Chapter 4 — Kohaku dan Kuon (Bagian 2)
Di
hadapan Kazemiya Kuon,
berdiri sang bidadari yang
seharusnya rapuh.
“....Jujur
saja, aku terkejut. Aku tidak menyangka bahwa Kohaku-chan sendiri yang akan datang
menemuiku. Lagian,
bagaimana kamu bisa
tahu kalau aku ada di sini?”
“Onee-chan
'kan memang suka tempat yang tinggi
sejak dulu. Jadi kupikir Onee-chan
pasti berada di tempat tinggi. Aku juga
dapat bantuan dari Inumaki.... mendapat batuan
dari temannya Narumi.”
Sosok Narumi Kouta tidak terlihat sama sekali. Ia pasti berada
di dekat sini, tapi setidaknya Kohaku
tampaknya berniat untuk menghadapi Kuon seorang diri.
“...Lalu?
Apa kamu berniat untuk kembali pulang, Kohaku-chan?”
“Aku
tidak akan pulang.”
Jawabannya
masih sama seperti kemarin. Kuon sudah menduga hal tersebut. Jadi dia tidak terlalu terkejut dengan
hal itu.
Yang
membuatnya terkejut adalah─ tekad yang
lebih kuat tersirat dalam jawabannya dibandingkan kemarin.
“Kamu masih
ingin main kabur-kaburan dari rumah?”
“Ya,
memang.”
Berbeda
dengan kemarin, kali ini dia mengangguk
tanpa ragu terhadap kata-kata yang seharusnya menyakitinya.
“Persis
seperti apa yang dikatakan Onee-chan. Kabur dari rumah seperti
ini tidak bisa terjadi terus-menerus.
Aku menyadari hal itu. Suatu hari nanti, aku
harus kembali. Tapi, tidak sekarang.”
Itu hanya
pembenaran diri belaka. Dia tetap
melarikan diri. Tapi, ini adalah sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh Kazemiya Kohaku sebelumnya. Kohaku yang dulu merasa bersalah karena
melarikan diri, tapi kini dia justru membenarkan tindakannya itu.
“...Kenapa?
Alasanmu kabur dari rumah karena kamu merasa tidak
nyaman di sana ‘kan, Kohaku-chan?
Karena kamu benci
pada Ibu dan aku. Tapi itu semua akan hilang. Orang-orang yang tidak berguna
dalam hidupmu, akan pergi dari rumah itu. Jadi, kamu tidak akan merasa tidak nyaman
lagi di sana. Kamu tidak
perlu kabur. Kamu bisa Bahagia, Kohaku-chan. Lalu kenapa kamu tidak mau kembali?”
“Jangan
seenaknya memutuskannya sendiri!”
Hembusan angin
bertiup dengan kencang. Suara jangkrik di udara
panas musim panas. Di tengah keramaian dunia, suara Kohaku justru terdengar begitu jernih.
“Jangan
seenaknya memutuskan kalau Mamah
dan Onee-chan tidak berguna dalam hidupku.
Jangan seenaknya memutuskan kalau kepergian kalian
adalah kebahagiaanku.”
“Aku
tidak memutuskannya seenaknya. Aku hanya memahaminya.”
“Tidak,
Onee-chan tidak mengerti. Onee-chan sama sekali tidak mengerti.
Bagiku, Onee-chan dan Mamah bukanlah orang-orang yang hanya
membuatku menderita.”
“...Tidak
mungkin begitu.”
Mendengar
perkataan adiknya, Kuon hanya bisa tersenyum miris.
“Aku
tahu kok seberapa besar penderitaan yang dialami Kohaku-chan karena bakat 'Kazemiya Kuon'. Seberapa
besar kamu terluka, dan tersakiti
oleh orang-orang di sekitarmu.”
“Memang
benar, aku terluka oleh bakat Onee-chan.
Aku juga cemburu, dan putus asa. Aku pernah berharap kalau Onee-chan tidak pernah ada...”
Sudah kuduga,
ternyata benar, pikir Kuon. Dia
telah memahami bahwa Kohaku
adalah sosok lemah yang dikenalnya.
Meskipun Kohaku mencoba bersikap sedikit lebih
positif, pada akhirnya adiknya tetaplah sosok yang lemah.
“Tapi,lebih
dari itu, aku kagum padamu.”
─Atau seharusnya begitu.
“Lebih
dari rasa sakit yang kualami, aku justru merasa bangga
dengan keberadaan Onee-chan.”
Perkataan yang
keluar dari bibir adiknya bukanlah
kebencian ataupun dendam.
“Aku
sangat menyayangi Onee-chan daripada perasaan
menderita yang kualami karena keberadaan Onee-chan!”
Pemikirannya
yang seputih cahaya dan terlihat menyilaukan.
“────────...Bohong.”
“Aku sama
sekali tidak bohong.”
“Aku
tidak bisa mempercayainya.”
“Percayalah
padaku.”
“Aku
tidak bisa memahaminya. Karena... Karena, Kohaku-chan
memberiku 'nyanyian'. Tapi aku... 'Kazemiya
Kuon' ini... Tidak peduli seberapa keras aku berusaha,
aku hanya bisa memberikan luka dan rasa sakit pada Kohaku-chan. Tidak ada sedikitpun
tempat di hatimu yang membuatmu menyukaiku.”
“Ada
kok. Sedari awal aku sudah mengatakannya, ‘kan? Aku menyukai suara Onee-chan bernyanyi.”
─ Aku
suka suara Onee-chan
bernyanyi.
─ Jadi,
jangan berhenti bernyanyi, Onee-chan.
Dia
masih mengingatnya. Dia tidak
akan pernah melupakannya. Kata-kata yang membuat Kuon tetap melangkah di jalan
menyanyi.
“Tapi,
hanya itu saja... Hanya alasan sederhana itu...!”
“Aku
juga sama. Aku hanya bilang, aku menyukai
suara Onee-chan bernyanyi. Aku hanya bilang,
jangan berhenti bernyanyi. Hanya alasan sederhana itu... Tapi, Onee-chan selalu memikirkanku.”
Sambil
berkata demikian, Kohaku
mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan layarnya.
Layarnya
menampilkan daftar lagu favorit di aplikasi musik. Terdapat lagu-lagu dari
artis kuon, mulai dari 'Sayap Malaikat' hingga lagu terbaru 'Bulu Salju'.
“Putih.”
Dengan
nada yakin, adiknya menyebutkan warna itu.
“Semua
judul lagu yang dibuat Onee-chan
selalu ada hubungannya dengan namaku yang berarti 'putih'.”
“...Jadi kamu sudah menyadarinya, ya.”
“Tentu
saja. Aku 'kan penggemar pertama kuon. Aku sangat
memahaminya, jadi aku tidak bisa membencimu. Bagaimana
mungkin aku bisa membenci orang yang memikirkanku sebegini dalamnya? Kamu yang membuatku menjadi seperti
ini, Onee-chan.”
Kuon berpikir kalau adiknya tidak pernah menyadarinya. Tidak mungkin dia menyadarinya. Sebagai
keluarga, sebagai adik, Kuuon pikir
rasa sayang yang dia rasakan
hanyalah perasaan sepihak darinya.
“Ada kalanya
aku pernah berpikir bahwa
sebagai kakak yang berbakat, Onee-chan pasti
membenciku yang tidak berbakat. Tapi setelah aku menyadarinya, aku tidak
berpikir begitu lagi. Aku memang sedikit malu, tapi rasa senangku lebih besar.
Tapi... Tapi sekarang, bukan malu lagi, bukan senang lagi, yang paling
kurasakan adalah─ kemarahan.”
Kohaku.
Adik perempuannya. Tatapannya lurus menatap
mata Kuon.
Itu bukan
tatapan orang yang hanya melarikan diri. Itu adalah
tatapan orang yang mencoba berhadapan dengan sesuatu.
Itu bukan
tatapan bidadari yang rapuh. Melainkan
tatapan orang yang ingin berdiri dan berjalan dengan kaki sendiri.
“Onee-chan
sendiri pernah bilang. 'Kohaku-chan itu selalu saja mencoba melarikan diri'. Tapi hal yang sama juga berlaku kepada Onee-chan,
bukan?”
Kohaku
pasti berbicara dengan perasaan menyakiti dirinya sendiri.
“Bukannya
Onee-chan selalu kabur dariku, ‘kan?”
Kata-kata
yang dia rangkai, pasti menusuk dirinya
sendiri.
“Seharusnya
Onee-chan tidak usah menyampaikannya
secara tidak langsung lewat lagu. Harusnya Onee-chan
bisa bicara langsung denganku seperti ini. Keluar dari
rumah juga sama, 'kan? Onee-chan
takut berhadapan denganku, itulah sebabnya
Onee-chan ingin kabur, 'kan!”
Kata-kata
nekat seperti itu serasa tepat
menusuk dada Kuon.
“Padahal
Onee-chan juga sama-sama kabur, 'kan! Onee-chan tidak punya keberanian untuk
bertengkar sebagai antar kakak-beradik!
Daripada menghias kata-kata dan beralasan, Onee-chan
harusnya benar-benar menghadapiku!”
Di langit
musim panas yang biru, suara Kazemiya Kohaku
bergema jauh dan luas.
“Padahal
aku sebenarnya ingin sekali bisa berbicara
lebih banyak dengan Onee-chan!
Aku ingin mendengar tentang pekerjaan Onee-chan, ingin bertanya banyak hal
tentang lagu Onee-chan! Di hari
libur, aku ingin pergi belanja bersama, main game di rumah, atau belajar
bersama! Tapi Onee-chan selalu
tidak pulang ke rumah! Lalu, lalu, lalu, uhm...
Po-Pokoknya! Aku belum mau pulang! Aku
sendiri yang akan memutuskan kapan aku akan pulang! Jadi, Onee-chan juga jaga kesehatan dan semangat untuk pekerjaanmu
ya!”
Pada
akhrinya, setelah mengatakan
kata-kata yang entah itu keluhan atau dukungan, Kohaku meninggalkan atap gedung.
Bagaikan
angin. Tidak, bahkan melebihi angin, dia bagaikan
badai yang berlalu begitu saja.
“...Aku
juga melarikan diri, ya... Tepat mengenai
titik yang sakit...”
Kazemiya Kuon juga sedang melarikan diri. Dirinya berpikir bahwa Kohaku membencinya. Dia berpikir kalau keberadaannya adalah yang paling
menyakiti adiknya di dunia ini.
Jika
kembali ke rumah, dia harus
menghadapi kenyataan bahwa adik yang paling disayanginya itu membencinya.
Itulah sebabnya dia kabur.
Dengan alasan untuk menjauhkan Ibunya
dari Kohaku.
“Kupikir
Kohaku-chan adalah bidadari rapuh yang harus aku lindungi...
Tapi ternyata tanpa kusadari, dia
sudah menjadi begitu kuat, bahkan melebihi perkiraanku.”
Dia
tidak bisa melihatnya karena dirinya juga
sedang melarikan diri.
─ Kazemiya Kohaku itu
kuat. Dia tidak membutuhkanmu untuk
melindunginya.
Satu-satunya
orang yang bisa melihatnya justru Narumi Kouta.
“...Aku
kalah. Ini adalah
kemenangan kalian berdua.”
Monster,
atau bencana alam, mengakui kekalahannya. Tapi hatinya secerah langit biru.
Dengan perasaan yang segar, dia
mengoperasikan ponselnya dan menelepon seseorang. Panggilannya dijawab setelah
dua kali nada panggil.
“Halo ──── Mamah?”
Lawan
bicaranya adalah Kazemiya
Sorami, ibu dari Kazemiya Kuon dan Kazemiya Kohaku.
“Kohaku-chan
melarikan diri dariku.”
Mendengar
laporan kekalahan Kazemiya
Kuon, ibunya hanya terdiam sejenak.
“...Begitu.
Kalau begitu, urusanmu sudah selesai. Cepat
pulang, dan selesaikan
pekerjaanmu.”
Mendengar
suara ibunya yang
terkesan dingin, Kuon hanya bisa merasa muak dan mencemooh.
“Berisik.
Aku 'kan sudah mengatur
jadwalku. Kira-kira untuk apa aku membuat banyak hutang
budi di berbagai pihak selama ini?
Dengan bantuan itu, mereka pasti senang dapat harga murah.”
Namun,
pada kenyataannya Kuon tidak bisa sepenuhnya membuang ibunya.
“...Aku
belum bisa menghadapi Kohaku-chan.
Aku terus melarikan diri darinya. Setidaknya, aku akan mulai dengan mengakui
hal itu.”
“Apa
yang sedang kamu bicarakan?”
“Kamu juga sebaiknya berhenti kabur
dari Kohaku-chan terus.”
“......”
“Kohaku-chan
sudah mulai tumbuh dewasa.”
Ada keheningan yang menyelimuti mereka berdua. Di
sela-sela keheningan itu, Kuon menunggu dengan sabar jawaban ibunya.
“...Cepat kembali ke pekerjaanmu.”
Namun,
tidak ada jawaban yang datang, dan panggilan itu terputus.
“Cih.
Dasar nenek peyot sialan.”
Sambil
mengumpat pada panggilan yang terputus, Kuon menghela napas seakan berkata pada
dirinya sendiri.
“...Tapi,
mau bagaimana lagi.”
Dari atas
gedung, dia memandang pemandangan di
bawah. Dari sana, dia bisa melihat Narumi Kouta
dan Kazemiya Kohaku pergi meninggalkan tempat
itu untuk terus kabur.
“Karena rasa
bersalah Ibu terhadap Kohaku-chan────────
bahkan melebihi diriku.”
☆☆☆☆
“Huaaah~~~~~~~~~ rasanya tegang
sekali~~~~~~~...”
Kami,
yang baru saja menyelesaikan konfrontasi dengan Kazemiya Kuon,
sekarang beristirahat di sebuah restoran keluarga dekat stasiun tempat kami
turun. Sebenarnya, yang berhadapan langsung dengan keluarganya adalah Kazemiya Kohaku sendiri, sedangkan aku tidak melakukan apa-apa.
“Kerja
bagus.”
Jadi,
yang bisa kulakukan hanyalah menghibur Kazemiya
Kohaku seperti ini.
“Terima
kasih... Hah... Benar-benar capek banget~...
Rasa-rasanyanya, semua energi dan semangat di
tubuhku kesedot semua...”
“Wajar
saja, karena kamu berhadapan langsung dengan
kakak yang mengerikan itu.”
Dia
sampai hampir ambruk di atas meja, pertanda dia
benar-benar menghabiskan seluruh tenaganya. Itu bukti bahwa Kazemiya tidak lari, melainkan
menghadapinya.
“...Terima
kasih, Narumi. Hari
ini aku bisa mengatakan apa yang ingin kukatakan kepada
Onee-chan.”
Sambil
berkata begitu, Kazemiya
membasahi tenggorokannya dengan es kopi.
“Aku
baru menyadarinya, ternyata aku belum
pernah benar-benar bertengkar dengan Onee-chan.”
“Bagaimana
rasanya bertengkar?”
“Hmm...
Capek.”
Tapi,
lanjut Kazemiya.
“Tapi,
rasanya tidak buruk juga.”
Itu
adalah perasaan yang tidak bisa kumengerti. Kazemiya
berani menghadapinya. Tapi aku masih terus melarikan
diri.
Itulah sebabnya aku merasa kagum dengan Kazemiya.
“...Kamu benar-benar luar biasa.”
“Kalau
begitu, kamu juga sama-sama luar biasa, Narumi.”
“Aku
tidak melakukan apa-apa.”
“Kamu sudah melakukan banyak hal. Bahkan
sangat banyak.”
“Memangnya
sampai sebanyak itu ya?”
Apa ini
karena aku yang mengajaknya kabur dari rumah? Tapi itu juga karena pada
akhirnya aku sendiri juga merasa tidak nyaman di rumah, dan ego yang ingin
menghabiskan waktu bersama Kazemiya.
“Kamu sudah sangat memanjakanku.”
Suara Kazemiya yang mengatakan itu, disertai
senyum manisnya, terdengar begitu lembut.
“Alasan
kenapa aku bisa menantang Onee-chan
dan kabur darinya, itu semua berkat Narumi
yang terus memanjakan dan mengisi ulang semangatku. Hanya itu satu-satunya hal yang tidak
bisa aku lepaskan.”
“...Uhh...”
Perkataannya
membuat jantungku berdebar. Wajah yang begitu manis seolah-olah menyerahkan segalanya itu,
sungguh membuatku tak berdaya.
“Narumi? Kamu kenapa?”
“...Tidak
apa-apa. Aku baik-baik
saja.”
Aku
berbohong. Sebenarnya aku tidak
baik-baik saja. Debaran jantungku membuatku tak nyaman.
Aku
menelan soda melon untuk mencoba menenangkan hatiku yang bergejolak seperti terbakar.
“Hei,
Narumi. Boleh aku tanya satu hal enggak?”
“Hmm?”
Kemudian ada keheningan sejenak. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Kazemiya dalam keheningan itu.
Tapi, aku
bisa merasakan bahwa dia
benar-benar membutuhkan jawaban atas pertanyaannya.
“Kenapa...
Kamu menolongku? Apa karena kita teman?”
Karena
kita sesama anggota aliansi restoran keluarga.
Karena kita sekutu. Karena kita teman. Karena aku berada di pihak Kazemiya Kohaku.
Kata-kata
yang seharusnya sudah bisa aku ucapkan, tiba-tiba terasa sulit untuk dikatakan.
Alasan kenapa aku menolong Kazemiya Kohaku.
Bukan
karena kami berdua sekutu, bukan karena kami berdua teman, bukan karena aku berada di pihaknya.
“...Karena
kamu adalah
sosok yang berharga.”
“...Jadi aku adalah sosok yang berharga, ya.”
Kami
berdua terdiam mendengar kata-kata yang susah payah kami ucapkan. Berharga
melebihi batas pertemanan. Tapi mengungkapkannya dengan jujur masih terasa
sedikit malu.
Saat
percakapan kami terhenti, pesanan menu
yang kami pesan akhirnya datang.
Hari ini
kami berdua memesan steak. Meskipun harganya lebih mahal daripada hamburger,
hari ini kami sengaja mengabaikannya.
“Karena ini
untuk perayaan.”
“Ya,
untuk merayakan.”
Ketika melihat
steak yang dihidangkan, kami berdua seakan mencari-cari alasan untuk menyebut
ini 'perayaan'. Itu terdengar sedikit aneh, jadi kami saling bertukar pandang
dan terkekeh kecil.
“Merayakan
apa memangnya?”
“Hmm...
Perayaan karena berhasil
menghadapi Onee-chan,
mungkin?”
“Ah,
jadi ini peringatan hari ya? Hari reuni pertengkaran saudara?”
“Ah,
ide yang bagus. Aku akan mencatatnya di kalender ponselku.”
“Memangnya tahun
depan mau dirayakan juga?”
“Iya.
Kita rayakan. Bersama Narumi.”
Waktu
menikmati makan di restoran
keluarga ini, untuk merayakan hari jadi peristiwa
tertentu, telah mencatat stempel ketiga dalam kenangan
kami.
“Oh
iya, ngomong-ngomong, apa ini
masih dianggap kabur dari rumah?”
“Kalau
masih lari dari rumah, ya tetap dianggap kabur dari rumah. Meskipun urusan dengan Kuon-san sudah selesai, tapi kamu masih belum berbaikan dengan Ibumu.”
“...Iya,
ya. Jadi, acara kabur
dari rumah kita masih berlanjut.”
Bagaimanapun juga, kabur dari rumah kami masih
sedikit berlanjut untuk sementara waktu.
Ini
hanyalah pelarian kekanak-kanakan yang sudah terlihat ujungnya.
Tapi untuk saat ini, mari kami nikmati saja dullu. Kabur dari rumah pada liburan musim panas ini.