Otonari no Tenshi-sama Jilid 8.5 Bab 3 Bahasa Indonesia

Bab 3 — Tidak Ada Yang Namanya Hasil Yang Instan

 

Dari sudut pandang Amane, tidak dapat dipungkiri bahwa Mahiru merupakan orang yang pekerja keras— tipe orang yang takkan membiarkan dirinya berkompromi dalam mencapai tujuannya.

Bagi mereka yang belum mengenalnya, dia mungkin tampak seperti gadis jenius yang dapat memahami sepuluh konsep setelah hanya mendengar satu konsep. Namun bagi Amane, Mahiru adalah individu berbakat yang juga melakukan kerja keras yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman—dengan kata lain, dia meripakan sosok yang luar biasa.

Amane tahu bahwa prestasi Mahiru tidak hanya terbatas pada bidang akademis saja. Kemampuannya juga mencakup sampai kebugaran fisik, kecantikan, dan keterampilan rumah tangga. Semua yang dicapai Mahiru berasal dari kerja kerasnya sendiri, bukan usaha setengah matang.

“…Dia benar-benar pekerja keras.

Amane bergumam pada dirinya sendiri, menyaksikan Mahiru mengangkat barbel beban ringan sambil mendengarkan beberapa latihan bahasa Inggris. Lengan atasnya yang lembut namun ramping pasti dipertahankan melalui latihan seperti itu. Mahiru mengalihkan pandangannya ke arah Amane saat dia melanjutkan latihannya, sepertinya dia mendengar komentar Amane meskipun dia fokus.

“Jika kelihatannya memang begitu, maka aku bersyukur…?”

“Mengapa itu sebuah pertanyaan?

“Yah, beberapa orang akan menganggap bekerja keras di belakang layar merupakan nilai lebih, tau.” Mahiru menghentikan pemutaran audio sambil terkekeh. “Tapi aku bekerja keras di depanmu, bukan?”

Amane memandangnya dengan tidak percaya. Benarkah? Apa salahnya menunjukkan kerja kerasmu?”

Bukannya kamu akan berpikiran kalau aku seperti sedang mencoba untuk pamer?” Mahiru membalasnya kembali.

“Mungkin memamerkan hasil akan menjadi masalah, tapi tidak ada salahnya bekerja keras secara normal.” Amane menjawab. “Orang-orang yang melakukan hal itu cenderung meremehkan hasilnya. Mereka menganggap remeh hal tersebut, dan berpikir bahwa mencapai sesuatu itu mudah.”

Sayangnya, orang lain sering mengabaikan waktu, uang, dan upaya yang telah dihabiskan seseorang untuk memperoleh keterampilan tertentu. Karena di mata orang lain, orang tersebut 'dengan mudah' memperoleh hasil yang mereka cari, mereka berasumsi bahwa secara umum hal itu bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan.

“Dalam kasusku, aku tidak menyembunyikannya. Tidak ada yang melihatku karena aku melakukannya di rumah,” jawab Mahiru acuh tak acuh.

Setelah menghitung sampai lima puluh, dia meletakkan barbelnya di atas karpet dan dengan lembut menyentuh lengan atasnya untuk mengukur kondisinya.

Memang benar, Mahiru berlatih di rumah—yah, tepatnya di rumah Amane.  Sisi Mahiru yang seperti ini tidak diketahui siapa pun kecuali Amane. Karena ketidaktahuan mereka, orang sering meremehkannya.

Entah Mahiru tampak tidak tertarik dengan hal ini karena dia sangat toleran atau hanya karena sudah terbiasa, Amane sendiri tidak yakin.

“Meskipun disekolah aku memang rajin, tapi aku tidak hanya fokus pada bidang akademis. Melihat hal itu, ada yang menganggap kemampuan akademisku hanya karena bakat alami,” jelas Mahiru.

“Bakat mungkin memang berperan, tetapi pada akhirnya, bakat itu dipupuk melalui kerja keras. Selain itu, jumlah upaya yang kamu lakukan secara pribadi berada pada level yang berbeda… Melihatmu yang berlatih, menurutku itu mengagumkan.”

“Setelah menjadi kebiasaan, rasanya menjadi wajar dan stress pun mulai memudar. Aku juga sadar bahwa aku begitu beruntung bisa melihat hasil kerja kerasku. Jika orang-orang ingin menyebutnya sebagai bakat, maka aku ingin memanfaatkannya semaksimal mungkin.”

Mahiru mengevaluasi dirinya sendiri dengan cara yang sangat lugas, mengakui usahanya yang terus-menerus tanpa rasa khawatir atau keberanian. Pada saat itu, postur dan sikapnya tampak begitu bermartabat hingga Amane mendapati dirinya paling terpikat.

