Penerjemah: Maomao
Bab 3 — Demi Siapa Kamu Melakukannya
Bagian 1
Sebuah
kamar di rumah sakit umum di kota.
Di atas
seprai putih yang bersih, dia tidur.
Selimut
di atas tubuhnya bergerak perlahan naik turun, dan Yuuto merasa lega melihat
bulu matanya yang panjang sesekali bergetar.
Dari
jendela kamar rumah sakit, terlihat pegunungan yang terbalut senja.
Sudah
hampir sehari penuh sejak Kotoha dibawa dengan ambulans. Yuuto pergi ke rumah
sakit bersama guru tadi malam, dan sempat pulang sekali di tengah malam.
Setelah itu, dia kembali ke rumah sakit, namun Kotoha belum juga sadar.
‘Bagaimana
dengan Natsume... Kotoha-san, apakah dia baik-baik saja?’
Yuuto
teringat percakapannya dengan ibu Kotoha yang datang ke rumah sakit tadi malam.
‘Kamu
Hiiragi-kun, ya?’
Ibu
Kotoha khawatir tentang putrinya, tetapi ada ketenangan aneh di wajah dan
suaranya.
Ketenangan
itu bukanlah tanda rasa lega. Sebaliknya, itu adalah ketenangan yang seolah
menerima sesuatu yang berada di luar kendalinya. Hal itu membuat hati Yuuto
sangat gelisah.
Saat itu,
terdengar suara rintihan kecil, dan Yuuto tersadar kembali.
Kotoha
membuka matanya sedikit.
"Natsume!
Kamu baik-baik saja?"
Yuuto
menahan diri untuk tidak berteriak dan berusaha bertanya dengan tenang. Namun,
tidak ada jawaban. Kotoha perlahan melihat sekeliling sebelum menatap Yuuto.
Pandangannya perlahan menjadi lebih jelas.
"Senpai...
aku..."
"Tunggu
sebentar. Aku akan panggil perawat."
Yuuto
mencoba meraih tombol panggilan perawat. Namun, Kotoha menyentuh tangannya
dengan lembut, menghentikannya.
"Natsume,
ada apa──"
Kotoha
menatap Yuuto dengan intens, membuatnya secara refleks mengalihkan pandangan.
"...Aku
pingsan di sekolah, ya?"
"Iya..."
"...Maaf.
Aku sudah merepotkan senpai."
"Tidak,
itu tidak masalah, tapi..."
"...Bagaimana
dengan Haruka-chan?"
"Setelah
kejadian itu, ayah kami menjemputnya dan membawanya kembali ke Nagoya. Dia
khawatir tentangmu, tahu?"
"Begitu...
Aku merasa bersalah. Padahal dia sudah datang jauh-jauh... Aku juga ingin lebih
banyak bicara dengannya."
Percakapan
terhenti, dan keheningan yang berat memenuhi ruangan rumah sakit.
Kotoha
memandang keluar jendela ke arah pegunungan di awal musim gugur. Melihat
bagaimana dia tampak begitu menyatu dengan lingkungan rumah sakit ini, hati
Yuuto terasa sakit.
"Mengapa..."
Yuuto
tersendat dalam kata-katanya, dan Kotoha melihatnya dengan rasa ingin tahu.
Dengan
gigi terkatup rapat, Yuuto menarik napas dalam-dalam dan berusaha mengeluarkan
kata-katanya.
"Mengapa...
selama ini kamu diam saja?"
Kotoha
terkejut dan matanya terbuka lebar, lalu ekspresinya perlahan menghilang.
"Senpai
sudah dengar, ya?"
Suaranya
lembut, namun tegas, menggema di ruang rumah sakit.
Yuuto
mengangguk kecil.
"Iya,
aku sudah dengar."
Mendengar
jawaban itu, Kotoha menghela napas panjang dan memandang ke langit-langit.
Terlepas dari tatapan Kotoha, Yuuto merasa sedikit lega.
"Dari
ibu, kan?"
"Iya."
"Bagaimana
dengan ibu sekarang?"
"Beliau
pergi mengambil pakaian. Katanya mungkin kamu akan dirawat lama."
"Begitu...
Jadi aku akan dirawat lama, ya..."
Kotoha
bergumam. Nada suaranya mirip dengan ibunya, penuh dengan kesedihan dan rasa
putus asa.
Melihat
ke langit-langit, Kotoha tampak tenggelam dalam pikirannya.
Yuuto
tidak bisa mengerti apa yang sedang dipikirkan Kotoha saat itu.
"Apakah
itu... benar?"
"Itu
benar. Sayangnya."
Yuuto
menatap wajah Kotoha dari samping, mengingat apa yang dikatakan ibunya.
'Kotoha
sakit.'
"Ada
kelainan di bagian otaknya."
Pengakuan
tenang Kotoha dan suara bergetar ibunya saling bersilangan dalam pikiran Yuuto.
'Ketika
dia berusia sekitar sepuluh tahun, penyakit itu ditemukan. Kasus seperti ini
sangat jarang di dunia, dan tanpa pengobatan yang efektif, kondisinya
perlahan-lahan memburuk.'
"Tiba-tiba
tubuhku kehilangan kekuatan, atau aku demam."
'Sekarang,
dia masih bertahan.'
"Dokter
mengatakan, meskipun aku masih bisa pergi ke sekolah, kapan saja bisa terjadi
bahwa aku tidak bisa lagi sekolah."
Sejak
pertama kali mendengar kenyataan ini sampai sekarang, Yuuto masih tidak bisa
mempercayainya.
Meskipun
otaknya bisa memahami, hatinya menolak untuk menerima.
Namun,
setelah mendengarnya langsung dari mulut Kotoha, kenyataan itu tidak bisa
diabaikan lagi.
"Mengapa,
dalam kondisi seperti itu, kamu memaksakan diri...?"
Sejak
pertemuan pertama hingga sekarang, Kotoha selalu penuh semangat dan energi.
Dia
tiba-tiba masuk ke kelas siswa kelas tiga, meyakinkan Yuuto dengan jatuh ke
sawah dan melompat dari jembatan, begadang untuk menyelesaikan naskah, dan
sibuk mempersiapkan festival sekolah.
Namun,
sekarang Yuuto menyadari.
Kebebasan
dan semangat itu──diperoleh dengan membakar hidupnya.
"Aku
ingin mewujudkan mimpiku."
"Mimpi..."
Yuuto
teringat pertemuannya dengan mantan teman sekelas Kotoha di akuarium.
"Menjadi
editor, kan...?"
Kotoha
tersenyum samar.
"Aku
sangat senang. Saat kita pergi ke akuarium dan bertemu teman sekelas SMP-ku,
senpai mengatakan bahwa menjadi editor bukan lagi mimpi tapi rencana.
Tapi..."
"Sekarang
pun, aku masih berpikir begitu," ucap Yuuto memotong kata-kata Kotoha. Dia
tidak ingin mendengar apa yang akan dikatakan setelah kata "tapi".
"Jadi,
sekarang kamu tidak perlu memaksakan diri dan fokus pada pengobatan. Jika
sekarang──"
"Jika
aku menjalani operasi, aku akan sembuh."
Suara
Kotoha menjadi lebih rendah. Di dalamnya terdengar kemarahan dan kepedihan yang
tenang.
"Ibu
mengatakan itu?"
"Iya,"
Yuuto mengangguk.
'Ibu
mengatakan bahwa teknologi medis telah berkembang dalam beberapa tahun
terakhir, dan sekarang ada kemungkinan untuk sembuh dengan operasi.'
Meskipun
penyakitnya sangat langka, metode operasi yang efektif telah dikembangkan, kata
ibu Kotoha. Dan jika tidak menjalani operasi, kondisi kesehatannya akan semakin
memburuk. Saat itu, Yuuto merasa ada sesuatu yang tidak pasti dengan kata
"kemungkinan".
Namun,
"Kesuksesan
operasinya mencapai delapan puluh persen, kan? Memang, ada risiko dua puluh
persen. Tapi, jika dibandingkan dengan ini..."
Lebih
baik daripada mati, begitu dia ingin mengatakan, tapi tidak bisa mengatakannya.
Itu terlalu tidak peka. Terlebih lagi, dia takut untuk mengucapkan kata
"mati".
Yuuto
memahami bahwa bagi Kotoha, risiko dua puluh persen adalah hal yang sangat
berat. Namun, ketika dia mendengar bahwa tingkat keberhasilan operasinya
mencapai delapan puluh persen, dia berpikir itu jauh lebih baik daripada yang
dibayangkannya. Dia berpikir mungkin bisa berharap pada hal itu. Tentu saja,
itu bukanlah sesuatu yang bisa diputuskan oleh orang luar seperti Yuuto.
Kotoha
menghela napas kecil dan memandang ke arah jendela.
"Saat
aku berusia sekitar sepuluh tahun, penyakit ini ditemukan, dan hal-hal yang
dulu bisa aku lakukan, tidak bisa kulakukan lagi. Aku dilarang melakukan
hal-hal yang memberi beban pada tubuhku. Bermain di luar, mengikuti pelajaran
olahraga, semua itu tidak bisa lagi. Lama-kelamaan, teman-temanku juga
menghilang. Mungkin karena kesempatan bermain berkurang, tapi mungkin juga
karena aku menjadi orang yang berbeda karena penyakit ini. Anak-anak sangat
peka terhadap hal-hal yang berbeda."
Kotoha
menceritakan semuanya dengan tenang. Yuuto tahu bahwa ini adalah hasil dari
menekan berbagai emosi. Jika tidak melakukannya, dia mungkin akan tenggelam
dalam perasaannya sendiri.
"Saat
itulah aku menemukan buku. Sebelumnya aku memang sudah suka membaca, tapi
kemudian aku mulai membaca sesering mungkin. Hanya buku yang bisa menghibur
kesepianku."
"Aku
juga sama," pikir Yuuto.
Kotoha,
seperti dirinya, diselamatkan oleh cerita dalam kesendirian mereka.
Namun,
dalam kasus Kotoha, kondisinya lebih mendesak daripada dirinya.
"Hanya
cerita yang memberi aku kekuatan untuk hidup."
Untuk
bisa hidup, itu sangat diperlukan.
Oleh
karena itu, dia bermimpi untuk menciptakan buku.
"Kalau
begitu──"
Bukankah
seharusnya dia memilih untuk hidup agar bisa terus membaca buku dan menciptakan
cerita?
Saat
Yuuto hendak mengatakannya, Kotoha menggelengkan kepalanya.
"Penyakitku
ini ada di sekitar sini," kata Kotoha sambil menunjuk sisi kiri kepalanya.
"Katanya,
otak punya fungsi yang berbeda di setiap bagiannya. Senpai tahu apa yang ada di
sini?"
"Tidak,
aku tidak tahu..."
Kotoha
tersenyum sedih mendengar jawaban Yuuto.
"Ini
pusat bahasa."
"Apa?"
Yuuto
tahu bahwa itu adalah bagian otak yang mengatur bahasa, tetapi dia tidak bisa
menghubungkannya dengan penyakit dan keadaan Kotoha saat ini.
"Tingkat
keberhasilan operasi adalah delapan puluh persen. Itu memang menakutkan, tapi
jika hanya itu, aku mungkin akan menjalani operasi. Tapi, ada kemungkinan
sembilan puluh persen aku akan mengalami gangguan bahasa. Aku mungkin tidak
bisa berbicara lagi, atau bahkan jika tidak sampai begitu parah, aku mungkin
tidak bisa lagi memahami tulisan. Aku mungkin tidak akan bisa membaca buku
lagi. Jika itu terjadi, maka mimpiku untuk menjadi editor tidak akan pernah
terwujud."
"Itu...
tidak mungkin..."
Yuuto
bergumam dengan takjub.
Dulu
diselamatkan oleh cerita, bermimpi tentang masa depan dengan cerita, tetapi
untuk hidup, Kotoha harus melepaskan cerita.
Itu
terlalu kejam.
"...Tapi,
meskipun begitu..."
Yuuto
mengeluarkan kata-kata dengan perasaan seperti ingin muntah darah.
"Kalau
kamu mati, semuanya akan sia-sia. Jadi──"
"Tidak
berarti aku akan mati sekarang," kata Kotoha memotong perkataan Yuuto.
"Ada
orang dengan penyakit yang sama yang bisa hidup hingga akhir usia dua
puluhan."
"Apa...?"
"Memang
penyakit ini langka, dan kasusnya juga sangat jarang, tapi jika begitu, aku
masih bisa menjadi editor. Aku akan lulus dari universitas, lulus ujian masuk
penerbitan pada percobaan pertama, dan menjadi editor."
Bahkan
jika itu hanya sampai akhir usia dua puluhan, tidak masalah.
Kata-kata
Kotoha mencerminkan perasaan itu.
Itu
adalah taruhan yang tidak sebanding dengan risiko dan hasilnya.
Namun,
jelas bahwa Kotoha menganggap itu adalah pilihan terbaik.
"Senpai,"
kata Kotoha dengan tenang.
"Aku
tidak akan menjalani operasi. Demi bisa hidup sebagai diriku sendiri."
Matanya terlihat seperti akan menangis kapan saja, namun tetap penuh dengan tekad.