Kono Monogatari wo Kimi ni Sasagu Bab 2 Bagian 5 Bahasa Indonesia

 

Penerjemah: Maomao

Bab 2Teater

Bagian 5

 

 

Ketika aku mengingat masa itu, dada masih terasa sesak. Aku sering berpikir, "Seandainya saat itu aku melakukan hal yang berbeda, atau tidak melakukan hal itu..." Penyesalan yang tidak bisa diubah terus menghantui, sampai akhirnya aku merasa ingin menyerah dan lari ke mana saja. Meski sudah lama aku melarikan diri, kini tak ada lagi tempat untuk lari.

Bagi Yuuto, kenangan masa lalu adalah seperti itu.

"Aku dulu tinggal di Nagoya. Bersama ayahku dan adikku yang dua tahun lebih muda. Ibuku meninggal karena sakit saat aku masih di TK, jadi aku tidak terlalu ingat banyak tentangnya. Tapi aku yakin dia suka membaca. Di rumah Nagoya, banyak buku milik ibu, dan aku dan adikku tumbuh dengan membaca buku-buku itu."

Ayahnya sibuk dengan pekerjaan, jadi Yuuto sering membaca buku bersama adiknya. Ketika buku yang bisa dibaca habis, Yuuto mulai membuat cerita sendiri untuk adiknya. Tentu saja, awalnya cerita itu hanya potongan-potongan dari cerita lain yang dia dengar, penuh dengan kontradiksi. Namun, adiknya senang dengan cerita-cerita itu, jadi Yuuto terus melakukannya.

Awalnya hanya cerita anak-anak, tapi saat adiknya mulai masuk SD, kemampuan Yuuto dalam menciptakan cerita sudah nyata. Dalam pelajaran mengarang di sekolah, gurunya sering memuji, dan teman-temannya meminta cerita dadakan darinya. Itu membuatnya merasa bangga dan senang. Namun, alasan utama Yuuto membuat cerita tetap untuk menyenangkan adiknya.

"Kalau diceritain begini, jadi kayak aku punya cinta berlebihan ke adik perempuan, ya?"

Yuuto merasa malu dan berkata, "Terkesan berlebihan ya?" Kotoha menggelengkan kepala.

"Aku pikir itu hebat. Selain itu, aku rasa aku mulai mengerti sedikit."

"Mengerti apa?"

"Awalnya, aku pikir senpai adalah tipe yang membuat cerita berdasarkan logika. Plotnya selalu sangat rapi, dan senpai tahu banyak tentang teori menulis. Tapi terkadang, ada sesuatu yang sangat intuitif, seperti dari insting. Sekarang aku mengerti sedikit alasannya. Sejak kecil, senpai telah mencoba membuat banyak cerita untuk menyenangkan adik senpai, jadi senpai menjadi sangat teoretis. Tapi pada saat yang sama, senpai juga mengasah insting senpai dengan membuat cerita secara spontan setiap hari."

Kotoha tersenyum sambil berkata begitu, tapi itu membuat Yuuto merasa sakit hati.

"Tapi, cerita-cerita itu malah menyakitinya."

Ya, cerita yang seharusnya dibuat untuk adiknya.

Kotoha terkejut mendengar kata-kata Yuuto dan menahan napas.

"Cerita senpai menyakiti adik senpai?"

Kotoha memandang Yuuto dengan tatapan cemas, seolah ingin mengetahui kebenaran.

"Ketika aku masuk SMP, aku mengirim ceritaku untuk kontes penulis baru dengan nama pena Haruhiko Fuyutsuki. Ceritaku memenangkan penghargaan utama. Mungkin kamu tahu bukunya, Natsume."

Kotoha mengangguk, "Aku membacanya berkali-kali."

Dengan bantuan promosi sebagai penulis remaja, novel itu menjadi hit dan terjual lebih dari seratus ribu eksemplar. Nama penulis Haruhiko Fuyutsuki mulai dikenal, dan beberapa penerbit memberikan tawaran, sehingga banyak novel Yuuto yang diterbitkan. Menerbitkan hampir sepuluh buku dalam waktu kurang dari tiga tahun adalah prestasi yang cepat, tetapi bagi Yuuto yang telah membuat cerita baru setiap hari sejak kecil, itu tidak terlalu sulit.

"Adik senpai senang, kan?"

"Iya..."

Adikku sangat senang, dia meminta tanda tanganku, membanggakannya di sekolah, dan membaca novel-novelku sampai lusuh.

"Tapi, jadi, apa yang..."

"Kamu tahu ego searching, kan?"

"Iya, itu mencari informasi tentang diri sendiri di internet atau media sosial, kan?"

"Benar. Aku melakukan itu, meskipun aku tahu seharusnya tidak melakukannya. Aku mencari dengan nama pena atau judul buku."

Awalnya, menulis cerita itu untuk adikku, tapi setelah beberapa buku terbit, aku mulai peduli bagaimana tanggapan orang terhadap karyaku.

Ada berbagai macam komentar, beberapa negatif dan membuatku merasa tidak enak, tapi tidak sampai sangat terluka. Kebanyakan komentar positif.

"Tapi, ada satu komentar yang tidak bisa aku terima."

"Tidak bisa diterima...?"

"Kamu ingat buku terakhirku, isinya tentang apa?"

"Iya, itu tentang seorang anak yang dibesarkan dengan kekerasan dari orang tua, kemudian menemukan musik, seorang guru yang baik, dan seorang rival yang membantunya bangkit kembali, kan?"

Itu adalah cerita yang menggambarkan masalah sosial tentang kekerasan dalam rumah tangga dengan sangat nyata dan menjadi bahan pembicaraan saat itu. Bahkan mendapatkan beberapa penghargaan.

"Katanya, penggambaran kekerasan itu berdasarkan pengalaman nyata penulisnya—itu yang ditulis."

Tentu saja itu sepenuhnya bohong. Tapi bagi Yuuto, itu bukan sekadar komentar yang mengkritik karyanya.

"Parah..."

Kotoha langsung mengerti makna di balik tulisan itu. Itu berarti ada desas-desus bahwa ayah Yuuto, atau bahkan ibunya yang sudah meninggal saat dia masih kecil, telah menyiksa Yuuto dan adiknya.

"Aku tidak bisa terima itu. Jadi, aku sebagai penulis protes di internet. Aku bilang itu bohong, bukan fakta."

"Tentu saja senpai bakal begitu. Siapa yang tidak marah kalau ditulis seperti itu."

"Tapi, itu malah bikin semuanya jadi lebih buruk. Karena penulisnya langsung menanggapi, postingan aslinya jadi lebih banyak diperhatikan. Kebohongan dan bantahanku menyebar bersamaan, sampai orang-orang yang bahkan belum pernah baca bukuku juga ikut-ikutan. Akhirnya, orang tidak bisa lagi bedain mana yang benar dan mana yang bohong. Lalu, sesuatu yang menentukan terjadi."

Yuuto melihat keluar jendela kafe. Hujan makin deras, tetesan hujan menghantam jendela dengan keras. Dari kejauhan terdengar suara guntur bergemuruh.

"Di sekolah adikku, tersebar rumor bahwa dia dianiaya ayah kami."

Itu terjadi saat adik Yuuto baru saja masuk SMP.

Awalnya, adikku menyangkal rumor itu sambil tertawa. Tapi,

"Rumornya bukan cuma itu. Ada yang ngomong langsung ke dia, atau jadi topik di grup kelas di SNS."

Tatapan penuh belas kasihan dan rasa ingin tahu yang tak sopan terus mengarah padanya. Adikku yang baru masuk SMP terluka setiap hari. Meski begitu, dia tetap pergi ke sekolah tanpa mengeluh agar tidak membuatku dan ayah khawatir.

"Lalu—adikku tidak bisa berjalan lagi."

"Apa...?"

Suatu hari, ketika aku keluar rumah sedikit terlambat, aku melihat adikku berdiri di zebra cross menunggu lampu lalu lintas berubah. Lampu berubah dari merah ke hijau, berkedip, lalu kembali merah, tapi dia tetap berdiri di sana. Mungkin sudah lama dia berdiri di situ sebelum aku melihatnya. Saat aku memanggilnya dengan panik, dia berwajah pucat dan gemetar, lalu jatuh di tempat.

