[LN] Otonari no Top Idol-sama Jilid 2 Bab 7 Bagian 1 Bahasa Indonesia

Ronde 7 — Suzufumi no Ba~ka

Bagian 1

 

Ketika berbicara tentang tempat-tempat pemandian air panas di Jepang, daerah Atami, Kusatsu, Hakone, dan Yufuin adalah tempat-tempat yang terkenal.

Pasangan di kamar 808 yang hobi berwisata ke pemandian air panas mengatakan bahwa di negara kami terdapat hampir tiga ribu tempat pemandian air panas. Angka tersebut tidak terbatas pada tujuan wisata yang disebutkan sebelumnya, tetapi juga banyak yang tersebar di Tokyo. Hotel tempat kami menginap adalah salah satunya, di mana kami dapat menikmati air panas alami yang dipompa dari bawah tanah sepuasnya.

Saat tenggelam di dalam bak mandi yang jauh lebih luas dari di rumahku, rasanya bagaikan berada di surga dunia. Saat kaki diluruskan dan bahu terendam dalam air hangat, segala masalah dan kekhawatiran seolah-olah lenyap bersama kepulan uap.

Meskipun hanya terasa demikian, nyatanya masalah apa pun belum terselesaikan sama sekali.

“.....”

Beberapa puluh menit yang lalu, aku dan Yuzuki memutuskan untuk menginap di kamar yang sama.

Menurut usulan dari pembuat rencana adalah tur menginap selama dua hari satu malam dengan seorang idol. Ini merupakan pendekatan ala idol yang sudah lama tidak aku alami dari Yuzuki.

Ya, ini tetap merupakan strategi Yuzuki. Dia ingin membuatku berdebar-debar dan memenangkan hatiku ke dalam pesonanya sebagai seorang idol yang bernama Arisu Yuzuki. Ini sama sekali bukan karena dia ingin menghabiskan malam bersamaku atau melewati batas.

Oleh karena itu, tidak ada alasan bagiku untuk merasa gelisah. Alasan kenapa aku lupa membawa handuk ke kamar atau salah mengambil air dingin di sebelah sauna dan memercikkannya ke bahu hanyalah karena kecerobohanku. Dan meskipun saat ini Yuzuki berada di seberang dinding dalam keadaan tanpa busana, itu sama sekali tidak ada hubungannya denganku.

Akan tetapi, sebelum keluar dari kamar mandi, aku berpikir untuk sekali lagi membersihkan tubuhku dengan teliti.

 

 

Setelah keluar dari ruang ganti, aku duduk di bangku yang ada di depannya. Yuzuki tidak terlihat di sekitar sini. Sepertinya aku keluar lebih dulu. Angin dingin di lorong terasa menyegarkan.

Aku dan Yuzuki berjanji untuk bertemu di bangku ini. Kami perlu kartu kunci untuk menggerakkan lift, jadi kami harus kembali ke kamar bersama-sama.

Setelah beberapa menit menunggu, seorang gadis muncul dari balik tirai kamar mandi Wanita.

Maaf sudah membuatmu menunggu, Suzufumi.

Yuzuki dalam balutan yukata berjalan tergesa-gesa mendekatiku.

Rambut hitamnya yang sedikit basah terurai di bahunya. Uap air mengepul dari tubuhnya.

Wajahnya yang memerah memancarkan sensualitas, dan gestur menyibakkan rambutnya itu tampak menggoda.

Seharusnya kamu keringkan rambutmu dulu.

Hmm, tapi kalau memakai pengering rambut di kamar, aku tidak perlu khawatir soal tatapan mata orang lain.

Rambut basahnya terlihat lebih berkilau dan lembut seperti sutra.

“Loh, loh, jangan-jangan kamu terpesona, ya?

Yuzuki mengedipkan mata dengan jahil.

“...Mana mungkin begitu.

Aku bohong. Meskipun aku berusaha untuk tidak memerhatikannya, mataku tetap tertarik padanya.

Kalau begitu, kamu boleh melihat sepuasnya, pastikan kamu sungguh-sungguh mengingat penampilanku dalam balutan yukata ini.

Yuzuki memegang lengan yukatanya dan berputar. Bahkan gerakan sederhana itu terlihat anggun, pantas untuk seorang idol aktif.

Yuzuki setelah mandi terlihat tanpa riasan. Tapi tanpa makeup, dia justru terlihat lebih imut dari biasanya. Mata coklat madunya, alis tegasnya, dan bibir lembut sewarna sakura tetap memesona.

“...Kalau gitu, ayo kembali ke kamar kita.”

Ah, iya.

Kamar kita’. Meskipun tidak ada makna khusus, tapi entah kenapa detak jantungku berpacu semakin cepat.

Saat aku berdiri, Yuzuki berdiri tepat di sampingku. Aroma sampo menguar dari rambutnya. Tergoda oleh wangi manis itu, diam-diam aku melirik ke arahnya saat berjalan.

Untungnya, tidak ada orang lain selain kami di lorong itu. Kami naik lift berdampingan.

Lantai kami, yang memiliki ruangan gaya Jepang, berada di lantai delapan, sama seperti apartemen kami. Diam-diam aku sedikit berdebar mengingat saat kami berpegangan kecil di lift apartemen.

Setelah kembali ke kamar, suasana hatiku akhirnya bisa sedikit tenang. Meskipun kami sering berdua di apartemen, entah kenapa suasana di hotel ini membuatku lebih sadar.

Tenangkan dirimu, Mamori Suzufumi. Yang harus kupikirkan hanyalah memberikan ketenangan pada Yuzuki.

Saat Yuzuki sedang mengeringkan rambutnya di kamar mandi, aku memutuskan untuk beristirahat di beranda luas di bagian dalam. Aku akan melihat pemandangan di luar jendela untuk menenangkan diri.

Tak lama kemudian, Yuzuki keluar dari kamar mandi dan mulai melakukan peregangan di tengah ruangan Jepang itu. Dia menolehkan kepala ke kiri-kanan, dan membungkuk untuk meregangkan belakang lutut. Sepertinya sulit melakukan peregangan dengan yukata, jadi dia melepas sebagian pakaiannya.

Pandangan mataku bertemu dengan bayangan Yuzuki di kaca jendela.

“Sudah kuduga, kamu pasti terpesona padaku ya, Suzufumi.

Itu... hanya kebetulan.

“Iya deh, iya, terserah. Kalau begitu, bantu aku melakukan peregangan berpasangan.

Menerima permintaannya, aku berjalan menghampirinya.

“Mumpung ada kesempatan ayo kita lakukan peregangan bersama. Nah, luruskan kakimu.

Aku duduk di tatami dengan kaki lurus, dan Yuzuki duduk berhadapan denganku dalam posisi bersila. Kulit kakinya yang terekspos dari yukata menyentuh pergelangan kakiku, membuat jantungku berdebar.

Sekarang, rentangkan tanganmu ke depan.

Yuzuki menyilangkan lengannya, lalu memegang pergelangan tanganku.

Setelah itu, tarik tubuhmu ke belakang dengan kuat.

“O-Oke”

Saat aku menarik pergelangan tangannya, Yuzuki yang duduk bersila mengeluarkan suara Nngh~” pelan.

Maaf, apa itu sakit?

Tidak, aku baik-baik saja... Jangan berhenti di tengah-tengah.

Mungkin karena isi hatiku yang kotor, kata-kata yang dia katakan terdengar sarat akan nuansa yang tidak senonoh.

Pada awalnya, Yuzuki masih terlihat santai, tapi seiring pengulangan gerakan, suara napasnya semakin terdengar berat. Seiring pergerakan tubuh yang bervariasi, pakaiannya jadi berantakan sehingga memperlihatkan bagian dadanya.

Lho, di balik yukatanya, bukannya pakai kaos, dia malah pakai camisole!? Aku sudah pernah memikirkan ini sebelumnya, tapi memangnya perempuan merasa tidak masalah jika pakaian dalam mereka terlihat oleh pria?

Tidak, aku harus fokus untuk membantunya. Mustahil bagiku untuk memiliki niat buruk terhadap Yuzuki yang bersungguh-sungguh melakukan peregangan.

Tapi, seolah-olah ingin menguji kesabaranku, yukata Yuzuki semakin terbuka. Entah karena ikatannya yang longgar atau karena peregangan sebelumnya, belahan dadanya kini terpampang lebar sampai-sampai membuatku berpikir apa dia sengaja memamerkannya. Orangnya sendiri sedang menggigit bibirnya dengan mata terpejam, seolah tidak menyadarinya.

Setelah menyelesaikan sejumlah gerakan yang ditentukan, Yuzuki jatuh terlentang.

Ugh, akhir-akhir ini aku mengabaikan latihan punggungku...

Ketika aku melihat Yuzuki yang kecewa, aku merasa malu pada diriku sendiri yang terganggu pikirannya. Aku bersumpah akan membantu dengan niat yang tulus mulai sekarang.

Aku haus... Mau minum air, ah...

Saat Yuzuki berdiri di hadapanku untuk menuju dapur, hal itu pun terjadi.

Obinya yang berwarna merah terlepas dari yukatanya.

Mari kita periksa dulu situasinya. Belahan dada Yuzuki terbuka lebar, menampakkan camisole berwarna merah muda. Yukatanya sudah tidak rapi lagi, bahkan terkesan sengaja dilepas. Tanpa ikatan obi, kain yukata itu melorot bagai kulit telur yang terkelupas.

“Hah?

Bagian atas mungkin masih bisa diterima, karena tampaknya Yuzuki tidak merasa malu memperlihatkan camisole-nya. Tapi bagaimana dengan bagian bawahnya?... apakah celana dalam bisa dimasukkan ke dalam kategori celana? Jelas itu tidak mungkin. Hal tersebut terbukti dari wajah Yuzuki yang semakin memerah.

Di ruang Jepang di tengah malam itu, jeritan Yuzuki bergema dengan nyaring.

 

 

Sejak saat itu, kami berdua diam-diam melakukan aktivitas masing-masing di ruangan dan dapur. Yuzuki mendengarkan lagu yang sepertinya sebuah single baru, sementara aku membersihkan peralatan masak.

Bukannya karena kami sedang bertengkar. Hanya suasananya saja yang menjadi canggung.

Dalam upayaku untuk memberi penjelasan kepada Yuzuki, aku memilih kata-kata Hanya sempat terlihat sekilas. Sebenarnya, sekilas aku melihat sesuatu yang berwarna kuning, berbeda dari warna camisole-nya. Tapi bisa jadi itu hanya khayalanku, dan jujur saja tidak ada keuntungan bagiku untuk menjawab secara jujur. Yuzuki menerima penjelasanku dan tampak tenang.

Meskipun begitu, suasananya tidak langsung kembali seperti semula. Seandainya kami berada di 'Apartemen Orikita', dan akhirnya kami akan kembali ke kamar masing-masing. Setidaknya dengan jeda satu malam, kami bisa menjernihkan pikiran. Tapi malam ini, hingga kami tiduratau lebih tepatnya, kami bahkan tidur di kamar yang sama. Sulit untuk tidak memikirkannya.

Yuzuki yang awalnya bersemangat dengan tur menginap dua hari satu malam bersama idol, kini sudah kembali ke dirinya yang biasa. Sesekali matanya bertemu denganku, lalu dia segera mengalihkan pandangannya.

Apa aku harus pindah ke kamar tidur saja sekarang? Tapi kalau aku mengusulkan itu, sama saja dengan mengaku bahwa aku melihat pakaian dalamnya.

Sekarang waktunya sudah lewat tengah malam. Aku memang sedang berlibur, tapi Yuzuki harus pergi ke lokasi syuting pagi-pagi. Untuk tidak mengurangi jam tidurnya, sebaiknya aku yang mengusulkan.

Kurasa sudah saatnya kita tidur.

Bahu Yuzuki tersentak hebat saat mendengar kata ‘tidur’. Dengan gerakan kaku tang mirip seperti robot yang kehabisan minyak, dia perlahan-lahan menghadapku.

Ba-Baiklah.

Tidak ada tempat tidur di ruangan ini. Sepertinya futon disimpan di lemari geser.

Kamar bergaya Jepang ini cukup luas, jadi kalau kami menggelar futon di ujung-ujung, seharusnya tidak terlalu canggung.

Tapi harapanku langsung pupus dalam sekejap.

“...Hm?

Saat aku membuka lemari, aku menemukan kalau di sana hanya ada satu set futon.

Yuzuki yang mengintip dari belakangku mulai gugup dan panik.

“Kalau dipikir-pikir, rasanya pantas saja...

Memang, kami awalnya direncanakan untuk menginap di kamar masing-masing. Jika hanya satu orang per kamar, tentu saja hanya ada satu set futon yang disiapkan.

Bagaimana aku bisa melupakan hal sesederhana itu?

Jam buka meja resepsionis sudah tutup sejak lama. Meminta tambahan futon mungkin akan sulit.

Maaf, ini salahku. Aku akan tidur di kursi di beranda saja.

Tidak boleh! Kalau kamu tidur di sana, nanti kamu bisa masuk angin dan badanmu sakit.

Kalau begitu, aku akan pindah ke kamar tidur di lantai tiga...

Saat aku hendak menuju pintu, ujung yukataku ditarik dari belakang.

Yuzuki meraih ujung yukataku, dia menutupi mulutnya dengan lengan yukatanya seraya berbisik pelan.

 

...Bagaimana kalau kita tidur bersama?

 

Wajah Yuzuki terlihat memerah. Dia menatapku dengan ekspresi malu-malu.

“Kurasa itu sudah terlalu berlebihan...

Kamu tidak mau berbagi kasur denganku?

Bukannya begitu, tapi...

Kalau begitu, sudah diputuskan. Suzufumi, kamu sikat gigi saja dulu. Aku sudah menyikat gigi tadi, jadi aku akan menyiapkan futonnya.

Yuzuki melangkah ke lemari dengan tenang, wajahnya tersembunyi dari pandanganku sehingga aku tidak bisa melihat ekspresinya. Aku hanya bisa menjawab Oke dengan canggung.

Aku menyikat gigi lebih lama dari biasanya.

Saat aku keluar dari kamar mandi, lampu di dalam ruangan sudah dimatikan.

Mulai dari sini, tindakanku bisa mengubah hidupku secara drastis.

Aku bersumpah dengan tegas di dalam hati. Aku tidak akan menyentuh Yuzuki, bahkan seujung jarinya sekali pun. Aku tidak akan menyakitinya.

Dengan tekad bulat, aku naik ke atas tatami.

...Suzufumi.

Terdapat satu set futon yang terbentang di tengah ruangan. Yuzuki duduk bersimpuh di sampingnya.

Cahaya rembulan yang masuk dari jendela menerangi Yuzuki dengan lembut.

Senyumannya yang lembut, rambut yang berkilauan, tubuh yang ramping dan lentur, kulit leher dan kaki yang putih dan halus.

Dia sangat cantik, pikirku.

“...Nah, kalau begitu, ayo tidur.

Aku berbaring di sisi sampingnya, lalu menarik selimut. Tentu saja kami tak bisa berbagi bantal, jadi aku akan menggunakan bantalan duduk sebagai penggantinya.

Yuzuki ikut berbaring di sampingku. Ukuran futon ini terlalu sempit untuk ditempati dua orang remaja. Begitu bahu kami bersentuhan, aku merasa seperti melupakan bagaimana caranya bernafas.

Yuzuki, apa kamu sudah masuk sepenuhnya?"

Iya. Suzufumi sendiri gimana? Kamu baik-baik saja?

Tak masalah.

Sejujurnya, bahu kiriku sedikit menjuntai keluar futon. Ini adalah batas maksimalku. Jika kami semakin merapat, aku tidak memiliki kepercayaan untuk bisa mengendalikan diri.

Suzufumi, apa hatimu merasa cenat-cenut?

“Rasanya bohong kalau aku bilang tidak merasakannya. ...Kamu sendiri bagaimana?

Ak-Aku kan idol, jadi saat berfoto dengan penggemar pun, kadang kami sedekat ini.

“Tapi suaramu malah kedengarannya semakin gemetar. Kamu pasti gugup banget, tuh.

Ta-Tapi tidak separah kamu, kok!

Saat pandangan mataku perlahan-lahan mulai terbiasa dengan kegelapan, aku bisa melihat wajah Yuzuki dengan jelas. Matanya yang basah, bulu matanya yang panjang, hidung, pipi, dan bibirnya. Padahal aku sudah terbiasa melihatnya, tapi aku tak bisa berhenti memandanginya.

Yuzuki juga memandangku dengan intens. Jarak di antara kami hanya sekitar sepuluh sentimeter. Jika salah satu dari kami bergerak sedikit saja, bibir kami bisa saling bersentuhan. Aku diam tak bergerak sedikit pun bak patung.

Waktu yang berlalu beberapa menit terasa bagaikan selamanya.

Aku berharap waktu bisa berhenti di sini selamanya.

Tapi waktu terus berjalan, tak mau menunggu.

Oleh karena itu, aku tak bisa terpaku di sini selamanya.

...Yuzuki, apa kamu membenci Emoto-san?

Ketika aku menanyakan itu, tatapan Yuzuki tampak bergetar.

Bukannya aku membencinya... Tapi aku benar-benar marah karena dia meremehkan masakan Suzufumi.

Aku sama sekali tidak keberatan, kok. Kupikir sudah saatnya kamu memaafkannya, bagaimana?

“.....”

Ada keheningan sejenak. Tak terdengar suara apapun, baik dari luar maupun dari kamar sebelah.

“...Aku masih menyesalinya sekarang. Aku agak sombong saat pertama kali pindah ke Tokyo.”

“Hooo”

Ucapan Yuzuki yang tak terduga itu membuatku terkejut.

Saat pertama kali datang ke Tokyo, aku terlalu larut dalam euforia dan harapan bisa menjadi idol. Aku hanya memikirkan bagaimana tidak boleh kalah dengan anggota lain.

Saat grup idola Spotlight melakukan debutnya, Yuzuki masih kelas satu SMP. Jadi saat dia pindah ke Tokyo, dia masih sekolah SD. Rasanya tidak terlalu mengherankan jika dia terlalu mementingkan egonya sendiri.

Sesama anggota juga belum seakrab sekarang. Kami lebih merasa sebagai rival daripada teman. Kami lebih mementingkan diri sendiri, dan tak banyak mengobrol santai. Aku ingin berlatih lebih keras, menguasai vokal dan tari, lalu pasti menjadi center.

Ingin diakui, tidak mau kalah dengan orang lain, ingin menonjol, ingin berprestasi. Menggunakan emosi-emosi itu sebagai sumber energi tidak ada salahnya.

Jadi saat aku diberitahu kalau aku mendapat posisi bernyanyi di single debut hanya di pinggir, rasanya semua usahaku sia-sia. Aku langsung menuntut ke produser, 'Kenapa bukan aku yang jadi center?'

Terdengar agresif sekali, ya.

Benar sekali, balas Yuzuki sambil tersenyum getir.

Tapi aku langsung ditolak begitu saja, dan menangis sendirian di studio.  Tapi Ruru-san yang seharusnya sudah pulang, dia malah datang menemuiku dan menyapaku.

Jadi sejak dulu Emoto-san sudah perhatian begitu. Padahal saat itu dia sendiri masih SMP, tapi dia masih sempat-sempatnya membantu orang lain tanpa memedulikan situasinya sendiri.

Aku di posisi paling kanan, dan Ruru-san di paling kiri. Kupikir sesama 'pinggiran' pasti bisa saling memahami.

“Memangnya tidak begitu?

Setelah Ruru-san mendengar ceritaku, dia langsung bilang, 'Yuzuki, kamu itu terlalu menuntut, ya.'

Menuntut?

Iya, menuntut. Di dunia ini ada banyak orang yang punya kemampuan tapi kurang beruntung dengan nasib dan kesempatan. Lagi pula idol biasanya debut di usia muda, sementara aku diberi kesempatan debut di usia 12 tahun, itu saja sudah sangat beruntung. Tapi aku malah hanya memikirkan ingin menjadi center, sampai merasa seperti didiskriminasi. Dia melihat kenaifanku dan menunjukkannya.”

Yuzuki tersenyum nostalgia. Meski sedang menceritakan masa lalunya yang memalukan, suaranya terdengar hangat.

Tapi Ruru-san tidak berhenti di situ. Dia memutarkan video latihan dan rekaman suara yang dia simpan, lalu memberi pendapat objektif tentang apa yang kurang dariku. Padahal Ruru-san juga pasti sibuk dengan urusannya sendiri, tapi dia rela meluangkan waktunya berkali-kali untuk menyemangatiku.

Bagi Emoto-san waktu itu, dia seharusnya menganggap Yuzuki sebagai rival utama yang harus dikalahkan. Walaupun tidak sampai memberi garam ke musuh, tapi tetap saja tidak semua orang bisa melakukan hal seperti itu.

Setelah kupikir-pikir kembali, ternyata kemampuan vokal dan menari-ku juga masih sangat buruk. Stabilitas nada belum bagus, gerakan jari-jari kurang rapi. Aku heran bagaimana aku bisa begitu percaya diri ingin menjadi center.

Di ruangan yang gelap, gigi putih Yuzuki bisa terlihat.

Sebelum Ruru-san pergi, dia bilang 'Kalau ada sesuatu yang menyusahkanmu lagi, jangan ragu untuk berkonsultasi denganku.' Tapi aku memang kurang suka meminta bantuan orang lain.

Memang begitulah sifatmu.

Aku sangat memahami betul kebiasaannya yang suka memendam masalah sendirian.

Apalagi waktu itu kami semua masih saling bersaing, jadi aku merasa ragu kalau boleh seenaknya bergantung pada senior. Tapi sepertinya Ruru-san sudah memahamiku sejak awal. Kemudian dia akhirnya bilang begini”

──Kalau begitu, mulai hari ini, aku akan menjadi 'kakak' untuk Yuzuki. Dengan begitu, kamu tak perlu sungkan untuk meminta bantuanku, ‘kan?

“Setelah mendengar kata-kata itu, akhirnya aku merasa kalau beban di bahuku jadi terangkat. Ah, aku tak perlu lagi bersikap kuat di hadapan Ruru-san.

Bukan sebagai rekan grup, bukan juga sebagai senior-junior, melainkan hubungan sebagai kakak-adik. Hubungan khusus yang dimiliki mereka berdua itulah yang mengubah Yuzuki.

Mulai keesokan harinya, saat Ruru-san masuk studio, selain ucapan 'Selamat pagi', dia juga akan langsung memelukku. Awalnya itu membuat orang-orang di sekitar kaget, dan aku juga terkejut. Tapi pasti Ruru-san berusaha untuk lebih dekat denganku. Lama-kelamaan itu menjadi hal biasa, dan suatu hari aku membalas pelukannya, Ruru-san hampir menangis.”

Saat aku pertama kali bertemu Emoto-san di apartemen, aku dibuat heran dengan pelukan mereka yang penuh semangat. Ternyata itu bukan sekadar sikap, tapi kepercayaan yang sudah mereka bangun selama bertahun-tahun.

“Rasanya sangat menenangkan memiliki seseorang yang mendukungmu. Karena Ruru-san selalu mengawasiku, aku bisa terus mengejar apa yang kuinginkan. Berkat 'kakak'-ku, aku bisa sampai sejauh ini.

Sejuujurnya, aku berpikir kalau hubungan persaudarian antara Emoto-san dan Yuzuki itu tidak seimbang. Tapi ternyata Yuzuki juga sangat menyayangi 'kakak'nya.

Dulu kami sering main bersama setiap minggu. Entah itu di karaoke, kafe kucing, bowling, kami melakukan banyak hal bersama, sampai memakai cat kuku yang sama. Dia juga sering mengajakku ke restoran enak di Tokyo... Meski karena kami masih SMP, tempatnya pasti cuma restoran waralaba. Tapi restoran Jepang yang kami kunjungi sebelum debut, rasanya enak sekali. Kalau tidak salah waktu itu juga kami dilarang pakai bahasa hormat. Rapat rahasia hanya berdua, aku kangen masa-masa itu.

Ekspresi Yuzuki saat mengingat tiga tahun terakhir itu tampak bahagia, tidak ada setitik pun keraguan.

Kalau Emoto-san begitu berharga bagimu, mungkin sudah saatnya kau memaafkannya...

Ini dan itu adalah dua urusan yang berbeda!

Yuzuki menutupi kepalanya dengan selimut, lalu dia mengintip keluar seperti tupai yang keluar dari sarangnya.

...Aku sendiri juga tidak mengerti. Kenapa aku masih terus memikirkannya. Tak peduli waktu berlalu, aku tak bisa menyelaraskan perasaanku. Setiap kali aku mengingatnya, aku malah jadi benci pada diriku sendiri yang begitu kecil hati.

Yuzuki pasti sudah menerima bahwa kelakuan Emoto-san bukan sesuatu yang disengaja. Masalahnya hanya dia tidak tahu bagaimana caranya harus memaafkannya.

Kemudian aku tersenyum tipis.

“Rupanya kamu menyayangi Emoto-san, ya.

...Kenapa kamu malah mengatakan hal seperti itu?

“Aku merasa iri pada Emoto-san. Kamu tidak pernah marah padaku sampai seperti itu. Itu artinya kamu lebih terbuka pada 'kakak'-mu sampai-sampai lebih mengutamakan emosi dibandingkan akal sehat.

“......

Melihat Yuzuki yang menatapku dengan tatapan heran, aku dengan jujur menyampaikan pikiranku.

Kalau orang yang ceroboh di ruang klub itu bukanlah Emoto-san, tapi guru atau teman sekelasmu, kamu pasti akan menanganinya dengan mode idolmu yang biasa, benar ‘kan?

Mungkin saja begitu...

Aku merenung di hadapan Yuzuki yang menatapku dengann tatapan cemas. Apa yang harus kulakukan supaya Yuzuki bisa jujur pada perasaannya sendiri?

Siapapun pasti tak ingin melihat kelemahannya sendiri, apalagi mengakuinya.

Tapi jika tak mengakuinya, kita tak bisa maju.

Karena hanya diri sendiri yang bisa menghadapi dirinya.

Mengungkapkan perasaan membutuhkan keberanian.

Karena itu, aku memutuskan untuk sedikit mendorong punggung Yuzuki, meski itu berarti melanggar sumpahku sendiri.

...Eh, Suzufumi?

Aku meletakkan tangan kananku di atas tangan kiri Yuzuki.

Bukan berjabat tangan, bukan juga hanya jari kelingking, tapi benar-benar menggenggam tangannya.

“....Kalau kamu bisa langsung menyelesaikannya, kamu pasti tidak akan merasa kesulitan, ya. Meski kita sangat menyayangi seseorang, bukan berarti kita menerima semua hal dari mereka. Itu hal biasa. Justru karena kamu mengerti itu, kamu jadi sulit memaafkannya.

Meskipun aku bisa menemani Yuzuki menghadapi kekacauannya, aku tak mungkin benar-benar memahaminya. Karena aku tidak punya keseharian”-ku bersama Emoto-san.

Tapi kamu tak perlu repot-repot menutupi perasaanmu sendiri. Meskipun kamu bisa menutupinya dengan berbohong, tapi kebohongan itu tak akan pernah hilang.

Jari-jemari Yuzuki sempat ingin terlepas, tapi kemudian kembali menggenggam tanganku.

“Tenang saja. Aku berada di sini dan akan mendengarkanmu.

Aku terus mengulang "Tak apa-apa, tenang saja”.

Akhirnya, Yuzuki menarik napas pelan.

...Aku merasa kesal.

Genggaman tangannya mulai menguat.

Aku tidak bisa memaafkannya karena memperlakukan makanan yang dibuat Suzufumi dengan sembarangan.

Begitu, ya.

Aku juga tak suka dia terlalu ikut campur dengan kehidupan pribadiku. Aku boleh melakukan apa saja dalam kehidupanku.

Mungkin itu benar.

“Selain itu, dia memelukku semakin kuat setiap tahun, dan itu rasanya sesak.

Bahasanya memang sangat berapi-api.

...Tapi, aku menyukainya.

Satu per satu, Yuzuki mengeluarkan perasaan gelapnya. Lalu, dari baliknya, tampak muncul cahaya yang redup.

Aku tidak ingin begini terus. Aku ingin bisa tertawa bersama Ruru-san lagi...Aku ingin berdamai dengannya.

Aku menggenggam erat tangan Yuzuki yang gemetar.

Kalau begitu, kamu tinggal menyampaikannya langsung pada orangnya, kan?"

...Iya.

Yuzuki memejamkan matanya karena lega.

Lalu, dia mengetuk punggung tanganku dengan jari telunjuknya.

Hei, Suzufumi.

Apa?

...Boleh aku tidur dalam posisi seperti ini?

Boleh, kok. Kamu bebas memegangnya sepuasmu.

Kalau begitu, aku tak sungkan-sungkan.

Yuzuki semakin mendekatkan dirinya. Lalu dia melepaskan tanganku, dan menyisipkan jemarinya di antara jariku. Genggaman tangan yang seperti ini biasa disebut pegangan tangan ala sepasang kekasih.

Aku lebih menyukai yang ini.

Ujung jari Yuzuki membelai punggung tanganku. Dia melakukannya berulang kali seolah-olah sedang memastikan sensasinya.

...apa ini juga bagian dari upaya idolmu yang biasanya?

Aku cuma ingin melakukannya saja.

Senyuman polos yang dia tunjukkan di hadapanku pasti berbeda dengan senyumnya di atas panggung.

Di sini, tidak ada sosok idola yang tak tersentuh.

Suzufumi, apa kamu merasa senang?

...Iya, aku senang.

Aku juga.

Hanya mengatakan itu, Yuzuki lalu tenggelam ke dalam selimut. Aku tidak bisa melihat ekspresinya lagi.

Kalau begitu, setidaknya aku berharap dia bisa mendengar detak jantungku yang berdebar.

Akhirnya, kami berdua pun tertidur lelap.

Hanya suara napas kami berdua saja yang terdengar di ruangan itu.


 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama