Bab 2 — Pria yang Bisa Membaca Pikiran Bagian 3
Shizune-san
selesai mencuci piring terakhir dengan cekatan dan dengan cepat menyimpannya di
rak.
Sepertinya
Shizune-san akan mulai bekerja di rumah Konohana sekarang. Tentu saja, aku
tidak bisa membantu sampai sejauh itu. Aku sudah selesai belajar untuk hari ini
dan sekarang aku punya waktu luang untuk bersantai.
“Ojou-sama,
apa sekarang sudah waktunya untuk mengisi bak mandi?”
Shizune-san
bertanya ketika bekerja sambil melihat jam.
“Umm...
karena hari ini panas, aku akan mandi besok, deh...”
“Itu
tidak boleh.”
“Ehh...,”
Hinako membalasnya
dengan mengeluh. Tapi aku mengerti perasaannya.
“AC di
rumah ini tidak berfungsi dengan baik, kan?”
Saat ini
sudah memasuki akhir bulan Agustus. Jadi kupikir cuacanya akan mulai menjadi
lebih sejuk, tapi malamnya masih panas.
“Aku
ingin makan es...”
“...Baiklah,
kalau gitu aku akan membelinya.”
Lagipula
aku sedang santai.
Apa kamu mau ikutan juga, Hinako? Aku
ingin bertanya demikian, tapi beberapa hari terakhir Hinako selalu berada di
luar lebih lama dari biasanya, jadi dia terlihat kelelahan. Di luar juga sudah
gelap jadi kurasa aku akan pergi sendiri saja.
“Shizune-san,
aku akan pergi ke minimarket di dekat sini.”
“Dimengerti.
Karena sudah malam, harap berhati-hati jika ingin mampir ke tempat lain.”
Dia tidak
secara langsung memberi izin untuk sedikit mampir, tapi jika begitu, resikonya
akan ditanggung sendriri. Caranya dalam memberi peringatan seperti sangat khas bagi
Shizune-san. Mungkin dia tahu bahwa aku ingin melihat pemandangan malam di kota
tempat aku kembali setelah sekian lama.
Aku
keluar dan mulai berjalan ke arah minimarket.
“... Pemandangan
ini juga masih tetap sama.”
Kawasan
perumahan di malam hari begitu sunyi hingga terasa menakutkan. Seolah-olah
kegembiraan aneh datang untuk menghilangkan ketakutan itu. Saat pulang setelah
bekerja paruh waktu hingga larut malam, aku selalu merasa seperti ini.
Sejak aku
menjadi pengurus, aku tidak memiliki kenangan berjalan-jalan di malam hari di
kota.
Aku
merasakan keceriaan dari cahaya lampu jalan yang redup dan suara langkah kakiku
yang nyaris tidak terdengar setelah sekian lama.
Aku
melintasi gang sempit dan menemukan minimarket yang aku cari. Saat aku masuk
SMA, aku ingin bekerja paruh waktu di minimarket yang dekat dengan rumahku ini,
tapi aku ingat sayangnya mereka tidak merekrut. Ketika aku masuk ke dalam toko,
udara dingin dari AC menyentuh kulitku.
Aku
menuju ke bagian es krim.
Di tengah
jalan, aku melewati seorang pria tinggi yang mengenakan setelan jas yang rapi.
...Apa ia
pengawal dari keluarga Konohana?
Aku tidak
bisa menggambarkannya dengan kata-kata, tapi penampilannya yang elegan berbeda
dari orang biasa. Itu terasa mirip dengan perasaan yang aku rasakan dari
anak-anak kelas atas di sekitarku saat aku baru masuk ke Akademi Kekaisaran.
Mungkin ia terkait dengan Keluarga Konohana?
Ketika aku sedang memikirkannya...
“Hai.”
Pria itu
kembali ke arahku dan menyapaku.
“...Halo.”
Tanpa
alasan yang jelas mengapa pria itu memanggilku, aku menjawab sapaannya dengan
santai.
Pria itu
sangat tampan. Ramping dan kulitnya putih. Aku berpikir bahwa tidak mungkin ia
adalah penjaga dengan postur tubuh seperti itu, mungkin dirinya seorang idola
atau sesuatu yang lain.
“Bisakah
kamu merekomendasikan sesuatu dari minimarket ini?”
“Rekomendasi?”
Di minimarket...?
Kalau
saat aku bekerja di izakaya mungkin bisa, tapi ini pertama kalinya aku ditanya seperti
itu di minimarket.
Dengan
penampilannya yang sopan, aku mencoba mencari sesuatu yang mungkin disukainya.
“Bagaimana
dengan anggur di sini?”
“Hmm,
bukan itu yang aku maksud, aku ingin sesuatu yang lebih seperti khas ‘minimarket'.”
Meskipun
aku merekomendasikan anggur dengan baik hati, sepertinya dia tidak tertarik.
“Kalau
begitu, bagaimana dengan makanan ringan panas di depan kasir?”
