Chapter 5 — Kunjungan Industri Toudo Tsuyoshi (Bagian 1)
Hari
kunjungan perusahaan yang merupakan
salah satu acara sekolah kami, akhirnya tiba.
Siswa
kelas khusus yang biasanya tidak mengikuti acara lain, kali ini ikut
berpartisipasi. Tampaknya mereka akan mengunjungi perusahaan yang berbeda dari
kelas reguler.
Terutama para siswa yang lebih fokus pada aspek
akademis akan mengunjungi perusahaan yang sesuai dengan bidang yang mereka
ingin geluti di masa depan. Sepertinya bagi pihak perusahaan, ini juga memiliki
makna sebagai ajang pencarian bakat.
Aku
dan Tanaka ingin melihat perusahaan biasa sebagai bagian dari pengalaman hidup
kami. Jadi kami memutuskan untuk mengunjungi perusahaan yang sama dengan kelas
reguler.
Titik peretemuan kami adalah di tempat tujuan.
Sebagai siswa SMA, kami diberikan kebebasan untuk bergerak sendiri. Kami hanya
perlu menghubungi sekolah jika ada terjadi
sesuatu.
Dan hari ini
aku sedang menunggu Tanaka di stasiun.
Seiring
berjalannya waktu, aku bisa
melihat siswa-siswa dari kelas lain yang sedang berkumpul
di stasiun. Mereka terlihat tegang saat mengobrol
sambil membaca dokumen. Aku
sudah menghapal semua informasi tentang tempat kunjungan kami. Tak tahu apa
yang akan terjadi.
Tujuan dari kunjungan kami adalah sebuah
perusahaan pernikahan ternama di pusat kota. Melalui pernikahan, ada banyak
pekerjaan yang dapat dieksplorasi, dan kami dapat berinteraksi dengan
orang-orang yang bekerja di sana. Aku
sangat antusias hari ini. —Bersama Tanaka...
Benar,
hari ini aku hanya akan berdua dengan Tanaka.
Kurasa itu
wajar saja. Kami berdua yang memutuskan untuk pergi bersama.
Kenapa aku malah jadi gelisah? Tidak ada yang
perlu dikhawatirkan. Tapi, kata “berdua’ itu mengganggu pikiranku.
Sama seperti waktu itu, aku menunggu Tanaka seperti sekarang—
Kenangan
akan kencan yang terukir dalam lubuk hatiku.
“Cissss~!
Toudo, selamat pagi!!”
Tanaka
berlari ke arahku dengan wajah berseri-seri.
Aku menjadi
gugup ketika melihat wajahnya.
“Pa-Pagi, Tanaka. Ayo, kita berangkat.”
“Eh,
tunggu dulu! Loh? Kok wajahmu kelihatan memerah? Kamu lagi sakit?”
Tanaka lalu mengulurkan tangannya dan meletakkan
di dahiku.
Aku terlalu terkejut
sampai tidak bisa bergerak. Tanaka
menyentuh dahiku. Tangannya terasa dingin
tapi menyenangkan.
“Hmm~, kayaknya
kamu tidak demam. Kamu baik-baik saja? Mau istirahat
sebentar?”
“Ti-Tidak apa-apa.”
Aku mencium
aroma Tanaka. Aromanya lembut. Aku memejamkan mata untuk
menenangkan diri.
“Jangan
sampai ketiduran, Toudo!!”
“Ma-Maaf...”
Tangan
Tanaka menjauh dari dahiku.
Aku
merasa sedikit sedih karena kehangatannya
menghilang.
Sambil
menggaruk kepala, aku berusaha
menutupi sesuatu. Aku tidak
peduli kalau dadaku terasa sakit. Sakit kepala
parah sudah menjadi kejadian sehari-hari bagiku.
Kami
berdua kemudian berjalan menuju kereta.
◇◇◇◇
Aku
jarang sekali naik kereta. Karena aku merasa
tidak ada kebutuhan untuk naik kereta. Aku sedang menunggu
kereta di peron.
“Nee,
Toudo, rasanya sangat menyenangkan karena ini seperti
kencan ya! Ah, bahkan kencan dengan seragam sekolah!!”
“Ap-Apa oya?
M-Maaf, aku tidak mengerti..."
Aku jadi
bingung. Hari ini Tanaka dalam kondisi bersemangat tinggi. Karena aku
kehilangan ingatan, aku tidak bisa menjelaskan kondisi seperti apa ini. Detak
jantungku jadi cepat.
“Duhhh,
padahal ini acara sekolah, jadi
kita harus menikmatinya!! Ah, keretanya sudah datang!
... Aduh, kayaknya penuh nih—”
Karena kami
berangkat di jam sibuk, jadi kereta
itu sangat padat. Kereta berhenti, dan orang-orang keluar seperti mengalir dari
pintu. Kami naik ke dalam kereta dengan terbawa arus.
Tujuan
kami adalah Stasiun Shinano-machi. Perjalanannya
masih panjang. Penumpang keretanya ternyata lebih padat dari yang
kami duga. Kami tidak bisa mendapat tempat duduk, dan terdorong ke sudut dekat
pintu.
“T-Tanaka,
apa di dalam kereta selalu
sesak seperti ini ya?”
“Uughh...
Aku 'kan tidak biasa naik kereta... Sesak banget...”
Di dekat
kami ada para pekerja kantor dan wanita pekerja.
Mereka
semua terlihat tersiksa.
Agar
Tanaka bisa sedikit lebih nyaman, aku menggunakan seluruh tenaga tubuhku untuk
melindunginya dari desakan tubuh-tubuh di sekitar kami.
Hasilnya,
aku jadi melingkupi tubuh Tanaka di sudut pintu. Kedua tanganku menyangga di dekat
wajah Tanaka. Wajah
Tanaka ada di sekitar dadaku. Aku bisa merasakan wajahku memerah.
“To-Toudo,
ka-kamu
baik-baik saja? Entah kenapa, rasanya tiba-tiba jauh
lebih nyaman, 'kan?”
Tanaka mendongak dan menatapku dari bawah.
Oh,
ternyata Tanaka mempunyai bulu mata yang
panjang ya. Untuk menyamarkan rasa malu, aku mencoba berpikir tentang hal lain
yang tidak ada hubungannya.
Tanaka
jadi diam. Aku juga tak mengatakan apa-apa.
Entah
sejak kapan, Tanaka meletakkan kepalanya di dadaku. Pada saat itu, sesuatu di dalam diriku
seolah 'tersulut'. Rasanya sangat sakit, namun secara bersamaan kehangatan dari
Tanaka sepertinya
melelehkan sesuatu di dalam diriku.
Sungguh
masa-masa yang anhe aneh. Rasanya menyakitkan
tapi aku tidak ingin
ini berakhir. Beban Tanaka di tubuhku terasa nyaman.
Aku
berusaha sekuat tenaga untuk tidak menyentuh Tanaka. Yang bersentuhan hanya
dadaku dan kepala Tanaka.
Aku
khawatir kalau detak
jantungku yang begitu kencang bisa
terdengar Tanaka.
Aku
khawatir kalau aku mungkin menyentuh
bagian tubuhnya yang kurang pantas.
Aku
berharap jika waktu
terus berlalu begini—
Kereta
berhenti di stasiun, dan kami turun sebentar. Saat naik lagi, keretanya sedikit
lebih lengang. Sepertinya aku tak perlu lagi menyangga Tanaka.
“Toudo,
ayo duduk di sini!”
“A-Ah,
iya.”
Kami berdua akhir duduk berdampingan. Entah kenapa, Tanaka menyandarkan kepalanya di bahuku.—Aku harus kembali menyangga
Tanaka.
Detak
jantungku berpacu semakin
cepat... Apa-apaan dengan situasi
ini...?
“—A-Ah, ini
mengenai itu, me-mengenai
kelanjutan tadi.”
Akku merasa gelisah di dalam hati karena
menghadapi situasi yang tak terduga ini.
◇◇◇◇
Aku, Michiba Rokka, ingin bekerja di tempat
resepsi pernikahan di masa depan. Keluargaku
memiliki restoran bergaya
Jepang, dan sejak kecil aku suka
melihat pelanggan yang terlihat senang saat menikmati
makanan kami. Aku ingin
membuat senyuman seperti itu juga.
...Entah
sejak kapan kepribadianku jadi berubah. Aku memaksakan diriku untuk tersenyum
karena aku tidak ingin orang tuaku mengetahui kalau
aku sedang di-bully, dan meskipun aku tidak punya rencana untuk akhir pekan,
aku keluar rumah untuk berpura-pura pergi
jalan-jalan bersama teman... Setelah aku
mencoba melakukan perubahan besar, segalanya malah
jadi berantakan.
Aku membenci diriku yang suka terbawa arus. Aku membenci diriku yang berubah menjadi
anak yang menyebalkan. Aku sendiri akhirnya
berubah menjadi seperti
anak-anak yang pernah
membully-ku dulu.
Hati
manusia tidak sekuat itu. Meskipun aku mengetahui
bahwa niat buruk sekecil apapun bisa
melukai hati seseorang, tapi
aku justru melakukan kesalahan yang sangat
fatal.
Di
perusahaan yang kami kunjungi untuk kunjungan
industro, di bagian resepsi pernikahan, aku berdiri
sendirian sedikit terpisah dari kelompokku. Aku merasa ada jarak dengan teman-teman sekelas.
Aku tidak masalah sendirian. Tapi...
mengingat waktu aku dibully dulu, aku merasa tersiksa. Keringat aneh mulai
bermunculan.
Sesekali,
anak-anak perempuan di kelompok itu melirik dan tertawa ke arahku. Aku tahu
tawa itu. Itu tawa yang sangat menyebalkan.
Candaan yang
seharusnya cuma bercanda, malah
semakin memburuk. Hati yang berusaha kuat itu hampir layu. Anak-anak memang
dengan mudahnya menjatuhkan perasaan orang lain. ...Tidak mengherankan, karena
dulu aku juga begitu.
Saat aku
sedang menenangkan diri dengan napas panjang, salah satu anak perempuan di
kelompok itu, Rin-chan, datang menghampiriku. Rin-chan merupakan gadis yang biasa-biasa saja di dalam
kelompok itu.
“Rokka-chan,
kamu kenapa? Kepanasan ya? Kamu sampai berkeringat begitu.”
“Selamat
pagi, Rin-chan. Haha, yah begitulah...”
“Ah,
kamu pasti merasa canggung karena Toudo-kun ada di sini ya! Rokka-chan lagi menikmati masa-masa indah remajamu ya~, haha.”
Toudo baru saja tiba di tempat
pertemuan bersama seorang siswi dari kelas khusus.
Aku jadi ingin bersembunyi, tapi tidak ada tempat untuk bersembunyi.
Meskipun
tidak sedang diperhatikan, aku jadi khawatir bagaimana penampilanku dilihat
orang. Aku bahkan bingung harus meletakkan tanganku di mana. Berkali-kali aku
memainkan rambutku tanpa sadar. Aku juga tanpa sadar membersihkan kotoran di
seragamku.
Padahal
aku butuh hati yang kuat, tapi diriku yang lemah... Itu benar-benar
menyebalkan.
Nada tawa
Rin-chan mulai berbeda
dari sebelumnya. Suara tawanya tidak
terdengar senang. ...Melainkan, itu berubah
menjadi tawa yang mengejek.
Ini bukan
pengalaman pertamaku. Sikap teman sekelas yang berubah itu hal biasa. Dulu kami
sering mengobrol di kelas yang sama, tapi sekarang berbeda kelas, bahkan di
koridor pun tidak saling menyapa. Menurutku, sekolah adalah tempat yang aneh. Pernah juga
ada seorang laki-laki yang menyatakan cintanya
padaku. ...Saat itu aku sedang di-bully, jadi kupikir itu hanyalah kebohongan. Tapi setelah kutolak, keesokan
harinya ia mulai menyebarkan gosip jelek tentangku.
Aku benci
kalau kebaikan dibalas dengan permusuhan seperti itu. Yang penting itu suasana
dan kelompok, tapi begitu aku berbicara
satu-satu dengan mereka, suasananya tiba-tiba jadi tidak biasa...
Murid yang membully-ku dulu juga awalnya bersikap baik
dan ramah.
Aku menggelengkan
kepalaku. Sekarang aku tidak sedang
dibully. Aku hanya menuai apa yang kutabur.
“Rin-chan...
Kamu terlalu banyak tertawa.”
"Eh,
tapi Rokka-chan yang rapuh seperti
ini kan lebih imut! Aku yakin kalau Toudo-kun
juga mengerti. Mau aku memberitahunya?”
Rasa
keadilan itu menakutkan menurutku. Aku pernah memperlakukan Toudo dengan buruk. Aku tidak bisa
mengubah masa lalu itu. ...Tapi orang lain menggunakan fakta itu untuk
menyerangku. ...Itu sangat menyakitkan.
“...Iya.”
“Omong-omong,
Rokka-chan tuh suka sama
Toudo-kun ya? Jadi kamu jahil padanya? Keterlaluan lho, kamu harusnya minta maaf dengan benar.”
“Suka?”
Itu
pertanyaan yang sangat sederhana. Apa aku menyukai
Toudo? ...Kenapa Rin-chan malah menganggapnya begitu?
“Lho?
Jangan pura-pura, deh! Kamu pasti menyukainya, ‘kan? Rokka-chan tuh memang dongo ya~”
Kata-kata
Rin-chan terdengar sangat angkuh. Setiap
ucapannya begitu menusuk hatiku. Dia tidak lagi melihatku
sebagai teman. Dia berpikir kalau aku sudah terjatuh
ke dalam tingkatan bawah kasta
kelas, jadi dia boleh memperlakukanku dengan kasar.
“Ah,
sepertinya sudah waktunya kumpul. Rokka-chan, sampai nanti ya.”
Rin
kembali ke dalam kelompoknya. Padahal dulu aku juga ada di sana, tapi sekarang
aku sudah tidak menjadi bagian dari mereka
lagi.
Aku berdiri
sendirian. Tidak ada yang menyedihkan tentang
hal itu, karena ini semua memang
salahku.
Di ujung
pandanganku, aku melihat sosok Toudo.
Aku kembali mengingat perkataan Rin-chan. Apa
aku menyukai Toudo? Ya, aku memang
menyukainya. ...Tapi ini bukan perasaan cinta. Aku merasakan empati ketika melihat
Toudo sendirian di dalam kelas.
Waktu di perpustakaan adalah waktu di mana aku
bisa menjadi diriku sendiri
dan rileks. Aku suka melihat sifat Toudo yang
sedikit di luar batas kewajaran. Dia
terlihat menggemaskan seperti
adik laki-laki.
Itu hanya... ketergantungan. Melihat
Toudo yang mengalami situasi yang sama
denganku, aku merasa bersimpati
dan jadi ketergantungan...
Menurutku, orang
yang pantas disebut sedang jatuh cinta adalah Hanazono dan Tanaka-san yang ada di dekat Toudo. Atmosfernya benar-benar
berbeda. Rasa cemburu yang aku rasakan berbeda dengan rasa cemburu Hanazono. Kecemburuan Hanazono itu asli. Sedangkan aku... Aku hanya tidak ingin kehilangan temanku.
Aku bisa
mengetahuinya dengan melihat ekspresi Tanaka-san yang ada di sebelah Toudo... Err, bukannya anak itu terlalu imut, ya? Dia
terlihat seperti gyaru tapi juga sangat feminin. Secara
pribadi, aku ingin Toudo
berpacaran dengan Hanazono, tapi...
Di dalam
hatiku, aku
mendoakan Hanazono yang tidak
ada di sini.
—Semangat.
Kamu yang paling mengetahui
tentang Toudo,
jadi aku yakin kalau kamu
pasti baik-baik saja.
Toudo
berbicara dengan Tanaka-san sembari menunjukkan senyum
yang alami. ... Eh? Wajahnya memerah? Mungkin ia
merasa malu karena Tanaka-san
yang terlalu imut, ya?
Bukannya
raut wajah Toudo sudah banyak berubah? Apa ia memang begitu
sebelumnya? Dulu ia kelihatan seperti
robot, tapi sekarang ia terlihat
sangat manusiawi. Ekspresinya menjadi jauh lebih hidup.
Mungkin
aku harus bertanya pada Sasami nanti.
“Michiba,
kamu lelet
banget, ayo cepetan!”
“Heh,
palingan kamu
sedang memperhatikan Toudo lagi,
kan? Jadi kami tidak penting bagimu,
ya?"
“Hei,
kalian, jangan banyak omong —
jangan hiraukan orang seperti itu.”
Teman-teman
sekelasku berbicara sambil membuang muka, mereka tidak
melihat ke arahku. Aku tahu, mereka tidak mau melakukan
kontak mata denganku agar
tidak merasa bersalah. Aku diperlakukan sama
seperti objek.
Aku
mengangguk.
Melihat
perubahan Toudo membuatku
merasa lebih lebih baik.
... Aku akan berusaha sedikit lebih keras.
Aku lalu berjalan di belakang teman-teman yang kupikir adalah temanku——