"Itu adalah penyakit konversi di mana stres mental muncul sebagai gejala fisik. Dalam kasus adikku, dia kehilangan kekuatan di kakinya."

"Astaga..."

Kotoha berkata dengan terkejut.

"Pada akhirnya, aku membuat cerita untuk adikku, tapi cerita itu malah menyakitinya."

"Tapi... itu bukan salah senpai kalau adik senpai terluka—"

"Itu salahku. Kalau aku tidak menanggapi rumor itu. Kalau aku tidak mencari tahu tentang diriku sendiri. Kalau aku tidak ikut kontes. Tidak, mungkin kalau aku tidak menulis novel sama sekali..."

Kotoha terkejut dan menahan napas, seolah-olah dia sendiri yang menerima kata-kata kasar itu.

"Setelah itu, bagimana dengan adik senpai?"

"Selama SMP, dia tidak pergi ke sekolah, jarang keluar rumah, hanya kadang-kadang ke konseling. Belajarnya dibantu oleh guru privat."

Itu adalah keputusan yang kami buat bersama, aku, adikku, dan ayah. Semua biaya yang tidak sedikit itu dibayar dari royalti bukuku—meskipun ayahku agak keberatan anaknya yang membayar—tapi aku merasa itu yang seharusnya dilakukan. Meski begitu, aku tahu itu tidak akan cukup untuk menebus kesalahan.

"Tapi musim semi tahun ini, ayahku mengabari kalau adikku berhasil masuk SMA jarak jauh."

"Ayah senpai yang mengabari... Jadi, senpai dan adik senpai...?"

"Aku tidak pernah menghubunginya lagi sejak aku meninggalkan rumah."

"Kenapa? Bagaimana bisa..."

Meninggalkan adik yang sangat disayanginya setelah dia terluka begitu parah, tanpa kontak sama sekali. Wajar jika Kotoha merasa bingung.

"Agar tidak menyakitinya lebih jauh. Setelah kejadian itu, adikku tidak bisa membaca novel lagi. Setiap kali membuka halaman buku, dia teringat kejadian itu dan tidak bisa berpikir jernih. Baginya, aku dan novel adalah satu kesatuan. Kalau aku ada, dia tidak akan bisa pulih."

"Tidak mungkin..."

Ini pertama kalinya Yuuto menceritakan alasannya meninggalkan rumah kepada seseorang. Kepada adik dan ayahnya, dia hanya bilang ingin sekolah di tempat lain.

"Aku telah menyakiti adikku, membuatnya tidak bisa berjalan, dan merampas cerita yang sangat dia cintai."

Cerita-cerita itu adalah kenangan bersama kami, bahkan bisa dianggap sebagai warisan dari ibu yang sudah meninggal. Semua itu aku hancurkan. Aku meninggalkan rumah untuk tidak menyakitinya lagi, tapi juga sebagai hukuman untuk diriku sendiri.

"Dengan kejadian adikku, sebenarnya aku harus berhenti jadi penulis saat itu juga. Tapi waktu itu, aku sedang menjalankan beberapa proyek dengan beberapa penerbit. Jadi, aku merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Namun, sekeras apa pun aku mencoba menulis, rasa bersalah terus menghantui, dan ide-ideku tidak muncul. Akhirnya, naskah yang aku paksakan semuanya ditolak."

"Tidak mungkin... karya-karya Fuyutsuki Haruhiko...? Pasti ada kesalahan..."

Kotoha bertanya dengan ekspresi tidak percaya.

Untuk menghindari tatapan Kotoha, Yuuto memalingkan wajahnya ke luar jendela. Hujan deras mengguyur jalan, dan kilat menyinari dunia yang suram dengan cahaya biru.

"Itu kenyataan. ...Tidak, rasa bersalah itu hanya alasan. Sebenarnya, aku tidak punya bakat sejak awal."

Yuuto berkata seolah-olah meyakinkan dirinya sendiri.

"Tidak mungkin begitu!"

Suara Kotoha menggema di dalam kafe, dan dia langsung terdiam. Pemilik kafe melirik ke arah mereka, lalu kembali membersihkan peralatan makan seolah tidak terjadi apa-apa.

"...Novel Fuyutsuki Haruhiko yang aku baca, semuanya luar biasa. Ungkapannya kaya dan dinamis, namun lembut dan terus tinggal di hati pembacanya, karya yang benar-benar unik..."

Kotoha berkata dengan suara tertekan, mencoba meyakinkan Yuuto.

"Terima kasih... Tapi aku tidak bisa kembali menjadi Fuyutsuki Haruhiko."

Yuuto menarik napas dalam dan melanjutkan dengan tenang.

"Jadi, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu untuk menulis novel lagi, Natsume. Tentu saja, aku akan menyelesaikan naskah untuk klub teater sampai akhir, tapi hanya itu yang bisa aku lakukan."

Yuuto berdiri, meletakkan uang lebih di atas meja.

"Senpai...?"

"Maaf, aku baru ingat ada urusan. Aku harus pergi. Natsume, tetaplah di sini sampai hujan reda."

"Tapi, senpai, hujannya deras sekali—"

Sebelum Kotoha selesai bicara, Yuuto sudah keluar dari kafe seolah melarikan diri.

Begitu pintu terbuka, suara hujan yang luar biasa keras menyambutnya.

Langkah pertama keluar dari atap, dan hujan deras segera membasahi tubuhnya.

 

◆◆◆◆

 

"Kamu ke Gifu buat ketemu penulis remaja itu, ya?"

Kata-kata yang terdengar agak mengejek itu membuat Inamura Kaho mengangkat wajahnya dari layar ponsel di kantor yang sepi lewat jam sepuluh malam.

Seorang rekan kerja berdiri sambil memegang cangkir kopi dan menatapnya. Di belakangnya ada papan tulis putih yang mencatat jadwal anggota. Di kolom tanggal besok, 15 September, tertulis 'Inamura - Hari ke Gifu'.

"Iya, ke tempat Fuyutsuki-sensei."

Inamura menjawab singkat lalu kembali fokus pada pekerjaannya.

"Oh, Fuyutsuki-kun. Kamu masih saja mengurus dia? Dia itu penulis yang sudah tamat. Buang-buang waktu dan uang saja—"

"Belum tamat."

Inamura menyela, namun tidak menatap lawan bicaranya sedikit pun. Dia terus berbicara seolah-olah meyakinkan dirinya sendiri.

"Tidak boleh ditamatkan. Sebagai seseorang yang terlibat dalam pembuatan buku, aku tidak bisa diam saja melihat bakat sebesar itu hancur begitu saja. Novel-novel Fuyutsuki-sensei memberikan kekuatan hidup bagi banyak orang."

Aku juga salah satu yang mendapat kekuatan dari novelnya, gumam Inamura dalam hati.

Meski baru lulus dan mendapat pekerjaan di penerbit besar, Inamura terombang-ambing oleh beban kerja yang luar biasa, menangis karena atasan dan penulis yang tidak masuk akal, dan semakin sering mengalami momen-momen sakit ketika tanpa sadar menatap rel kereta di stasiun saat menunggu kereta cepat lewat. Saat itulah, di antara tumpukan naskah yang menumpuk untuk penghargaan penulis baru, dia menemukan novel Fuyutsuki Haruhiko—alias Hiiragi Yuuto.

Inamura merasa hatinya yang lelah terobati oleh cerita itu, dan tak lama kemudian dia terkejut mengetahui bahwa penulisnya masih seorang siswa SMP. Sebagai pegawai baru, Inamura bersikeras bahwa dia yang akan menjadi editor Hiiragi Yuuto, dan berhasil mendapatkan posisi itu. Pengalaman tersebut membuat Inamura menjadi lebih tegar, sehingga dia tidak mudah terpengaruh oleh kejadian tidak menyenangkan dalam pekerjaannya.

