[LN] Saijou no Osewa Jilid 5 Bab 2 Bagian 2 Bahasa Indonesia

Bab 2 — Pria yang Bisa Membaca Pikiran Bagian 2 

 

Kami memasuki restoran sekitar jam 17.00, dan diizinkan untuk bersantai di dalam untuk sementara waktu karena masih ada kursi yang tersedia, dan kami memutuskan untuk makan malam menjelang matahari terbenam.

Tepat pada saat perutku mulai keroncongan.

Aroma sedap yang tercium dari ruang dapur membuatku lapar. Sudah lama sekali aku tidak merasakan suasana dan aroma yang seperti ini.

“Ya, dua set Shougayaki.”

Setelah menunggu di meja selama beberapa menit, Yuri, yang mengenakan celemek dengan nama restoran di atas pakaian kasualnya, membawakan kami makanan.

“Terima kasih.”

“Itsuki, kamu yakin tidak mau memakan hamburger?”

“Aku sudah memakannya saat kursus musim panas tempo hari. Jadi kupikir aku akan mencoba menu yang berbeda hari ini.”

Yuri membawakan shougayaki untuk kami selama acara barbekyu, tapi Hinako dan para Ojou-sama lainnnya begitu asyik dengan makanan itu sehingga aku bahkan tidak sempat mencicipinya.

Itadakimasu.”

Baku menyatukan kedua tekapak tanganku dan mulai menikmati makanan yang sudah disiapkan.

Aku menaruh daging babi dan bawang putih yang dilumuri saus di atas nasi dan memasukkannya ke dalam mulutku sekaligus.

“Ya, rasanya tetap enak seperti biasanya. Apa kamu yang membuat ini, Yuri?”

“Hanya supnya saja sih. Sebagian besar lainnya dibuat oleh ayah.”

Kalau begitu mari kita cicipi supnya juga.

Ada banyak variasi sup yang disajikan dengan paket makanan di Restoran Hiramaru, seperti sup miso dan sup ala Cina, tetapi yang disajikan dengan set menu Shougayaki adalah sup sederhana dengan daun bawang dan rumput laut. shougayaki memiliki rasa yang kuat, sehingga kuahnya harus terasa lebih ringan.

Supnya sangat mudah diminum dan memiliki rasa yang cocok dengan makanannya.

“Rasanya sangat lezat.”

“Kamu tidak perlu repot-repot untuk memujiku. Tapi yah, aku tetap merasa senang, sih.”

Tampaknya dia cukup puas dengan perkataanku.

Nyatanya, rasanya sangat enak sampai-sampai ingin memujinya. Itu bukan sekedar pernyataan formal maupun basa-basi semata.

“Bagaimana denganmu, Konohana-san? Kuharap ini sesuai dengan seleramu.”

“Rasanya enak sekali. Rasanya begitu lezat...... nyam.”

Gawat.

Rasanya terlalu enak sampai-sampai jati diri Hinako yang asli hampir keluar.

Untungnya, Yuri tidak menyadari perubahan pada diri Hinako dan merasa lega sambil berkata, “Syukurlah”.

“Mungkin aku akan memakannya juga. Ayah, aku ingin makan hidangan tiram goreng!”

“Oke!”

Ayah Yuri yang berada di dapur menjawab dengan suara lantang.

“Yuri, bagaimana pekerjaan paruh waktumu hari ini?”

“Rasanya berat banget, tau, dalam artian banyak hal... Shizune-san, dia cukup spartan dalam urusan pekerjaan.”

“Ah...benar sekali.”

Akhirnya muncul juga seseorang yang dapat berbagi kekerasan ini...

Merasa sedikit terharu, aku mengangguk dengan keras.

“Tapi aku jadi belajar banyak, tau!”

Yuri berkata dengan mataya yang berbinar-binar.

“Aku belum pernah memasak di dapur berkualitas tinggi seperti ini sebelumnya. Aku punya pengalaman memasak makanan elegan saat bekerja paruh waktu di sebuah resor, tapi di rumah Konohana-san, mereka bahkan lebih memperhatikan jumlah bumbunya. Merela sangat perhitungan, dan mengetahui setiap detail fitur khusus dari bahan-bahan seperti seorang ahli...Aku tahu ada teknik untuk mengubah suhu peralatan makan agar sesuai dengan makanan yang disajikan, tapi aku baru pertama kali melihat kalau ada orang yang benar-benar melakukannya.”

Sepertinya dia mendapat pengalaman yang sangat bagus.

Yuri sangat tabah dalam hal memasak. Dia dengan rakus mencari apa yang dia butuhkan, dan sebaliknya, dia akan mengurangi apa pun yang menurutnya tidak perlu. Jarang sekali Yuri bisa sebahagia ini.

“Ini dia, hdangan set tiram goreng!”

“Terima kasih.”

Yuri berterima kasih kepada ayahnya dengan ringan karena telah membawakan makanan tersebut. Ayah Yuri kemudian melihat piring di tanganku.

“Itsuki, porsi segitu masih belum cukup, ‘kan? Ini, ada daging tambahan! Ayo dimakan, dimakan!”

“Te-Terima kasih banyak……”

Aku melihat semakin banyak hidangan shougayaki yang ditambahkan ke dalam piringku, dan hatiku merasa tidak nyaman.

Kira-kira apa aku bisa memakan semuanya...

“Ayah, Itsuki jadi kesulitan tau.”

“Berisik. Wajar saja bagi seorang pria untuk disuguhi makanan meskipun itu ssampai membuatnya kesulitan.”

Setelah mengatakan itu, ayah Yuri menatapku dengan serius.

“Tapi Itsuki, kamu menjadi jauh lebih berotot setelah aku lama tidak bertemu denganmu.”

“Apa iya?”

“Iyalah. Badanmu jadi lebih berisi, dan kamu punya kekuatan di matamu.”

“Mataku...?”

Ketika aku bertanya balik, ayah Yuri mengangguk dalam-dalam.

“Aku sempat khawatir saat kamu tiba-tiba menghilang, tapi sepertinya kamu menjalani kehidupan yang layak dan memuaskan.”

Ayah Yuri memasang ekspresi lega di wajahnya.

Aku meletakkan sumpitku dan menundukkan kepalaku.

“Ya... aku minta maaf karena sudah membuat anda khawatir.”

Ayah Yuri adalah pria yang kolot, tapi dia adalah orang yang sangat perhatian, dan aku menghormatinya. Makanya, meski diberi daging shougayaki dalam jumlah banyak, aku akan menghabiskannya dengan benar. ...Meskipun jumlahnya masih ada banyak.

Faktanya, jika orang ini memiliki pelanggan yang merupakan anak cowok SMA, ia biasanya akan melayani mereka seperti ini. Setidaknya selama aku bekerja di restoran sebagai koki, aku tidak mendapatkan perlakuan khusus hanya karena aku mengenalnya. Itu tidak sopan bagi pelanggan lainnya.

Karena berkat orang seperti inilah Yuri tumbuh menjadi gadis yang ceria dan penuh perhatian. Orang-orang di rumah ini juga menyambutku dengan baik, meskipun orang tuaku adalah orang yang punya banyak masalah.

Aku sangat berterima kasih kepada mereka.

“Yah, sejujurnya, aku tidak terlalu khawatir sih. Justru yang khawatiran banget itu Yuri…”

“Ya… aku juga sudah meminta maaf pada Yuri.”

“Karena dia sudah lama tidak bertemu denganmu untuk sementara waktu, si Yuri benar-benar merasa tertekan, tahu? Ketika aku secara diam-diam pergi ke kamarnya untuk melihat keadaannya, dia duduk bersila di sudut sambil terus-menerus mengatakan, 'Apa aku mengatakan sesuatu yang aneh?' 'Apakah aku dihindari?' ….”

“Waaaaaaaaaaaaaaaaah! Ayah!! Diamlah!!”

“Ups, sepertinya nasi sudah matang.”

Sementara putrinya marah dengan wajah yang memerah, ayah Yuri justru pergi dengan tenang.

Yuri diam-diam hanya menatapku dengan tajam.

Aku membungkukkan kepala dengan tulus.

“Umm, aku benar-benar minta maaf karena sudah membuatmu khawatir.”

“...Sudah, jangan terlalu dipikirin. Kita sudah membahas hal itu saat kursus musim panas, ‘kan? Ampun deh, ayahku selalu saja bicara hal-hal yang tidak perlu pada waktu yang tidak tepat.”

Yuri mengeluh demikian sambil menghela nafas.

Ketika melihat situasi yang seperti ini, aku tanpa sadar tersenyum.

“Sudah lama sejak kita melakukan interaksi seperti ini.”

“...Itu benar. Aku senang kita bisa melakukannya lagi.”

Yuri juga sepertinya sudah pulih dari suasana hatinya yang buruk, dan tersenyum kecil.

Saat aku tiba-tiba melihat ke arah Hinako di sebelahku... dia terlihat agak kesepian.

“Konohana-san?”

“...Iya. Ada apa?”

Hinako berbalik dengan senyum anggunnya yang biasa.

Aku merasakan suasana yang penuh kesedihan, tapi mungkin itu hanya imajinasiku saja. Aku menggelengkan kepalaku dengan membalas, “Tidak.”

Di depan mataku, Yuri menatap wajah Hinako dengan penuh perhatian.

 

◇◇◇◇

[Sudut Pandang Yuri]

Setelah selesai makan, Yuri segera kembali ke dapur untuk membantu pekerjaan. Di meja belakang, Itsuki dan Hinako terlihat mesra dan tertawa gembira. Kadang-kadang Itsuki menggosok perutnya, jelas sekali dia mungkin terlalu banyak makan. Sepertinya lebih baik memberinya istirahat sejenak di restoran.

Tiba-tiba, ayah Yuri yang sedang istirahat pergi ke meja Itsuki dan Hinako.

Itsuki sedang bercerita dengan ayahnya tentang masa lalu. Di sebelahnya, Hinako tersenyum lembut tanpa mengganggu percakapan mereka.

(...Benar-benar deh, dia gadis yang terlalu luar biasa bagi Itsuki)

Dia imut, anggun, dan sopan.

Dia sungguh seperti sosok keberadaan yang sulit dicapai. Setiap kali dia melihatnya, Yuri selalu berpikir demikian.

Namun, jarak antara keduanya nampaknya tidak berubah banyak sejak kursus musim panas.

Meskipun terlihat bisa melakukan segalanya, tampaknya dia masih awam dalam hubungan antar lawan jenis.

“Konohana-san, ayo ke sini.”

Yuri mengundang Hinako.

Hinako memiringkan kepalanya dengan sedikit bingung, tapi akhirnya mendekati Yuriko.

“Iya, ada apa?”

“Kedua orang itu biasanya terus berbicara lama. Bagaimana kalau kita juga mengobrol-ngobrol sebentar?”

“Mengobrol?”

“Iya. Hanya dengan kita berdua saja.”

Yuri dengan lantang memberitahu ke arah dapur, “Aku istirahat sebentar!” sambil melepas celemeknya. Segera terdengar jawaban ramah dari arah dapur, “Siap!”. Ternyata itu adalah seorang wanita yang baru saja dipekerjakan oleh ayahnya, sangat pandai dan dapat diandalkan.

“Ikuti aku.”

Yuri membawa Hinako ke bagian belakang restoran.

Mereka sampai di ujung tangga dan terlihat dua pintu. Yuri membuka pintu kiri dan mengajak Hinako masuk ke kamarnya sendiri.

“Maaf ya kalau kamarku terlihat berantakan. Pagi tadi saat bekerja paruh waktu, aku bingung harus pakai baju apa untuk ke rumah Konohana-san jadi aku membongkar semua isi lemariku.”

“Iya, tidak apa-apa, kok.”

Sambil berkata demikian, Hinako tampak penasaran dengan melihat sekelilingnya.

Pagi ini, Yuri dibuat terkesima dengan interior mewah kediaman keluarga Konohana, namun ruangan ini sangat berbeda. Mungkin bagi rakyat biasa ini adalah ruang yang biasa, tapi bagi seorang Ojou-sama, jal tersebut mungkin berbeda.

“Foto ini...”

Hinako tiba-tiba tertarik pada satu foto yang terpajang di meja.

Foto itu menampilkan Yuri dan Itsuki yang mengenakan seragam olahraga dan ikat kepala.

“Foto ini diambil saat festival olahraga di sekolah SD dulu. ...Pada saat itu, aku lebih cepat darinya daripada sekarang."

“Benarkah?”

“Itsuki mulai bisa olahraga sekitar kelas 6. Sebelum itu, dia terlihat cukup lamban.”

Hinako tampak tertarik dengan cerita itu.

Melihat itu, Yuriko menawarkan, “Mau melihatn? Foto Itsuki?”

“...Iya, karena sudah ditawarkan.”

Mungkin Hinako berpikir bahwa dia bisa menyembunyikan perasaannya dengan berkata “karena sudah ditawarkan”...

Itulah yang dipikirkan Yuri, tapi dia dengan gembira membuka laci meja untuk menunjukkan koleksi foto Itsuki yang sudah lama dia sembunyikan!

Dari laci atas, dia mengeluarkan sebuah album.

Ketika album dibuka, Hinako dibuat terpaku sejenak.

“Ini...?”

“Ini dalah foto saat acara pengamatan kelas di SMP.”

“Pengamatan kelas?”

“Memangnya acara itu tidak ada di Akademi Kekaisaran? Ini adalah acara di mana orangtua datang untuk melihat bagaimana anak mereka belajar...”

“Kami tidak memiliki acara seperti itu. Orangtua kami sering sibuk.”

Yuri sangat memahami alasan itu.

Orang tua Itsuki juga tidak datang untuk mengamati kelas ini, tapi itu bukan karena mereka sibuk.

“Saat bersama teman-temannya dulu, Tomonari-kun terlihat agak... gimana ya..."

Sambil melihat foto Itsuki saat SMP, Hinako terlihat bingung.

“Tatapan mata dan ekspresinya sedikit tajam, bukan?”

“Iy-Iya...”

“Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, Itsuki agak kasar waktu itu. Ketika sudah menjadi remaja, mau tidak mau ia jadi bisa merasakan perbedaan lingkungan keluarganya dengan orang lain.”

Entah itu kunjungan kelas atau festival olahraga, ada banyak kesempatan untuk bertemu dengan orang tua teman sekelas. Hal-hal yang tidak terlalu dipedulikan saat masih bocah SD bisa berubah ketika menjadi remaja yang gampang dipengaruhi.

“Tapi lihatlah, kadang-kadang ia juga bisa memiliki wajah manis seperti ini.”

“Ini... ekspresinya memang lucu ya.”

"Ketika aku membuatkan kue ulang tahun untuknya, ia terlihat sangat senang sekali sampai melebihi ekspektasi.”

Itu adalah foto Itsuki dengan senyuman cerah sembari mengunyah kue. Awalnya, Yur dan yang lainnya senang melihat Itsuki begitu gembira, tetapi ketika Itsuki mengatakan bahwa itu adalah pertama kalinya ia memakan kue ulang tahun, hampir membuat mereka menangis dalam banyak arti. Namun, itu juga menjadi kenangan yang baik.

“Ini... apa ini foto di depan gerbang sekolah SMA?”

“Iya. Ini adalah foto yang diambil saat upacara masuk sekolah.”

Yuri dan Itsuki berfoto dengan pose berdiri berdampingan di depan gerbang SMA.

Pada saat itu, Itsuki mungkin tidak pernah membayangkan akan masuk ke Akademi Kekaisaran...

“Tomonari-kun, ia terlihat agak mengantuk ya?”

“Pada hari upacara masuk sekolah, orang ini malah bekerja sebagai pengantar koran. Karena itu ia jadi lelah dan akhirnya tertidur selama upacara masuk sekolah.”

Tanpa sadar, ketika Yuri mengomentari “Memangnya kamu ini bodoh apa?” Itsuki pun mengakui, “Ya, aku memang bodoh.”

Karena sifatnya seperti itu, Yuri sering kali khawatir tentangnya.

“Kalau kamu tidak keberatan melihatnya di ponsel, aku masih punya banyak foto lainnya.”

Yuri membuka folder gambar di ponselnya dan menunjukkan layar ponselnya kepada Hinako.

“Oh, ini foto yang lebih baru ya.”

“Iya. Itu foto diambil setengah tahun yang lalu di kelas.”

“Ini... bukankah wajahnya kelihatan sedikit murung?”

“Kamu tahu betul ya. Itu karena hasil ujian berkalanya tidak begitu bagus.”

Percakapan yang meriah di antara gadis-gadis itu berlanjut untuk beberapa saat.

Hinako sedang menatap layar smartphone Yuri dengan ekspresi penasaran di wajahnya.

“Hirano-san, apa kamu sering mengambil foto dengan Tomonari-kun?”

“Bisa dibilang begitu. Yah, orang tua Itsuki kurang peduli dengan hal seperti ini, atau mungkin tidak punya uang untuk membeli kamera... jadi orang tuaku yang mengambil gambar Itsuki sebagai gantinya.”

Jadi foto-foto itu sudah diambil dan diberikan kepada Itsuki.

“Meskipun begitu, keluargaku hanya melakukan itu seenaknya sendiri, aku tidak tahu apa yang Itsuki pikirkan tentang hal itu.”

Yuri berkata sambil tersenyum ringan.

Itsuki juga memiliki sifat yang acuh tak acuh terhadap dirinya sendiri. Saat foto-foto itu diberikan, mungkin Itsuki merasa bersyukur, tetapi sebenarnya tidak tahu apa yang dipikirkannya.

“... Kurasa ia pasti akan menghargainya.”

Hinako berkata dengan suara lembut.

Hinako mengingat. ―― Beberapa waktu yang lalu, saat meminjam kamus elektronik dari Itsuki, Itsuki membuka laci meja. Hinako hanya sempat melihat sekilas ke dalamnya.

“Ada foto di laci teratas meja yang digunakan Tomonari-kun... Aku yakin kalau ia merasa bahwa itu adalah sesuatu yang berharga.”

“... Begitu ya.”

Itsuki menyimpan foto-foto di tempat yang sama dengan Yuriko.

Pasti Itsuki juga menghargai kenangan masa lalu.

“Tomonari-kun terlihat sangat bahagia ya.”

Hinako berkata dengan nada sedikit melankolis saat melihat foto Itsuki.

Melihat ekspresi Hinako yang begitu, Yuriko merasa heran.

Mengapa dia memasang ekspresi seperti itu?

Hinako sekarang sering menunjukkan ekspresi murung daripada saat kursus musim panas.

Seolah-olah―― ada jarak yang semakin menjauh antara dirinya dan Itsuki dibandingkan sebelumnya.

“... Aku hampir melupakan topik utama.”

Melihat ekspresi Hinako, Yuriko teringat alasan mengapa dia mengundangnya ke ruangannya.

“Jadi, begini, aku ingin tahu bagaimana keadaanmu belakangan ini...”

“Keadaanku...?”

Yuri memberikan tatapan rumit pada Hinako yang memiringkan kepalanya.

Apa yang sebaiknya dikatakan? Meskipun dia mengutarakan hal itu dengan cara yang berbelit-belit, sepertinya Ojou-sama yang sopan ini tidak akan memahaminya…

“Ehm, jadi... Kamu ingat apa yang pernah kukatakan di akhir kursus musim panas? Ketika kupikir-pikir lagi, rasanya aku terlalu ikut campur, ya~”

Ahaha, kata Yuri sambil tersenyum getir.

Meskipun pada kenyataannya dia memang merasa terlalu ikut campir—tapi dia tidak menyesalinya.

Pada saat itu, Yuri merasa bahwa dia harus mengatakannya. Hinako, yang tidak menyadari perasaannya sendiri, tampaknya akan terus terluka dengan canggung. Yuri tidak bisa mengabaikan gadis yang seperti itu.

Namun, jika dia semakin bingung maka itu semua tidak ada artinya sama sekali.

Yuri berharap Hinako, yang bertemu kembali setelah kursus musim panas, akan menunjukkan tanda-tanda pemulihan dalam berbagai hal, namun kenyataannya Hinako tampak lebih tertekan daripada sebelumnya.

“Mengenai hal itu, sebenarnya aku juga ingin berkonsultasi dengan Hirano-san.”

“Ya, ceritakan saja.”

Yuri menunggu kata-kata Hinako.

Hinako kemudian perlahan-lahan membuka mulutnya.

“Apa maksud sebenarnya dari 'suka'?”

Pertanyaan itu membuat Yuri terdiam sejenak.

“...Maksud sebenarnya dari 'suka', ya.”

Dalam zaman di mana drama dan manga percintaan diproduksi dalam jumlah besar, sulit dipercaya bahwa masih ada orang yang mengajukan pertanyaan seperti itu...

Hinako bertanya dengan tatapan polosnya, sehingga itu membuat Yuri malu hingga wajahnya memerah.

Dia adalah gadis lugu yang tampaknya hanya ada dalam dunia manga dan drama.

Sampai pada titik ini, dia bahkan terlihat seperti Ojou-sama yang dibuat-buat.

“Tunggu sebentar... Aku sedang memikirkan apa ada cara yang baik untuk menjelaskannya?”

Yuri bisa dengan mudah menjelaskan makna kata yang dicari dalam kamus. Namun, mungkin Ojou-sama di depannya ingin tahu hal lain.

Bagaimana caranya mengajarkan perasaan 'suka' dan konsep cinta pada gadis ini?

Setelah beberapa menit berpikir, akhirnya Yuri tidak bisa memberikan jawaban.

 

◆◆◆◆

[Sudut Pandang Itsuki]

Kami meninggalkan restoran keluarga Yuri dengan perut kenyang.

Setelah memberi salam kepada ayah Yuri, kami berbicara sebentar dengan Yuri di depan restoran.

“Konohana-san. Kita akan menunda mengenai konsultasi tadi untuk sementara waktu. Jika ada sesuatu yang bisa aku ajarkan lagi, aku akan menghubungimu.”

“Tentu, aku akan menunggu kabar darimu.”

Apa yang sedang mereka bicarakan...?

Aku tahu bahwa selama aku mengobrol dengan ayahnya Yuri, mereka berdua pergi sebentar, mungkin mereka sedang berkonsultasi tentang sesuatu.

“Apa yang kamu bicarakan dengan Yuri?”

“Uhmm... rahasia.”

Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa mungkin sebaiknya aku tidak memaksakan diri untuk bertanya, tapi sejujurnya aku masih merasa khawatir.

Dia biasanya memberitahuku segalanya lebih dari yang diperlukan, jadi aku merasa frustrasi ketika dia menyimpan rahasia.

“Itsuki... apa kamu berhubungan baik dengan ayah Hirano-san?”

“Yah, ia telah banyak membantu. Bahkan ketika aku bekerja paruh waktu di rumah Yuri... Mungkin beliau sudah melakukan banyak hal yang lebih seperti keluarga daripada orang tua kandungku sendiri.”

Pada hari upacara masuk SMA, aku berfoto bersama keluarga Yuri bukan dengan orang tuaku.

Orang tuaku jarang sekali hadir dalam acara sekolahku. Keluarga Yuri sudah bersikap sangat baik padaku, hampir seperti keluarga sendiri.

Jadi bagiku, rumah Yuri terasa hangat.

Aku merasakan suasana yang begitu akrab dan nyaman, hingga membuat aku tidak merasa terlalu asing di rumah sendiri.

(...Aku merasa iri.)

Perasaan yang telah lama kulupakan, tiba-tiba muncul kembali setelah sekian lama.

Saat aku melihat keluarga yang begitu harmonis, aku terkadang merasa iri. Melihat mereka makan bersama atau bercengkrama dengan penuh keceriaan... aKU merasa haus akan hubungan hangat semacam itu.

Misalnya, saat membuka pintu rumah, ada seseorang yang lembut menyambut dengan kata-kata “Selamat datang di rumah”... Aku seringkali merindukan kehidupan sehari-hari seperti itu.

Aku dengan pasrah menerima keadaanku sendiri, tapi kadang-kadang perasaan seperti itu muncul.

Ini seperti penyakit yang aku miliki... atau semacam obsesi.

“Aku pulang.”

Saat aku membuka pintu rumah, aku secara refleks mengucapkan kata-kata tersebut.

Meskipun takkan ada yang membalasnya. ...Saat aku berpikir begitu,

“Selamat datang kembali di rumah.”

Shizune-san yang sedang mencuci piring di dapur, menoleh dan membalikkan badannya ke arahku.

Selamat datang kembali di rumah. ―― Aku tidak pernah menyangka akan mendengar kata-kata itu, jadi aku sedikit tercengang sejenak.

“Apa ada yang salah?”

“......Tidak, hanya saja...”

Aku memalingkan pandanganku dari Shizune-san yang tampak bingung.

Itulah kata-kata yang paling kuinginkan dalam hatiku saat ini. Meskipun aku sempat berpikir bahwa itu tidak akan terwujud, tiba-tiba aku mendapatkannya dan kepalaku menjadi kosong.

Sambil menahan air mata yang mulai terasa di sudut mataku, aku menatap Shizune-san.

“Aku merasa bersyukur ada seseorang di rumah...”

“.....Aku mengerti bagaimana perasaanmu.”

Shizune-san tersenyum lembut.

Baru sekarang aku menyadari mengapa aku saat ini melupakan betapa irinya diriku terhadap keluarga yang harmonis.

Itu karena aku sudah merasa puas sekarang karena aku menghabiskan waktu bersama Hinako dan yang lainnya.

“Aku akan membantu mencuci piring juga.”

“Kamu kan baru saja pulang, jadi silakan istirahat saja dulu.”

“Tidak, izinkan aku untuk membantu.”

Ketika aku mengatakan itu, Shizune-san mengangguk dengan ekspresi heran. “Baiklah, terima kasih,” katanya.

Suasana yang hangat dan akrab juga ada di sini.

Mampu berpikir dan merasakan hal seperti itu membuatku lebih bahagia dari apa pun.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama