Bab 2 — Pria yang Bisa Membaca Pikiran Bagian 2
Kami
memasuki restoran sekitar jam 17.00, dan diizinkan untuk bersantai di dalam untuk
sementara waktu karena masih ada kursi yang tersedia, dan kami memutuskan untuk
makan malam menjelang matahari terbenam.
Tepat
pada saat perutku mulai keroncongan.
Aroma
sedap yang tercium dari ruang dapur membuatku lapar. Sudah lama sekali aku tidak
merasakan suasana dan aroma yang seperti ini.
“Ya, dua
set Shougayaki.”
Setelah
menunggu di meja selama beberapa menit, Yuri, yang mengenakan celemek dengan
nama restoran di atas pakaian kasualnya, membawakan kami makanan.
“Terima
kasih.”
“Itsuki,
kamu yakin tidak mau memakan hamburger?”
“Aku
sudah memakannya saat kursus musim panas tempo hari. Jadi kupikir aku akan
mencoba menu yang berbeda hari ini.”
Yuri membawakan
shougayaki untuk kami selama acara barbekyu, tapi Hinako dan para Ojou-sama
lainnnya begitu asyik dengan makanan itu sehingga aku bahkan tidak sempat
mencicipinya.
“Itadakimasu.”
Baku
menyatukan kedua tekapak tanganku dan mulai menikmati makanan yang sudah
disiapkan.
Aku
menaruh daging babi dan bawang putih yang dilumuri saus di atas nasi dan
memasukkannya ke dalam mulutku sekaligus.
“Ya,
rasanya tetap enak seperti biasanya. Apa kamu yang membuat ini, Yuri?”
“Hanya
supnya saja sih. Sebagian besar lainnya dibuat oleh ayah.”
Kalau
begitu mari kita cicipi supnya juga.
Ada
banyak variasi sup yang disajikan dengan paket makanan di Restoran Hiramaru,
seperti sup miso dan sup ala Cina, tetapi yang disajikan dengan set menu
Shougayaki adalah sup sederhana dengan daun bawang dan rumput laut. shougayaki
memiliki rasa yang kuat, sehingga kuahnya harus terasa lebih ringan.
Supnya
sangat mudah diminum dan memiliki rasa yang cocok dengan makanannya.
“Rasanya
sangat lezat.”
“Kamu
tidak perlu repot-repot untuk memujiku. Tapi yah, aku tetap merasa senang, sih.”
Tampaknya
dia cukup puas dengan perkataanku.
Nyatanya,
rasanya sangat enak sampai-sampai ingin memujinya. Itu bukan sekedar pernyataan
formal maupun basa-basi semata.
“Bagaimana
denganmu, Konohana-san? Kuharap ini sesuai dengan seleramu.”
“Rasanya
enak sekali. Rasanya begitu lezat...... nyam.”
Gawat.
Rasanya
terlalu enak sampai-sampai jati diri Hinako yang asli hampir keluar.
Untungnya,
Yuri tidak menyadari perubahan pada diri Hinako dan merasa lega sambil berkata,
“Syukurlah”.
“Mungkin
aku akan memakannya juga. Ayah, aku ingin makan hidangan tiram goreng!”
“Oke!”
Ayah Yuri
yang berada di dapur menjawab dengan suara lantang.
“Yuri,
bagaimana pekerjaan paruh waktumu hari ini?”
“Rasanya
berat banget, tau, dalam artian banyak hal... Shizune-san, dia cukup spartan
dalam urusan pekerjaan.”
“Ah...benar
sekali.”
Akhirnya muncul juga seseorang yang dapat berbagi kekerasan
ini...
Merasa
sedikit terharu, aku mengangguk dengan keras.
“Tapi aku
jadi belajar banyak, tau!”
Yuri
berkata dengan mataya yang berbinar-binar.
“Aku
belum pernah memasak di dapur berkualitas tinggi seperti ini sebelumnya. Aku
punya pengalaman memasak makanan elegan saat bekerja paruh waktu di sebuah
resor, tapi di rumah Konohana-san, mereka bahkan lebih memperhatikan jumlah
bumbunya. Merela sangat perhitungan, dan mengetahui setiap detail fitur khusus
dari bahan-bahan seperti seorang ahli...Aku tahu ada teknik untuk mengubah suhu
peralatan makan agar sesuai dengan makanan yang disajikan, tapi aku baru
pertama kali melihat kalau ada orang yang benar-benar melakukannya.”
Sepertinya
dia mendapat pengalaman yang sangat bagus.
Yuri
sangat tabah dalam hal memasak. Dia dengan rakus mencari apa yang dia butuhkan,
dan sebaliknya, dia akan mengurangi apa pun yang menurutnya tidak perlu. Jarang
sekali Yuri bisa sebahagia ini.
“Ini dia,
hdangan set tiram goreng!”
“Terima
kasih.”
Yuri
berterima kasih kepada ayahnya dengan ringan karena telah membawakan makanan
tersebut. Ayah Yuri kemudian melihat piring di tanganku.
“Itsuki, porsi
segitu masih belum cukup, ‘kan? Ini, ada daging tambahan! Ayo dimakan,
dimakan!”
“Te-Terima
kasih banyak……”
Aku melihat
semakin banyak hidangan shougayaki yang ditambahkan ke dalam piringku, dan hatiku merasa
tidak nyaman.
Kira-kira apa aku bisa memakan semuanya...
“Ayah,
Itsuki jadi kesulitan tau.”
“Berisik.
Wajar saja bagi seorang pria untuk disuguhi makanan meskipun itu ssampai
membuatnya kesulitan.”
Setelah
mengatakan itu, ayah Yuri menatapku dengan serius.
“Tapi
Itsuki, kamu menjadi jauh lebih berotot setelah aku lama tidak bertemu
denganmu.”
“Apa
iya?”
“Iyalah. Badanmu jadi lebih berisi, dan kamu punya kekuatan
di matamu.”
“Mataku...?”
Ketika
aku bertanya balik, ayah Yuri mengangguk dalam-dalam.
“Aku
sempat khawatir saat kamu tiba-tiba menghilang, tapi sepertinya kamu menjalani kehidupan
yang layak dan memuaskan.”
Ayah Yuri
memasang ekspresi lega di wajahnya.
Aku
meletakkan sumpitku dan menundukkan kepalaku.
“Ya...
aku minta maaf karena sudah membuat anda khawatir.”
Ayah Yuri
adalah pria yang kolot, tapi dia adalah orang yang sangat perhatian, dan aku
menghormatinya. Makanya, meski diberi daging shougayaki dalam jumlah banyak,
aku akan menghabiskannya dengan benar. ...Meskipun jumlahnya masih ada banyak.
Faktanya,
jika orang ini memiliki pelanggan yang merupakan anak cowok SMA, ia biasanya
akan melayani mereka seperti ini. Setidaknya selama aku bekerja di restoran
sebagai koki, aku tidak mendapatkan perlakuan khusus hanya karena aku
mengenalnya. Itu tidak sopan bagi pelanggan lainnya.
Karena
berkat orang seperti inilah Yuri tumbuh menjadi gadis yang ceria dan penuh
perhatian. Orang-orang di rumah ini juga menyambutku dengan baik, meskipun
orang tuaku adalah orang yang punya banyak masalah.
Aku
sangat berterima kasih kepada mereka.
“Yah,
sejujurnya, aku tidak terlalu khawatir sih. Justru yang khawatiran banget itu
Yuri…”
“Ya… aku
juga sudah meminta maaf pada Yuri.”
“Karena dia
sudah lama tidak bertemu denganmu untuk sementara waktu, si Yuri benar-benar
merasa tertekan, tahu? Ketika aku secara diam-diam pergi ke kamarnya untuk melihat
keadaannya, dia duduk bersila di sudut sambil terus-menerus mengatakan, 'Apa aku mengatakan sesuatu yang aneh?'
'Apakah aku dihindari?' ….”
“Waaaaaaaaaaaaaaaaah!
Ayah!! Diamlah!!”
“Ups,
sepertinya nasi sudah matang.”
Sementara
putrinya marah dengan wajah yang memerah, ayah Yuri justru pergi dengan tenang.
Yuri
diam-diam hanya menatapku dengan tajam.
Aku
membungkukkan kepala dengan tulus.
“Umm, aku
benar-benar minta maaf karena sudah membuatmu khawatir.”
“...Sudah,
jangan terlalu dipikirin. Kita sudah membahas hal itu saat kursus musim panas, ‘kan?
Ampun deh, ayahku selalu saja bicara hal-hal yang tidak perlu pada waktu yang
tidak tepat.”
Yuri
mengeluh demikian sambil menghela nafas.
Ketika
melihat situasi yang seperti ini, aku tanpa sadar tersenyum.
“Sudah
lama sejak kita melakukan interaksi seperti ini.”
“...Itu
benar. Aku senang kita bisa melakukannya lagi.”
Yuri juga
sepertinya sudah pulih dari suasana hatinya yang buruk, dan tersenyum kecil.
Saat aku
tiba-tiba melihat ke arah Hinako di sebelahku... dia terlihat agak kesepian.
“Konohana-san?”
“...Iya.
Ada apa?”
Hinako
berbalik dengan senyum anggunnya yang biasa.
Aku
merasakan suasana yang penuh kesedihan, tapi mungkin itu hanya imajinasiku
saja. Aku menggelengkan kepalaku dengan membalas, “Tidak.”
Di depan
mataku, Yuri menatap wajah Hinako dengan penuh perhatian.
◇◇◇◇
[Sudut Pandang Yuri]
Setelah
selesai makan, Yuri segera kembali ke dapur untuk membantu pekerjaan. Di meja
belakang, Itsuki dan Hinako terlihat mesra dan tertawa gembira. Kadang-kadang
Itsuki menggosok perutnya, jelas sekali dia mungkin terlalu banyak makan.
Sepertinya lebih baik memberinya istirahat sejenak di restoran.
Tiba-tiba,
ayah Yuri yang sedang istirahat pergi ke meja Itsuki dan Hinako.
Itsuki
sedang bercerita dengan ayahnya tentang masa lalu. Di sebelahnya, Hinako
tersenyum lembut tanpa mengganggu percakapan mereka.
(...Benar-benar deh, dia gadis yang terlalu luar biasa bagi
Itsuki)
Dia imut,
anggun, dan sopan.
Dia
sungguh seperti sosok keberadaan yang sulit dicapai. Setiap kali dia
melihatnya, Yuri selalu berpikir demikian.
Namun,
jarak antara keduanya nampaknya tidak berubah banyak sejak kursus musim panas.
Meskipun
terlihat bisa melakukan segalanya, tampaknya dia masih awam dalam hubungan
antar lawan jenis.
“Konohana-san,
ayo ke sini.”
Yuri
mengundang Hinako.
Hinako memiringkan
kepalanya dengan sedikit bingung, tapi akhirnya mendekati Yuriko.
“Iya, ada
apa?”
“Kedua
orang itu biasanya terus berbicara lama. Bagaimana kalau kita juga
mengobrol-ngobrol sebentar?”
“Mengobrol?”
“Iya.
Hanya dengan kita berdua saja.”
Yuri
dengan lantang memberitahu ke arah dapur, “Aku istirahat sebentar!” sambil
melepas celemeknya. Segera terdengar jawaban ramah dari arah dapur, “Siap!”.
Ternyata itu adalah seorang wanita yang baru saja dipekerjakan oleh ayahnya,
sangat pandai dan dapat diandalkan.
“Ikuti
aku.”
Yuri
membawa Hinako ke bagian belakang restoran.
Mereka
sampai di ujung tangga dan terlihat dua pintu. Yuri membuka pintu kiri dan
mengajak Hinako masuk ke kamarnya sendiri.
“Maaf ya kalau
kamarku terlihat berantakan. Pagi tadi saat bekerja paruh waktu, aku bingung
harus pakai baju apa untuk ke rumah Konohana-san jadi aku membongkar semua isi
lemariku.”
“Iya,
tidak apa-apa, kok.”
Sambil
berkata demikian, Hinako tampak penasaran dengan melihat sekelilingnya.
Pagi ini,
Yuri dibuat terkesima dengan interior mewah kediaman keluarga Konohana, namun
ruangan ini sangat berbeda. Mungkin bagi rakyat biasa ini adalah ruang yang
biasa, tapi bagi seorang Ojou-sama, jal tersebut mungkin berbeda.
“Foto
ini...”
Hinako
tiba-tiba tertarik pada satu foto yang terpajang di meja.
Foto itu
menampilkan Yuri dan Itsuki yang mengenakan seragam olahraga dan ikat kepala.
“Foto ini
diambil saat festival olahraga di sekolah SD dulu. ...Pada saat itu, aku lebih
cepat darinya daripada sekarang."
“Benarkah?”
“Itsuki
mulai bisa olahraga sekitar kelas 6. Sebelum itu, dia terlihat cukup lamban.”
Hinako
tampak tertarik dengan cerita itu.
Melihat
itu, Yuriko menawarkan, “Mau melihatn? Foto Itsuki?”
“...Iya, karena
sudah ditawarkan.”
Mungkin
Hinako berpikir bahwa dia bisa menyembunyikan perasaannya dengan berkata “karena sudah ditawarkan”...
Itulah
yang dipikirkan Yuri, tapi dia dengan gembira membuka laci meja untuk
menunjukkan koleksi foto Itsuki yang sudah lama dia sembunyikan!
Dari laci
atas, dia mengeluarkan sebuah album.
Ketika
album dibuka, Hinako dibuat terpaku sejenak.
“Ini...?”
“Ini dalah
foto saat acara pengamatan kelas di SMP.”
“Pengamatan
kelas?”
“Memangnya
acara itu tidak ada di Akademi Kekaisaran? Ini adalah acara di mana orangtua
datang untuk melihat bagaimana anak mereka belajar...”
“Kami
tidak memiliki acara seperti itu. Orangtua kami sering sibuk.”
Yuri
sangat memahami alasan itu.
Orang tua
Itsuki juga tidak datang untuk mengamati kelas ini, tapi itu bukan karena
mereka sibuk.
“Saat bersama
teman-temannya dulu, Tomonari-kun terlihat agak... gimana ya..."
Sambil
melihat foto Itsuki saat SMP, Hinako terlihat bingung.
“Tatapan
mata dan ekspresinya sedikit tajam, bukan?”
“Iy-Iya...”
“Kalau
dipikir-pikir lagi sekarang, Itsuki agak kasar waktu itu. Ketika sudah menjadi
remaja, mau tidak mau ia jadi bisa merasakan perbedaan lingkungan keluarganya
dengan orang lain.”
Entah itu
kunjungan kelas atau festival olahraga, ada banyak kesempatan untuk bertemu
dengan orang tua teman sekelas. Hal-hal yang tidak terlalu dipedulikan saat
masih bocah SD bisa berubah ketika menjadi remaja yang gampang dipengaruhi.
“Tapi
lihatlah, kadang-kadang ia juga bisa memiliki wajah manis seperti ini.”
“Ini... ekspresinya
memang lucu ya.”
"Ketika
aku membuatkan kue ulang tahun untuknya, ia terlihat sangat senang sekali sampai
melebihi ekspektasi.”
Itu
adalah foto Itsuki dengan senyuman cerah sembari mengunyah kue. Awalnya, Yur
dan yang lainnya senang melihat Itsuki begitu gembira, tetapi ketika Itsuki
mengatakan bahwa itu adalah pertama kalinya ia memakan kue ulang tahun, hampir
membuat mereka menangis dalam banyak arti. Namun, itu juga menjadi kenangan
yang baik.
“Ini... apa
ini foto di depan gerbang sekolah SMA?”
“Iya. Ini
adalah foto yang diambil saat upacara masuk sekolah.”
Yuri dan
Itsuki berfoto dengan pose berdiri berdampingan di depan gerbang SMA.
Pada saat
itu, Itsuki mungkin tidak pernah membayangkan akan masuk ke Akademi
Kekaisaran...
“Tomonari-kun,
ia terlihat agak mengantuk ya?”
“Pada
hari upacara masuk sekolah, orang ini malah bekerja sebagai pengantar koran.
Karena itu ia jadi lelah dan akhirnya tertidur selama upacara masuk sekolah.”
Tanpa
sadar, ketika Yuri mengomentari “Memangnya
kamu ini bodoh apa?” Itsuki pun mengakui, “Ya, aku memang bodoh.”
Karena
sifatnya seperti itu, Yuri sering kali khawatir tentangnya.
“Kalau
kamu tidak keberatan melihatnya di ponsel, aku masih punya banyak foto
lainnya.”
Yuri
membuka folder gambar di ponselnya dan menunjukkan layar ponselnya kepada
Hinako.
“Oh, ini
foto yang lebih baru ya.”
“Iya. Itu
foto diambil setengah tahun yang lalu di kelas.”
“Ini...
bukankah wajahnya kelihatan sedikit murung?”
“Kamu
tahu betul ya. Itu karena hasil ujian berkalanya tidak begitu bagus.”
Percakapan
yang meriah di antara gadis-gadis itu berlanjut untuk beberapa saat.
Hinako
sedang menatap layar smartphone Yuri dengan ekspresi penasaran di wajahnya.
“Hirano-san,
apa kamu sering mengambil foto dengan Tomonari-kun?”
“Bisa
dibilang begitu. Yah, orang tua Itsuki kurang peduli dengan hal seperti ini,
atau mungkin tidak punya uang untuk membeli kamera... jadi orang tuaku yang
mengambil gambar Itsuki sebagai gantinya.”
Jadi
foto-foto itu sudah diambil dan diberikan kepada Itsuki.
“Meskipun
begitu, keluargaku hanya melakukan itu seenaknya sendiri, aku tidak tahu apa
yang Itsuki pikirkan tentang hal itu.”
Yuri berkata
sambil tersenyum ringan.
Itsuki
juga memiliki sifat yang acuh tak acuh terhadap dirinya sendiri. Saat foto-foto
itu diberikan, mungkin Itsuki merasa bersyukur, tetapi sebenarnya tidak tahu
apa yang dipikirkannya.
“...
Kurasa ia pasti akan menghargainya.”
Hinako
berkata dengan suara lembut.
Hinako
mengingat. ―― Beberapa waktu yang lalu, saat meminjam kamus elektronik dari
Itsuki, Itsuki membuka laci meja. Hinako hanya sempat melihat sekilas ke
dalamnya.
“Ada foto
di laci teratas meja yang digunakan Tomonari-kun... Aku yakin kalau ia merasa bahwa
itu adalah sesuatu yang berharga.”
“...
Begitu ya.”
Itsuki
menyimpan foto-foto di tempat yang sama dengan Yuriko.
Pasti
Itsuki juga menghargai kenangan masa lalu.
“Tomonari-kun
terlihat sangat bahagia ya.”
Hinako
berkata dengan nada sedikit melankolis saat melihat foto Itsuki.
Melihat
ekspresi Hinako yang begitu, Yuriko merasa heran.
Mengapa dia memasang ekspresi seperti itu?
Hinako
sekarang sering menunjukkan ekspresi murung daripada saat kursus musim panas.
Seolah-olah――
ada jarak yang semakin menjauh antara dirinya dan Itsuki dibandingkan
sebelumnya.
“... Aku
hampir melupakan topik utama.”
Melihat
ekspresi Hinako, Yuriko teringat alasan mengapa dia mengundangnya ke
ruangannya.
“Jadi,
begini, aku ingin tahu bagaimana keadaanmu belakangan ini...”
“Keadaanku...?”
Yuri
memberikan tatapan rumit pada Hinako yang memiringkan kepalanya.
Apa yang
sebaiknya dikatakan? Meskipun dia mengutarakan hal itu dengan cara yang
berbelit-belit, sepertinya Ojou-sama yang sopan ini tidak akan memahaminya…
“Ehm,
jadi... Kamu ingat apa yang pernah kukatakan di akhir kursus musim panas?
Ketika kupikir-pikir lagi, rasanya aku terlalu ikut campur, ya~”
Ahaha, kata Yuri sambil tersenyum
getir.
Meskipun
pada kenyataannya dia memang merasa terlalu ikut campir—tapi dia tidak menyesalinya.
Pada saat
itu, Yuri merasa bahwa dia harus mengatakannya. Hinako, yang tidak menyadari
perasaannya sendiri, tampaknya akan terus terluka dengan canggung. Yuri tidak
bisa mengabaikan gadis yang seperti itu.
Namun,
jika dia semakin bingung maka itu semua tidak ada artinya sama sekali.
Yuri berharap
Hinako, yang bertemu kembali setelah kursus musim panas, akan menunjukkan
tanda-tanda pemulihan dalam berbagai hal, namun kenyataannya Hinako tampak lebih
tertekan daripada sebelumnya.
“Mengenai
hal itu, sebenarnya aku juga ingin berkonsultasi dengan Hirano-san.”
“Ya,
ceritakan saja.”
Yuri
menunggu kata-kata Hinako.
Hinako
kemudian perlahan-lahan membuka mulutnya.
“Apa
maksud sebenarnya dari 'suka'?”
Pertanyaan
itu membuat Yuri terdiam sejenak.
“...Maksud
sebenarnya dari 'suka', ya.”
Dalam zaman
di mana drama dan manga percintaan diproduksi dalam jumlah besar, sulit
dipercaya bahwa masih ada orang yang mengajukan pertanyaan seperti itu...
Hinako bertanya
dengan tatapan polosnya, sehingga itu membuat Yuri malu hingga wajahnya
memerah.
Dia adalah gadis lugu yang tampaknya hanya ada dalam dunia
manga dan drama.
Sampai
pada titik ini, dia bahkan terlihat seperti Ojou-sama yang dibuat-buat.
“Tunggu
sebentar... Aku sedang memikirkan apa ada cara yang baik untuk menjelaskannya?”
Yuri bisa
dengan mudah menjelaskan makna kata yang dicari dalam kamus. Namun, mungkin
Ojou-sama di depannya ingin tahu hal lain.
Bagaimana
caranya mengajarkan perasaan 'suka' dan
konsep cinta pada gadis ini?
Setelah
beberapa menit berpikir, akhirnya Yuri tidak bisa memberikan jawaban.
◆◆◆◆
[Sudut Pandang Itsuki]
Kami
meninggalkan restoran keluarga Yuri dengan perut kenyang.
Setelah memberi
salam kepada ayah Yuri, kami berbicara sebentar dengan Yuri di depan restoran.
“Konohana-san.
Kita akan menunda mengenai konsultasi tadi untuk sementara waktu. Jika ada
sesuatu yang bisa aku ajarkan lagi, aku akan menghubungimu.”
“Tentu,
aku akan menunggu kabar darimu.”
Apa yang sedang mereka bicarakan...?
Aku tahu
bahwa selama aku mengobrol dengan ayahnya Yuri, mereka berdua pergi sebentar,
mungkin mereka sedang berkonsultasi tentang sesuatu.
“Apa yang
kamu bicarakan dengan Yuri?”
“Uhmm... rahasia.”
Aku
mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa mungkin sebaiknya aku tidak memaksakan
diri untuk bertanya, tapi sejujurnya aku masih merasa khawatir.
Dia
biasanya memberitahuku segalanya lebih dari yang diperlukan, jadi aku merasa
frustrasi ketika dia menyimpan rahasia.
“Itsuki...
apa kamu berhubungan baik dengan ayah Hirano-san?”
“Yah, ia
telah banyak membantu. Bahkan ketika aku bekerja paruh waktu di rumah Yuri...
Mungkin beliau sudah melakukan banyak hal yang lebih seperti keluarga daripada
orang tua kandungku sendiri.”
Pada hari
upacara masuk SMA, aku berfoto bersama keluarga Yuri bukan dengan orang tuaku.
Orang tuaku
jarang sekali hadir dalam acara sekolahku. Keluarga Yuri sudah bersikap sangat
baik padaku, hampir seperti keluarga sendiri.
Jadi
bagiku, rumah Yuri terasa hangat.
Aku
merasakan suasana yang begitu akrab dan nyaman, hingga membuat aku tidak merasa
terlalu asing di rumah sendiri.
(...Aku merasa iri.)
Perasaan
yang telah lama kulupakan, tiba-tiba muncul kembali setelah sekian lama.
Saat aku
melihat keluarga yang begitu harmonis, aku terkadang merasa iri. Melihat mereka
makan bersama atau bercengkrama dengan penuh keceriaan... aKU merasa haus akan
hubungan hangat semacam itu.
Misalnya,
saat membuka pintu rumah, ada seseorang yang lembut menyambut dengan kata-kata
“Selamat datang di rumah”... Aku seringkali merindukan kehidupan sehari-hari seperti
itu.
Aku dengan
pasrah menerima keadaanku sendiri, tapi kadang-kadang perasaan seperti itu
muncul.
Ini
seperti penyakit yang aku miliki... atau semacam obsesi.
“Aku
pulang.”
Saat aku
membuka pintu rumah, aku secara refleks mengucapkan kata-kata tersebut.
Meskipun takkan ada yang membalasnya.
...Saat aku berpikir begitu,
“Selamat
datang kembali di rumah.”
Shizune-san
yang sedang mencuci piring di dapur, menoleh dan membalikkan badannya ke arahku.
Selamat
datang kembali di rumah. ―― Aku tidak pernah menyangka akan mendengar kata-kata
itu, jadi aku sedikit tercengang sejenak.
“Apa ada
yang salah?”
“......Tidak,
hanya saja...”
Aku
memalingkan pandanganku dari Shizune-san yang tampak bingung.
Itulah
kata-kata yang paling kuinginkan dalam hatiku saat ini. Meskipun aku sempat berpikir
bahwa itu tidak akan terwujud, tiba-tiba aku mendapatkannya dan kepalaku
menjadi kosong.
Sambil
menahan air mata yang mulai terasa di sudut mataku, aku menatap Shizune-san.
“Aku
merasa bersyukur ada seseorang di rumah...”
“.....Aku
mengerti bagaimana perasaanmu.”
Shizune-san
tersenyum lembut.
Baru
sekarang aku menyadari mengapa aku saat ini melupakan betapa irinya diriku terhadap
keluarga yang harmonis.
Itu
karena aku sudah merasa puas sekarang karena aku menghabiskan waktu bersama Hinako
dan yang lainnya.
“Aku akan
membantu mencuci piring juga.”
“Kamu ‘kan baru saja pulang, jadi
silakan istirahat saja dulu.”
“Tidak,
izinkan aku untuk membantu.”
Ketika
aku mengatakan itu, Shizune-san mengangguk dengan ekspresi heran. “Baiklah,
terima kasih,” katanya.
Suasana
yang hangat dan akrab juga ada di sini.
Mampu berpikir dan merasakan hal seperti itu membuatku lebih bahagia dari apa pun.