“Makanan
ringan panas? ...Oh, itu! Aku tertarik sejak masuk ke toko ini!”
Mungkin
dia belum pernah mencobanya.
Lebih
tepatnya, bukan berarti ia belum pernah mencoba, tapi reaksinya seolah-olah ia
bahkan tidak mengetahuinya...
“Selain
itu, bisakah kamu meminjamkan uang padaku?”
“...Uang?”
Tiba-tiba,
tingkat mencurigakan pria itu meningkat drastis.
Namun,
saat ini aku memiliki cukup banyak uang untuk disisihkan karena gaji saya
sebagai pengurus. Makanan ringan panas itu hanya seharga dua ratus yen, jadi kupikir
itu baik-baik saja dan memberikan dua koin seratus yen.
“Terima kasih.
Kamu baik sekali.” kata pria itu sambil menatap mataku langsung.
“Aku
memiliki prinsip untuk tidak membawa dompet. Dengan begitu, aku bisa membina
berbagai hubungan,”imbuhnya.
“….Haaa”
Mungkin
ini seperti edisi lanjutan dari mencopet?
Meskipun
pria ini jelas-jelas mencurigakan, entah mengapa aku tidak merasa begitu
khawatir. Mungkin karena karismanya yang berkelas. Meskipun ucapan-ucapannya
seharusnya terdengar aneh, entah mengapa terasa seperti kilauan kejeniusan.
Pria itu
menuju kasir dan memesan makanan ringan.
Hinako
sedang menungguku, jadi aku juga harus membeli es krim...
Saat pria
itu pergi, hampir bersamaan, aku mulai membayar di kasir dan mengambil tiga es
krim.
“Itsuki-kun...?”
Setelah
pembayaran selesai, seorang pegawai wanita menatapku dengan kaget.
Aku pun
mulai mengenali suaranya.
“Adachi-san...?”
Dia
adalah salah satu mantan teman sekelasku.
Aku tidak
menyadarinya saat melihatnya dari jauh, tapi setelah melihatnya dengan jelas,
tidak diragukan lagi kalau dia memang Adachi-san.
“Lama
tidak bertemu.”
“Yeah,
lama tidak bertemu.”
Kami
saling bertukar sapa dengan canggung.
Tanpa basa-basi,
kami kehilangan topik pembicaraan.
Tidak ada
pelanggan lain di dalam minimarket. Sebelum suasana hening ini berubah menjadi
canggung, aku mencoba mencari kata-kata berikutnya.
“Kamu
bekerja di sini?”
“Yeah.
Uang saku saja tidak cukup.”
Dengan
berkata demikian, Adachi-san menatap wajahku.
“Entah
kenapa, rasanya kamu sudah berubah ya, Itsuki-kun.”
“Oh ya?”
“Kamu
terlihat lebih percaya diri... mungkin karena postur tubuhmu lebih tegap. Kamu
juga terlihat lebih rapi daripada sebelumnya.”
Setidaknya
sepertinya bukan dalam artian negatif.
Mengatur
postur dengan tegak dan berperilaku dengan baik adalah sesuatu yang telah
kubiasakan sejak menjadi siswa Akademi Kekaisaran. Aku merasa senang ketika hal
itu diakui oleh orang lain.
“Adachi-san
juga sama, kamu terlihat sudah berubah ya.”
“Oh,
bagian mana yang berubah?”
“Entah
bagaimana... kamu jadi terlihat lebih mencolok.”
Mungkin
perkataanku terlalu blak-blakan, tapi itulah tanggapan jujurku.
Dia
memakai anting. Kukunya juga tampak dihias. Rambutnya juga sedikit diwarnai.
Setelah
menjadi siswa kelas dua SMA, mungkin Adachi-san memutuskan untuk menikmati
berdandan dalam batas yang diperbolehkan. Namun, dia tidak seperti itu tahun
lalu. Meskipun Adachi-san bukan tipe yang selalu mengikuti arus, penampilannya
biasanya tenang. Setidaknya, dia tidak mencoba untuk menonjol dengan sengaja.
“Aku
hanya ingin merubah penampilanku saja.”
Adachi-san
menjawab singkat.
Merubah
penampilan. Saat aku mencoba menebak alasan di baliknya, aku segera mengalihkan
pandanganku.
“Kenapa
wajahmu terlihat seperti itu?”
“Enggak,
entah kenapa... terasa canggung.”
“Karena
aku mengaku cinta padamu?”
“...Yah.”
Karena aku
tidak bisa membuat alasan yang baik, jdai aku mengangguk secara jujur.
Ketika
aku masih di kelas satu SMA, Adachi-san pernah menyatakan perasaannya padaku.
Saat itu aku tidak terlalu menyadarinya, tapi sekarang kuingat dia sering
mendekatiku.
Namun,
aku menolak perasaan Adachi-san.
Kondisi
keluargaku saat itu sangat sulit, aku tidak bisa memikirkan hal lain.
