Chapter 3 — Kemurnian
“Kurasa baru pertama kalinya
aku datang ke sini, ya….?”
Pada jam istirahat makan siang.
Masachika menerima panggilan di aplikasi perpesanannya dan mendorong pintu
menuju tangga eksternal di ujung koridor di lantai dua gedung klub. Pintu logam
berat yang aneh itu terbuka dengan suara berderit, dan angin musim gugur yang
sedikit dingin berhembus dari depan. Dirinya menyipitkan mata saat melangkah
keluar ke tangga luar, dan mendengar suara membosankan yang datang dari tangga
menuju lantai pertama.
“Oh, akhirnya datang juga.
Yossu~.”
“Oh….yossu~?”
Masachika menuruni tangga,
dengan ragu-ragu menanggapi sapaan yang tidak begitu dikenalnya.
“Maaf sudah membuatmu
menunggu...Lagian, kenapa kita harus ketemuan di tempat seperti ini?”
Masachika bertanya sambil
melihat ke arah orang yang meneleponnya, Nonoa. Tangga darurat yang terbuat
dari logam itu terlalu lapang dan agak dingin di musim ini. Jika ingin berbicara, kita seharusnya bisa melakukannya
di ruang kelas yang kosong...Masachika mengisyaratkan hal itu, dan Nonoa
mengangkat alisnya.
“Kalau ditanya kenapa… jika ada
seseorang datang ke sini, kita bisa mudah mengetahuinya dari suaranya?”
Sambil mengatakan itu, Nonoa
mengalihkan pandangannya ke atas, lalu berhenti sejenak, dan kemudian melirik ke
arah Masachika.
“Lagipula, kupikir aku sudah
memberi banyak perhatian dengan keadaanmu loh, Kuzecchi~? Bukannya Kuzecchi-lah
yang akan mendapat masalah jika seseorang melihatmu bersama denganku di ruang
kelas yang kosong?”
Masachika kehilangan kata-kata
untuk menjawab pertanyaan itu, yang bisa diartikan dengan berbagai maksud. Jika
dipikir-pikir dengan jujur, hal itu mungkin berarti, ‘Bukannya itu akan menimbulkan kesalahpahaman jika kamu berduaan di
ruang kelas yang kosong bersama denganku, yang sudah melakukan berbagai macam
hal di sekolah SMP?' Tapi... ada kemungkinan besar itu hanya tuduhan palsu,
tapi dari sudut pandang Masachika, perkataannya bisa juga diartikan, ‘Bukannya itu akan merepotkan jika Alya atau
Masha mengetahuinya?'.
(Ya,
bagaimanapun juga, tidak ada salahnya untuk menggali lebih dalam.)
Dengan mengingat hal itu,
Masachika segera merasa tenang dan mengangkat bahunya dengan santai.
“Jadi? Kamu ingin membicarakan
apa?”
Masachika bertanya pada Nonoa,
yang sepertinya segera datang untuk memeriksa maksudnya (?), sembari meningkatkan
kewaspadaannya sekali lagi. Kemudian, Nonoa berbalik, menyandarkan sikunya pada
pagar, dan melihat ke kejauhan. Kemudian, beberapa detik kemudian, dia
berbicara dengan suara yang ambigu tanpa melihat ke arah Masachika.
“Hmm enggak juga~~…bukannya
karena ada apa-apa sih...”
“Hmm?”
Masachika mengerutkan kening
melihat sikap Nonoa yang tidak seperti biasanya, yang pada dasarnya selalu mengatakan
apa yang ingin dia katakan. Kemudian, entah kenapa, Masachika ikut berdiri di
samping Nonoa dan melihat ke arah halaman sekolah dengan cara yang sama.
Setelah beberapa saat, Nonoa
berkata perlahan.
“Sebelumnya, kamu pernah bilang
kalau kamu akan mendengarkanku jika aku mau curhat, iya ‘kan~? Jadi kupikir,
mungkin aku akan memintamu untuk mendengarkan curhatanku.”
“…Ahh, begitu ya.”
Setelah berpikir sejenak,
Masachika mengangguk dan menyadari bahwa dirinya memang pernah mengatakan
begitu ketika mereka pergi ke taman hiburan bersama anggota bandnya dan
tambahan satu orang lainnya. Pada saat yang sama, Nonoa berkata dengan santai
kepada Masachika, yang waspada dengan apa yang akan dilakukannya.
“Bukannya aku ingin meminta
saran atau semacamnya sih... Tapi, apa kamu mau mendengarkanku?”
Akhirnya, Masachika
memperhatikan dengan serius ucapan Nonoa yang tidak seperti biasanya. Sosok
wajah sampingnya yang menatap ke kejauhan begitu tidak berdaya….dan terlihat
sedikit murung sehingga membuat Masachika merasa canggung karena ia selalu
waspada kepadanya.
“...Yah, karena aku sudah berjanji.
Jadi, aku akan mendengarkan ceritamu.”
“Terima kasih.”
Ketika dia dengan patuh
mengucapkan terima kasih, Masachika menjadi semakin kebingungan.
(Hmmm~?
Jangan bilang kalau dia benar-benar cuma ingin ada orang yang mendengarkannya
saja?)
Masachika masih belum bisa
menghilangkan keraguannya dan menggaruk-garuk kepalanya berulang kali, tapi
Nonoa sepertinya tidak keberatan dan mulai berbicara.
“Kemarin~ aku, Sayacchi,
Takeshi, dan Hikarun pergi bersama-sama untuk membeli hadiah ulang tahun Alissa,
iya ‘kan~.”
“Iya tau...”
Masachika menolak ajakan mereka
karena ia ingin pergi keluar bersama Yuki, tapi ia mengetahui hal tersebut.
“Kemudian, ketika kami sedang
makan~~, Saayacchi dan Takeshi mulai bersemangat ngomongin anime, tau.”
“Hee~?”
“Mungkin ia melihat gachapon
yang Sayacchi mainkan di taman hiburan dan kemudian mulai menonton animenya.”
“Oh~~ begitu ya.”
Masachika merasa heran
bagaimana Takeshi, yang menurutnya jarang menonton anime, bisa mengobrol banyak
soal otaku dengan Sayaka….. tapi sepertinya ada usaha keras dari pihak Takeshi
sendiri.
Mencoba memahami hal yang
disukai orang yang dicintai. Itu adalah cara pendekatan yang bisa dipikirkan
oleh siapa pun, tapi ada berapa banyak orang yang benar-benar melakukannya?
(Wah,
kamu hebat juga ya Takeshi... sungguh patut diacungi jempol)
Sambil merasa kagum pada
sahabatnya yang sudah mencoba hal tersebut, Masachika mulai menebak inti dari
pembicaraan mereka ketika mendengar cerita tersebut.
“...Jadi, kamu merasa
terpinggirkan saat mereka asyik ngobrolin sesuatu yang tidak kamu pahami?”
“Hmm~~~~?”
Menanggapi dugaan Masachika,
Nonoa mengeluarkan suara samar. Lalu, secara mengejutkan, dia menggelengkan
kepalannya.
“Bukan karena aku tidak
mengerti obrolan mereka sih...”
“Eh, apa iya?”
“Iya.”
Nonoa dengan mudah mengangguk.
Masachika merasa kalau Nonoa benar-benar tidak mempermasalahkannya... dan
kemudian, ucapan Nonoa selanjutnya membuat Masachika semakin kebingungan.
“Itu enggak masalah sih... tapi
ketika mereka sedang mengobrol, aku tiba-tiba mendapat pesan dari Mamah ku.”
“??”
"Jadi, aku langsung mengambil
ponselku dan memeriksa pesannya... tapi...”
Pada saat itu, Nonoa
menyipitkan mata dengan gusar. Lalu, dengan ekspresi sedikit murung, dia
berkata.
“Sayacchi sama sekali enggak
marah.”
“......?”
“Kalau biasanya, dia pasti akan
mengomeliku setiap kali aku memainkan ponsel pas makan, tapi... Sayacchi begitu
asyik mengobrol dengan Takeshi kan~ Jadi aku berpikir, 'Ah, sepertinya saat ini aku bukan prioritas di hati Sayacchi ya~'
gitu...”
Setelah mengatakan itu, Nonoa
menutup mulutnya. Masachika tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk
menjawab ekspresi wajah Nonoa.
(Apa
ini?... Apa dia benar-benar ingin sekedar curhat saja?)
Karena mereka belum pernah
berduaan lagi sejak insiden merayu (?) di taman hiburan, jadi hari ini dirinya
lebih waspada terhadap Nonoa daripada biasanya.
Namun, apa yang ditanyakan
tidak ada hubungannya dengan hal itu...tapi benar-benar hanya tipikal masalah siswa SMA biasa. Ekspresi wajahnya tampak tidak puas, bimbang, namun
kesepian... Masachika menurunkan alisnya karena merasa bersalah dan kasihan.
“...Itu sih...”
“Ah, kamu tidak perlu
mengatakan apa-apa, kok. Seperti yang kubilang tadi, aku hanya ingin kamu
mendengarkan ceritaku saja.”
Menyela perkataan Masachika,
Nonoa menjauhkan tubuhnya dari pagar. Lalu, sambil melakukan peregangan sedikit
untuk melebarkan bahunya, dia pun berkata.
“Hmmphhh...! Lagian juga, kamu
kesulitan untuk menjawabnya, bukan? Pada dasarnya, aku sendiri merasa seperti ‘lantas kenapa? memangnya aku peduli?’.”
Nonoa berkata demikian
seolah-olah mencoba menolak dirinya sendiri. Namun, Masachika tidak bisa
mengabaikan hal tersebut begitu saja.
Masachika sekarang merasa malu
dan menyesal. Ia mencurigai kalau Nonoa akan melakukan sesuatu pada Takeshi, dan
terus mewaspadainya ketika dia memintanya untuk mendengarkannya.
(Seperti
yang diharapkan….kurasa aku selalu berprasangka buruk padanya.)
Ia meyakini bahwa tidak ada
kebohongan dalam kata-kata Nonoa. Jika Nonoa berencana melakukan sesuatu pada
Takeshi, mana mungkin dia akan membicarakan hal semacam ini kepada Masachika. Jika
Nonoa memutuskan untuk melakukan sesuatu, dia akan melakukannya tanpa
mengucapkan sepatah kata pun. Dia tidak akan mencari persetujuan maupun simpati
dari siapapun.
Jadi bisa dibilang... Nonoa
hanya ingin ia mendengarkannya saja. Emosi seperti kesepian dan keterasingan
yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dia bingung dan terombang-ambing oleh
hal itu, dan tidak dapat menahannya sendirian, oleh karena itu dia berpaling
dan mengandalkan Masachika. Akan tetapi...sikap Masachika sama sekali tidak
tulus
(Tapi...apa
yang harus aku katakan padanya?)
Masachika mengetahui bahwa simpati
yang murahan dan penghiburan yang dangkal takkan beresonansi dengan hati Nonoa.
Pertama-tama, bukannya itu tidak etis dan dan arogan untuk memberikan jawaban
secara serampangan atas perasaan yang tidak dipahami dengan baik oleh Nonoa
sendiri?
Jika
memang demikian, apa yang harus kulakukan? Masachika mengatakan
ini setelah mengkhawatirkan dan memikirkannya...
“Begitu ya... yah, aku bisa mendengarkan
curhatmu kapan saja.”
“Ahha, makasih.”
Melihat Nonoa tertawa kecil,
Masachika pun ikut tertawa kecil.
Mungkin itu adalah jawaban yang
tepat.
Saat berbicara dengan orang
lain, seringkali kita merasa lebih teratur dalam menelaah pikiran kita sendiri.
Mungkin itulah yang diperlukan Nonoa, dan tugas Masachika hanyalah mendengarkannya
saja. Dengan begitu, Nonoa akan menemukan jawaban atas perasaannya sendiri.
(Benar
sekali... bukan berarti dia adalah orang yang jahat juga)
Ini hanyalah pandangan Masachika
sendiri, tapi Nonoa hanyalah orang yang murni dan jujur pada perasaannya
sendiri. Hanya saja, kemurnian untuk menempuh jalannya sendiri tanpa
mempedulikan orang lain itu…. dipandang sebagai kejahatan yang sesat oleh
masyarakat umum yang merupakan makhluk hidup sosial.
Jika Nonoa secara bertahap
menemukan emosinya sendiri dalam hubungan baru ini... mungkin suatu hari nanti
dia akan bisa tertawa dan menangis seperti gadis normal.
(Tapi
yahh~ aku tidak bisa membayangkan sih...)
Sambil membayangkan adegan itu,
Masachika tertawa getir karena kesan yang tidak sesuai, lalu ia bertanya pada
Nonoa.
