama ayahnya,
Kyotarou, yang sudah lama tidak ia temui.
Masachika sedikit mengangkat
bahunya ke arah ayahnya yang tampak meminta maaf, lalu menatap hidangan makan
malam yang ada di hadapannya.
“Lebih dari itu, sebenarnya aku
ingin memprotes soal makan malam kita yang ternyata adalah oleh-oleh dari
Inggris, ikan dan kentang.”
“Kenapa? Apa rasanya tidak
enak?”
“Sebelum membahas masalah rasa,
potongan kentangnya sudah lembek karena terlalu lama, dan ikan gorengnya juga
terlalu berminyak.”
“Bukannya itu juga masih enak?”
“Aku sama sekali enggak
paham...”
Selera ayahnya dalam membawa
oleh-oleh memang tidak pernah membaik, terutama dalam hal makanan. Meskipun
sebelumnya ia mendengar bahwa makanan dari luar negeri biasanya enak, tapi….
Masachika diam-diam meragukan apakah ayahnya memiliki selera yang luas atau
hanya lidah yang tidak sensitif.
(Mungkin
sebaiknya aku harus memanggangnya sebentar dengan pemanggang roti, bukan hanya menghangatkannya
di microwave...)
Melihat sisa ikan dan kentang
yang sudah setengah habis, Masachika terlambat menyesalinya. Melihat ekspresi
putranya yang kurang senang, Kyotarou menurunkan alisnya dengan kecewa.
“Di Jepang memang sering kali
dikatakan bahwa makanan Inggris tidak enak, tapi sebenarnya tidak begitu kok...
Aku ingin Masachika merasakan rasa asli dari sana.”
“Jika yang begini disebut rasa
asli, mungkin orang Inggrisnya sendiri pasti akan marah.”
‘Mengapa
tidak membuat hidangan yang tidak kehilangan citarasa seiring berjalannya
waktu...,’ Meskipun dirinya
mengeluh seperti itu, Masachika tetap menyantapnya dengan baik karena itu
adalah oleh-oleh dari ayahnya. Setelah itu, ia membersihkan mulutnya dengan teh
hitam Inggris, yang juga merupakan oleh-oleh dari Inggris, dan menghela napas
lega.
“Yeah, yang ini enak tanpa
masalah.”
Ketika Masachika merasa puas
dengan suvenir tersebut, yang bisa dibilang termasuk dalam kategori langka,
Kyotarou juga mengatakan hal yang sama sambil menikmati aroma tehnya.,
“Katanya daun teh ini juga
dipasokkan kepada istana kerajaan di sana.”
“Hee~, itu sih menakjubkan
sekali.”
Setelah mendengar informasi
tersebut, Masachika semakin merasakan keberhargaan dari minuman tersebut,
dirinya lalu mendekatkan hidungnya ke cangkir dan mencium aromanya. Saat
melakukan hal itu, ia teringat akan sosok ibunya yang suka minum teh.
(...Apa
ia juga memberikan oleh-oleh yang sama di sana?)
Masachika kemudian teringat
suara dua orang yang didengarnya di ruang UKS sekolah, dan tiba-tiba memikirkan
hal tersebut. Saat memikirkan demikian, dirinya hampir saja mengakhiri
pikirannya seperti biasa... namun Masachika menahan diri.
“... bu...”
“Hmm?”
“...Apa ibu baik-baik saja?”
Ketika Masachika ragu-ragu
menyebut nama ibunya, Kyotaro yang mungkin sengaja tidak menyentuh topik
tersebut terkejut. Lalu, ia menatap Masachika yang menunduk ke arah cangkir
tehnya dengan senyum lembut.
“Iya, dia hanya sedikit merasa
tidak enak badan.”
“…...”
Itu bohong. Kondisinya bukanlah
sesuatu yang bisa dianggap enteng.
Namun, Kyotarou mungkin tidak
akan menjawab apapun meskipun Masachika bertanya. Selain itu, Masachika sendiri
merasa sulit untuk terus memikirkan tentang ibunya.
Tapi... meskipun begitu, ada
sesuatu yang ingin ia tanyakan kepada Ayahnya.
“Ayah tuh...”
“Ya?”
“Tentang ibu... apa ayah masih
mencintainya?”
Ketika mendengar pertanyaan
Masachika, Kyotarou terkejut sejenak sebelum tersenyum.
“Tentu saja... aku masih mencintainya, selalu mencintainya.”
“!!”
Masachika langsung terdiam saat
mendengar jawaban itu. Sejak mendengar percakapan mereka di ruang UKS, pikiran
yang selama ini mengganggunya kembali muncul. Sudah diduga, alasan mereka
bercerai adalah...
“Tapi... Kami membutuhkan jarak
dan waktu.”
Kyotarou menyangkal keyakinan
yang hampir pasti muncul di dalam pikiran Masachika, seolah-olah ia tahu apa
yang dipikirkan putranya.
Sambil menatap lurus ke arah
Masachika yang menunduk, Kyotarou berkata dengan lembut.
“Aku... Aku tidak bisa
mendukung Yumi-san. Aku merasa bahwa jika kami terus bersama seperti itu, aku akan menyakitinya.
Itulah sebabnya kami memutuskan untuk berpisah.”
Semua disebabkan oleh dirinya
sendiri. Kyotarou mengungkapkan dengan wajah lembut yang penuh kesedihan.
(Ini
juga bohong)
Masachika merasakannya secara
intuitif. Dirinya tidak percaya bahwa ia tidak memiliki andil dalam perceraian
orangtuanya. Namun... meskipun begitu, karena Kyotarou mengatakan hal tersebut
dengan tegas, hati Masachika sedikit merasa lega. Oleh karena itu...
“Jadi... begitu ya.”
Masachika juga mengangguk
sambil tersenyum kecil. Ia tersenyum sambil mengetahui bahwa itu adalah
kebohongan. Dirinyaa pura-pura tidak menyadari kebohongan lembut ayahnya dan
tersenyum. Melihat senyuman palsu anaknya, ayahnya juga tersenyum.
Mereka berdua, dengan senyum
lembut yang penuh kesedihan, adalah ayah dan anak yang begitu mirip satu sama
lain.
◇◇◇◇
Pada hari berikutnya, di ruang
tamu kediaman Kuze, di mana ayah dan anak sedang menikmati sarapan pagi, tampak
suasana yang suram menyelimuti mereka, seakan-akan suasana semalam kembali
terulang.
Masachika makan dalam diam
sambil memikirkan sesuatu, sementara Kyoutarou memperhatikan anaknya dengan
tatapan lembut. Mereka berdua tidak banyak bicara, dan hanya suara piring yang
bergerak terdengar di ruangan itu... Tiba-tiba, suara pintu depan terbuka
dengan keras. Dan setelah itu, suara langkah cepat di lorong diikuti dengan
pintu yang menghubungkan ke pintu depan terbuka dengan kuat.