“Perubahan
penampilanku tidak ada hubungannya denganmu, Itsuki-kun.”
Aku
merasa lega dalam hati. Namun, karena malu untuk menunjukkan kelegaanku,
akhirnya aku hanya mengangguk dengan ekspresi aneh.
Adachi-san
tertawa saat melihat tanggapanku yang seperti itu.
“Tahun
lalu ada banyak hal yang terjadi, ya.”
Adachi-san
berkata sambil bernostalgia dengan masa lalu.
“Aku
sedikit absen dari sekolah setelah Itsuki-kun mencampakkanku, kan? Aku bilang
ke orang-orang sekitar itu hanya masalah kesehatan biasa, tapi sebenarnya aku
cukup terpukul, tau.”
“… Entah
kenapa aku sudah bisa menebak pasti begitu.”
“Eh.
Kalau gitu, kenapa kamu tidak datang menjengukku?”
“Kalau
aku datang, keadaannya mungkin malah semakin bertambah buruk, ‘kan?”
Dengan
tersenyum kecil, Adachi-san tertawa.
Meskipun
tidak ada yang bersalah satu sama lain, percakapan kami tadi serasa seperti
sesi pembersihan.
Untuk
sedikit demi sedikit mengembalikan hubungan yang canggung ini.
“Jadi,
entah untuk melindungi aku atau apa, teman-temanku dulu sempat membenci
Itsuki-kun...”
“Ah... jadi
memang dulu aku dibenci ya.”
“Maaf ya.
Mungkin karena aku bertingkah aneh. Ketika mengatakan bahwa aku ditolak karena alasan
masalah rumah tangga, semua orang langsung tidak mempercayainya dan berkata 'itu pasti bohong', jadi...”
“Tidak,
aku juga salah mengatakannya. Aku jarang menjelaskan tentang keadaan keluargaku
kepada siapa pun, jadi tiba-tiba menolak dengan alasan itu tentu sulit dipahami.”
Sambil
berbicara, aku juga sedikit demi sedikit mengingat kembali kejadian saat itu.
Benar
sekali.
Saat aku
masih di kelas satu SMA, aku tidak selalu merayakan masa remaja yang berkilau.
Terkadang ada hal-hal yang tidak berjalan lancar dan terkadang ada saat-saat di
mana aku merasa sangat gelisah.
“Kita
berdua memang belum dewasa pada waktu itu, ya.”
“… Ya,
betul.”
Meskipun kita tidak bisa menjadi sepasang kekasih, mari tetap
berteman dengan baik ... cara berpikir seperti itu
hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mahir dalam hal percintaan, bukan sesuatu
yang bisa dilakukan oleh diriku maupun Adachi-san.
Aku menggaruk
belakang kepalaku ketika mengingat kenangan yang menyedihkan.
“Pada
waktu itu, isi kepalaku sudah penuh dengan urusanku sendiri. Aku berharap kalau
kita bisa memulai semuanya dari awal lagi.”
“Hmmm~.
Jadi, apa itu berarti aku boleh mencobanya lagi?”
“Eh?”
Meskipun
bukan itu maksudku...
“Sebenarnya,
aku masih agak tertarik pada Itsuki-kun...”
“Ti-Tidak,
itu sih….”
Adachi-san
mencondongkan dirinya ke depan dan meraih tanganku sambil menatap tajam ke
arahku
“Hei? Apa
kita bisa mengobrol-ngobrol lagi lebih lanjut? Sebentar lagi shift kerjaku akan
selesai.”
“Meskipun
kamu meminta untuk mengobrol-ngobrol lagi...”
Aku masih
terkejut saat dia mendekat dengan cepat.
Memangnya
Adachi-san selalu seperti ini, ya? Apa dia tipe orang yang begitu merayu?
Mulai
dari penampilan hingga kepribadian, rasanya dia terlalu berbeda dengan
Adachi-san yang kukenal di dalam ingatanku.
“Permisi.”
Pada saat
itu, seorang pria berjas yang seharusnya telah meninggalkan toko, tiba-tiba mendekati kami dan memanggil.
Adachi-san segera memperbaiki postur tubuhnyanya.
“Maaf.
Saya akan segera melayani pembayaran anda...”
“Oh tidak, bukan tentang itu. Aku hanya merasa tidak tahan setelah
mendengarkan percakapan kalian.”
Koreksi
pria itu jelas menciptakan keretakan suasana.
Apa aku
salah dengar? Pria ini baru saja mengatakan sesuatu yang sangat kasar.
Pria itu
tersenyum dan menatap Adachi-san dengan senyuman
yang tampak dibuat-buat.
“Kamu gadis SMA, ‘kan? Menjalin hubungan tanpa cinta tidak akan
menguntungkan kedua belah pihak.”
Setelah
mendengar kata-kata itu, Adachi-san
sedikit terguncang.
Namun,
segera wajahnya yang kaku menunjukkan senyuman yang terpaksa seakan-akan mencoba menutupi sesuatu.
