Chapter 2 — 15 September (Rabu) Ayase Saki
Lonceng yang
menandakan waktu istirahat siang berbunyi, dan aku berdiri dari tempat duduk
dengan membawa kotak bekal makan siang.
Aku
memanggil ketua kelas yang duduk di sebelahku.
“Maaf, hari
ini aku punya janji lain.”
Sambil
berkata begitu, aku menggoyangkan kotak makan siang di tanganku dan mencoba
menunjukkan dengan satu tangan. Itu sebagai tanda bahwa aku tidak bisa makan
bersamanya.
“Oh? Ah, 'ruang
istirahat'?”
Aku
mengangguk.
“Maaf ya.”
“Tidak
apa-apa. Lagipula, kita tidak benar-benar punya janji, ‘kan? Hei, Ryo-chin.
Kamu mau makan siang di mana hari ini?”
“Hari ini
aku mau ke kantin.”
“Oh, jadi
bukan hari bawa bekal ya?”
“Ibuku
sedang flu. Jadi, aku akan pulang lebih awal setelah sekolah. Harus masak makan
malam.”
“Walah,
aduh, pasti itu sulit. Kalau begitu, aku akan ikut. Jadi, kita akan pergi ke
kantin, Saki-san.”
“Ah, ya.
Baiklah.”
Saki-san……
kemarin dia memanggilku 'Saki-ppé' dan sebelumnya 'Saki-chi'.
Ketua kelas
sepertinya tidak memiliki cara tetap untuk memanggilku. Mungkin bukan karena
sengaja, tapi lebih karena dia tidak terlalu memikirkannya. Rasanya tergantung
pada suasana hatinya saat itu.
Setelah
meminta maaf kepada Ryo-chin, Satou Ryouko-san, aku keluar dari kelas dan
menuju ke arah perpustakaan. Tujuanku bukan untuk meminjam buku, tetapi menuju
ke koridor yang menghubungkan ke gedung khusus.
Ruang
berbentuk persegi yang terletak di depan perpustakaan itu dilengkapi dengan
meja dan kursi yang disediakan untuk siswa belajar, membaca, atau makan. Selama
ada tempat kosong, siswa diperbolehkan menggunakannya secara bebas. Nama
resminya tidak diketahui. Tapi siswa-siswa lain menyebutnya 'ruang
istirahat'.
Di 'ruang
istirahat' itulah aku akan bertemu dengan Maaya.
Sambil
berjalan di koridor, aku tiba-tiba teringat. Jika dipikir-pikir, hingga satu
setengah tahun yang lalu, aku tidak pernah makan bersama teman sekelas. Jadi,
aku tidak pernah mengucapkan kata-kata seperti “Maaf tidak bisa makan
bersama.”
Ada banyak
yang berubah. Sekarang, aku merasa sangat tidak enak jika tidak mengucapkan
satu kata pun saat makan siang bersama mereka.
Sambil
menuju ke 'ruang istirahat', aku memikirkan hal-hal itu.
“Maaf,
apakah kamu menunggu?”
“Aku baru
saja datang!”
Meskipun dia
selalu mengatakan begitu meskipun sudah menunggu, aku meletakkan kotak makan
siang di sebelah Maaya.
Aku juga
merasa ingin minum, jadi aku membeli botol teh dari mesin penjual otomatis yang
ada di dekat sini. Dengan membawa itu di tangan, aku duduk di sebelahnya.
Tempat duduknya terang di dekat jendela.
Sudah lama
sejak terakhir kali aku makan siang bersama Maaya.
Setelah
duduk, aku melihat ke arah tangan Maaya dan merasa aneh.
Sepertinya
dia membeli makanan dari minimarket atau kantin sekolah, itu adalah kotak makan
siang siap saji.
“Jadi, kamu membawa
bekal?”
“Benar
sekali.”
“Benar
sekali apanya… Hmm, bukannya saat kelas dua lalu kamu biasanya makan roti?”
“Hebat, Saki
memang beda. Meskipun kamu tidak peduli dengan orang lain, kamu sangat
memperhatikannya, ya.”
“Apa itu
pujian atau sindiran?”
“Tentu saja
pujian lah. Aku pikir kamu sangat memperhatikan hal-hal seperti itu meskipun
tidak makan bersama. Seperti barang-barang aksesoris yang dibawa atau pakaian
orang.”
“Apa iya?”