"Kamu benar-benar menganggapnya serius. Tapi, bukannya dia berhenti menulis gara-gara masalah di media sosial? Lagipula, bukankah masalah itu dipicu oleh karya dari penerbit lain? Aku rasa Inamura tidak punya kewajiban untuk ikut campur."

"Bukan soal penerbit ini atau itu. Semua orang yang terlibat dalam penerbitan bukunya harus melindunginya. Dia memang seorang jenius yang dewasa sebelum waktunya, tapi saat itu dia masih anak SMP yang belum tahu banyak tentang dunia..."

"Dan sekarang kamu mencoba memperbaiki kegagalan itu."

"Kamu bisa bilang apa saja."

Rekan kerjanya menyeruput kopi, menampilkan ekspresi campuran antara ejekan dan rasa tak berdaya.

"Jadi, ada peluang? Kamu sudah mencoba menghubungi dia berkali-kali tapi tidak berhasil, kan?"

"Belum tahu. Aku pergi untuk memastikannya."

Inamura berkata sambil menatap ponsel di tangannya. Aplikasi pesan masih terbuka.

"Ada acara budaya di sekolah kali ini. Hanya sekedar pemberitahuan──"

 

◆◆◆◆

 

Dari dalam bilik toilet sekolah, Yuuto bisa mendengar keramaian di luar yang terdengar samar.

Yuuto menghela napas lagi entah untuk yang keberapa kali.

Keringat dingin mengalir di punggungnya, bukan hanya karena panasnya bulan September.

Hari ini adalah hari festival budaya. Klub teater akan tampil nanti siang.

Tapi sejak tiba di sekolah pagi ini, Yuuto terus mengurung diri di toilet.

Bukan karena sakit perut.

Naskah yang ditulisnya akan dipentaskan. Dia pikir hasilnya bagus. Anggota klub teater mengatakan naskahnya menarik. Namun, membayangkan siswa lain dan orang luar yang tidak tahu apa-apa melihatnya, membuatnya jauh lebih gugup daripada saat novelnya diterbitkan. Dia takut bagaimana orang lain akan menilai ceritanya.

"Tapi, ini akan segera berakhir..."

Naskah untuk klub teater sudah selesai. Setelah pertunjukan hari ini di festival budaya, tinggal penampilan di kompetisi saja. Yuuto hanya perlu melakukan sedikit penyesuaian, jadi bisa dibilang tugasnya hampir selesai.

"Akhirnya, dengan dia juga..."

Wajah editor yang setengah memaksa Yuuto untuk menulis naskah itu muncul di benaknya.

Sejak pergi ke akuarium itu, sudah hampir sebulan Yuuto tidak bertemu Kotoha.

Pada waktu itu, naskah sudah hampir selesai, dan keduanya jarang muncul di klub teater. Mereka tidak perlu lagi membahas perbaikan naskah. Jika itu alasan mengapa mereka tidak bertemu, memang benar. Namun, jika Kotoha yang dulu, dia pasti akan mendatangi Yuuto dan memaksanya menulis novel lagi.

Namun, dia tidak pernah menghubungiku lagi.

Mungkin setelah mendengar ceritaku di kafe, dia akhirnya menyerah.

Di satu sisi aku merasa lega, tapi di sisi lain ada kekosongan yang terasa seperti kehilangan sesuatu yang seharusnya ada di sana.

"Itu yang terbaik, kan?"

Yuuto berkata pada dirinya sendiri. Lebih baik Kotoha mencari orang lain yang bisa menulis novel daripada menghabiskan waktunya untuk Yuuto.

Saat itu, pintu bilik toilet tempat Yuuto berada diketuk.

Yuuto terkejut sejenak, tapi kemudian mengetuk balik tanpa mengeluarkan suara. Dia menahan napas selama beberapa detik, mencoba mendengarkan keadaan di luar, tapi tidak ada yang berubah. Sepertinya benar-benar hanya seseorang yang butuh menggunakan toilet. Dia merasa sedikit bersalah. Namun, di detik berikutnya—

Bam! Terdengar suara keras seperti pintu ditendang.

"Uwah!?"

Yuuto yang sedang mencoba bernapas lega terkejut dan berteriak.

"Senpai? Kamu ada di dalam? Ada pertunjukan klub teater sebentar lagi, ngapain kamu di sini? Keluar deh."

Suaranya familiar, tapi sudah cukup lama tidak didengarnya.

Dengan bingung, Yuuto membuka pintu dan keluar dari bilik.

"Natsume? Kamu tuh... Ini toilet cowok, lho?"

"Editor itu pergi ke mana pun kalau penulisnya ada di sana," jawab Kotoha dengan tenang.

Kotoha berkata dengan sikap mengetahui segalanya. Meskipun sudah sebulan tidak bertemu, dia tampak tidak peduli sama sekali.

"Meski aku bisa terima kalau editor pergi ke mana pun penulisnya berada, masuk toilet cowok tetap saja tidak wajar... Maksudku, penulis, kamu..."

Yuuto menyadari makna di balik kata-kata itu.

Jangan-jangan, dia masih...

"Sekarang jangan bahas itu. Kita tidak punya banyak waktu."

Kotoha memotong dan melanjutkan.

"Ayo pergi. Pertunjukan akan segera dimulai."

Tersadar, Yuuto mengalihkan pandangannya dan perlahan menggelengkan kepala.

"Tidak... Aku tidak akan pergi. Natsume saja yang pergi. Pertunjukan bisa tetap berjalan tanpa penulis naskahnya..."

Kotoha tersenyum licik dan menunduk untuk menatap Yuuto.

"Haha, jadi senpai takut, ya? Makanya sembunyi di sini."

"B-b-bukan takut!"

Kotoha menatap Yuuto dengan tajam, lalu tiba-tiba meraih kedua tangannya.

Tindakan yang tak terduga. Dengan Kotoha begitu dekat, kepala Yuuto seperti kesemutan. Aroma manis yang samar darinya semakin memperburuk keadaan.

Namun, sentuhan tangan Kotoha sedikit menyadarkan Yuuto.

"Natsume, kamu..."

"Hehe," Kotoha tersenyum malu seperti anak yang ketahuan berbuat nakal.

"Tanganmu gemetar, ya?"

"Iya, dan juga berkeringat..."

"Itu tidak usah disebut!"

Kotoha marah, tapi tetap tidak melepaskan tangannya.

"Aku juga takut, tahu, sama pertunjukan hari ini. Hanya soal apakah teaternya menarik atau tidak, itu yang akan dinilai. Dalam hal ini, lebih menegangkan daripada penilaian di kompetisi nanti."

"Tidak kusangka. Jadi Natsume juga bisa takut dan gugup, ya?"

"Ya jelas ada lah! Senpai kira aku ini apa! Selain itu, aku takut toilet ini banyak serangganya!"

Melihat Kotoha yang cemberut seperti itu, Yuuto berpikir bahwa dia yang terlihat kekanak-kanakan. Bukan Kotoha, tapi dirinya sendiri yang mencoba menyembunyikan perasaannya dengan bercanda. Dia tersenyum geli, berpikir apakah Kotoha takut serangga seperti kelabang.

"Kalau ditanya bagaimana aku memandang Natsume, ya, kamu itu keras kepala, tidak mau dengar kata-kata orang lain, dan sering banget berpikir semaunya sendiri."

"Jahat banget!"

"Tapi kamu punya semangat besar dalam menciptakan cerita dan punya kemampuan untuk itu. Kamu pasti akan jadi editor yang hebat."

Yuuto tidak mengatakan "editor pribadi," karena tidak bisa.

Namun, Kotoha tetap tersenyum polos.

"Puji aku lebih lagi dong. Bilang aku jenius, berbakat, oh, dan editor yang terlalu imut!"

"Jangan terlalu percaya diri."

Yuuto menghela napas ringan dan melihat Kotoha.

Senymanya seolah mengajak Yuuto untuk melupakan semua beban sejenak dan pergi melihat hasil dari cerita yang telah mereka buat bersama.

"Ayo pergi."

Yuuto menarik tangannya, dan Kotoha mengangguk, "Iya."

 

◆◆◆◆

 

Haneda Michi, yang sekelas dengan Natsume Kotoha, berjalan-jalan melihat festival budaya bersama dua teman sekelasnya. Tiba-tiba, dia teringat bahwa Kotoha pernah bercerita tentang membantu klub teater.

"Kalau sempat, datanglah nonton, terutama naskahnya, benar-benar luar biasa."

Michi juga ingat kata-kata itu. Meskipun hubungan mereka tidak terlalu dekat, hanya sesekali berbicara karena tempat duduk yang berdekatan, Kotoha selalu tampak tenggelam dalam buku. Hal itu membuat Michi tertarik dengan teater yang direkomendasikan Kotoha. Selain itu, setelah lelah berjalan di bawah panas, menonton pertunjukan di tempat ber-AC dan bisa duduk tampak menarik. Jadi,

"Heh, bagaimana kalau kita nonton pertunjukan klub teater?"

Dia mengajak kedua temannya.

"Oh iya, klub teater sekolah kita kan kuat. Boleh juga sih nonton."

Michi tertawa kecil mendengar komentar itu. Ini kan bukan klub olahraga, pikirnya.

"Aku kurang suka pertunjukan teater," ucap teman yang lain.

"Ah, ayolah, cuma sebentar. Kita sudah capek jalan, kalau bosan bisa keluar diam-diam."

"Ya juga sih."

Meski menurut Michi berdiri di tengah pertunjukan itu tidak sopan, mungkin bisa dimaafkan di festival budaya.

Saat mereka sampai di aula, tempat itu sudah hampir penuh. Ketika mereka mencari tempat duduk yang bisa menampung tiga orang,

"Oh,"

Michi melihat dari jauh Kotoha ditarik masuk ke belakang panggung oleh seorang siswa laki-laki. Dari warna garis di dasinya, dia tahu bahwa siswa laki-laki itu adalah siswa kelas tiga. Kotoha tampak senang dan malu-malu. Mungkin itu hanya bayangan Michi karena melihat dari kejauhan.

"Hmm," Michi merasa terkejut. Meskipun Kotoha memiliki sifat ceria dan mudah disukai orang, dia tampak tidak ingin terlalu dekat dengan siapa pun. Michi merasa Kotoha lebih cenderung menghindari hubungan yang terlalu dekat. Setidaknya di kelas, Kotoha tidak punya teman yang benar-benar akrab.

"Bukannya pacar... kelihatannya."

"Michi, ngapain sih? Ayo sini, cepat, nanti keburu mulai."

Teman-temannya sudah cukup jauh dan melambai ke arahnya. Michi menyimpan apa yang baru saja dilihatnya dalam hati dan bergegas menuju teman-temannya.

Beberapa menit setelah mereka duduk, pertunjukan pun dimulai.

Lampu panggung redup, dan sorotan lampu jatuh ke panggung.

"Target berikutnya adalah Shirakawa Hiyori. Seorang siswi SMA, masih muda," gumam seorang pemuda berpakaian serba hitam, yang segera diketahui bernama Ren, seorang dewa kematian. Tugas dewa kematian adalah mengunjungi manusia atau hewan yang mendekati ajalnya dan membantu membawa jiwa mereka dengan lancar ke alam baka. Ren, atas perintah atasannya, menyamar sebagai siswa SMA dan mengunjungi Shirakawa Hiyori—yang menderita penyakit langka yang membuat pembuluh darahnya rapuh, dan akan meninggal dalam sebulan—untuk mengantarkan jiwanya dengan tenang ke alam baka.

"Kamu... dewa kematian, ya?"

Namun, Hiyori melihat Ren mengirimkan jiwa kucing yang mati di jalanan. Itu merupakan pelanggaran besar karena dewa kematian tidak boleh diketahui oleh manusia yang masih hidup.

"Apakah kamu datang untuk menjemputku? Oh, jadi waktuku sudah dekat. Oke, aku tidak akan memberitahu siapa-siapa. Bahkan ke dewa kematian lainnya. Tapi aku punya satu permintaan."

Hiyori, yang sudah tahu tentang penyakitnya, tampaknya sudah menerima kematian yang akan segera datang. Dengan nada yang usil, manis, dan tulus, dia membuat permintaan.

"Biarkan aku membantu pekerjaanmu."

Ren, yang kelemahannya dipegang oleh Hiyori, tidak bisa menolak dan akhirnya terpaksa membiarkannya membantu.

Mereka berdua mulai mengunjungi orang-orang yang mendekati ajalnya, dan membawa jiwa mereka ke alam baka. Sementara Ren ingin menyelesaikan tugasnya secara formal, Hiyori justru terlibat lebih dalam dengan kehidupan mereka. Dia berbicara dengan mereka, tertawa dan menangis bersama mereka, mencoba memahami bukan hanya keinginan terakhir mereka, tetapi juga hidup mereka secara keseluruhan.

"Karena semua yang mereka jalani selama hidup, tercermin dalam kematian mereka," jawab Hiyori ketika Ren bertanya mengapa dia melakukan semua itu. Ren mulai menyadari bahwa mengantar jiwa dengan lancar bukan berarti tanpa gejolak, tetapi dengan pemahaman dan pengertian penuh terhadap kehidupan mereka.

(Wow...)

Di jeda pertunjukan, Michi menghela napas lega.

Ketika melirik ke samping, dia melihat dua temannya terpaku pada panggung. Cahaya dari panggung membuat mata mereka yang berair tampak berkilau. Penonton lainnya juga sama, terpesona oleh pertunjukan.

Akting para pemain, set panggung, suara, dan pencahayaan semua tampak di luar ekspektasi untuk teater sekolah menengah. Namun,

(Yang benar-benar luar biasa adalah naskahnya.)

Michi adalah penggemar berat novel, manga, dan film—dia tahu bahwa cerita yang lemah akan menurunkan kualitas sebuah karya. Sering kali, dia akan merasa bosan di tengah-tengah. Tapi tidak dengan pertunjukan ini. Tanpa disadari, setengah dari waktu pertunjukan sudah berlalu. Michi begitu terhanyut dalam ceritanya.

Cerita ini memiliki kehangatan. Atau mungkin lebih tepatnya, ada kedalaman emosional.

Percakapan, monolog, dan tindakan Ren yang sudah lelah mengantarkan banyak jiwa dan Hiyori yang dengan lembut dan penuh semangat menemani orang lain meski di ambang kematiannya sendiri. Jiwa-jiwa yang diselamatkan oleh mereka. Semua dalam cerita ini—kadang menghangatkan hati seperti matahari musim semi, kadang memenuhi dada dengan rasa dingin seperti salju yang dalam.

Ya, yang ada di panggung ini bukan sekadar semangat yang membara tanpa arah.

Cerita ini seperti memberikan berbagai musim dan waktu siang dan malam, menawarkan kedalaman yang membuatnya terasa nyata. Dan itu pasti karena naskah yang kuat.

(Apakah ini adaptasi dari novel atau manga?)

Namun, Michi tidak pernah mendengar judul "Hal Penting Bagi Dewa Kematian" sebelumnya.

(Mungkin ini karya asli?)

Tiba-tiba, bayangan Kotoha dan siswa laki-laki kelas tiga yang dilihatnya tadi muncul di benaknya, tapi dia segera menepis pikiran itu. Tidak mungkin seorang siswa SMA menulis naskah seperti ini. Kalau memang bisa, mungkin...

Akhirnya, cerita mencapai puncaknya.

Melihat Hiyori yang selalu peduli kepada orang-orang, Ren terpengaruh dan mulai melakukan pekerjaannya dengan lebih teliti. Dia mulai terpesona oleh Hiyori, dan semakin ingin melihat cara hidupnya. Waktu sebulan yang dijadwalkan berlalu, tapi Ren tidak bisa membawa kematian kepada Hiyori. Rekan-rekan dewa kematian yang menyadari keterlambatan itu muncul, meningkatkan ketegangan.

"Berbuat kacau karena gadis kecil ini dan merusak tatanan. Jika satu jiwa hilang, nyawa lain yang seharusnya lahir akan hilang. Kamu tahu itu, kan? Masih belum terlambat. Jika kamu tidak bisa melakukannya, aku yang akan mengantarkan jiwanya."

