Chapter 6 — Miura-san
Saat aku memasukkan kunci ke pintu rumah,
pintu itu berbunyi 'kratak-kratak'
karena usianya yang sudah lapuk.
Suara itu biasanya membuat
Arisa menyadari bahwa aku sudah pulang, dan terkadang dia akan datang ke pintu
masuk untuk menyambutku.
Oleh karena
itu, ketika aku pulang saat Arisa sedang
tidur, aku sangat berhati-hati dalam membuka pintu. Tapi kali ini, karena ini
masih sore, aku tidak terlalu memikirkannya.
Tiba-tiba,
aku bisa mendengar suara aneh dari
dalam rumah, mirip seperti
suara seseorang yang terjatuh. Aku membuka pintu dan melihat Miura-san yang
terlihat panik, dengan selimut di tangannya.
...Aku tidak pernah menyangka kalau dia
benar-benar ada di rumahku. Sebelum aku bisa bereaksi, Miura-san segera
menutupi dirinya dengan selimut.
“Tidak
ada siapa-siapa di sini.”
“Tidak, mana
mungkin aku bisa mengabaikannya begitu saja...”
“Begitu...”
Sepertinya
dia bersembunyi di bawah selimut karena merasa malu
bertemu denganku.... dia terlalu panik.
“Kenapa
kamu bersembunyi?”
“...Aku
malu bertemu denganmu.”
“Lalu
kenapa kamu—”
Aku
hendak melanjutkan kalimatku untuk bertanya kenapa
dia ada di sini, tapi lalu aku melihat ke arah dapur. Ada
panci dan talenan yang belum selesai dicuci, serta kotak bekal yang terbungkus
di meja.
Sepertinya
jika aku tidak mengatakan apa-apa, Miura-san tidak akan bergerak dari balik
selimut.
“Miura-san,
apa alasan kamu tidak mau bicara denganku di sekolah adalah karena kejadian
seperti ini?”
Hening.
Tapi itu sudah cukup untuk menjawab 'ya'.
“Aku takkan
bertanya mengapa hal begini terjadi, tapi aku tidak keberatan sama sekali.”
“Mana
mungkin kamu tidak keberatan...
Miura-san
menggumamkan sesuatu seperti rengekan.
“Tapi
aku tidak ingin kamu juga terlibat...”
“Miura-san...”
Apa aku harus
menjawab bahwa aku tidak keberatan untuk terlibat dengannya? Karena ternyata
aku salah paham mengenai satu hal.
Alasan mengapa Miura-san tidak mau bicara
denganku di sekolah bukan karena dia tidak ingin berhubungan denganku, tapi
karena dia tidak ingin aku terlibat dalam imej yang mengelilinginya.
“Terima
kasih, Miura-san.”
“Untuk
apa...?”
“Karena
kamu sudah memikirkanku.”
“....”
Itulah
sebabnya aku ingin membalasnya.
“Kamu tahu,
Miura-san?”
Aku
meraih ujung selimut dan mengangkatnya.
Saat pandangan mata kami bertemu, Miura-san terlihat malu. Bibirnya
membentuk senyum yang dipaksakan.
“Aku
ingin mengetahui lebih banyak tentangmu, Miura-san.”
“Eh...?”
“Aku
tidak bertanya tentang masalah atau keadaan yang
sedang kamu alami,
karena aku tidak ingin lancang. Tapi sekarang, aku ingin tahu lebih banyak
tentangmu.”
Tapi aku
tidak lagi berpikir bahwa itu satu-satunya cara yang benar.
“Sekarang,
apa pun yang orang lain katakan, aku ingin mengatakan bahwa Miura-san bukanlah
orang seperti itu. Untuk itu, aku ingin mengenal Miura-san lebih dalam.
Bagaimana menurutmu?”
Jika
ditolak, mungkin hubungan ini akan berakhir.
Karena
itu aku tidak banyak bertanya sebelumnya. Tapi sekarang aku merasa harus lebih
berani.
“...Maizono,
aku...”
Miura-san
masih menghindari kontak mata, tapi aku melanjutkan.
“Teman-teman
sekelas sudah menebak-nebak alasan kenapa Miura-san cepat-cepat pulang.”
“Hmm...
Pasti mereka bilang aku 'papa-katsu'
atau 'sering ke host club'.”
“Ya,
makanya aku mengatakan pada
mereka kalau Miura-san ada di rumahku.”
“Hah!?”
Akhirnya
Miura-san menatapku. Dia terlihat terkejut.
“Aku
sama sekali tidak menyangka Miura-san benar-benar ada di sini...”
“Apa!?
Kamu bilang pada mereka, apa!?”
“Aku
hanya tahu mereka membicarakan Miura-san dengan buruk, jadi aku sedikit kesal.”
“Kamu
ini...!”
“Tapi
sekarang sudah tidak penting lagi, apakah aku
terlibat denganmu atau
tidak.”
Setelah aku
mengatakan itu, Miura-san tetap terdiam.
Tapi aku menyadari matanya yang berkaca-kaca sejak terkejut tadi.
“Tolong ceritakan
padaku tentang dirimu, Miura-san.”
“...Padahal
aku sudah berusaha menahannya selama ini.”
“Hah?”
“Jangan
buat aku jatuh cinta lebih dalam lagi...”
Dengan
mata berkaca-kaca dan pipi merona, dia menatapku lurus. Kata-kata yang terucap
pelan itu...
...Eh?
“Baiklah,
aku akan menceritakannya.”
Miura-san
berdiri dengan tenang. Meskipun tidak sepenuhnya kembali ke sikapnya yang
biasa, dia berusaha bersikap seperti biasa, dengan senyum percaya dirinya yang
kusukai.
Tapi....
“Miura-san,
tadi kamu bilang...”
Tentang
jatuh cinta.
“Hehe,
nanti saja ya. Itu hanya keceplosan saja.”
“Nanti?”
“Oke!
Sekarang kamu harus berangkat kerja 'kan? Yang semangat
ya, Onii-chan!”
Miura-san
menyodorkan kotak bekal yang baru saja dia siapkan ke dadaku.
“...Baiklah,
aku berangkat.”
“Ya,
hati-hati di jalan.”
Saat aku
pamit pergi, Miura-san sudah kembali seperti biasa.
†
† †
Saat aku berbicara ringan dengan Satonaka-san di tempat
kerjaku, ia mengangguk dengan penuh pengertian.
“Begitu
rupanya..., jadi maksudnya, kamu ingin agar teman-teman
sekelas itu tenggelam dalam masalah?”
Padahal bukan itu maksudnya... Aku tidak
mengerti apa yang ia maksud, tapi aku tahu pasti bukan itu.
“Kalau
begitu, apa kamu mau memotret
guru wali kelasmu yang sedang beristirahat di hotel dengan
murid?"
“Beristirahat di hotel...?”
Bukannya beristirahat itu hak mereka
sendiri?
“Bukan
itu maksudnya, tapi bagaimana caranya supaya aku
bisa membantu situasi Miura-san.”
“Kalau
begitu, apa tidak sebaiknya dia pindah sekolah saja?”
“Tidak
semudah itu.”
Saat aku
mengatakan itu denfgan alis terangkat, Satonaka-san terus menatap tangannya yang sedang membuat kopi tubruk
tanpa mengalihkan pandangannya ke arahku.
“Memangnya
kenapa? Kamu pikir sekolah
itu segalanya dalam hidup? Aku saja sudah tidak punya teman dari SMA lagi. Ah,
bukan berarti mereka sudah meninggal, sih. Yah, mungkin satu atau dua jari
mereka sudah hilang. Sekarang mungkin sudah jadi kepiting.”
“Dia tidak
bisa disamakan denganmu,
Satonaka-san...”
Kepiting?
“Pokoknya,
itu kebebasan orang itu sendiri. Kalau dia mau tetap di sekolah, ya silakan.
Kalau tidak mau, ya berhenti saja. Zaman sekarang, sekolah atau tidak, hal semacam itu tidak terlalu mempengaruhi
kebahagiaan hidup, 'kan?”
“Lalu
kenapa aku harus sekolah...?”
“Karena
kamu cocok untuk itu.”
Satonaka-san
berkata dengan santai.
Jadi,
sekolah itu cocok untukku.
“Orang
serius seperti Kensei
lebih baik tetap di jalur yang aman daripada nekat mencoba hal baru.”
“Aku
memang berbeda tipe dengan Satonaka-san, tapi...”
“Selama
kamu memahaminya, itu saja sudah cukup.”
Sambil
tertawa renyah, Satonaka-san melanjutkan membuat kopi dan membawanya ke meja
pelanggan, mengobrol ringan sambil meletakkan cangkirnya dengan mahir. Itu
sesuatu yang tidak bisa kulakukan.
Tapi,
pindah sekolah. Jika itu memang yang terbaik untuk Miura-san, mungkin itu juga
bukan ide yang buruk.
“Hei,
anak muda yang di sana. Apa yang sedang kamu cemaskan?”
“Apa-apaan dengan panggilan itu?”
Ketika aku
menoleh, aku
mendapati seorang wanita cantik berambut pirang alami dengan mata biru panjang
berdiri sambil memakan kue dengan tangannya.
“...Itu menu percobaan, ya?”
“Iya.
Tidak terlalu enak. Aku meremehkan orang.”
“Kamu
yang membuatnya sendiri, 'kan!?”
Dia
adalah Rachel-san, seorang
patisier di Cafe Sandora. Terkadang, dia menggunakan bahasa Jepang dengan cara
yang agak aneh, menggunakan kata-kata yang jarang digunakan bahkan oleh orang
Jepang asli. Jadi, dia adalah orang yang cukup sembarangan, sama seperti Satonaka-san.
Sepertinya di toko ini cuma ada
orang-orang yang serampangan.
Setidaknya
dia masih bisa membuat kue dengan baik.
“Jadi,
anak muda,”
“Kalau
boleh, sebaiknya panggil aku dengan sebutan
'pemuda' saja.”
“Haaah...
Bahasa Jepang memang merepotkan ya.”
“Memang.”
Pemandangan
wanita berambut pirang dengan mata biru
yang lancar berbahasa Jepang itu sungguh mengejutkan.
“Aku
tidak masalah. Masalahnya adalah Elu.”
“Ah,
iya, sudahlah, tidak apa-apa dengan 'Elu'.”
“Hari
ini Elu kelihatan agak linglung.
Konsentrasimu kurang.”
Linglung...
Mungkin aku memang sedikit melamun.
“Maaf,
aku akan berusaha agar tidak
mengganggu pekerjaan.”
Sambil
menundukkan kepala, Rachel-san
memiringkan kepala sambil terus memakan kue dengan tangan.
“Aku
tidak bermaksud menyiksamu, kok?”
“Aku
juga tidak merasa disiksa, sih...”
Mungkin
maksudnya, dia tidak sedang menegur atau memarahiku.
“Kalau
ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, Elu
bisa mengatakannya. Ada hal yang mungkin tidak bisa Elu ceritakan pada Toru.”
Hal yang
tidak bisa kuceritakan pada Satonaka-san... Sebenarnya tidak ada yang terlintas
di pikiranku.
“Maaf,
sebenarnya aku sudah
berkonsultasi dengan Satonaka-san.”
“Hmm,
sepertinya masalahnya bukan tentang itu.”
Bukan tentang itu.
Kalau
bukan masalah Miura-san, lalu apa?
“Aku
juga tidak terlalu yakin apa yang menggangguku.”
“Kalau
begitu, kenapa kamu terlihat linglung begitu?”
“Linglung?”
...Linglung?
Apakah
aku benar-benar terlihat seperti itu? Padahal aku tidak merasa seperti itu.
“Apa
ada sesuatu yang terjadi antara kamu dan Mirai?”
“Sesuatu...? Ah...”
Jika ada sesuatu yang dikaitkan
dengan keadaan 'linglung', mungkin hanya
ada satu hal.
'Jangan
buat aku semakin menyukaimu...'
Aku
memang masih kebingungan dengan bagaimana aku harus menafsirkan arti
dari kata-kata Miura-san waktu itu,
termasuk yang dia katakan lagi terakhir kali.
“Jadi
beneran ada, ya.”
Rachel-san mengangguk.
“Oh,
apaan, ini? Ada apa dengan Miura?”
Gawat,
orang merepotkan itu kembali.
“Aneh,
biasanya Kensei
menerimaku dengan tangan terbuka. Tapi entah kenapa kali ini ia tidak begitu.”
“Itu
karena kamu terlalu percaya diri dengan persepsimu!”
Sulit untuk
menyetujui apa selalu kamu lakukan. Memangnya kamu pikir hidup di pinggir
jurang itu keren, ya?
“Ada
perbedaan besar antara menghargaimu sebagai orang yang berjasa besar
dengan menerima kepribadianmu.”
"Ternyata
ucapanmu lebih pedas dari yang saya kira.”
“Yah,
kalau tidak begitu, kamu tidak
akan sadar bahwa bergaul dengan Toru itu tidak mudah."
Rachel-san menggelengkan kepala dengan
ekspresi pasrah.
Rupanya
Rachel-san juga sudah lama mengenal
Satonaka-san.
Pasti
mereka berdua sering merepotkan satu sama lain.
“Sudahlah,
masalah Toru biar Toru yang urus. Masalahmu sekarang ada pada Elu,
Kensei.”
“Sebenarnya,
aku akan berterima kasih
kalau kamu tidak membahas masalah tersebut di hadapan prang bermasalah ini.”
“Lho,
kok aku malah diperlakukan
sebagai masalah?”
“Itu
karena...”
Karena itu
ada hubungannya dengan Miura-san... Tapi sebenarnya tidak
ada alasan untuk menyembunyikannya, karena Satonaka-san juga yang mempekerjakan
Miura-san. Lalu kenapa?
“Karena
apa?”
Tiba-tiba
Satonaka-san menyeringai.
“Sudah
kuduga, pasti ada hubungannya dengan pembauran antara
pria dan wanita.”
Aku
tidak mengetahui maksud dari istilah ‘pembauran’...
Tapi,
pria dan wanita.
Sudah
kuduga, apa penyebabnya memang karena
masalah antara pria dan wanita?!
“Oh,
jadi kalian sudah melakukannya, selamat!”
“Tidak
ada yang bisa dirayakan, jadi itu mungkin salah juga!”
“Ah,
jika memang begitu, Kensei pasti sudah lebih bodoh.”
“Kamu juga
seharusnya pilih kata-kata yang tepat dong!!”
Bagaimana
dengan martabat kalian berdua sebagai orang
dewasa...?
Sepertinya
Satonaka-san menghela napas dengan jelas.
“Jadi,
apa? Kamu belum sampai ke tahap sana tapi sudah bersemangat?
Permainan cinta-cintaan?”
“Sudah kubilang, tolong pilih kata-kata yang tepat!”
Ngomong-ngomong.
“...Sudah kuduga, itu maksudnya pasti tentang percintaan, ya.”
Ketika aku menggumamkan kalimat itu, Satonaka-san
dan Rachel-san saling memandang.
“Rachel—”
“Apa?”
“Bukannya
kamu pikir kalau Kensei
sudah tumbuh dewasa?”
“Aku jadi
merasa sedikit kesepian. Padahal
dulu ia pernah menjadi anak
sekecil ini.”
Rachel-san
membuat huruf C dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. Memangnya aku ini
keturunan kurcaci atau semacamnya?
“Jika
aku harus menjawab pertanyaan Kensei, aku meyakini kalau itu ada kaitannya dengan hubungan
antara pria dan wanita.”
“...Begitu,
ya.”
Hubungan
pria dan wanita. Dengan kata lain, hubungan percintaan. Aku
sedang mengalami kesulitan mengenai hal itu.
Aku sudah
menjalani kehidupan selama enam belas tahun dan aku tidak pernah menyentuh hubungan semacam itu...
“Aku
benar-benar khawatir apa aku boleh membicarakan hal itu dengan kalian berdua.”
“Jangan
sungkan-sungkan begitu, Kensei.”
“Siapa juga
yang merasa sungkan.”
Aku justru
merasa
cemas.
“Jadi,
sebenarnya... aku tidak
bisa menilai apakah 'suka' yang pernah diucapkan
Miura-san itu berarti cinta atau bukan...”
“Sudah pasti
itu maksudnya cinta.”
“Tolong jangan
jawab sembarangan!”
Padahal aku
sedang menanyakannya dengan
serius!
“Tenanglah dulu, Kensei. Ini pasti mengenai itu, kalau dikatakan dengan pelan akan
membuat suasana jadi menggoda.”
“Jadi,
bagaimana mungkin kamu berharap aku
bisa tenang? Toh, palilngan aku pasti akan salah juga!”
Apanya yang suasana menggoda.
“Suasana
menggoda itu suasana yang seperti
apa?”
“Jangan
tanya!”
“Setelah
Arisa tidur, kalian berdua tidak mempunyai kegiatan
yang bisa dilakukan, Kensei yang kelelahan
mulai mengantuk, dan Mirai yang tidak bisa
membiarkannya sendirian mulai memaksanya untuk pergi ke
tempat tidur, tetapi kakinya malah keseleo saat mulai berjalan dan
mereka berdua berakhir di tempat tidur bersama.”
...
“Kensei sepertinya
sangat penasaran, jadi lanjutkan.”
“Sungguh
kejadian yang menarik, ketika
ia sedang memikirkan itu, tapi tiba-tiba, di hadapannya ia bisa melihat ada
wajah orang yang ia sukai. Gerakan Mirai yang mengalihkan
pandangan itu membangkitkan hasrat Kensei.
Ketika Kensei sudah tidak bisa menahan diri, Mirai hanya mengatakan satu kata kepada Kensei tanpa
menatapnya, 'Boleh, kok.'
Meskipun kamu tidak
tahu itu izin untuk apa, tapi nalurimu—”
“Hentikan!!”
Aku
merasa kalau aku seharusnya tidak
boleh mendengar lebih banyak lagi!!!!!!
“Apa-apaan sih,
padahal kalian hampir mau melakukan ‘pembauran’.”
“Jadi,
ternyata maksud dari 'pembauran'
tuh yang seperti
itu, jadi memang akulah yang
salah tadi!!!”
Gawat,
aku mulai merasakan kalau jantungku berdebar-debar.
Aku seharusnya tidak bertanya kepada
orang-orang ini.
“Ngomong-ngomong,
apa Mirai hanya mengenakan satu kemeja putihmu
setelah dia selesai mandi?”
“Mana
mungkin!?”
“Begitu
ya. Jadi mungkin itu bukan perasaan cinta.”
“Apa
maksudmu!!”
Eh, jika
ada perasaan cinta, apa itu akan berujung seperti itu!?
Tidak,
mungkin Rachel-san hanya mengoceh sembarangan...
“Mengesampingkan
Rachel yang terlalu jujur tentang hasratnya, Kensei.”
“...Ada
apa?”
“Pertanyaan
yang sebenarnya, menurutmu mana yang lebih baik?”
“...Mana
yang lebih baik.”
“Perasaan
suka sebagai teman biasa dan perasaan suka dalam cinta. Mana yang lebih
membuatmu bahagia?”
“Itu...”
Aku
belum pernah memikirkan hal itu.
Mana yang
lebih membuatku
bahagia... bahagia, ya.
“Toru,
apa maksudmu? Bukannya itu
harus diputuskan oleh Mirai?”
“Aku hanya
memberi nasehat pada Kensei bagaimana bersikap tergantung mana yang lebih baik.
Cara untuk membuat lawanmu patah hati dengan baik dan tetap menjadi teman yang
nyaman itu tidak terlalu sulit."
“Toru, kamu benar-benar pria yang brengsek.”
“Ya,
memang.”
Aku kembali
tersadar setelah mendengar tawa Satonaka-san. Di saat-saat
seperti ini, Satonaka-san tidak berpikir dengan baik.
“Umm,
aku...”
“Ah,
Elu tidak perlu khawatir tentang apa yang dikatakan Toru. Ia terlalu memihakmu, Kensei, jadi biarkan aku yang berbicara dari sudut
pandang Mirai.”
“Haah...”
Aku
tidak begitu mengerti, tetapi aku
tahu kalau Miura-san dan Rachel-san cukup
akrab.
“Jadi,
yang harus kamu lakukan hanyalah memberitahu perasaanmu dengan jujur ,Kensei.”
“Aku...”
Mana yang
lebih membuat aku bahagia,
jawabannya adalah.
“...Lebih
baik jika Miura-san yang bahagia.”
“......”
Tiba-tiba
mereka berdua terdiam.
“Tolong
katakan sesuatu napa.”
“Serius?”
“Seriusan!?”
Apa
maksudnya?
“Jika
dia menyukaiku sebagai teman, maka aku ingin
seperti itu. Jika itu berarti cinta... itu juga, aku
ingin seperti itu... maksudnya, aku
hanya ingin menjadi orang yang diinginkan olehnya.”
“Aku sudah mengerti. Duh, dasar merepotkan sekali.”
“Satonaka-san!?”
Kenapa
tiba-tiba ia terlihat kerepotan!
“Hah...
aku tidak suka, Kensei diambil oleh Miura.”
“Emangnya
elu ayahnya?”
“Ya,
aku hampir seperti ayah.”
Aku
sedikit terkejut dengan kata-kata Satonaka-san yang mengangkat bahunya.
…Begitu ya, jadi mirip seperti ayah. Apa kamu selalu berpikir begitu?
“Apalagi ia malah terjebak dalam situasi
seperti itu, dengan istri yang penampilannya
seperti jiraikei?”
“Makanya,
pilih kata-katanya dengan hati-hati!!”
Rasa
hormatku langsung seketika lenyap.
“Toru,
Mirai adalah wanita yang baik, loh.”
“Penampilannya
saja sudah minus lima puluh poin.”
Satonaka-san mengarahkan ibu jarinya ke
bawah.
“Apa
yang kamu katakan, Miura-san itu manis sekali, tau!”
“Padahal dia
tahu bahwa dia akan diperlakukan secara sosial dengan cara yang aneh, tapi dia tetap berpakaian seperti itu,
itu menunjukkan kalau dia
bodoh.”
“Itu...”
Kata-katanya
memang kedengarannya pedas, tetapi
memang ada hal yang sulit di situ.
“Misalnya,
tren terbaru pasti akan menghadapi angin yang berlawanan, dan ketika ada
penandaan tertentu pada gaya berpakaian, itu menunjukkan bahwa dia adalah
bagian dari kelompok itu. Itu sama seperti seragam. Betul, ‘kan?”
“Ya...”
“Memang benar kalau Miura itu gadis yang cerdas, dan dia tahu
bagaimana menjaga jarak dengan orang lain sehingga dia bisa populer dalam
pelayanan. Jadi, kenapa dia berpakaian dengan cara yang jelas-jelas menampilkan kalau dia tidak gampang didekati?”
“Karena
dia cantik...?”
“Dua
poin.”
“Dua
poin!?”
Satonaka-san tertawa sinis dan melanjutkan.
“Memang,
bagi dirinya, itu menarik. Dalam arti cantik. Tetapi jika dia terus
mengenakannya hanya untuk itu, dia bisa memakainya
di dalam rumah, kan? Jadi, jawabannya
sederhana.”
...Entah
kenapa, meskipun ini dimulai dengan penghinaan, rasanya seperti pembicaraan
yang penting.
“Itu
semacam sikap ego. Dia masih anak-anak. Aku tidak tahu alasannya, tetapi dia menemukan makna
dalam penampilannya itu, dan dia berpikir bahwa
dirinya akan kalah jika dia berpakaian biasa.”
“…Kalah
dari apa?”
“Entahlah.”
“Eh!?”
“Aku
tidak tahu dan tidak tertarik untuk mengetahuinya. Sebagian besar orang tidak
peduli dengan individu lain, jadi
mereka akan memberi label sembarangan. Dia adalah tipe gadis jiraikei, jadi mungkin dia tergila-gila karena host, mungkin?”
“!”
Itu
persis seperti yang dikatakan Miura-san
hari ini.
“Dia
tahu itu, dan tetap bersikeras memakainya,
jadi dia bodoh. Kalau aku sih pasti takkan mendekat lebih dari yang
diperlukan dan mencoba untuk memahaminya.”
“Kenapa
tidak?"
“Karena
jika aku melakukannya untuk satu orang, bukannya itu tidak adil?”
Setiap
orang mungkin memiliki alasan masing-masing. Bukan hanya tipe jiraikei, misalnya di sekolah. Karena dia
bersekolah di SMA ●●,
pasti dia mengejar pendidikan. Karena dia bermain game ●●, pasti dia seorang
otaku.
Jika
mencopot label dari setiap orang adalah hal yang adil.
“…Aku tidak berpikir begitu. Satu-satunya yang terpenting bagiku hanya Miura-san.”
Setelah aku
mengakatan itu, Satonaka-san
tampak jengkel, tetapi ia tetap berkata dengan
senyum yang biasa.
“Kalau
begitu, orang yang ingin melakukannya harus berusaha, ‘kan?”
“Satonaka-san.”
“Kalau aku
sih tidak akan melakukannya, tetapi jika ada yang ingin, silakan
saja."
Hmm... Maksudku, apa yang ingin ia sampaikan
dengan rangkaian pembicaraan ini? Ketika aku
dibuat kebingungan, Rachel-san
yang selama ini diam mulai angkat bicara.
“Perkataan Toru
mungkin berbelit-belit, tetapi karena
Kensei benar-benar peduli pada Mirai, jadi ia memberimu
nasihat.”
“Oi,
oi, mana
mungkin manusia sampah seperti diriku bisa memberikan nasihat.”
Hmm,
benar juga.
“Tidak...
yah, aku hanya ingin mengucapkan terima
kasih. Aku senang bisa berbicara dengan
kalian berdua.”
Pada
akhirnya, aku ingin
orang yang berhutang budi kepadaku merasa
bahagia.
Itu saja.
Mungkin.
Aku
juga penasaran dengan [ego] yang disebutkan Satonaka-san tentang Miura-san, dan aku berpikir untuk menyimpannya
dalam ingatanku.
“Tapi,
Kensei, kamu mengatakan kalau ‘Satu-satunya yang
terpenting bagiku hanya Miura-san’, ya?”
Tiba-tiba
disodori pertanyaan ini membuatku
terkejut.
Kenapa
dia mengangkat kembali hal itu? Meskipun begitu, aku
balas mengangguk.
“Yah,
iya. Eh, jadi kenapa?”
“Karena
kupikir itu hal yang menyenangkan.”
Menyenangkan?
Apa
maksudnya, pikirku,
ketika tiba-tiba suara lembut terdengar dari belakang.
“Uhm...
Maizono...”
“!?!?!???”
!?!?!???!?
“Sejak
kapan kamu ada di sana!?”
“Tidak,
baru saja... Arisa...”
Tangan
Miura-san yang berdiri di belakang
terhubung dengan adik perempuanku.
“Baru
saja datang.”
Dengan
ekspresi ceria, Arisa melihat sekeliling restoran
Sandora.
Kadang-kadang,
ketika shift pekerjaanku selesai
sebelum makan malam, Arisa juga datang ke Sandora
dan menungguku di
belakang.
Meski ada
saatnya Miura-san yang menjaganya dengan cara seperti ini.
Tapi
waktunya apes banget....
Hanya
saja, tidak baik untuk menceritakan percakapan tadi kepada Miura-san di sini.
Jadi aku memutuskan untuk bersikap
tenang.
“Fyuh...”
“Ma-Maizono?”
“Satu-satunya
yang terpenting
bagiku hanya Miura-san.”
“Jangan
dikatakan lagi!!”
Aku
menutup wajah dengan kedua tangan dan berjongkok. Setelah melepaskan tanganku, Arisa
menatap tangan kecilnya sebelum menarik bajuku.
“Kalau Arisa?”
“Tentu
saja Arisa juga──”
Ada bayangan
yang menyela sebelum aku
bisa mengatakan bahwa dia juga penting.
“Arisa
adalah orang yang terpenting di dunia, jangan
khawatir. Arisa adalah putri tercantik
di dunia.”
“Satonaka-san, ayolah...”
Satonaka-san mengangkat Arisa di kedua
sisinya dan memeluknya
“Satonaka!”
“Ah, aku
memang Satonaka, My princess.”
Apa sih yang dia lakukan sebenarnya?
"Eh...
Satonaka-san, mengenai
Arisa...”
“Ah...
bisa dibilang aku sangat
mencintainya. Dia juga sering baik kepadaku.”
Miura
yang sedang berjongkok berdiri dan dengan lembut membisikkan sesuatu di sampingku.
“Bagaimana
kalau meminta Satonaka-san untuk
datang ke acara kunjungan
orang tua?”
“Ah...
jika ia ada waktu sih.”
Satonaka-san bukanlan orang yang sibuk, tetapi ia
sering memiliki jadwal yang tidak teratur.
Setiap
jadwal itu adalah masalah yang terlalu berat untuk ditangani oleh siswa, jadi
agak sulit.
Ketika
aku melihat ke arah Miura-san, dia langsung mengalihkan
pandangannya.
Karena
dia tadi sempat berbisik padaku,
jaraknya jadi sangat
dekat. Parfum dari leher Miura-san
menggelitik hidungku dengan lembut. Anting-anting pink yang cantik berkilau di
lehernya yang indah.
...Dengan
jarak sedekatnya kami, aku
juga menjadi sadar dan mengalihkan
pandanganku. Apalagi
setelah lelucon tidak perlu dari Rachel-san
sebelumnya.
“Acara
kunjungan orang tua?”
Kemudian Satonaka-san bereaksi. Lalu Arisa mengangguk.
“Iya.
Nii-san dan Nee-san juga akan datang.”
“Nee-san!?!?!?!?”
Oh, gawat. Mata Satonaka-san melebar
karena terkejut dan melihat ke arah
Miura-san.
“Ah.”
Miura-san sepertinya juga berpikir ini
buruk. Dia berkata dengan tampak canggung.
“Ah...
halo, aku
adalah Nee-san nya.”
“Kugh... dasar Miura, kamu tidak puas hanya dengan Kensei,
tapi juga menjalin hubungan dengan Arisa?”
“Jangan
sebut itu! Lagian juga, aku belum menjalin hubungan
dengan Maizono!?”
“Belum?”
“Ah,
tidak, itu... bukan begitu...”
Miura-san tampak menyusut.
Satonaka-san menutup matanya sejenak dan
menghela napas dalam-dalam. Mungkin dia sangat terkejut melihat Arisa dekat
dengan Miura-san.
“Satonaka,
apa kamu sedih?”
“Ah,
aku merasa sedih. Sangat menyakitkan. Apa
kamu bisa menghiburku, Arisa?”
“Ya.
Aku tahu caranya. Ketika Arisa
merasa kesepian, Nee-san
selalu menghiburku.”
Arisa,
itu justru memperparah situasi.
Oh, ada darah yang keluar dari mulut Satonaka-san. Miura-san malah menatap langit-langit.
“Cup, cup,
Satonaka, kamu hebat.”
“Terima
kasih, Arisa...”
Satonaka-san dibiarkan begitu saja oleh Arisa
yang mengelusnya.
Apa-apaan ini? Bukannya ini masih jam buka?
Karena
hanya ada pelanggan tetap yang sedang berbincang, jadi tidak masalah.
“Mirai.”
“Ah,
ya, ada apa?”
Rachel-san, yang entah kapan sudah kembali,
memanggil Miura-san.
“Aku
adalah pendukung Mirai. Jadi tidurlah dengan tenang.”
“Apa aku akan mati?”
Mungkin
kata 'tidur' itu yang berlebihan...
“Rachel-san, dia sangat menghargaimu, Miura-san.”
“Eh,
oh, begitu ya. Terima kasih.”
“Tapi yang
menjaga Mirai adalah Kensei.”
“Kenapa
kamu mengangkat kembali hal tadi!!”
Ketika aku menyela, Rachel-san tertawa dengan ceria.
“Pastinya
sulit bagi kalian berdua yang masih muda. Jadi jika
ada masalah, pastikan untuk membicarakannya dengan orang
dewasa.”
Tiba-tiba,
Miura dan aku saling
memandang.
Itu
memang baik, tetapi── lalu kata-kata berikutnya sangat tidak perlu.
“Misalnya
saja untuk nama anak kalian.”
“Eh──”
“Rachel-san!!”
Sebelum aku sempat berkata apa-apa, Miura-san duluan yang sudah tersentak marah.
“Oh,
jika kamu terlalu membantah, itu terlihat seperti kamu tidak menyukainya.”
“Bukan
tidak suka, tapi... tidak membantah juga tidak baik, ‘kan?!”
Hah.
“Maizono!
Coba katakan sesuatu napa!”
“Ya...
orang dewasa itu memanglah sampah.”
“Maizono
sudah menyerah pada segalanya!”
Rachel-san tertawa dengan riang. Apanya sih yang lucu?
“Selalu
menyelesaikan semuanya sendiri bukanlah satu-satunya hal yang benar untuk dilakukan.
Baik Kensei dan Mirai juga.”
Dengan
begitu, Rachel-san
mengakhiri pembicaraannya.
Rasanya
seperti kami telah berbicara tentang sesuatu yang baik, tetapi aku tidak berencana untuk
mengorbankan diri dengan pengabdian yang berlebihan, dan jika itu yang
dipikirkan orang lain, aku merasa
tersinggung.
Hanya
saja, entah kenapa, aku merasa mata
Miura-san sedikit bergetar.
“Miura-san?”
“…Bukan apa-apa. Ya, persis seperti yang dikatakan Rachel-san.”
Dia
berkata demikian sambil melipat tangannya dengan
lembut.