Roshidere Jilid 8 Bab 3 Bahasa Indonesia

Chapter 3 — Kemurnian

 

“Kurasa baru pertama kalinya aku datang ke sini, ya….?”

Pada jam istirahat makan siang. Masachika menerima panggilan di aplikasi perpesanannya dan mendorong pintu menuju tangga eksternal di ujung koridor di lantai dua gedung klub. Pintu logam berat yang aneh itu terbuka dengan suara berderit, dan angin musim gugur yang sedikit dingin berhembus dari depan. Dirinya menyipitkan mata saat melangkah keluar ke tangga luar, dan mendengar suara membosankan yang datang dari tangga menuju lantai pertama.

“Oh, akhirnya datang juga. Yossu~.”

“Oh….yossu~?”

Masachika menuruni tangga, dengan ragu-ragu menanggapi sapaan yang tidak begitu dikenalnya.

“Maaf sudah membuatmu menunggu...Lagian, kenapa kita harus ketemuan di tempat seperti ini?”

Masachika bertanya sambil melihat ke arah orang yang meneleponnya, Nonoa. Tangga darurat yang terbuat dari logam itu terlalu lapang dan agak dingin di musim ini. Jika ingin berbicara, kita seharusnya bisa melakukannya di ruang kelas yang kosong...Masachika mengisyaratkan hal itu, dan Nonoa mengangkat alisnya.

“Kalau ditanya kenapa… jika ada seseorang datang ke sini, kita bisa mudah mengetahuinya dari suaranya?”

Sambil mengatakan itu, Nonoa mengalihkan pandangannya ke atas, lalu berhenti sejenak, dan kemudian melirik ke arah Masachika.

“Lagipula, kupikir aku sudah memberi banyak perhatian dengan keadaanmu loh, Kuzecchi~? Bukannya Kuzecchi-lah yang akan mendapat masalah jika seseorang melihatmu bersama denganku di ruang kelas yang kosong?”

Masachika kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan itu, yang bisa diartikan dengan berbagai maksud. Jika dipikir-pikir dengan jujur, hal itu mungkin berarti, ‘Bukannya itu akan menimbulkan kesalahpahaman jika kamu berduaan di ruang kelas yang kosong bersama denganku, yang sudah melakukan berbagai macam hal di sekolah SMP?' Tapi... ada kemungkinan besar itu hanya tuduhan palsu, tapi dari sudut pandang Masachika, perkataannya bisa juga diartikan, ‘Bukannya itu akan merepotkan jika Alya atau Masha mengetahuinya?'.

(Ya, bagaimanapun juga, tidak ada salahnya untuk menggali lebih dalam.)

Dengan mengingat hal itu, Masachika segera merasa tenang dan mengangkat bahunya dengan santai.

“Jadi? Kamu ingin membicarakan apa?”

Masachika bertanya pada Nonoa, yang sepertinya segera datang untuk memeriksa maksudnya (?), sembari meningkatkan kewaspadaannya sekali lagi. Kemudian, Nonoa berbalik, menyandarkan sikunya pada pagar, dan melihat ke kejauhan. Kemudian, beberapa detik kemudian, dia berbicara dengan suara yang ambigu tanpa melihat ke arah Masachika.

“Hmm enggak juga~~…bukannya karena ada apa-apa sih...”

“Hmm?”

Masachika mengerutkan kening melihat sikap Nonoa yang tidak seperti biasanya, yang pada dasarnya selalu mengatakan apa yang ingin dia katakan. Kemudian, entah kenapa, Masachika ikut berdiri di samping Nonoa dan melihat ke arah halaman sekolah dengan cara yang sama.

Setelah beberapa saat, Nonoa berkata perlahan.

“Sebelumnya, kamu pernah bilang kalau kamu akan mendengarkanku jika aku mau curhat, iya ‘kan~? Jadi kupikir, mungkin aku akan memintamu untuk mendengarkan curhatanku.”

“…Ahh, begitu ya.”

Setelah berpikir sejenak, Masachika mengangguk dan menyadari bahwa dirinya memang pernah mengatakan begitu ketika mereka pergi ke taman hiburan bersama anggota bandnya dan tambahan satu orang lainnya. Pada saat yang sama, Nonoa berkata dengan santai kepada Masachika, yang waspada dengan apa yang akan dilakukannya.

“Bukannya aku ingin meminta saran atau semacamnya sih... Tapi, apa kamu mau mendengarkanku?”

Akhirnya, Masachika memperhatikan dengan serius ucapan Nonoa yang tidak seperti biasanya. Sosok wajah sampingnya yang menatap ke kejauhan begitu tidak berdaya….dan terlihat sedikit murung sehingga membuat Masachika merasa canggung karena ia selalu waspada kepadanya.

“...Yah, karena aku sudah berjanji. Jadi, aku akan mendengarkan ceritamu.”

“Terima kasih.”

Ketika dia dengan patuh mengucapkan terima kasih, Masachika menjadi semakin kebingungan.

(Hmmm~? Jangan bilang kalau dia benar-benar cuma ingin ada orang yang mendengarkannya saja?)

Masachika masih belum bisa menghilangkan keraguannya dan menggaruk-garuk kepalanya berulang kali, tapi Nonoa sepertinya tidak keberatan dan mulai berbicara.

“Kemarin~ aku, Sayacchi, Takeshi, dan Hikarun pergi bersama-sama untuk membeli hadiah ulang tahun Alissa, iya ‘kan~.”

“Iya tau...”

Masachika menolak ajakan mereka karena ia ingin pergi keluar bersama Yuki, tapi ia mengetahui hal tersebut.

“Kemudian, ketika kami sedang makan~~, Saayacchi dan Takeshi mulai bersemangat ngomongin anime, tau.”

“Hee~?”

“Mungkin ia melihat gachapon yang Sayacchi mainkan di taman hiburan dan kemudian mulai menonton animenya.”

“Oh~~ begitu ya.”

Masachika merasa heran bagaimana Takeshi, yang menurutnya jarang menonton anime, bisa mengobrol banyak soal otaku dengan Sayaka….. tapi sepertinya ada usaha keras dari pihak Takeshi sendiri.

Mencoba memahami hal yang disukai orang yang dicintai. Itu adalah cara pendekatan yang bisa dipikirkan oleh siapa pun, tapi ada berapa banyak orang yang benar-benar melakukannya?

(Wah, kamu hebat juga ya Takeshi... sungguh patut diacungi jempol)

Sambil merasa kagum pada sahabatnya yang sudah mencoba hal tersebut, Masachika mulai menebak inti dari pembicaraan mereka ketika mendengar cerita tersebut.

“...Jadi, kamu merasa terpinggirkan saat mereka asyik ngobrolin sesuatu yang tidak kamu pahami?”

“Hmm~~~~?”

Menanggapi dugaan Masachika, Nonoa mengeluarkan suara samar. Lalu, secara mengejutkan, dia menggelengkan kepalannya.

“Bukan karena aku tidak mengerti obrolan mereka sih...”

“Eh, apa iya?”

“Iya.”

Nonoa dengan mudah mengangguk. Masachika merasa kalau Nonoa benar-benar tidak mempermasalahkannya... dan kemudian, ucapan Nonoa selanjutnya membuat Masachika semakin kebingungan.

“Itu enggak masalah sih... tapi ketika mereka sedang mengobrol, aku tiba-tiba mendapat pesan dari Mamah ku.”

“??”

"Jadi, aku langsung mengambil ponselku dan memeriksa pesannya... tapi...”

Pada saat itu, Nonoa menyipitkan mata dengan gusar. Lalu, dengan ekspresi sedikit murung, dia berkata.

“Sayacchi sama sekali enggak marah.”

“......?”

“Kalau biasanya, dia pasti akan mengomeliku setiap kali aku memainkan ponsel pas makan, tapi... Sayacchi begitu asyik mengobrol dengan Takeshi kan~ Jadi aku berpikir, 'Ah, sepertinya saat ini aku bukan prioritas di hati Sayacchi ya~' gitu...”

Setelah mengatakan itu, Nonoa menutup mulutnya. Masachika tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab ekspresi wajah Nonoa.

(Apa ini?... Apa dia benar-benar ingin sekedar curhat saja?)

Karena mereka belum pernah berduaan lagi sejak insiden merayu (?) di taman hiburan, jadi hari ini dirinya lebih waspada terhadap Nonoa daripada biasanya.

Namun, apa yang ditanyakan tidak ada hubungannya dengan hal itu...tapi benar-benar hanya tipikal masalah siswa SMA biasa. Ekspresi wajahnya tampak tidak puas, bimbang, namun kesepian... Masachika menurunkan alisnya karena merasa bersalah dan kasihan.

“...Itu sih...”

“Ah, kamu tidak perlu mengatakan apa-apa, kok. Seperti yang kubilang tadi, aku hanya ingin kamu mendengarkan ceritaku saja.”

Menyela perkataan Masachika, Nonoa menjauhkan tubuhnya dari pagar. Lalu, sambil melakukan peregangan sedikit untuk melebarkan bahunya, dia pun berkata.

“Hmmphhh...! Lagian juga, kamu kesulitan untuk menjawabnya, bukan? Pada dasarnya, aku sendiri merasa seperti ‘lantas kenapa? memangnya aku peduli?’.”

Nonoa berkata demikian seolah-olah mencoba menolak dirinya sendiri. Namun, Masachika tidak bisa mengabaikan hal tersebut begitu saja.

Masachika sekarang merasa malu dan menyesal. Ia mencurigai kalau Nonoa akan melakukan sesuatu pada Takeshi, dan terus mewaspadainya ketika dia memintanya untuk mendengarkannya.

(Seperti yang diharapkan….kurasa aku selalu berprasangka buruk padanya.)

Ia meyakini bahwa tidak ada kebohongan dalam kata-kata Nonoa. Jika Nonoa berencana melakukan sesuatu pada Takeshi, mana mungkin dia akan membicarakan hal semacam ini kepada Masachika. Jika Nonoa memutuskan untuk melakukan sesuatu, dia akan melakukannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia tidak akan mencari persetujuan maupun simpati dari siapapun.

Jadi bisa dibilang... Nonoa hanya ingin ia mendengarkannya saja. Emosi seperti kesepian dan keterasingan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dia bingung dan terombang-ambing oleh hal itu, dan tidak dapat menahannya sendirian, oleh karena itu dia berpaling dan mengandalkan Masachika. Akan tetapi...sikap Masachika sama sekali tidak tulus

(Tapi...apa yang harus aku katakan padanya?)

Masachika mengetahui bahwa simpati yang murahan dan penghiburan yang dangkal takkan beresonansi dengan hati Nonoa. Pertama-tama, bukannya itu tidak etis dan dan arogan untuk memberikan jawaban secara serampangan atas perasaan yang tidak dipahami dengan baik oleh Nonoa sendiri?

Jika memang demikian, apa yang harus kulakukan? Masachika mengatakan ini setelah mengkhawatirkan dan memikirkannya...

“Begitu ya... yah, aku bisa mendengarkan curhatmu kapan saja.”

“Ahha, makasih.”

Melihat Nonoa tertawa kecil, Masachika pun ikut tertawa kecil.

Mungkin itu adalah jawaban yang tepat.

Saat berbicara dengan orang lain, seringkali kita merasa lebih teratur dalam menelaah pikiran kita sendiri. Mungkin itulah yang diperlukan Nonoa, dan tugas Masachika hanyalah mendengarkannya saja. Dengan begitu, Nonoa akan menemukan jawaban atas perasaannya sendiri.

(Benar sekali... bukan berarti dia adalah orang yang jahat juga)

Ini hanyalah pandangan Masachika sendiri, tapi Nonoa hanyalah orang yang murni dan jujur pada perasaannya sendiri. Hanya saja, kemurnian untuk menempuh jalannya sendiri tanpa mempedulikan orang lain itu…. dipandang sebagai kejahatan yang sesat oleh masyarakat umum yang merupakan makhluk hidup sosial.

Jika Nonoa secara bertahap menemukan emosinya sendiri dalam hubungan baru ini... mungkin suatu hari nanti dia akan bisa tertawa dan menangis seperti gadis normal.

(Tapi yahh~ aku tidak bisa membayangkan sih...)

Sambil membayangkan adegan itu, Masachika tertawa getir karena kesan yang tidak sesuai, lalu ia bertanya pada Nonoa.

“Jadi, cuma itu saja yang ingin kamu bicarakan? Kalau masih ada yang lain, aku masih bisa mendengarnya, kok.”

“Hmm, cuma itu saja dulu untuk saat ini. Aku jadi merasa lebih lega setelah bercerita.”

“Begitu ya. Syukurlah kalau begitu.”

Masachika mengatakan ini dari lubuk hatinya ketika mendengar kata-kata Nonoa. Melihat gadis di depannya bermasalah seperti remaja biasa dan membagikan masalahnya kepada orang lain, entah mengapa membuatnya merasa senang. Namun….

“Sebagai ucapan terima kasih, kamu boleh menyentuh pantatku, loh.”

Ketika Nonoa dengan santai mengucapkan kata-kata itu, Masachika membeku sejenak sebelum menampilkan senyum kaku.

“Pantat senilai 50 ribu yen selama 2 detik? Aku takut dengan konsekuensinya, jadi aku dengan berat hati menolaknya.”

“Masa? Ngomong-ngomong, hari ini aku pakai T-back lho.”

“Seriusan!?”

“Yeah, kamu bisa melihatnya sendiri.”

Setelah mengucapkan itu, Nonoa mengangkat roknya dengan tangan kanannya. Kulit putih nan mulus Nonoa bisa terlihat dari balik roknya yang terangkat. Pahanya yang ramping dan indah merupakan perwujudan dari kata ‘kaki yang indah’. Saat Masachika bisa melihat pantatnya yang bulat, kencang dan indah itu terpampang di hadapannya….. ia langsung mengalihkan pandangannya ke atas.

“Kelihatan enggak?”

"...Aku sama sekali tidak melihatnya.”

Bukan pantatnya yang terlihat, melainkan T-back-nya. Dari saat ia berkata tidak melihatnya, ia bisa melihatnya, jadi perkataannya tidak bisa dipercaya.

“Ahh~ begitu ya, sepertinya kamu lebih suka bagian dada daripada pantat ‘kan, Kuzecchi~? Kurasa menunjukkan bra lebih membuatmu senang?”

"Mengapa kamu bisa tahu tentang itu?”

Masachika mengembalikan kepalanya dengan wajah datar, dan Nonoa mengatakan ini tanpa rasa khawatir.

“Hah? Karena kamu selalu melirik payudara Alissa.”

“Yang bener!?”

Setelah secara refleks mengatakan itu, Masachika merasa panik dan berpikir, ‘Sialan aku keceplosan! Apa yang tadi itu cuma candaan doang?', tapi...Nonoa tetap memasang wajah datar. Dia begitu serius sehingga Masachika pun terpengaruh dan memasang wajah serius. Masachika tidak punya pilihan selain menanggapinya dan menyadari, ‘Oh, ini serius.’

“...Serius? Eh, memangnya aku sampai melihat jelas begitu?”

“Ketimbang dibilang melihat jelas... setiap kali pandanganmu lewat, kurasa pandanganmu tertuju ke sana sebentar?”

“Ehh~~~ tidak, habisnya, mau bagaimana lagi. Kalau cuma sebentar saja maafin aku napa... Saat melihat seseorang memakai kalung dengan permata yang sangat besar, mata semua orang hanya berhenti disitu, kan? Itu sama saja dengan begitu….”

“Tidak, aku tidak menyalahkanmu, kok.”

“Aku tidak suka ketika ada yang menunjukkan hal itu dengan begitu tenang...”

Saat Masachika menundukkan kepalanya dengan lemas, Nonoa menarik ujung roknya lagi dengan tangan kanannya.

“Jadi, gimana? Mau coba menyentuhnya?”

“Kamu ini... Sayaka akan marah padamu jika kamu melakukan hal seperti itu.”

“Ahh~...”

Dengan perhatian yang diberikan oleh Masachika, Nonoa merenung sejenak ke atas, lalu dengan cepat merapikan kembali roknya.

(Sudah kuduga, dia selalu lemah terhadap Sayaka)

Ketika memikirkan hal itu, Masachika merasakan perasaan lega yang aneh, dan menatap Nonoa dengan senyuman kecil di wajahnya.

“Bahkan kamu tidak perlu melakukan hal seperti itu, setidaknya aku akan mendengarkan ceritamu….. Karena kita adalah teman satu band.”

“Jadi kamu tidak mengatakan kalau kita berteman~?”

“Tidak, maaf. Sejujurnya, aku masih merasa ragu apakah aku bisa memanggilmu sebagai teman.”

Entah Masachika bisa menyebut Nonoa sebagai temannya, atau apakah Nonoa menganggap Masachika sebagai temannya. Kedua hal tersebut cukup meragukan... Tapi, jika Nonoa mengatakannya seperti itu sekarang...

“Yahh... tapi, ya, mungkin kita memang sudah berteman.”

“Ohh~ sekali lagi salam kenal, ya~”

“Ah, ya? Oh, salam kenal?”

Mereka berjabat tangan tanpa sepenuhnya paham apa yang mereka lakukan. Kemudian, Masachika tersenyum sedikit pahit pada kenyataan bahwa dirinya benar-benar berjabat tangan dengan Nonoa.

(Aku tidak pernah membayangkan bahwa aku akan memiliki hubungan seperti itu dengan Sayaka... Tapi aku bahkan tak pernah memikirkan kalau aku akan memiliki hubungan seperti ini dengan Nonoa)

Hal itu tidak pernah terpikirkan oleh dirinya yang beberapa waktu lalu. Selama ini, Masachika selalu percaya bahwa Nonoa adalah orang yang berbahaya.

Akan tetapi... dengan kegiatan band dan hubungan antara Takeshi dan Sayaka, Nonoa pun mulai berubah. Hal itu terlihat dari interaksi mereka hari ini. Jadi...

(Aku seharusnya tidak selalu waspada... Aku harus mulai mendekatinya sedikit demi sedikit. Kalau Alya berhasil terpilih, tahun depan kami akan sama-sama menjadi anggota OSIS)

Merenungkan hal ini di dalam hatinya, Masachika akhirnya memutuskan untuk membuang prasangka buruknya yang masih mengakar kuat terhadap Nonoa.

“Kalau gitu, aku akan pergi sekarang...”

“Yeah, terima kasih ya~ Aku akan sedikit lebih lama untuk menikmati angin ini~”

“...Begitu ya.”

Sikap dan ekspresinya masih terlihat lesu seperti biasanya. Meskipun begitu, Masachika merasakan bahwa di balik itu, kesepian dan penderitaan masih ada. Tapi, tanpa berkata apa-apa lebih lanjut, Masachika hanya mengangguk dan memutar badannya sebelum naik ke tangga.

“Sampai jumpa lagi.”

“Wokee~”

Balasan yang santai dan ceroboh. Namun, alasan mengapa dia tidak pernah mencoba untuk kembali bersama mungkin….. karena dia ingin sendirian.

(Apa... seharusnya aku mengatakan sesuatu? Apa aku boleh meninggalkannya sendirian seperti ini?)

Pemikiran semacam itu terlintas dalam pikirannya. Namun, tanpa menemukan kata-kata yang tepat atau alasan untuk tetap bersama, Masachika membuka pintu dengan perasaan bingung dan meninggalkan tangga dengan rasa tak berdaya.

...Karena ia terjebak dalam pikirannya sendiri, Masachika tidak menyadari bahwa ada bayangan seseorang di tangga yang menghubungkan lantai dua dan tiga di sebelah kanannya. Dan... Nonoa, yang menatap punggungnya dengan mata kosong tanpa ekspresi seolah-olah sedang mengamati subjek penelitian.

 

◇◇◇◇

 

(Perasaan simpati tuh luar biasa sekali, ya~)

Sambil melihat Masachika berjalan menjauh, Nonoa memikirkan hal tersebut tanpa emosi apapun.

Perasaan simpati itu luar biasa. Jika seseorang dapat merasa simpati, maka setiap orang akan menjadi lebih baik. Bahkan orang-orang yang berada dalam hubungan yang tidak bersahabat akan mengulurkan tangan membantu, dan bahkan dia pernah mendengar bahwa rasa bersalah karena sudah membunuh seseorang pun akan terasa berkurang. Betapa luar biasanya hal itu. Tidak ada emosi lain yang lebih mudah dan berguna seperti ini.

(Bahkan orang seperti Kuzecchi pun menunjukkan kebaikannya padaku~)

Nonoa sudah lama mengerti bahwa Masachika selalu waspada terhadap dirinya. Dia memahaminya dan membiarkannya begitu saja. Tapi sekarang tidak lagi.

(Namun... demi bisa merasakan emosi yang lebih alami, perasaan waspada itu cukup menghalangi, ya~?)

Dia masih menyesali karena berusaha merayu Masachika di bangku taman hiburan. Karena hal itu, kewaspadaan Masachika yang akhirnya mulai mereda menjadi meningkat lagi karena insiden tersebut.

Namun di sisi lain... Nonoa juga mendapatkan informasi bahwa jika dia menunjukkan kelemahannya, kewaspadaan Masachika akan sedikit berkurang. Dan berdasarkan interaksi yang baru saja mereka lakukan tadi, hal itu terbukti benar.

(Selain itu...)

Tampaknya Masachika menginginkan Nonoa untuk menjadi lebih manusiawi.

(Ya ampun, ia benar-benar terlalu baik hati banget...)

Nonoa mengangkat bahunya terhadap sifat baik Masachika.

Tapi jika begitu masalahnya, setidaknya dia harus berperilaku seperti manusia..... atau setidaknya berusaha menjadi lebih manusiawi di hadapan Masachika. Tidak peduli apapun yang akan dilakukan oleh Miyamae Nonoa selanjutnya, dirinya harus tetap memelihara harapan yang rapuh tersebut. Selama Miyamae Nonoa berusaha menjadi manusia, Masachika tidak akan pernah meninggalkannya.

(Orang baik memang gampang banget dipermainkan, jadi aku sangat terbantu dengan hal itu~)

Sambil memikirkan hal tersebut dengan ekspresi yang sama sekali tidak terlihat senang, Nonoa tiba-tiba menoleh ke atas panggung di atasnya dan bertanya,

“Ada seseorang di sana?”

Suara nyaring Nonoa dibalas dengan keheningan. Namun, saat dia terus menunggu, tiba-tiba terdengar langkah turun tangga dari tangga ke lantai dua. Meskipun ada sepasang kaki yang terlihat berjalan turun melalui celah di antara anak tangga. Tapi entah kenapa, tidak terdengar suara langkah kaki.

Lalu, orang yang muncul di sekitar pegangan tangga adalah...Ayano. Nonoa bertanya sambil menatap Ayano, yang tanpa ekspresi tetapi sepertinya memiliki ekspresi tegang di wajahnya.

“Kimishima-chan...? Kenapa kamu bisa ada di sini?”

“.....”

Menanggapi pertanyaan Nonoa, Ayano memalingkan pandangannya tanpa berkata apa-apa. Meskipun dia terlihat seperti sedang memikirkan jawabannya, Nonoa terus bertanya tanpa memperdulikannya.

“Apa jangan-jangan, kamu mendengar pembicaraan kami?”

Itu merupakan konfirmasi dalam bentuk pertanyaan. Sebenarnya, Nonoa sudah menyadari kedatangan Ayano tidak lama setelah Masachika tiba. Secara tepatnya, dia hanya melihat kakinya, dan tidak bisa mengidentifikasi siapa itu, tapi karena tidak ada suara langkah kaki apapun, jadi dia menebak bahwa orang itu adalah Ayano.

Dengan kata lain,  Ayano sengaja mengikutinya ... tapi tentu saja dia tidak akan menyadari hal itu sendiri. Ayano sibuk memalingkan pandangannya sebagai tanggapan dari tatapan menyalahkan Nonoa. Lalu, setelah beberapa detik berpikir, dia turun tangga dengan cepat dan tiba-tiba membungkukkan kepalanya ke arah Nonoa.

“Saya sungguh minta maaf. Saya tanpa sengaja mendengarkan pembicaraan kalian ...”

Nonoa sedikit mengurangi tekanan tatapannya saat Ayano membungkukkan kepalanya dalam-dalam dan bersandar pada pegangan tangga.

“Jadi? Mengapa kamu mengikuti Kuzecchi?”

“...”

“Sebagai seseorang yang pembicaraannya didengar, kupikir aku memiliki hak untuk mendengar alasanmu, bukan~?”

Meskipun Ayano tetap membungkukkan kepala dalam diam, tapi setelah Nonoa membuatnya merasa bersalah, dia perlahan membuka mulutnya setelah beberapa saat.

“Umm ... di festival olahraga kemarin, saya mengucapkan sesuatu yang tidak sopan kepada Masachika-sama ... dan saya mencoba mencari kesempatan untuk meminta maaf kepadanya...”

“Dan itu adalah saat ketika pembicaraan kami sudah dimulai?”

“Iya ... saya minta maaf.”

Nonoa diam-diam mengamati Ayano yang kembali membungkukkan kepalanya.

“Hmm ... apa kamu melakukan sesuatu yang sampai membuatmu merasa kesulitan untuk meminta maaf?”

“Iya, benar ...”

Sementara mengangguk sambil menundukkan pandangannya, Ayano tidak memberikan detail lebih lanjut. Namun, Nonoa tidak punya pilihan lain selain membiarkan Ayano pergi dengan cara ini.

(Sebagai partner Yukki dan teman masa kecil Kuzecchi yang berharga... kurasa dia mungkin bisa berguna untuk sesuatu)

Sambil memikirkan hal itu dengan dingin, Nonoa diam-diam mengamati ekspresi Ayano.

Nonoa dulu pernah bertanya pada Sayaka tentang bagaimana cara mempengaruhi orang.

Sayaka lalu menjawabnya bahwa untuk mempengaruhi orang, diperlukan logika dan keuntungan. Namun, tidak semua orang akan tergerak hanya dengan berdasarkan itu saja. Karena setiap orang memiliki emosi, dan seringkali emosi mengendalikan perilaku seseorang di luar logika dan keuntungan.

Dari cerita Sayaka, Nonoa mempelajari bahwa dengan mengendalikan emosi, seseorang dapat menguasai perilaku orang di luar logika dan keuntungan.

Sebelumnya, Nonoa sudah sering mengubah perilakunya berdasarkan reaksi lawan bicaranya dan berusaha untuk disenangi. Namun, ada langkah lebih lanjut yang bisa diambil. Bukan hanya mengubah perilaku berdasarkan emosi lawan bicara, tetapi dengan mengubah perilakunya sendiri... dia mampu mengendalikan emosi lawan bicaranya.

(Aku masih tidak bisa membaca ekspresi wajahnya...tapi mungkin kesetiaannya melebihi rasa bersalahnya? Kurasa aku harus mengubah sedikit cara pendekatanku)

Setelah memutuskan demikian, Nonoa menyilangkan tangannya dan mengangguk.

“Orang yang biasanya dekat, terkadang memang sulit untuk meminta maaf ya~ Aku paham, paham banget. Maaf ya kalau perkataanku jadi terdengar menyalahkanmu.”

“Oh, tidak ... situasi saya terkait dengan mendengarkan pembicaraan secara sembunyi-sembunyi adalah masalah terpisah.”

Ayano terlihat bingung sambil berkedip beberapa kali ketika melihat Nonoa yang tiba-tiba menjadi lebih bersahabat. Namun, Nonoa tetap melanjutkan tanpa menghiraukannya sambil tersenyum.

“Yahh, aku juga punya pengalaman serupa, jadi aku mengerti kok~. Saat aku mendekati temanku untuk berbicara dengannya, tapi tiba-tiba dia malah sedang diajak bicara sama orang lain~. Aku pikir 'tunggu sebentar sampai dia selesai bicara~', tapi tiba-tiba malah dimulai pengakuan cinta... itu sungguh membuat suasana jadi canggung. Aku ketahuan dan dimarahi setelahnya, tapi sebenarnya saat itu aku bingung harus bagaimana~”

Keterbukaan diri dan empati.

Mata Ayano, yang gemetar karena kebingungan dan permintaan maaf, menatap lurus ke arah Nonoa.

(Sipp, berhasil)

Nonoa tersenyum kecil sambil diam-diam mengamati situasi dengan dingin.

“Kesempatan semacam ini bisa juga dibilang takdir, jadi kalau kamu mau bercerita, aku bisa mendengarmu kok~? Jangan khawatir ya? Aku bisa jaga rahasia. Teman-temanku sering bilang kalau aku 'ternyata bisa diandalkan'.

Dia membicarakan itu berdasarkan penilaian dari orang-orang di sekitarnya, bukan dari penilaian diri sendiri.

“Ah, itu tidak perlu...”

“Jangan sungkan-sungkan begitu. Aku juga pernah curhat dengan Kuzecchi. Ini semacam balas budi untuk Kuzecchi juga. Kupikir Kuzecchi juga pasti akan kesulitan jika hubungannya dengan teman masa kecilnya tetap canggung seperti ini, ‘kan?”

Dia juga memberikan alasan besar kalau itu demi Masachika.

“Selain itu, selain Yukki, satu-satunya orang yang mengetahui hubungan sebenarnya antara Kuzecchi dan Kimishima-chan adalah aku dan Sayacchi saja, iya ‘kan??”

Dia kemudian mengurangi pilihan dan mempersempit wawasan lawan bicaranya.

“Yahh~ aku tidak akan memaksamu untuk berbicara, tapi jika kamu ingin curhat, aku akan mendengarkan, loh?”

Dia hanya memberi sedikit saran, dan pada akhirnya memberikan kendali kepada lawan bicaranya.

“......”

Ketika Nonoa menutup mulutnya, Ayano menatap ke sekelilingnya... dan mulai berbicara perlahan.

“Saya ingin meminta agar ini tetap dirahasiakan...”

(Akhirnya dia terpancing juga)

Tanpa menunjukkan senyum di dalam hatinya, Nonoa memberi isyarat dengan matanya untuk melanjutkan.

“Sebenarnya, saya tanpa sengaja mengucapkan sesuatu yang menyalahkan Masachika-sama atas keputusannya untuk maju sebagai kandidat bersama Alisa-san...”

“Mengapa?”

“Karena... Masachika-sama, terhadap Yuki-sama...”

Ketika dia berhenti sejenak, Ayano menyangkal pernyataannya dengan mengatakan “tidak”.

“Pertama-tama, saya tidak memiliki kualifikasi untuk mengeluh. Seandainya saja saya bisa lebih diandalkan dalam mendukung Yuki-sama...”