Pada awalnya, aku hanya memfokuskan upayaku untuk menjadi gadis yang baik, tapi sekarang aku bekerja lebih keras untuk perbaikan diri yang sederhana. Aku juga tidak menganggapnya membebani secara mental atau fisik.”

Yang pasti, kamu sudah melakukan upaya lebih daripada orang lain.”

“Yah, aku melakukan ini untuk masa depanku juga.

“‘Masa depan'…? tanya Amane ragu-ragu.

Ya. Masa depan. Mahiru melontarkan senyuman indah dan menatap lurus ke mata Amane. “Amane-kun. Seiring berjalannya waktu, orang-orang akan menjadi tua.”

Apa? Kenapa kamu mendadak bilang begitu? Amane dibuat terkejut oleh pernyataan tak terduga itu, tapi Mahiru tidak mempedulikannya dan melanjutkan tanpa jeda.

“Seiring berjalannya waktu, kita semua menua. Sama seperti bunga yang indah yang akhirnya layu, kemampuan fisik dan kecantikan kita sejak masa muda akan berkurang seiring bertambahnya usia.”

Begitulah hukum kehidupan yang tidak dapat disangkal.

Segala bentuk kehidupan, seiring berjalannya waktu, akan menua dan akhirnya mendekati kematian. Semakin jauh kamu melewati puncak tubuh mu, semakin buruk kondisi tubuhmu dan penampilan menawanmu akan memudar.

“Amane-kun. Penampilanku menarik—aku kelihatan manis, kan?” Senyuman Mahiru—perpaduan sempurna antara pesona dan kepercayaan diri—pastinya akan terlihat lucu oleh siapa pun yang melihatnya. Penampilan lembut itu benar-benar bersinar, pantas disebut ‘senyum jutaan dolar’.

Sekalipun kata-katanya bisa dianggap sebagai pernyataan yang terlalu narsis, kata-katanya tidak mengandung arogansi. Amane sepenuhnya memahami bahwa kecantikannya, dari ujung kepala hingga ujung jari kaki, adalah hasil kerja kerasnya yang luar biasa.

Amane tahu bahwa rambutnya yang kuning muda, halus dan berkilau seperti sutra pintal, selalu diurai dengan cermat olehnya. Mahiru juga rupanya menggunakan berbagai macam sampo, kondisioner, dan perawatan. Amane tahu kalau Mahiru juga rajin melembabkan kulitnya dengan produk perawatan kulit berkualitas, dan dia juga mengontrol kualitas kulitnya dari dalam dengan pola makan seimbang. Amane tahu bahwa fisiknya yang langsing namun feminin adalah hasil dari penyesuaian pola makan dan olahraganya yang cermat. Karena Amane menghabiskan begitu banyak waktu di sisinya, jadi Amane tahu betul bahwa Mahiru berusaha keras untuk menjaga penampilannya. Dan karena Ia telah mengawasinya selama ini, keakraban ini memberi bobot khusus pada kata-kata Mahiru.

“Kamu terlihat sangat manis. Kupikir itu semua berkat hasil dari semua kerja kerasmu.”

Setelah memikirkan bagaimana cara memujinya dengan benar, Amane berbicara dari hati. Mahiru sudah cantik secara alami. Namun Amane tahu, seberapa banyak usaha yang Mahiru curahkan untuk penampilannya. Meskipun dia memiliki kecantikan yang tidak dapat dijelaskan hanya dengan faktor genetik, kecantikan itu hanya akan bersinar jika dia terus memolesnya.

Mendengar jawaban Amane, senyuman Mahiru semakin melembut seraya diwarnai dengan sedikit rasa malu. Terima kasih banyak. Aku telah berupaya keras untuk mewujudkannya.”

“Ya, aku tahu. Kamu selalu mengerahkan segalanya.” Setelah menghabiskan lebih banyak waktu di samping Mahiru, Amane mulai memahami kerja kerasnya.

Meskipun pipinya sedikit memerah ketika dipuji olehnya, Mahiru berdehem dan menenangkan diri sebelum melanjutkan. “Tapi kelucuanku ini hanya berlaku saat aku masih muda. Secara umum, berpenampilan lebih muda jauh lebih disukai.”

“Aku mengerti maksud perkataanmu, tapi…”

“Tentu saja, aku akan terus melakukan yang terbaik untuk menjaga penampilanku, tapi yang namanya penuaan tidak bisa dihindari. Hanya mengandalkan sesuatu yang beresiko seperti penampilan atau pesona... dunia tidak begitu naif sehingga menjadikan hal itu bisa dilakukan.” Mahiru, dengan pandangan dunianya yang agak kasar, menghela nafas pelan sambil melihat ke arahnya. “Tetapi meskipun itu adalah sebuah pilihan, aku takkan mau mengambilnya. Sekali lagi, ini terlalu berisiko dan mengundang kebencian dari orang lain.”

“Ahhh… baiklah, aku mengerti. Siapa pun pasti tidak ingin sengaja melintasi jembatan berbahaya.”

“Mengingat posisiku, aku sudah menghadapi banyak kecemburuan, dan aku tidak ingin menambahnya. Selain itu, aku merasa jengkel ketika orang memujiku hanya berdasarkan pengamatan yang dangkal.”

Pada dasarnya, Mahiru tidak pernah memamerkan atau menekankan kecantikannya, tapi masih saja ada orang-orang yang iri karena dia sering menerima perhatian dari laki-laki.

Karena perilaku dan kemampuannya yang ‘seperti bidadari’, serta sikapnya yang ramah, tidak pernah sekalipun dia menjadi sasaran permusuhan seperti itu secara terbuka. Akan tetapi, jika Mahiru mencoba untuk secara aktif meningkatkan penampilannya, Amane tahu bahwa hanya kekacauan yang akan terjadi.

Tentu saja, hal itu tidak mungkin terjadi mengingat dia tidak suka diganggu oleh orang asing, tapi jika dia terus melakukannya, konflik pasti akan terjadi antara laki-laki dan perempuan.

Mahiru sendiri sepertinya menyadari hal ini, wajahnya menunjukkan ekspresi lelah saat dia memikirkan kemungkinannya.

“… Dengan kata lain,” lanjutnya, “Penting untuk memoles keterampilan dan kualitas diri sendiri, terlepas aku menunjukkan upaya tersebut atau tidak. Kedepannya, aku ingin menghindari penilaian sebagai hanya gadis yang cantik dan tidak memiliki kualitas yang baik. Misalnya, kekurangan substansi atau kegunaan sebagai orang dewasa.”

Setelah menyimpulkan dengan pandangan yang agak pragmatis, Mahiru tersenyum tenang pada Amane yang kebingungan. “Pada akhirnya, pantulan seseorang ketika kecantikan lahiriahnya memudar, itulah hakikat kehidupan yang dijalaninya selama ini. Aku ingin menjalani hidupku dengan cara yang tidak mempermalukan diriku sendiri.”

Jelas sekali kalau itu bukanlah cara berpikir siswa SMA biasa,” kata Amane.

Mahiru terkekeh. “Aku sudah seperti ini sejak lama—aku berhutang budi pada bimbingan Koyuki-san.”

Amane ingin menyela tentang siapa Koyuki-san ini, mengingat betapa nakalnya senyuman Mahiru. Namun Ia harus mengakui bahwa ajaran dari Koyuki-san ini sepertinya menjadi landasan karakter Mahiru saat ini, dan curiga bahwa dia—karena kepeduliannya terhadap Mahiru—memberinya kenyataan pahit dalam hidup sejak dini.

Amane tidak bisa sembarangan berkomentar apakah mengajari Mahiru kenyataan pahit seperti itu adalah pilihan yang tepat. Meski begitu, Ia mengakui bahwa hal itu membantu membentuk Mahiru yang masih sangat muda menjadi seseorang yang bisa menghadapi masa depan tanpa putus asa. Pola pikir dan kepribadiannya saat ini adalah berkat Koyuki-san.

“Yah, mungkin aku punya masalah yang sedikit rumit, tapi intinya adalah bercita-cita menjadi orang yang memiliki substansi. Jika kamu menjalani hidup secara dangkal dan tanpa pemikiran yang berarti, cepat atau lambat kemungkinan besar kamu akan mengalami krisis paruh baya.”

Ya. Aku mengerti apa yang kamu katakan, tapi aku masih terkejut kamu sampai berpikir sejauh itu.”

Apa jangan-jangan ini adalah kehidupan keduanya? Mahiru berbicara dengan pandangan jauh ke depan sehingga pemikiran absurd ini sempat terlintas di benak Amane. Keduanya terkesan oleh Mahiru, dan secara bersamaan, agak muak pada dirinya sendiri karena tidak bisa berpikir jauh ke depan, Ia melihat Mahiru secara halus menurunkan alisnya sambil tersenyum.

Jangan-jangan kamu kaget atau kewalahan?” Mahiru bertanya. “Secara pribadi, menurutku aku memiliki kepribadian yang buruk.”

“Tidak, kamu salah paham. Hanya saja aku belum berpikir sejauh itu. Aku merasa begitu menyedihkan” sesal Amane.

“Mengapa hal itu membuatmu menyedihkan?”

“Memang benar aku bekerja keras untuk meningkatkan diri, tapi aku belum terlalu memikirkan di mana aku harus berusaha di masa depan.”

Amane telah melakukan yang terbaik juga, tapi tidak setingkat Mahiru. Sepertinya ia juga tidak memiliki tujuan yang jelas.

Ia memulai semuanya hanya dengan ingin berdiri dengan bangga di samping Mahiru.

Meskipun Amane telah bekerja keras dan bisa melihat hasilnya, jumlah usahanya tidak bisa dibandingkan dengan usahanya, dan ia tidak memiliki tujuan yang tepat, yang membuatnya merasa sedikit sombong bahkan karena membuat perbandingan.

Amane sudah diberitahu sebelumnya untuk tidak merendahkan diri dan telah berhati-hati untuk tidak melakukannya. Tapi tetap saja, Ia menganggap perbedaan di antara mereka begitu mengecewakan, justru karena Ia bisa melihat secara langsung betapa kerasnya Mahiru bekerja.

“Kenapa kamu harus merasa perlu membandingkan diri denganku seperti itu…”

Maaf.

“Dan kenapa kamu meminta maaf? Bekerja keras untuk meningkatkan diri adalah suatu hal yang terpuji, kok? Bagaimanapun, kerja keras adalah akumulasi dari usaha yang terus menerus. Apa yang kamu lakukan sekarang akan berdampak buruk pada masa depanmu. Kamu perlu mengakui fakta bahwa kamu saat ini sedang bekerja keras.”

Mahiru dengan ringan menepuk pipi Amane dengan ujung jarinya, melemparkan senyuman pasrah dan tatapan mengoreksi ke arahnya. “Astaga, ya ampun…”

“…Mm.”

“Kamu benar-benar gampang sekali minderan ya, Amane-kun?”

Ma-Mau bagaimana lagi,” ia membalas, “Maksudku, uh, aku bahkan tidak yakin aku bisa menghadapi diriku sendiri dengan benar…”

“Saat ini kamu mengerahkan seluruh upaya untuk meningkatkan diri karena kamu merasa tidak mampu, bukan? Bukannya itu sudah menjadi bukti bahwa kamu sedang menghadapi dirimu sendiri?”

“Kuharap begitu… wah!” Mungkin karena Amane tidak bisa mengangguk setuju, Mahiru meletakkan tangannya di kedua pipi Amane, mencubit wajahnya tanpa ragu sedikit pun.

Meski Amane tidak terlalu gemuk, ada cukup daging untuk dipegang. Pastinya lebih kencang daripada milik Mahiru—karena dia seorang gadis—jadi tidak sampai melebar seperti milik Mahiru, tapi cukup meregang hingga menghalangi ucapan Amane.

“Hei, dhengarkan aku…”

“…Jika kamu menolak untuk mengakuinya, kamu akan mendapat hukuman cubitan pipi sampai kamu mau mengakuinya.”

“Ak-Aku mhengerthi…”

“Anak pintar. Mahiru mengangguk puas, tapi tidak menunjukkan tanda-tanda akan melepaskannya.

Amane menatapnya sebagai tanggapan. “… Ayo lhepaskan itu dhong.”

“…Memangnya aku tidak boleh melakukannya lebih lama lagi?”

Thidak bolheh.”

“Mmfh…” Entah kenapa, Mahiru melakukan kombinasi satu remasan dan satu remas pada pipi Amane sebelum akhirnya melepaskannya dengan tatapan enggan. Hasilnya, Amane merasakan sedikit kebebasan pada otot wajahnya dibandingkan sebelumnya saat Ia menyentuh pipinya.

Itu tidak menyakitkan, tapi rasanya agak sedikit aneh.

Mahiru sepertinya menginginkan sesuatu darinya, tapi ketika Amane mulai menolak dengan, “Lihat ini,” dia segera menghentikan pandangannya. Entah Mahiru senang menyentuh atau menggodanya, dia sering dan dengan senang hati memulai kontak fisik dengannya, yang membuat Amane—yang berada di pihak penerima—merasa resah sampai batas tertentu.

Akhirnya, saat rasa tidak nyaman di pipi Amane dan detak jantungnya yang berdetak sangat cepat mulai mereda, Ia berbalik menghadap Mahiru lagi. Tingkah laku nakal yang baru saja Mahiru arahkan padanya sudah menghilang dan digantikan oleh senyuman lembut dan menenangkan.

“…Kamu sudah melakukan yang terbaik, Amane-kun.”

Suaranya, jauh lebih lembut daripada ekspresi wajahnya, dengan lembut masuk ke telinga Amane.

“Meskipun aku takkan berani mengatakan kalau kamu tidak memiliki kekurangan, tapi kamu menyadarinya dan terus berusaha memperbaikinya. Kalau ada yang punya masalah dengan itu, aku sendiri yang akan membereskannya,” kata Mahiru.

“Kamu tidak perlu mengotori tanganmu, Mahiru.”

"Oh? Aku akan melakukannya hanya dengan menggunakan kata-kata saja, kok?”

“Kamu malah akan mengotori mulutmu.”

Jangan khawatir, aku belum sampai di tingkat merasa tega menghina orang dengan kata-kataku.”

“Yeeahh, aku masih harus mengabaikan hal itu,” jawab Amane dengan tegas.

Dengan senyuman yang sempurna, Mahiru memancarkan sikap yang—tidak peduli bagaimana orang melihatnya—membenci konflik, namun dia jelas merupakan tipe orang yang menepati kata-katanya.

Jika dia mengatakan dia akan melakukan sesuatu, dia pasti akan melakukannya. Jika Ia tidak menghentikannya, Amane bisa membayangkan Mahiru terus berbicara dengan argumen yang masuk akal sampai lawannya menyerah—dengan senyuman tenang yang sama. Anehnya, dia tidak pernah marah karena masalahnya sendiri, tapi akan marah karena kekhawatiran Amane seolah-olah itu adalah masalahnya sendiri, atau lebih dari itu.

Haruskah aku senang? Atau bermasalah…? Amane tidak yakin.

Apa pun itu, karena keluhan apa pun hanya bersifat hipotesis, Amane memutuskan untuk tidak mempermasalahkannya. Lalu untuk mengalihkan perhatian Mahiru, yang tampak sedikit tidak puas, Ia mulai menepuk-nepuk kepala Mahiru.

Mahiru juga tampaknya sadar bahwa dibelai akan membantu menghilangkan emosi negatifnya. Meskipun dia menunjukkan keengganan pada awalnya, dia akhirnya tampak menikmati kepalanya yang dibelai dan dengan patuh menerima sentuhan Amane.

Saat Ia terus menepuk-nepuk kepala Mahiru, seolah-olah sedang mengurangi tingkat kemarahan imajinernya terhadap lawan tak dikenal, Mahiru bergumam, “Bukannya aku marah atau semacamnya.” Tingkahnya mirip anak kecil yang merajuk, dan Amane mau tidak mau melihatnya seperti itu.

Setelah melepaskan Mahiru yang sekarang sudah tenang, Amane melihat Mahiru memasang wajah yang mengisyaratkan dia enggan berpisah dari sentuhan itu. Namun, mengetahui bahwa terlalu banyak kontak juga bisa menimbulkan masalah, dia sengaja mengabaikannya.

“…Kamu tahu, sejujurnya, aku tidak ingin diakui oleh semua orang,” Amane mengakui.

Benarkah?

“Yah, maksudku—aku memang ingin orang-orang di sekitarku mengakuiku, tapi…yang sebenarnya kuinginkan adalah memuaskan diriku sendiri, merasa bangga dengan siapa diriku.”

Pertama-tama, Amane bukanlah tipe orang yang mencari pengakuan dari orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan dirinya.

Yang Ia inginkan adalah menjadi orang yang layak berdiri di samping Mahiru. Pertarungan itu lebih ditujukan untuk dirinya sendiri dibandingkan untuk orang lain. Bahkan ketika ia menderita kesenjangan antara cita-citanya dan kenyataan, ia tidak tersiksa oleh apa yang diyakini orang lain.

Orang yang paling ingin dirinya akui adalah dirinya sendiri, bukan orang lain.

Tentu saja, rasanya memang menyenangkan jika perubahannya diakui oleh orang lain, tapi itu bukanlah tujuan akhirnya.

“…Begitu,” jawab Mahiru. “Kalau begitu, aku akan mengawasimu sampai kamu mencapai hasil yang bisa memuaskanmu.”

Aku akan melakukan yang terbaik. Demi diriku sendiri.”

Mendengar pernyataan tegas Amane, Mahiru sempat melebarkan matanya karena sedikit heran. Lalu, sambil tersipu malu, dia mengangguk dan berbisik, “Aku akan terus mendukungmu,” senyuman lembutnya mendorong Amane untuk terus melangkah ke depan.

 

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama