BAGIAN 2
Kazemiya mulai menceritakannya padaku. Bahwa ibunya menyuruhnya
untuk tetap tinggal di rumah selama liburan musim panas. Tapi dia menolak. Lalu ibunya
menyuruhnya pergi dari rumah. Dan dia
pun langsung pergi begitu saja karena terbawa
emosinya.
“...Rasanya
aku masih terlalu kekanak-kanakan.”
“Kita berdua
memang masih anak-anak.”
“Memang sihm
tapi bukan itu maksudku.”
“Aku tahu.”
Kazemiya meringkuk seolah-olah dia membenci dirinya sendiri.
Apa keinginanku
agar Kazemiya tidak membenci dirinya
sendiri itu hanya keegoisanku saja?
“Aku
memahaminya, kok. Jadi, di depanku, kamu bebas bertingkah seperti anak-anak.
Karena kita memang berdua
sama-sama masih anak-anak.”
“Kalau
dikatakan begitu, aku malah merasa lebih kekanak-kanakan dan itu membuatku kesal.”
“Kamu ingin jadi dewasa?”
“Mungkin.
Setidaknya sama seperti dirimu, Narumi.”
“Aku
juga bukan orang dewasa, tahu.”
“Tapi
bagiku, kamu terlihat begitu.”
“Terlihat
seperti apa?”
“Dari sudut
pandangku, kamu
terlihat lebih tenang dan berwibawa.”
“Jika aku
memang terlihat seperti itu, semua itu berkat kamu, Kazemiya.”
Kalau
kuingat-ingat lagi, dulu
saat semester pertama, aku sendiri sebenarnya belum merasa begitu tenang.
Perjalananku untuk pulang ke rumah rasanya seperti
berjalan di atas ranjau yang tajam. Hanya bernafas di rumah ini saja rasanya
seperti ada timah di dalam paru-paruku. Aku merasa sangat tertekan dengan
kehidupan sehari-hari. Tapi setelah bertemu dan berteman dengan Kazemiya Kohaku, membentuk 'Aliansi Restoran
Keluarga' dan menghabiskan waktu bersama dengannya, sedikit demi sedikit aku merasa
beban di hatiku mulai berkurang.
“Apa-apaan
itu. Justru aku yang dapat banyak bantuan darimu, tau.”
“Tidak
masalah jika kamu tidak memahaminya.
Biarkan saja aku bersikap sok keren.”
...Oleh karena itu, aku sudah memutuskan.
Apapun yang terjadi, aku akan selalu menjadi sekutu
Kazemiya Kohaku.
“Jadi,
Kazemiya... mulai sekarang, apa yang ingin kamu lakukan?”
“...Aku
tidak tahu. Aku belum memutuskan apa-apa.”
“Apa kamu
ingin kembali pulang?”
“...Aku
tidak ingin pulang.”
Kazemiya menunduk, memeluk dirinya
sendiri.
Dia terlihat
seperti seorang anak kecil yang sedang berusaha
menahan keinginannya untuk menangis.
“...Aku
tidak ingin kembali ke rumah itu. Tapi aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya
aku inginkan. Kadang aku malah berpikir ingin menghilang ke tempat yang jauh...
Pemikiran bodoh anak-anak yang hanya berputar-putar di kepalaku.”
Begitu
dia mandi dan menenangkan diri, dia menjadi tenang dan dapat memahami bahwa
tidak ada jalan keluar dari situasi tersebut.
“...Tapi
pada akhirnya, satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah pulang dan meminta
maaf, seperti biasa.”
Sepertinya
seiring dia berbicara, Kazemiya
mulai bisa menata pikirannya.
“Kabur
dari rumah memang tidak
realistis. Apalagi aku yang hanya bisa
merengek seperti anak kecil.”
Setiap
kata-katanya terdengar putus asa, seolah-olah
dirinya sudah merasa pasrah.
“...Iya.
Terima kasih untuk hari ini.
Kamu sudah menyelamatkanku, Aku akan
pamit dengan baik-baik pada Mamah Kouta
dan yang lain, aku akan
pulang ke rumah. Memang sangat memalukan.
Tapi... karena Narumi ada di sini, aku...”
“...Kalau
begitu, bagaimana kalau kita kabur bersama-sama saja?”
“...............Hah?”
Kazemiya terdiam dengan mulut
ternganga, seakan-alan dia
tidak percaya dengan apa yang barusan kukatakan.
Dengan
mata biru yang membulat, seolah-olah menampung hanya langit biru yang jernih,
dia perlahan mengeluarkan kata-katanya.
“Apa....
maksudnya...itu?”
“Maksudnya
persis sesuai kata-kata itu. Aku dan kamu kabur dari rumah. Besok
kita bisa naik kereta pagi-pagi dulu. Untuk
sementara... yah, bagaimana ya. Kita berdua
sudah merencanakan liburan musim panas. Jadi kita
menjalani rencana itu saja. Mumpung kita berniat kabur dari rumah,
sayang banget dong kalau tidak menikmatinya. Aku juga ingin bersenang-senang
denganmu, Kazemiya.”
“Tu-Tunggu dulu sebentar!”
“Kalau soal
uang, jangan khawatir. Aku sudah mempunyai rencana untuk dana pelarian.”
“Bukan
itu masalahnya! ...Kabur
betulan? Kamu enggak
main-main?”
“Kalau
Kazemiya menganggap cuma seagai main-main,
ya anggap saja main-main.”
Pulang ke
rumah. Jika itu memang keinginan terdalam Kazemiya
Kohaku, aku takkan mencegahnya sama sekali.
“Tapi
aku tidak ingin menjadikan rencana kabur ini sekadar main-main saja. Aku ingin Kazemiya tertawa, aku tidak ingin
melihatmu menangis. Kalau kamu menangis, aku ingin menghapus
air matamu. Kalau kamu merasa sedih, aku ingin membuatmu senang. Perasaanku ini tulus, tau.”
Aku
adalah sekutu sekaligus teman Kazemiya
Kohaku. Meski pertemanan kami singkat, tapi menurutku hubungan kami sudah dekat. Bagiku,
kata-katanya tadi untuk pulang ke rumah tidak terasa tulus.
Pasti ada
pilihan lain yang bisa dia ambil.
Jika memang begitu, maka aku ingin menciptakan pilihan
itu untuknya.
“...Kenapa
kamu mau berbuat sejauh itu untukku?”
Pertanyaan
yang sangat wajar. Jawaban untuk itu sudah tumbuh di tangan kiriku.
“Karena
kamu memberiku tanda bunga mekar padaku.”
────Kamu sudah berjuang dengan baik.
Setelah
mengatakan itu, Kazemiya
menggambar tanda bunga mekar
di tangan kiriku.
Ketika aku
masih kecil, itulah kata-kata yang sangat ingin
kudengar tapi tak pernah kudapat.
Dan Kazemiya Kohaku lah yang memberikannya padaku.
“Hanya
karena alasan itu saja...?”
“Bukannya alasan itu saja sudah cukup?”
Lagipula,
itulah kata-kata yang pasti
diinginkan Kazemiya
juga. Kata-kata yang sangat ingin dia
dengar tapi tak pernah dia dapatkan. Padahal
dia sendiri terluka dan berantakan, tapi dia memberikannya padaku.
“Aku
sudah memutuskannya. Kalau aku akan menjadi sekutu Kazemiya.”
“...Sebenarnya
mungkin aku yang salah. Merengek pada Mama dan kabur
meninggalkan rumah, menipu Narumi, membuatmu khawatir...”
“Entah kamu
yang salah atau tidak, aku dibohongi atau tidak, itu
tidak masalah bagiku. Aku sudah pernah bilang,
‘kan? Meskipun kamu menjadi raja iblis yang akan menghancurkan
dunia, aku akan tetap menjadi
sekutu Kazemiya
Kohaku.”
“...Ah,
sudahlah...”
Kazemiya ambruk ke atas tempat tidur dan menutupi wajahnya dengan selimut.
“Sudah
kubilang, jangan memanjakanku seperti itu.”
“Makanya,
aku bilang kamu boleh bersikap manja denganku.”
Walaupun dia menyembunnyikan wajahnya
dengan selimut, Kazemiya akhirnya menatap ke arahku.
“...Apa aku benar-benar boleh bersikap manja?”
“Boleh.”
“...Aku
mungkin akan manja sekali.”
“Aku
akan menerimanya.”
“...Nanti
aku akan menjadi anak yang manja sekali, tau.”
“Kazemiya yang seperti itu justru
pas.”
“...Aku
mungkin akan banyak merengek.”
“Apapun
yang kamu mau, aku akan mengabulkannya.”
“...”
Sepertinya
dia sudah mengungkapkan semua yang ingin dia katakan. Kazemiya lalu diam tak bergerak di dalam
selimut.
“Kalau
begitu, boleh aku minta satu hal sekarang?”
“Silakan.”
Ada keheningan yang berlangsung beberapa saat. Keheningan yang menyiratkan keraguan,
kebimbangan yang lemah, dan kemauan untuk mengulurkan
tangan terpancar di keheningan itu.
“...Tolong,
kaburlah bersamaku.”
