Chapter 5 — Sesuatu yang Melekat Erat
Ngomong-ngomong,
ada satu janji yang kubuat dengan Miura-san.
Yaitu,
kami tidak boleh kelihatan mengobrol atau bertegur sapa
di sekolah.
Dia
tidak memberitahuku alasannya, tapi...
kalau aku ingat-ingat kembali, pada waktu itu ekspresinya tampak sama seperti pagi ini. Dia menunduk dengan muruk dan terlihat kesepian.
Aku masih belum benar-benar mengenal
Miura-san.
Dan
Miura-san sendiri juga
sepertinya tidak ingin diketahui...
Sambil
memikirkan hal-hal yang tidak ada hubungannya, aku berjalan menuju toilet di
koridor sekolah.
Waktu
istirahat kedua. Sambil menghindari maskot-maskot yang lewat, aku tiba-tiba
bertemu Miura-san keluar dari toilet wanita.
Reaksi
alaminya yang membelalakkan mata terlihat manis, membuatku hampir tertawa. Tapi
kemudian, ada sesuatu yang menyusahkan
terjadi.
“Oi,
Maizono.”
“...Kaneko-sensei, huh?”
Ada sebuah bayangan yang menutupi kami berdua. Ia adalah seorang pria bertubuh
besar dengan kepala botak. Wajah anehnya yang
tampak seperti anak kecil memberi kesan mantan berandalan,
dia adalah wali kelas kami.
“Apa-apaan
ini? Si anak rajin Maizono berjalan bersama Miura? Kombinasi yang menarik.”
“Kami
tidak sedang bersama-sama.”
Miura-san
mencoba berjalan pergi dengan wajah
sinis.
“Tunggu,
Miura.”
“...Ada
apa?”
Miura-san
menoleh ke belakang dengan enggan. Sepertinya masih ada sisi dirinya yang tidak
kukenal.
Memang
benar, Kaneko-sensei adalah guru yang kasar dan arogan. Tapi ia bukan orang
yang benar-benar menyebalkan.
Setidaknya,
aku tidak pernah mendapat masalah darinya.
Tapi, ketika aku melihat interaksi
Miura-san dan Kaneko-sensei, aku menyipitkan mataku.
Sepertinya
alasan Kaneko-sensei tidak terlalu menyebalkan bagiku adalah karena aku adalah [murid teladan].
“Bukannya akhir-akhir
ini kamu pulang lebih cepat? Aku juga mendengar kalua kamu sering terlihat di stasiun
Shibuya di malam hari... Kamu
tidak melakukan sesuatu yang mencemarkan nama baik sekolah, kan?”
“Tidak.
Itu hanya pekerjaan paruh waktuku saja.”
“Meskipun
kamu bilang begitu, tapi kami tidak
bisa percaya begitu saja, oke?
Karena kamu berkeliaran di daerah
hiburan malam dengan penampilan mencolok... Jangan-jangan
pekerjaan paruh waktu yang dimaksud itu yang begituan...”
Saat
Kaneko-sensei berkata begitu, Miura-san sekilas melirikku.
Mungkin itu hanya khayalanku saja, tapi... dia terlihat seperti akan
menangis.
Tapi
seketika itu juga, Miura-san menatap Kaneko-sensei dengan tatapan penuh permusuhan.
“Itu
tidak benar. Dan itu adalah pelecehan seksual, Sensei.”
“Hadeuhh. Akhir-akhir ini, murid-murid
langsung bilang 'pelecehan seksual' setelah membaca sedikit di internet.
Seorang anak yang berteriak tentang hal itu tidak akan mengubah apapun. Astaga, zaman dulu saat aku seusia kalian, kami
benar-benar melawan guru sampai mereka menyerah. Tapi sekarang cuma ada
anak-anak lemah berpakaian aneh.”
“Uh....”
Lalu,
Kaneko-sensei melihatku.
“Maizono
itu anak baik-baik yang tidak pernah melawan guru. Dengan nilai bagus seperti
itu, ia pasti sangat dihargai oleh guru. Dulu kami pasti sangat dibenci oleh
guru.”
Sambil
menyisipkan cerita tentang betapa buruknya dia dulu sebagai berandalan,
Kaneko-sensei terus menyudutkan Miura-san.
Tapi aku
tidak mengerti bagaimana semua itu berkaitan.
“Apa kamu sudah
selesai?”
Saat
Miura-san akan kembali ke kelas, Kaneko-sensei masih menahannya.
“Kamu tahu tidak, sikapmu itu
terhadap guru malah membuat nilaimu semakin turun?”
...Sudah
cukup, ini sudah keterlaluan.
“Sensei,
apa yang ingin Anda bicarakan denganku?"
“......”
Saat aku
memanggilnya, Kaneko-sensei menatapku dengan
malas.
“Kamu ini, selalu datang di saat yang
tidak tepat...”
Saat Sensei mengucapkan itu, Miura-san
langsung pergi.
“Kalau
begitu, aku permisi.”
“Ah,
hei— Cih. ...Hm?”
Lalu ia
tiba-tiba tersenyum dengan ekspresi seperti anak kecil.
“Maizono-kun.”
Pria
besar yang mungkin lebih dari 190 cm itu memaksakan merangkul bahuku.
“Apa
kamu
sengaja membela Miura tadi?”
Aku tidak
menjawab afirmatif maupun membantahnya dan
hanya balik bertanya.
“...Apa
yang ingin Anda bicarakan denganku?”
“...Cih.
Aku tidak suka itu. Kamu selalu bertingkah keras kepala di tempat yang
aneh.”
Kaneko-sensei
mendorong bahuku dengan kasar.
“Meskipun
anak baik-baik tiba-tiba jadi sombong, pada akhirnya dia hanya akan dihajar habis-habisan,
‘kan? Kamu memang tidak mengerti, karena
tidak ada preman yang bisa mengajarimu.”
Sambil
menggaruk telinganya dengan jengkel, dia melanjutkan.
“Intinya...
Jika kau tidak ingin merepotkan orang tuamu, pikirkan cara hidupmu sedikit. Kamu pasti tidak ingin dibilang
tidak berguna karena tidak punya orang tua, ‘kan?”
“...Baik,
aku akan berhati-hati."
“Hanya itu
saja. Sampai jumpa.”
Setelah
berkata begitu, Kaneko-sensei pergi dengan langkah lebar.
“Ah,
masih ada satu lagi.”
Kaneko-sensei
berbalik dan menyeringai.
“Kamu, jangan sampai jatuh cinta pada
si Miura itu. Kamu terlalu
polos, bisa-bisa kamu salah
paham. Yah, meskipun aku suka mengerjai
anak polos sepertimu.”
...Begitu
rupanya.
Ternyata
mataku memang rabun.
†
† †
“Oke
baiklah, kalian semua, hati-hati saat pulang nanti ya!”
“Kaneko-sensei juga hati-hati ya, jangan sampai
melakukan pelecehan lho!”
“Mana
mungkin lah.”
Kaneko-sensei memang populer.
Beliau
ramah dan memiliki ketegasan layaknya guru olahraga, sehingga ia dekat dengan murid-muridnya.
Karena
itulah aku tidak menyadarinya...
“Hei
Kitano, kamu juga harus jalan lihat ke depan, jangan cuma
main hape
terus!”
“...Baik.”
“Suaramu
terlalu pelan!”
Ketika Kaneko-sensei tertawa mengejek, murid-murid
lain pun ikut tertawa.
Teman
sekelas yang bernama Kitano berjalan keluar kelas dengan
bahu membungkuk.
Alasan
kenapa Kaneko-sensei
tampak populer karena selalu dikelilingi
murid-murid yang menyukainya.
Di balik
itu, murid-murid yang tidak cocok dengannya tampak tersisihkan.
Meskipun
terdengar baik, dan aku yakin kalau ia tidak
melakukannya dengan niat buruk, tapi.... jika Kaneko-sensei memaksa murid yang tidak suka menonjol dan malah dijadikan objek tertawaan,
apa itu benar-benar untuk kebaikan mereka?
Ternyata
ada dunia yang tidak terlihat... tidak, dunia yang tidak kulihat.
“...Ah,
Miura sudah pulang ya?”
Kaneko-sensei bertanya pada murid-murid yang
berkumpul di sekitar meja guru.
“Miura-san~? Entahlah, mungkin dia sibuk
menemui papa*-nya?” (TN: Papa di sini bukan
maksudnya ayahya Miura, melainkan untuk sebutan pria yang melakukan Papa-katsu atau
kalau di indonesianya sih Sugar Daddy)
“Teori
host club”
“Astaga,
jangan-jangan dia pecandu host club?"
...Meskipun
aku tidak bisa memahami sebagian besar percakapan mereka, aku
tahu mereka sedang menertawakan Miura-san.
“Ya ampun,
yang benar saja. Jangan
bikin masalah di kelasku dong, nanti aku juga kerepotan nanti.”
“Haha,
Sensei dalam masalah nih~.”
Meskipun ia terlihat mengeluh, tapi Kaneko-sensei tetap tertawa bercanda sembari mengelus-elus kepalanya dengan tangan.
Entah
kenapa, aku merasa sedikit tidak nyaman.
Teman
sekelas di sekitarku hanyalah teman sekelas yang tidak ada hubungannya
denganku. Sampai kemarin, aku menganggap mereka sebagai ‘teman sekelas biasa’. Tapi bagaimana jadinya jika
orang-orang yang kupikir normal ternyata bisa memperlakukan Miura-san seperti itu?
Kira-kira
dunia seperti apa yang sudah dijalani Miura-san selama?
“Oi,
Maizono! Kamu pasti tahu Miura pergi ke mana, ‘kan?”
Kaneko-sensei melihat ke arahku saat aku
berdiri.
Semua
mata tertuju padaku. Hari ini Miura-san
tidak ada di shift Sandra.
Aku tidak
tahu dia pergi ke mana. Tapi, entah kenapa aku merasa enggan untuk jujur.
“Mungkin
dia ke rumahku.”
SSaat aku
mengatakan itu, Kaneko-sensei tampak tertegun sejenak, lalu tertawa
terbahak-bahak.
“Haha,
rupanya kamu bisa mengatakan sesuatu yang lucu,
ternyata kamu punya karakter seperti itu ya.”
Suara
tawanya diikuti oleh teman-teman yang lain.
“Wah,
Maizono yang nyewa? Hmm, mungkin saja kali ya?”
“Padahal ia
kelihatan serius tapi ternyata nyewa
begituan? Wah, hebat juga.”
Aku masih
tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.
Tapi aku
tidak suka terus-terusan dipermainkan.
Meskipun
nasihat Satonaka-san untuk
membalas satu kali ada benarnya, kurasa sebaiknya aku hanya diam saja.
Setelah
puas tertawa, Kaneko-sensei
melihatku dengan gembira lalu mengibaskan tangannya
seolah-olah menyuruhku untuk pergi.
“Oke,
oke, aku yang salah.”
Entah apa
yang dianggapnya salah.
“Tapi
serius, jangan sampai kamu benar-benar terlibat dengan hal-hal seperti itu ya.”
“Maksudnya
tipe Jiraikei?”
“Iya, yang
itu.”
“Baik,
aku akan hati-hati.”
Aku tahu
tipe gadis Jiraikei itu maksudnya sesuatu
yang buruk.
Tapi aku
tidak berpikir kalau Miura-san termasuk ke dalamnya.
Saat aku
membungkuk dan keluar dari ruangkelas,
masih terdengar suara dari dalam.
“Maizono
host? Kita memang tidak bisa menilai orang dari penampilannya
saja, ya.”
...Orang
tidak selalu sesuai dengan penampilannya. Betul sekali.
Meskipun mereka
bicara seenaknya tentang Miura-san,
tapi mereka tidak sadar kalau mereka juga
punya standar ganda.
Semoga
saja mereka tidak sampai mengalami kecelakaan
parah atau semacamnya.
Aku
memutuskan untuk pulang dulu sebelum bekerja paruh waktu.