“.....Apa
yang Anda bicarakan?”
“Lebih
baik menunggu sampai kamu sedikit lebih dewasa
sebelum memulai hubungan demi uang. Hubungan
yang semacam itu juga mempunyai kesulitannya sendiri, sih.”
“Aku
tidak pernah mengatakan kalau aku sedang
mengincar uang kok.”
“Tapi,
bukannya kamu sudah berpacaran dengan seseorang?”
Kali ini,
Adachi-san jelas-jelas terlihat terguncang.
Adachi-san
menatap pria itu dengan mata terbelalak seolah bertanya, ‘mengapa?’.
“Maaf ya. Aku bisa melihat hal seperti
itu.”
Pria itu memberitahu demikian dengan
sikap yang sama sejak awal.
Kerutan
di dahi Adachi-san semakin dalam. Rasa kesal
dan ketidaknyamanan. Kedua emosi itu tampaknya telah melampaui batas kesabarannya.
“Tcih.”
Pada akhirnya,
Adachi-san hanya mendecakkan lidahnya.
Meskipun aku merasa ragu apakah aku harus mengatakan sesuatu, tapi Adachi-san tidak mau menatapku.
Karena
pembayaran es krim sudah dilunasi, aku meninggalkan minimarket sambil tetap memikirkan Adachi-san.
“Tadi itu
kamu lagi apes ya.”
Saat
pintu otomatis tertutup, pria itu berkata padaku.
“Meski kamu
bilang demikian... Tidak
mengherankan dia marah saat kamu
mendadak berkata begitu.”
“Nyatanya
memang begitu. Hmm... Apa ini akan terulang lagi?”
Pria itu
mengangkat bahu tanpa terlalu merasa menyesalinya.
“Itsuki-kun.
Memiliki sikap rendah hati itu baik, tapi alangkah baiknya
kamu memahami situasimu dengan baik. Karena kedepannya, kemungkinan besar kamu
akan semakin sering dikelilingi oleh orang-orang seperti itu.”
Aku
merasakan perasaan tidak nyaman ketika mendengar perkataannya.
Bagaimana
ia tahu tentang situasiku? Selain itu...
“Mengapa,
kamu bisa tahu namaku...”
“Kenapa
menurutmu?”
Pria itu
tersenyum dengan penuh menantang.
“Petunjuknya,
kamu bisa pulang kampung berkat diriku.”
Kata-kata
pria itu membuatku mengingat kembali beberapa hari terakhir.
Apa yang
menjadi pemicu pulang kampung kali ini? Itu karena Hinako ingin pergi ke
rumahku. Lalu, alasannya adalah...
Apa yang
mendorong Hinako untuk meninggalkan
rumahnya?
“...Konohana, Takuma-san?”
“Benar sekali.”
Pria itu
mengangguk dengan senyum yang agak mencurigakan.
“Senang
bertemu denganmu, namaku Konohana Takuma.
Terima kasih karena selalu menjaga adik perempuanku.”
◆◆◆◆
Di area tempat parkir minimarket, aku berhadapan dengan Takuma-san sambil membawa sekantong es krim di tanganku.
“Aku
memintamu untuk meminjamkanku uang, bukan? Bukan untuk memberikannya kepadaku. Singkatnya, aku punya kemampuan untuk
membayarnya kembali.”
Yahh tentu
saja ia bisa,
pikirku.
Karena ia
adalah keluarga Hinako, jadi bisa diasumsikan ia tahu segalanya tentang diriku. Aku yakin kalau ia juga sudah mengetahui
di mana aku dan Hinako tinggal saat ini. Takuma-san
bisa bertemu denganku kapan saja jika ia mau.
“Ehm,
Takuma-san, mengapa kamu ada di sini...?”
“Cuma sekadar
menghabiskan waktu luang. Kalau aku harus
mengatakannya, aku hanya ingin melihat-lihat sedikit kota tempat yang dipilih adikku sebagai tempat berlindung.”
Jadi,
apakah pertemuan kita hanya kebetulan semata?
Selama ia
menggunakan istilah 'tempat berlindung',
orang ini pasti sadar bahwa ia sedang dihindari oleh Hinako.
Namun,
Takuma-san tidak terlihat sedih.
“Bagaimana
dengan pekerjaanmu sebagai
pengasuh?”
Takuma-san tiba-tiba bertanya demikian.
Saat aku
agak terdiam dalam memberikan jawaban, Takuma-san
melanjutkan dengan pertanyaan lain.
“Apa itu bermanfaat?”
“...Hmm,
aku rasa begitu.”
“Hahaha,
mau sampai kapan kamu akan tetap
tegang seperti itu? Dibawa santai saja, oke.”
Takuma-san tertawa dengan santai.
Tapi,
keteganganku tidak kunjung menghilang.
Aku terus
merasakan hal seperti itu sejak beberapa waktu yang. Takuma-san
memberikan nuansa aneh dan janggal yang tidak kuketahui.
Nada bicaranya santai, tapi ada sesuatu yang sulit dipahami tentang dirinya.
“Mengurus anak itu pasti melelahkan,
bukan? Apa kamu tidak merasa stress?”
“...
Tidak, aku justru merasa puas. Jadi aku tidak terlalu tertekan.”
“Syukurlah
kalau begitu. Karena pendahulumu
sampai sakit parah, loh. Aku
tidak tahu apa dia mengalami trauma dengan nama Konohana,
tapi sejak saat itu sepertinya dia tidak bisa
lagi menggunakan layanan grup kami.”
Itu benar-benar hal yang tragis.
Menjalani
kehidupan tanpa bergantung pada kekuatan Grup Konohana di negara ini bukanlah hal
yang tidak mungkin, tapi sulit rasanya jika kamu tidak
memperhatikannya dengan seksama. Grup Konohana memiliki andil dalam bidang
perbankan, real estat, dan bahan makanan.
“Dari apa yang aku lihat lihat
tadi, sepertinya hubunganmu
dengan beberapa mantan teman sekelasmu masih terlihat baik-baik saja, ya.”
“Ya,
kurasa begitu. Tidak ada alasan untuk memiliki hubungan
buruk dengan mereka.”
Namun,
hubunganku dengan salah satu dari mereka
mungkin telah memburuk karena Takuma-san.
“Kamu
ini cekatan sekali ya. Atau
seharusnya kukatakan, kamu ingin menjadi pandai.”
Ucap Takuma-san
dengan nada terkesan.
“Justru
karana kamu seperti itu, aku akan memberitahumu."
Takuma-san
menatap lurus ke arah mataku dan berkata.
“Apa
kamu tahu alas an mengapa
ayahku mengizinkan Hinako untuk meninggalkan rumah?”
“Itu sih....
Mungkin karena belakangan ini Hinako telah menjalankan
tugasnya sebagai putri keluarga Konohana,
dan juga karena Kagen-san
mulai mempercayai Hinako?”
“Kamu
terlalu terlalu memuji orang itu.”
Takuma-san
menanggapi sambil tertawa.
Aku
menyadari bahwa itu adalah tawa yang penuh kasih
sayang.
“Berbeda
dengan hotel tempat kursus musim panas, rumahmu tidak memiliki keamanan yang
ketat. ... Kamu pikir ayahku
yang khawatiean itu akan membiarkan Hinako pergi
begitu saja dari rumahnya?”
Setelah
dia mengatakannya begitu,
aku mulai meragukan perkiraanku sendiri.
Memang benar
kalau Kagen-san merupakan orang yang khawatiran.
Sebaliknya, ia tampaknya berhati-hati. Ia
tampaknya memiliki pemahaman yang lebih mendalam
tentang tanggung jawab berat Grup Konohana dibandingkan orang lain, dan selalu
berhati-hati dalam mengambil keputusan yang sepadan dengan tanggung jawab
tersebut.
Apa
alasan Kagen-san mengizinkan Hinako pergi dari rumahnya?
Seperti
yang kukatakan sebelumnya, sesuatu yang
didasarkan pada kemanusiaan mungkin bukan tipikal Kagen-san.
“Sebenarnya,
keluarga Konohana sedang mengalami
kekacauan saat ini.”
“Kekacauan, ya?”
“Konoha
Link Co., Ltd., salah satu perusahaan grup kami, telah menyebabkan skandal karena penyalahgunaan kekuasaan. Masyarakat umum tidak ada mengetahuinya karena belum
diberitakan, tetapi informasi tersebut sudah
bocor di kalangan industri yang sama. Itu sebabnya, demi keamanan, kami
memutuskan untuk menjauhkan
Hinako dari rumah keluarga Konohana.”
Penjelasan
yang dijelaskan secara ringkas tersebut terdengar masuk
akal sampai batas tertentu.
Sebaliknya,
itu adalah jawaban yang terasa lebih sesuai dengan
dugaanku. Memang benar
jika ada keadaan yang seperti
itu, Kagen-san mungkin akan memberikan izin atas kepergian Hinako dari rumahnya.
“Ayahku
adalah orang yang tidak bisa mengambil keputusan tanpa perhitungan. Mohon maafkan dia.”
Takuma-san berkata dengan nada meminta
maaf.
Apa orang
ini juga memiliki hubungan yang buruk dengan ayahnya?
Aku merasa penasaran, tapi ada hal lain yang
ingin kutanyakan padanya
sekarang.
“Apa
Hinako tahu tentang kekacauan itu?”
Jika
Hinako mengetahuinya, bukankah dia akan menekan kegelisahannya di dalam
hatinya?
Mata
Takuma-san membelalak mendengar pertanyaanku.
“...Kamu
ini sungguh orang yang sangat
baik dan lembut. Apa itu hal pertama yang kamu katakan setelah mendengar apa
yang baru saja kukatakan?”
Takuma-san menghela nafas pendek.
“Tentu saja
dia
mengetahuinya. Ayahku seharusnya sudah memberitahunya. Tapi kurasa dia mungkin hanya mengetahui
informasi sebanyak yang baru saja diceritakan
padanya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa mengenai hal ini.”
Takuma-san
menjawab dengan santai.
“Meski hal
ini membuatku sedih untuk mengatakannya sendiri, tapi alasan dia meninggalkan rumah itu karena dia tidak ingin menemuiku. Dia sama sekali tidak
menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya di hadapanmu.”
Takuma-san
berkata demikian seolah-olah ingin menghilangkan
kegelisahanku.
Dengan
kata lain, Hinako merahasiakan skandal grup
Konohana agar tidak membuatku khawatir, dan rupanya dia tidak meninggalkan
mansi untuk melarikan diri dari kakaknya.
Jika aku memikirkannya dengan tenang, kurasa itu masuk akal.
Saat
Hinako datang ke rumahku dan saat kami berjalan-jalan
melewati kawasan perbelanjaan, matanya tampak berbinar-binar
karena kegembiraan. Sulit dipercaya bahwa semua itu adalah kebohongan.
Pada saat
itu, aku mendengar suara langkah kaki dari belakang.
“Itsuki-san. Aku datang menjemputmu karena kamu pulangnya lama sekali,
tapi—”
Shizune-san
mendekati kami saat kami berbicara di tempat parkir minimarket.
Karena
suasana di sekitar kami terlihat gelap, jadi dia mungkin tidak
bisa melihat siapa yang sedang aku ajak bicara sampai dia mendekat. Shizune-san
menatap orang yang berdiri di depanku dan matanya sedikit melebar.
“...Takuma-sama.
Kenapa Anda bisa ada di sini?”
“Halo,
Shizune. Kamu terlihat galak seperti
biasanya."
Takuma
menyapa Shizune-san dengan santai.
“Aku
hanya datang ke sini untuk menghabiskan
waktu. Shizune tahu kalau hobiku itu berkeliaran,
‘kan?”
“...Saya pikir saya sudah mengatakannya kepada Anda untuk
menghentikan hobi itu.”
“Karena aku tidak bisa menghentikannya makanya itu disebut
hobi.”
Shizune-san, yang biasanya tenang dan tidak
menunjukkan emosi apa pun, memiliki ekspresi sedikit tegas.
Shizune-san
menarik napas dalam-dalam dan menatapku.
“Itsuki-san, apa pria ini memberitahu
sesuatu yang tidak perlu padamu?”
“Eh, ummm……”
Bagaimana
aku harus menjawabnya?
Saat aku memikirkannya dengan bimmbang, Takuma-san menghela nafasnya.
“Hei, hei, bukannya itu kejam sekali?
Aku masih anak tertua keluarga Konohana, ‘kan? Aku takkan membicarakan hal itu, lah.”
“Syukurlah
kalau begitu...”
“Aku hanya
menjelaskan kepadanya mengenai kekacauan
yang dihadapi Grup Konohana saat ini.”
Shizune-san
memelototi Takuma-san seolah-olah mengatakan, “Bukankah itu yang sedang Anda lakukan?”
“Itsuki-kun mengira kalau ayah memercayai Hinako dan
mengizinkannya pergi keluar,
tapi aku penasaran apakah
Shizune-lah yang menanamkan hal ini padanya?'”
“...Terlepas apakah saya yang memengaruhinya atau tidak,
mungkin ada beberapa aspek di dalamnya.”
“Memang
benar ayahku sudah berubah.
Tapi menurutku itu sangat berbahaya jika kita
membesar-besarkan perubahan kecil seperti itu.....kamu mungkin kehilangan
sebanyak yang kamu harapkan.”
Takuma-san
berkata dengan ekspresi agak kesepian di wajahnya.
Aku
hanya bisa memahami secara samar apa yang mereka berdua perdebatkan.
“Takuma-sama.
Memangnya ada keperluan sampai
memberitahu Itsuki-san tentang masalah grup
Konohana?”
“Tidak ada
kewajiban untuk tidak memberitahunya,
kan? Bukan hal baru jika Shizune bersikap terlalu protektif, tapi dalam
kasusnya, bukankah lebih baik kalau memberitahunya daripada tidak memberitahunya
apa pun?”
“...Saya memikirkannya dengan cara saya sendiri.”
Shizune-san
memelototi Takuma-san.
Bagaimana
bilangnya ya...rasanya ini baru pertama kalinya aku melihat
Shizune-san dikalahkan.
Aku tidak
tahu apakah Takuma-san melakukannya dengan sengaja
atau tidak, tapi Shizune-san tampak sedang
dipermainkan.
Ketika aku
menyaksikan adegan itu, aku
tiba-tiba berpikir.
(...Mungkinkah
alasan Shizune-san sangat sibuk akhir-akhir ini adalah karena Takuma-san?)
Karena
putra sulung keluarga Konohana tiba-tiba datang ke apartemen tempat kami tinggal, jadi mungkin ada banyak prosedur yang perlu
dilakukan karena komitmen pekerjaannya.
Saat
aku menonton Takuma-san mempermainkan
Shizune-san, mau tak mau aku memikirkan hal seperti itu.
“Masalahnya bukan itu, kok.”
Takuma-san
berkata demikian saat ia mengalihkan
pandangannya ke arahku.
“Kesibukan
Shizune semata-mata karena skandal yang kujelaskan
tadi, dan tidak ada hubungannya dengan kunjunganku kemari.”
Takuma
dengan percaya diri berkata begitu.
Shizune-san,
yang berdiri di sudut pandanganku, tidak mengatakan apa pun. Itu mungkin sikapnya dalam memberikan
penegasan dalam diam.
Namun,
lebih dari itu...
“...Um,
aku belum mengatakan apa-apa, ‘kan?”
Apa aku
baru saja mengatakan pertanyaan itu di kepalaku?
Tidak—mana
mungkin aku melakukan. Aku
takkan akan mengatakan dugaan
kasar seperti itu di depan orang yang bersangkutan. Aku tahu itu tidak sopan, jadi itulah sebabnya aku menyimpannya untuk
diriku sendiri.
Namun,
seakan-akan ia bisa membaca pikiranku,
Takuma-san menunjuk ke arahku.
Takuma-san
tertawa saat ia melihatku masih dalam keadaan
linglung.
“Sudah
kubilang, ‘kan? Aku mengerti hal-hal semacam itu.”
Bulu kudukku
terasa merinding.
Aku ingin
tahu apa Adachi-san juga merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan sekarang.
“Yah,
kamu tidak perlu khawatir dengan kekacauan ini, Itsuki-kun.
Serahkan saja hal
semacam ini kepada
orang dewasa licik seperti kami.”
Takuma-san berkata seolah tidak terjadi
apa-apa.
Aku tidak
bisa menjawab karena aku tidak ingin memasukkan Shizune-san ke dalam kelompok
orang dewasa yang licik itu, apalagi Takuma-san.
“Baiklah,
aku akan segera pergi... ah iya, benar juga. Ada satu hal lagi yang perlu
kukatakan pada Itsuki-kun.”
Takuma-san
kemudian mendekatiku dan berbisik di
telingaku sehingga Shizune-san tidak bisa mendengarnya.
“Dengan
keadaanmu yang sekarang,
kamu tidak bisa menjadi tempat berlabuh Hinako.”
Apa maksudnya
itu?
Sebelum
aku sempat bertanya balik, Takuma-san sudah
berjalan pergi.
Es krim
yang kubeli untuk Hinako sudah benar-benar
meleleh.
◆◆◆◆
Aku
membeli es krim sekali lagi
dan dalam perjalanan pulang.
Smartphone-ku
mengingatkanku ada
panggilan masuk dari Yuri.
“Itsuki, boleh bicara sebentar? Sebenarnya,
sepertinya gadis yang kamu temui
di depan sekolah hari ini memberitahu Adachi-san tentang Itsuki tanpa izin.”
“.....Jadi begitu ya?”
“Ya.
Umm jadi, kupikir aku tidak perlu
memberitahumu, jadi aku tetap diam, tapi... Adachi-san, sejak dia menginjak kelas 2, dia
mulai bergaul dengan banyak orang aneh. Aku tidak
tahu apakah itu yang jadi pengaruhnya,
tapi setiap kali dia
menemukan seseorang yang sepertinya punya uang, dia langsung mendekati mereka. Kalau
dipikir-pikir, karena Itsuki
adalah murid di Akademi Kekaisaran,
jadi kamu harus berhati-hati.”
“Ah...
aku akan melakukannya.”
Setelah
menyelesaikan panggilan dengan Yuri, aku memasukkan ponselku ke dalam saku.
Aku
menghela nafas kecil.
“Um,
Shizune-san.”
Aku
bertanya pada Shizune-san yang berjalan di sampingku.
“Kira-kira Takuma-san itu orang yang seperti apa, ya?”
“...Rasanya sulit untuk menjawab pertanyaan
itu.”
Shizune-san mulai berbicara sambil berjalan.
“Jika
aku harus menggambarkannya dalam
satu kata, aku akan
mengatakan bahwa dia adalah orang yang berjiwa bebas. Dia bijaksana, tetapi
nilai-nilai dasarnya tidak
selaras, sehingga sulit baginya untuk memahami satu sama lain. Bahkan anggota keluarganya sendiri, Kagen-sama dan
Ojou-sama, tidak mampu memahami isi hatinya.”
Shizune-san terus melanjutkan sambil
menatap pemandangan kota di malam hari.
“Meskipun
begitu, ia masih keturunan dari Keluarga
Konohana, jadi kemampuan
bawaan yang dimilikinya tidak kalah dari Ojou-sama.
... Terutama, intuisinya yang begitu
tajam sampai-sampai terasa menyeramkan.”
“Intuisi...”
Aku punya
sedikit gambaran tentang apa yang sedang dibicarakan.
Mungkin
karena dia bisa menebak perasaanku, Shizune-san melanjutkan penjelasannya.
“Apa
kamu tahu apa itu 'EQ'?”
Aku
menggelengkan kepalaku.
“Emotional
Intelligence Quotient... yang mana artinya adalah kecerdasan
emosional. Ini seperti versi psikologi dari IQ yang mengukur kecerdasan. Orang
dengan EQ tinggi cenderung memiliki kemampuan untuk merasakan emosi orang lain
dan mengatur emosi dengan baik.”
Merasakan
emosi... mungkin itu berarti bisa merasakan perasaan orang lain. Kemampuan
untuk mengatur emosi mungkin berarti bisa mengendalikan emosinya sendiri. Aku hanya menebak dari
intuisi, tapi aku bisa memahaminya sedikit.
“Takuma-sama memiliki EQ yang luar
biasa, bahkan tidak ada yang sebanding dengannya di dunia. Ia sendiri menganggapnya sebagai
kemampuan komunikasi yang terlalu tinggi. ... Takuma-sama bisa menebak pikiran
seseorang hanya dengan melihat ekspresi wajahnya. Itulah sebabnya kadang-kadang ia berbicara
seolah-olah bisa membaca pikiran lawan bicaranya.”
Jadi, itulah sebabnya Takuma-san bisa menebak pikiranku dengan tepat? Aku yakin itu juga sama seperti
saat ia berbicara dengan
Adachi-san juga...
“Namun,
karena memiliki bakat seperti itu, Takuma-sama
tidak terlalu pandai dalam
komunikasi yang biasa. ... Tidak mengherankan. Hal yang dianggap sepele bagi
Takuma-sama, bisa jadi hal yang sama
sekali tidak diingat oleh lawan bicara.”
Saat kami
berdua keluar dari minimarket, Takuma-san berkata, “Lagi-lagi begini.” Meskipun
ia berbicara setelah memahami perasaan lawan bicara, tapi orang-orang di
sekelilingnya tidak memahaminya. Mungkin ia sudah sering
mengalami hal seperti itu.
Pada saat
itu, ia merasa putus asa dengan makna yang tersirat.
“...
Sepertinya Shizune-san tahu
banyak tentang Takuma-san, ya.”
Shizune-san membicarakan Takuma-san dengan lebih rinci daripada yang aku duga.
“Yah,
pada awalnya aku melayani Takuna-sama, bukan Ojou-sama.”
“Eh?”
Aku baru pertama kali mendengarnya.
“Walaupun sebenarnya
ia tidak pernah membutuhkanku,
jadi aku langsung dipindahkan untuk melayani Ojou-sama.”
“...
Begitu ya.”
“Iya.
Rasanya sangat menyegarkan.”
Tidak
biasanya Shizune-san
menunjukkan emosinya secara terbuka begini.
Saat kami
hampir sampai di rumah, aku kembali teringat
kata-kata yang diucapkan
Takuma-san padaku.
——
Dengan keadaanmu yang sekarang,
kamu takkan bisa
menjadi tempat berlabuh Hinako.
Apa arti
dari kata-kata itu?
Aku
membuka pintu rumahku tanpa mengetahui jawabannya.
Di dalam
rumah, Hinako sedang berbaring di atas bantal dengan menggunakan bantalan
sebagai ganjalan. Meskipun dia tidak tidur, dia
tampak sangat lesu...dengan kata lain, dia tampak bermalas-malasan seperti
biasanya.
Kata-kata
Takuma-san masih terngiang-ngiang di kepalaku, tapi aku memutuskan untuk
melupakannya.
"Hinako,
aku membawakanmu es krim.”
“Aku mau memakannya...!”
Hinako
yang tadinya sedang rebahan pun langsung terbangun.
Apa kamu ingin memakannya sebanyak itu?
Aku bertanya pada Hinako, yang sedang
membuka kantong plastik dan memilih es krim dengan mata berbinar.
“Apa
Hinako sudah tahu kalau Grup Konohana sedang terlibat dalam skandal?”
“...Iya tahu. Apa kamu mendengarnya juga, Itsuki?”
Jika aku memberiathunya bahwa
aku mendengarnya dari Takuma-san, dia mungkin akan menunjukkan ekspresi jijik
seperti yang dia lakukan beberapa hari yang lalu, jadi aku hanya berkata, “Iya” sebagai tanda setuju.
“Aku
berharap mereka akan mengambil tindakan...”
Setelah
menggigit es krim, Hinako bergumam pelan dengan ekspresi seperti misterius
di wajahnya.
“Papa,
kasihan sekali.”
Kagen-san, yang lebih peduli dengan Grup
Konohana daripada siapa pun, pasti merasa
terganggu dengan skandal ini.
Iya benar juga,
aku mengangguk setuju.