Roshidere Jilid 8 Bab 1 Bahasa Indonesia

Chapter 1 — Cinta Pertama

 

Setelah acara perlombaan pagi festival olahraga, halaman sekolah Akademi Seirei dipenuhi dengan suasana yang cerah dan meriah setelah pertarungan kavaleri antar calon ketua OSIS selesai. Di dalam gedung sekolah yang sunyi, agak menjauh dari halaman sekolah yang ramai.

“Fyuh...”

Kuze Masachika menghela nafas kecil setelah meninggalkan ruang kelas 1-B.

Setelah kalah dari pasangan Yuki dan Ayano dalam pertandingan kavaleri, Masachika menyemangati Alisa yang depresi sendirian di kelas, dan berjanji akan merayakan ulang tahunnya, tapi...... Sekarang, setelah keluar dari ruang kelas, dirinya mengingat perilakunya sendiri dan tubuhnya mendadak menggigil saat mengingatnya.

(Uwaaah, aku terlalu sok keren... Aku benar-benar menjijikkan)

Rasa malu mulai merayap perlahan-lahan di dalam dirinya, jadi Masachika bergegas pergi ke lapangan untuk makan siang. Saat ia berjalan sambil mencari-cari kakek neneknya, dan kakeknya, Tomohisa, yang lebih dulu menyadarinya, langsung mengangkat tangannya kepada Masachika.

“Oh, oii~~, Masachika! Di sini, di sini!”

“Tidak perlu teriak-teriak keras begitu, malu-maluin...”

Meskipun tindakan tersebut tidak menarik perhatian banyak orang karena keluarga lain juga sedang makan, tapi tetap saja Masachika adalah seorang remaja yang sedang dalam masa pubertas.

Sambil menahan rasa malunya yang tidak bisa disembunyikan, ia berjalan tergesa-gesa menuju kakek dan neneknya.

“Ara, kamu datang juga ya. Ayo duduklah.”

Masachika duduk di atas lembaran plastik sambil tersenyum tipis pada neneknya, Asae, yang sedang tersenyum ceria.

“Ini serbetmu.”

“Oh, terima kasih.”

Setelah pertandingan kavaleri, Masachika sudah mencuci tangan di toilet tapi hanya sedikit mengeringkannya dengan serbet yang diberikan. Sambil memandang sekeliling, dirinya memastikan bahwa ibunya yang tadi bersama kakek dan neneknya tidak ada di tempat ini. Pada saat yang sama, Masachika juga menyadari kalau ayahnya juga tidak ada di sini, jadi ia berkata dengan santai.

“Ayah masih belum datang ya. Padahal pagi tadi ia mengirim pesan kalau ia akan tiba sekitar siang.”

“Hmm, mungkin ia terlambat? Mungkin saja ia ketinggalan pesawat.”

“Mana ada yang namanya bisa ketinggalan pesawat. Itu bukan kereta, kali.”

Saat Masachika mengomentari kekonyolan Tomohisa, Asae membuka kotak bekal sambil tersenyum cerah.

“Ayo, makan yang banyak ya~? Ada banyak ham yang kamu sukai loh, Masachika-chan~”

“Wah, irisan ham-nya tebal banget...”

“Yang begitu jadi terlihat lebih enak, ‘kan?”

“Itadakimasu.”

Asae tersenyum ceria saat makan bersama cucunya. Masachika merasa malu karena makan di depan umum bersama dengan kakek dan neneknya, tetapi dirinya tidak mampu berkata apa-apa ketika melihat senyum tulusnya.

Masachika menundukkan kepalanya sedikit sambil menyatukan kedua tangan, lalu mulai menggunakan sumpit untuk menyantap bekal makan siang buatan neneknya. Tomohisa dan Asae memandang Masachika dengan senyum bahagia dan....... sedikit rasa lega.

 

◇◇◇◇

 

“Huuh... Sepertinya aku kebanyakan makan.”

Masachika bergumam demikian sambil berjalan mengelilingi area sekitar lapangan untuk mengatasi perutnya yang terlalu kenyang.

Meskipun dirinya bermaksud untuk makan secukupnya agar tidak terpengaruh dalam pertandingan sore nanti, tapi neneknya terus mendorongnya untuk makan berbagai macam makanan, hingga akhirnya Masachika tak bisa menahan diri dan terlalu banyak makan.

(Oh ya benar juga... mungkin aku akan mampir ke ruang UKS sebentar.)

Tiba-tiba hal tersebut terlintas di dalam pikirannya, jadi Masachika berbalik melangkah menuju gedung sekolah. Sebenarnya, setelah pertandingan kavaleri tadi, ada beberapa anggota timnya yang terluka. Lebih tepatnya, orang yang terluka adalah Nonoa dan Takeshi.

(Kalau tidak salah dia melakukan tekel yang sangat hebat... Mengingat sifatnya, aku yakin dia pasti akan melakukan tekel yang akan dianggap pelanggaran dalam olahraga rugby)

Masachika tersenyum pahit saat memikirkan gadis yang berada di garda terdepan kudanya dan mungkin yang paling sering melakukan tekel. Namun, karena Nonoa adalah orang yang paling terluka parah, senyum pahitnya tersebut sebagian besar berasal dari rasa penyesalan. Meskipun cederanya hanyalah luka lecet, tapi sebagai seorang gadis, ditambah lagi dia juga berprofesi sebagai model, terluka, Masachika merasa tidak enakan padanya.

(Meskipun dia sendiri terlihat biasa-biasa saja, tapi...... keberaniannya yang tanpa ragu-ragu itu sangat menakutkan... Tapi dia sangat diandalkan jika berada di pihak kita...)

Namun, tidak peduli bagaimana caranya, hal tersebut dia lakukan demi membantu memenangkan Alisa dan Masachika. Jika dia memang sedang istirahat di ruang perawatan, sudah menjadi hal yang wajar untuk membawakan sesuatu sebagai tanda perhatian.

Sementara itu, mengenai Takeshi, dalam upayanya untuk melindungi Sayaka yang hampir terjatuh akibat dampak dari tekel, dirinya malah terkena tangan atau punggung Sayaka yang mengenai wajahnya dan membuat hidungnya berdarah. Cedera itu merupakan lencana kehormatannya (?).

Selain itu, wajahnya juga tampak memerah dengan aneh, dan sikap Sayaka pun terlihat sedikit canggung. ..... Oleh karena itu, Masachika tidak berani bertanya apapun. Meskipun tidak jelas secara spesifik bagaimana perlindungan dilakukan atau bagaimana kontak itu terjadi, tapi Masachika memutuskan untuk tidak menggali lebih dalam. Dirinyaa tidak tahu bagaimana seharusnya bereaksi ketika mendengar tentang event si mesum beruntung dari temannya.

(Sekarang, mengenai keadaan Nonoa.....)

Ketika ia melongok ke dalam ruang UKS dari pintu geser yang terbuka, Masachika melihat tirai di tempat tidur depan tertutup.

(Upss, apa ada yang sedang tidur?)

Jika memang itu masalahnya, ia tidak ingin mengganggu orang lain, jadi Masachika pelan-pelan memasuki ruang UKS dan memeriksa ruangan dalam diam. Mungkin guru UKS-nya juga sedang tidak berada di tempat, karena tidak ada bayangan orang dalam jangkauan pandangnya.

(Tidak ada, ya.... Kurasa mungkin dia sudah kembali)

Kurasa keadaannya sudah membaik, jadi Masachika hendak keluar dari ruang UKS ketika.....

“Apa kamu sudah sedikit tenang?”

Masachika menghentikan langkah kakinya saat mendengar suara seorang pria dari balik tirai di sebelahnya.

(Hah, kenapa?)

Dirinya mengira kalau itu hanyalah suara orang lain yang hanya mirip dengan seseorang yang dikenalnya, tapi ketika mendengar suara yang berbeda, hatinya seakan-akan membeku.

“Iya..... Maafkan aku. Karena tiba-tiba menangis begitu.....”

Suara itu adalah suara yang takkan pernah Masachika lupakan, terlepas dari berapa lama waktu yang berlalu. Suara ibunya yang kadang-kadang ia rindukan, dan terkadang ia hindari.

Saat menyadari hal itu, Masachika segera menyadari bahwa suara tadi tidak diragukan lagi merupakan suara ayahnya, yang mana hal itu membuat Masachika semakin bingung.

(Kenapa? Kenapa??)

Tanda tanya terus berputar-putar di dalam kepalanya. Mengapa, kedua orang ini bersama-sama? Mengapa kakek dan nenek berbohong atau mengapa......

“Tidak apa-apa, kok. Apa kamu bersedia menceritakan alasannya?”

“......Aku tidak tahu...... Ketika aku melihat Yuki-san dan Masachika-san, entah kenapa......”

“Begitu, ya... Kamu tidak perlu merasa terburu-buru. Meskipun kamu belum bisa merapikannya, bisakah kamu pelan-pelan menceritakannya padaku?”

Suara kedua orang tersebut memasuki telinga Masachika yang membeku seolah-olah terpaku di tempat.

Meskipun otaknya yang tengah kacau tidak bisa memahami isinya...... ......Namun, dirinya menyadari bahwa ada rasa kasih sayang yang pasti mengalir di antara keduanya.

Pada saat ia menyadari kenyataan itu…..

“!!!”

Tanpa sadar, Masachika sudah bergegas keluar dari ruang UKS.

“Haaah, haa...... ugh.”

Masachika mengatur napasnya yang terengah-engah, seolah-olah habis berlari sekuat tenaga dalam waktu yang lama, dan menopang tubuhnya di dinding lorong. Lantai lorong yang terlihat di pandangannya, anehnya tampak kabur.

Masachika sebenarnya sudah tahu. Bahwa mereka berdua... Ayah dan Ibunya masih sering bertemu bahkan setelah mereka bercerai. Ayahnya, Kyotarou, tidak pernah mengatakannya secara langsung, tapi Masachika sudah bisa menduga begitu. Tapi......

(Kenapa, dulu, semuanya lebih......)

Ketika Masachika memikirkan gambaran orang tuanya yang terpatri jelas di benak Masachika adalah ibunya yang secara emosional memarahi ayahnya yang bermasalah. Akan tetapi... suara mereka berdua yang baru saja ia dengar melalui tirai, merupakan suara mereka dari masa lalu ketika hubungan mereka masih baik-baik saja...

(Mengapa, mengapa......)

Tanda tanya besar terus berputar-putar di dalam pikirannya. Pikirannya terdorong ke dasar pusaran itu.

Jika masih ada rasa saling pengertian. Jika masih ada kemauan untuk saling mendukung. Mengapa, mereka berdua berpisah?

Sebenarnya untuk apa......demi siapa mereka harus melakukan itu ......

“Ugh!”

Masachika tiba-tiba merasakan mual yang hebat, dan ia segera menutup mulutnya. Kemudian, ia merapatkan punggungnya yang tanpa sadar sudah meringkuk, dan mengambil napas dalam-dalam dengan paru-paru yang gemetar.

“Hmm, guh......”

Dirinya menelan sesuatu yang naik dari dalam dadanya, dan setelah berkedip beberapa kali, penglihatannya yang kabur kembali jernih. Namun pada saat itu... Ia melihat kemunculan Ayano di tikungan lorong depannya. Kemudian, tiba-tiba, seseorang yang tidak disangka-sangka juga muncul dari belakangnya, membuat Masachika terperangah.

“!!”

Pada saat yang sama, tampaknya pihak lain yang ada di depannya juga menyadari keberadaannya, dan Ayano yang berjalan di depan, berhenti sejenak. Namun, karena orang di belakangnya tidak berhenti, meskipun terlihat sedikit terkejut, Ayano kembali melanjutkan langkahnya.

(Kenapa......)

Masachika masih tertegun…. saat melihat kakek dari pihak ibunya, Suou Gensei, berjalan di belakang Ayano.

Meskipun sudah bertahun-tahun tidak bertemu, tidak ada sedikit pun tanda-tanda penurunan kekuatan dan kegagahan dalam penampilan kakeknya, dan matanya yang dingin masih tetap sama. Dilihat dari pakaiannya yang rapi dengan menggunakan jas, mungkin ia sedang meninggalkan pekerjaannya atau mungkin sedang dalam perjalanan pulang kerja.

Sambil memikirkan hal-hal seperti itu, jarak antara mereka semakin dekat. Ketika Gensei berhenti sekitar dua meter dari Masachika, ia menatap Masachika dengan tajam.

“Sudah lama tidak bertemu.”

“.........”

Meskipun setidaknya kakeknya memberikan sapaan, Masachika bingung bagaimana cara berbicara dengan Gensei. Di masa lalu, Masachika berbicara dengan bahasa sopan layaknya anak dari keluarga terhormat, namun... dalam hubungan mereka sekarang, apa benar-benar perlu untuk tetap menggunakan bahasa sopan? Namun sebaliknya, menggunakan bahasa santai juga terasa sulit karena hubungan hierarki yang sudah tertanam begitu lama.

“......Apa yang…kakek lakukan di sini?”

Pada akhirnya, yang keluar dari mulut Masachika adalah pertanyaan yang tidak jelas apakah ia menggunakan bahasa sopan atau santai. Gensei hanya menatapnya dengan dingin sebagai jawabannya.

Dengan tatapan dingin itu, Masachika merasa seakan-akan segala hal tentang dirinya telah terbongkar. Kemudian, segera setelah itu, perasaan malu dan keinginan untuk melawan tumbuh dalam dirinya.

“Aku datang untuk menjemput Yumi yang katanya pingsan.”

Namun, Gensei terlihat tidak peduli dengan pertarungan batin Masachika, ia hanya mengucapkan itu dan melangkah pergi melewati Masachika.

“Bagaimanapun juga, ini sudah bukan urusanmu lagi.”

Kata-kata yang diucapkan saat mereka saling berpapasan membuat perasaan perlawanan muncul di dalam diri Masachika. Dirinya segera menoleh dan menatap punggung Gensei, tapi...

“Huh...!”

Dengan mulut yang setengah terbuka, Masachika tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Tanpa bisa menemukan kata-kata untuk menentang perkataan “ini bukan urusanmu lagi”, Masachika hanya bisa melihat Gensei melangkah pergi. Melihat ekspresi wajah Masachika dan punggung Gensei secara bergantian, Ayano terlihat bimbang dan ragu.

“........”

Namun, setelah beberapa detik penuh kebimbangan, Ayano akhirnya hanya membungkuk ringan pada Masachika dan kemudian mengikuti langkah Gensei.

Tanpa benar-benar memperhatikan kedua orang itu memasuki ruang UKS, pemikiran Masachika sudah dipenuhi oleh kemungkinan bertemu Yumi di sana. Tanpa pikir panjang lagi, dirinya segera meninggalkan tempat itu dengan cepat.

