Bab 1 — Belajar Tentang Kehidupan Orang Biasa Bersama Ojou-Sama Bagian 3
Kami
memasuki rumah, memandang ke seberang kota yang bermandikan matahari terbenam.
“Huuh...”
Hinako
segera melepas sepatunya dan segera merebahkan diri di atas tatami di ruang
tamu.
“Kamu
lelah?”
“Ya.”
Pagi tadi
kami pergi ke sini dengan mobil, dan sejak siang hingga sekarang hampir terus
berjalan kaki. Bagi Hinako yang lebih suka berada di dalam ruangan, aktivitas
hari ini pasti terasa melelahkan.
(Sedangkan aku... tidak begitu lelah)
Aku masih
memiliki banyak tenaga, baik secara fisik maupun mental.
Saat
berada di kediaman Konohana, aku menggunakan pikiran dan tubuhku dengan keras
setiap hari untuk belajar dan bekerja sebagai pelayan. Dibandingkan dengan itu,
jadwal hari ini terasa jauh lebih santai.
Hanya
saja... aku merasakan ada sedikit kekurangan.
Selama
satu hari ini, setelah sekian lama menjalani kehidupan masyarakat biasa, aku
bisa melihat secara obyektif kehidupan masyarakat biasa. Ada perbedaan yang jelas
antara cara hidup masyarakat awam dan golongan kelas atas. Namun, jika dipikir
secara mendalam, perbedaan tersebut memiliki makna yang jelas.
Itulah
hal yang aku pikirkan ketika kami pergi makan siang di restoran gyudon.
Akademi
Kekaisaran sering kali memaksa perilaku yang lebih analog daripada masyarakat
umum. Contohnya saja ketidakhadiran mesin penjual tiket makanan. Jika ingin
makan di Akademi Kekaisaran, satu-satunya cara adalah memanggil pelayan
terdekat.
Meskipun sekilas
sistem ini terasa merepotkan, namun jika dipikir-pikir, hal tersebut justru tidaklah
buruk.
Para
siswa Akademi Kekaisaran sering kali akan berada di posisi yang lebih tinggi dari
yang lain di masa depan. Oleh karena itu, penting untuk belajar bagaimana berinteraksi
dengan orang lain….terutama bawahan. Jika memberikan instruksi aneh atau
bersikap angkuh, maka daya tarik dan kepatuhan bawahan akan berkurang.
Sebaliknya, dengan memanfaatkan orang lain dengan benar, mereka bisa menikmati
kenyamanan yang melebihi otomatisasi mesin. Di Akademi Kekaisaran, mereka bisa
mempelajari hal ini di meja makan. Bahkan dari cara memesan makanan kepada
pelayan, kita bisa melihat martabat orang lain.
Akademi
Kekaisaran menciptakan lingkungan di mana para siswanya bisa belajar di
berbagai tempat.
Hal ini
mencerminkan keteguhan hati kelas atas.
(Bagiku, aku merasa kalau wawasanku menjadi lebih luas.)
Meskipun
baru beberapa bulan bersekolah di sana, aku merasakan bahwa aku telah
mendapatkan pengetahuan yang tidak pernah aku dapatkan sebelumnya karena terus
berjuang mati-matian untuk mengimbangi orang lain.
Setalah
memahami pentingnya, aku jadi merasa ingin serius menghadapinya.
Mungkin aku
mulai sedikit merindukan hari-hariku di akademi itu.
Saat aku
terdiam karena merenungkan masa lalu, smartphone yang ada di sakuku mendadak bergetar.
Rupanya ada
panggilan masuk dari Shizune-san.
“Shizune-san?
Kira-kira ada apa?”
“Maaf. Pekerjaan di sini lebih sibuk dari perkiraanku, jadi
aku mungkin akan pulang agak terlambat. Apa boleh aku menyerahkan persiapan
makan malam padamu?”
“Tentu
saja. Jika perlu, kita bisa pesan makanan juga.”
“Terima kasih. Jika kamu ingin memasak sendiri, kamu bebas
menggunakan bahan makanan di dalam kulkas.”
“Baiklah.”
Panggilan
pun ditutup.
Aku
merasa kalau suara Shizune-san terdengar lebih lelah dari biasanya. Setidaknya
aku bisa bertanggung jawab untuk memasak.
Saat aku
membuka pintu kulkas, aku bisa menemukan berbagai macam bahan makanan di
dalamnya.
Walaupun
jelas-jelas ada bahan makanan mewah, tapi aku hanya mengambil bahan makanan
biasa yang aku bisa gunakan.
Bawang,
wortel, kentang, dan daging.
(... Kurasa aku akan membuat kari saja, deh.)
Aku
menemukan bumbu kari instan di dalam kotak bumbu dan langsung memutuskan menu
makan malam.
Aku
merasa khawatir dengan keseimbangan nutrisi makanan kami karena kami makan
semangkok gyudon pada siang hari ini. Kurasa lebih baik kalau aku akan
menambahkan lebih banyak sayuran.
Saat aku
mencari pisau dan pengupas, Hinako mendekatiku dengan langkah-langkah kecil.
“Itsuki...
apa yang sedang kamu lakukan?”
“Sepertinya
Shizune-san akan pulang larut malam, jadi kupikir aku akan membuatkan makan malam.”
Aku
menjelaskannya sambil menyiapkan talenan.
“... Aku
juga akan membantu memasak.”
“Hinako
juga?”
Aku
merasa agak khawatir karena itu agak berbahaya, tapi Hinako dengan percaya diri
menempatkan kedua tangannya di pinggangnya.
“Aku
sudah memiliki pengalaman memasak selama kursus musim panas.”
Hinako
dengan bangganya mengatakan hal tersebut.
Memangnya
memasak di acara barbekyu juga bisa disebut sebagai pengalaman memasak...?
“Baiklah,
jadi bolehkah aku meminta bantuanmu untuk mengupas kulitnya?”
“Silahkan
serahkan saja padaku...!”
Satu-satunya
tugas yang tidak memerlukan penggunaan pisau atau api adalah mengupas.
Aku yakin
Hinako pasti bisa menggunakan pengupas dengan baik karena aku sudah
mengajarkannya saat barbekyu tempo hari.
“Hinako,
apa kamu lebih suka pedas atau manis?”
“Eum...
yang manis.”
“Baiklah.
Aku akan menambahkan ini sebagai bumbu rahasia...”
Aku
meletakkan bahan yang kutemukan di dalam kulkas ke dalam panci.
“Cokelat?”
“Iya.
Menurut Yuri, kalau kita menambahkan ini, rasanya akan menjadi lebih manis dan
lezat.”
“Woahh...
Aku jadi penasaran.”
Menurut
Yuri, karena kari bisa diubah rasanya dengan berbagai macam bumbu, jadi lebih
baik mengubah bumbu rahasia sesuai dengan selera orang yang memakannya daripada
mencari bumbu rahasia yang pas. Oh ya, setelah dicoba berkali-kali oleh Yuri,
ternyata aku lebih suka rasa miso.
“Hinako,
bisakah kamu mengambil kentang di sana?”
“Eum...
aku bahkan sudah mengupas wortel juga.”
“Terima kasih.
Tolong letakkan di sana.”
Aku dan
Hinako memasak bersama.
Entah kenapa, rasanya seperti percakapan suami istri...
Aku berusaha mati-matian untuk mengusir pikiran itu.
Aku
memotong sayuran yang diberikan Hinako dan meletakkannya ke dalam panci.
Sepertinya
Hinako sudah selesai mengupas wortel, jadi aku meraih ke arah sana.
Pada saat
itu, bahuku menyentuh bahunya Hinako.
“M-Maaf...”
“... ehm,
enggak apa-apa.”
Wajah
Hinako langsung memerah dan suaranya terdengar aneh.
Karena
dapurnya sempit, jarak di antara kami menjadi lebih dekat secara tidak sengaja.
Ini bukanlah rumah besar keluarga Konihana, dan juga bukan pantai yang luas.
Begitu
aku langsung menyadarinya, hal itu menjadi sangat mengganggu. Padahal sebelumnya
tidak ada masalah, tapi hanya dengan gesekan pakaian, tangan kami berhenti
bergerak.
Hinako
terus mengupas kulit sayuran dalam diam sambil menunduk.
Aku juga
terus memotong sayuran sambil menahan rasa geli yang menggeliat di hatiku.
◆◆◆◆
“Terima
kasih untuk makanannya.”
Aku dan
Hinako benar-benar menikmati kari yang berhasil selesai dimasak.
“Kenyang
sekali...!”
“Syukurlah
kalau begitu.”
Rasanya
biasa saja, tapi sepertinya Hinako cukup puas.
Setelah
perut terisi, rasa kantuk mulai menghampiri. Meskipun ada perasaan ingin
berbaring sebentar, tapi aku berusaha menangannya karena mungkin saja Shizune-san
akan segera pulang.
“Mendingan
nonton TV aja dulu buat menahan kantuk.”
Aku
mengambil remote yang ada di dekatku dan mengarahkannya ke televisi tipis
terbaru yang disiapkan Shizune-san. Ketika televisi dinyalakan, berita pun
mulai ditayangkan.
“Ngomong-ngomong,
apa kamu sering menonton televise, Hinako?”
“Hmmm...
tidak terlalu.”
Hinako
berguling dan meletakkan kepalanya di pangkuanku.
Dia bertingkah
seperti seekor kucing yang manja.
Seharusnya
ini bisa dihindari tanpa disadari...
Ketika
bahu kami bersentuhan di dapur, situasinya menjadi canggung, tapi entah kami
berdua justru merasa tenang meskipun kepala Hinako berada di pangkuanku.
Mungkin karena aku sudah terbiasa?
Sambil
mengelus kepala Hinako, aku melanjutkan menonton berita yang sebenarnya tidak
begitu menarik.
“Sekarang
untuk berita selanjutnya. Konohana Electric baru-baru ini mengumumkan pengembangan
satelit optik canggih baru…..”
Saat nama
“Konohana” disebutkan oleh pembawa acara, Hinako memejamkan matanya.
“Karena
ada hal semacam ini terjadi.”
“... Jadi
begitu rupanya.”
Mungkin
dia ingin melupakan urusan keluarganya sejenak dalam kehidupan pribadinya.
“Tapi...
banyak orang di akademi yang menonton televisi juga, lho.”
“Oh
begitu ya.”
“Karena
berita juga bisa jadi pembelajaran. Papa juga bilang sebaiknya kita tetap
mengikuti berita.”
Mungkin
berita memang bagus untuk memperluas pengetahuan tentang dunia.
Namun,
pagi tadi Hinako sudah dengan semangat menyelesaikan tugas selama seminggu.
Meskipun Shizune-san sering mengingatkan untuk tidak terlalu memanjakan Hinako,
sepertinya hari ini dia bisa melupakan urusan belajar sejenak.
“Kalau
begitu, mungkin kita pindah ke acara hiburan saja.”
Aku lalu
mengganti saluran TV.
Secara
teknis, keluarga Tomonari juga memiliki televisi. Meskipun tidak sehebat
televisi terbaru seperti ini, ayahku membeli TV bekas dengan harga murah.
Kalau diingat-ingat, ada acara seperti ini juga, ya...
Pada hari
liburku dari pekerjaan paruh waktu, aku biasa menonton televisi sambil
melakukan pekerjaan tambahan bersama ibuku. Aku yakin acara ini juga
ditayangkan saat itu.
Namun,
pembawa acaranya bukanlah komedian yang aku kenal. Sepertinya mereka sudah
digantikan.
Kalau
dipikir-pikir, aku belum pernah menonton TV sekali pun sejak aku mulai tinggal
di mansion keluarga Konohana. Aku mendapat laptop untuk belajar, jadi hanya
dengan itu saja sudah cukup untuk mengetahui berita terkini.
Saat aku
berjalan-jalan keliling kota, aku bisa melihat perbedaan pemandangan beberapa
kali. Perlahan tapi pasti, kota ini berubah, dengan rambu-rambu toko diperbarui
dan warna jalan berubah.
Di masa
depan, aku mungkin akan kehilangan pengetahuan tentang hal-hal yang selama ini
aku ketahui.
“...
Itsuki, apa dulu kamu hidup seperti ini?”
Hinako
yang sedang berguling-guling di pangkuanku bertanya dengan suara pelan.
“Yah,
kurang lebih memang seperti ini.”
“...
Begitu ya.”
Hinako
mengangguk.
Mungkin
dia hanya mengantuk, tapi ekspresi wajahnya seolah menunjukkan kalau sepertinya
ada sesuatu yangmengganggunya.
“Bagaimana
menurutmu? Menjalani kehidupan seperti masyrakat biasa?”
“...
Menyenangkan.”
Hinako
menjawab sambil berguling-guling.
“Karena
tidak ada yang terlalu memperhatikanku. Rasanya sangat nyaman dan menyenangkan
untukku.”
Tampaknya
Hinako benar-benar menikmatinya lebih dari yang aku sangka.
Namun,
jika dikatakan bahwa tidak ada yang memperhatikan Hinako, itu sama sekali tidak
benar. Gadis cantik seperti dirinya pasti menarik perhatian. Hanya saja mungkin
aku tidak menyadari perbedaan dalam pandangan orang-orang. Meskipun dia menarik
perhatian dalam arti minat dan perhatian, tapi tidak sebagaimana ketika dia
bersikap seperti seorang Ojou-sama.
“Selain
itu... rasanya begitu hangat.”
Hinako
tersenyum lembut sambil mengungkapkan perasaannya.
“Kamu
juga mengatakan hal yang sama di kawasan perbelanjaan tadi.”
“Un...
Sepertinya semua orang menyukai Itsuki.”
Aku? Aku memiringkan kepalaku dengan
keheranan. Hinako lalu melanjutkan.
“Ada banyak
orang yang berbicara dengan Itsuki. Kamu merendah dengan mengatakan itu hanya
jarak yang wajar di pusat perbelanjaan ... Tapi, mungkin juga karena Itsuki,
semua orang jadi mendekatimu seperti itu.”
Ketika
itu diungkapkan, merendahkan diri pun menjadi sulit.
Tapi,
jika begitu...
“...
Hinako juga.”
Aku berkata
demikian kepada Hinako yang menatapku dengan tulus.
“Mungkin
dulu berbeda. Tapi sekarang, aku yakin kalau Hinako juga... jauh lebih hangat,
bukan?”
Tennouji-san
danNarika, Asahi-san kepada Taishou. Hinako yang sekarang pasti telah menemukan
seseorang yang sedikit lebih bisa dia percayai daripada orang asing.
Mungkin
memang melelahkan untuk terus berakting.
Tapi,
karena aku selalu berada di samping Hinako, aku jadi menyadari perubahan itu.
Saat Hinako berurusan dengan teman-teman perempuannya, dia bisa sedikit lebih
santai daripada biasanya.
“Mungkin
begitu,” kata Hinako dengan senyum lega.
“Semua
berkat Itsuki.”
“Itu sama
sekali tidak benar.”
“Tidak...
semuanya berkat dirimu, Itsuki.”
Dia
menundukkan pandangannya dan berkata.
“Tapi
aku... “
Hinako menutup
mulutnya sejenak, dan terus terdiam.
Padahal dia
tampak seperti sedang bersenang-senang beberapa saat yang lalu, tapi tiba-tiba
dia tampak murung. Aku sama sekali tidak tahu mengapa dia bersikap seperti itu.
“Itsuki,
apa kamu menyukai kehidupan yang seperti ini...?”
“…Hmm
gimana ya. Mungkin aku menyukai karena apa adanya.”
Bukan
karena suka, tapi karena aku sudah terbiasa.
Bukan
berarti aku suka hidup miskin seperti dulu. Tapi, hidup di kota yang penuh
dengan keramaian seperti ini, mungkin tidaklah buruk.
“Apa kamu
berpikir ingin kembali…..?”
Dengan
suara kecil, Hinako mencoba mengucapkan sesuatu..
Tapi
suara pelan itu tidak berlanjut sampai akhir, dan Hinako kembali terdiam.
“Hinako?”
“...Bukan
apa-apa.”
Hinako
berguling dan turun dari pangkuanku.
Dia
kemudian berdiri perlahan.
“Aku akan
mandi.”
“Baiklah.
Aku akan memanaskan air dulu.”
Aku masuk
ke kamar mandi dan mengisi air.
Air cepat
terisi penuh. Hinako mengeluarkan pakaian ganti dari dalam tasnya dan menuju ke
kamar mandi.
“…Itsuki?”
Hinako tiba-tiba
menoleh ke arahku dengan ekspresi heran.
“Kenapa
kamu tidak ganti pakaian?”
“Eh?”
“Mandi,
bersama...”
“Tidak,
tidak, tidak.”
Hinako
mengatakan ini seolah-olah itu sudah jelas, tapi aku menjawabnya sambil menepuk
dahiku.
“Hari ini
tidak usah dulu. Laian, kamar mandi di rumah ini juga sempit.”
“Muu...”
Hinako
menggembungkan pipinya dengan tidak puas, namun akhirnya mengangguk sebagai
tanda pasrah.
“Baiklah,
kalau begitu... bantu aku mencuci rambutku.”
Dengan
berkata demikian, Hinako masuk ke dalam kamar mandi sambil membawa baju
renangnya yang biasa.
Aku
mendengar suara gesekan kain dari balik pintu. Beberapa saat kemudian,
terdengar suara air. Jangan
memikirkannya, jangan memikirkannya... Aku menaikkan volume TV dan menonton
acara TV yang sebenarnya tidak begitu menarik.
“Itsuki~”
“...Iya,
iya.”
Tanpa
memperdulikan perasaan batinku, Hinako memanggilku dengan suara santai.
Ketika
aku membuka pintu, Hinako tengah santai berendam di dalam bak mandi.
“Kalau
begitu…. cuci rambutku...”
“Baiklah...
Ah, tapi sebelum itu, kita harus menguras airnya dulu.”
Kamar
mandi ini tidak dirancang untuk mencuci rambut atau tubuh ketika air masih
terisi penuh.
Aku
mengambil shower sambil mencabut keran kamar mandi.
“Ayo
tutup matamu.”
“Hmm.”
Karena
rambutnya masih kering, jadi aku menyiraminya dengan shower. Jika aku mencuci
rambutnya seperti ini, tanganku dan pakaianku akan penuh dengan air dan busa...
tapi ya, itu tidak masalah. Aku bisa mencuci bajuku dan langsung mandi setelah
itu.
Aku duduk
di pinggiran bak mandi dan mencuci rambut Hinako.
Posisi
tubuhku agak sulit sedikit.
“Aku akan
membilasnya.”
“Hmm...”
Aku
membilas sampo yang menempel di rambutnya.
Meskipun
kamar mandinya sempit, Shizune-san telah menyiapkan segala sesuatunya dengan
rapi, termasuk sampo. Saat aku mencari botol selanjutnya yang harus
digunakan...
“Ahh,
panas...”
Hinako
mengoceh dengan suara serak.
Sekarang
aku juga merasa panas. Bukan karena suhu airnya, tetapi karena suhu udara di
kamar mandi. Biasanya aku tidak terlalu memperhatikan hal ini karena kamar
mandinya luas, tapi kamar mandi ini sempit sehingga udara panas mudah terjebak
di dalamnya.
Kamar
mandi di rumah ini berbeda dengan yang biasanya. Tampaknya ventilasinya juga
tidak berfungsi dengan baik.
“Apa kamu
baik-baik saja? Aku akan mengubah suhu airnya menjadi dingin...”
“Tidak...
Aku harus keluar sebentar...”
Hinako
tampaknya sudah mencapai batasnya, jadi aku segera membentangkan handuk di
lantai.
“Eh,
wah!”
Segera
setelah dia keluar ke ruang tamu, Hinako mempercayakan seluruh tubuhnya
kepadaku, air menetes dari tubuhnya ke pipiku.
Hinako
yang sepertinya sudah sangat kepanasan itu menutup matanya dengan wajah lemas.
Aku
segera menyalakan AC dan mempersiapkan air dingin. Saat aku sedang memikirkan itu,
tiba-tiba terdengar suara.
“Aku
pulang.”
Pintu
depan terbuka, dan aku bisa mendengar suara Shizune-san.
Shizune-san
melepas sepatunya, lalu... ketika dia melihatku yang sedang memeluk Hinako yang
hanya mengenakan baju renang, ekspresi wajahnya langsung segera berubah.
“Dasar
binatang buas.”
“Tidak,
kamu salah paham, Shizune-san.”
◆◆◆◆
Pada
malam harinya.
Aku
memindahkan meja ke sudut ruangan, menyiapkan futon untuk tiga orang, dan
mematikan lampu untuk pergi tidur..
“.....Uhmm.”
Di dalam
kegelapan. Aku perlahan-lahan berkata dengan menyandarkan tubuhku ke dinding.
“Bukannya
aku terlalu di pinggiran ya?”
“Karena
kamu memiliki catatan criminal.”
Aku bisa
mendengar Shizune-san terdengar dari seberang sekat.
Seharusnya
sekat diletakkan di tengah ruangan untuk memisahkan ruang antara pria dan
wanita, tetapi karena berbagai alasan, sekat tersebut diletakkan cukup dekat
dengan dinding. Awalnya rencananya adalah membagi ruangan antara pria dan
wanita dengan perbandingan empat banding enam, tetapi sekarang menjadi satu
banding sembilan.
“Itu
benar-benar kesalahpahaman. Aku tidak melakukannya dengan sengaja.”
“Jika
tidak sengaja, kamu ingin mengatakan kalau kamu boleh melakukan apa saja?”
Itu
adalah argumen yang tidak bisa dibantah.
Aku tidak
bisa memikirkan alasan apapun untuk membantahnya. Aku akan menghindari
penjelasan lebih lanjut.
Namun,
mungkin itu cuma perasaanku saja, tapi aku merasa Shizune-san lebih sedikit
bersikap ketat dari biasanya. Hal seperti ini sering terjadi di kediaman
Konohana... tidak, mungkin dia merasa perlu untuk lebih memperhatikan karena
hal itu sering terjadi, tetapi sejauh ini seharusnya tidak seserius ini.
“....Shizune.”
Pada saat
itu, Hinako berbicara dengan suara kecil.
“Kasihan
Itsuki. Padahal sudah lama sekali ia tidak pulang ke rumah...”
Dia
benar-benar anak yang baik...
Aku
hampir meneteskan air mataku karena terharu.
Usai
mendengar perkataan Hinako, Shizune-san..... menghela nafas dengan pelan.
“Kagen-sama
terlihat sangat khawatir.”
Shizune-san
berkata dengan nada suara yang serius.
“Aku tidak tahu apa kamu menyadarinya atau tidak, tapi kinerja Kagen-sama hari ini
sedikit kurang cemerlang dari biasanya. ... Kagen-sama mengatakan bahwa ia
mengizinkan kita melakukan hal ini karena ia mempercayai kami, tapi kupikir
jauh di lubuh hatinya, sebagai seorang orangtua, dia juga merasa cemas.”
Percakapan
tersebut membuat kantukku hilang seketika.
Saat
dipikir-pikir lagi, kupikir kecemasan itu merupakan hal yang wajar. Gadis yang
masih duduk di bangku SMA meninggalkan rumah tempat tinggalnya selama seminggu,
dan tinggal di rumah kecil seperti ini bersama dengan lelaki sebaya.
Di rumah
besar, ia bisa segera datang jika ada masalah. Pelayan juga selalu
memperhatikan segala hal. Namun, kekuatan Kagen-san tidak bisa langsung
dirasakan di rumah kecil ini.
Selama
kursus musim panas, itu dimaklumi.
Tapi kali
ini, ia merasa cemas.
Perbedaan
antara dua situasi itu... mungkin memang ada hubungannya denganku.
Selama
program kursus belajar musim panas, aku dan Hinako tinggal di kamar yang terpisah.
Shizune-san juga selalu berada di sisinya. Itulah sebabnya Kagen-san tidak
merasa cemas seperti kali ini.
Namun,
kali ini, Shizune-san akan melakukan beberapa tugas lain karena pekerjaannya,
dan aku dan Hinako akan tinggal di bawah atap yang sama. Meskipun ada pengawal
di sekitar kami, mereka tidak boleh melanggar privasi kami, dan tentu saja
mereka tidak akan mengintip ke dalam rumah.
Maka dari
itu, wajar saja jika aku dan Hinako akan lebih banyak menghabiskan waktu berdua
di rumah kecil ini.
Alasan
mengapa Kagen-san merasa cemas dan tidam aman bukan karena Hinako.
... tapi
karena diriku.
Akulah
yang membuat Kagen-san merasa cemas.
“Maaf.
Aku terlalu ceroboh.”
Aku
sangat menyesalinya dan meminta maaf.
Kagen-san
adalah orang yang tegas. Tapi bukan berarti ia orang yang terlalu memaksa.
Selama
kami melakukan apa yang harus dilakukan, kami boleh menghabiskan waktu dengan
bebas. Kagen-san selalu memperlakukan Hinako dan aku dengan sikap seperti itu.
Dan mungkin karena ia sangat tegas dalam hal yang harus dilakukan, jadi ia
setidaknya mencoba untuk menghormati kebebasan kami sebisa mungkin.
Mungkin
itulah sebabnya ia memberi izin kepada kami untuk menginap di rumah ini.
Belakangan ini kami juga telah menyelesaikan tugas-tugas harian dengan baik,
dan kami juga melakukannya dengan baik dalam kursus musim panas.
Tapi
tentu saja, sebagai seorang orangtua, ia masih merasa khawatir.
Kagen-san
mempercayai diriku. Aku telah hidup tanpa benar-benar menyadari hal itu.
Itulah
sebabnya aku membuatnya cemas.
“Berkat
Itsuki-san, Ojou-sama telah berubah... Dan, berkat Ojou-sama, Kagura-sama juga
mulai berubah,” kata Shizune.
“Aku
pikir perubahan itu adalah sesuatu yang baik.”
Itulah sebabnya aku berharap kamu tidak melakukan apa pun yang
akan membuatmu menyesali perubahan tersebut. Itulah
yang secara tidak langsung ingin disampaikan oleh Shizune-san.
Aku bisa
merasakan tanda-tanda seseorang bangkit di balik sekat.
Shizune-san
menjulurkan kepalanya dari balik sekat.
“Mungkin
kali ini, aku akan memaafkanmu karena kebaikan Ojou-sama.”
“Terima
kasih.”
Aku
berterima kasih kepada Shizune saat dia mengembalikan sekat ke posisi semula.
“Mengenai
topic yang berbeda, apa kamu sudah memutuskan rencanamu untuk besok?” tanya
Shizune-san.
“Aku
berencana pergi ke rumah Yuri sore nanti.”
“Kalau
begitu, mungkin kamu tidak perlu makan malam, ya.”
“Ya.”
Tapi
kalau itu yang terjadi, berarti Shizune-san akan makan malam sendirian lagi.
Hari ini
juga, Shizune-san sedang makan kari saat aku sedang mandi. Meskipun sepertinya
dia tidak mempermasalahkannya...
“Uhmm,
apa kamu akan ikut juga, Shizune-san?”
“Aku akan
dengan berat hati menolaknya. ...Aku bisa membaca situasi sampai sejauh itu.”
Karena
Shizune-san adalah soerang mahasiswa, jadi jarak usia di antara kami tidak
terlalu jauh. Namun, selama Hinako berada di dekatnya, Shizune-san harus tetap
mempertahankan posisinya sebagai pelayan.
Tidak
masalah bagi Shizune-san untuk bergaul dengan semua orang di Akademi Kekaisaran,
namun kali ini dia mungkin merasa perlu untuk memperhatikan karena Yuri yang
tidak terbiasa dengan posisi pelayan. Jika kita mempertimbangkan interaksi
mereka selama kursus musim panas, sebenarnya tidak perlu terlalu khawatir,
namun agak sulit untuk menolak seseorang yang menghendaki kehati-hatian.
“Lantas,
apa yang akan kamu lakukan hingga sore nanti?”
“Aku
berencana belajar. Sepertinya sudah waktunya untuk mempersiapkan diri dengan
belajar sebelumnya.”
“Itu
sikap yang luar biasa.”
Hinako
telah menyelesaikan tugas harian selama seminggu, sementara tugas harianku
masih belum selesai.
Pagi ini,
aku sekali lagi menyadari kecerdasan Hinako. Aku menghormatinya tapi aku tidak
bisa menirunya. Aku, sebagai orang biasa, tidak boleh mengabaikan akumulasi
usaha.
“Tapi,
rasanya sangat sia-sia sekali jika kami langsung mampir tanpa sedikit bersantai
di tempat lain...”
Aku belum
memutuskan akan pergi ke mana.
Kurasa
aku idak perlu memaksakan diri untuk membuat rencana, mungkin aku bisa memutuskannya
dengan santai besok.
Saat aku
sedang memikirkan hal itu,
“...sekolah.”
Aku mendengar
suara kecil Hinako dari sisi lain sekat.
“Aku
ingin melihat sekolah tempat Itsuki pernah bersekolah.”
“Baiklah,
kalau begitu besok kita bisa mampir ke sana dulu.”
Mungkin
sulit untuk masuk ke dalam sekolah, tapi setidaknya kami bisa melihat dari
luar.
Aku juga
ingin melihat suasana sekolah setelah sekian lama.
Setelah
rencana untuk besok sudah disepakati, aku pun pergi tidur.