Karena ini
tentang diriku, aku tidak begitu yakin, tetapi jika Maaya mengatakan begitu,
mungkin memang benar.
Memang…… aku
tidak terlalu menaruh perhatian terhadap orang lain, tapi bukannya berarti aku
tidak peduli. Ada pepatah yang mengatakan, ‘Kenali dirimu dan kenali
musuhmu, maka kamu tidak akan kalah dalam seratus pertempuran.’ (TN:Kata-kata bijak terkenal yang dikutip dari buku art of
war Sun Tzu)
Selain itu,
aku sadar bahwa aku secara tidak sadar memperhatikan fashion orang lain.
Setelah mendengar
itu, Maaya mengangguk.
“Saki
memiliki kemampuan observasi yang baik~. Memeriksa item dan kemampuan khusus
yang dimiliki orang lain sudah menjadi kebiasaanmu. Itulah dasar dari
petualangan. Untuk racun, ada penawar, dan untuk status abnormal, ada obat
pemulihan dari kondisi abnormal.”
Maaya
berkata sambil merobek plastik yang menutupi kotak makan siangnya.
Meskipun
rasanya agak berbeda, atau lebih tepatnya, apa itu kondisi abnormal? Apa ini
pembicaraan tentang permainan lagi?
Sambil
sedikit bingung, aku memperhatikan Maaya merobek kemasan makan siangnya.
Tertulis [Miso Katsu Bento]. Bahkan tertulis (porsi besar). Itu cukup
banyak, tetapi di mana tubuh kecilnya bisa menampung semua itu?
“Kamu bisa
menghabiskannya?”
“Tentu saja!
Nah, mengenai jawaban untuk pertanyaanmu tentang roti tadi. Saat pelajaran
kedua, kita ada pelajaran olahraga, kan?”
Aku
mengangguk. Karena kelasnya bersebelahan, jadi kami biasanya bersama saat
pelajaran olahraga. Saat itulah dia mengajakku untuk makan siang bersama.
“Aku merasa
sangat kelaparan~. Aku sudah membeli roti sebelum berangkat sekolah.”
“Jangan
bilang…”
“Tepat
sekali! Aku sudah makan roti lebih awal!"
Dia menunjukkan
jarinya ke langit dengan tegas, tetapi tunggu dulu. Jadi, dia berencana untuk
makan roti seperti biasa, tetapi karena lapar dia memakannya, jadi dia membeli
kotak makan siang baru?
“…Maaya,
kamu itu cewek, ‘kan?”
Kadang-kadang
aku pernah melihat anak cowok yang makan lebih awal.
“Sungguh
keterlaluan! Aku ini gadis yang malu-malu, lho~”
“Tidak bisa
dipercaya.”
“Kalau ada
pelajaran olahraga di pagi hari, aku tidak ragu untuk makan lebih awal! Karena
hari ini kita ada lari maraton, ‘kan?”
“Ya… memang
aku harus berlari cukup jauh.”
“Kalau merasa
lapar, jangan ragu untuk makan! Ini adalah pengetahuan umum bagi siswi SMA yang
ingin menang dalam ujian!”
…Begitu ya?
Sambil
meragukan pengetahuan Maaya, aku membuka kotak makan siangku. Ini hanyalah
kotak makan siang biasa yang aku isi dengan sisa makanan pagi. Potongan salmon
panggang dengan nasi, sisa telur dadar, dan sedikit rumput laut. Aku sudah
berusaha untuk menjaga kalori tetap rendah.
Setelah
mengucapkan “Selamat makan”, kami mulai makan siang.
“Ngomong-ngomong,
Saki tuh terasa jauh, ya.”
“Masa?”
Sejak
menjadi siswa kelas tiga, aku lebih sering menghabiskan waktu dengan Satou-san
dan ketua kelas, jadi memang sudah lama sekali aku bisa berbicara santai
seperti ini. Namun, kami masih bertemu di pelajaran olahraga beberapa kali
dalam seminggu, dan juga sering bertemu di kelas pilihan. Bagiku, aku tidak
merasakan perubahan jarak yang signifikan.
“Undangan ke
festival musim panas juga ditolak, ya~ aku jadi sedih, tau.”
Aku
terkejut. Ah, soal itu, ya. Meskipun aku tahu dia tidak benar-benar menangis,
aku merasa agak bersalah tentang acara kembang api.
“Itu, yah,
sedikit… ya. Maaf.”
Saat aku
mengucapkan kata-kata itu, tiba-tiba Maaya mengangkat wajahnya dengan ceria.
Kenapa dia malah tersenyum?
“Oh! Jangan-jangan
kamu pergi dengan orang lain, ya?”
“Eh, ah, enggak.”
“Pasti
dengan Asamura-kun, iya ‘kan!”
“Wah,
suaramu terlalu keras…”
Aku
menempelkan jariku di bibirku dan berkata, “Ssshh!” Dia terlalu peka. Dan
kenapa dia menatapku dengan mata seperti anak anjing? Apa dia begitu penasaran?
Sepertinya iya. Dulu aku bisa mengelak, tetapi Maaya sudah mengetahuinya.
“Yah, ya,
begitulah.”
“Uhyooooooo!”
“Ssshh!”
Apa-apaan dengan teriakan anehnya itu…?
Karena aku
sudah menolak ajakan jalan-jalan di festival musim panas, aku tidak ingin
berbohong kepada Maaya… dan aku merasa pemikiranku sudah berbeda dari dulu. Aku
juga sudah berbicara dengan Asamura-kun bahwa kami tidak perlu menyembunyikan
hubungan kami lagi.
Dengan
menghilangkan ekspresi di wajahku, aku memberi tahu Maaya, “Aku tidak akan
berbicara lebih lanjut tentang ini.” Maaya sedikit mengerucutkan bibirnya
seolah-olah dia sedang ngambek, tetapi sepertinya dia menyerah.
Sambil
menyeruput susu stroberi dengan sedotan, Maaya berkata.
“Tapi untuk saat
ini kita mengesampingkan itu dulu.”
“Kita bisa mengesampingkan
itu selamanya.”
“Baiklah,
untuk saat ini kita simpan. Bagaimana dengan persiapan festival budayamu?”
Aku merasa
lega karena topik percakapan sudah berganti menjadi lebih aman.
“Yah, lumayan.
…Kelasmu akan melakukan apa, Maaya?”
Kalau
dipikir-pikir, aku memang belum menanyakannya.
“Permainan
melarikan diri.”
“Melarikan…?”
Apa itu?
“Permainan
melarikan diri, masa kamu tidak tahu? Ini semacam permainan teka-teki. Setiap pemain
harus memecahkan teka-teki untuk bisa keluar dari tempat yang tertutup.”
“Kenapa harus
tertutup? Kenapa harus memecahkan teka-teki untuk bisa keluar?”
“Nah, ada
berbagai pengaturan untuk itu. Intinya, ini adalah permainan yang mengharuskan para
peserta bekerja sama dan bersenang-senang. Maksimal enam orang dibagi menjadi
kelompok, lalu ruang kelas dibagi-bagi, dan mereka bergerak secara bergiliran.
Jika teka-teki terpecahkan, mereka bisa maju. Jika waktu habis, maka mereka
gagal dan dikeluarkan dari permainan.”
“Hmm, hmm?”
“Maru-kun
sangat tahu tentang permainan seperti ini. Ia sudah membuat teka-teki dan
cerita yang cukup baik. Sekarang, kelompok anak laki-laki sedang membuat
properti besar, sementara kelompok perempuan membuat properti kecil. Seperti
kepala sapi.”
“Kepala
sapi!?”
“Sesuatu
yang dijadikan korban. Tentu saja itu palsu. Begini, ada lilin yang diletakkan
di kepala. Ada sup dengan bola mata, sayap kelelawar, dan ekor kadal.”
“Wah, panci
penyihir… cerita macam apa sih yang dijadikan latar belakangnya?”
“Itu akan
jadi kejutan saat kamu masuk! Pada hari acara nanti, datanglah bermain bersama
Asamura-kun, ya!”
“Ak-Aku akan
memikirkannya…”
Entah kenapa,
selera makanku mulai menurun. Meskipun begitu, karena masih ada sedikit
tersisa, aku berusaha untuk menghabiskannya.
“Kalau
kelasmu akan melakukan apa, Saki?”
“Kafe maid
dan butler kasino.”
Rasanya tidak
adil jika hanya aku yang tidak memberitahunya.
Singkatnya,
ini adalah kafe, yang merupakan hal umum di festival budaya. Hanya saja,
pelayan perempuan mengenakan kostum maid, dan pelayan laki-laki mengenakan
kostum butler. Hal itu itu masih biasa, tetapi kami akan mendekorasi interior
dengan suasana kasino dan membuatnya menjadi tempat untuk bermain permainan
kasino (tentu saja, tidak ada perjudian yang sebenarnya). Minumannya
juga akan disajikan dengan gaya yang menarik untuk media sosial.
“Wah, kalian
benar-benar berkompetisi, ya!”
“Sepertinya
ketua kelas menyukainya…”
“Oh, jadi
itu ide anak itu ya~. Dia kelihatan suka banget begituan sih ya~.”
Meskipun
tidak akrab, sepertinya dia mengenalnya. Ketua kelas memang mencolok.
“Apa Saki
juga akan mengenakan kostum maid?”
Hal begini
pasti akan ditanyakan. Itulah sebabnya aku tidak ingin mengatakannya.
“Yah… Ini
adalah keputusan kelas, jadi, ya. Tidak baik jika cuma aku satu-satunya yang
menolak.”
“Aku pasti
akan datang!”
“Uh… ya.
Silakan.”
Setelah aku
menjawab demikian, Maaya tersenyum.
“Saki, kamu
sudah berubah, ya.”
“Apanya yang
berubah?"
“Kamu
menjadi bodoh dalam artian yang baik!”
“Jangan
berpikir bahwa menambahkan 'dalam arti yang baik' membuat semuanya bisa
diterima.”
“Hahaha.
Saki terlihat mengintimidasi!”
Aku
mengerutkan bibir dan menatap Maaya, tetapi dia tampak tidak peduli. Bahkan,
dia malah tertawa terbahak-bahak.
“Hmmph.”
“Hahaha.
Jarang sekali Saki mengeluarkan suara seperti itu.”
“Aku hanya
menirumu saja, Maaya.”
“Ya, kamu
memang bodoh. Bodoh yang hebat.”
Maaya terus
tertawa, dan aku hanya bisa mengembungkan pipiku dengan perasaan cemberut.
Itu malah
membuatnya semakin terhibur.
“Bagus!
Bagus sekali! Dulu Saki terlihat dingin dan tidak mudah didekati, bisa dibilang
cantik dan kering, tetapi...”
“Tapi?”
“Sekarang
kamu terlihat manis dan imut!”
“Eh…”
Imut? Siapa
yang dia maksud? Aku tidak pernah berpikir tentang diriku seperti itu.
“Oh? Ada
apa?”
“Entah
kenapa… aku merasa sudah menjadi tidak baik.”
“Hmm?
Kenapa? Tidak ada yang salah. Aku sudah memujimu dengan baik.”
Apa dia
sedang memujiku? Benarkah? Tapi, aku merasa hidup dengan kuat dan bermartabat
adalah cara yang sesuai dengan diriku, dan itu adalah sosok ideal yang ingin
aku capai. Aku merasa telah berusaha untuk mendekati itu. Namun…
Bodoh.
Imut.
Manis?
Sejak kapan
aku menjadi diriku yang seperti ini?
“Apa aku
sudah berubah?"
“Sudah,
sudah. Mungkin kamu sudah berbeda dari Saki yang tahun lalu. Cinta memang bisa
mengubah seorang wanita.”
“Itu tidak
benar.”
Mana mungkin
seseorang bisa berubah hanya karena itu.
Meskipun
memang ada perasaan bahwa aku telah tumbuh dengan menerima pilihan untuk
bergantung dan bersikap manja pada Asamura-kun. Itu tetaplah pertumbuhan,
tetapi tidak ada perasaan bahwa… entahlah, seperti… cara keberadaanku telah
berubah.
“Yah, yang
mana saja tidak masalah sih.”
Maaya
berkata dengan senang.
“Bukannya
aku akan membencimu jika kamu tetap seperti yang dulu. Aku suka dirimu yang
dulu juga.”
“…Kalimat
memalukan, dilarang.”
“Bagian kamu
yang malu-malu itu juga lucu.”
“Aku tidak
peduli.”
Aku berusaha
untuk kembali ke wajah datar dan melanjutkan makan bekal. Jika aku memberikan
reaksi lebih, itu hanya akan membuat Maaya senang. Namun, saat aku menggerakkan
sumpit, tiba-tiba tanganku terhenti. Aku mulai merenung. Oh ya, aku ingat.
Belakangan ini, aku mungkin tidak bisa melihat diriku sendiri secara objektif
dalam berbagai arti.
Tiba-tiba,
aku melihat pemandangan di luar jendela. Mungkin karena masih pertengahan
September, pemandangan yang terlihat tidak jauh berbeda dari musim panas.
Daunnya masih hijau, dan rumputnya tetap berwarna cerah. Namun, sinar matahari
yang masuk memang terasa lebih lembut daripada musim panas, dan langit tidak
memiliki warna musim panas itu.
Musim perlahan-lahan
berganti tanpa kita sadari.
Saat
menjalani kehidupan hari-hari, sulit untuk mengetahui dengan jelas kapan dan di
mana musim panas berubah menjadi musim gugur. Perubahan datang sedikit demi
sedikit. Manusia tidak dapat merasakan perbedaan antara kemarin dan hari ini. Hanya,
suatu hari tiba-tiba kita menyadari. Oh, ternyata sudah musim gugur, ya. Begitulah
reaksi yang didapatkan.
Aku berpikir
dalam hati sambil diam-diam melihat kembali ke arah Maaya yang sedang menatapku
dengan senyum lebar di wajahnya. Sepertinya, di matanya, aku terlihat sangat
bodoh saat ini. Namun, yang membuatku bingung adalah aku sama sekali tidak
menyadari hal itu. Aku bahkan tidak tahu bagaimana penampilanku dari sudut
pandang orang luar saat ini.
Dulu, semuanya
itu berbeda. Aku selalu peduli dan memahami bagaimana orang lain
melihatku—setidaknya secara penampilan. Aku merasa begitu.
Aku
memfokuskan pandanganku dari pemandangan di luar jendela ke kaca jendela. Di
sana, wajahku samar-samar terpantul. Wajahku yang sudah akrab. Rambut panjangku
berwarna cerah. Rambutku sudah mulai tumbuh sepanjang yang sama seperti dulu,
dan aku berpikir bahwa aku harus memotong ujungnya untuk merapikannya. Di
telinga, ada anting kecil berbentuk bulat.
Aku ingin
bisa hidup mandiri dan menjadi wanita yang menarik. Sama seperti ibuku.
Aku juga
ingin belajar tentang fashion, sambil tetap tidak mengabaikan studiku.
Aku selalu
melihat cermin untuk memeriksa penampilanku. Yah, aku rasa itu cukup normal
bagi seorang gadis. Meskipun ada beberapa teman sekelas mengatakan bahwa aku
adalah gadis yang suka merayu laki-laki dan bermain-main. Aku tidak memedulikannya.
Itu adalah kata-kata orang asing yang tidak ada hubungannya denganku. Termasuk
itu, aku merasa bisa menjaga citra “Ayase Saki” yang sempurna. Tidak ada
perasaan bahwa ada perbedaan antara hasil analisis diriku dan bagaimana aku
terlihat dari luar.
Namun,
belakangan ini, hal itu terasa aneh.
Mungkin
karena aku merasa aman karena hubunganku dengan Asamura-kun sudah agak tenang,
atau mungkin karena alasan lain, tapi aku merasa tidak bisa mengendalikan cara
orang lain melihatku sama sekali. Kenapa?
“Ketika
Maaya bilang aku bodoh... rasanya cukup mengganggu, ya.”
“Sembarangan
saja, Saki. Jangan panggil aku bodoh sendirian. Ayo jatuh ke jalan bodoh
bersama-sama?”
“Enggak mau.”
“Eh?
Merajuk.”
Kami berdua
memakan bekal sambil mengobrol konyol. Tertawa bersama. Dalam situasi itu, aku
merasa, ah, ini bagus, ini nyaman, dan aku kembali bingung dengan diriku
sendiri.
Aku merasa kalau aku tidak bisa memahami “Ayase Saki” yang sekarang.
◇◇◇◇
Ketika aku
pulang dari kerja paruh waktu bersama Asamura-kun dan saat kami makan malam bersama
pada hari itu.
Kami berdua jarang
sekali makan sambil menonton TV di ruang tamu, tetapi kali ini kami
melakukannya karena penasaran dengan berita ekonomi yang dibahas oleh Yomiuri-senpai.
Ketika
berita hari itu selesai, dan beralih ke segmen topik produk baru yang tampaknya
populer, Asamura-kun tiba-tiba bertanya.
“Ayase-san, apa
kamu pernah menulis buku harian?”
Aku tidak
sengaja menelan potongan kentang dari nikujaga yang sedang aku kunyah. Aku
merasa napasku terasa sesak sejenak, dan aku memaksakan diri untuk menelannya.
Sakit. Potongan kentang itu jatuh dari kerongkongan ke lambung. Fyuh.
“Bu… buku
harian? Maksudnya, catatan harian begitu?”
Aku berusaha
bertanya dengan susah payah. Apa ia tahu bahwa aku sedang gelisah?
“Iya, catatan
harian yang diari begitu.”
Asamura-kun
berkata demikian tanpa menunjukkan tanda-tanda peduli. Apa itu “nikki”
yang bukan diari? Ngomong-ngomong soal nikki... ah, ya, itu adalah nama dari
rempah yang terbuat dari pohon Lauraceae, itu juga nikki, tapi, ya, bukan itu yang
dimaksud, aku tahu.
“Ah, ya. Aku
pernah menulisnya. Sekarang sih tidak lagi.”
“Oh, jadi
itu cerita lama?”
“Ah, iya, benar dulu sekali. Cerita lama.”
Sebenarnya
setahun yang lalu.
Aku teringat
diari yang tersimpan di dalam laci mejaku. Diari yang tersegel itu mencatat
dengan jelas bagaimana perasaanku terhadap Asamura-kun setelah aku menjadi
bagian dari keluarganya.
Saat aku
membaca ulang buku diari itu, perasaan yang ada di dalam hatiku seolah-olah
muncul kembali, dan aku menyadari bahwa detak jantungku semakin cepat tanpa
kusadari.
Tanpa
menyadari kegelisahanku, Asamura-kun berkata bahwa diari memiliki efek untuk
melihat diri sendiri secara objektif, dan ia mendengar hal itu dari Maru-kun.
“Benar juga...
Mungkin kurasa aku memang bisa melihat isi kepalaku secara objektif.”
Aku hanya
bisa mengatakannya dengan susah payah. Meskipun aku merasa itu sedikit berbeda.
Bukan hanya
isi kepalaku saja. Tapi emosiku juga bisa ikut dirasakan kembali, pikirku.
“Kadang-kadang,
terlalu objektif membuatku merasa malu, atau aku berpikir, apa sih yang aku
pikirkan... sampai-sampai aku harus memegangi kepalaku.”
Wajah
Asamura-kun terlihat terkejut.
Tapi,
sebenarnya memang begitu.
Bukan hanya sekedar
pemikiran saja. Kenangan tentang emosi saat aku berpikir juga bisa diingat
dengan jelas, mungkin karena aku pernah menuangkannya ke dalam bentuk diari.
Kesadaran.
Kesadaran, ya. Memang, aku menyadari perasaan cintaku melalui diari, bukan?
Demi mencegah
Asamura-kun menyadari kegelisahanku, aku mengalihkan pembicaraan dengan
santai.
Setelah
menyelesaikan beres-beres setelah makan malam, aku pergi mandi lebih dulu.
Aku mulai
memikirkan beberapa hal saat merendam diri di dalam bak mandi sendirian.
Mungkin kemampuan objektifku menurun (kalau menurut penuturan Maaya, aku berubah
menjadi bodoh) karena aku berhenti menulis diari...?
“Tapi, yah...”
Aku berpikir
sambil mencipratkan air di permukaan.
Rasanya aneh
juga kalau memulainya lagi sekarang.
Dan kemudian,
aku kembali mengingat isi diari yang ada di dalam laci meja, mengingat perasaan
campur aduk saat menulisnya, dan merasakan diriku yang berteriak malu, ‘Aaaahhhhh’
sambil berguling-guling di dalam ruang pikiranku.
“Aku merasa
cemburu,” atau sejensinya, kenapa sih aku menuliskannya
di dalam diari?
Jika dibaca,
aku pasti akan berteriak keras dan berlari-lari tanpa mempedulikan orang lain.
Aku yakin hal itu. Apa aku bisa memulai kembali tindakan berbahaya seperti itu?
Aku ingin melihat diriku secara objektif. Aku ingin merenungkan diriku. Aku menginginkannya,
tetapi──
“Buku harian,
ya...”
Gumamanku
tenggelam ke dalam belahan dadaku yang terbenam dalam bak mandi. Bersamaan
dengan helaan napas.