“Hahhh...”

Masachika keluar dari gedung sekolah dan menatap langit. Ia menghembuskan nafas panjang dan berat dari dalam dadanya menuju arah langit musim gugur yang seolah-olah masih memancarkan panas musim panas yang tidak wajar.

“........”

Enah sejak kapan, rasa mualnya sudah menghilang. Yang tersisa hanyalah perasaan “aku melarikan diri lagi” yang menghantui pikirannya.

“Ugh.”

Suara yang keluar tanpa disertai rasa mual, untuk siapa atau untuk apa suara tersebut ditujukan? Tanpa kesadaran atau analisis diri, Masachika dengan ringanmenggelengkan kepalanya dan kemudian dengan kewajiban menuju tenda OSIS.

Mungkin anggota OSIS lainnya masih makan atau sedang bekerja, karena tenda tersebut terlihat kosong. Namun, tanpa ingin berbicara dengan siapapun, Masachika merasa cukup nyaman dan duduk di kursi lipat dengan kasar.

(Haaaa~~a, jika aku terus begini, sepertinya aku akan dihibur oleh Masha-san lagi......)

Dirinya memikirkan hal itu secara samar-samar... beberapa detik kemudian, kilatan cahaya muncul di pikirannya.

(Yuki!! Bagaimana dengan keadaan Yuki!?)

Setelah menyadari hal itu, Masachika merasa marah pada dirinya sendiri karena baru sekarang memikirkan adiknya. Didorong oleh dorongan untuk memukul dirinya sendiri dengan keras, Masachika meninggalkan tenda dan mulai mencari Yuki.

Masachika melihat sekeliling kerumunan orang sambil berjalan di sekitar tepi lapangan sekolah. Kemudian, ia menemukan Yuki sedang berbicara dengan beberapa siswa yang tampaknya anggota komite pelaksana di dekat gerbang masuk, dan Masachika langsung berlari mendekatinya.

“Yuki!”

Ketika mendengar teriakan keras tersebut, tidak hanya orang yang dipanggil, tetapi juga siswa di sekitarnya pun ikut berbalik dengan cepat. Masachika tersentak sejenak saat merasakan tatapan orang-orang di sekelilingnya dipenuhi rasa penasaran,. Dan ia segera menyadari arti dari pandangan itu.

(Ah, benar juga. Kami berdua........)

Hanya beberapa puluh menit yang lalu, mereka berdua adalah kandidat yang bersaing dalam pemilihan. Sekarang, kedua orang tersebut sedang berbicara. Para siswa di sekitarnya sedang memperhatikan itu.

“……”

Masachika yang telah melupakan segala sesuatu tentang pemilihan karena hal-hal yang terjadi setelahnya, merasa tidak nyaman dengan perhatian tak terduga dari orang-orang sekitarnya.

Mungkin karena mengkhawatirkan kakaknya, Yuki menghampiri Masachika dan berkata sambil tersenyum anggun.

“Ara, ada apa? Masachika-kun. Kamu terlihat terburu-buru begitu.”

“........”

Masachika memikirkan apa yang harus ia katakan kepada Yuki, yang sadar akan perhatian orang-orang...

“......Apa kamu baik-baik saja?”

Alhasil, perkataan yang keluar adalah pertanyaan yang abstrak. Yuki memiringkan kepalanya sedikit sebelum menjawab.

“Oh, apa kamu bertanya tentang insiden terakhir dalam pertandingan kavaleri tadi? Aku baik-baik saja. Alya-san telah menangkapku dengan baik.”

Bukan berarti Yuki tidak mengerti maksud dari pertanyaan Masachika. Dia mengerti hal itu, dan dia memilih untuk menyamar dengan pembicaraan tentang perlombaan dan mengatakan “aku baik-baik saja”. Setelah memahami hal itu dengan jelas, Masachika tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.

Jika mereka berdua masih menjadi pasangan dalam pemilihan OSIS sama seperti saat di sekolah SMP dulu, Masachika mungkin bisa membawa Yuki pergi dengan paksa untuk memperhatikannya lebih lanjut.

Namun mereka berdua sekarang sedang bersaing dalam pemilihan OSIS, dan jika ia melakukan sesuatu yang salah, hal itu bisa menimbulkan kesalahpahaman atau spekulasi yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, Masachika tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.

“Terima kasih karena sampai repot-repot mengkhawatirkanku. Kalau begitu aku permisi dulu karena masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.”

“Ah... begitu ya.”

Yang bisa Masachika lakukan hanyalah melihat adiknya yang melangkah pergi. Merasa bahwa tatapan penasaran dari sekitarnya mulai sedikit demi sedikit berkurang, Masachika dengan perasaan tidak berdaya pergi ke tenda OSIS. Di tengah perjalanan, suara yang akrab bagi Masachika terdengar di telinganya saat pandangannya menunduk ke bawah.

“Masachika-sama.”

