Ronde 7 — Suzufumi no Ba~ka ②
Bagian 1
Ketika
berbicara tentang tempat-tempat pemandian air panas di Jepang, daerah Atami, Kusatsu, Hakone, dan
Yufuin adalah tempat-tempat yang terkenal.
Pasangan
di kamar 808 yang hobi berwisata ke pemandian
air panas mengatakan bahwa di negara kami terdapat hampir
tiga ribu tempat pemandian air panas.
Angka tersebut tidak terbatas pada
tujuan wisata yang disebutkan sebelumnya, tetapi juga banyak yang tersebar di
Tokyo. Hotel tempat kami menginap adalah salah satunya, di mana kami dapat
menikmati air panas alami yang dipompa dari bawah tanah sepuasnya.
Saat
tenggelam di dalam bak mandi yang jauh lebih luas dari di rumahku, rasanya bagaikan berada di surga dunia. Saat kaki
diluruskan dan bahu terendam dalam air hangat, segala masalah dan kekhawatiran
seolah-olah lenyap bersama kepulan uap.
Meskipun
hanya terasa demikian, nyatanya masalah apa pun belum terselesaikan sama sekali.
“.....”
Beberapa
puluh menit yang lalu, aku dan Yuzuki memutuskan untuk menginap di kamar yang
sama.
Menurut usulan
dari pembuat rencana adalah “tur
menginap selama dua hari satu malam dengan seorang idol”. Ini
merupakan pendekatan ala idol yang sudah lama tidak aku alami dari Yuzuki.
Ya, ini
tetap merupakan strategi Yuzuki. Dia ingin membuatku berdebar-debar dan memenangkan hatiku ke dalam pesonanya
sebagai seorang idol yang bernama Arisu Yuzuki.
Ini sama sekali bukan karena dia ingin menghabiskan malam bersamaku atau
melewati batas.
Oleh
karena itu, tidak ada alasan bagiku untuk merasa gelisah. Alasan kenapa aku lupa
membawa handuk ke kamar atau salah mengambil air dingin di sebelah sauna dan
memercikkannya ke bahu hanyalah karena kecerobohanku. Dan meskipun saat ini
Yuzuki berada di seberang dinding dalam keadaan tanpa busana, itu sama sekali
tidak ada hubungannya denganku.
Akan
tetapi, sebelum keluar dari kamar mandi, aku berpikir untuk sekali lagi
membersihkan tubuhku dengan teliti.
☆ ☆ ☆
Setelah
keluar dari ruang ganti, aku duduk di bangku yang ada
di depannya. Yuzuki tidak terlihat di
sekitar sini. Sepertinya aku keluar lebih dulu. Angin dingin di lorong terasa
menyegarkan.
Aku dan
Yuzuki berjanji untuk bertemu di bangku ini. Kami perlu kartu kunci untuk
menggerakkan lift, jadi kami harus kembali ke kamar bersama-sama.
Setelah
beberapa menit menunggu, seorang gadis muncul dari balik tirai kamar mandi “Wanita”.
“Maaf
sudah membuatmu menunggu, Suzufumi.”
Yuzuki
dalam balutan yukata berjalan tergesa-gesa mendekatiku.
Rambut
hitamnya yang sedikit basah terurai di bahunya. Uap air mengepul dari tubuhnya.
Wajahnya
yang memerah memancarkan sensualitas, dan gestur menyibakkan rambutnya itu tampak menggoda.
“Seharusnya
kamu keringkan rambutmu dulu.”
“Hmm,
tapi kalau memakai
pengering rambut di kamar,
aku tidak perlu khawatir soal tatapan mata orang
lain.”
Rambut
basahnya terlihat lebih berkilau dan lembut seperti sutra.
“Loh, loh,
jangan-jangan kamu
terpesona, ya?”
Yuzuki
mengedipkan mata dengan jahil.
“...Mana
mungkin begitu.”
Aku
bohong. Meskipun aku berusaha untuk
tidak memerhatikannya, mataku
tetap tertarik padanya.
“Kalau
begitu, kamu boleh melihat sepuasnya, pastikan
kamu sungguh-sungguh mengingat
penampilanku dalam balutan yukata
ini.”
Yuzuki
memegang lengan yukatanya dan berputar. Bahkan gerakan sederhana itu terlihat
anggun, pantas untuk seorang idol aktif.
Yuzuki
setelah mandi terlihat tanpa riasan. Tapi tanpa makeup, dia justru terlihat
lebih imut dari biasanya. Mata coklat madunya, alis tegasnya, dan bibir lembut
sewarna sakura tetap memesona.
“...Kalau
gitu, ayo kembali
ke kamar kita.”
“Ah,
iya.”
‘Kamar
kita’. Meskipun
tidak ada makna khusus, tapi entah kenapa
detak jantungku berpacu
semakin cepat.
Saat aku
berdiri, Yuzuki berdiri tepat di sampingku. Aroma sampo menguar dari rambutnya.
Tergoda oleh wangi manis itu, diam-diam aku melirik ke arahnya saat berjalan.
Untungnya,
tidak ada orang lain selain kami di
lorong itu. Kami naik lift berdampingan.
Lantai
kami, yang memiliki ruangan gaya Jepang, berada
di lantai delapan, sama seperti apartemen kami. Diam-diam aku sedikit berdebar
mengingat saat kami berpegangan kecil di lift apartemen.
Setelah
kembali ke kamar, suasana hatiku akhirnya bisa sedikit
tenang. Meskipun kami sering berdua di apartemen, entah kenapa
suasana di hotel ini membuatku lebih sadar.
Tenangkan
dirimu, Mamori Suzufumi. Yang harus kupikirkan hanyalah memberikan ketenangan
pada Yuzuki.
Saat
Yuzuki sedang mengeringkan rambutnya di kamar mandi, aku memutuskan untuk
beristirahat di beranda luas di bagian dalam. Aku akan melihat pemandangan di
luar jendela untuk menenangkan diri.
Tak lama
kemudian, Yuzuki keluar dari kamar mandi dan mulai melakukan peregangan di
tengah ruangan Jepang itu. Dia menolehkan kepala ke kiri-kanan, dan membungkuk
untuk meregangkan belakang lutut. Sepertinya sulit melakukan peregangan dengan
yukata, jadi dia melepas sebagian pakaiannya.
Pandangan mataku
bertemu dengan bayangan Yuzuki di kaca jendela.
“Sudah
kuduga, kamu pasti terpesona padaku ya, Suzufumi.”
“Itu...
hanya kebetulan.”
“Iya deh, iya, terserah. Kalau begitu,
bantu aku melakukan peregangan berpasangan.”
Menerima
permintaannya, aku berjalan menghampirinya.
“Mumpung ada
kesempatan ayo kita lakukan peregangan bersama. Nah, luruskan
kakimu.”
Aku duduk
di tatami dengan kaki lurus, dan Yuzuki duduk berhadapan denganku dalam posisi
bersila. Kulit kakinya yang terekspos dari yukata menyentuh pergelangan kakiku,
membuat jantungku berdebar.
“Sekarang,
rentangkan tanganmu ke depan.”
Yuzuki
menyilangkan lengannya, lalu memegang pergelangan tanganku.
“Setelah
itu, tarik tubuhmu ke belakang dengan kuat.”
“O-Oke”
Saat aku
menarik pergelangan tangannya, Yuzuki yang
duduk bersila mengeluarkan suara “Nngh~” pelan.
“Maaf,
apa itu sakit?”
“Tidak,
aku baik-baik saja... Jangan berhenti di tengah-tengah.”
Mungkin
karena isi hatiku yang kotor, kata-kata yang
dia katakan terdengar sarat akan nuansa yang
tidak senonoh.
Pada
awalnya, Yuzuki masih terlihat santai, tapi seiring pengulangan gerakan, suara napasnya semakin terdengar berat. Seiring pergerakan tubuh yang bervariasi, pakaiannya jadi
berantakan sehingga
memperlihatkan bagian dadanya.
Lho, di
balik yukatanya, bukannya pakai kaos, dia malah pakai camisole!? Aku
sudah pernah memikirkan ini sebelumnya, tapi memangnya perempuan merasa tidak masalah jika pakaian dalam
mereka terlihat oleh pria?
Tidak,
aku harus fokus untuk membantunya. Mustahil bagiku untuk memiliki niat buruk
terhadap Yuzuki yang bersungguh-sungguh melakukan
peregangan.
Tapi, seolah-olah ingin menguji kesabaranku, yukata
Yuzuki semakin terbuka. Entah karena ikatannya yang longgar atau karena
peregangan sebelumnya, belahan dadanya kini terpampang lebar sampai-sampai membuatku berpikir apa dia sengaja
memamerkannya. Orangnya
sendiri sedang menggigit bibirnya dengan mata terpejam, seolah
tidak menyadarinya.
Setelah menyelesaikan sejumlah gerakan yang
ditentukan, Yuzuki jatuh terlentang.
“Ugh,
akhir-akhir ini aku mengabaikan latihan
punggungku...”
Ketika aku melihat
Yuzuki yang kecewa, aku merasa malu pada diriku sendiri yang terganggu
pikirannya. Aku bersumpah akan membantu dengan niat yang tulus mulai sekarang.
“Aku
haus... Mau minum air, ah...”
Saat
Yuzuki berdiri di hadapanku untuk menuju dapur, hal
itu pun terjadi.
Obinya yang berwarna merah terlepas
dari yukatanya.
Mari kita
periksa dulu situasinya. Belahan dada Yuzuki terbuka lebar,
menampakkan camisole berwarna merah muda. Yukatanya sudah tidak rapi lagi, bahkan
terkesan sengaja dilepas. Tanpa ikatan obi, kain yukata itu
melorot bagai kulit telur yang terkelupas.
“Hah?”
Bagian
atas mungkin masih bisa diterima, karena tampaknya Yuzuki tidak merasa malu
memperlihatkan camisole-nya. Tapi bagaimana
dengan bagian bawahnya?... apakah celana dalam bisa dimasukkan ke dalam kategori celana?
Jelas itu tidak mungkin. Hal tersebut terbukti
dari wajah Yuzuki yang semakin memerah.
Di ruang
Jepang di tengah malam itu, jeritan Yuzuki bergema
dengan nyaring.
☆ ☆ ☆
Sejak
saat itu, kami berdua diam-diam melakukan aktivitas masing-masing di ruangan dan dapur. Yuzuki mendengarkan
lagu yang sepertinya sebuah single baru, sementara aku membersihkan peralatan
masak.
Bukannya karena kami sedang bertengkar. Hanya suasananya saja yang menjadi
canggung.
Dalam
upayaku untuk memberi penjelasan kepada Yuzuki, aku memilih kata-kata “Hanya sempat terlihat sekilas”. Sebenarnya, sekilas aku melihat
sesuatu yang berwarna kuning, berbeda dari warna camisole-nya. Tapi bisa jadi
itu hanya khayalanku, dan jujur saja tidak ada keuntungan bagiku untuk menjawab
secara jujur. Yuzuki menerima penjelasanku dan tampak tenang.
Meskipun
begitu, suasananya tidak
langsung kembali seperti semula. Seandainya
kami berada di 'Apartemen Orikita',
dan akhirnya kami akan kembali ke kamar masing-masing. Setidaknya dengan jeda
satu malam, kami bisa menjernihkan pikiran. Tapi malam ini, hingga kami tidur — atau lebih tepatnya, kami bahkan tidur di kamar yang sama. Sulit
untuk tidak memikirkannya.
Yuzuki
yang awalnya bersemangat dengan ‘tur
menginap dua hari satu malam bersama
idol’, kini
sudah kembali ke dirinya yang biasa. Sesekali matanya bertemu denganku, lalu
dia segera mengalihkan pandangannya.
Apa aku
harus pindah ke kamar tidur saja sekarang? Tapi kalau aku mengusulkan itu, sama
saja dengan mengaku bahwa aku melihat pakaian dalamnya.
Sekarang
waktunya sudah lewat tengah malam. Aku memang sedang berlibur, tapi Yuzuki harus pergi ke
lokasi syuting pagi-pagi. Untuk tidak mengurangi jam tidurnya, sebaiknya aku
yang mengusulkan.
“Kurasa
sudah saatnya kita tidur.”
Bahu
Yuzuki tersentak hebat saat mendengar kata ‘tidur’.
Dengan gerakan kaku tang mirip seperti robot yang
kehabisan minyak, dia perlahan-lahan
menghadapku.
“Ba-Baiklah.”
Tidak ada
tempat tidur di ruangan ini. Sepertinya futon disimpan di lemari geser.
Kamar
bergaya Jepang ini cukup luas, jadi kalau kami menggelar
futon di ujung-ujung, seharusnya tidak terlalu canggung.
Tapi
harapanku langsung pupus dalam sekejap.
“...Hm?”
Saat aku membuka lemari, aku menemukan kalau di sana hanya ada satu
set futon.
Yuzuki
yang mengintip dari belakangku mulai gugup dan panik.
“Kalau
dipikir-pikir, rasanya pantas
saja...”
Memang,
kami awalnya direncanakan untuk menginap di kamar masing-masing. Jika hanya
satu orang per kamar, tentu saja hanya ada satu set futon yang disiapkan.
Bagaimana
aku bisa melupakan hal
sesederhana itu?
Jam buka
meja resepsionis sudah tutup sejak lama. Meminta
tambahan futon mungkin akan sulit.
“Maaf,
ini salahku. Aku akan tidur di kursi di beranda saja.”
“Tidak
boleh! Kalau kamu tidur di
sana, nanti kamu bisa masuk
angin dan badanmu sakit.”
“Kalau
begitu, aku akan pindah ke kamar tidur di lantai tiga...”
Saat aku
hendak menuju pintu, ujung yukataku ditarik dari belakang.
Yuzuki meraih ujung yukataku, dia menutupi
mulutnya dengan lengan yukatanya seraya
berbisik pelan.
“...Bagaimana
kalau kita tidur bersama?”
Wajah
Yuzuki terlihat memerah. Dia menatapku dengan ekspresi malu-malu.
“Kurasa itu
sudah terlalu berlebihan...”
“Kamu tidak mau berbagi kasur denganku?”
“Bukannya begitu, tapi...”
“Kalau
begitu, sudah diputuskan. Suzufumi,
kamu sikat gigi saja dulu. Aku sudah menyikat gigi
tadi, jadi aku akan menyiapkan futonnya.”
Yuzuki
melangkah ke lemari dengan tenang, wajahnya tersembunyi dari pandanganku sehingga aku tidak bisa melihat ekspresinya.
Aku hanya bisa menjawab “Oke” dengan canggung.
Aku
menyikat gigi lebih lama dari biasanya.
Saat aku
keluar dari kamar mandi, lampu di dalam ruangan
sudah dimatikan.
Mulai
dari sini, tindakanku bisa mengubah hidupku secara drastis.
Aku
bersumpah dengan tegas di dalam
hati. Aku tidak akan menyentuh Yuzuki, bahkan seujung
jarinya sekali pun. Aku tidak akan
menyakitinya.
Dengan
tekad bulat, aku naik ke atas tatami.
“...Suzufumi.”
Terdapat
satu set futon yang terbentang di tengah ruangan. Yuzuki duduk
bersimpuh di sampingnya.
Cahaya rembulan yang masuk dari jendela
menerangi Yuzuki dengan lembut.
Senyumannya yang lembut, rambut yang berkilauan,
tubuh yang ramping dan lentur, kulit leher dan kaki yang putih dan halus.
Dia sangat cantik,
pikirku.
“...Nah, kalau begitu, ayo tidur.”
Aku
berbaring di sisi sampingnya,
lalu menarik selimut. Tentu saja kami tak bisa berbagi bantal, jadi aku akan
menggunakan bantalan duduk sebagai penggantinya.
Yuzuki
ikut berbaring di sampingku. Ukuran futon ini terlalu sempit untuk ditempati dua orang remaja. Begitu bahu kami
bersentuhan, aku merasa seperti melupakan
bagaimana caranya bernafas.
“Yuzuki,
apa kamu sudah masuk sepenuhnya?"
“Iya.
Suzufumi
sendiri gimana? Kamu baik-baik saja?”
“Tak
masalah.”
Sejujurnya,
bahu kiriku sedikit menjuntai keluar futon. Ini adalah batas maksimalku. Jika
kami semakin merapat, aku tidak memiliki
kepercayaan untuk bisa mengendalikan diri.
“Suzufumi, apa hatimu merasa cenat-cenut?”
“Rasanya
bohong kalau aku bilang tidak merasakannya. ...Kamu sendiri bagaimana?”
“Ak-Aku kan idol, jadi saat berfoto
dengan penggemar pun, kadang kami sedekat ini.”
“Tapi suaramu
malah kedengarannya semakin gemetar. Kamu
pasti gugup banget, tuh.”
“Ta-Tapi
tidak separah kamu, kok!”
Saat
pandangan mataku perlahan-lahan mulai
terbiasa dengan kegelapan, aku
bisa melihat wajah Yuzuki dengan jelas. Matanya yang basah, bulu matanya yang
panjang, hidung, pipi, dan bibirnya. Padahal aku sudah terbiasa melihatnya,
tapi aku tak bisa berhenti memandanginya.
Yuzuki juga
memandangku dengan intens. Jarak di antara kami
hanya sekitar sepuluh sentimeter. Jika salah satu dari kami bergerak sedikit
saja, bibir kami bisa saling bersentuhan. Aku diam tak bergerak sedikit pun bak patung.
Waktu yang
berlalu beberapa menit terasa bagaikan selamanya.
Aku
berharap waktu bisa berhenti di sini selamanya.
Tapi
waktu terus berjalan, tak mau menunggu.
Oleh karena
itu, aku tak bisa terpaku di sini selamanya.
“...Yuzuki,
apa kamu membenci Emoto-san?”
Ketika aku
menanyakan itu, tatapan Yuzuki
tampak bergetar.
“Bukannya aku membencinya... Tapi aku benar-benar marah
karena dia meremehkan masakan Suzufumi.”
“Aku
sama sekali tidak keberatan, kok. Kupikir sudah
saatnya kamu
memaafkannya, bagaimana?”
“.....”
Ada keheningan sejenak. Tak terdengar suara
apapun, baik dari luar maupun dari kamar sebelah.
“...Aku masih
menyesalinya sekarang. Aku agak sombong saat pertama kali pindah ke Tokyo.”
“Hooo”
Ucapan
Yuzuki yang tak terduga itu membuatku terkejut.
“Saat
pertama kali datang ke Tokyo, aku terlalu larut dalam euforia dan harapan bisa
menjadi idol. Aku hanya memikirkan bagaimana tidak boleh kalah dengan anggota
lain.”
Saat grup idola 【Spotlight】
melakukan debutnya, Yuzuki
masih kelas satu SMP. Jadi saat dia pindah
ke Tokyo, dia masih sekolah SD.
Rasanya tidak terlalu mengherankan
jika dia terlalu mementingkan egonya sendiri.
“Sesama
anggota juga belum seakrab sekarang. Kami lebih merasa sebagai rival daripada teman. Kami lebih mementingkan
diri sendiri, dan tak banyak mengobrol santai. Aku ingin berlatih lebih keras,
menguasai vokal dan tari, lalu pasti menjadi center.”
Ingin
diakui, tidak mau kalah dengan orang lain, ingin menonjol, ingin berprestasi.
Menggunakan emosi-emosi itu sebagai sumber energi tidak ada salahnya.
“Jadi
saat aku diberitahu kalau aku mendapat posisi
bernyanyi di single debut hanya di pinggir, rasanya semua usahaku sia-sia. Aku
langsung menuntut ke produser, 'Kenapa bukan aku yang jadi center?'”
“Terdengar
agresif sekali, ya.”
Benar sekali, balas Yuzuki sambil tersenyum getir.
“Tapi
aku langsung ditolak begitu saja, dan menangis sendirian di studio. Tapi Ruru-san
yang seharusnya sudah pulang, dia malah datang menemuiku dan menyapaku.”
Jadi
sejak dulu Emoto-san
sudah perhatian begitu. Padahal saat itu dia sendiri masih SMP, tapi dia masih sempat-sempatnya membantu orang lain tanpa memedulikan situasinya sendiri.
“Aku
di posisi paling kanan, dan Ruru-san di paling kiri. Kupikir sesama 'pinggiran'
pasti bisa saling memahami.”
“Memangnya
tidak begitu?”
“Setelah
Ruru-san mendengar ceritaku, dia langsung bilang, 'Yuzuki, kamu itu terlalu menuntut, ya.'”
“Menuntut?”
“Iya,
menuntut. Di dunia ini ada banyak
orang yang punya kemampuan tapi kurang beruntung dengan nasib dan kesempatan.
Lagi pula idol biasanya debut di usia muda, sementara aku diberi kesempatan
debut di usia 12 tahun, itu saja sudah
sangat beruntung. Tapi aku malah hanya memikirkan ingin menjadi center, sampai merasa seperti didiskriminasi. Dia melihat kenaifanku dan
menunjukkannya.”
Yuzuki
tersenyum nostalgia. Meski
sedang menceritakan masa lalunya yang memalukan, suaranya terdengar hangat.
“Tapi
Ruru-san tidak berhenti di situ. Dia memutarkan video latihan dan rekaman suara
yang dia simpan, lalu memberi pendapat objektif tentang apa yang kurang dariku.
Padahal Ruru-san juga pasti sibuk dengan urusannya sendiri, tapi dia rela
meluangkan waktunya
berkali-kali untuk menyemangatiku.”
Bagi Emoto-san waktu itu, dia
seharusnya menganggap Yuzuki sebagai rival utama yang harus
dikalahkan. Walaupun tidak sampai memberi “garam
ke musuh”, tapi tetap saja tidak semua
orang bisa melakukan hal seperti itu.
“Setelah
kupikir-pikir kembali,
ternyata kemampuan vokal dan menari-ku juga masih sangat buruk. Stabilitas nada
belum bagus, gerakan jari-jari kurang rapi. Aku heran bagaimana aku bisa begitu percaya diri ingin menjadi center.”
Di
ruangan yang gelap, gigi putih Yuzuki bisa
terlihat.
“Sebelum
Ruru-san pergi, dia bilang 'Kalau ada sesuatu yang menyusahkanmu lagi,
jangan ragu untuk berkonsultasi
denganku.' Tapi aku memang kurang suka meminta bantuan orang
lain.”
“Memang
begitulah sifatmu.”
Aku sangat
memahami betul kebiasaannya yang
suka memendam
masalah sendirian.
“Apalagi
waktu itu kami semua masih saling bersaing, jadi aku merasa ragu kalau boleh seenaknya
bergantung pada senior. Tapi sepertinya Ruru-san sudah memahamiku sejak awal. Kemudian dia akhirnya bilang begini”
──Kalau
begitu, mulai hari ini, aku akan menjadi 'kakak' untuk Yuzuki. Dengan begitu,
kamu tak
perlu sungkan untuk
meminta bantuanku, ‘kan?
“Setelah mendengar
kata-kata itu, akhirnya aku merasa kalau beban
di bahuku jadi terangkat.
Ah, aku tak perlu lagi bersikap kuat di hadapan Ruru-san.”
Bukan
sebagai rekan grup, bukan juga sebagai senior-junior, melainkan hubungan
sebagai kakak-adik. Hubungan khusus yang
dimiliki mereka berdua itulah
yang mengubah Yuzuki.
“Mulai
keesokan harinya, saat Ruru-san masuk
studio, selain ucapan 'Selamat pagi', dia juga akan langsung memelukku.
Awalnya itu membuat orang-orang di sekitar kaget, dan aku juga terkejut. Tapi
pasti Ruru-san berusaha untuk lebih dekat denganku. Lama-kelamaan itu menjadi hal biasa, dan suatu hari
aku membalas pelukannya, Ruru-san hampir menangis.”
Saat aku pertama kali bertemu Emoto-san di apartemen, aku dibuat
heran dengan pelukan mereka yang penuh semangat. Ternyata itu bukan sekadar
sikap, tapi kepercayaan yang sudah mereka bangun selama
bertahun-tahun.
“Rasanya
sangat menenangkan memiliki seseorang yang mendukungmu.
Karena Ruru-san selalu mengawasiku, aku bisa terus mengejar apa yang
kuinginkan. Berkat 'kakak'-ku, aku bisa sampai sejauh ini.”
Sejuujurnya,
aku berpikir kalau hubungan
persaudarian antara Emoto-san dan Yuzuki itu tidak
seimbang. Tapi ternyata Yuzuki juga sangat menyayangi 'kakak'nya.
“Dulu
kami sering main bersama setiap minggu. Entah itu di
karaoke, kafe kucing, bowling, kami melakukan banyak hal
bersama, sampai memakai cat kuku yang sama. Dia juga sering mengajakku ke
restoran enak di Tokyo... Meski karena kami masih SMP, tempatnya pasti cuma
restoran waralaba. Tapi restoran Jepang yang kami kunjungi sebelum debut, rasanya enak sekali. Kalau tidak salah waktu itu
juga kami dilarang pakai bahasa hormat. Rapat rahasia hanya berdua, aku kangen
masa-masa itu.”
Ekspresi
Yuzuki saat mengingat tiga tahun terakhir itu tampak bahagia, tidak ada setitik pun keraguan.
“Kalau
Emoto-san begitu berharga bagimu,
mungkin sudah saatnya kau memaafkannya...”
“Ini dan itu adalah dua urusan
yang berbeda!”
Yuzuki
menutupi kepalanya dengan selimut, lalu dia mengintip
keluar seperti tupai yang keluar dari
sarangnya.
“...Aku
sendiri juga tidak mengerti. Kenapa aku masih terus memikirkannya. Tak peduli
waktu berlalu, aku tak bisa menyelaraskan perasaanku. Setiap kali aku
mengingatnya, aku malah jadi benci pada diriku sendiri yang begitu kecil hati.”
Yuzuki
pasti sudah menerima bahwa kelakuan Emoto-san
bukan sesuatu yang disengaja. Masalahnya hanya dia tidak tahu bagaimana caranya harus memaafkannya.
Kemudian aku
tersenyum tipis.
“Rupanya kamu menyayangi Emoto-san, ya.”
“...Kenapa
kamu malah mengatakan hal seperti itu?”
“Aku merasa
iri pada Emoto-san.
Kamu tidak pernah marah padaku
sampai seperti itu. Itu artinya kamu lebih terbuka
pada 'kakak'-mu
sampai-sampai lebih mengutamakan emosi dibandingkan akal sehat.”
“......”
Melihat
Yuzuki yang menatapku dengan tatapan heran,
aku dengan jujur menyampaikan pikiranku.
“Kalau
orang yang ceroboh di ruang klub itu bukanlah Emoto-san,
tapi guru atau teman sekelasmu, kamu pasti
akan menanganinya dengan mode idolmu yang biasa, benar ‘kan?”
“Mungkin
saja begitu...”
Aku merenung di hadapan
Yuzuki yang menatapku dengann tatapan
cemas. Apa yang harus kulakukan supaya Yuzuki
bisa jujur pada perasaannya sendiri?
Siapapun
pasti tak ingin melihat kelemahannya sendiri, apalagi mengakuinya.
Tapi jika
tak mengakuinya, kita tak bisa maju.
Karena
hanya diri sendiri yang bisa menghadapi dirinya.
Mengungkapkan
perasaan membutuhkan keberanian.
Karena
itu, aku memutuskan untuk sedikit mendorong punggung Yuzuki, meski itu berarti
melanggar sumpahku sendiri.
“...Eh,
Suzufumi?”
Aku
meletakkan tangan kananku di atas tangan kiri Yuzuki.
Bukan
berjabat tangan, bukan juga hanya jari kelingking, tapi benar-benar menggenggam
tangannya.
“....Kalau
kamu bisa langsung menyelesaikannya, kamu pasti tidak akan merasa kesulitan, ya. Meski kita sangat
menyayangi seseorang, bukan berarti kita menerima semua hal dari mereka. Itu
hal biasa. Justru karena kamu
mengerti itu, kamu jadi
sulit memaafkannya.”
Meskipun
aku bisa menemani Yuzuki menghadapi kekacauannya, aku tak mungkin benar-benar
memahaminya. Karena aku tidak punya “keseharian”-ku bersama Emoto-san.
“Tapi
kamu tak perlu repot-repot menutupi
perasaanmu sendiri. Meskipun kamu
bisa menutupinya dengan berbohong, tapi kebohongan itu tak akan pernah hilang.”
Jari-jemari Yuzuki sempat ingin terlepas,
tapi kemudian kembali menggenggam tanganku.
“Tenang saja.
Aku berada di sini dan akan mendengarkanmu.”
Aku terus
mengulang "Tak apa-apa, tenang saja”.
Akhirnya,
Yuzuki menarik napas pelan.
“...Aku
merasa kesal.”
Genggaman tangannya mulai menguat.
“Aku
tidak bisa memaafkannya karena memperlakukan makanan
yang dibuat Suzufumi
dengan sembarangan.”
“Begitu,
ya.”
“Aku
juga tak suka dia terlalu ikut
campur dengan kehidupan pribadiku. Aku
boleh melakukan apa saja dalam kehidupanku.”
“Mungkin
itu benar.”
“Selain itu,
dia memelukku semakin kuat setiap tahun, dan itu rasanya
sesak.”
“Bahasanya
memang sangat berapi-api.”
“...Tapi,
aku menyukainya.”
Satu per
satu, Yuzuki mengeluarkan perasaan gelapnya. Lalu, dari baliknya, tampak muncul cahaya yang redup.
“Aku
tidak ingin begini terus. Aku ingin
bisa tertawa bersama Ruru-san lagi...Aku ingin berdamai dengannya.”
Aku
menggenggam erat tangan Yuzuki yang gemetar.
“Kalau
begitu, kamu tinggal menyampaikannya langsung
pada orangnya, kan?"
“...Iya.”
Yuzuki
memejamkan matanya karena
lega.
Lalu, dia
mengetuk punggung tanganku dengan jari telunjuknya.
“Hei,
Suzufumi.”
“Apa?”
“...Boleh
aku tidur dalam posisi seperti ini?”
“Boleh,
kok. Kamu bebas memegangnya sepuasmu.”
“Kalau
begitu, aku tak sungkan-sungkan.”
Yuzuki
semakin mendekatkan dirinya. Lalu dia melepaskan tanganku, dan menyisipkan
jemarinya di antara jariku. Genggaman tangan yang
seperti ini biasa disebut pegangan tangan ala sepasang kekasih.
“Aku
lebih menyukai yang ini.”
Ujung
jari Yuzuki membelai punggung tanganku. Dia
melakukannya berulang kali seolah-olah
sedang memastikan sensasinya.
“...apa ini juga bagian dari upaya idolmu yang biasanya?”
“Aku cuma ingin melakukannya saja.”
Senyuman polos yang dia tunjukkan di
hadapanku pasti berbeda dengan senyumnya di atas panggung.
Di sini,
tidak ada sosok idola yang tak tersentuh.
“Suzufumi, apa kamu
merasa senang?”
“...Iya,
aku senang.”
“Aku
juga.”
Hanya
mengatakan itu, Yuzuki lalu tenggelam ke dalam selimut. Aku tidak bisa melihat ekspresinya
lagi.
Kalau
begitu, setidaknya aku berharap dia bisa mendengar detak jantungku yang
berdebar.
Akhirnya,
kami berdua pun tertidur lelap.
Hanya suara napas kami berdua saja yang terdengar di ruangan itu.