“Jadi, cuma itu saja yang ingin
kamu bicarakan? Kalau masih ada yang lain, aku masih bisa mendengarnya, kok.”
“Hmm, cuma itu saja dulu untuk
saat ini. Aku jadi merasa lebih lega setelah bercerita.”
“Begitu ya. Syukurlah kalau
begitu.”
Masachika mengatakan ini dari
lubuk hatinya ketika mendengar kata-kata Nonoa. Melihat gadis di depannya
bermasalah seperti remaja biasa dan membagikan masalahnya kepada orang lain,
entah mengapa membuatnya merasa senang. Namun….
“Sebagai ucapan terima kasih,
kamu boleh menyentuh pantatku, loh.”
Ketika Nonoa dengan santai mengucapkan
kata-kata itu, Masachika membeku sejenak sebelum menampilkan senyum kaku.
“Pantat senilai 50 ribu yen
selama 2 detik? Aku takut dengan konsekuensinya, jadi aku dengan berat hati
menolaknya.”
“Masa? Ngomong-ngomong, hari
ini aku pakai T-back lho.”
“Seriusan!?”
“Yeah, kamu bisa melihatnya
sendiri.”
Setelah mengucapkan itu, Nonoa
mengangkat roknya dengan tangan kanannya. Kulit putih nan mulus Nonoa bisa terlihat
dari balik roknya yang terangkat. Pahanya yang ramping dan indah merupakan
perwujudan dari kata ‘kaki yang indah’.
Saat Masachika bisa melihat pantatnya yang bulat, kencang dan indah itu
terpampang di hadapannya….. ia langsung mengalihkan pandangannya ke atas.
“Kelihatan enggak?”
"...Aku sama sekali tidak
melihatnya.”
Bukan pantatnya yang terlihat,
melainkan T-back-nya. Dari saat ia berkata tidak melihatnya, ia bisa
melihatnya, jadi perkataannya tidak bisa dipercaya.
“Ahh~ begitu ya, sepertinya
kamu lebih suka bagian dada daripada pantat ‘kan, Kuzecchi~? Kurasa menunjukkan
bra lebih membuatmu senang?”
"Mengapa kamu bisa tahu tentang
itu?”
Masachika mengembalikan
kepalanya dengan wajah datar, dan Nonoa mengatakan ini tanpa rasa khawatir.
“Hah? Karena kamu selalu
melirik payudara Alissa.”
“Yang bener!?”
Setelah secara refleks
mengatakan itu, Masachika merasa panik dan berpikir, ‘Sialan aku keceplosan! Apa yang tadi itu cuma candaan doang?',
tapi...Nonoa tetap memasang wajah datar. Dia begitu serius sehingga Masachika
pun terpengaruh dan memasang wajah serius. Masachika tidak punya pilihan selain
menanggapinya dan menyadari, ‘Oh, ini
serius.’
“...Serius? Eh, memangnya aku
sampai melihat jelas begitu?”
“Ketimbang dibilang melihat
jelas... setiap kali pandanganmu lewat, kurasa pandanganmu tertuju ke sana sebentar?”
“Ehh~~~ tidak, habisnya, mau bagaimana
lagi. Kalau cuma sebentar saja maafin aku napa... Saat melihat seseorang
memakai kalung dengan permata yang sangat besar, mata semua orang hanya berhenti
disitu, kan? Itu sama saja dengan begitu….”
“Tidak, aku tidak
menyalahkanmu, kok.”
“Aku tidak suka ketika ada yang
menunjukkan hal itu dengan begitu tenang...”
Saat Masachika menundukkan
kepalanya dengan lemas, Nonoa menarik ujung roknya lagi dengan tangan kanannya.
“Jadi, gimana? Mau coba
menyentuhnya?”
“Kamu ini... Sayaka akan marah
padamu jika kamu melakukan hal seperti itu.”
“Ahh~...”
Dengan perhatian yang diberikan
oleh Masachika, Nonoa merenung sejenak ke atas, lalu dengan cepat merapikan
kembali roknya.
(Sudah
kuduga, dia selalu lemah terhadap Sayaka)
Ketika memikirkan hal itu,
Masachika merasakan perasaan lega yang aneh, dan menatap Nonoa dengan senyuman
kecil di wajahnya.
“Bahkan kamu tidak perlu
melakukan hal seperti itu, setidaknya aku akan mendengarkan ceritamu….. Karena
kita adalah teman satu band.”
“Jadi kamu tidak mengatakan
kalau kita berteman~?”
“Tidak, maaf. Sejujurnya, aku
masih merasa ragu apakah aku bisa memanggilmu sebagai teman.”
Entah Masachika bisa menyebut
Nonoa sebagai temannya, atau apakah Nonoa menganggap Masachika sebagai temannya.
Kedua hal tersebut cukup meragukan... Tapi, jika Nonoa mengatakannya seperti
itu sekarang...
“Yahh... tapi, ya, mungkin kita
memang sudah berteman.”
“Ohh~ sekali lagi salam kenal,
ya~”
“Ah, ya? Oh, salam kenal?”
Mereka berjabat tangan tanpa
sepenuhnya paham apa yang mereka lakukan. Kemudian, Masachika tersenyum sedikit
pahit pada kenyataan bahwa dirinya benar-benar berjabat tangan dengan Nonoa.
(Aku
tidak pernah membayangkan bahwa aku akan memiliki hubungan seperti itu dengan
Sayaka... Tapi aku bahkan tak pernah memikirkan kalau aku akan memiliki
hubungan seperti ini dengan Nonoa)
Hal itu tidak pernah
terpikirkan oleh dirinya yang beberapa waktu lalu. Selama ini, Masachika selalu
percaya bahwa Nonoa adalah orang yang berbahaya.
Akan tetapi... dengan kegiatan
band dan hubungan antara Takeshi dan Sayaka, Nonoa pun mulai berubah. Hal itu
terlihat dari interaksi mereka hari ini. Jadi...
(Aku
seharusnya tidak selalu waspada... Aku harus mulai mendekatinya sedikit demi
sedikit. Kalau Alya berhasil terpilih, tahun depan kami akan sama-sama menjadi
anggota OSIS)
Merenungkan hal ini di dalam
hatinya, Masachika akhirnya memutuskan untuk membuang prasangka buruknya yang
masih mengakar kuat terhadap Nonoa.
“Kalau gitu, aku akan pergi
sekarang...”
“Yeah, terima kasih ya~ Aku
akan sedikit lebih lama untuk menikmati angin ini~”
“...Begitu ya.”
Sikap dan ekspresinya masih
terlihat lesu seperti biasanya. Meskipun begitu, Masachika merasakan bahwa di
balik itu, kesepian dan penderitaan masih ada. Tapi, tanpa berkata apa-apa
lebih lanjut, Masachika hanya mengangguk dan memutar badannya sebelum naik ke
tangga.
“Sampai jumpa lagi.”
“Wokee~”
Balasan yang santai dan
ceroboh. Namun, alasan mengapa dia tidak pernah mencoba untuk kembali bersama
mungkin….. karena dia ingin sendirian.
(Apa...
seharusnya aku mengatakan sesuatu? Apa aku boleh meninggalkannya sendirian
seperti ini?)
Pemikiran semacam itu terlintas
dalam pikirannya. Namun, tanpa menemukan kata-kata yang tepat atau alasan untuk
tetap bersama, Masachika membuka pintu dengan perasaan bingung dan meninggalkan
tangga dengan rasa tak berdaya.
...Karena ia terjebak dalam
pikirannya sendiri, Masachika tidak menyadari bahwa ada bayangan seseorang di
tangga yang menghubungkan lantai dua dan tiga di sebelah kanannya. Dan... Nonoa,
yang menatap punggungnya dengan mata kosong tanpa ekspresi seolah-olah sedang
mengamati subjek penelitian.
◇◇◇◇
(Perasaan
simpati tuh luar biasa sekali, ya~)
Sambil melihat Masachika
berjalan menjauh, Nonoa memikirkan hal tersebut tanpa emosi apapun.
Perasaan simpati itu luar
biasa. Jika seseorang dapat merasa simpati, maka setiap orang akan menjadi
lebih baik. Bahkan orang-orang yang berada dalam hubungan yang tidak bersahabat
akan mengulurkan tangan membantu, dan bahkan dia pernah mendengar bahwa rasa
bersalah karena sudah membunuh seseorang pun akan terasa berkurang. Betapa luar
biasanya hal itu. Tidak ada emosi lain yang lebih mudah dan berguna seperti
ini.
(Bahkan
orang seperti Kuzecchi pun menunjukkan kebaikannya padaku~)
Nonoa sudah lama mengerti bahwa
Masachika selalu waspada terhadap dirinya. Dia memahaminya dan membiarkannya
begitu saja. Tapi sekarang tidak lagi.
(Namun...
demi bisa merasakan emosi yang lebih alami, perasaan waspada itu cukup
menghalangi, ya~?)
Dia masih menyesali karena
berusaha merayu Masachika di bangku taman hiburan. Karena hal itu,
kewaspadaan Masachika yang akhirnya mulai mereda menjadi meningkat lagi karena
insiden tersebut.
Namun di sisi lain... Nonoa
juga mendapatkan informasi bahwa jika dia menunjukkan kelemahannya, kewaspadaan
Masachika akan sedikit berkurang. Dan berdasarkan interaksi yang baru saja
mereka lakukan tadi, hal itu terbukti benar.
(Selain
itu...)
Tampaknya Masachika menginginkan
Nonoa untuk menjadi lebih manusiawi.
(Ya
ampun, ia benar-benar terlalu baik hati banget...)
Nonoa mengangkat bahunya
terhadap sifat baik Masachika.
Tapi jika begitu masalahnya,
setidaknya dia harus berperilaku seperti manusia..... atau setidaknya berusaha
menjadi lebih manusiawi di hadapan Masachika. Tidak peduli apapun yang akan
dilakukan oleh Miyamae Nonoa selanjutnya, dirinya harus tetap memelihara
harapan yang rapuh tersebut. Selama Miyamae Nonoa berusaha menjadi manusia,
Masachika tidak akan pernah meninggalkannya.
(Orang
baik memang gampang banget dipermainkan, jadi aku sangat terbantu dengan hal
itu~)
Sambil memikirkan hal tersebut
dengan ekspresi yang sama sekali tidak terlihat senang, Nonoa tiba-tiba menoleh
ke atas panggung di atasnya dan bertanya,
“Ada seseorang di sana?”
Suara nyaring Nonoa dibalas
dengan keheningan. Namun, saat dia terus menunggu, tiba-tiba terdengar langkah
turun tangga dari tangga ke lantai dua. Meskipun ada sepasang kaki yang terlihat
berjalan turun melalui celah di antara anak tangga. Tapi entah kenapa, tidak
terdengar suara langkah kaki.
Lalu, orang yang muncul di
sekitar pegangan tangga adalah...Ayano. Nonoa bertanya sambil menatap Ayano,
yang tanpa ekspresi tetapi sepertinya memiliki ekspresi tegang di wajahnya.
“Kimishima-chan...? Kenapa kamu
bisa ada di sini?”
“.....”
Menanggapi pertanyaan Nonoa,
Ayano memalingkan pandangannya tanpa berkata apa-apa. Meskipun dia terlihat
seperti sedang memikirkan jawabannya, Nonoa terus bertanya tanpa
memperdulikannya.
“Apa jangan-jangan, kamu
mendengar pembicaraan kami?”
Itu merupakan konfirmasi dalam
bentuk pertanyaan. Sebenarnya, Nonoa sudah menyadari kedatangan Ayano tidak
lama setelah Masachika tiba. Secara tepatnya, dia hanya melihat kakinya, dan
tidak bisa mengidentifikasi siapa itu, tapi karena tidak ada suara langkah kaki
apapun, jadi dia menebak bahwa orang itu adalah Ayano.
Dengan kata lain, Ayano sengaja mengikutinya ... tapi tentu saja
dia tidak akan menyadari hal itu sendiri. Ayano sibuk memalingkan pandangannya
sebagai tanggapan dari tatapan menyalahkan Nonoa. Lalu, setelah beberapa detik
berpikir, dia turun tangga dengan cepat dan tiba-tiba membungkukkan kepalanya
ke arah Nonoa.
“Saya sungguh minta maaf. Saya
tanpa sengaja mendengarkan pembicaraan kalian ...”
Nonoa sedikit mengurangi
tekanan tatapannya saat Ayano membungkukkan kepalanya dalam-dalam dan bersandar
pada pegangan tangga.
“Jadi? Mengapa kamu mengikuti
Kuzecchi?”
“...”
“Sebagai seseorang yang
pembicaraannya didengar, kupikir aku memiliki hak untuk mendengar alasanmu,
bukan~?”
Meskipun Ayano tetap
membungkukkan kepala dalam diam, tapi setelah Nonoa membuatnya merasa bersalah,
dia perlahan membuka mulutnya setelah beberapa saat.
“Umm ... di festival olahraga
kemarin, saya mengucapkan sesuatu yang tidak sopan kepada Masachika-sama ...
dan saya mencoba mencari kesempatan untuk meminta maaf kepadanya...”
“Dan itu adalah saat ketika
pembicaraan kami sudah dimulai?”
“Iya ... saya minta maaf.”
Nonoa diam-diam mengamati Ayano
yang kembali membungkukkan kepalanya.
“Hmm ... apa kamu melakukan
sesuatu yang sampai membuatmu merasa kesulitan untuk meminta maaf?”
“Iya, benar ...”
Sementara mengangguk sambil
menundukkan pandangannya, Ayano tidak memberikan detail lebih lanjut. Namun,
Nonoa tidak punya pilihan lain selain membiarkan Ayano pergi dengan cara ini.
(Sebagai
partner Yukki dan teman masa kecil Kuzecchi yang berharga... kurasa dia mungkin
bisa berguna untuk sesuatu)
Sambil memikirkan hal itu
dengan dingin, Nonoa diam-diam mengamati ekspresi Ayano.
Nonoa dulu pernah bertanya pada
Sayaka tentang bagaimana cara mempengaruhi orang.
Sayaka lalu menjawabnya bahwa
untuk mempengaruhi orang, diperlukan logika dan keuntungan. Namun, tidak semua
orang akan tergerak hanya dengan berdasarkan itu saja. Karena setiap orang
memiliki emosi, dan seringkali emosi mengendalikan perilaku seseorang di luar
logika dan keuntungan.
Dari cerita Sayaka, Nonoa
mempelajari bahwa dengan mengendalikan emosi, seseorang dapat menguasai
perilaku orang di luar logika dan keuntungan.
Sebelumnya, Nonoa sudah sering
mengubah perilakunya berdasarkan reaksi lawan bicaranya dan berusaha untuk
disenangi. Namun, ada langkah lebih lanjut yang bisa diambil. Bukan hanya
mengubah perilaku berdasarkan emosi lawan bicara, tetapi dengan mengubah
perilakunya sendiri... dia mampu mengendalikan emosi lawan bicaranya.
(Aku
masih tidak bisa membaca ekspresi wajahnya...tapi mungkin kesetiaannya melebihi
rasa bersalahnya? Kurasa aku harus mengubah sedikit cara pendekatanku)
Setelah memutuskan demikian,
Nonoa menyilangkan tangannya dan mengangguk.
“Orang yang biasanya dekat, terkadang
memang sulit untuk meminta maaf ya~ Aku paham, paham banget. Maaf ya kalau
perkataanku jadi terdengar menyalahkanmu.”
“Oh, tidak ... situasi saya
terkait dengan mendengarkan pembicaraan secara sembunyi-sembunyi adalah masalah
terpisah.”
Ayano terlihat bingung sambil berkedip beberapa kali ketika melihat Nonoa yang tiba-tiba menjadi lebih bersahabat. Namun, Nonoa tetap melanjutkan tanpa menghiraukannya sambil tersenyum.
“Yahh, aku juga punya
pengalaman serupa, jadi aku mengerti kok~. Saat aku mendekati temanku untuk
berbicara dengannya, tapi tiba-tiba dia malah sedang diajak bicara sama orang
lain~. Aku pikir 'tunggu sebentar sampai
dia selesai bicara~', tapi tiba-tiba malah dimulai pengakuan cinta... itu sungguh
membuat suasana jadi canggung. Aku ketahuan dan dimarahi setelahnya, tapi
sebenarnya saat itu aku bingung harus bagaimana~”
Keterbukaan diri dan empati.
Mata Ayano, yang gemetar karena
kebingungan dan permintaan maaf, menatap lurus ke arah Nonoa.
(Sipp,
berhasil)
Nonoa tersenyum kecil sambil
diam-diam mengamati situasi dengan dingin.
“Kesempatan semacam ini bisa
juga dibilang takdir, jadi kalau kamu mau bercerita, aku bisa mendengarmu kok~?
Jangan khawatir ya? Aku bisa jaga rahasia. Teman-temanku sering bilang kalau aku
'ternyata bisa diandalkan'.”
Dia membicarakan itu berdasarkan
penilaian dari orang-orang di sekitarnya, bukan dari penilaian diri sendiri.
“Ah, itu tidak perlu...”
“Jangan sungkan-sungkan begitu.
Aku juga pernah curhat dengan Kuzecchi. Ini semacam balas budi untuk Kuzecchi
juga. Kupikir Kuzecchi juga pasti akan kesulitan jika hubungannya dengan teman
masa kecilnya tetap canggung seperti ini, ‘kan?”
Dia juga memberikan alasan
besar kalau itu demi Masachika.
“Selain itu, selain Yukki, satu-satunya
orang yang mengetahui hubungan sebenarnya antara Kuzecchi dan Kimishima-chan
adalah aku dan Sayacchi saja, iya ‘kan??”
Dia kemudian mengurangi pilihan
dan mempersempit wawasan lawan bicaranya.
“Yahh~ aku tidak akan memaksamu
untuk berbicara, tapi jika kamu ingin curhat, aku akan mendengarkan, loh?”
Dia hanya memberi sedikit
saran, dan pada akhirnya memberikan kendali kepada lawan bicaranya.
“......”
Ketika Nonoa menutup mulutnya,
Ayano menatap ke sekelilingnya... dan mulai berbicara perlahan.
“Saya ingin meminta agar ini
tetap dirahasiakan...”
(Akhirnya
dia terpancing juga)
Tanpa menunjukkan senyum di
dalam hatinya, Nonoa memberi isyarat dengan matanya untuk melanjutkan.
“Sebenarnya, saya tanpa sengaja
mengucapkan sesuatu yang menyalahkan Masachika-sama atas keputusannya untuk
maju sebagai kandidat bersama Alisa-san...”
“Mengapa?”
“Karena... Masachika-sama,
terhadap Yuki-sama...”
Ketika dia berhenti sejenak,
Ayano menyangkal pernyataannya dengan mengatakan “tidak”.
“Pertama-tama, saya tidak memiliki
kualifikasi untuk mengeluh. Seandainya saja saya bisa lebih diandalkan dalam
mendukung Yuki-sama...”
Nonoa memeriksa diam-diam
monolog yang diucapkan sambil menatap ke langit.
(Hmm~
jadi intinya, ketika Yukki membutuhkan dukungan, Kuzecchi lebih memilih Alissa
daripada Yukki, begitulah ceritanya?)
Dan dia menyesali ketidakmampuannya
untuk mendukung Yuki sebagai pengganti Masachika. Dengan memprediksi hal itu,
Nonoa menurunkan ujung alisnya dengan penuh perhatian.
“Begitu ya... rasanya memang
sulit ketika kita tidak bisa membantu orang yang kita sayangi, ya...”
“Iya...”
“Aku juga tidak bisa banyak
membantu Sayacchi saat pemilihan di SMP... jadi aku mengerti perasaanmu.”
“Benarkah?”
“Iya.”
Nonoa mengangguk pada Ayano
yang menatapnya.
“Pada akhirnya, Sayacchi kalah
dari Yukki dalam pemilihan. Kalau aku bisa melakukannya dengan lebih baik,
mungkin hasilnya akan berbeda... begitulah pikiranku...”
“......”
Sambil merasakan pandangan Ayano
di pipinya, Nonoa menatap langit dan berbicara.
“Sayacchi menangis tersedu-sedu
karena merasa telah mengecewakan ayahnya... Saat melihat Sayacchi seperti itu,
aku...”
Nonoa menutup mulutnya saat
perasaannya saat itu kembali padanya. Lalu, dia menoleh ke arah Ayano dan
berkata sambil tersenyum sedih.
“Hatiku gemetar dan terluka...”
Kemudian, Nonoa dengan lembut meraih
tangan kanan Ayano dengan kedua tangannya dan melanjutkan.
“Tapi tahu tidak? Pada saat itulah
aku menyadarinya... bahwa berada di sampingnya dan terus mendukung orang yang
benar-benar penting bagimu sudah cukup. Hanya dengan itu saja, kamu sudah bisa
menjadi penopang hatinya dengan baik. Jadi...”
Nonoa berkata dengan tegas
sambil menatap lurus ke mata Ayano.
“Menurutku, Kimishima-chan juga
hanya perlu terus menjadi pendamping Yukki. Dengan melakukan itu saja, aku
yakin itu bisa menyelamatkan Yukki.”
“......”
Namun, Ayano mengalihkan
pandangannya pada kata-kata Nonoa. Kemudian, dia mengeluarkan suara dengan ekspresi
yang terlihat kesakitan.
“Tapi, saya...”
“Ya?”
“Saya mungkin…tidak bisa
benar-benar menjadi sekutu Yuki-sama.”
Kata-kata itu sepertinya meluap
dari lubuk hatinya, dan Nonoa yakin bahwa dia telah menyentuh perasaan Ayano
yang sebenarnya.
(Hee~?)
Nonoa menyembunyikan senyum
geli di balik ekspresi khawatirnya dan bertanya.
“Kenapa kamu berpikir
demikian?”
“......”
“Tenang saja, aku bersumpah
kepada Tuhan bahwa aku takkan memberitahu siapa pun.”
Meskipun dia bersumpah dengan
sangat dramatis, tapi Ayano akhirnya membuka mulutnya perlahan.
“Saya ingin... Masachika-sama
kembali ke keluarga Suou.”
Apa yang terucap dari mulutnya
adalah keinginan Ayano yang belum pernah dia ceritakan kepada Masachika atau Yuki.
“Saya ingin kami bertiga
seperti dulu lagi... hidup bahagia dalam kehidupan sehari-hari.”
Pada keseharian ketika mereka
masih kecil dulu. Yuki dengan polosnya mengagumi kakaknya, Masachika tidak
memiliki rasa bersalah terhadap adiknya dan…. Ayano selalu sangat senang
melihat mereka ......
“Tapi ini hanyalah keinginan
egois saya yang bertentangan dengan keinginan mereka berdua...”
Ayano mengatakan itu dengan
suara yang sedikit gemetar dan terus menundukkan kepalanya... lalu, Nonoa
memeluknya dengan erat. Dia berbisik pada Ayano, yang menegang seolah terkejut,
seakan-akan meremas suaranya dari belakang tenggorokannya.
“Begitu ya... kamu sudah merasa
sendirian dengan pikiran seperti itu... itu pasti sangat menyakitkan, bukan...”
Nonoa memeluk erat Ayano selama
sepuluh detik, lalu tiba-tiba melepaskannya, dan memegang kedua bahunya Ayano.
“Baiklah, aku sudah memutuskan!
Aku akan menjadi sekutumu, Kimishima-chan!”
“Eh?”
“Lihat, Sayacchi juga ingin
Kuzecchi dan Yukki menjadi dekat, ‘kan? Lebih dari itu, setelah mendengar
perasaanmu yang begitu tulus, aku jadi ingin mendukungmu.”
Setelah mengatakan itu dengan
senyuman yang sedikit tak kenal takut, Nonoa tiba-tiba melonggarkan
ekspresinya.
“Selain itu, aku yakin Kuzecchi
sendiri juga berpikir kalau dirinya perlu menghadapi permasalahan keluarganya
dengan baik. Itulah yang kupikirkan.”
“Apa, iya?”
Nonoa tidak tahu. Tapi
sepertinya akan lebih nyaman bagi Ayano jika dia mengatakannya begitu.
“Iya, aku yakin begitu. Oleh
karena itu, aku juga akan membantumu. Oh ya, boleh aku memanggilmu Ayanono?”
“Ehmm....iya...”
Ayano mengangguk, meskipun
tatapannya berkeliaran dalam kebingungan. Melihat ini, senyuman Nonoa semakin
lebar.
Pada hari itu, dia menyadari ketidakselarasan
antara dirinya dan dunia ini. Nonoa merasa kalau sekarang dia sedikit bisa
memahami perasaan anak-anak nakal yang melempari batu ke katak di kolam.
Mereka mungkin tidak
benar-benar bermaksud melukai katak itu.
Mereka hanya menikmati perasaan
melanggar aturan dan sensasi dari tindakan itu sendiri, tanpa benar-benar
berniat menyakiti makhluk hidup kecil.
(Ya,
sekarang aku mengerti...)
Mereka menyadari bahwa ini adalah
hal yang salah. Mereka mungkin akan dimarahi. Mungkin saja tidak terjadi
apa-apa. Mungkin riak yang dihasilkan oleh batu yang dilemparkan bisa
menciptakan sesuatu yang tak terduga. Mungkin, tindakan ini bahkan tidak
memiliki tujuan atau alasan.
Meski begitu, mereka tetap
melempar batu.
(Rasanya
jadi semakin menyenangkan ♡)
Nonoa tersenyum manis sambil
menggenggam tangan Ayano lagi.
“Sekali lagi, senang bertemu
denganmu ya, Ayanono. Sekarang, kita harus memikirkan cara meminta maaf kepada
Kuzecchi.”
Dengan bibirnya, Nonoa
mengucapkan kata-kata tersebut dengan kepolosan dan kejahatan yang murni.
◇◇◇◇
“Baiklah, hanya itu saja untuk
hari ini. Petugas piket hari ini, beri aba-aba.”
“Berdiri, hormat.”
“Terima kasih banyak~”
Setelah jam pelajaran selesai,
Masachika mengemasi barang-barangnya dan berdiri dari kursinya, lalu ia
memanggil Alisa di sebelahnya.
“Maaf Alya, aku punya sedikit urusan.
Sepertinya aku akan sedikit terlambat dalam rapat OSIS.”
“Begitu? Hah... Kamu lagi-lagi memainkan
ponselmu, ya?”
Alisa menatap Masachika dengan
tatapan mencela, ketika ia memberitahunya sambil mengangkat ponselnya.
Masachika mengangkat bahunya mendengar keluhan Alisa yang sangat menggambarkan
sifat murid teladan.
“Aku tidak sedang bermain game,
kok. Cuma sekedar berkomunikasi saja tidak ada salahnya, ‘kan? Malahan, cuma
kamu yang begitu patuh mematikan ponsel selama pelajaran.”
“Aku hanya mengikuti peraturan
sekolah.”
“Ya, aku tahu kalau kamu lebih
benar... tapi tolong, abaikan saja untuk kali ini.”
Masachika mengatakan ini sambil
menundukkan kepalanya, dan segera meninggalkan kelas. Alisa menatapnya dengan
sedikit tatapan tajam dan menghela napas ringan.
(Ya
ampun, mau sampai kapan ia tidak memiliki kesadaran sebagai anggota OSIS...
tapi, sebaiknya aku jangan terlalu keras padanya. Ji-Jika ia membenciku, itu
akan merepotkan, bukan?)
Alisa memikirkan hal itu sambil
tanpa sadar melingkarkan jari di sekitar rambutnya... dan tiba-tiba menyadari
bahwa pikirannya sedang terpengaruh layaknya gadis yang sedang kasmaran, jadi
dia menggelengkan kepalanya.
(Tidak
boleh... tidak boleh... aku sudah beberapa kali seperti ini ketika aku lengah
sedikit)
Alisa melihat sekelilingnya
untuk melihat apakah tadi ada yang melihatnya, dan menyalakan ponselnya dengan
wajah tenang.
Setelah beberapa jam tidak
digunakan, ponselnya menyala dan bergetar setelah beberapa detik mencari
sinyal, menandakan adanya pesan masuk.
(?
Mungkin itu dari ibu?)
Sambil sedikit mengangkat
alisnya, Alisa membuka aplikasi pesan dan memeriksa pengirimnya... dia pun
merasa terkejut.
“Nonoa-san?”
Dengan sedikit kebingungan,
Alisa membaca pesan dari Nonoa.
Beberapa detik kemudian, Alisa mengirim
pesan kepada anggota OSIS lainnya bahwa dirinya dan Masachika akan sedikit
terlambat, lalu dia mengambil tasnya dan meninggalkan kursinya.
◇◇◇◇
(Lagi-lagi aku dipanggil ke tempat yang aneh...)
Masachika bergumam pada dirinya
sendiri sambil menaiki tangga mengikuti pesan Ayano. Lokasinya berada di tangga
menuju atap gedung ruang klub. Tempat di mana Masachika berbicara dengan Maria
saat festival sekolah.
“Ah... yo.”
Melihat Ayano yang berdiri di
depan pintu menuju atap, Masachika dengan santai mengangkat tangannya.
Sapaan mereka sedikit lebih
canggung daripada biasanya, karena pertukaran terakhir saat mereka berpisah. Mungkin
karena hal tersebut, wajah tanpa ekspresi Ayano tampak sedikit lebih kaku dari
biasanya saat dia menerima sapaan Masachika.
“Maaf sudah memanggil Anda
kemari, Masachika-sama.”
“Tidak apa-apa, tapi... memangnya
ada apa?”
“Iya. Pertama-tama...”
Begitu dia mengatakan itu,
Ayano mencoba bersujud di lantai, jadi Masachika berlari menaiki tangga dan
meraih bahunya untuk menghentikannya.
“Tidak, tidak, jangan mendadak
bersujud di tempat seperti ini. Seragam dan rambutmu akan kotor, tau.”
“? Bukannya itu tidak masalah?”
“Sialan, matamu yang lurus dan
mengaburkan akal sehat itu... Hanya untuk memastikan, apa itu berarti kamu
ingin menyampaikan ketulusanmu dengan seberapa kotornya kamu? Bukan dalam artian
Masokis, ‘kan?”
“Tentu saja yang pertama.
Selain itu, saya bukanlah orang Masokis.”
“Oh, ya... begitu...”
“Saya tidak merasakan
kenikmatan dari rasa sakit. Saya hanya memendam keinginan untuk diperlakukan
dengan sembarangan seperti objek.”
“Kamu bahkan tidak
merahasiakannya!? Malah ngomong blak-blakan begitu. Dan asal kamu tahu saja,
dunia menyebut orang semacam itu sebagai orang Masokis, tau.”
“Benarkah!?”
Dengan tanpa ekspresi di
wajahnya, mata Ayano melebar seolah-olah ada efek percikan dan sambaran petir
di belakangnya. Memanfaatkan keadaan tubuhnya yang kaku, Masachika memegang
lengan Ayano dan memaksanya untuk berdiri dengan agak paksa sebelum kemudian
bertanya lagi.
“Jadi, ada urusan apa? Kamu
tidak perlu bersujud segala, jadi sampaikan saja dengan singkat.”
“Ah, ya...”
Ayano mengangkat tubuhnya
sedikit dan kemudian menundukkan kepalanya untuk menanggapi perintah yang
dikeluarkan dengan nada tegas.
“Pertama-tama, mengenai acara
festival olahraga... Saya minta maaf. Sebagai seorang pelayan, saya telah
melampaui batasan saya.”
“...”
Permintaan maaf tersebut sesuai
dengan yang diharapkan oleh Masachika. Itulah sebabnya... Masachika sudah
memutuskan tanggapannya.
“Tidak, kamu tidak perlu minta
maaf. Apa yang kamu katakan pada waktu itu ada benarnya. Dalam posisimu,
wajar-wajar saja kamu mengeluarkan kritik semacam itu... Terlebih lagi, kamu
mengatakan hal tersebut karena mempertimbangkan Yuki. Malah...”
Setelah membuat Ayano
mengangkat kepalanya dan menatap lurus ke matanya, Masachika membungkuk
dalam-dalam.
“Maaf. Aku membuatmu mengatakan hal-hal itu. Aku
benar-benar minta maaf.”
“Ma-Masachika-sama, tolong
angkat kepala Anda.”
Mendengar suara Ayano yang
jelas-jelas terdengar panik, Masachika mengangkat wajahnya dan tersenyum penuh
penyesalan.
“Kamu tidak perlu minta maaf.
Bahkan sebenarnya... akulah yang memintamu untuk menjadi sekutu Yuki.”
Itu adalah harapan yang Masachika
percayakan kepada Ayano pada malam hari setelah hari pertama festival sekolah.
“Jadi... terima kasih. Karena
selalu berada di samping Yuki lebih dari siapapun.”
Setelah mengucapkan itu,
Masachika kembali menundukkan kepalanya kepada Ayano. Mendengar itu, Ayano
membelalakkan matanya dan suasana hatinya seketika melunak.
“Kata-kata tersebut terlalu
berharga, Masachika-sama.”
Ayano mengatakan itu sambil
tersenyum simpul, dan Masachika juga tersenyum. Setelah bertukar senyum tanpa
suara, Ayano mengubah ekspresinya dan bertanya pada Masachika.
“Masachika-sama... apakah
perasaan Masachika-sama terhadap Yuki-sama masih tetap sama seperti dulu?”
“Yuki adalah orang yang paling
kusayangi dan orang yang paling berharga bagiku di dunia ini. Perasaanku
padanya belum pernah goyah sedikit pun.”
Setelah mendengar pernyataan
tegas yang diucapkan tanpa ragu itu, Ayano mengangguk perlahan setelah sejenak
menutup mata, lalu menjawab dengan tatapan lurus.
“Jika memang demikian, saya
tidak akan ragu. Saya akan terus bergerak dengan memprioritaskan Yuki-sama dulu.”
“...Ya, tolong lakukan itu.”
Setelah mengkonfirmasi pemikiran
mereka dan menetapkan keinginan mereka, keduanya saling bertukar pandang. Lalu,
di bawah mereka.
Di tengah perjalanan menaiki
tangga menuju lantai dasar, Alisa terdiam. Di kepalanya, kata-kata Masachika
pada Ayano terngiang kembali.
(Paling
disayang… paling berharga…)
Tangganya sangat tidak bisa diandalkan.
Pegangan tangannya terasa licin dan tidak dapat digunakan.
(Uuuaaaaaaaaaaaaaaaaa)
Dirinya ingin berteriak.
Dirinya ingin muntah. Segala sesuatu di dadanya. Alisa ingin mengeluarkan
semuanya dan berhenti bernapas.
“Kugh! Argh!”
Dorongan itu dibendung oleh
sedikit alasan yang tersisa. Alisa pun hancur dan menuruni tangga.
Dia menuruni tangga, berusaha
menjauh dari tempat itu. Ketika Alisa sampai di lantai satu, ada suara yang
memanggilnya dari samping.
“Ah, Alissa kerja bagus~~... Lah,
kenapa kamu turun? Padahal tempat pertemuan kita seharusnya di atas, tau...”
Saat dia menoleh pelan ke arah
suara itu, Alisa melihat Nonoa yang menatap dengan penuh kecurigaan ke arah
lantai atas.
Dia bilang ada sesuatu yang
ingin dia bicarakan, tapi... Alisa tidak punya waktu untuk berurusan
dengan Nonoa sekarang.
“Maafkan aku...tapi, apa kita
bisa membicarakan masalah itu lain kali?”
“Eh? Yah~~ enggak apa-apa sih,
tapi...ada apa? Apa terjadi sesuatu?”
“Maaf.”
Setelah mengatakan semua itu,
Alisa mencoba berjalan melewati Nonoa dengan langkahnya yang linglung dan goyah.
Tapi…
“Hei tunggu dulu napa.”
Lengannya dicengkeram dari
samping dan dia terpaksa berhenti. Saat dia menoleh, Alisa melihat kalau Nonoa sedang
menatapnya dengan ekspresi yang sangat serius.
“Aku tidak bisa meninggalkan Alissa
sendirian jika wajahmu kelihatan pucat begitu. Apa yang terjadi?”
Pada saat itu, Alisa secara
impulsif menepis tangan Nonoa dan hampir saja melarikan diri. Namun, dia
berhenti di saat-saat terakhir dan menarik napas dalam-dalam dengan paru-paru
gemetar sebelum membuka mulutnya.
“...Aku tidak bisa memberitahumu
apa yang terjadi.”
Karena itu akan mengungkapkan
perasaannya yang terpendam.
“Tapi….bisakah kamu tinggal di
sisiku sebentar?”
Dia ingin Nonoa tetap berada di
sisinya dan mengawasinya.
Jika dia tetap sendirian
seperti ini, dirinya takut kalau dia akan melakukan sesuatu yang buruk. Mendengar
keinginan Alisa yang penuh dengan spekulasi seperti itu, Nono mengangguk dengan
mudah.
“Ya, aku tidak keberatan kok~”
“… Terima kasih.”
“Enggak masalah, enggak masalah~. Kita berdua
adalah teman, iya ‘kan?”
Setelah mengatakan itu dengan
sederhana, Nonoa melepaskan lengan Alisa dan menepuk bahunya. Seperti biasa, Alisa
tertawa kecil ketika melihat Nonoa yang tidak terlalu mempedulikan detail
kecil.
Namun, Alisa mungkin tidak
pernah menyangka bahwa wajah Nonoa, dengan suaranya yang ceria dan tingkah
lakunya yang ramah, ternyata tidak berekspresi sama sekali.