Ketika ia mengangkat wajahnya mendengar panggilan itu, Masachika melihat Ayano yang mengenakan seragam olahraga. Dia mungkin baru saja mengantarkan Gensei dan baru kembali.

Melihat wajah teman masa kecilnya yang menatapinya, Masachika tersenyum lemah dan berkata dengan suara yang sedikit serak.

“Maaf, Ayano... Tolong urus Yuki.”

Dengan permintaan lemah Masachika yang terdengar sangat kelelahan, Ayano memberi salam seperti biasanya.

“Tentu, anda bisa menyerahkannya pada saya.”

Namun, kali ini berbeda... ucapannya masih belum berakhir.

“Tapi...”

“Hmm?”

Ayano menatap Masachika, yang ekspresinya dipenuhi dengan tanda tanya. Setelah merasa ragu-ragu sejenak, Ayano kemudian berbicara seolah dia sudah mengambil keputusan.

“Menurut saya, orang yang paling dibutuhkan Yuki-sama saat ini adalah….. anda sendiri, Masachika-sama.”

“!!!”

“Kalau begitu, saya permisi dulu.”

Dengan kalimat itu yang disampaikan sambil menatap Masachika dengan tatapan tajam, itu menusuk langsung ke dalam hati Masachika. Setelah memberi salam sekali lagi kepada Masachika yang terdiam, Ayano melangkah pergi melewati samping Masachika.

Tidak dapat menyampaikan salam perpisahan, Masachika perlahan-lahan menundukkan kepala dan kembali ke tenda OSIS. Kemudian, setelah duduk di kursi lipat di tenda yang sepi, Masachika menatap cahaya matahari yang berkilauan di lapangan dan merenung.

“Dingin sekali...”

 

◇◇◇◇

(Sudut Pandang Alisa)

Waktunya dimundurkan kembali sejenak... di dalam kelas setelah Masachika pergi, Alisa tengah berada dalam pusaran kebingungan.

(Cinta? Aku, jatuh cinta? Pada siapa? Pada Masachika-kun?)

Di dalam pikirannya, pertanyaan-pertanyaan semacam itu terus berputar tanpa henti.

(Tidak, mana mungkin... karena, aku, tidak mungkin jatuh cinta)

Meskipun pikirannya mencoba untuk terus menyangkalnya, tapi hatinya justru berdebar-debar dengan perasaan bahagia yang aneh. Alisa menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan duduk dengan keras di kursi.

(Tenangkan dirimu, Kujou Alisa! Kamu harus mengingat idealmu sendiri!)

Dan kemudian, dia menegur dirinya sendiri dengan kata-kata yang tegas.

Ya, idealnya sendiri... ialah menjadi sempurna. Dia ingin menjalani kehidupan yang tidak memalukan bagi siapa pun, termasuk diri saya sendiri, entah itu sebagai manusia... dan sebagai wanita juga.

Menurut Alisa, gambaran ideal wanita terbagi menjadi dua.

Pertama, wanita yang bisa dikatakan sebagai wanita baja. Sebuah jalan untuk menjadi individu yang kokoh tanpa membutuhkan seorang pria. Keren. Tanpa diragukan lagi kalau itu keren.

Dan yang kedua ialah... bisa dikatakan sebagai dua orang yang saling melengkapi. Bertemu dengan pasangan yang sempurna, ideal, dan ditakdirkan, saling mendukung satu sama lain sebagai pasangan yang tak tertandingi, dan berjalan bersama dalam kehidupan yang indah. Mengagumkan. Pasti semua orang akan mengakui bahwa itu adalah kehidupan yang indah.

(Benar sekali... orang yang akan menjadi pasangan hidupku haruslah orang yang sempurna, ideal, dan jodohku!)

Jika dia sempurna dan ideal, tentu saja pasangannya harus seimbang dengan dirinya dalam segala hal. Artinya...

(Ia harus memiliki wajah yang tampan, tubuh yang bagus, cerdas, atletis, dan juga memiliki kepribadian yang tidak pelit usaha... dan jika mungkin, berhati lembut dan berkepribadian jantan)

Setelah penuh dengan penilaian diri yang hampir meluap, Alisa menambahkan sedikit keinginannya. Sebenarnya, dia tidak begitu mementingkan masalah penampilan, jadi yang paling penting adalah bagian terakhir dari keinginannya.

Meskipun tidak yakin apakah dia menyadarinya atau tidak, Alisa sekali lagi menilai Masachika dengan tenang. Pertama-tama, penampilan.

“.....”

Setelah menutup matanya, dia membayangkan wajah Masachika di dalam pikirannya... Alisa menyilangkan kedua lengannya dengan raut wajah kesal, bibirnya sedikit cemberut sambil memainkan rambutnya.

(Yahh... mungkin tidak buruk jug? Ketika pertama kali aku melihatnya, kesan wajahnya agak datar, tapi kalau diperhatikan lebih jelas... cukup keren... bukan? Dan gayanya juga tidak buruk kan?)

Mengingat tubuh Masachika yang dilihatnya di pantai, Alisa berdeham dengan ringan. Penampilannya bisa dianggap lulus. Selanjutnya adalah kemampuan.

(Otaknya... cukup cerdas, ‘kan? Setidaknya dia sangat cepat berpikir... dan sepertinya juga cukup lihai dalam olahraga? Eh? Jika dipikir-pikir...)

Kalau dipikir-pikir, bukannya Masachika-kun cukup sempurna dan ideal? Saat Alisa berpikir demikian, bayangan Masachika dalam pikirannya tiba-tiba terlihat malas dan culas, yang mana hal itu membuatnya kesal.

(Benar sekali... Ia memang memiliki kemampuan yang unggul, tapi ia tidak mempunyai semangat! Dasar orang itu!)

Merasa malu pada dirinya sendiri sejenak karena sempat mempertimbangkan Masachika sebagai pasangan ideal, Alisa mulai mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap Masachika.

(Ia selalu malas dan cuek... tidak serius dan suka jahil... dan ia selalu bertingkah sok dan memperlakukanku seperti anak kecil! Penampilannya selalu acak-acakan dan suka tidur di dalam kelas... ia terus curi-curi pandang pada payudara dan kakiku….ia sangat dekat dengan banyak gadis... jadi ia sama sekali bukan cowok jantan!

Alisa meneriakkan itu di kepalanya dan menghela nafas panjang yang berat. Namun, segera perasaan kesepian mulai muncul, dan pada saat yang sama, satu kata muncul dari lubuk hatinya.

――Tapi... ia baik.

Suara hatinya tersebut mendinginkan kepala Alisa yang sedang memanas.

Ketika dia membuka matanya dan melihat ke atas meja, ada botol air minum yang dibungkus dengan sapu tangan. Itu adalah bukti kebaikan Masachika.

(Ya, benar sekali... Masachika-kun…ia selalu bersikap baik...)

Masachika sudah memberikan banyak kebaikan padanya, baik itu sebelum dan sesudah mereka menjadi pasangan calon pemilihan ketu OSIS.

Hanya dengan mengingat semua itu, hati Alisa dipenuhi dengan kehangatan yang lembut, dan dia merasa seperti akan menangis sambil tersenyum... Dia tersadar, dan menggelengkan kepalanya.

“Tidak... itu tidak cukup... hanya berdasarkan itu saja masih tidak cukup untuk menentukan pasangan hidup...”

Alisa menggigit bibirnya dengan kuat dan berbicara pada dirinya sendiri dengan suara pelan.

Ya, hanya itu saja masih tidak cukup. Pasangannya haruslah sempurna, ideal, dan juga jodoh. Jika ingin dikatakan takdir, maka ya... perjumpaan mereka haruslah seperti itu. Saat pertama kali mereka bertemu, mereka seakan-akan mempunyai firasat mengenai apa yang akan terjadi di masa depan. Pasangan yang membuatnya merasakan ikatan yang kuat seperti itu. Dengan pertimbangan itu, bagaimana pertemuan pertamanya dengan Masachika?

(...Ia sedang tidur)

Wajah Alisa menjadi datar saat dia mengingat Masachika berbaring di atas meja di sebelahnya setelah upacara pembukaan kelas 1 SMA. Tidak ada sedikit pun keterkejutan atau romantisme. Sebagai sebuah drama romantis, cara pertemuan mereka bisa dibilang hanya biasa-biasa saja.

(Sudah kuduga, memang tidak bisa. Tidak ada sedikitpun perasaan ditakdirkan sama sekali...)

Sembari menyisir rambutnya ke belakang, Alisa tiba-tiba melontarkan senyuman konyol. Tapi segera, perasaan kesepian kembali menyerangnya, dan hatinya berbisik.

―— Tapi ia mengulurkan tangannya padaku.

[Mendingan kamu diam saja dan peganglah tanganku! Alya!]

Jika dipikir-pikir, itulah awal dari semuanya. Sejak saat itu, mereka berdua telah berjalan bersama-sama sebagai partner. Jadi, bisa dibilang bahwa itu adalah suatu takdir...

(Tidak, itu tidak benar! Jika hal itu dibilang takdir, maka... kalau begitu, jika kami memang berpacaran, kita harus menikah!)

Bagi Alisa, hubungan tanpa mempertimbangkan masa depan hanyalah main-main belaka. Itu bukanlah perilaku seorang wanita ideal yang didambakan Alisa.

Jika Alisa menjalin hubungan dengan seseorang, itu harus didasarkan pada niat untuk menikah...

(Bisakah aku menikahinya? Dengan Masachika-kun!!)

Dia menanyakan hal itu pada dirinya sendiri dengan kata-kata tegas, seolah-olah menuangkan air dingin pada semangatnya sendiri.

Ya, sekarang dirinya memang sudah agak membaik, tapi Masachika pada dasarnya adalah pria yang malas dan suka mengeluh. Jika dia menikah dengan pria seperti itu, Alisa pasti akan merasa stres setiap hari. Ia akan malas-malasan dan ceroboh setiap hari, dan ia mungkin tidak mau bangun hingga menit terakhir di pagi hari, jadi Alisa harus membangunkannya setiap pagi. Dan pria itu pasti akan bercanda sambil tersenyum-senyum, “Aku tidak bisa bangun kalau tidak ada ciuman pagi darimu,” atau sesuatu yang konyol seperti itu. Hmm, rasanya tidak terlalu buruk juga.

(Tidak, bukannya itu sangat buruk!?)

Dia mencela dirinya sendiri dalam pikirannya, sambil menggeliat-geliatkan badannya di atas kursi.

“Aaaah~~, sudahlah!”

Alisa berusaha mengesampingkan pemikirannya yang terus-menerus berputar antara penolakan dan penerimaan dengan suara keras. Lalu, setelah sekali mengatur ulang pikirannya dan merosot lemas di kursi, sebuah sindiran muncul di pikirannya yang kembali kosong.

(Apa sih yang sedang aku lakukan.........)

Sungguh konyol sekali. Dia berusaha sekuat tenaga menolak perasaan cintanya, karena dia tidak bisa jujur dengan dirinya sendiri, dan kemudian menyangkal bahwa Masachika bukanlah tipe idealnya. Rasanya seperti bermain sumo seorang diri. Semakin banyak alasan yang dia timpa, semakin jelas bahwa dirinya benar-benar tertarik pada Masachika.

Bukan pasangan ideal? Bukan pasangan yang ditakdirkan? Jika begitu, lantas apa? Perasaannya tersebut tidak sedangkal itu sehingga bisa ditolak dengan alasan yang sepele.

Alasan yang sepele? Padahal selama ini kamu hidup mengejar citra diri yang ideal, tapi sekarang kamu menolak cara hidup yang seperti itu?

Mungkin bagian tenang dalam dirinya berbicara di dalam pikirannya.

Bukankah pikiranmu cuma terbuai oleh cinta pertamamu? Padahal masih ada kemungkinan kalau kamu akan bertemu dengan seseorang yang lebih ideal untukmu di masa depan. Kamu itu baru mengenal beberapa pria, jadi memutuskan pasangan hidup di usia yang masih sangat muda adalah hal yang gila.

Apa yang dikatakan suara dalam pikirannya mungkin benar adanya. Bahkan dirinya sendiri saat ini pun sangat memahami hal tersebut. Mungkin memang benar kalau dia sedang tidak waras. Mungkin memang benar kalau dirinya sedang terbuai oleh cinta.

Tapi, entah mengapa dia merasa itu baik-baik saja.

“(Sungguh, aku mungkin sedang tidak waras)”

Hingga saat ini, setiap kali Alisa melihat seorang wanita yang menyesal karena berpacaran dengan pria yang tidak baik, dia selalu meremehkannya di dalam hati. Karena menurutnya, itu semua karena kesalahan mereka sendiri tidak memilih pasangan yang tepat. Dia berpikir kalau sebelum berpacaran, mereka seharusnya bisa tahu  bahwa pasangannya itu bukanlah pria yang layak. Tapi, ahh ternyata itu salah. Itu hanyalah omong kosong dari gadis yang tidak mengerti tentang cinta.

Karena tidak ada yang bisa dilakukan lagi. Begitu kamu jatuh cinta dengan seseorang. Kamu ingin menutup mata terhadap semua kekurangan dari pasanganmu, sekalipun kamu bisa melihatnya.

“Aku mencintainya...”

Dia berbisik dengan pelan. Dengan kehati-hatian, penuh perasaan, dan seakan ingin memastikan, Alisa sekali lagi berbisik.

"Aku menyukai Masachika-kun...”

Kata-kata yang dibentuk dengan perasaannya itu meresap ke dalam otaknya melalui telinganya. Hanya dengan itu saja sudah membuat hatinya dipenuhi oleh perasaan bahagia. Dia merasa malu dan senang, membuatnya ingin berguling-guling atau bahkan menari. Perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata lain selain kegembiraan melanda seluruh tubuhnya.

“Nfufufu

Alisa memegangi pipinya yang hendak tersenyum dengan kedua tangannya, dan menggerak-gerakkan kakinya di kursi. Ah, bagaimana bisa dia melawan perasaan ini? Rasionalitas dan logika sama sekali tak berdaya di hadapan perasaan bahagia ini. Hanya dengan membayangkan menolak perasaan ini dengan alasan-alasan itu saja sudah membuatnya sedih.

Kemudian pada saat itu…

[Saya minta maaf karena mengganggu selama istirahat siang. Telah ditemukan smartphone dengan gantungan kunci berwarna merah dengan karakter kucing――]

Mendengar pengumuman mendadak itu, Alisa tiba-tiba tersentak bangun dari sandaran punggungnya dan memeriksa jam kelas.

“Eh, sudah jam segini?”

Sudah berapa lama dirinya berada di sini? Jika dia tidak segera makan, dia akan terlambat untuk kompetisi sore hari nanti.

“Aku harus bergegas!”

Alisa keluar dari ruang kelas dengan tergesa-gesa dan secara refleks memeriksa wajahnya yang terpantul di jendela.

“Hm!”

Dia menepuk pipinya sekali dan menegangkan ekspresinya. Meskipun hatinya masih berdebar-debar, dia tahu jika menunjukkan perasaannya, kakak dan ibunya akan merasa penasaran dan menghujaninya dengan rentetan pertanyaan.

Yosh, baiklah.”

Dengan serius, Alisa mengatur kembali ekspresinya dan melangkah menuju lapangan sekolah. Dia kemudian berhasil makan siang tepat sebelum jam istirahat makan siang berakhir, setelah menepis pertanyaan orang tua dan kakak perempuannya yang khawatir dengan kedatangannya yang terlambat.

“Baiklah~ kalau begitu, Alya-chan, aku harus pergi untuk membantu di sana.”

“Apa perlu aku bantu juga?”

“Tidak usah, aku baik-baik saja, kok~. Terima kasih.”

Setelah berpisah dengan kakaknya yang tersenyum lembut, Alisa berjalan sendirian menuju tenda OSIS. Ketika dia melihat Masachika yang sedang sendirian di tenda…… hatinya berdebar-debar dengan kencang.

Perasaan bahagia yang dia tahan tiba-tiba meluap lagi dari dalam dadanya, dan Alisa menegangkan wajahnya dengan keras. Kemudian, dia masuk ke tenda dengan sikap seolah-olah tidak ada terjadi apa-apa.

“Kerja bagus.”

“Yeah... Apa kamu sudah baikan sekarang?”

Alisa terkejut sejenak karena tidak memahami pertanyaan Masachika. Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya dia menyadari bahwa Masachika sedang bertanya tentang kekalahannya dalam pertandingan kavaleri tadi.

“Ah, ya, aku sudah baik-baik saja. Maaf sudah membuatmu khawatir.”

“Tidak apa-apa, jangan terlalu dipikirkan.”

Masachika mengatakan itu dengan santai sembari mengangkat bahunya. Kebaikannya yang seperti itu begitu menyenangkan bagi Alisa saat ini. Dia hampir saja tersenyum bahagia, jadi dia segera duduk di kursi dengan tergesa-gesa untuk menyembunyikannya.

"Ehm, untuk perlombaan siang nanti, kamu akan ikut perlombaan yang mana, Masachika-kun?”

“Aku sih tidak mengikuti lomba apapun sampai tarian tiba. Alya juga sama, ‘kan?”

“Ya, memang sih.”

Sebuah percakapan santai seperti biasanya. Namun, bahkan itu pun terasa menyenangkan bagi Alisa, dan dia tersenyum saat menatap Masachika.

“Oh iya, ngomong-ngomong….”

Pada saat itulah, Alisa akhirnya menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan Masachika. Meskipun ekspresinya terlihat biasa saja, tapi pandangan matanya terlihat kosong dan menatap ke arah tertentu.

“??”

Alisa mengikuti garis pandang Masachika... dan saat melihat orang yang ada di sana, dia merasa seperti baru saja disiram air dingin.

(Yuki…-san...)

Di sana, ada Yuki yang sedang berbicara dengan seorang anggota panitia tentang sesuatu.

Saat Alisa melihat bagaimana Masachika menatap Yuki dengan tatapan yang begitu rumit….. dia mengingat bahwa tidak selamanya orang yang disukai akan membalas perasaannya dengan cara yang sama. Kenyataan yang begitu lumrah itu menusuk hati Alisa dengan pedih.

(Ah...)

Bayangan Masachika yang memainkan piano sambil memikirkan seseorang kembali muncul di dalam benaknya. Perasaan bahagia yang terus-menerus mengalir dari dalam dadanya tiba-tiba membeku menjadi dingin.

(Ah, tidak, aku tidak boleh menangis――)

Terombang-ambing oleh gelombang emosi yang tiba-tiba, benteng emosinya hampir runtuh tanpa sempat bersiap-siap. Digerakkan oleh rasa khawatir yang mendalam, Alisa segera bangkit dari kursinya.

“Aku… akan pergi sebentar untuk membantu...”

Setelah dengan susah payah menahan emosinya, Alisa langsung meninggalkan tempat itu.

“Hmm? Oh...”

Meski Masachika merasa sedikit heran, ia tidak memanggil Alisa ataupun mengejarnya.

Dengan emosi yang kembali bergejolak karena hal ini, Alisa meninggalkan tempat itu secepat mungkin.

“...Apa-apaan sih?….apa-apaan ia itu...”

Baru beberapa saat yang lalu dia begitu bahagia, dan semuanya begitu menyenangkan. Tapi sekarang, dia jadi merasa membenci segalanya.

“Apa-apaan sih...”

Sementara Alisa menggigit bibirnya dan Masachika diam-diam menatap Yuki. Tanpa disadari, pengumuman yang mengumumkan dimulainya sesi perlombaan siang hari mulai terdengar.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama