Chapter 2 — Seorang Putri Bangsawan Yang Seharusnya Berbelanja Pakaian, Malah Membeli Sesuatu Yang Keterlaluan (Bagian 3)
(Sudut
Pandang Souta)
Hari
Selasa.
Hari ini
merupakan hari ketiga Lily masuk sekolah di Jepang.
“Souta, bagaimana menurutmu?....Ini
tidak kelihatan aneh, ‘kan?”
Lily
bertanya sambil memegang rok seragamnya.
Aku merasa
kalau dia sudah pernah menanyakan pendapat soal seragam
ini sebelumnya.
Tapi
sikapnya kali ini berbeda.
Wajahnya terlihat merah padam dan kakinya bergetar dengan gelisah.
Entah
kenapa, kelihatannya jadi sedikit erotis.
Perubahan
ini...
“Aku
memendekkan rok seragamku.”
Ketika Lily
mengatakan itu, aku baru menyadarinya.
Rok yang
dulu menutupi lututnya kini
hanya sepanjang 10 cm di atas lutut.
Kira-kira
15 cm lebih pendek dari sebelumnya.
Oh iya,
kalau dipikir-pikir, sepertinya semalam ada sesuatu yang
terjadi...
“Itu tidak
kelihatan aneh sama sekali
kok, tapi kenapa?”
“...Semua
orang memendekkannya. Termasuk Misato juga.”
Perturan
seragam di sekolah kami cukup longgar.
Selama
masih menyisakan bentuk aslinya, modifikasi seragam masih diperbolehkan.
Makanya
murid perempuan cenderung memendekkan rok mereka.
Terutama
Misato, roknya hampir memperlihatkan celana dalamnya.
Yah, aku
memang tidak tertarik pada celana dalam atau kaki Misato.
“Kamu
tidak perlu memaksakan diri untuk ikut-ikutan.”
Sejujurnya, aku cukup menyukainya. Tapi
yang terpenting adalah keinginan Lily.
Dari raut
wajahnya, sepertinya dia merasa malu.
Jika dia memang merasa malu, mungkin lebih baik
tidak usah memendekkan roknya.
“...Kamu lebih suka yang mana, Souta?”
Aku merasa
buat apa dia bertanya pendapatku
segala.
Tapi aku
memeriksa penampilan Lily lagi.
Dibandingkan
kemarin, roknya memang lebih pendek. Tapi masih di atas lutut.
Mungkin ukurannya sedikit di atas rata-rata murid
perempuan di sekolah ini.
Tapi, penampilannya tidak terlihat vulgar.
Selain itu,
Lily mempunyai kaki yang sangat panjang.
Dengan
rok yang lebih pendek, hal tersebut jadi semakin menonjol.
Pahanya
yang putih mulus juga bisa sekilas terlihat.
『Anu, kalau kamu terus-terusan memandangi begitu.... sudah kuduga, ini kelihatan
aneh, ya... 』
『Cantik kok. Kamu terlihat sangat
bagus. 』
『Be-Begitu ya?! 』
Lily
berkata dengan suara gemetar saat mendengar pujianku. Dia beberapa kali memegangi ujung
roknya dengan ragu-ragu, lalu mengangguk.
『Kalau Souta bilang begitu... rasanya sedikit memalukan sih, tapi... 』
『Ini cuma pendapatku saja. Jangan terlalu
dipikirkan. 』
Jika kamu merasa malu, bukannya lebih baik tidak usah memakainya?
Saat aku
mengatakan itu, Lily justru menatapku
dengan tajam.
『Aku memakai rok pendek bukan
demi kamu, oke? Tolong jangan salah paham. Jika sedang berada di Roma, aku harus mengikuti
adat Roma 』
Maksudnya
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, ya?
Ya, jika
Lily berusaha beradaptasi, maka itu hal yang bagus.
Walaupun rasanya aneh kalau dia berusaha beradaptasi dengan memendekkan
roknya. Meskipun Lily sudah memendekkan
roknya, dia masih kelihatan malu.
Sesekali
dia memegangi ujung roknya.
Saat
duduk di kursi, dia selalu menarik roknya ke depan dengan kedua tangan.
Saat
berjalan di tangga, dia menempelkan telapak tangan ke pantatnya.
Murid
perempuan di sekolah kami sudah biasa
memakai rok pendek dan berjalan dengan santai.
Jadi, tingkah Lily yang masih canggung itu justru
terlihat manis.
『Bagaimana kalau rokmu
dipanjangkan lagi saja? 』
Ketik aku
mengatakan itu, wajah Lily langsung memerah padam saat memegangi
roknya.
Lalu dia
menatapku dengan tatapan memohon.
『Nanti juga akan terbiasa...
Jangan ikut campur. Kalau kamu protes lagi, aku akan
membunuhmu』
Rasanya
seolah-olah aku mulai membangkitkan
fetish aneh.
Lebih
baik Lily tetap seperti ini.
Tidak,
maksudku, aku ingin dia berhenti.
※※※※
“Bagaimana
pelajaran sejarah Jepangnya?”
Setelah
jam pelajaran pertama selesai, aku bertanya pada Lily.
Materi pelajarannya mungkin takkan digemari oleh orang Inggris,
dan ada banyak kanji yang sulit.
Apa dia
bisa memahaminya?
“Pelajarannya
menarik sekali.”
Lily menjawab dengan ekspresi datar seperti
biasa. Tapi
sepertinya dia sedang dalam suasana hati yang bagus. Itu berarti
dia benar-benar bisa mengikuti pelajaran dengan baik.
Di
bukunya ada catatan dalam bahasa Inggris.
“Ada
beberapa bagian yang sulit didengar, jadi apa aku boleh
minta bantuanmu untuk menjelaskannya nanti
malam?”
“Ah,
iya, boleh.”
Malam,
ya...
Setiap
hari harus berhadapan dengan penampilannya yang
menggairahkan itu memang menyiksa. Tapi aku tak bisa menolaknya.
“Pelajaran
selanjutnya adalah bahasa
Inggris, tapi Lily mengikuti
kelas yang berbeda, ‘kan?”
Aku
mengatakan itu karena berpikir mana mungkin Lily masih perlu
belajar bahasa Inggris.
Kalau
tidak salah, murid asing biasanya ada kelas bahasa Jepangnya sendiri.
“Aku
ada kelas bahasa Jepang. Apa kamu
tahu di mana kelasnya?”
“Oh,
tempatnya ada di lantai tiga. Mau
kuantar?”
“Iya,
tolong.”
Saat aku mengantar Lily menuju ke ruang kelasnya...
Sepanjang
perjalanan....
“(Jadi itu si murid pertukaran pelajar
cantik yang jadi perbincangan, ya?)”
“(Wah,
imut banget!)”
“(Bentuk
tubuhnya juga bagus. Kakinya panjang...)”
“(Katanya dia anak bangsawan. Auranya
memang kelihatan beda...)”
“(Rambutnya
peraknya itu asli ya? Keren!)”
“(Apa
dia punya pacar?)”
“(Gosipnya sih dia datang ke Jepang
untuk mengejar pacarnya, kan?)”
“(Maksdunya cowok yang ada di
sebelahnya itu?)”
Sepertinya
Lily sudah jadi bahan perbincangan di seluruh sekolah. Dia menjadi pusat perhatian dari orang-orang di sekitar
kami.
『Anu, Souta? 』
『Ya? Ada apa? 』
『A-Aku merasa... sedang
diperhatikan. 』
Lily
berkata dengan suara pelan dan
pipinya tampak sedikit merah merona.
...Oh,
dia tipe yang malu jika jadi pusat perhatian, ya? Padahal kupikir selama ini
dia terlihat cuek-cuek saja.
『So-Soal rok... Itu memang aneh, ya? 』
Lily
menggerak-gerakkan kakinya dengan gelisah sambil menarik roknya. Sepertinya dia salah paham kalau
yang diperhatikan adalah panjang roknya.
『Bukan itu masalahnya, jadi tenang saja. 』
『Lalu apa?
』
『Mereka sepertinya membicarakan 'jadi itu ya sosok murid
pertukaran pelajar cantik yang
dirumorkan'. 』
『Hmm,
begitu ya 』
Ekspresi
Lily tampak tidak terlalu terganggu setelah
mendengar ucapanku.
Sementara
itu, kami sudah sampai di kelas tujuan.
“Kalau
begitu, sampai di pelajaran
selanjutnya.”
“Oke.”
Aku
berpisah dengan Lily dan kembali ke kelasku sendiri.
65 menit
berlalu, dan jam
pelajaran kedua selesai.
Selanjutnya
adalah pelajaran kimia di laboratorium.
“Kurasa aku
harus menjemput Lily.”
Aku
berjalan menuju kelas tempat Lily seharusnya berada.
Tapi Lily
tidak ada di sana.
Mungkin
kami saling terlewat.
Atau itulah
yang kupikirkan, tapi tiba-tiba aku mendengar suara Lily.
『Tidak, terima kasih. Aku sama sekali tidak
tertarik. 』
“Sebak bola,
klub sepak bola. Tugas manajer adalah....”
Aku
menemukannya tidak jauh dari sana, dan ada tiga siswa laki-laki di dekatnya.
Sepertinya
salah satunya anggota tim sepak bola yang kukenal.
Dari
percakapan mereka, sepertinya klub sepak bola sedang mengajak Lily untuk jadi
manajer, tapi Lily menolaknya.
Mengenai
sepak bola.....yah, wajar jika Lily tidak tertarik dengan
sepak bola. Mungkin lain lagi ceritanya kalau olah
raga rugby.
Walaupun begitu, menurutku Lily tidak
cocok untuk menjadi manajer.
“Hmm,
kayaknya dia enggak
paham, ya...”
Salah satu
anggota tim sepak bola itu memiringkan
kepalanya.
Mungkin
bukan bahasa Jepangnya yang tidak dimengerti, tetapi mereka tidak memahami bahasa
Inggris Lily.
“Aku
tidak tertarik.”
“Tunggu
dulu. Pembicaraannya belum selesai, nih.”
Seorang anggota
klub sepak bola menarik lengan Lily saat dia hendak
berjalan pergi.
Lily
menepisnya dengan tangannya.
Suasana
menjadi tegang.
“Maaf,
Lily. Aku sudah membuatmu menunggu.”
Aku mengatakan itu dengan menyela
di antara mereka sambil memegang ringan lengan
Lily, berniat membawanya pergi, tapi....
“Hei, tunggu dulu. Jangan ganggu urusan kami.”
Salah satu
anggota klub sepak bola memelototiku dengan galak.
Harusnya
selama jam istirahat dilarang melakukan perekrutan
anggota, tapi sepertinya mereka tak mau berhenti.
“Dia
sudah jadi anggota klub tenis, jadi tidak bisa.”
Saat aku
mengatakannya, anggota tim sepak bola itu mengerutkan wajah kecewa.
Memangnya
mereka kekurangan orang sampai seperti itu?
“Hei,
bagaimana kalau jadi manajer tim kami? Lebih seru daripada tenis, lho? Banyak
cewek cantiknya juga.”
Ia
masih memaksa mengajak Lily.
Sepertinya
mereka lebih menginginkan Lily daripada benar-benar
mencari manajer.
Kesempatan
dalam kesempitan.
『Sudah
kubilang... 』
“Lily.”
『Eh, um, tunggu... 』
Melihat
Lily yang seola-olah ingin
menerkam mereka, aku menariknya mendekat dan
merangkulnya.
Lily
menatapku dengan bingung.
Sambil mengabaikannya,
aku tersenyum pada anggota tim sepak bola itu.
“Dia
adalah pacarku.”
Suasana
menjadi mencekam. ...mungkin kedengarannya terlalu
dibuat-buat, ya?
Bagaimanapun
juga, anggota tim sepak bola itu tetap kaku.
“Ayo kita pergi, Lily.”
『Ba-Baik... 』
Seraya mendorong
pelan bahu Lily yang masih membeku, aku segera pergi dari sana.
Semoga saja mereka tidak mengejar kami.
『A-Ano, Souta. Tolong lepaskan aku. 』
“Ah,
maafkan aku.”
Aku
buru-buru melepaskan rangkulanku
dari bahu Lily.
Wajah
Lily terlihat merah padam.
『Terima kasih sudah menyelamatkanku. Tapi... bisakakah kamu berhenti menyebutku sebagai
'pacarmu' di
depan orang lain?』
Kurasa
aku memang terlalu berlebihan.
Meskipun itu hanya sandiwara, aku juga jadi
sedikit malu.
『Maaf. Kupikir itu cara yang tercepat untuk mengusir mereka』
『Aku
mengerti. Lalu, ada apa kamu datang
ke sini?』
『Ah iya, jam pelajaran
berikutnya di laboratorium IPA.
Jadi aku berpikiran untuk mengantarmu』
『Jadi begitu ya. Kalau begitu,
tolong tunjukkan jalannya』
Ketika Lily
mengatakan itu, entah kenapa dia
tidak mau menatap mataku.
...Apa
aku sudah membuatnya marah?