“Hey! Aku datang, wahai
Onii-chan-samaku yang tersayang! Dan kemudian~...wahai Papahku yang tercinta
juga!”
Orang yang memberikan sapaan
ceria sambil mengayunkan kuncir kudanya kepada ayah dan anak yang sedang
sarapan adalah Yuki. Meskipun agak terkejut dengan keceriaan putrinya sejak
pagi, Kyotarou bangkit dari kursinya dan dengan gerakan dramatis, ia mengangkat
kedua lengannya.
“Ohh~, wahai putriku yang
kucintai~”
“Hey~!”
Dia berlari mendekati ayahnya
dan memberikan pelukan hangat seolah-olah sedang melakukan tackle. Diterima dengan mudah oleh ayahnya, Kyotarou juga memeluk
Yuki dengan lembut. Dan pada saat yang sama ketika mereka melepaskan pelukan,
entah bagaimana mereka melihat ke arah Masachika.
“...Eh, apaan sih. Aku masih
makan, tau.”
“Mana yang lebih penting, aku
atau makanan!?”
“Sekarang sih mungkin makanan
kali ya~”
“Jadi kalau kamu
menghabiskannya, itu berarti akulah yang paling penting, ‘kan?”
“Berhentilah berbicara dengan
pemikiran yang kayak Yandere begitu.”
“Sudah, sudah, saat-saat yang
begini kamu bagusnya mengikuti arus saja, Nakkon~”
“Jangan memanggilku seolah-olah
aku menjadi kerabatnya Unicorn.”
Sambil membalas ayahnya seperti
itu, Masachika berdiri sambil menghela nafas dan mengangkat kedua lengannya.
“Hei~!”
Yuki berlari mendekati kakaknya
dengan ekspresi seakan-akan dia sudah menunggu kesempatan tersebut, dan
kemudian tiba-tiba melompat. Dia melompat dan memeluk kakaknya dengan kedua
tangan dan kaki... atau lebih tepatnya, dia merangkulnya.
“Yosh~, yosh~.”
Sambil sedikit tersenyum masam,
Masachika mengelus punggung adiknya seakan-akan sedang menenangkannya, lalu
duduk kembali di kursinya. Dan dia melanjutkan makan dengan normal sambil masih
membiarkan adiknya duduk di atas pangkuannya.
“Yuki, rambutmu mengganggu.
Tolong geser sedikit.”
“Baiklah~”
Setelah kakaknya berkata begitu,
Yuki dengan cekatan menggeser posisinya di atas paha Masachika, meletakkan
kedua kakinya di atas paha Masachika dan mengambil posisi berpelukan dari
samping. Kemudian, dia mengambil sepotong roti panggang yang belum habis
dimakan dan memberikannya kepada kakaknya.
“Nih, a~hn.”
“A~hn...”
“Aku tidak pernah bilang kalian
harus melakukan sampai segitunya!?”
Ketika Kyoutarou tidak tahan
lagi dan memberikan komentar demikian, kedua kakak beradik itu sama-sama menatapnya
dengan ekspresi heran.
“Eh, apa-apaan dengan ekspresi
itu? Atau lebih tepatnya, Yuki? Bukannya
ada perbedaan perlakuan yang begitu mencolok antara aku dan Masachika?”
Tanpa menunjukkan penyesalan
sedikit pun kepada ayahnya yang terlihat kesepian, Yuki pun menjawab.
“Habisnya, Papah, ini
jelas-jelas perbedaan tingkat kesukaan saja.”
“Bagaimana kamu bisa berkata
sesuatu yang begitu kejam dengan ekspresi yang tulus seperti itu...”
“Buat Ayah sih, tingkat
kesukaan untuk memicu event a~hn masih jauh dari cukup... kan?”
“Sungguh menyakitkan...”
Kyoutarou merasa kecewa dan
bahunya terkulai dengan lesu. Melihat reaksi tersebut, Yuki merasa bersalah dan
sambil menurunkan alisnya dan turun dari pangkuan Masachika, dia meletakkan
tangannya di bahu ayahnya sebagai bentuk penghiburan.
“Yah tenang saja, untuk Papih
yang sibuk bekerja setiap hari dan tidak punya waktu untuk putrinya, aku juga sudah
menyiapkan cara untuk memicu event a~hn dengan cepat.”
“Caranya?”
Yuki menatap Kyotarou dengan
lembut, yang menengadah ke atas dengan ekspresi telah menemukan keselamatan,
dan membuat lingkaran dengan ibu jari dan telunjuknya.
“D.u.i.t ♡”
“Jangan mencoba mencuri uang
dari orang dewasa dengan format yang mirip seperti game sosial begitu.”
“…!”
“Jangan menggeledah dompetmu!
Meningkatkan tingkat kesukaan dengan uang hanyalah tindakan sia-sia!”
"Meningkatkan tingkat
kesukaan dengan uang hanyalah sia-sia...? Memangnya kamu bisa mengatakan hal
yang sama kepada para pegawai kantoran yang tidak bisa berhenti mengunjungi
klub malam dengan uang?”
“Ya bisalah. Malahan, di
sana lah yang paling ingin kukatakan.”
“Eh~ saat ini sedang diadakan
pemutaran gacha event a~hn, tau. Tingkat kemunculan event a~hn adalah 3%, 10
kali putaran seharga sepuluh ribu yen. Jika kamu melakukan seratus putaran,
kamu pasti akan mendapatkan event a~h yang kamu inginkan.”
“Satu putaran seharga seribu
yen dengan aturan 'pencapaian maksimum'
yang sangat sulit. Lagian, bukannya tingkat kemunculan pasti setelah seratus
putaran itu aneh sekali tau?”
“Yah itu sih, tau sendiri lah~,
meskipun dapat event a~hn yang sama, tapi ada lima warna yang berbeda.”
“Apa maksudnya dengan warna?”
“Atribut.”
“Atribut??”
“Jika warnanya biru, itu a~hn
yang dingin, jika merah itu a~hn yang penuh gairah, jika hijau itu a~hn yang
menenangkan, jika kuning itu a~hn yang agak panas dan jika itu pink, maka...
tahu sendiri, ‘kan?”
“’Tahu sendiri, ‘kan? Pala lu peyang. Apa maksudnya sih?”
“Meski itu Onii-chan, kamu harus
mencoba sendiri untuk memastikannya...”
“Bahkan kamu ingin mencuri dari
kakakmu sendiri... Jadi, di mana gacha-nya?”
“Di mulutku.”
“Kamu bahkan tidak mencoba untuk
menyembunyikan adanya kecurangan!”
“Untuk saat ini, aku ingin
mencobanya sepuluh putaran saja.”
“Jangan cuma mendengar hal itu
dan langsung mencobanya!”
Masachika memberikan komentar dengan
penuh semangat kepada Kyotarou yang menyerahkan uang sepuluh ribu yen.
Ruang tamu di kediaman rumah
Kuze tiba-tiba menjadi ramai. Di tengah-tengah semuanya, Yuki tersenyum dengan
gembira.
◇◇◇◇
“Kalau gitu, ayo pergi.”
Setelah sarapan. Setelah menunggu
Masachika selesai mencuci piring, Yuki, yang mengenakan kacamata hitam
seolah-olah mengajaknya pergi jalan-jalan, mengayunkan ibu jarinya. Tanpa benar-benar
mendengarkan perkataan adiknya, Masachika mengedipkan matanya.
“Memangnya kita mau pergi
kemana?”
“Tentu saja kita akan pergi
berbelanja untuk membeli hadiah pesta ulang tahun Alya-san.”
“Oh, jadi kamu sudah diundang
secara resmi?”
Masachika mengangguk,
memastikan apa dia sudah benar-benar mengundang anggota lain dengan benar
kemarin.
“...Lah, padahal aku sudah
memutuskan apa yang akan kubeli...”
“Aku juga ingin memeriksa
barang-barang yang akan kamu beli. Jika aku hanya membiarkan Onii-chan, aku takkan
tahu apa yang akan kamu beli."
Masachika cemberut saat adiknya
langsung meragukan seleranya.
“Sembarangan saja kalau ngomong...
Aku juga memikirkannya dengan serius, tau?”
“Hee~? Ngomong-ngomong, kamu
ingin memberikan hadiah apa?”
Masachika dengan percaya diri
menjawab ekspresi Yuki yang seolah-olah mengatakan “Aku akan mendengarkannya saja dulu”.
“Aku merasa kalau sesuatu yang
dibuat sendiri rasanya jauh lebih berkesan ... Jadi aku ingin memberinya
herbarium buatan tangan.”
Masachika menemukan hal tersebut
ketika dirinya mencari hadiah ulang tahun untuk Alisa. Itu adalah dekorasi
interior di mana bunga dimasukkan ke dalam botol kaca dan direndam dalam minyak
untuk mengawetkannya.
Setelah melihat foto-foto dari
hasil pencariannya, Masachika merasa bahwa itu akan menjadi hadiah yang cukup
berkelas untuk wanita karena keindahan dan keanggunannya. Kyotarou sepertinya
setuju dengan pendapatnya dan mengangguk dengan penuh perhatian.
“Oh, bukannya itu cukup bagus?”
“Iya, ‘kan?”
Setelah mendengar persetujuan
ayahnya, Masachika mengangkat dagunya dengan bangga. Namun,
“Yah, sejujurnya sih….itu agak
kurang bagus.”
Masachika dan Kyotarou menoleh
ke arah Yuki yang mengeluarkan komentar tajam tanpa ampun.
“…Sebelah mananya yang kurang
bagus, sih? Lagian itu tidak seberat karangan bunga, dan juga tidak perlu
disiram segala, jadi itu hadiah yang lumayan, ‘kan?”
Meskipun Masachika memprotes
dengan ketus, tapi ekspresi Yuki tidak terlihat senang.
“Habisnya, herbarium tuh sebenarnya
dikategorikan sebagai dekorasi interior, ‘kan? Jadi, tentu saja harus sesuai
dengan suasana ruangan pemiliknya… Onii-chan, memangnya kamu tahu ruangan
Alya-san seperti apa?”
Masachika langsung terdiam ketika
mendengar komentar tersebut. Yuki terus melanjutkan tanpa ampun.
“Selain itu, bahkan dalam seni merangkai
bunga, bahan bunga dan vasnya perlu diubah tergantung interior ruangan dan di
mana bunga itu diletakkan. Kenapa kamu tidak menyadarinya?”
“Ugh…”
“Selain itu, ayah yang langsung
setuju begitu saja artinya sudah buruk.”
“Kurasa ada benarnya juga.”
“Bukannya itu terlalu kejam!?”
Tiba-tiba disindir, Kyotarou terkejut dan meninggikan suaranya sebagai bentuk protes.
Namun, tatapan anak-anaknya
begitu dingin.
“Bahkan kemarin aku juga
merasakan betapa kurangnya selera ayah…”
“Walaupun kakek dan nenek suka
yang mencolok, tapi ayah memang kurang punya selera yang bagus, iya kan~”
“Tidak mungkin…”
Sementara Kyotaro terdiam dengan
kecewa, Yuki melingkari lengan Masachika dan merangkulnya.
“Oleh karena itu, ayo tinggalin
saja Papah yang kurang punya selera itu, dan pergi belanja bersama-sama~?”
“Apa kamu tidak mau memberikan
pelayanan keluarga kepada ayah yang baru pulang setelah lama…?”
“Papah akan tinggal di Jepang
untuk sementara waktu, ‘kan~? Jadi untuk hari ini—“
Setelah mengucapkan kata-kata
tersebut, Yuki menutup mulutnya dan menyentuh saku celananya sebentar sebelum
tersenyum manis.
“Atau itulah yang kupikirkan...
Papah, bisakah aku meminta bantuanmu~?”
“Hm? Ada apa?”
Kepada Kyotarou yang menengadah
dengan gembira, Yuki memiringkan wajahnya dengan manis seraya berkata,
“Dompetku ketinggalan di rumah♡ Boleh minta tolong diambilin
enggak?”
Senyuman Kyotarou seketika
langsung merekah.
◇◇◇◇
“Akhirnya, kita sudah sampai di
pusat perbelanjaan.”
“Aku benar-benar tak menyangka
kalau kamu memaksa ayah untuk membawa kita ke sini...”
Masachika dan Yuki ditinggal
sendirian di mall, dan ketika melihat mobil Ayah mereka melaju menuju ke
kediaman keluarga Suou, Masachika menunjukkan wajah yang sulit dipahami.
Kemudian, ia tiba-tiba menyadari bahwa seharusnya dia bisa meminta pelayan
pribadinya untuk membawanya, jadi ia bertanya kepada Yuki.
“Ngomong-ngomong….. Ayano hari
ini kemana?”
“Hmm? Sepertinya dia punya
urusan hari ini.”
“Begitu ya...”
Masachika merasa sedikit lega
dengan jawaban itu. Bagaimanapun juga, ia belum pernah bertemu Ayano sejak dia
mengatakan sesuatu yang menyakitkan telinganya saat festival olahraga tempo
hari. Baginya, bertemu dengannya masih terasa sedikit canggung.
Dan di sana Yuki menutupi
mulutnya dengan malu-malu dan bergumam sambil sengaja menggeliat-geliatkan
tubuhnya.
“Ja-Jadi... hari ini hanya ada
kita berdua saja ya, Onii-chan?”
“Kupikir dengan penampilan
seperti itu, daya tariknya jadi kurang efektif.”
Dengan kepang kembar yang
diikat tinggi dan topi baret, Masachika menatap tajam pada gaya menyamar Yuki
yang sudah akrab baginya, dengan kacamata hitam besar yang menutupi matanya. Mungkin
dia memandang ke arahnya dari sudut matanya, tetapi matanya tersembunyi di
balik kacamata hitam, sehingga kelakuannya terlihat mencurigakan.
“Sialan, penampilan spesialku
sama sekali tidak mempan...!? Aku tidak pernah menyangka kalau penyamaranku
yang sempurna akan memiliki kelemahan seperti itu......!”
“Bahkan jika aku mendapat
serangan langsung, sikap songongmu itu tidak akan mempan padaku kali?”
“Apa boleh buat deh, kurasa aku
harus merayumu dengan tubuhku!”
“Tidak, cara bicaramu itu,
loh...”
Yuki merangkul lengan Masachika
dan merapatkan tubuhnya. Kemudian, dengan suara lembut yang lebih manja dari
biasanya, dia menunjuk salah satu toko di sepanjang jalan.
“Nee~~~ Onii-chan~. Aku ingin
makan taiyaki, tau~”
“Lah, kamu bisa membelinya
sendiri, ‘kan?”
“Karena dompetku ketinggalan,
dasar bego.”
“Oh ya, kalau tidak salah
memang begitu ya! Tapi, bego?”
“Oh, maksudku itu dalam arti
yang baik, lho?”
“Jangan berpikir bahwa kamu bisa
mengubah negatif menjadi positif dengan mengatakan begitu, oke!?”
“Tapi kan maksudku bego dalam
konteks komedi.”
“Kalau begitu justru aku yang
harus menanggapi leluconmu.”
“Oke baiklah, akulah yang
bego.”
Meskipun mereka berdebat
seperti itu, Masachika akhirnya tetap membawa Yuki ke toko sambil membiarkan
adiknya terus merangkul tangannya.
“Jadi, kamu mau rasa yang
mana?”
“Aku mau rasa krim kastard!”
“Baiklah. Maaf, bisakah saya
mendapat satu taiyaki rasa krim kastard dan rasa kacang merah?”
“Terima kasih. Satu kacang
merah dan satu krim kastard. Total semuanya menjadi 360 yen.”
“Oh, ehm... 510 yen.”
“Baiklah. Berarti kembalian
Anda adalah 150 yen.”
Ketika sedang membayar di
kasir, seorang bibi di samping karyawan Onee-san, sambil memasukkan taiyaki
yang ada di dalam penghangat ke dalam kantong kertas, tersenyum kepada Yuki.
“Kalian berdua kakak beradik
yang sedang berbelanja? Hubungan kalian rukun sekali, ya~”
“Iya!”
“Wah, senyummu manis sekali.”
Yuki menjawab dengan riang,
seolah memberi contoh, dan si bibi memasukkan dua manjuu kecil ke dalam kantong
plastik bersama dengan dua taiyaki.
“Ini, aku juga memberikan
sedikit bonus buat kalian.”
“Oh, maaf...”
“Terima kasih banyak!”
Sambil menyela Masachika yang
meminta maaf dengan ucapan terima kasih yang lantang, Yuki mengambil bungkusan
itu. Kemudian, dengan menarik tangan Masachika, dia melambaikan tangan dengan
antusias kepada para pegawai dan beranjak meninggalkan toko. Tingkah polos yang
ditunjukkan Yuki membuat semua karyawan di dalam toko menoleh dan melambaikan
tangan mereka sambil tersenyum.
Ketika mereka mencapai tempat
di mana mereka tidak bisa terlihat dari toko taiyaki, Masachika yang masih
menghadap ke depan, berkata dengan ekspresi serius.
“Kamu pasti tadi dikira sebagai
bocah SD, tau.”
“Hmph, itulah kelebihan dari
penyamaran ini...”
“Bukannya itu mirip seperti
penipuan?”
“Hanya karena aku bertingkah
ceria dan bersemangat, bukan berarti itu penipuan.”
Sambil mengeluarkan manju dari
kantong plastik dengan wajah polos, Yuki menggigitnya.
“Mmm, rasanya enak~. Seperti
yang diharapkan dari toko ini, kue manju mereka selalu enak~”
“Oh, benarkah?”
Mengambil manju dari kantong
yang disodorkan Yuki, Masachika pun ikut memakannya. Kulitnya yang tipis dan
halus pecah dengan renyah, dan pasta kacang merah di dalamnya memberikan rasa
manis yang sempurna di seluruh mulut.
“Memang. Kue ini benar-benar
enak.”
“Iya, ‘kan? Sekarang, aku juga penasaran
dengan taiyakinya...”
“Biar aku mencicipinya, oke?
Aku akan membiarkanmu mencoba milikku juga.”
“Horee!”
Sembari berteriak gembira
layaknya anak kecil, Yuki mengeluarkan taiyaki dan menggigitnya dengan
hati-hati.
“Aduhh, panas, tapi rasanya
enak.”
“Awas hati-hati, jangan sampai
lidahmu terbakar, oke?”
Setelah berhenti di tempat yang
tidak menghalangi pejalan kaki lainnya, mereka berdua menikmati taiyaki mereka.
Kemudian, sambil melihat sekeliling dengan santai, Yuki tiba-tiba berkomentar.
“Ada banyak orang yang memakai
masker, ya?”
“Ya, aku mendengar dari TV
kalau musim flu sedang merebak. Mungkin itulah sebabnya?”
“Ah, kurasa itu benar... Kalau
begitu, mungkin aku harus menggunakan masker daripada kacamata hitam?
Sebenarnya, mana yang lebih baik sebagai penyamaran, masker atau kacamata
hitam?”
“Hmm, kupikir lebih baik
kacamata hitam. Kesan penampilanmu banyak berubah apabila matamu disembunyikan.
Ambil contoh, misalnya saja Elena-senpai, fakta bahwa matanya yang terlihat
justru membongkar penyamarannya.”
“Kamu berbicara tentang
topengnya, ‘kan? Si topeng seksi, bukan? Tidak, yang itu sih sangat jelas
sekali kelihatannya.”
"Ini adalah kiasan umum
bahwa kamu tidak akan ketahuan selama kamu menyembunyikan matamu.”
“Sampai kamu dikenali oleh
lokasi tahi lalat mu.”
“Ya, cerita yang begituan sih
cuma terjadi di manga, jadi aku tidak akan repot-repot membalas.”
“.......”
“Jangan menyembunyikan matamu
dengan punggung tanganmu!” (TN: Pose legendaris IYKWIM :v)
Sambil menghabiskan taiyaki
mereka, Yuki menatap Masachika dan bertanya, “Jadi, bagaimana dengan hadiah
untuk Alya-san?”
“Yah... Aku mungkin akan
memutuskannya nanti sambil melihat-lihat dengan santai.”
Karena sarannya untuk memberi
hadiah herbarium sudah ditolak sebelumnya, Masachika menjelaskannya sambil
tersenyum kecut. Menanggapi hal itu, Yuki mengangkat bahunya dengan agak
jengkel.
“Seriusan, deh... Disinilah
kemampuanmu sedang diuji, wahai kakanda. Itu karena kamu tidak pernah dengan
santai menanyakan tentang apa yang diinginkan atau dibutuhkan kepada wanita di
sekitarmu sehingga semuanya jadi berakhir seperti ini.”
“... Meski kamu mengkritikku
seperti itu, kamu sendiri berencana akan memberi apa?”
“Aku? Yah, karena film
pelindung layar ponsel Alya-san terlihat cukup tergores, aku berpikir untuk
membelikannya sebuah pelindung layar yang bagus.”
“Hmmm.”
Masachika mengerutkan alisnya
mendengar pilihan yang tidak terduga itu.
Tidak ada kelucuan dan gaya
yang khas untuk hadiah dari perempuan ke perempuan, tetapi itu adalah pilihan
yang praktis. Karena semua orang menggunakan smartphone mereka setiap hari,
pelindung layar adalah sesuatu yang tidak mudah diganti, meskipun tergores, dan
ini merupakan hadiah yang cukup cerdas.
(Kalau
ada, rasanya tidak aneh aku membelikannya hal semacam itu untuknya...)
Daripada sesuatu seperti bunga,
hadiah yang berfokus pada kepraktisan, tampaknya lebih mudah diberikan. Namun,
Masachika tidak bisa menolak saran adiknya.
“Fufufu, apa kamu tahu model
smartphone Alya-san~? Perbedaan persiapan kita terlihat di sini, my Onii-chan-sama.”
“Ngh...”
Yuki menyeringai penuh kemenangan,
membuat Masachika tidak bisa membantahnya sama sekali. Namun, diam-diam
menyerah bukanlah gayanya, jadi ia mencoba untuk mengajukan keberatan.
“Tapi, asal kamu tahu saja.
Bukankah membelikan seseorang pelindung layar menyiratkan sesuatu seperti, 'Pelindung layar ponselmu yang sekarang
sudah rusak, jadi cepat gantilah'?”
“Yah kalau itu sih, kamu bisa
menganggapnya sebagai ketegangan di antara saingan?”
“Kalau kamu sudah
merencanakannya sampai sejauh itu... itu sih agak...”
Masachika menunjukkan ekspresi
yang tak terlukiskan, tetapi dirinya sadar bahwa ia hanya bersikap jahat dengan
ucapannya. Namun, tidak mau menyerah begitu saja, ia berbalik tanpa mengatakan
apa-apa lagi. Jadi, sambil berkeliling di pusat perbelanjaan, Masachika mulai
memikirkan tentang hadiah.
“Oh iya, bagaimana kalau lilin
aroma?”
“Memilih lilin aroma itu
subyektif, lagipula memangnya dia akan senang menerimanya?”
“Lalu, bagaimana dengan jam
pasir yang bergaya itu...?”
“Dekorasi interior bergantung
pada suasana ruangan, ingat?”
“Kalender bergambar anjing...”
“Bagaimana kalau dia sudah
punya kalender sendiri?”
“Bagaimana dengan power-bank seluler berwarna merah muda
yang lucu di sana...?”
"Memilih hadiah tergantung
pada pilihanku, ya? Apa itu bisa memuaskan kebanggaanmu, Aniki?”
“Oh, sabun yang bagus untuk
kulit?”
“Memberikan barang-barang yang
berhubungan dengan mandi kepada seorang gadis dari anak cowok itu agak
menyeramkan. Rasanya seolah-olah kamu ingin menyiratkan 'Aku ingin kamu tercium wangi seperti ini,' dan selain itu, jika
itu sabun, tidak hanya Alya-san tetapi seluruh keluarganya juga akan
menggunakannya."
“... Aku ingin memastikannya
saja, memilih aksesori mungkin memiliki implikasi yang aneh, ya?”
“Mungkin saja. Ditambah lagi,
aku ragu Onii-chan bisa memilih sesuatu dengan selera yang bagus.”
“Kalau semuanya gagal,
bagaimana kalau bermain aman dengan memberinya manisan...?”
“Jadi kamu ingin melarikan diri
dengan memberikan hadiah yang bisa dikonsumsi, ya?”
“Terserah, bagaimana kalau
sesuatu dari katalog hadiah?”
"Bukankah kamu hanya akan
menghindari tindakan memilih sesuatu sendiri? Lagipula, anak SMA biasanya tidak
mengacu pada katalog saat memilih hadiah, kan?”
Satu demi satu, setiap saran
ditepisnya, dan kepercayaan diri Masachika terhadap seleranya sendiri hancur
lebur hingga ke tingkat atom. Yang bisa ia lakukan hanyalah tertawa kecil
sekarang.
“... Jadi, ujung-ujungnya apa
yang akan kamu lakukan, Aniki?”
Saat Yuki menanyainya dengan
tatapan tajam, Masachika menjawab dengan terang-terangan mengalihkan pandangannya
sendiri, tertawa kecil dengan ekspresi konyol.
“Ahaha~♪ Onii-chan juga tidak tahu apa-apa, ya~✩”
“Kuh, tingkahmu sangat
menggemaskan sekali.”
“Oi, hentikan itu.”
“Ini membersihkan jiwaku...!”
"Hentikan, cepat
hentikan.”
Melepaskan kacamata hitamnya,
Yuki menekan kedua matanya dengan jari-jarinya sambil menatap langit.
Masachika, merasakan sedikit rasa malu, kembali ke ekspresi serius. Kemudian,
saat ia melihat adiknya tertawa dan tersenyum, ia menghela napas panjang.
“Yah... Kurasa aku tidak punya
pilihan lain selain memberinya manisan buatan sendiri...”
“Ahh~... Yah, lumayan. Alya-san
adalah seorang juru masak rumahan yang baik juga, jadi dia akan menghargainya,
dan seorang pria yang bisa memasak atau membuat kue sering dinilai tinggi...”
“Kalau begitu, ayo pilih yang
begitu saja...”
Pada akhirnya, setelah menghabiskan
waktu melihat-lihat, mereka selesai tanpa membeli apa pun. Saat Masachika
merasakan perasaan lega menyelimutinya, Yuki mengangkat bahunya dengan ringan.
“Yah, meski perkataanku tadi terdengar rewel, tapi... menurutku, apa yang akan kamu berikan tidak terlalu
penting, tau?”
“Hah?”
Masachika mengangkat alisnya
dengan bingung, Yuki menanggapinya dengan mendecakkan lidahnya seraya
mengibas-ngibaskan jari telunjuknya sambil menjelaskan sambil tersenyum.
“Memberi bukanlah tentang benda
fisik yang disebut 'hadiah', melainkan
tentang perasaanmu, my brother.”
“Dengan kata lain, aku harus
mencurahkan isi hatiku ke dalamnya? Itu sebabnya kamu menyarankan aku membuat
sesuatu buatan sendiri, ‘kan?”
Mendengar kata-kata Masachika,
Yuki mengangkat kedua lengannya setinggi bahu sambil menghela nafas.
“Tapi bukan hanya itu saja, ‘kan...?
Apa yang ingin aku sampaikan ialah untuk menyampaikan perasaanmu melalui
kata-kata dan tindakan.”
Setelah mendengar ini,
Masachika akhirnya mengerti apa yang dimaksud Yuki, membuat pipinya berkedut
tanpa sadar. Melihat reaksi kakaknya, Yuki, sambil tersenyum licik, meletakkan
jari telunjuknya di bibirnya sambil berbisik nakal.
“Jika kamu melakukan apa yang
sudah kita lakukan setiap tahun. Kesukaan Alya-san padamu akan meroket, menyebabkan
pembukaan acara secara instan, tau?”
Apa yang Yuki maksud adalah
sesuatu yang sudah menjadi tradisi di antara mereka berdua, dimulai oleh Yuki
pada suatu saat sebagai janji ketika memberikan hadiah ulang tahun. Namun...
“... Mustahil, Aku tidak bisa melakukan
hal itu di depan semua orang.”
Saat Masachika menyanggah
dengan pipi yang berkedut, Yuki melingkarkan lengannya di pundaknya dengan
ekspresi jahat.
“Sudah, sudah, brother, aku akan membantu dengan
terampil dalam hal itu ... Aku akan memastikan untuk menciptakan suasana yang
baik untuk kalian berdua pada hari itu, oke?”
“Woahh, kamu sangat bisa diandalkan,
meski tidak ada yang memintamu.”
Dengan ekspresi datar,
Masachika menatap Yuki dengan tatapan skeptis dari jarak dekat. Mengabaikan hal
ini, Yuki menunjuk ke arah eskalator sambil menyeringai.
“Yah, untuk membuatnya sempurna
saat waktunya tiba, sudah saatnya melanjutkan agenda kita selanjutnya yaitu
pakaian.”
“Pakaian?”
Saat Masachika mempertanyakan
apa yang ingin dia sampaikan, Yuki mengangkat alisnya hingga terlihat jelas di
balik kacamata hitamnya yang besar saat dia menyatakan.
“Dasar bodoh! Mengenakan jaket
formal adalah suatu kewajiban dalam sebuah pesta, tau!?”
“Berisik sekali, jangan
berteriak di telingaku... Tunggu, tidak, ya? Maksudku, ini hanya pesta ulang
tahun, ‘kan? Apalagi yang diselenggarakan oleh keluarga kelas menengah.”
“Entah itu dari keluarga kelas
menengah atau teman sekolah, saat kamu diundang, pakaian formal adalah suatu
keharusan. Kamu akan bertemu dengan orang tua Alya-san, loh?”
Masachika tanpa sengaja
tersentak ketika mendengar ucapan itu.
Benar, Masachika sudah pernah
bertegur sapa singkat dengan ibu Alisa di pertemuan orang tua dan guru, tapi di
pesta ulang tahun ini, kemungkinan besar dirinya akan bertemu dengan ayah Alisa
juga. Sebagai satu-satunya pasangan putrinya yang maju dalam kampanye pemilu,
ia harus memperkenalkan diri dengan baik.
“... Ada benarnya juga.”
“Astaga, yang bener saja...
Baiklah, ayo, ayo pergi.”
“Ya.”
Dibantu oleh adiknya yang bisa
diandalkan, Masachika menuju ke bagian pakaian formal pria. Ia akhirnya membeli
beberapa pakaian yang dipilihkan Yuki, dan kemudian, mengikuti arus, mereka
menuju ke bagian pakaian wanita. Sambil mengikuti Yuki, Masachika dengan santai
melihat label harga di dekatnya dan tiba-tiba menyadari sesuatu.
“Tunggu sebentar. Aku tidak
membawa banyak uang untuk membeli pakaian untuk kita berdua, tau?”
“Hm?”
Karena menghadapi pengeluaran
tak terduga untuk pakaiannya sendiri, Masachika menyadari bahwa ia hanya
membawa sekitar dua ribu yen* di dompetnya. (TN: Sekitaran 280 ribu Rupiah)
Dengan jumlah tersebut,
Masachika merasa gelisah untuk membelikan pakaian Yuki. Namun, Yuki menanggapi
dengan menggoyangkan ponselnya dengan santai.
“Yah, sebagian besar toko di
sekitar sini menerima pembayaran elektronik. Jadi untuk berjaga-jaga, aku punya
lebih dari 100.000 yen di rekeningku.” (TN: Sekitaran 15 juta rupiah)
“Seriusan...? Tunggu, lalu
kenapa kamu harus meminta ayah untuk mengambilkan dompetmu?”
"... Teehee~☆”
Menanggapi pengamatan tenang
Masachika, Yuki menjulurkan lidahnya dengan main-main dan mengetuk sisi kepalanya
dengan gaya centil. Menatapnya dengan tatapan kosong, Masachika merasa
ragu-ragu sejenak sebelum membuka mulutnya.
“... Tentang Ibu, apa dia
benar-benar sedang tidak enak badan saja?”
Saat Masachika berbicara, Yuki,
yang sudah memilih pakaian dengan hati-hati, membeku. Reaksi itu saja sudah
cukup untuk meyakinkannya. Melupakan dompetnya di rumah hanyalah sebuah alasan.
Yuki ingin agar ayah mereka
berada di sisi ibunya. Dengan kata lain... Yumi membutuhkan Kyotarou.
(Seperti
yang kuduga, jadi memang begitu ya...)
Masachika teringat percakapan antara
orang tua mereka yang kebetulan didengarnya di ruang UKS sekolah. Kemungkinan
besar Yumi sedang membutuhkan bantuan emosional—
“Tidak, Ibunda baik-baik
saja...”
Masachika merasakan kekosongan
saat Yuki benar-benar menyangkal spekulasinya dengan suara yang meragukan. Saat
ia berulang kali mengedipkan mata ke arah Yuki, adiknya hanya mengangkat
kepalanya, memiringkannya dengan curiga.
“Mengapa percakapannya malah
mengarah ke sana? Yah, mau tak mau aku lumayan terkejut bahwa Onii-chan, dari
semua orang, mulai berbicara tentang Ibunda.”
“Tidak, itu...”
Mata Yuki yang menatapnya,
tetap tersembunyi di balik kacamata hitamnya, membuat niat tersembunyinya tidak
mungkin untuk dibaca. Masachika mendapati dirinya tidak bisa memahami
pikirannya.
“Yah~, aku tidak tahu
kesalahpahaman apa yang kamu miliki, tapi Ibunda baik-baik saja, oke~? Oh,
pakaian ini terlihat bagus."
Namun, saat Yuki dengan cepat
mengabaikan topik tersebut dan memalingkan wajahnya, Masachika secara naluriah
merasa bahwa dia sedang “menghindar.”
“Oh, apa boleh saya mencoba
pakaian ini ~?”
“Ya, silakan lewat sini~”
Dan sebelum dirinya bisa
melanjutkan masalah ini, Yuki menuju ke ruang ganti, meninggalkan Masachika
tanpa bisa meraih tangannya yang terulur.
“Buat Onii-sannya, silakan
lewat sini~”
“Oh, terima kasih...”
Dipandu oleh pegawai ke kursi di
dekat ruang ganti, Masachika pun duduk. Kemudian, ia menyandarkan sikunya pada
pahanya dan menekan dahinya dengan tangan,
“.....”
Entah bagaimana, Masachika tahu
kalau Yuki berbohong. Selain itu, ia merasa Yuki secara aktif menghindari
sesuatu yang tidak ingin disentuhnya.
(Sudah
kuduga, Ibu...)
Tapi kalaupun itu yang terjadi.
Apa yang bisa Masachika
lakukan? Lagipula, dirinya masih menyimpan kebencian pada Yumi, jadi ia tidak
ingin melakukan apapun untuknya.
Yuki tidak mengatakan apa-apa
karena adiknya mengetahui hal tersebut, dan dia mungkin mencari bantuan dari
Kyotarou ketimbang Masachika.
(Itu
benar... Ayah sudah pergi ke sana, jadi tidak ada yang bisa kulakukan.)
Meskipun dirinya tidak bisa
berbuat apa-apa maupun keinginan untuk melakukan apa pun, apa itu tindakan yang
benar untuk mempertanyakan Yuki, memprioritaskan kepentingannya sendiri, ketika
dia jelas-jelas tidak ingin menyinggung topik itu?
Jika Yuki ingin menyembunyikan
apa yang terjadi, bukankah seharusnya keinginannya dihargai? Apa yang
seharusnya Masachika lakukan adalah mengabdikan dirinya untuk memastikan Yuki
bersenang-senang...
“... Sungguh alasan yang payah
sekali.”
Masachika mengucapkan itu
dengan berbisik dan menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya, lalu menggaruk-garuk
poninya yang acak-acakan.
Ia kemudian bergerak di depan
cermin di dekatnya, memperbaiki ekspresinya yang berubah, yang penuh dengan
ejekan dan kebencian pada diri sendiri. Setidaknya, ia ingin adik perempuannya
bisa menikmati acara berbelanja tanpa rasa khawatir. Seperti biasa, ia berusaha
menutupinya dengan senyum konyol dan riang.
“Haah... Yah, kurasa lebih baik
begini.”
Masachika menghela nafas kecil
dan hendak kembali ke tempat duduknya ketika sebuah pajangan lemari pakaian
yang berputar di sebelah mesin kasir menarik perhatiannya.
“... Hah, seriusan tuh?”
Suaranya keluar tanpa sengaja.
Kemudian, seakan tertarik pada hal tersebut, ia mendekat dan memeriksanya di
tangannya. Setelah melirik sekilas pada ruang ganti dimana Yuki masuk... melihat
bahwa dia belum keluar, Masachika dengan cepat menuju ke meja kasir.
Di sisi lain...
(Ahhh~,
tadi itu bikin kaget saja. Untungnya aku diselamatkan oleh kacamata hitamku...
Tidak, mungkin ia sudah menyadarinya.)
Di dalam ruang ganti, Yuki meringis
pahit pada dirinya sendiri karena tidak mampu merespon dengan baik serangan
mendadak kakaknya.
Dugaan Masachika benar. Sejak
festival olahraga, Yumi semakin sering linglung di siang hari, dan perhatiannya
menjadi gampang terganggu. Bahkan dari sudut pandang Yuki, dia berpikir mungkin
lebih baik bagi ibunya untuk menemui dokter. Meski demikian, Yumi sendiri tidak
menyadari hal ini dan bersikeras bahwa ia hanya sedang melamun.
(Bahkan
aku tidak ingin berpikir bahwa Ibunda sakit, tapi...)
Tetap saja, melihat Yumi
akhir-akhir ini memenuhi dadanya dengan kecemasan. Tapi dia tidak bisa
mencurahkan kecemasan itu pada Masachika. Jika dia melakukannya, Masachika
pasti akan khawatir, tenggelam dalam kebencian dan penyesalan pada diri
sendiri.
(Untuk
Nii-sama... Aku ingin dirinya tetap tersenyum.)
Itu adalah keinginan Yuki.
Fondasi yang tidak berubah dari diri Yuki saat ini.
“Haaah...”
Yuki menghembuskan nafas kecil
agar tak terdengar dari luar, dan memutuskan untuk mengganti pakaiannya untuk
saat ini. Karena dia memasuki ruang ganti dengan berpura-pura mencoba pakaian
baru, dia tidak bisa berlama-lama.
Setelah melepas topi dan
kacamata hitamnya, dia melepaskan atasan, kemeja, dan celananya. Di cermin
terpantul tubuh yang secara keseluruhannya tampak kecil, ramping, dan kurus.
Untungnya, bagian dada dan bokongnya berkembang secara normal, sehingga
kondisinya tidak terlalu buruk. Meski begitu, setelah menanggalkan pakaiannya,
kesan tubuh kurusnya tidak bisa menghilang.
(Melihat
anggota keluargaku, secara genetis, aku seharusnya tumbuh lebih besar ...
Mungkin karena aku selalu terbaring di tempat tidur ketika aku masih kecil.)
Bukannya dia mempunyai masalah yang
kompleks dengan bentuk tubuhnya. Tetapi, melihat tubuh yang tampaknya tidak
tumbuh, tidak peduli berapa lama waktu berlalu, dia merasa kasihan pada
keluarganya yang mencemaskannya. Terutama ibunya, sebagai orang tua kandungnya,
selalu mengkhawatirkan tubuhnya.
“.......”
Dengan ekspresi kesal, Yuki
dengan lembut menyentuh perut bagian bawahnya yang kurus.
(...
Aku ingin cepat-cepat menjadi dewasa.)
Dia ingin meyakinkan
keluarganya secepat mungkin.
Sebuah harapan yang sudah lama dia
inginkan. Tapi tubuh ini, seolah-olah ingin mengejek perasaan itu, menolak
untuk tumbuh dewasa. Dan hatinya yang terikat oleh tubuh seperti itu tetap ada,
sebagian masih polos seperti anak kecil.
Namun, dia tidak memiliki
keengganan atau rasa malu yang khas remaja putri terhadap kerabatnya. Dia
bahkan tidak pernah mengalami perasaan romantis terhadap lawan jenis. Bahkan,
dia tidak pernah menyadari adanya hasrat seksualnya sendiri.
“…..”
Yuki mengertakkan gigi dan
secara impulsif mencoba meninju perut bagian bawahnya... tetapi sebelum
melakukannya, dia berhasil menahan diri dan menurunkan tinjunya.
“Suu... fhuu...”
Dia mencoba menarik napas dalam-dalam
dan mencoba menekan gelombang emosi yang menerjang hatinya. Tak peduli seberapa
besar dia membenci dirinya sendiri, sifat bawaannya tidak akan berubah. Baik
itu tubuhnya, hatinya, dan kenyataan bahwa Yuki adalah adik perempuan Masachika,
semua hal itu tidak akan pernah berubah.
“Ngh”
Menghadapi kenyataan pahit itu,
Yuki menempelkan dahinya lekat-lekat ke cermin. Dan sambil memelototi bayangannya
sendiri, dia bergumam.
“Tidak apa-apa... Aku... Aku
baik-baik saja...”
Dia memejamkan matanya dengan
erat dan menenangkan dirinya. Dia tidak ingin membuat kakaknya khawatir. Dia
harus menjadi adik yang konyol seperti biasanya, dan selalu tersenyum.
“Fhuu...”
Setelah menghembuskan napas dalam-dalam,
Yuki mengangkat sudut mulutnya, dan dengan suara lembut, dia menggumamkan
mantra ajaibnya.
“(Mode adik perempuan, diaktifkan
♡)”
Kata-kata yang diucapkan
mencapai otaknya melalui telinganya, dan kesadarannya beralih dengan satu klik.
Senyuman nakal dan menantang secara alami muncul di pipinya, dan dia berhenti
peduli dengan hal-hal kecil.
“Hm, baiklah.”
Yuki melihat pantulan bayangannya
di cermin dan mengangguk puas, lalu berganti ke gaun biru muda yang dibawanya
dan menata rambutnya agar terlihat anggun.
“Hehe... Aku sangat
menggemaskan seperti ini.”
Kemudian, setelah melemparkan
senyum nakal di depan cermin, Yuki dengan penuh semangat keluar dari ruang
ganti.
“Jreng~jreng~! Bagaimana menurutmu?”
Yuki berpose dengan bangga, dan
Masachika merespons dengan senyumannya yang biasa.
“Itu bagus, kamu seperti menjadi
bagian dari klub drama sekolah.”
“Hahaha, kalau begitu aku akan
mencuri perhatian.”
“Mencuri perhatian!?”
Seakan-akan mereka berdua
mengharapkannya, kakak beradik itu bersenang-senang seperti biasanya.
◇◇◇◇
“Ya ampun, ini benar-betapa
merepotkan... Baru diberi tahu seminggu sebelum acara.”
Di sisi lain, Sayaka yang
melampiaskan kekesalannya di sebuah fasilitas komersial besar yang berbeda,
terpisah dari tempat Masachika dan Yuki. Nonoa berada di dekatnya, dan agak
jauh dari situ, Takeshi dan Hikaru tampak tidak nyaman.
Mereka semua diundang ke pesta
ulang tahun Alisa sebagai teman yang membentuk band bersama selama festival
sekolah. Namun, karena permintaan bantuan Takeshi yang setengah-setengah,
meminta saran tentang “hadiah untuk gadis,”
mereka berempat pergi berbelanja bersama. Tentu saja, niat tersembunyi Takeshi
untuk menghabiskan liburan bersama Sayaka gampang sekali dimengerti, dan Hikaru
serta Nonoa pun menyadarinya. Namun, Nonoa bukanlah tipe orang yang aktif
membantu meskipun dia memahami situasinya, dan Sayaka tidak menyadari hal itu
sama sekali. Alhasil...
“Yah, ada persiapan dari pihak
kami juga... Tanpa mengetahui kesukaan Alisa-san, kita tidak bisa menyiapkan
hadiah yang memuaskan.”
“Yah, emang betul sih~.”
Sayaka yang terus menggerutu,
dan Nonoa, yang dengan santai menanggapi dengan persetujuan yang samar-samar,
secara alami berada di lantai wanita. Tentu saja, kecuali Takeshi dan Hikaru,
ada pelanggan pria lain, kebanyakan bersama pacar mereka. Kedua pria itu, yang
tidak dapat mengganggu percakapan Sayaka dan Nonoa, merasa tidak pada
tempatnya.
“Yah, tidak ada gunanya
mengeluh... Warna ini akan cocok dengan pakaian apa pun, jadi kurasa ini akan
sempurna.”
“Ya, ya~ lebih baik yang begini
ketimbang membeli tas seharga 140,000 yen, oke? Alissa pasti akan panik juga.” (TN: Sekitaran 20
jutaan)
Sambil mengomentari tas yang
tidak praktis untuk anak SMA yang dilirik oleh pewaris Taniyama Heavy Industries, Nonoa berjalan santai ke tempat Takeshi
dan Hikaru.
“Maaf banget ya, Sayacchi selalu lama kalau berbelanja.”
“Ah, enggak apa-apa...”
“Ya... Yah, kurasa ada banyak gadis
yang seperti itu.”
“Ya, begitulah~? Tapi bukannya
ini membosankan?”
“Tidak, yah, karena Sayaka-san
sepertinya menikmatinya...”
Melihat Sayaka yang terlihat
begitu menikmati dirinya sendiri meskipun memiliki ekspresi tegas, Takeshi
tertawa kecil. Melihat reaksinya, Nonoa memiringkan kepalanya sedikit.
“Memangnya semenyenangkan itu melihat
orang yang kamu sukai bersenang-senang~?”
“Eh, ahh~~... Tapi, bukannya
normal jika kamu ingin orang yang kamu sukai selalu tersenyum? Meskipun ekspresi
Sayaka-san yang sekarang bukan sedang tersenyum, sih...”
Takeshi mengatakan itu sambil
menggaruk pipinya karena malu, lalu Nonoa mengangkat sebelah alisnya untuk
menanggapinya.
“Apa iya? Kalau aku sih, aku
ingin melihat berbagai ekspresi dari orang yang kusukai~.”
Takeshi sedikit melebarkan
matanya setelah mendengar perkataan Nonoa, ia lalu mengangguk seolah-olah
mengerti setelah beberapa saat.
“Be-Begitu ya... Itu karena
kamu ingin orang yang kamu sukai menunjukkan semua ekspresinya padamu, termasuk
wajah menangis dan marah... kamu sungguh dewasa sekali...”
“Kedengarannya sangat berbeda
ketika Nonoa-san yang mengatakannya, ya...?”
Takeshi dan Hikaru mengangguk
dalam-dalam karena merasa terkesan. Tanpa menjawab, Nonoa mengamati Sayaka yang
sedang berinteraksi dengan seorang pelayan toko.
(Ya,
aku ingin melihat berbagai ekspresinya...)
Makna dari tatapan mata Nonoa.
Penafsiran mereka pada dasarnya salah paham. Akan tetapi, Takeshi dan Hikaru tidak
pernah menyadarinya.