Suaranya terdengar gemetar, seolah-olah nyaris menangis kapan saja. Suara seorang anak kecil yang
takut ditolak.
“Aku
tahu, ini akan mengganggu Narumi. Dan keluargamu...
keluarga Narumi. Tapi... maaf. Ini memang keinginan egoisku. Tapi... aku ingin kabur bersamamu. Aku ingin bersamamu, Narumi.”
Kata-kata
tersebut pasti membutuhkan keberanian
yang luar biasa bagi gadis yang bernama
Kazemiya Kohaku
Tapi dia tetap mengatakannya. Keinginan yang
biasanya dia hapus lebih dulu. Harapan yang biasanya dia abaikan. Kemanjaan
yang terlihat bodoh dan klise bagi orang dewasa, tapi sangat serius bagi kami
anak-anak.
“Jika
itu keinginanmu, aku akan kabur
bersamamu. Kemanapun, sejauh apapun... selamanya.”
Aku
meraih tangannya yang
menjulur dari celah selimut.
Aku
menggenggamnya erat-erat, saling
melingkarkan jari-jari kami dan tidak
akan pernah melepaskannya. Tak akan terputus oleh siapapun.
☆☆☆☆
Aku
menggenggam erat jari-jemarinya.
Tangan kami saling bertautan. Tak akan
pernah terlepas dan takkan
pernah terputus oleh siapapun.
Lalu
Narumi tidak mengatakan apa-apa, ia hanya duduk diam di sampingku.
Seiring
waktu yang terus berjalan, sesuatu tumbuh di dalam diriku.
Seperti
buah yang hangat dan manis, sesuatu itu pasti tumbuh.
(...Hangatnya)
Setelah selesai mandi, seharusnya suhu tubuhku sudah turun. Ruangan ini juga
ada AC, dipenuhi udara dingin. Tapi tetap saja... rasanya terasa panas.
Detak
jantungku berpacu semakin kecang,
dan setiap kali hatiku bergetar, rasanya
seperti buah yang matang.
“.......”
Mungkin karena kelelahanku sudah semakin menumpuk. Kelopak mataku perlahan-lahan semakin menurun.
Bagian depan
mataku diselimuti
kegelapan. Tapi aku sama sekali tidak
takut. Tidak dingin. Kegelapan ini terasa
sangat nyaman.
Rasanya berbeda
dengan yang tadi. Kegelapan yang samar-samar diterangi lampu jalan itu terasa
lebih menakutkan. Lebih dingin.
Apa yang membedakannya? Apa karena aku di dalam ruangan?
Karena aku di balik selimut yang hangat?
(Ah... begitu rupanya...)
Jawabannya
langsung muncul begitu saja. Itu tepat di depan mataku. Aku bahkan tidak perlu memikirkannya lagi.
(Karena
Narumi ada di sini...)
Oleh karena
itu, aku sama sekali tidak
takut. Aku bahkan bisa tidur dengan tenang.
Pandangan yang dipenuhi kegelapan juga tidak apa-apa.
Situasinya
tidak berubah. Sebaliknya, aku bahkan sampai
melibatkan Narumi.
Tapi
sekarang aku merasa tenang. Lebih dari apapun.
“Narumi.
Narumi. Narumi.”
Kesadaranku
mulai memudar. ku tenggelam ke dalam rawa yang
disebut mimpi indah.
“..........Maafin aku, ya.”
Aku minta
maaf karena sudah melibatkanmu. Karena aku anak yang bodoh.
“Aku
sudah merepotkan Narumi.”
Maafkan aku. Maafkan aku. Narumi.
“Meskipun
aku sudah banyak merepotkan Narumi, tapi aku justru merasa tenang. Aku senang kamu mau kabur bersamaku. Sebenarnya aku tidak boleh senang, tapi...”
Aku merasa senang bisa kabur bersama Narumi.
Aku
senang bisa menghabiskan waktu bersamanya.
“Jangan
minta maaf begitu.”
Dengan
satu kalimat lembut dari Narumi,
buah manis yang penuh kehangatan itu tumbuh semakin besar di dalam diriku.
Hanya dengan jari-jari kami yang saling menggenggam, atau tangannya yang
membelai rambutku, perlahan-lahan
tapi pasti, ia terus tumbuh-
“Aku
tidak merasa kamu
merepotkanku. Dalam hatiku, aku juga merasa senang
bisa kabur bersamamu, Kazemiya.”
────Keberadaan seorang laki-laki yang bernama Narumi
Kouta di dalam diriku semakin
membesar.
“...........Terima
kasih.”
Sambil merasakan
buah-buah manis nan hangat yang
terus tumbuh, aku pun jatuh terlelap.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya