Chapter 3 — Seorang Putri Bangsawan Yang Datang Untuk Belajar Di Luar Negeri, Menikmati Kehidupannya Di Jepang (Bagian 1)
“Jadi begitulah, kehidupanku di Jepang berjalan
lancar."
Sudah
tiga minggu sejak aku datang ke Jepang untuk belajar.
Aku mengabari keadaanku
kepada teman baikku, Mary,
melalui tekepon.
Dia yang
mendorongku untuk pergi ke Jepang jika aku ingin bertemu Souta.
“Begitu,
rasanya tidak disangka banget.”
“Maksudnya
'tidak disangka' itu bagaimana?”
Memangnya
dia pikir aku akan membuat masalah di Jepang?
“Aku
khawatir kamu akan merindukan Inggris dan menangis-nangis ingin pulang.”
“Aku
tidak menangis-nangis kok. Sebenarnya, aku merasa
sangat nyaman dan menikmatinya.”
Ternyata,
kehidupan di Jepang tidak seburuk yang kubayangkan.
Meskipun
bahasa Inggrisku tidak
terlalu dipahami, kemampuan bahasa Jepangku sudah cukup
untuk berkomunikasi.
Bahkan
jika perkataanku tidak bisa dipahami, Souta akan membantuku.
Sanitasi
di sini sangat baik, dan makanannya juga enak.
Mengenai cuacanya
juga... mungkin karena sekarang musim semi, jadi suhunya
lumayan hangat dan nyaman.
“Jadi,
apa kamu akan tinggal di Jepang
selamanya?”
“...Belum
sampai sejauh itu.”
Memang tinggal di sini rasanya tidak terlalu buruk, tapi tidak senyaman di
negara asalku sendiri.
Bahasanya
masih merepotkan.
Ada juga
makanan yang tidak cocok dengan seleraku.
...Seperti
produk susu dan teh.
Ituulah
sebabnya, tujuanku adalah membawa Souta kembali ke Inggris.
“Aku yakin
kalau ia juga berpikir begitu. ...Siapa pun, pasti
merasa negara asalnya adalah
yang terbaik, bukan?”
“Aku
akan menutupinya dengan pesonaku.”
Jepang
(tempat asalnya) tanpa diriku dan Inggris (tempat asing) di mana aku berada.
Aku
berharap dia akan memilih yang terakhir setelah
membandingkannya.
“Sekarang
aku sedang belajar masakan Jepang
dari ibu Souta.”
“Hee...
Kamu belajar masakan Jepang?”
“Ya.
Bahkan jika Souta merindukan kampung halamannya, aku bisa membuatkan masakan khas negara asalnya.”
——Entah
kenapa, tiba-tiba aku
jadi ingin meminum sup miso... Aku jadi ingin
pulang ke Jepang.
——Aku sudah
menduga kamu akan mengatakan itu jadi aku sudah
membuatkannya. Silakan dinikmati.
——Wah,
enak! Terima kasih, Lily! Selama bersamamu, aku bisa hidup di mana pun! Aku
mencintaimu!
“Itu adalah rencana yang sempurna.”
“Menurutku
itu masih tidak sempurna, tapi aku tahu kamu berusaha
keras. Ngomong-ngomong, boleh aku menanyakan sesuatu yang agak vulgar?”
“Tergantung
isinya. Silakan saja.”
“Sudah sampai sejauh mana hubungan kalian?”
Sudah sampai sejauh mana?
“Apa maksudmu?”
“Maksudku hubungan
kalian. ...Apa kalian sudah berhubungan badan atau
belum?”
Berhubungan
badan?
...Berhubungan badan!?
“T-Tidak!
Kami tidak melakukannya! Mana mungkin kami melakukannya!”
“Yah, benar sekali. Mana mungkin kamu akan berani
melakukannya.”
Nada suaranya terdengar sedikit kecewa dan
meremehkan. Hal itu
membuatku kesal.
“Bagaimana kalau
ciuman?”
“Belum
sih...”
“Masih
belum? Walaupun kalian tinggal bersama?”
“Memangnya
itu ada hubungannya?”
Apa kami berciuman atau tidak, seharusnya
tidak ada hubungannya dengan kami yang tinggal
bersama.
Bukannya aku
tidak memahami logika bahwa sepasang kekasih pasti akan
berciuman, tapi...
“Kalau pelukan?
Atau bahkan berpegangan tangan?”
“...Belum pernah juga kok.”
“Kenapa?”
“Malah tanya
kenapa....yah karena aku tidak pernah diminta untuk melakukannya sih...”
Jika Souta memintaku untuk berpegangan
tangan, aku pasti dengan senang hati akan
memegang tangannya.
Tapi aku merasa malu untuk memintanya sendiri.
Bukannya aku
tidak ingin melakukannya, hanya saja tidak ada alasan mengapa aku harus
melakukannya.
“Kamu,
apa kamu benar-benar disayang?”
“Apa
maksudmu sampai bilang begitu?”
Aku tanpa
sadar jadi sewot.
Aku tidak
keberatan jika dia mengejek hubunganku dengan Souta, tapi sampai mencurigainya sih sudah keterlaluan.
“Mana
mungkin ada laki-laki yang bahkan tidak mau
berpegangan tangan dengan orang yang disukainya.”
“Ada
berbagai macam orang di dunia ini. Jaid kupikir
itu tidak aneh kok.”
Souta adalah laki-laki yang sopan
dan pemalu.
Aku juga merasa malu untuk memintanya melakukan
sesuatu, dan kurasa dia pun begitu.
...Alangkah baiknya jika ia
sendiri yang memulai, tapi aku tak ingin memaksakan apa yang tak bisa kulakukan
pada orang lain.
“Entahlah.
Perasaan laki-laki kan mudah berubah. Bisa saja ia lebih tertarik pada wanita
yang lebih dekat dan akrab dengannya daripada pacarnya yang kaku. Apalagi sudah setengah tahun berpisah dan tidak bertemu.”
Sekilas,
wajah Misato melintas di benakku.
Memang
benar Souta dan dia dulu dekat.
Tapi sekarang
mereka bukan sepasang kekasih, tapi dulu mereka sangat
akrab.
“T-Tapi,
Souta pernah bilang kalau aku 'pacarnya'.”
“Hm...
Lalu kamu menjawab apa? Apa kamu menyetujuinya?”
“...Aku
memintanya untuk jangan mengatakan itu lagi di depan umum.”
Aku
bermaksud memintanya untuk tidak mengatakannya di depan banyak orang.
Tapi bisa
saja terdengar seperti aku menolaknya.
“Ya ampun,
apa sih yang sudah kamu lakukan...”
Suara
gemas Mary menusuk hatiku.
Bagaimana
jika Souta jadi membenciku...?
“Ap-Apa yang
harus kulakukan...”
“Bagaimana
kalau tanyakan langsung padanya? Tanya apa dia masih
mencintaimu, masih sayang padamu. Kalau dia bilang iya, masalah bisa langsung selesai, ‘kan?"
“T-Tapi,
kalau aku melakukan itu sekarang...”
“Pasangan
yang saling mencintai akan
memastikan perasaan mereka, jadi itu
bukan hal yang aneh.”
“Apa memang
begitu?”
“Ya iyalah...”
Memang benar kalau orang tuaku juga selalu
saling mengucapkan 'aku mencintaimu'
setiap hari.
——Sota.
Aku ini apa bagimu?
——Bukannya
itu sudah jelas? Kamu adalah kekasih terkasihku dan calon istriku!
“Aku
juga mencintaimu, Souta!”
“Aku
itu bukan Souta, tahu.”
Ah, gawat, aku keceplosan.
※※※※
(Sudut
Pandang Souta)
Sudah
sekitar tiga minggu sejak Lily datang ke Jepang.
Di
sekolah, nama mahasiswi asing yang cantik, Amelia Lily Stafford, sudah tersebar
luas.
Meskipun
Lily menjadi sorotan iri dari siswa laki-laki, anehnya dia tidak pernah
menerima pernyataan cinta atau surat cinta.
Rupanya
Lily sudah memiliki pacar.
Konon
katanya, Lily datang ke Jepang untuk mengejar pacarnya.
Pacarnya
itu adalah laki-laki yang posesif, yang pernah mengatakan “Dia ini wanitaku” di depan umum. Mereka saling menggoda dan bermesraan dalam
bahasa Inggris setiap hari.
Sebenarnya,
orang macam apa pacarnya itu?
Meskipun
begitu, tampaknya Lily sudah cukup terbiasa dengan kehidupan di Jepang.
Kemampuan
bahasa Jepangnya juga semakin lancar dari hari ke hari.
Tentu
saja, ada banyak hal yang membuatnya bingung karena perbedaan budaya.
Contohnya,
baru-baru ini dia kebingungan dengan anko (kue beras isi).
Dia
mengira itu cokelat...
Memasukkan
kacang yang diberi gula? Kamu seriusan?
Seperti
itulah ekspresi yang dia tunjukkan.
Tapi dia
akhirnya menyimpulkan “Rasanya enak
juga” dan
sering memakannya.
Akhir-akhir
ini, dia sering membeli kue Jepang dan roti
manis di minimarket.
Lily sangat terbuka terhadap makanan, tapi
tentu saja ada yang tidak bisa dia terima.
Misalnya
saja seperti teh.
Rupanya
teh Jepang rasanya tidak enak.
Kalau begitu,
bukankah lebih baik memesan daun tehnya saja?
Itulah
yang kupikirkan, tapi tampaknya kualitas air
dan susunya juga bermasalah.
Air di
Jepang termasuk dalam kategori air lunak.
Sementara
di Inggris, kualitas airnya merupakan air sadah (walaupun
bervariasi tergantung lokasinya).
Hal tersebut
memang berdampak pada rasanya.
Pada akhirnya, dia memutuskan untuk membeli air
kemasan alami, lalu mencampurkannya dengan air lunak untuk mendapatkan
kesadahan yang tepat.
...Bukannya itu terlalu berlebihan?
Susu
Jepang juga sepertinya kurang enak.
Susu juga
memiliki rasa yang sedikit berbeda di Jepang dan Inggris.
Aku
tidak akan menjelaskannya secara detail karena akan terlalu panjang, tetapi ada
banyak perbedaan tergantung pada jenis sapi dan bagaimana susu diproses setelah
diperah— sterilisasi suhu tinggi atau suhu
rendah.
...Sejujurnya,
aku tidak terlalu menyukai
susu, jadi menurutku keduanya sama-sama enak.
Rupanya
Lily tidak menyukainya kecuali susu yang biasa dia minum. Kurasa ini memang masalah selera saja.
Di
supermarket, Lily suka membeli
susu dalam jumlah besar, sambil mengeluh “Ini
sama sekali berbeda”, “Rasanya tidak sama, tapi
berbeda”, atau “Hampir mirip
tapi berbeda”.
Pada akhirnya,
dia memutuskan untuk memesan susu favoritnya secara rutin melalui pembelian
online.
Aku pernah mencobanya, dan rasanya memang enak.
Pada awalnya, Lily membelinya dengan uang sakunya, tapi sepertinya ibuku
juga sampai ikut ketagihan.
Susu itu
sekarang menjadi langganan rumah kami.
Jadi,
meskipun masih ada beberapa keluhan lain, tapi Lily
bisa menyelesaikannya sendiri.
Dia tidak
terlihat sedang mengalami kerinduan dengan
kampung halamannya.
Dia tampak
menikmati kehidupannya di
Jepang.
Masalahnya
terletak pada diriku sendiri.
Hatiku
tidak bisa tenang.
Sejauh
ini, aku belum mengalami insiden melihat Lily dalam keadaan telanjang atau
hanya mengenakan pakaian dalamnya.
Tapi aku sering melihat pakaian dalamnya yang
digantung untuk dijemur, yang terlihat manis dan seksi.
Apakah
dia memamerkannya untuk seseorang? Mau tak mau aku terus-menerus
memikirkannya karena pakaian dalamnya terlihat sangat
erotis.
Kupikir
aku akan cepat terbiasa, tapi nyatanya tidak.
Aku terus-terusan berpikir “Jadi dia memakai itu di balik
pakaiannya...”
Masalah
tidak hanya ada pada pakaian dalamnya, tapi juga pada Lily sendiri.
Dia
terlalu dekat dan tanpa penjagaan.
Saat aku sedang belajar.
Saat aku menonton TV atau bermain game.
Atau saat
aku sedang membaca buku.
Tanpa kusadari, tiba-tiba Lily
sudah berada di dekatku.
Setelah berolahraga, aku bisa mencium aroma
keringatnya yang manis. Dan setelah mandi, aroma wangi sampo bisa tercium dari
rambutnya.
Terkadang
belahan dadanya bisa
terlihat.
Tolong
jangan lakukan itu.
Jika seseorang mendengar ini, mungkin mereka akan berpikir kalau aku senang-senang saja.
Tapi sayangnya, aku bukan pacar Lily.
Aku tidak
bisa macam-macam dengannya.
Meskipun
aroma masakannya tercium enak,
perutku tidak akan kenyang hanya dengan itu.
Di
tengah-tengah perasaan galau seperti itu, pada suatu
hari...
“Aku
akan memperlihatkan hasil pelatihanku menjadi
istri!”
Tiba-tiba
Lily berkata begitu.
※※※※
Seperti
biasa, hari ini ibuku pulang terlambat lagi.
Biasanya
di hari-hari seperti ini, akulah yang bertugas menyiapkan makan malam, tapi...
“Hari
ini, aku yang akan memasak.”
Tapi hari
ini, Lily yang menawarkan diri untuk memasak.
Kemampuan
memasak Lily semakin hari semakin membaik.
Tapi
selama ini, dia selalu dibantu oleh ibuku
atau diriku.
Lily
belum pernah memasak sendirian.
Tapi
setiap orang pasti pernah mengalami hal baru untuk pertama kalinya.
“Kalau
begitu, kurasa aku akan meminta bantuanmu.”
“Aku
akan memperlihatkan hasil pelatihanku menjadi
istri!”
Lily
mengepalkan tangannya dengan semangat.
...Mungkin
sebaiknya aku harus memberitahunya
arti 'pelatihan
menjadi istri' terlebih dahulu.
Kami segera
mampir ke supermarket dalam perjalanan
pulang sekolah.
Lily
mengambil satu per satu bahan makanan dan memasukkannya ke dalam keranjang.
Aku hanya
mengawasinya.
Hanya
mengawasi, tanpa berkomentar apa-apa.
“Sudah beli
semuanya?”
“Ya.
...Menunya, rahasia.”
Entah
kenapa Lily berkata begitu dengan wajah misterius.
Meskipun
begitu, dari bahan-bahan yang dibelinya,
aku bisa menebak kira-kira dia akan memasak apa.
“Ah,
oke. Aku menantikannya.”
Aku tidak terlalu
kekanak-kanakan sampai memberitahunya tentang itu.
Setelah kami sampai di rumah, Lily langsung memakai celemeknya.
“Silakan
duduk dan tunggu dengan tenang.”
Lalu dia
menyuruhku untuk menunggu.
Aku menuruti
apa yang dia perintahkan dan duduk di ruang makan— area di mana aku bisa
melihat Lily memasak di dapur.
『Hmm, pertama-tama... 』
Lily
pergi ke dapur, lalu mulai sibuk dengan ponselnya.
Sepertinya
dia sedang memeriksa resep di ponselnya.
『...Oke! 』
Setelah
mengepalkan tangannya, dia
mulai memotong bahan-bahan masakan.
Cara dia memegang pisau dapur masih terlihat kaku.
Terutama
saat memotong bahan menjadi kecil-kecil,
aku jadi merasa khawatir... Tapi dia berhasil menyelesaikan memotong semua
bahan.
Dia
mengeluarkan bumbu-bumbu di atas meja, lalu menuangkan minyak ke dalam wajan
dan menyalakan api.
Dengan
wajah tegang yang tidak biasa, dia mulai menumis bahan-bahan.
Lalu
proses memasaknya memasuki tahap akhir...
『Ah... 』
Aku bisa mendengar
suara kecil.
Sepertinya
ada yang salah.
Lily sekilas
menoleh ke arahku, lalu menyembunyikan hasil masakannya di balik dirinya.
Kemudian,
dengan menggunakan sumpit, dia mulai mengutak-atik makanan.
『...Oke』
Kemudian
dia menghela napas lega.
Sepertinya
dia berhasil memperbaikinya.
“Sudah
jadi?”
“Bagian
Souta masih
belum.”
Rupanya
masakan yang gagal akan dimakan
untuk dirinya sendiri.
Kali ini,
belajar dari kegagalannya sebelumnya, dia mulai memasak dengan lebih hati-hati.
『...Oke』
Sepertinya
kali ini masakannya berhasil.
Menatap
piring berisi masakan yang dia buat, Lily diam-diam melakukan mengepalkan tangan kecilnya seolah melakukan selebrasi gaya
kemenangan.
Terakhir,
dia menggunakan saus tomat untuk menggambar hati di atas masakannya... Lalu
Lily membawa dua piring, satu untuknya dan satu untukku.
“Sudah
jadi.”
Lily
berkata dengan ekspresi puas.
Saat
memilih bahan di supermarket tadi, aku sudah menduga Lily akan membuat omurice.
Di atas
kuning telur, dia menggambar bentuk hati dengan saus tomat.
Penyajiannya
juga cukup rapi.
“Kamu jadi
semakin mahir memasak, makanannya
juga terlihat enak.”
Saat aku
memujinya, wajah Lily tampak senang.
“Tentu
saja.”
Lalu Lily
menyodorkan sendok ke arahku.
“Nah,
Souta. Silakan makan 'Oppai'ku.”
“Ah, iya... Eh?”
...Oppai?
Tanpa
sadar aku melihat ke arah dada Lily, bukan ke arah
wajahnya.
Lily menunjukkan ekspresi bingung.
“Ada apa?”
“...Maksudmu,
silakan makan banyak-banyak?”
Sepertinya
Lily ingin mengatakan “Ippai (banyak-banyak)”,
bukan “Oppai”.
Saat aku
mengoreksi tentang hal tersebut, wajah
Lily berubah menjadi malu-malu.
“Aku
salah.”
Ekspresi
percaya dirinya tadi langsung berubah menjadi cemberut.
Dia
tampak tidak senang.
『Semua orang pasti pernah salah.
Jangan terlalu mempersalahkan hal-hal kecil. 』
Sepertinya
dia merasa kalau aku sedang mencari-cari kesalahannya.
Salah
menyebut ‘i’ menjadi ‘o’
bukan kesalahan besar, dan maknanya masih tersampaikan, jadi seharusnya aku tak
perlu mengomentarinya.
Tapi
kesalahan kali ini memang cukup buruk.
『Ah, itu... Bukan berarti aku
mempersalahkanmu, sih. Tapi ‘Ippai’
dan ‘Oppai’ itu
maknanya jadi sangat berbeda, lho... 』
『...Jadi ‘Oppai’ mempunyai makna tertentu? 』
『Ah, iya. 』
『Memangnya artinya apa? 』
Apa
aku harus mengatakannya?
Aku
merasa akan dimarahi secara tidak masuk akal.
Sejenak
aku ragu-ragu, tapi sebaiknya aku menjelaskannya demi ke depannya.
Dia pasti
tidak akan melakukan kesalahan sekeras ini lagi.
Arti
‘Oppai’ dalam bahasa Inggris itu apaan ya?
Chest
itu dada, tapi artinya masih kurang tepat...
“Mungkin
tits?”
Saat aku
menjawab begitu, wajah Lily langsung kaku.
Perlahan-lahan,
kulitnya yang putih berubah menjadi
memerah.
Lalu Lily
menutupi dadanya dengan kedua tangannya.
『Kalau itu sih jangan
dimakan! Dasar
Souta mesum! 』
“Padahal
kamu sendiri yang bilang...”
※※※※
“Bagaimana
rasanya?”
“Rasanya enak
sekali. Kamu memang hebat.”
Rasanya sudah mirip seperti omurice biasa yang sudah familiar. Dengan kata lain, rasanya sangat enak.
“Sudah
pasti,”
Lily
mengembuskan dadanya dengan
bangga setelah mendengar perkataanku.
Tanpa
sadar pandanganku hampir tertarik ke arah dadanya, jadi aku segera mengalihkan ke arah omurice.
Ucapannya
tadi “Silakan makan Oppai-ku” masih terngiang-ngiang di dalam ingatanku.
“Rasanya
memang sempurna ya,”
Lily juga
berkata sambil menyantap omelet nasinya sendiri.
Dari kata
“rasanya”, berarti ada aspek lain yang
masih membuatnya kurang puas.
Memang
benar, bentuk omelet nasi yang dimakan Lily terlihat sedikit berantakan.
“Apa ada yang bisa kuperbaiki?”
“Hal
yang bisa diperbaiki ya...”
Tampaknya
Lily merasa kalau masakannya
masih belum sempurna. Daripada
mengatakan “Ini sudah
sempurna kok”,
sebaiknya aku memberi sedikit saran.
Meskipun
sebenarnya, soal rasa
tidak ada masalah.
Dari segi
tampilan, omelet nasinya yang kumakan juga terlihat rapi...
“Kalau itu aku, mungkin aku akan menambahkan sup.”
“Sup
ya?”
“Iya.
Bukan yang ribet, cuma melarutkan consommé saja
sudah cukup.”
Dengan melarutkan
consommé ke dalam panci, lalu menambahkan bawang
bombay bekas membuat omelet, mana itu
akan membuat sup yang lumayan.
Secara
pribadi, aku merasa makanan apapun akan lebih enak jika disajikan dengan
semacam kuah.
“Baiklah,
lain kali aku akan melakukan itu.”
“Tapi
itu kalau ada waktu luang saja, ya.”
Memasak
makanan rumahan seharusnya bisa
dilakukan dengan sedikit mengambil jalan pintas.
Jika
setiap hari harus membuat makanan yang rumit, rasanya
pasti akan melelahkan.
Saat aku
menyampaikan pemikiranku mengenai hal itu,
Lily mengangguk seolah-olah
memahaminya.
『Ibunda ku mengajarkan, aku hanya perlu membuat makanan
sederhana yang cepat dan lumayan enak untuk menjadi orang dewasa yang mandiri』
Orang
dewasa yang mandiri...?
Aku jadi
bertanya-tanya, apa yang diajarkan pada seorang bangsawan yang datang untuk
belajar bahasa ini.
“Aku
akan terus berusaha mulai sekarang.
Harap nantikan itu.”
“Ah...
Iya.”
Selain
urusan rumah tangga, semoga kamu
juga semakin rajin belajar bahasanya ya?
Selesai
makan, kami membereskan peralatan makan
dan bergantian mandi.
Aku mandi
duluan, lalu Lily yang selanjutnya.
Saat aku
sibuk memainkan ponselku di sofa ruang tamu, aku
mendengar suara dari arah kamar mandi.
“Aku sudah
selesai.”
Lily
keluar dari kamar mandi sambil
mengeringkan rambutnya dengan handuk. Dia
mengenakan lingerie seperti biasa. Terkadang
terlihat suci, tapi juga erotis secara bersamaan.
“Souta.”
“....Apa?”
Lily
duduk tepat di sampingku.
Jaraknya
tetap dekat seperti biasa.
“Ada
sesuatu yang ingin kutanyakan.”
Dengan
ekspresi serius, Lily semakin mendekatkan dirinya
denganku.
Seperti
biasa, wajahnya terlihat seperti sebuah karya seni. Saat aku melihat mata biru yang
seperti permata itu membuatku jadi gugup.
“A-Apa
itu?”
“Souta, tentang aku...”
Lily
menghentikan kalimatnya di situ.
Jangan
berhenti dong, aku jadi penasaran!
『Ibunda Souta sering pulang sampai larut malam ya, ‘kan? 』
Lily
beralih mengatakannya ke dalam bahasa
Inggris.
Mungkin
dia tidak tahu harus berkata apa dalam bahasa Jepang. Meskipun aku merasa kalau perkataannya itu tidak terhubung dengan kalimat
sebelumnya.
『Bolehkah aku menanyakan alasannya?
...Tapi sepertinya kamu tidak punya masalah kesulitan dalam keuangan』
Jika dilihat
dari masyarakat awam, keluargaku termasuk golongan yang cukup berada.
Ibuku mempunyai penghasilan yang cukup untuk
bisa menyekolahkan putranya ke program pertukaran pelajar.
Meskipun
penghasilannya cukup besar, bagi Lily hal itu tampak aneh karena ibuku selalu sibuk bekerja.
『Itu bukan
karena ibuku sibuk dengan pekerjaannya...
tapi mungkin karena dia memang suka? Yah, meskipun terlihat begitu, dia adalah
seorang direktur perusahaan. 』
Dia
tampaknya adalah orang
yang bisa menganggap pekerjaannya
sebagai hobi.
Dia lebih
suka berada di kantor daripada di rumah.
『Begitu ya. ...Boleh aku tanya
satu hal lagi? Mungkin ini akan membuatmu tidak nyaman, tapi—』
『Kamu ingin menanyakan dengan
keadaan Ayahku?』
Saat aku
bmenyela perkataannya dengan
senyum maklum, ekspresi Lily berubah serius.
Memang
wajar jika dia merasa penasaran.
Mungkin seharusnya
aku perlu menceritakan hal ini kepadanya lebih
awal.
『Mereka
hanya bercerai. Tapi ia baik-baik saja kok.』
『...Be-Bercerai?』
Lily
bergumam dengan suara yang terdengar serius.
Melihat sikapnya
yang terlalu serius membuatku hampir tertawa.
『Mereka
masih sering berkomunikasi dan terkadang juga bertemu. Hubungan mereka juga langgeng-langgeng saja.
Dia dan ibuku hanya tidak cocok dengan cara hidup mereka masing-masing. 』
『B-Begitu ya? 』
『Lain kali jika ada kesempatan, aku akan memperkenalkannya padamu. 』
Aku
memberitahu bahwa hubungan orang tuaku
tidaklah canggung, dan Lily akhirnya menunjukkan ekspresi lega.
“Aku
tidak sabar untuk bisa
bertemu dengan Ayahanda.”
“Ah,
ya...”
...Maksdunya ayahku, ‘kan?
Jangan bilang kalau dia bermaksud memanggilnya 'ayahanda' dengan
sebutan formal begitu, ‘kan?