Nonoa memeriksa diam-diam monolog yang diucapkan sambil menatap ke langit.

(Hmm~ jadi intinya, ketika Yukki membutuhkan dukungan, Kuzecchi lebih memilih Alissa daripada Yukki, begitulah ceritanya?)

Dan dia menyesali ketidakmampuannya untuk mendukung Yuki sebagai pengganti Masachika. Dengan memprediksi hal itu, Nonoa menurunkan ujung alisnya dengan penuh perhatian.

“Begitu ya... rasanya memang sulit ketika kita tidak bisa membantu orang yang kita sayangi, ya...”

“Iya...”

“Aku juga tidak bisa banyak membantu Sayacchi saat pemilihan di SMP... jadi aku mengerti perasaanmu.”

“Benarkah?”

“Iya.”

Nonoa mengangguk pada Ayano yang menatapnya.

“Pada akhirnya, Sayacchi kalah dari Yukki dalam pemilihan. Kalau aku bisa melakukannya dengan lebih baik, mungkin hasilnya akan berbeda... begitulah pikiranku...”

“......”

Sambil merasakan pandangan Ayano di pipinya, Nonoa menatap langit dan berbicara.

“Sayacchi menangis tersedu-sedu karena merasa telah mengecewakan ayahnya... Saat melihat Sayacchi seperti itu, aku...”

Nonoa menutup mulutnya saat perasaannya saat itu kembali padanya. Lalu, dia menoleh ke arah Ayano dan berkata sambil tersenyum sedih.

“Hatiku gemetar dan terluka...”

Kemudian, Nonoa dengan lembut meraih tangan kanan Ayano dengan kedua tangannya dan melanjutkan.

“Tapi tahu tidak? Pada saat itulah aku menyadarinya... bahwa berada di sampingnya dan terus mendukung orang yang benar-benar penting bagimu sudah cukup. Hanya dengan itu saja, kamu sudah bisa menjadi penopang hatinya dengan baik. Jadi...”

Nonoa berkata dengan tegas sambil menatap lurus ke mata Ayano.

“Menurutku, Kimishima-chan juga hanya perlu terus menjadi pendamping Yukki. Dengan melakukan itu saja, aku yakin itu bisa menyelamatkan Yukki.”

“......”

Namun, Ayano mengalihkan pandangannya pada kata-kata Nonoa. Kemudian, dia mengeluarkan suara dengan ekspresi yang terlihat kesakitan.

“Tapi, saya...”

“Ya?”

“Saya mungkin…tidak bisa benar-benar menjadi sekutu Yuki-sama.”

Kata-kata itu sepertinya meluap dari lubuk hatinya, dan Nonoa yakin bahwa dia telah menyentuh perasaan Ayano yang sebenarnya.

(Hee~?)

Nonoa menyembunyikan senyum geli di balik ekspresi khawatirnya dan bertanya.

“Kenapa kamu berpikir demikian?”

“......”

“Tenang saja, aku bersumpah kepada Tuhan bahwa aku takkan memberitahu siapa pun.”

Meskipun dia bersumpah dengan sangat dramatis, tapi Ayano akhirnya membuka mulutnya perlahan.

“Saya ingin... Masachika-sama kembali ke keluarga Suou.”

Apa yang terucap dari mulutnya adalah keinginan Ayano yang belum pernah dia ceritakan kepada Masachika atau Yuki.

“Saya ingin kami bertiga seperti dulu lagi... hidup bahagia dalam kehidupan sehari-hari.”

Pada keseharian ketika mereka masih kecil dulu. Yuki dengan polosnya mengagumi kakaknya, Masachika tidak memiliki rasa bersalah terhadap adiknya dan…. Ayano selalu sangat senang melihat mereka ......

“Tapi ini hanyalah keinginan egois saya yang bertentangan dengan keinginan mereka berdua...”

Ayano mengatakan itu dengan suara yang sedikit gemetar dan terus menundukkan kepalanya... lalu, Nonoa memeluknya dengan erat. Dia berbisik pada Ayano, yang menegang seolah terkejut, seakan-akan meremas suaranya dari belakang tenggorokannya.

“Begitu ya... kamu sudah merasa sendirian dengan pikiran seperti itu... itu pasti sangat menyakitkan, bukan...”

Nonoa memeluk erat Ayano selama sepuluh detik, lalu tiba-tiba melepaskannya, dan memegang kedua bahunya Ayano.

“Baiklah, aku sudah memutuskan! Aku akan menjadi sekutumu, Kimishima-chan!”

“Eh?”

“Lihat, Sayacchi juga ingin Kuzecchi dan Yukki menjadi dekat, ‘kan? Lebih dari itu, setelah mendengar perasaanmu yang begitu tulus, aku jadi ingin mendukungmu.”

Setelah mengatakan itu dengan senyuman yang sedikit tak kenal takut, Nonoa tiba-tiba melonggarkan ekspresinya.

“Selain itu, aku yakin Kuzecchi sendiri juga berpikir kalau dirinya perlu menghadapi permasalahan keluarganya dengan baik. Itulah yang kupikirkan.”

“Apa, iya?”

Nonoa tidak tahu. Tapi sepertinya akan lebih nyaman bagi Ayano jika dia mengatakannya begitu.

“Iya, aku yakin begitu. Oleh karena itu, aku juga akan membantumu. Oh ya, boleh aku memanggilmu Ayanono?”

“Ehmm....iya...”

Ayano mengangguk, meskipun tatapannya berkeliaran dalam kebingungan. Melihat ini, senyuman Nonoa semakin lebar.

Pada hari itu, dia menyadari ketidakselarasan antara dirinya dan dunia ini. Nonoa merasa kalau sekarang dia sedikit bisa memahami perasaan anak-anak nakal yang melempari batu ke katak di kolam.

Mereka mungkin tidak benar-benar bermaksud melukai katak itu.

Mereka hanya menikmati perasaan melanggar aturan dan sensasi dari tindakan itu sendiri, tanpa benar-benar berniat menyakiti makhluk hidup kecil.

(Ya, sekarang aku mengerti...)

Mereka menyadari bahwa ini adalah hal yang salah. Mereka mungkin akan dimarahi. Mungkin saja tidak terjadi apa-apa. Mungkin riak yang dihasilkan oleh batu yang dilemparkan bisa menciptakan sesuatu yang tak terduga. Mungkin, tindakan ini bahkan tidak memiliki tujuan atau alasan.

Meski begitu, mereka tetap melempar batu.

(Rasanya jadi semakin menyenangkan )

Nonoa tersenyum manis sambil menggenggam tangan Ayano lagi.

“Sekali lagi, senang bertemu denganmu ya, Ayanono. Sekarang, kita harus memikirkan cara meminta maaf kepada Kuzecchi.”

Dengan bibirnya, Nonoa mengucapkan kata-kata tersebut dengan kepolosan dan kejahatan yang murni.

 

◇◇◇◇

 

“Baiklah, hanya itu saja untuk hari ini. Petugas piket hari ini, beri aba-aba.”

“Berdiri, hormat.”

“Terima kasih banyak~”

Setelah jam pelajaran selesai, Masachika mengemasi barang-barangnya dan berdiri dari kursinya, lalu ia memanggil Alisa di sebelahnya.

“Maaf Alya, aku punya sedikit urusan. Sepertinya aku akan sedikit terlambat dalam rapat OSIS.”

“Begitu? Hah... Kamu lagi-lagi memainkan ponselmu, ya?”

Alisa menatap Masachika dengan tatapan mencela, ketika ia memberitahunya sambil mengangkat ponselnya. Masachika mengangkat bahunya mendengar keluhan Alisa yang sangat menggambarkan sifat murid teladan.

“Aku tidak sedang bermain game, kok. Cuma sekedar berkomunikasi saja tidak ada salahnya, ‘kan? Malahan, cuma kamu yang begitu patuh mematikan ponsel selama pelajaran.”

“Aku hanya mengikuti peraturan sekolah.”

“Ya, aku tahu kalau kamu lebih benar... tapi tolong, abaikan saja untuk kali ini.”

Masachika mengatakan ini sambil menundukkan kepalanya, dan segera meninggalkan kelas. Alisa menatapnya dengan sedikit tatapan tajam dan menghela napas ringan.

(Ya ampun, mau sampai kapan ia tidak memiliki kesadaran sebagai anggota OSIS... tapi, sebaiknya aku jangan terlalu keras padanya. Ji-Jika ia membenciku, itu akan merepotkan, bukan?)

Alisa memikirkan hal itu sambil tanpa sadar melingkarkan jari di sekitar rambutnya... dan tiba-tiba menyadari bahwa pikirannya sedang terpengaruh layaknya gadis yang sedang kasmaran, jadi dia menggelengkan kepalanya.

(Tidak boleh... tidak boleh... aku sudah beberapa kali seperti ini ketika aku lengah sedikit)

Alisa melihat sekelilingnya untuk melihat apakah tadi ada yang melihatnya, dan menyalakan ponselnya dengan wajah tenang.

Setelah beberapa jam tidak digunakan, ponselnya menyala dan bergetar setelah beberapa detik mencari sinyal, menandakan adanya pesan masuk.

(? Mungkin itu dari ibu?)

Sambil sedikit mengangkat alisnya, Alisa membuka aplikasi pesan dan memeriksa pengirimnya... dia pun merasa terkejut.

“Nonoa-san?”

Dengan sedikit kebingungan, Alisa membaca pesan dari Nonoa.

Beberapa detik kemudian, Alisa mengirim pesan kepada anggota OSIS lainnya bahwa dirinya dan Masachika akan sedikit terlambat, lalu dia mengambil tasnya dan meninggalkan kursinya.

 

◇◇◇◇

 

 (Lagi-lagi aku dipanggil ke tempat yang aneh...)

Masachika bergumam pada dirinya sendiri sambil menaiki tangga mengikuti pesan Ayano. Lokasinya berada di tangga menuju atap gedung ruang klub. Tempat di mana Masachika berbicara dengan Maria saat festival sekolah.

“Ah... yo.”

Melihat Ayano yang berdiri di depan pintu menuju atap, Masachika dengan santai mengangkat tangannya.

Sapaan mereka sedikit lebih canggung daripada biasanya, karena pertukaran terakhir saat mereka berpisah. Mungkin karena hal tersebut, wajah tanpa ekspresi Ayano tampak sedikit lebih kaku dari biasanya saat dia menerima sapaan Masachika.

“Maaf sudah memanggil Anda kemari, Masachika-sama.”

“Tidak apa-apa, tapi... memangnya ada apa?”

“Iya. Pertama-tama...”

Begitu dia mengatakan itu, Ayano mencoba bersujud di lantai, jadi Masachika berlari menaiki tangga dan meraih bahunya untuk menghentikannya.

“Tidak, tidak, jangan mendadak bersujud di tempat seperti ini. Seragam dan rambutmu akan kotor, tau.”

“? Bukannya itu tidak masalah?”

“Sialan, matamu yang lurus dan mengaburkan akal sehat itu... Hanya untuk memastikan, apa itu berarti kamu ingin menyampaikan ketulusanmu dengan seberapa kotornya kamu? Bukan dalam artian Masokis, ‘kan?”

“Tentu saja yang pertama. Selain itu, saya bukanlah orang Masokis.”

“Oh, ya... begitu...”

“Saya tidak merasakan kenikmatan dari rasa sakit. Saya hanya memendam keinginan untuk diperlakukan dengan sembarangan seperti objek.”

“Kamu bahkan tidak merahasiakannya!? Malah ngomong blak-blakan begitu. Dan asal kamu tahu saja, dunia menyebut orang semacam itu sebagai orang Masokis, tau.”

“Benarkah!?”

Dengan tanpa ekspresi di wajahnya, mata Ayano melebar seolah-olah ada efek percikan dan sambaran petir di belakangnya. Memanfaatkan keadaan tubuhnya yang kaku, Masachika memegang lengan Ayano dan memaksanya untuk berdiri dengan agak paksa sebelum kemudian bertanya lagi.

“Jadi, ada urusan apa? Kamu tidak perlu bersujud segala, jadi sampaikan saja dengan singkat.”

“Ah, ya...”

Ayano mengangkat tubuhnya sedikit dan kemudian menundukkan kepalanya untuk menanggapi perintah yang dikeluarkan dengan nada tegas.

“Pertama-tama, mengenai acara festival olahraga... Saya minta maaf. Sebagai seorang pelayan, saya telah melampaui batasan saya.”

“...”

Permintaan maaf tersebut sesuai dengan yang diharapkan oleh Masachika. Itulah sebabnya... Masachika sudah memutuskan tanggapannya.

“Tidak, kamu tidak perlu minta maaf. Apa yang kamu katakan pada waktu itu ada benarnya. Dalam posisimu, wajar-wajar saja kamu mengeluarkan kritik semacam itu... Terlebih lagi, kamu mengatakan hal tersebut karena mempertimbangkan Yuki. Malah...”

Setelah membuat Ayano mengangkat kepalanya dan menatap lurus ke matanya, Masachika membungkuk dalam-dalam.

“Maaf.  Aku membuatmu mengatakan hal-hal itu. Aku benar-benar minta maaf.”

“Ma-Masachika-sama, tolong angkat kepala Anda.”

Mendengar suara Ayano yang jelas-jelas terdengar panik, Masachika mengangkat wajahnya dan tersenyum penuh penyesalan.

“Kamu tidak perlu minta maaf. Bahkan sebenarnya... akulah yang memintamu untuk menjadi sekutu Yuki.”

Itu adalah harapan yang Masachika percayakan kepada Ayano pada malam hari setelah hari pertama festival sekolah.

“Jadi... terima kasih. Karena selalu berada di samping Yuki lebih dari siapapun.”

Setelah mengucapkan itu, Masachika kembali menundukkan kepalanya kepada Ayano. Mendengar itu, Ayano membelalakkan matanya dan suasana hatinya seketika melunak.

“Kata-kata tersebut terlalu berharga, Masachika-sama.”

Ayano mengatakan itu sambil tersenyum simpul, dan Masachika juga tersenyum. Setelah bertukar senyum tanpa suara, Ayano mengubah ekspresinya dan bertanya pada Masachika.

“Masachika-sama... apakah perasaan Masachika-sama terhadap Yuki-sama masih tetap sama seperti dulu?”

“Yuki adalah orang yang paling kusayangi dan orang yang paling berharga bagiku di dunia ini. Perasaanku padanya belum pernah goyah sedikit pun.”

Setelah mendengar pernyataan tegas yang diucapkan tanpa ragu itu, Ayano mengangguk perlahan setelah sejenak menutup mata, lalu menjawab dengan tatapan lurus.

“Jika memang demikian, saya tidak akan ragu. Saya akan terus bergerak dengan memprioritaskan Yuki-sama dulu.”

“...Ya, tolong lakukan itu.”

Setelah mengkonfirmasi pemikiran mereka dan menetapkan keinginan mereka, keduanya saling bertukar pandang. Lalu, di bawah mereka.

Di tengah perjalanan menaiki tangga menuju lantai dasar, Alisa terdiam. Di kepalanya, kata-kata Masachika pada Ayano terngiang kembali.

(Paling disayang… paling berharga…)

Tangganya sangat tidak bisa diandalkan. Pegangan tangannya terasa licin dan tidak dapat digunakan.

(Uuuaaaaaaaaaaaaaaaaa)

Dirinya ingin berteriak. Dirinya ingin muntah. Segala sesuatu di dadanya. Alisa ingin mengeluarkan semuanya dan berhenti bernapas.

“Kugh! Argh!”

Dorongan itu dibendung oleh sedikit alasan yang tersisa. Alisa pun hancur dan menuruni tangga.

Dia menuruni tangga, berusaha menjauh dari tempat itu. Ketika Alisa sampai di lantai satu, ada suara yang memanggilnya dari samping.

“Ah, Alissa kerja bagus~~... Lah, kenapa kamu turun? Padahal tempat pertemuan kita seharusnya di atas, tau...”

Saat dia menoleh pelan ke arah suara itu, Alisa melihat Nonoa yang menatap dengan penuh kecurigaan ke arah lantai atas.

Dia bilang ada sesuatu yang ingin dia bicarakan, tapi... Alisa tidak punya waktu untuk berurusan dengan Nonoa sekarang.

“Maafkan aku...tapi, apa kita bisa membicarakan masalah itu lain kali?”

“Eh? Yah~~ enggak apa-apa sih, tapi...ada apa? Apa terjadi sesuatu?”

“Maaf.”

Setelah mengatakan semua itu, Alisa mencoba berjalan melewati Nonoa dengan langkahnya yang linglung dan goyah. Tapi…

“Hei tunggu dulu napa.”

Lengannya dicengkeram dari samping dan dia terpaksa berhenti. Saat dia menoleh, Alisa melihat kalau Nonoa sedang menatapnya dengan ekspresi yang sangat serius.

“Aku tidak bisa meninggalkan Alissa sendirian jika wajahmu kelihatan pucat begitu. Apa yang terjadi?”

Pada saat itu, Alisa secara impulsif menepis tangan Nonoa dan hampir saja melarikan diri. Namun, dia berhenti di saat-saat terakhir dan menarik napas dalam-dalam dengan paru-paru gemetar sebelum membuka mulutnya.

“...Aku tidak bisa memberitahumu apa yang terjadi.”

Karena itu akan mengungkapkan perasaannya yang terpendam.

“Tapi….bisakah kamu tinggal di sisiku sebentar?”

Dia ingin Nonoa tetap berada di sisinya dan mengawasinya.

Jika dia tetap sendirian seperti ini, dirinya takut kalau dia akan melakukan sesuatu yang buruk. Mendengar keinginan Alisa yang penuh dengan spekulasi seperti itu, Nono mengangguk dengan mudah.

“Ya, aku tidak keberatan kok~”

“… Terima kasih.”

“Enggak masalah, enggak masalah~. Kita berdua adalah teman, iya ‘kan?”

Setelah mengatakan itu dengan sederhana, Nonoa melepaskan lengan Alisa dan menepuk bahunya. Seperti biasa, Alisa tertawa kecil ketika melihat Nonoa yang tidak terlalu mempedulikan detail kecil.

Namun, Alisa mungkin tidak pernah menyangka bahwa wajah Nonoa, dengan suaranya yang ceria dan tingkah lakunya yang ramah, ternyata tidak berekspresi sama sekali.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama