Ronde Ke-6 — Akan Kuperlihatkan Sisi Lain Dari Arisu Yuzuki!
Bagian 2
Sepertinya
Yuzuki sangat bersemangat, karena
dia segera mengganti pakaiannya menjadi yukata di kamar mandi. Yukatanya
berwarna putih polos, dengan haori (jaket pendek) yang ukurannya sedikit besar,
membuatnya terlihat manis.
Setelah
bermain permainan papan untuk sementara waktu,
kami segera menuju jam makan malam.
Yuzuki
yang tadi ceria, kini terlihat waspada saat duduk di meja.
“Jangan
pasang wajah seram begitu. Aku tidak akan mengeluarkan sesuatu yang aneh, kok.”
“Entahlah.
Suzufumi ‘kan biasanya memang suka jahil.”
Aku
merasa tersinggung. Aku selalu bersikap tulus kepada Yuzuki.
“Nah,
kira-kira menu apa yang akan disajikan ya? Mungkin hidangan Jepang khas ryokan?”
Yuzuki
menyibakkan rambutnya dengan angkuh.
Tebakan
yang tidak buruk. Tapi hanya menyajikan makanan Jepang saja terlalu biasa. Kali
ini aku bertekad memberikan Yuzuki pengalaman study tour yang
benar-benar luar biasa.
“Hidangan
pertama adalah... ini.”
Yang
kuletakkan di atas meja
adalah empat warna anko (pasta kacang merah), spatula, dan tusuk sate.
Melihat
bahan-bahan yang sama sekali tak terduga ini, Yuzuki terlihat sangsi.
“Kalau
yang tradisional itu, pasti kursus membuat wagashi (kue Jepang) saat study
tour di Kyoto. Nah, sekarang kita akan mengadakan... kelas membuat wagashi!”
“Kelas
membuat wagashi...?”
Meski aku
sudah mengumumkan rencanaku, Yuzuki
masih terlihat kebingungan.
“Eh,
kita akan membuat di sini? Lah
Suzufumi, memangnya kamu bisa
membuat wagashi juga?”
“Hehe,
kamu pikir aku ini siapa? Mumpung ini adalah
kesempatan langka, jadi selain memakannya, aku ingin kamu juga merasakan kesenangan
membuat wagashi.”
Wagashi
yang kupilih kali ini adalah ‘nerikiri’ yang bermotif bunga sakura. Adonan
putih dengan adonan merah muda berlapis, berisi pasta
kacang, lalu dibentuk dengan spatula dan tusuk sate
menjadi kelopak bunga, dan ditambahkan kuning telur di tengahnya sebagai
pistil.
“Aku
akan menunjukkan contohnya dulu, lalu kamu bisa mencobanya.”
“I-iya...”
Mengesampingkan
Yuzuki yang masih bingung, kami mulai membuat wagashi.
Seorang
idol populer yang sering tampil di acara variety show pun ternyata baru pertama
kali membuat wagashi. Dia mengamati dengan seksama setiap langkahku, ingin
mempelajari tekniknya. Diperhatikan seintens itu, aku jadi sedikit malu.
“Nah,
sudah jadi. Lalu Yuzuki...”
“...”
Yuzuki terlihat sangat konsentrasi dan mengukir nerikiri-nya dengan
tusuk sate. Wajah seriusnya itu
membuatku tak bisa mengalihkan pandangan.
Dia sesekali
menyibakkan rambutnya di belakang telinganya,
tapi matanya tak lepas dari wagashi di depannya. Seolah-olah hanya ada satu
wagashi itu di dunianya.
Tidak
sampai 5 menit, wagashi buatan Yuzuki sudah selesai. Kualitasnya tak terlihat seperti
pemula.
“Hmm...”
Tapi
Yuzuki tampaknya belum puas dengan hasilnya, dan dia
mengerucutkan bibirnya.
“Kamu sudah membuatnya dengan bagus, loh? Persis seperti yang asli.”
“Tapi
punya Suzufumi jauh lebih
cantik, aku jadi kesal...”
Sepertinya
sifat perfeksionis Yuzuki muncul saat membuatnya. Dia mendekatkan wajahnya ke
meja, membandingkan dua wagashi buatan kami.
“Aku
sudah sering membuatnya, jadi wajar saja.”
Sebenarnya
sebelum berangkat, aku sudah berlatih membuat ini.
“Nah,
ayo kita coba memakannya sekarang. Wagashi mudah cepat habis, lho.”
“Tapi,
anko kan banyak gula dan kalorinya...”
“Jangan
khawatir. Dibanding kue barat, kandungan lemaknya lebih sedikit, dan ukurannya
juga kecil, jadi mencicipi
satu saja tak masalah.”
Seperti yang
diharapkan, tampaknya Yuzuki tidak bisa menolak untuk memakan
hasil buatannya sendiri, dia perlahan-lahan membawa nerikiri ke mulutnya.
“...Meskipun
ini anko, rasanya ringan di mulut. Manisnya juga segar, mudah dimakan...”
Yuzuki
mengunyah wagashi itu dengan perlahan, seolah-olah
sedang menikmati aromanya.
“Memang
rasanya jauh lebih enak kalau kita yang membuatnya sendiri, ya.”
Nah,
setelah pengalaman membuat, saatnya tur makan makanan khas di seluruh Jepang.
Perwakilan
Osaka, takoyaki.
Perwakilan
Hiroshima, tiram kukus.
Perwakilan
Hokkaido, ikasumi (gurita bakar).
Saat
berjalan-jalan di tempat wisata, kami terus berhenti di kios-kios makanan dan
memesan berbagai macam menu. Sepertinya Yuzuki juga mulai antusias, dia membuat
alasan “Ini bukan makan, tapi sekadar
wisata!” sambil menjangkau makanan yang
tersaji di meja.
“Takoyakinya enak karena adonannya lembut dengan
irisan jahe dan daun bawang yang harum. Tiram kukus,
dagingnya kenyal dan gurih... pantas disebut 'susu laut'. Ikasumi bakar juga,
pahit hatinya dinetralkan oleh segar kunyitnya, jadinya nggak bisa berhenti
makan!”
Diiringi
laporan makan bergairah Yuzuki sebagai pengiringnya,
aku kembali ke dapur untuk menyiapkan hidangan berikutnya.
“Hah...
Semuanya enak... Ini wisata
sekolah terbaik...”
Setelah menghabiskan
tehnya, Yuzuki menghela napas dalam-dalam. Sepertinya tur makan dalam ruangan
tadi benar-benar membuatnya puas.
Setelah
pengalaman membuat dan makan-makan, saatnya masuk ke bagian inti study tour.
Inilah
makan malam sesungguhnya.
“Maaf
sudah membuatmu menunggu, Yuzuki.”
Aku
meletakkan satu hidangan yang telah kusiapkan di dapur ke meja.
“Makan
malam hari ini adalah aneka tempura.”
“Apa?!
Gorengan... Dan ini banyak sekali...!”
Tempura
adalah salah satu masakan Jepang yang sangat populer, sejajar dengan sushi dan
sukiyaki. Bentuknya yang indah dengan balutan kulit yang tipis dan renyah,
benar-benar seperti makanan surgawi.
“Mengeluarkan
makanan goreng di saat seperti ini sangat licik
tau! Bukannya hidangan ini sangat berbeda
dengan menu yang telah disajikan sejauh ini!!”
“Hehe,
ketika kamu sedang berada
dalam mode makan sekarang,
memangnya kamu bisa menolak untuk
menikmati tempura?”
Menu
hidangan kali ini ialah ikan,
cabai hijau, terong, daun shiso, dan udang besar. Silakan dinikmati dengan saus tempura dan
garam matcha sesuai selera.
“Karena sudah
sampai sejauh ini, kenapa tidak dimakan saja?
Kamu mau kabur sebelum pertandingan berakhir?”
“Uhh...”
Semangat
perutnya sedang berada pada
puncaknya. Jika aku memerintahkan untuk
mundur, bisa-bisa terjadi pemberontakan.
Tapi
setelah mengernyitkan wajahnya dengan penuh
keengganan, Yuzuki
mendorong kembali piring berisi tempura.
“...Aku
tidak mau makan.”
Hmm,
sepertinya sulit untuk memaksanya hanya dengan semangat saja.
“Aku
sudah cukup puas dengan 'tur
makan' ini. Rupanya menambah menu pendamping malah
menjadi bumerang!”
Meskipun
berkata begitu, dia terus-menerus melirik tempura dengan penuh kesadaran.
“Sekarang
sedang musiimnya ikan kissu
dan sayuran, lho? Kenapa kamu tidak merasakan pergantian musim itu
dengan lidahmu?”
“A-Aku
tidak akan tertipu dengan rayuan manis seperti itu lagi.”
“Udang
jumbo ini juga luar biasa, 'kan? Kamu
tidak akan sering mendapatkan udang sebesar ini.”
“Mungkin
akan dikirim kantor sebagai oleh-oleh tahun baru nanti... Mungkin.”
Sambil
berkata begitu, Yuzuki
menutupi matanya dengan tangan, seperti anak remaja yang berusaha menghalangi
pemandangan tubuh lawan jenis yang tidak senonoh.
“Aku akan
bertanya sekali lagi, apa kamu
benar-benar tidak mau?”
“...Aku
tetap tidak mau.”
“Kalau
begitu aku akan menyingkirkannya. Tidak
masalah, 'kan?”
“...”
Biasanya,
saat aku mencoba menyingkirkan makanan, dia akan langsung menyambarnya. Tapi
tampaknya taktik itu sudah tidak mempan lagi. Tekadnya sungguh luar biasa.
“Baiklah,
aku menyerah soal tempura.”
Aku
membawa piring berisi hidangan tempura
ke dapur.
“...Hore aku menang...”
Yuzuki
meletakkan sumpitnya dan diam-diam mengepalkan tangannya.
“Akhirnya...
Akhirnya aku berhasil mengalahkan godaan makanan Suzufumi! Meskipun aku
melewatkan tempura berbahan segar, aku sama sekali.... tidak merasa.... menyesalinya...”
Yuzuki
berteriak dengan rasa penyesalan yang mendalam. Kapan lagi ada pengakuan
kemenangan yang begitu tragis?
Lagipula,
pertandingannya masih belum selesai.
“...Suzufumi?
Apa yang sedang kamu lakukan?”
Di dapur,
aku mengambil senjata baru. Sebuah mangkuk.
Sebagai
hotel yang bekerja sama dengan produsen peralatan makan, di lemari dapur
tersedia juga mangkuk nasi.
Pertama-tama,
aku mengisi mangkuk dengan nasi yang masih hangat. Lalu, lima jenis tempura
yang sempat disingkirkan, aku susun layaknya membangun sebuah benteng.
Terakhir, aku siramkan saus yang sudah kurebus dengan campuran saus tempura,
air, kecap asin, gula, dan mirin. Kastil
makanan goreng yang sempurna pun siap
dihidangkan.
Orang-orang
menyebut hidangan ini dengan nama “ten-don” (tempura don).
Untuk
menuangkan saus, senjata baru telah muncul. Senjata ini
juga disediakan secara gratis. Namanya adalah ‘tarekake’.
Di ujung
batang berwarna perak terdapat wadah berbentuk teko untuk menampung kuah. lubangnya dibagi menjadi tiga bagian, dari
situ kuahnya mengalir keluar seperti pancuran.
Aku
memegang tongkat untuk menuangkan saus di depan mangkuk tempura. Sekarang,
babak kedua dimulai.
Pandangan mata
Yuzuki yang sebelumnya berusaha keras
untuk tidak melihat tempura, kini terpaku pada gerakan tanganku. Dia tidak
sabar ingin melihat saus yang mengalir mengenai tempura.
Naluri merupakan entitas yang mirip seperti
hantu. Tidak semudah itu untuk menghilangkannya
meskipun sudah beberapa kali. Jika mudah untuk menjinakannya,
istilah “tiga kebutuhan dasar” tidak akan semewah itu.
“Nah,
silakan dinikmati.”
“Tu-Tunggu! Jika kamu melakukan itu—”
Tiga
aliran saus mengalir menyelimuti tempura menjadi cokelat.
Lapisan
renyah dan saus saling bercampur, menimbulkan bunyi berderak.
Rasionalitas
gadis itu seketika runtuh
seketika menyaksikan kelahiran tempura donburi yang baru.
Dari
dalam keruntuhan rasionalitasnya, muncul lah seorang gadis yang setia pada
hasrat makannya.
“Selamat
makan~~♥”
Tangan kiri Yuzuki
menyentuh mangkuk seolah-olah membelai
pipinya dan mangkuk itu langsung diangkat ke dekat mulutnya.
Sumpit
pertama menangkap udang. Yuzuki
membuka mulutnya
lebar-lebar dan menggigit hampir setengahnya.
“Simfoni
antara tekstur renyah dan udang kenyal yang masih segar, terus-menerus terulang
di sudut telingaku... ♥ Udang ini sangat tebal. Dia benar-benar
mendominasi panggung di tengah tempura donburi ini... ♥”
Dia terus-menerus
mengaduk nasi di dalam mangkuk, membuat matanya
semakin rileks.
“Menyantap
gorengan dan nasi bersama-sama adalah kebahagiaan yang tak terbandingkan... ♥ Nasi
yang terserap bumbu saja sudah merupakan hidangan yang luar biasa ♥”
Hingga
saat ini, Yuzuki belum
sekali pun melepaskan mangkuknya. Sebaliknya, dia semakin condong ke depan,
seperti akan terserap ke dalam mangkuk tersebut.
“Daging ikan
ini begitu ringan dan lembut seperti awan ♥ Sama
sekali tidak berminyak, setelah menelannya pun kita bahkan bisa lupa bahwa kita
baru saja memakannya... Terong menyerap bumbu dan minyak secara maksimal, dan
saat kita menggigitnya, rasa lezatnya langsung meluap keluar ♥
Teksturnya lembut, dan dalam sekejap sudah melewati tenggorokan ♥ Cabai
hijau dan daun shiso berperan sebagai penyeimbang, menuntun tempura menjadi
betul-betul lezat ♥”
Suara
gesekan antara piring dan sumpit semakin jelas terdengar. Tampaknya pertunjukan
akan segera berakhir.
“Omong-omong,
ada tempura yang tersisa, bagaimana kalau kita coba memakannya dengan garam
matcha? Aku juga sudah menyiapkan
garam kari dan garam sakura, sih...”
“Aku
akan menghabiskan semuanya~♥”
Tampaknya
pertunjukan belum akan berakhir dalam waktu dekat.
☆ ☆ ☆
“Ugh,
aku kenyang... Sudah tak muat lagi...”
Setelah
mencuci piring, aku kembali
ke ruang tatami dari dapur. Yuzuki
sedang berbaring di atas tatami dengan
kedua tangan menekan perutnya, seperti seekor anjing laut. Jika dia sampai
minta tambahan tempura, pantas saja perutnya kenyang. Sepertinya dia menjalani
gaya hidup makan yang sangat anggun selama beberapa minggu terakhir ini.
Sepertinya
aku telah membantu pembuangan gasnya. Semoga dengan ini, rencana berbaikan antara Yuzuki dan Emoto-san dapat berjalan dengan
lancar.
“Nah,
kurasa sudah saatnya aku pamit.”
Saat aku
mengangkat tas Boston, Yuzuki yang
berbaring langsung bangkit.
“Eh,
kamu sudah mau pulang?”
Yuzuki duduk
bersila menghadapku, matanya dipenuhi kesepian yang mirip kesendirian.
“...Seharusnya
kamu bisa tinggal lebih lama lagi.”
Saat
memesan kamar, aku sudah menyiapkan dua kamar
- satu kamar Jepang dengan dapur di lantai 8, dan satu kamar Barat yang lebih
murah di lantai 3.
Selain
karena Yuzuki adalah seorang idola, tidak
mungkin kami bisa tidur satu kamar sebagai laki-laki dan perempuan yang masih
muda. Yuzuki juga pasti takkan bisa tidur
nyenyak jika aku ada di sana.
“Jika
ada masalah, jangan ragu untuk menghubungiku. Oh ya, jangan lupa, aku akan
kembali besok pagi untuk membuatkan sarapan, jadi bersiaplah, oke?”
Meskipun
aku mencoba membuatnya tersenyum untuk menenangkannya, reaksi Yuzuki masih terlihat datar. Mungkin
dia masih ingin bermain permainan papan
lebih lama. Tapi sekarang sudah hampir pukul 10 malam, aku tidak ingin dia
kelelahan besok pagi karena terlalu bersemangat malam ini.
Saat aku
hendak keluar dari kamar, ujung kemejaku ditarik dari bawah.
“...Jika
kamu tidak melepaskannya, aku tidak
bisa pergi.”
“...Kalau
begitu, Suzufumi saja yang
harus menyingkirkannya.”
Saat aku
menoleh ke bawah, kami berdua saling bertatapan
mata.
Mata
berwarna kuning kecoklatannya yang
tenang itu menatapku.
Sejujurnya,
aku juga ingin lebih lama lagi bersama Yuzuki.
Tapi itu akan terlalu berlebihan.
Jari-jari
putihnya yang tadi menarik kemejaku, perlahan kembali ke posisi semula.
Yuzuki
menggigit bibir bawahnya, seolah menahan emosi, tanpa mengatakan apa-apa.
Saat aku
hendak mengucapkan “selamat
malam” dengan perasaan sedih di hatiku...
Aku
merasakan sentuhan pada ujung kemejaku lagi. Kali ini lebih kuat daripada
sebelumnya.
“...Aku
sudah memutuskannya.”
Ekspresi Yuzuki perlahan-lahan dipenuhi dengan
rasa percaya diri.
Setelah
tiga bulan tinggal bersebelahan, aku tahu betul ekspresi itu. Dia pasti baru
saja mendapat ide.
Yuzuki
berdiri dengan cepat dan mengumumkan,
“Tour
menginap selama dua hari satu malam dengan seorang idol, telah diputuskan!”
“...Hah?”
Tiba-tiba
dia ngomong apaan, sih?!
“Sejak
acara jumpa penggemar itu, aku belum bisa melakukan kegiatan untuk memikat
Suzufumi. Sekarang waktunya untuk mengambil langkah besar!”
Yuzuki
berdiri dengan kedua tangan di pinggangnya, ekspresi
wajahnya tampak paling bersemangat hari ini.
“Tunggu
dulu, tunggu dulu. Itu terlalu tiba-tiba.”
“Jika
aku memberitahukan sebelumnya, itu tidak akan jadi kejutan lagi, 'kan? Dan aku
'kan sudah bilang? Aku akan menjadikan Suzufumi penggemar nomor satuku. Aku
akan memperlihatkan sisi Arisu Yuzuki
yang tak bisa dilihat di video manapun!”
Yuzuki
membuat pose sempurna dengan kedipan mata, dan mengarahkan jari telunjuknya ke arahku.
“...Seriusan?”
Aku tidak
pernah menyangka kalau pengalaman pertamaku dalam menginap akan ditemani
oleh seorang idol.