Ren buru-buru membawa Hiyori melarikan diri.

Mereka berdua dalam pelarian, tapi pengejar dari alam baka memburu mereka, dan akhirnya mereka terpojok.

"Ren, aku sebenarnya takut mati. Aku tidak ingin mati. Jadi, saat tahu kamu adalah dewa kematian, aku berpikir kalau kita jadi teman, mungkin kamu tidak akan membunuhku."

Ren terkejut mendengar pengakuan Hiyori. Meski tampak menerima kematian, ternyata Hiyori selalu ketakutan. Keterlibatannya yang dalam dengan orang-orang yang mendekati ajal adalah cerminan dari ketakutannya sendiri terhadap kematian.

Ren memutuskan untuk melawan para dewa kematian demi melindungi Hiyori. Itu adalah pertempuran yang tidak mungkin dimenangkan, penuh dengan keputusasaan.

Inamura, yang bersandar di dinding di bagian belakang aula, menonton pertunjukan sambil menghela napas seperti penonton lainnya.

(Luar biasa. Lebih dari yang kubayangkan.)

Dia merasa perjalanannya dari Tokyo ke Gifu, dengan naik kereta pertama tanpa tidur semalaman, sangatlah berharga.

(Cerita Fuyutsuki Haruhiko yang sesungguhnya.)

Cerita yang penuh emosi dan karakter yang menggambarkan dunia fantasi dengan begitu nyata hingga terasa seperti kenyataan. Kemungkinan besar naskah ini ditulis sesuai dengan kemampuan aktor-aktrisnya, menonjolkan keistimewaan dari teater. Jika dibaca dalam bentuk tulisan, pasti ceritanya akan membuat pembaca lupa bernapas.

(Meskipun mungkin dia belum sepenuhnya pulih, sepertinya editor baru ini sangatlah berbakat.)

Inamura merasa sedikit menyesal bahwa dia bukan editor tersebut, tapi lebih dari itu, dia merasa sangat senang sebagai seorang penggemar bisa bertemu kembali dengan cerita Fuyutsuki Haruhiko.

Inamura melihat sekeliling aula.

Rasanya tempat itu bukan lagi aula, melainkan telah berubah menjadi dunia cerita yang melibatkan penonton. Batas antara kenyataan dan cerita menghilang, dan penonton merasakan emosi Ren dan Hiyori dengan sangat mendalam. Emosi mereka terhadap dewa-dewa kematian yang mengejar Ren dan Hiyori terasa nyata, beberapa penonton menggigit bibirnya karena marah, sementara yang lain gemetar ketakutan.

Jika bukan karena profesinya sebagai editor, Inamura mungkin akan menjadi salah satu dari mereka.

(Jadi, bagaimana cerita ini akan berakhir?)

"Tapi, sekarang aku tidak takut lagi. Aku sudah bertemu banyak orang dan melihat berbagai kematian."

Selain itu, lanjut Hiyori,

"Semua orang yang diantar olehmu, Ren, berakhir dengan sangat tenang dan bahagia."

Jadi, Hiyori berkata dia tidak takut lagi.

"Itu karena kamu ada, Hiyori. Aku tidak bisa mengantar mereka seperti itu sendirian. Karena kamu, aku..."

Aku berubah, Ren ingin mengatakan. Tapi Hiyori menggelengkan kepalanya.

"Kamu sudah baik dari awal. Kamu bisa saja mengabaikan permintaanku, tapi kamu tidak melakukannya. Aku hanya memberimu sedikit dorongan untuk menjadi lebih jujur. Jadi, sebagai permintaan terakhirku kepada kamu yang baik hati ini,"

Hiyori tersenyum. Ren menahan napas.

"Aku ingin kamu, Ren. Aku ingin kamu yang mengantarku, bukan dewa kematian lain yang tidak mengenalku sebaik kamu."

Ren menatap Hiyori sejenak, kemudian dengan suara bergetar menjawab,

"Baiklah."

Ren akhirnya memutuskan untuk mengantar jiwa Hiyori ke alam baka.

Ketika Ren meletakkan tangannya di dahi Hiyori, dia kehilangan semua kekuatannya dan jatuh. Ren menahan tubuhnya dan berlutut.

Wajah Hiyori yang tidak lagi bernapas tampak sangat damai.

"Aku akan datang menemuimu suatu hari nanti. Saat jiwamu terlahir kembali, pasti. Kamu mungkin tidak akan ingat apa-apa."

Ketika Ren berbisik, dia merasa mendengar suara lirih mengatakan, "Ya."

Cerita pun mencapai akhirnya.

Ren hampir saja mendapat hukuman berat, namun jiwa-jiwa yang dia kirim bersama Hiyori ternyata sangat sehat dan melebihi standar. Karena itu, dia hanya mendapat teguran ringan. Sejak itu, Ren dikenal sebagai dewa kematian yang berbakat di antara rekan-rekannya.

Beberapa tahun kemudian, seorang siswi SMA yang mengingatkan pada Hiyori hampir tertabrak mobil saat berjalan dengan teman-temannya, dan Ren menyelamatkannya. Mereka berbicara sebentar sebelum berjalan pergi, tapi gadis itu tiba-tiba menoleh ke belakang dan memandang Ren dengan bingung sebelum tirai tertutup.

 

◆◆◆◆

 

Ruangan itu sunyi, tanpa satu pun tepuk tangan.

Yuuto, yang menonton dari belakang panggung, merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya.

Tapi kemudian, tepuk tangan perlahan mulai terdengar seperti tetesan hujan.

Tepuk tangan kecil itu dengan cepat menjadi lebih keras, dan akhirnya berubah menjadi sorakan gemuruh yang memenuhi seluruh ruangan.

Saat lengan bajunya ditarik, Yuuto melihat ke samping dan melihat Kotoha dengan senyum bangga di wajahnya.

Dia tampak mengatakan sesuatu, tapi suaranya tenggelam oleh tepuk tangan yang bergemuruh.

"Aku tidak bisa dengar! Kamu bilang apa!?"

"Aku bilang, kamu dengar tepuk tangan ini!?"

"Tentu saja aku dengar!"

Yuuto hampir saja terpeleset mendengar itu. Tapi dia mengerti maksud Kotoha.

Mata Kotoha bersinar terang dan penuh kebahagiaan. Dia tampak sangat senang.

Yuuto juga merasa senang, tapi lebih dari itu, dia merasa lega.

Tepuk tangan yang tak berhenti ini adalah dorongan untuk menaiki panggung.

Para aktor keluar dari belakang panggung dan berdiri di depan tirai.

Setiap kali mereka keluar, penonton memberikan sorakan.

"Belum pernah ada yang seramai ini," kata Watanabe sambil menepuk bahu Yuuto. Perannya sebagai sutradara membuatnya tidak tampil di panggung.

"Selama tiga tahun aku di klub ini... mungkin sejak klub ini dibentuk..."

Watanabe lalu menatap penonton dengan seksama. Mungkin dia membayangkan kompetisi yang akan datang.

Tiba-tiba, Watanabe menoleh ke arah Yuuto.

"Apa yang kamu lakukan? Sebagai penulis naskah, kamu juga harus naik ke panggung."

"Apa? Eh!?"

Meski dia menulis naskahnya, Yuuto merasa dirinya hanyalah orang luar. Lagipula, aneh rasanya jika orang yang bukan aktor tampil di panggung, pikirnya, tapi—

"Ayo cepat ke sana."

Dorongan di punggungnya membuat Yuuto terhuyung keluar dari balik panggung ke depan tirai.

Di depannya, banyak penonton berdiri dan bertepuk tangan.

Beberapa tampak heran melihat Yuuto yang jelas bukan aktor.

Yuuto kebingungan dan menoleh ke belakang panggung. Di sana, Watanabe, Kotoha, dan anggota klub lainnya tersenyum padanya.

"Kamu adalah tokoh utama di balik pertunjukan ini. Meski bukan aktor, sampaikan salam!"

"Senpai, beri salam yang keren!"

Meskipun tidak nyaman dengan situasi ini, Yuuto menghela napas. Sudah sampai di sini, tidak mungkin dia mundur lagi.

"Apa maksudnya 'keren'..."

Yuuto berjalan ke depan panggung dan berusaha bergabung dengan barisan aktor lainnya di ujung.

Namun, Togawa yang memerankan Ren dan Hikawa yang memerankan Hiyori menarik tangannya dan membawanya ke tengah panggung. Yuuto pasrah dan membiarkan mereka membawanya.

"Penulis naskah untuk pertunjukan hari ini 'Hal Penting bagi Dewa Kematian' adalah siswa kelas tiga, Yuuto Hiiragi."

Pengumuman itu membuat penonton gempar.

Banyak penonton mengira pertunjukan ini diadaptasi dari karya yang sudah ada. Namun, kenyataan bahwa naskah ini adalah karya asli yang ditulis oleh siswa SMA membuat mereka terkejut.

Yuuto membungkuk dengan kosong. Matanya seperti ikan mati ketika melihat penonton dan mengeluarkan suara, "Ah..."

Di bagian belakang aula, seorang wanita bersandar di dinding. Meskipun suasananya gelap dan jaraknya jauh, Yuuto mengenali sosok ramping dan aura dewasa yang tampak tidak sesuai dengan suasana festival budaya itu. Itu adalah editor Inamura.

Apakah dia datang jauh-jauh dari Tokyo? Butuh waktu tiga jam untuk sampai ke sini.

"Berat banget ini..."

Yuuto tersenyum pahit, lalu membungkuk sekali lagi dengan dalam.

Kotoha menyambut Yuuto ketika dia kembali dari panggung.

"Terima kasih atas kerjamu," katanya dengan senyum usil.

"Hebat ya, tepuk tangannya belum berhenti."

Melihat ke aula dari balik panggung, Kotoha menyipitkan mata dengan senang.

Melihat betapa senangnya Kotoha, Yuuto juga tersenyum.

Setelah melalui banyak hal, Yuuto merasa senang telah menerima tugas menulis naskah ini.

"Ayo, kita pergi."

"Pergi? Ke mana?"

Yuuto merasa bingung. Dia mengira Kotoha akan berbagi kebahagiaan dengan anggota klub dan membantu membongkar panggung. Yuuto juga berniat ikut membantu membongkar panggung, karena dia merasa bersalah telah mengurung diri di toilet saat persiapan.

Entah Kotoha menyadari pikiran Yuuto atau tidak, dia bertukar pandang dengan ketua klub, Watanabe, dan sedikit membungkuk. Watanabe tampak mengerti dan mengangguk kecil sebelum berkata,

"Kami yang akan mengurus pembongkarannya. Setelah festival budaya, kita akan mengadakan pesta penutupan. Aku akan mengirim detail waktu dan tempatnya lewat pesan. Kalian berdua bisa pergi sekarang."

Sebelum Yuuto sempat mempertanyakan hal itu, beberapa anggota klub teater berlari mendekati Watanabe.

"Ketua, lihat ini! Pertunjukan kita sedang jadi topik di media sosial! Semua orang yang menonton menulis ulasan, dan semuanya memuji!"

"Tadi ada permintaan wawancara dari surat kabar dan televisi!"

"Orang-orang yang keluar dari aula semuanya membicarakan pertunjukan kita. Bahkan ada yang menangis sampai tidak bisa mengangkat wajah."

"Sukses besar!"

Semua orang berbicara dengan penuh semangat, dan Watanabe tampak hampir kewalahan. Yuuto yang mendengar semua itu dari samping, merasa terkejut mengetahui bahwa pertunjukan ini telah mencapai kesuksesan yang luar biasa.

Pada saat itu, Kotoha membungkuk kecil kepada Watanabe dan anggota klub lainnya, berkata, "Tolong urus sisanya, ya."

"Ayo, sini, senpai," kata Kotoha sambil menarik tangan Yuuto, membawanya dari belakang panggung ke tepi tempat duduk penonton yang masih penuh dengan kegembiraan.

"T-tunggu..."

Yuuto mencoba bertanya ke mana mereka akan pergi, tetapi suasana masih terlalu gaduh untuk bercakap-cakap dengan baik. Akhirnya, dia mengikuti Kotoha tanpa banyak bicara.

Mereka tiba di ruang kendali suara dan pencahayaan di bagian belakang aula.

"Apa yang kita lakukan di sini..."

Sebelum Yuuto bisa menyelesaikan pertanyaannya, Kotoha sudah membuka pintu ruang kendali.

Yuuto terdiam melihat siapa yang ada di dalam.

"Sebenarnya, hari ini kami punya tamu spesial."

Kata-kata Kotoha seakan berlalu begitu saja di telinganya.

Melihat sosok di dalam ruangan, pikiran Yuuto menjadi kosong.

Di sana, duduk di kursi roda, adalah seorang gadis.

Yuuto tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Namun, tidak mungkin dia salah mengenali orang itu.

"Haruka..."

Dengan suara serak dari tenggorokannya yang kering, Yuuto memanggil nama itu.

Nama adik perempuannya yang paling berharga baginya.

"Onii-chan..."

Suara Haruka juga terdengar kecil dan bergetar, seolah terjebak di tenggorokannya.

Keduanya terdiam.

Kegaduhan dari aula terdengar seperti ombak yang jauh, menjadi suara latar yang tenang di ruang kendali.

Sebelum bisa memikirkan kenapa Haruka ada di sana, perasaan bersalah yang selama ini terpendam dalam hati Yuuto mulai muncul ke permukaan. Perasaan yang tidak pernah hilang selama tiga tahun ini, kini muncul kembali dengan kenangan masa lalu yang sangat jelas.

Haruka tampak lebih dewasa dibandingkan dalam ingatannya. Ekspresi yang suram tampaknya sedikit lebih hidup. Mungkin itu hanya ilusi dari keinginannya yang kuat untuk percaya demikian.

Namun, dia duduk di kursi roda, yang mengingatkan Yuuto pada kesalahannya yang tak termaafkan.

Haruskah dia menundukkan kepala dan meminta maaf? Atau menunggu dicaci maki? Perasaannya seperti seorang kriminal yang menunggu vonis.

Ketika Yuuto bingung, Haruka membuka mulutnya dengan ragu-ragu.

"Onii-chan..."

"I-iya..."

Dada Yuuto terasa sesak, dan dia mengepalkan tangannya untuk menahan rasa sakit itu.

Sebaliknya, Haruka seolah mengumpulkan keberanian dan berbicara lagi.

"Pertunjukannya sangat bagus."

"Apa...?"

Kata-kata itu sangat tak terduga, hingga Yuuto mengeluarkan suara kaget.

"Pe-pertunjukan?"

Haruka mengangguk, ragu-ragu namun melanjutkan.

"Aku sangat terharu melihat Hiyori yang tadinya lari dari kematian, akhirnya menerima kematiannya, dan dewa kematian Ren yang mengantarkan jiwanya. Aku menangis terus... Dan, entah bagaimana, aku merasa itu seperti cerita yang onii-chan tulis."

Haruka tersenyum malu, lalu memperhatikan wajah Yuuto yang terkejut, sedikit cemas dan miringkan kepalanya.

"Onii-chan? Kenapa?"

"Kenapa...?"

Kenapa kamu ada di sini? Apakah kamu baik-baik saja? Bagaimana kondisi tubuhmu? Apa kamu baik-baik saja datang sejauh ini? Apakah kamu datang sendirian? Apakah kamu menonton pertunjukan tadi? Apakah sekarang kamu bisa membaca cerita tanpa masalah? Apa yang kamu lakukan selama tiga tahun ini?

Banyak sekali pertanyaan yang ingin Yuuto tanyakan, tapi karena terlalu banyak, dia malah tidak bisa mengucapkan satu pun.

Saat itulah Kotoha menyela.

"Aku yang mengundang adik senpai ke sini."

"Mengundang? Tapi bagaimana caranya? Kamu bahkan tidak punya kontak Haruka..."

Yuuto tidak ingat pernah memberi tahu Kotoha tentang kontak adiknya, bahkan namanya sekalipun.

"Aku bertanya kepada wali kelas senpai," kata Kotoha dengan santai kepada Yuuto yang bingung.

Yuuto terkejut dan bahunya terkulai. Dia ingat saat pertama kali bertemu Kotoha, dia juga datang ke rumahnya, dan sumber informasi saat itu juga dari wali kelasnya.

"Bagaimana kamu bisa meyakinkan mereka untuk memberi tahu kontak keluargaku..."

"Itu rahasia," kata Kotoha dengan senyum licik yang disengaja. Yuuto sudah tidak punya tenaga untuk menyela lagi.

"Awalnya, Kotoha-san mengirimi aku surat," Haruka menambahkan.

"Setelah itu, kami mulai berkomunikasi melalui email, dan sekali waktu, Kotoha-san datang ke Nagoya. Saat itulah dia memberitahuku bahwa dia sedang membuat naskah teater bersama onii-chan, dan aku memintanya untuk bisa menonton teater itu."

"Apa..."

Yuuto terkejut hingga tak bisa berkata-kata. Meskipun hampir sebulan tidak berkomunikasi dengan Kotoha, ternyata dia melakukan semua itu. Tapi yang lebih membuat Yuuto bingung adalah—

"Kenapa kamu ingin menontonnya...?"

"Kenapa? Sebaliknya, kenapa tidak?"

Haruka mengernyitkan alisnya kebingungan. Yuuto, dengan ragu, mengungkapkan pertanyaannya.

"Tiga tahun lalu, kamu sangat terluka karena novelku, sampai dalam kondisi seperti ini... Aku pikir kamu tidak ingin melihat cerita lagi, terutama cerita dariku. Apa kamu tidak membenciku?"

Haruka tidak segera menjawab pertanyaan Yuuto yang penuh rasa bersalah.

Keheningan aula yang sudah ditinggalkan penonton menyusup ke dalam ruangan melalui kaca.

"Tidak, onii-chan."

Kata-kata Haruka yang memecah keheningan terdengar jelas di dalam ruangan.

Dia menatap Yuuto dengan mata yang tegas.

"Memang benar, tiga tahun lalu aku mendengar banyak rumor tidak berdasar di sekolah, dan stres itu membuatku tidak bisa berjalan serta tidak bisa menyentuh novel atau film lagi."

"Kalau begitu, seharusnya..."

Yuuto yang diliputi rasa bersalah tidak bisa menahan diri untuk berbicara, tetapi Haruka menggelengkan kepala menghentikannya.

"Tapi itu bukan salahmu, onii-chan. Yang salah adalah orang-orang yang menyebarkan rumor sembarangan."

Yuuto menunduk, tidak bisa menatap mata Haruka.

"Meskipun begitu, faktanya novelku yang memicu semuanya. Sangat wajar jika kamu membenciku, dan itulah sebabnya aku merasa tidak pantas lagi menulis cerita..."

"Tapi aku ingin membaca cerita yang onii-chan tulis."

Kata-kata Haruka membuat Yuuto mendongak terkejut.

"Dengar, onii-chan, aku selalu menunggu ceritamu. Baik dulu maupun sekarang."

Tiba-tiba, ingatan masa kecil muncul di benaknya.

Ruangan yang dipenuhi buku.

Aroma manis seperti vanila dari buku-buku tua.

Sore hari, Yuuto dan Haruka duduk bersandar di rak buku yang diterangi sinar matahari senja.

Di dalam ruang sempit itu, dunia tak terbatas terbentang.

"Onii-chan." kata Haruka dengan senyum polos.

"Aku tidak pernah menyalahkanmu atau ceritamu karena apa yang terjadi tiga tahun lalu. Aku tidak merasa disakiti oleh onii-chan."

"Tapi... kenapa selama tiga tahun ini tidak ada kontak?"

Mendengar itu, Haruka merengut kesal.

"Itu karena onii-chan tiba-tiba pergi begitu saja! Tanpa penjelasan apa pun!"

Kemudian nada suara Haruka menurun.

"Aku pikir onii-chan menganggap aku sebagai beban. Itulah kenapa aku tidak menghubungi. Tapi, jika dengan begitu onii-chan bisa menulis cerita lagi, aku pikir itu yang terbaik."

Sambil berbicara, suara Haruka mulai serak, dan matanya berkaca-kaca. Air mata yang tertahan hampir tumpah, dan dia melihat ke atas untuk menahannya.

Yuuto hanya bisa menatap Haruka dengan bingung.

Dia merasa bodoh.

Bukan Haruka yang bodoh, tetapi dirinya sendiri.

Dia tidak pernah membayangkan ini.

Haruka, yang terluka, tidak bisa berjalan, dan tidak bisa membaca buku yang sangat disukainya, tidak membencinya. Bahkan, dia berharap dan mengkhawatirkan masa depan Yuuto sebagai penulis.

"Aku tidak cukup bicara... tidak, aku benar-benar tidak bisa bicara apa-apa. Maafkan aku..."

Dengan suara bergetar, Yuuto meminta maaf. Selama tiga tahun ini, dia terus menghindari menulis, hidup tanpa semangat, dan tidak berani menghadapi Haruka. Dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia pasti dibenci. Dia tidak menyadari bahwa hal itu adalah penghinaan besar dan tindakan yang justru menyakiti Haruka.

"Aku juga seharusnya mengungkapkan perasaanku dengan kata-kata. Karena itu, aku malah membuat onii-chan menderita. Aku minta maaf."

"Tidak, ini bukan salahmu, Haruka. Itu adalah salahku yang pergi tanpa bicara apa-apa."

"Tidak, kalau saja aku bisa lebih terbuka..."

"Sudah, cukup, kalian berdua," Kotoha menyela ketika mereka mulai saling meminta maaf.

"Kalian cukup saling berterima kasih. Kalian berdua melakukan apa yang kalian lakukan karena saling peduli."

Kotoha terkejut setelah menyela pembicaraan.

"Maaf, aku tidak sengaja menyela."

"Tidak apa-apa, tapi..."

Sebenarnya, apa yang dikatakan Kotoha itu benar, pikir Yuuto.

Untuk mengatasi kebuntuan selama tiga tahun, kata-kata itu memang lebih tepat.

"Terima kasih, Haruka."

"Iya, terima kasih juga, Onii-chan."

Haruka tersenyum lembut. Melihat senyuman itu lagi membuat Yuuto merasa sangat bahagia.

"Karena itu, aku datang hari ini untuk menyampaikan semuanya dengan kata-kata."

"Semuanya?"

Yuuto menolehkan kepala bingung.

"Onii-chan, aku dengar onii-chan bilang bahwa onii-chan merasa tidak berbakat, tapi, tidak mungkin kamu tidak berbakat, Onii-chan. Aku tahu lebih dari siapa pun karena aku sudah mendengarkan cerita-cerita onii-chan sejak kecil. Bakat onii-chan luar biasa."

Dengan senyuman lembut, Haruka berbicara, dan Yuuto kehilangan kata-kata untuk membantah. Dia merasakan diri yang penuh penyangkalan diri mulai terkelupas seperti kerak luka yang sudah waktunya lepas, meskipun sedikit menyakitkan.

"Tahu tidak? Novel onii-chan itu, setiap kata-katanya bisa menyentuh hati orang yang membacanya. Ketika mereka merasa bahagia, kata-kata itu bisa membuat mereka lebih bahagia. Ketika mereka sedih, kata-kata itu bisa menghibur mereka. Ketika mereka sedang kesulitan, kata-kata itu memberi mereka kekuatan untuk melangkah maju."

Mendengar pujian yang begitu tulus hingga membuatnya merasa malu, Yuuto merasa tidak nyaman.

"Tidak, tidak sampai sebegitunya..."

"Sampai sebegitunya tahu! Bahkan mungkin lebih dari itu. Lihatlah."

Haruka kemudian menurunkan kakinya dari kursi roda.

"Ha, haruka?"

Yuuto terkejut dan panik melihat tindakan mendadak itu.

Namun, mengabaikan kekhawatiran Yuuto, Haruka menguatkan tangannya pada sandaran kursi roda dan sedikit berkeringat di dahinya.

Pada saat itu, setelah menarik napas pendek—

Haruka berdiri dengan kakinya sendiri.

Dengan tangan terbuka untuk menjaga keseimbangan, dia melangkah maju, perlahan, satu langkah demi satu langkah.

Meskipun sedikit goyah, Haruka berjalan mendekati Yuuto dengan perlahan.

"Haruka, kamu bisa berjalan lagi...!"

Yuuto meraih lengan Haruka yang mendekat dan mendukungnya agar tidak terjatuh.

"Ya, dengan terapi dan rehabilitasi, perlahan-lahan aku mulai bisa berjalan lagi. Dan seperti ini aku bisa menonton pertunjukan onii-chan hari ini, sekarang aku juga bisa membaca novel dan menonton film lagi."

"Haruka... kamu telah berjuang keras..."

Kata-kata Yuuto terhenti. Dia tidak bisa membayangkan betapa sulitnya itu semua. Perawatan dan rehabilitasi untuk penyakit psikosomatis memiliki tantangan yang berbeda dari masalah fisik. Gejala yang tidak bisa dilihat atau diukur dengan mesin membutuhkan kesabaran dan kehati-hatian.

"Iya, aku berjuang keras," Haruka mengangguk.

"Tapi, aku bisa berjuang karena banyak cerita yang onii-chan ceritakan, itulah yang mendukung hatiku."

"Ceritaku...?"

Yuuto tercengang. Sulit membayangkan bahwa cerita yang dia tulis bisa memiliki kekuatan sebesar itu. Namun, kata-kata tulus Haruka menggema kuat di dalam hatinya, dan entah kenapa, dia merasa itu mungkin saja benar.

"Onii-chan, aku punya mimpi."

"Mimpi?"

"Iya, selama aku menjalani rehabilitasi, aku terus memikirkannya, dan hari ini, setelah menonton pertunjukan onii-chan, aku sudah memutuskan."

Dengan mata berbinar, Haruka menatap Yuuto.

"Aku ingin menjadi penulis naskah."

Yuuto terkejut. Haruka, yang dulu tidak bisa menyentuh cerita lagi, kini mengatakan itu membuat dadanya terasa hangat. Terlebih lagi, naskah yang dia tulis yang memberi dorongan terakhir bagi Haruka.

Namun, kata-kata Haruka selanjutnya membuat Yuuto terkejut.

"Selain menulis cerita orisinal, aku ingin suatu hari nanti mengadaptasi novel onii-chan menjadi naskah."

"Haruka, itu..."

"Itulah kenapa, aku ingin onii-chan menulis novel lagi."

Mata Haruka yang serius menunjukkan bahwa permintaan itu bukanlah lelucon.

Saat itu, Kotoha yang berdiri di sebelahnya tersenyum senang dan menatap Yuuto.

"Permintaan dari adik perempuan yang manis tidak bisa ditolak, kan, senpai?"

"Diam, jangan senyum-senyum begitu."

Tidak jelas seberapa jauh rencana ini telah diatur oleh Kotoha, tetapi faktanya hal ini berjalan sesuai dengan keinginannya cukup membuat Yuuto merasa terganggu. Namun,

"Tapi, ya, benar juga."

Tanpa diragukan lagi, Kotoha telah membantu mengatasi kesalahpahaman dengan Haruka. Jika begitu, mungkin tidak ada salahnya memenuhi keinginannya. Lagi pula, permintaan itu juga sejalan dengan permintaan Haruka, sehingga Yuuto tidak punya alasan untuk menolaknya.

"Apa!? Jadi, senpai akan menulis lagi!?"

Kotoha membelalakkan matanya dan berteriak hingga menggema di ruangan.

"Iya... meskipun aku tidak bisa menjamin hasilnya akan bagus."

"Yay! Terima kasih, senpai!"

Kotoha melompat-lompat kegirangan seperti anak kecil, terlihat sangat bahagia hingga membuat Yuuto merasa sedikit malu.

"Lalu, mari kita buat cerita dari teater ini menjadi novel!"

"Tidak, itu tidak bisa. Itu karya yang sudah diserahkan ke klub teater."

"Aku sudah mendapat izin dari Ketua Watanabe!"

Yuuto terkejut mendengar itu.

"Izin? Kapan kamu mendapatkannya...?"

"Ketika pertama kali aku memesan naskah darimu, aku diam-diam bernegosiasi untuk hal ini."

Kotoha memang sudah merencanakan semuanya sejak awal, bahkan ketika Yuuto baru saja menerima permintaan untuk menulis naskah teater ini. Yuuto terkejut dengan ketelitiannya, sampai-sampai merasa kehabisan kata-kata.

Haruka tertawa kecil.

"Onii-chan, aku menantikan novel buatan onii-chan."

Yuuto mengangguk.

"Ngomong-ngomong, sebaiknya kamu duduk di kursi roda sekarang."

"Iya, benar juga. Aku juga mulai merasa lelah..."

Dengan bantuan Yuuto, Haruka berjalan kembali ke kursi rodanya dan duduk.

"Terima kasih, Onii-chan."

Dengan perasaan seperti ikatan di hatinya mulai terurai, Yuuto mengangguk.

Waktu yang seolah berhenti, kini mulai bergerak kembali.

Tiba-tiba, Yuuto berpikir. Jika Kotoha tidak menemukannya dan memaksanya untuk menulis naskah, momen ini tidak akan pernah terjadi.

Yuuto menghela napas dan berbalik untuk berkata,

"Natsume, maukah kamu bekerja sama lagi?"

Kotoha membelalakkan matanya dan menatap Yuuto.

"Maksudnya, aku boleh menjadi editor untuk Fuyutsuki Haruhiko? Aku boleh membantu senpai menulis novel lagi?"

"Iya. Aku sudah tahu kemampuanmu. Aku sangat mengandalkanmu. Maukah kamu melakukannya?"

"Iya, tentu saja! Aku akan melakukan apa saja! Mau lompat dari jembatan lagi?"

Kotoha meremas tangannya di depan dada seperti sedang berdoa, ekspresi wajahnya penuh emosi.

"Tidak, tolong jangan lakukan itu..."

Yuuto tersenyum sambil berkata, namun tiba-tiba tubuh Kotoha bergetar.

Lalu, seperti boneka yang talinya putus, dia jatuh tak berdaya.

Detik berikutnya, terdengar bunyi tubuhnya menghantam lantai.

"Apa...?"

Yuuto hanya bisa menatap, tidak mampu melakukan apa-apa.

Kotoha terbaring lemah di lantai kayu yang dingin.

Yuuto membuka matanya karena terkejut, tidak mengetahui apa yang terjadi.

Kotoha dengan polosnya bahagia sampai saat ini.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Darah mengalir keluar dari kepala Kotoha yang terkena pukulan keras, dan perlahan menyebar ke lantai.

Warnanya sangat merah sehingga segala sesuatunya tampak monokrom.

“Kotoha-san!”

Teriakan Haruka membawa kesadaran Yuuto kembali ke dunia nyata.

Yuuto berlari menuju Kotoha, yang terbaring di lantai.

"Natsume! Kamu baik-baik saja!?"

Dia meletakkan tangannya di bahu Kotoha dan memanggil namanya.

Namun, Kotoha tidak menanggapi panggilan tersebut, hanya terengah-engah dan kesakitan.

Wajahnya pucat dan darah menyebar tanpa henti.

"Hei, Natsume! Hei! Sial, panggil ambulans...!"

Aku mengeluarkan ponselku dan buru-buru mengetuk layarnya, tapi aku tidak bisa mengoperasikannya dengan baik karena darah yang ada di tanganku sebelum aku menyadarinya dan karena tanganku gemetar.

"Aku akan memanggil ambulans!"

"Ah, ah, kumohon! Hei, Natsume! Natsume!"

Yuuto dengan putus asa memanggil nama Kotoha. Namun, suara itu tidak membangunkan kesadaran Kotoha, dan hanya bergema hampa di dalam ruangan.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama