[LN] Saijou no Osewa Jilid 5 Bab 1 Bagian 2 Bahasa Indonesia

Bab 1 — Belajar Tentang Kehidupan Orang Biasa Bersama Ojou-Sama Bagian 2

 

“Uwoooo...!”

Mata Hinako terlihat berbinar-binar saat memandang sekeliling dengan penuh semangat.

“Itsuki, ini tempat apa...?”

“Ini jalanan pusat perbelanjaan. Bisa dibilang ini adalah jalan di mana banyak toko kecil berkumpul.”

Rupanya menjelaskan pemandangan yang sudah biasa dengan kata-kata ternyata tidak semudah yang kuduga.

Pertama-tama, aku membawa Hinako menuju kawasan perbelanjaan di depan stasiun. Sudah empat bulan sejak aku mulai bekerja sebagai pengurusnya, aku tahu bahwa anak-anak dari keluarga kaya seperti Hinako tidak terbiasa dengan tempat yang beragam seperti ini. Seperti yang kuduga, Hinako terlihat sangat terkejut dengan pemandangan di depan matanya.

“Pusat perbelanjaan ini adalah rute sekolahku. Jadi setiap kali pulang sekolah, selalu ada yang makan-makan di sini.”

Tentu saja, aku tidak punya uang jadi aku harus menahan diri...

“Or-Or-Or-Orang-orangnya...banyak sekali...”

“Memang, ternyata lebih banyak dari yang kuduga.”

Saat ini baru pukul sebelas pagi.

Ada banyak ibu rumah tangga di kawasan perbelanjaan. Meskipun tidak sampai ramai sekali, ada antrian di kasir toko sayuran, dan banyak sepeda terparkir di depan minimarket.

(Meski begitu, jumlah orangnya memang agak banyak...)

Meskipun sudah lama aku tidak tinggal di sini, tapi aku dulu juga bagian dari penduduk di kota ini.

Jadi aku tahu bahwa kawasan perbelanjaan saat ini lebih ramai dari biasanya.

Pada saat ini seharusnya hampir semua keluarga sedang mempersiapkan makan siang. Seharusnya tidak terlalu ramai kecuali yang ada di restoran, tapi...

“.... Hm?”

Tiba-tiba, aku melihat toko buku di depanku.

Seorang pria di dalam toko mengambil buku yang tersusun rapi di rak, lalu membacanya sekilas.

Pria itu... entah kenapa aku merasa pernah melihatnya di suatu tempat.

“...”

“...”

Saat aku menatapnya dalam diam, keringat dingin menetes di pipi pria itu.

Aku pun akhirnya menemukan jawabannya... Pria itu adalah pengawal dari keluarga Konohana.

Aku segera melihat sekelilingku. Dan ternyata setidaknya ada lima orang yang terang-terangan mengalihkan pandangannya.

Sepertinya ada banyak pengawal yang menyusup di sekitar kami.

“Itsuki? Ada apa...?”

“Tidak, bukan apa-apa.”

Balasku terhadap pertanyaan Hinako, yang tak terbiasa dengan suasana tegang. Mungkin lebih baik kalau aku tidak memberitahunya tentang hal ini.

Setelah aku mengelaknya dengan tepat, pengawal-pengawal pun merasa lega.

“Ini... toko daging ya?”

Hinako menatap toko yang berada tepat di sebelahnya. Dia menatap daging yang ditampilkan di dalam etalase toko.

“Rasanya.... harganya cukup murah.”

Hinako mengatakannya dengan ragu-ragu, karena dia tidak begitu yakin dengan penilaiannya mengenai keuangan masyarakat biasa.

“Yah, harganya memang murah jika dibandingkan dengan makanan biasa yang kamu makan. Tapi rasanya cukup enak lho.”

Meskipun aku tidak begitu sering memakan daging, tapi aku kadang-kadang membelinya di sini dan memakannya.

Aku masih memiliki kenangan indah mengenai lezatnya daging tersebut meskipun hanya dibumbui secara kasar dan dipanggang. Hinako beralih ke toko di sebelahnya.

“Kalau yang ini... toko sayur ya?”

“Iya, meskipun disebut toko grosiran.”

“Grosiran...?”

Hinako memiringkan kepalanya dengan keheranan.

Ngomong-ngomong, mengapa toko itu disebut toko grosiran ya. Kalau dilihat dari hurufnya saja, aku langsung teringat dengan dewa Yaoyorozu, tapi... lain kali kalau ada kesempatan, aku akan mencari tahu tentang hal itu.

Hinako perlahan-lahan menatap sayuran yang ditata rapi di dalam toko.

“Apa ada sayuran yang kamu sukai?”

“.... Aku tidak suka sayuran.”

Memang benar, sih.

“Ngomong-ngomong, apa makanan favoritmu, Hinako?”

“Keripik kentang...!”

“Bukan, yang itu ‘kan makanan ringan, jadi kita mengecualikannya... “

“Es krim...! Dan juga cola...!”

“Cemilan yang itu kita kecualikan juga... Hinako, bagaimana kalau mulai sekarang kamu berusaha memakan sayuran?”

Hinako memandang ke arahku seakan bertanya mengapa ‘Kenapa!?’.

Meskipun tidak sengotot Shizune-san, aku juga mulai merasa khawatir dengan pola makan Hinako.

“Selain hal itu... mungkin tidak begitu banyak.”

“... Begitu ya.”

Kadang-kadang dia mengatakan “enak” saat kami makan bersama, jadi mungkin dia bukan tipe yang pilih-pilih makanan. Tapi sepertinya dia belum menemukan makanan favoritnya saja sampai sekarang.

“Oh, ternyata itu kamu ya, Itsuki?!”

Pada saat itu, ada suara yang memanggilku dari ujung toko.

Pemilik toko sayur itu menatapku sambil memegang mentimun di satu tangannya.

“Sudah lama tidak bertemu! Aku pikir kamu sudah tidak akan datang lagi, tapi kelihatannya kamu baik-baik saja, ya!”

“Iya, sudah lama tidak berjumpa. Yah, akhir-akhir ini... aku sedikit sibuk dengan banyak hal.”

Karena ceritanya akan menjadi panjang, jadi aku memutuskan untuk mempersingkatnya.

Kemudian, Hinako menarik-narik pakaianku dengan ringan.

“Itsuki, siapa orang ini...?”

“Dia adalah pemilik toko ini. Beliau juga orang yang membantuku saat aku bekerja paruh waktu dulu. Mungkin sekitaran awal masa SMA, aku bekerja di sini untuk sementara waktu.”

Ketika aku menjelaskan hal tersebut kepada Hinako, aku menyadari bahwa pemilik toko sedang menatap kami dengan wajah yang tampak agak memahami sesuatu.

“Hmm, begitu rupanya. Jadi itulah sebabnya kamu sedang sibuk belakangan  ini.”

“Sibuk yang dimaksud bukan dalam arti yang begituan.”

“Kamu tidak perlu menyembunyikannya segala. Itsuki sudah benar-benar menjadi pria sekarang.”

Dia menepak-nepak punggungku dengan keras.

Aku mulai merasa tidak nyaman untuk berada di sini, jadi aku meninggalkan toko sayuran tersebut.

Namun, kejadian serupa terus berlanjut setelah itu.

“Oh, Itsuki-kun? Sudah lama sekali tidak bertemu!”

“Ah, halo. Sudah lama sekali tidak bertemu.”

Seorang karyawan apotek keluar dari dalam toko hanya untuk menyapaku.

“Oh, Itsuki! Lama enggak ketemu, ayo beli sesuatu dong!”

“Maaf, lain kali saja...”

Pemilik toko ikan juga menyapaku sambil membawa kotak ikan.

Ada juga pegawai toko buku dan pemimpin tim pekerja paruh waktu di toko serba 100 yen juga mendekati dan menyapaku begitu melihatku. Mereka semua adalah orang-orang yang pernah berinteraksi denganku.

Setelah memberi salam dengan santun, aku mencoba mencari waktu untuk sedikit bersantai.

“...Ternyata lebih banyak orang yang menyapaku daripada yang kuduga.”

Tadinya aku bermaksud mengajak Hinako berkeliling, tapi malah sibuk memberi salam kepada mereka.

Aku jadi merasa tidak enakan dengannya.

“Itsuki... kamu cukup terkenal ya?”

“Bukan, bukan sampai terkenal, sih... tapi mungkin karena aku sering bekerja di sekitar sini.”

Kawasan perbelanjaan ini memiliki keterikatan yang kuat di antara para pedagang. Oleh karena itu, ketika aku mengutarakan keinginan untuk “mencari pekerjaan paruh waktu tambahan”, percakapan tersebut dengan cepat menyebar dan aku mulai mendapat tawaran pekerjaan dari berbagai tempat. Tanpa kusadari, aku mulai bekerja paruh waktu di minimarket, toko buku, apotek, restoran, dan tempat lainnya.

“Kawasan perbelanjaan ini mempunyai semangat tolong-menolong yang sangat kuat.”

“Tolong-menolong...?”

“Iya. Karena aku benar-benar bekerja di antara mereka, jadi aku tahu bahwa orang-orang di sini saling berbagi banyak hal. Misalnya, jika jumlah pengunjung ke kawasan perbelanjaan menurun, semua orang yang memiliki usaha di sini pasti akan merasakan dampaknya, ‘kan? Oleh karena itu, semua orang bergandengan tangan untuk memajukan wilayah perbelanjaan ini. Misalnya, penjual daging kadang-kadang membantu mempromosikan toko ikan, atau ada orang yang memiliki waktu luang membuat selebaran promosi untuk kawasan perbelanjaan ini.”

Ngomong-ngomong, aku pernah membantu membuat selebaran promosi tersebut.

“Jika aku harus menjelaskan dengan kata-kata sederhana, aku bisa mengatakan bahwa hubungan di antara mereka sangat erat dan hangat, sehingga setelah masuk ke dalam lingkaran ini, rasanya mudah untuk berbicara dengan siapa pun.”

“..Kedengarannya cukup hangat ya.”

“Yeah, benar. Merasakan ikatan antarmanusia seperti itu adalah hal yang berharga.”

Aku selalu memikirkannya setiap kali aku diajak berbicara oleh orang-orang di kawasan perbelanjaan. Aku benar-benar hidup di sini. Aku merasa lega karena bisa kembali memastikan bahwa aku memiliki tempat di sini.

“Mungkin... aku merasa agak iri.”

Hinako menatap orang-orang yang bekerja di kawasan perbelanjaan dan terus melanjutkan.

“Orang-orang dewasa yang aku kenal... mereka cenderung lebih perhitungan.”

“...Apa kamu membicarakan tentang orang-orang yang kamu temui dalam acara pesta sosial?”

Hinako mengangguk kecil sambil berkata “Hmm, iya”.

Orang-orang dewasa di sekitar Hinako semuanya adalah orang-orang yang memimpin perusahaan besar atau organisasi besar. Demi mencapai kekuatan ekonomi sebesar itu, sebuah organisasi harus terus menerus mengalahkan pesaing di industri yang sama. Dan yang lebih penting, ada keinginan kuat dari para pimpinan untuk “mengalahkan pesaing”. Orang-orang di wilayah perbelanjaan juga pasti terkadang harus bersaing dengan pesaing mereka, tetapi orang-orang dewasa di sekitar Hinako adalah para pejuang yang bersaing di garis depan industri dengan menginvestasikan sejumlah besar dana dan sumber daya manusia, serta terlibat dalam persaingan yang sengit. Skala taruhannya berbeda, dan semakin besar taruhannya, mereka jadi semakin berhati-hati... dengan kata lain, mereka menjadi lebih mementingkan kepentingan mereka sendiri.

Meskipun aku tidak bertanya secara langsung, pasti ada orang-orang dewasa yang dianggap Hinako sebagai orang yang penuh perhitungan, dan aku yakin bahwa Kagen-san juga termasuk di dalamnya.

Manakah gaya hidup yang benar? Jalan pemikiranku yang belum dewasa tidak bisa menemukan jawabannya.

“Bagi Itsuki, apa suasana yang seperti ini...”

“….Itsuki! Rupanya kamu sudah kembali ya!”

Saat Hinako hendak mengatakan sesuatu, suara keras terdengar langsung dari belakang.

Hinako tersentak dan melompat kaget.

Ketika aku berbalik, aku melihat pemilik tempat pangkas rambut yang sudah sangat kukenal.

“Oh? Maaf ya, Nona Muda. Aku jadi mengagetkanmu, suaraku memang keras, sih.”

“Ak-Aku... tidak apa-apa.”

Hinako menerima permintaan maaf dari pemilik toko sambil menekan dadanya.

Setelah menyelesaikan percakapan yang biasa-biasa saja dan berpisah dengan pemilik toko, Hinako membuka mulut kecilnya.

“...mungkin aku memang tidak perlu merasa iri.”

“Hahaha... ya, ikatan semacam ini memang unik dalam artian baik dan buruknya.”

Sebenarnya, banyak orang yang tidak menyukai hubungan yang terlalu erat ini. Jika diucapkan dengan baik, itu bisa disebut sebagai hubungan yang akrab, tetapi jika diucapkan dengan cara yang buruk, itu bisa dianggap sebagai campur tangan yang berlebihan. Setiap orang memiliki preferensi dalam menjaga jarak, dan bagi Hinako yang tidak terlalu tahan terhadap hal tersebut, mungkin dia merasa bahwa mereka terlalu lancang.

Lalu pada saat itu, aku bisa mendengar suara perut yang lapar di sebelahku.

“...Aku lapar,” kata Hinako sambil menggosok-gosok perutnya.

Ada berbagai restoran di jalanan kawasan perbelanjaan. Ketika aroma kari dan soba mulai tercium dari restoran, aku juga mulai merasa lapar. Karena waktunya sudah hampir memasuki jam makan siang, jadi sekarang saat yang tepat untuk makan siang.

Oh ya, kalau tidak salah sedikit jauh dari sini... di luar wilayah perbelanjaan, seharusnya ada tempat itu.

“Kurasa enaknya pergi ke restoran Gyudon saja kali ya.”

“Gyudon...?”

Hinako memiringkan kepalanya.

Aku yakin dia akan bereaksi seperti itu, jadi aku mengajak Hinako pergi ke sana.

 

◆◆◆◆

 

Aku dan Hinako memasuki restoran Gyudon yang pasti dikenal oleh semua warga Jepang. Udara yang telah menghangatkan tubuh kami karena berjalan, kini digantikan dengan udara yang sejuk dan menyegarkan.

“Pertama-tama, kita harus membeli kupon makan di sini,” kataku sambil mencoba membeli kupon untuk Gyudon ukuran biasa.

“Wah... ini canggih,”

Kupikir itu seharusnya bukanlah perkataan yang harus diucapkan dari Nona Muda Grup Kononana yang menjadi ujung tombak zaman.

“Hinako, kamu mau pilih yang mana?”

“Aku akan memesan yang sama denganmu, Itsuki.”

Hinako menjawab demikian sambil mengeluarkan dompet dari tasnya.

Namun, benda yang dia keluarkan dari dompetnya bukanlah uang koin, tapi melainkan kartu kredit hitam. Hinako lalu mencoba memasukkannya ke dalam lubang penukaran uang kertas.

“Tidak, tempat itu bukan dimaksudkan untuk kartu kredit! ... Di sini, kamu harus memasukkan uang koin ke sini.”

“Jadi begitu rupanya.”

Hinako memasukkan koin dan akhirnya berhasil membeli kupon makan.

Kalau terus begini, aku mulai khawatir apakah dia benar-benar mengerti cara menggunakan koin, tapi sepertinya dia cukup mengerti. Narika juga membeli camilan secara pribadi, jadi dia sepertinya cukup mengerti cara menggunakan uang.

Kalau dipikir-pikir lagi, tidak ada mesin penjual kupon makan di Akademi Kekaisaran. Pasalnya, pelayan langsung datang begitu kita duduk, sehingga pesanan bisa dilakukan dengan mudah. Minuman pun demikian, tidak ada mesin penjual minuman otomatis. Mungkin anak-anak dari kalangan konglomerat tidak terlalu terbiasa dengan otomatisasi mesin.

“Maaf sudah membuat anda menunggu~”

Ketika kami berdua menunggu di meja konter, pelayan restoran membawa dua mangkuk gyudon.

Aku mengambil dua pasang sumpit dan memberikan satunya kepada Hinako.

Akan tetapi, Hinako hanya menatap mangkuk yang ada di depannya tanpa mencoba memakannya.

“Apa ada yang salah?”

“Cara memakannya... aku tidak tahu.”

Kelihatannya makanan seperti gyudon masih terlalu asing bagi putri Keluarga Konohana.

“Kamu bisa memakannya sesukamu, kok.”

Aku membagi sumpit sekali pakai dan menyaturkan kedua telapak tanganku.

“Selamat makan.”

Untuk sementara waktu, aku akan memakan gyudonku dulu sebagai contoh. Ketika aku mengambil daging dan nasi dengan sumpit, gumpalan nasi hampir saja roboh. Ketika aku memasukkan sumpit ke mulutku, rasa daging yang lezat langsung menyebar di dalam mulutku.

Karena belakangan ini aku terbiasa memakan makanan mewah, jadi aku merasa khawatir apa aku menikmati makanan semacam ini dengan baik, tapi ternyata rasanya tetap enak. Malahan rasanya jauh lebih enak karena aku sudah lama tidak memakannya. Ternyata lidahku masih bisa membedakan kelezatan masing-masing makanan.

Ketika melihat cara makanku, akhirnya Hinako pun mencoba mencicipi gyudon di depannya.

“Hmm, hmmmmmmmm.....”

Hinako dengan hati-hati mengangkat sumpit ke arah mulutnya seperti sedang menangani barang yang mudah pecah.

Dan ketika sumpit itu masuk ke dalam mulut kecilnya—

“Mmm~!”

Hinako terlihat sangat puas.

“Rasanya enak, ‘kan?”

“Ya, rasanya enak... sungguh luar biasa...!!”

Seperti biasa, dia masih menyukai makanan yang kurang sehat.

Tingkat kegembiraan Hinako tiba-tiba melonjak.

“Itsuki, ini apa...!?”

“Jahe merah? Rasanya enak jika dimakan bersamaan dengan gyudon, loh.”

“Kalau ini...!?”

“Itu sih hanya air biasa.”

Sepertinya semua yang dilihat Hinako tampak seperti harta karun.

Setidaknya dia sedang mengalami pengalaman yang baik.

“Ahh... minyak ini, lebih menggiurkan daripada keripik kentang...”

Hinako bergumam dengan ekspresi gembira di wajahnya.

...Apakah ini baik-baik saja?

Awalnya aku bermaksud memberinya pengalaman yang baik, tapi aku mulai sedikit khawatir.

Aku ingin tahu apakah Shizune-san akan membunuhku karena membuat Hinako terlihat seperti ini...?

Sambil merasa cemas, aku melihat wajah bahagia Hinako, dan baru menyadari kalau mulutnya berlumuran saus gyudon.

“Hinako, ayo lihat ke sini sebentar.”

Aku berkata demikian sambil mengambil serbet kertas.

“Sekitar mulutmu kelihatan kotor.”

“Mm... hehehe.”

Aku membersihkan noda di sekitar mulut Hinako.

Ekspresi Hinako menjadi lebih ceria seperti anak kecil.

Namun, keadaan kami menarik perhatian para pelanggan lain yang memperhatikan kami dengan diam.

Aku kembali tersadar ketika menyadari banyaknya pandangan yang menusuk.

Sial... kami menjadi pusat perhatian.

“Ka-Kalau begitu, kurasa sudah waktunya untuk pergi?”

“Mm.”

Aku hampir melupakannya, tapi mempunyai penampilan yang cantik dan menarik perhatian sehingga 10 dari 10 orang menoleh padanya.. Dengan penampilan yang sudah mencolok, tidak mengherankan jika kami menarik perhatian dengan perilakunya yang seperti ini.

Kami segera keluar dari restoran dan mulai berjalan lagi.

“Bagaimana rasanya makan gyudon untuk pertama kalinya?”

“Ini akan menjadi makanan favoritku...!”

Hinako berkata sambil berbinar-binar.

Ternyata dia menyukai makanan yang sangat biasa. Aku harus mengingatkan dia untuk tidak mengatakan hal semacam ini dalam pertemuan sosial lainnya.

“Gyudon... rasanya enak, dan menyenangkan.”

“Menyenangkan?”

“Mm. Aku tidak perlu khawatir soal tata krama.”

Bagi Hinako, tempat makan di mana dia tidak perlu terlalu memperhatikan tata krama mungkin sangat berharga baginya.

Mungkin dia akan menemukan lebih banyak tempat makan di mana dia tidak perlu terlalu memperhatikan tata karma untuk sementara waktu ke depan. Itu seharusnya membuatnya senang, tapi... aku juga mulai sedikit khawatir.

“...Aku sendiri baru saja mulai memperhatikan hal seperti itu, jadi sebenarnya aku tidak punya hak untuk berkomentar tentang orang lain, tapi kamu tidak boleh melupakan tata karma juga.”

“Mm. Aku mengerti itu.”

Hinako melanjutkan dengan ekspresi serius di wajahnya.

“Aku hampir dipisahkan dari Itsuki karena melupakan tata krama... Aku tidak ingin merasakan pengalaman seperti itu lagi.”

Aku langsung tahu apa yang dibicarakan Hinako.

Kejadian itu terjadi sekitar tiga bulan yang lalu. Hinako sedang makan malam dengan para eksekutif perusahaan galangan kapal, dan tanpa disadari, dia melakukan aturan tiga detik yang pernah aku ajarkan sebagai lelucon.

Sepertinya Hinako juga menyesal atas kejadian itu.

Tentu saja, aku juga menyesalinya.

“Kita berdua harus saling mengingatkan.”

“Ya.”

Tanggung jawab keluarga konglomerat sangatlah besar. Menanggung beban semacam itu dengan tubuh yang begitu lemah sungguh sulit bagi Hinako.

Maka dari itu, aku juga harus berhati-hati. Aku ingin sedikit meringankan beban yang dipikul Hinako.

“Sekarang, karena masih ada waktu luang...”

Aku melihat jam di ponselku.

“Aku masih ingin bermain lebih lama lagi...!”

“Baiklah, mungkin kita bisa berjalan-jalan sebentar di taman untuk menyegarkan diri.”

 

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama