Bab 3 — Mempelajari Seni Cinta Bersama Orang Biasa
Bagian 3
Aku dan
Shizune-san yang selesai berbelanja di
supermarket, sedang memasukkan bahan makanan ke dalam kantong belanja.
“Terima
kasih atas bantuanmu, Itsuki-san.”
“Tidak
perlu berterima kasih segala, lagipula ini hanya tugas yang ringan.”
Kali ini
kami membeli makanan untuk beberapa hari ke depan. Minuman dan bumbu sudah ada
di rumah, jadi kami tidak membeli barang berat, tapi tetap saja itu cukup berat untuk dibawa
sendirian.
“Tapi
aku tidak pernah menyangkanya. Rupanya Shizune-san juga bisa bingung saat berbelanja ya?”
“Kamu
pikir aku ini siapa, sih? Aku sudah lama tidak pergi ke supermarket, jadi aku
tidak tahu bahan makanan apa yang cocok dengan selera Ojou-sama.”
Memang,
Shizune-san menghabiskan banyak waktu untuk
memilih bahan makanan. Bahkan hanya demi memilih
sebatang wortel saja,
dia mempertimbangkan mana yang paling cocok untuk lidah Hinako.
“Apa yang
biasanya kamu lakukan dengan bahan-bahan masakannya?”
“Semuanya
sudah dipesan. Saat tinggal di rumah Itsuki-san,
aku mempertimbangkan untuk
mengirimkan bahan-bahan ke rumah, tetapi aku
memutuskan untuk tidak melakukannya karena sepertinya biayanya lebih mahal dari
yang kuperkirakan.”
“Jika kamu berhemat di mana kamu bsia berhemat, ya.”
“Tugas
pembantu juga harus
memikirkan bagaimana bisa
mengurangi biaya hingga mencapai kisaran yang memungkinkan Ojou-sama mempertahankan kondisi
sosialnya. Itulah salah satu alasan mengapa kita
berjalan pulang sekarang.”
Jika
Hinako ikut bersama kami, aku yakin dia akan menaiki
mobilnya.
Aku yakin
Shizune-san seharusnya memiliki kewenangan
untuk menggunakan fasilitas mobil
jika dia mau, tapi Shizune-san
tidak melakukannya.
“Permisi.
Aku mau ke kamar kecil dulu
sebentar.”
“Baiklah.
Aku akan menunggu di luar.”
Aku
menitipkan tas pada Shizune-san dan pergi ke toilet di pintu masuk supermarket.
Aku
merasa sedikit bersalah karena harus menyerahkan
barang bawaanku di tangan seorang wanita,
jadi aku bergegas secepat mungkin.
Shizune-san sepertinya tidak keberatan, tapi akulah
yang keberatan.
(Hah? Di mana Shizune-san...)
Saat aku
keluar dari supermarket, aku tidak bisa
menemukan keberadaan Shizune-san.
Aku mencoba
berjalan ke arah jalan rumahku.
Lalu, aku melihat Shizune-san di pintu masuk kawasan perbelanjaan.
Shizune-san diam-diam menatap etalase toko
pakaian. Manekin-manekin yang dipajang
mengenakan pakaian lucu dan berkibar yang mungkin disukai
-gadis-gadis remaja... Gaya bajunya terlihat muda dan
kekanak-kanakan, yang merupakan ciri khas
nuansa toko di kawasan perbelanjaan. Tampaknya jalan yang harus ditempuh
sebagai toko yang digandrungi
anak muda masih panjang.
Entah
kenapa, Shizune-san melihat pakaian itu dengan tatapan serius. Pakaian itu mungkin akan kelihatan
bagus untuk Hinako, tapi sejujurnya aku tidak bisa membayangkan Shizune-san memakainya.
Namun,
karena dia terlihat sangat tertarik dengan itu...
“....Umm, apa kamu ingin mencobanya?”
“Hah!?”
Saat aku
memanggilnya, Shizune-san berbalik
dengan ekspresi panik yang tidak biasa.
“Ti-Tidak,
kamu salah. Bukannya aku ingin memakainya atau semacamnya.”
“Tidak
apa-apa, kok. Aku akan merahasiakannya jika diperlukan...”
“Sudah
kubilang kamu itu salah paham.”
“Ah,
iya. Maaf.”
Aku dipelototi
dengan tatapan yang penuh dengan
intimidasi.
Kupikir
dia berusaha mati-matian untuk menyamarkannya,
tetapi ternyata bukan itu masalahnya.
“Yah...aku
hanya tertarik karena keluargaku pernah
mempunyai bisnis pakaian.”
Shizune-san berkata sambil berjalan menuju
rumah.
Dari cara
dia mengatakannya, kemungkinan besar keluarganya sendiri yang menjalankan
perusahaan pakaian, dan bukannya keluarga yang bekerja di industri pakaian.
Setiap gerak-gerik Shizune-san
selalu menunjukkan gambaran sekilas tentang pola asuhnya yang baik, dan itu
masuk akal.
...Lantas, mengapa Shizune-san bisa menjadi pelayan keluarga
Konohana?
Mungkin
karen akhir-akhir ini aku menghabiskan waktu bersama
Shizune-san di lingkungan yang berbeda dari
biasanya, jadi aku sering bertanya-tanya tentang masa lalu dan nilai-nilainya.
“Mumpung saat ini meruapakan kesempatan yang
bagus, jadi
mari kita bicarakan secara singkat tentang
latar belakangku.”
Mungkin
karena bisa menebak perasaanku, Shizune-san pun mulai berbicara.
“Kamu tahu kalau Akademi Kekaisaran adalah
salah satu dari tiga sekolah paling bergengsi
di seluruh Jepang, ‘kan?”
“Um,
ya.”
“Dengan
kata lain, ada dua sekolah lain yang
setingkat dengan Akademi Kekaisaran.”
Shizune-san berkata sambil mengangkat jari
tengah dan telunjuknya.
“Aku bersekolah
di salah satu akademi
itu.”
“Eh?”
Aku
tidak pernah mengetahuinya. Sepertinya Shizune-san memiliki latar
belakang akademis yang cukup bagus.
“...Kurasa
Shizune-san juga seorang
Ojou-sama dari keluarga baik.”
“Secara
lahiriah, sih.”
Shizune-san
berkata dengan nada yang tenang.
“Keluargaku adalah sebuah perusahaan pakaian
yang telah berbisnis sejak era Meiji. Perusahaan ini terdaftar di Bagian
Pertama Bursa Efek Tokyo dan untuk sementara waktu berkembang pesat dan makmur,
tetapi karena peristiwa bubble burst
...... dan kegagalan untuk mengikuti tren masa kini
menyebabkan bisnis ini menderita, dan akhirnya bangkrut.”
Jadi artinya
perusahaannya gulung tikar, ya.
Di
Akademi Kekaisaran, kami
juga mempelajari sejarah dan manajemen, jadi aku
bisa membayangkan situasi saat itu secara samar-samar. Salah satu tren terkini dalam industri pakaian jadi setelah peristiwa bubble burst
adalah kebangkitan fast fashion. Pada saat dompet masyarakat terbebani oleh
ekonomi bubble burst dan jumlah department store yang menjual
barang-barang bermerek mengalami penurunan,
fast fashion tampaknya menjadi angin segar dan
membentuk kembali cara industri
ini dijalankan.
Tampaknya
bisnis keluarga Shizune-san tidak bisa mengikuti arus tersebut.
“Ada
dua alasan mengapa aku bisa bersekolah di akademi
itu. Yang pertama adalah karena aku dipaksa untuk mengingat kembali kejayaan keluarga di masa lalu. Yang kedua adalah karena orang tuaku
mencoba memanfaatkanku untuk membuat diri mereka terlihat baik. ...Namun, kenyataannya
keluargaku sudah jatuh. Seperti yang pernah aku bilang
sebelumnya, standar hidup
keluargaku tidak jauh berbeda dengan
keluarga biasa.”
Setelah
mengatakan itu, Shizune-san menatap wajahku
seolah-olah dia baru menyadari sesuatu.
“Dalam
artian tertentu, Itsuki-san dan aku mungkin berada
dalam posisi yang sama. Aku juga sebisa mungkin merahasiakan urusan rumahku dan
menghabiskan waktu bersama teman-teman sekelasku.”
“...Setelah dibilang begitu, kurasa itu ada benarnya.”
Kalau
diingat-ingat lagi, Shizune-san juga bersimpati
dengan situasiku dan banyak
memberiku berbagai pertimbangan sampai sekarang.
Mungkin
karena pengalamannya ketika dia terlibat dalam situasi tersebut yang membuatnya
melakukan hal itu.
“Meskipun
aku merasa tercekik oleh perbedaan antara
apa yang didengar dan kenyataan,
aku mengikuti jam pelajaran dengan serius.
Hasilnya, aku mendapati diriku menduduki peringkat
satu atau dua tertinggi di sekolah.”
Ternyata
kamu sama sekali tidak berada dalam posisi yang sama. Shizune-san dan aku berbeda.
Terutama di bagian kepala.
“Pada saat
itulah aku bertemu dengan putra tertua
keluarga Konohana... Takuma-sama.”
Hubungannya
dengan keluarga Konohana akhirnya terkuak,
tapi hal pertama yang disebutkan Shizune-san bukanlah nama Hinako, melainkan
nama Takuma-san.
“Takuma-sama
bersekolah di akademi yang sama denganku, tapi ia sangat sibuk pada saat itu sehingga ia jarang muncul
di akademi. Namun suatu hari, aku
tidak tahu dari mana ia mendengar tentang nilai dan keadaanku, tapi
Takuma-sama datang jauh-jauh ke rumahku dan menyarankan, ‘Jika kamu belum memutuskan apa yang ingin kamu lakukan setelah
lulus, kenapa kamu tidak ikut
denganku?' Aku
sedang mempertimbangkan melanjutkan ke pendidikan lebih tinggi, jadi saat itu aku menolak tawaran tersebut, tapi.... setelah melalui banyak kesulitan dan lika-liku, aku menerima
usulan tersebut setahun kemudian.”
“Banyak kesulitan dan lika-liku, ya?”
“Sederhananya,
kuliah di universitas itu sangat membosankan.”
Itu sih terlalu sederhana banget.
“Itsuki-san, jika kamu juga
mempertimbangkan untuk masuk universitas, kamu harus memilih universitas dengan serius. Jika kamu masuk ke
universitas biasa-biasa saja ketika kamu sudah terbiasa dengan Akademi Kekaisaran, kamu akan kebingungan dalam banyak hal.”
Aku akan
berhati-hati, balasku
sambil mengangguk.
“Dan
sebenarnya, karena pada saat itu aku memiliki rasa hormat pada Takuma-sama....mungkin karena aku masih
muda dan belum berpengalaman, tapi
saat aku bersekolah di akademi, aku meremehkan
orang-orang di sekitarku. Meski keadaan
keluargaku sempat terpuruk, tapi aku
merasa kalau kemampuanku takkan kalah dengan orang lain. Aku merasa
bangga dengan kemampuanku. Oleh karena itu, aku melihat anak-anak orang kaya dan
berkuasa di sekitarku sebagai
orang periang yang dibesarkan di dalam rumah kaca.”
Shizune-san berbicara dengan wajah
menunduk, seolah-olah merasa
malu atas kesalahannya di masa lalu.
“Orang
yang mematahkan kesombonganku
adalah Takuma-sama. Bahkan dengan kemampuan akademis dan pengalamanku, aku
tidak bisa mengalahkannya... Aku
bergidik ngeri pada saat itu karena berjumpa
dengan yang namanya bakat asli.”
Shizune-san pernah mengatakannya
sebelumnya.
Takuma-san
memiliki kemampuan yang sesuai dengan garis keturunan keluarga Konohana.
Apa
Takuma-san sedang mencari bakat yang menjanjikan saat itu? Jika iya, Shizune-san adalah tawaran yang bagus. Nilai-bilainya di sekolah sangat bagus. Namun, dia tidak akan mengambil alih bisnis keluarga setelah
lulus.Kupikir itu adalah keputusan yang
tepat untuk merekrut Shizune-san.
“Jadi
Shizune-san berterima kasih pada Takuma-san, ya.”
“Tidak,
sama sekali tidak.”
Hah?
Bukannya memang begitu alur percakapannya?
“Saat
aku mulai bekerja untuk Takuma-sama, semua rasa hormat
yang kumiliki pada saat itu langsung
menghilang.... Orang
itu benar-benar egois, dan aku merasakan perutku terasa
mual setiap hari.”
“Jika
kamu berbicara tentang menjadi egois, kupikir
Hinako juga sama dalam aspek itu...”
“Heh.”
Shizune-san membalas
dengan tersenyum kering.
“Dibandingkan
dengan Takuma-sama, keegoisan Ojou-sama masih
terlihat lucu. Jika kamu mengalihkan pandanganmu darinya,
ia akan berada di Antartika.”
Shizune-san
berkata dengan tatapan jauh di matanya.
Tingkat
keegoisan orang
berbeda-beda. Hinako adalah tipe orang yang tidak ingin menggunakan kekuatan
fisiknya, jadi dia agak pendiam, tapi Takuma-san sepertinya adalah tipe orang
yang dipenuhi dengan tenaga dan suka keluyuran kemana-mana.
“Ketika aku
merasa muak dengan perilaku sembrono Takuma-sama dan
mempertimbangkan untuk kembali ke universitas, namun karena pengaturan Kagen-sama, aku mulai melayani Ojou-sama...Dan di situlah aku sampai sekarang.”
Dengan kalimat tersebut, Shizune-san mengakhiri pembicaraannya.
Sepertinya
Shizune-san juga mengalami banyak kesulitan hingga bisa mencapai posisinya saat
ini.
Mengapa
Shizune-san menjadi seorang pelayan? Setiap pertanyaanku tentang mengapa Shizune-san
datang untuk melayani Hinako mulai
terjawab semua.
Namun di
saat yang sama, aku mulai sedikit penasaran tentang
Takuma-san.
“Umm, Shizune-san.”
“Iya, ada apa?”
“Sebenarnya,
ketika aku bertemu Takuma-san beberapa hari yang lalu, ia diam-diam
memberitahuku di akhir, ‘Dengan
keadaanmu yang sekarang, kamu takkan
bisa menjadi tempat berlabuh Hinako’...Menurutmu, apa itu maksudnya?”
“...Hmm benar juga. Menurut
Itsuki-san sendiri bagaimana?”
Alasan
mengapa pertanyaan tersebut dijawab sebagai pertanyaan mungkin karena memang penting untuk memikirkan masalah
ini untuk diriku sendiri.
Namun, aku juga ingin berkonsultasi dengannya
setelah memikirkan berbagai hal sejak saat itu.
“Aku merasa kalau aku perlu lebih meningkatkan kemampuan akademis dan tata kramaku.”
“Begitu ya. Jika kamu memikirkannya secara rasional, itu mungkin benar...tapi kupikir maksudnya itu berbeda.”
Sepertinya
tebakanku meleset.
“Mungkin
Takuma-sama menunjuk
pada sesuatu yang lebih mendasar. Ini bukan tentang nilai atau perilakumu...”
“...Shizune-san,
apa kamu memahami apa yang
dimaksud Takuma-san?”
“Hanya
prediksi saja, sih...Tapi sejujurnya aku merasa itu
adalah hal yang kejam untuk ditanyakan kepada
Itsuki-sama sekarang.”
Shizune-san
mengerucutkan bibirnya dengan ekspresi sulit. Dia
mungkin merasa bimbang apakah dia harus memberikan nasihat yang
jelas atau tetap diam. Niat Takuma-san yang
sebenarnya mungkin lebih sensitif daripada yang kukira.
Kami berdua
akhirnya tiba di rumah.
Saat aku
membuka pintu depan, Hinako terlihat kaget dan menyentakkan bahunya.
Hinako buru-buru memasukkan sesuatu yang ada di
tangannya ke dalam kantong kertas.
“Kamu
kenapa, Hinako?”
“Byu-Byukan
apha-apa...!”
Apa dia habis melakukan sesuatu?
Wajahnya terlihat merah padam.
“Ah iya, benar juga.”
Sebelum
aku melupakannya, aku mengeluarkan sesuatu
dari tas belanjaanku yang ingin kutunjukkan pada Hinako.
“Shizune-san
mencarikannya untukku, dan aku membeli sikat untuk digunakan saat mandi.
Sepertinya lebih mudah menghilangkan kotoran dan
debu jika kamu menyikatnya sebelum keramas, jadi aku
akan mencobanya mulai hari ini.”
Aku diberitahu bahwa sebenarnya tidak masalah
untuk meluangkan waktu untuk mencucinya dengan hati-hati, tetapi kamar mandi
yang kami gunakan saat ini berukuran kecil dan tidak berventilasi baik,
meskipun itu adalah kamar mandi yang luas, tapi
Hinako selalu ingin pergi mandi
lebih awal. Aku membeli
sikat untuk mempersingkat waktu mandi.
Kupikir
dia mungkin akan sedikit tertarik, tapi...
“Ha...”
“Ha?”
“Ha-Hari
ini...aku mau.... mandi.....aku
mau mandi sendiri...!”
Hinako
berkata sambil terbata-bata.
Aku tertegun
sejenak karena reaksinya yang tidak terduga.
“...Apa aku sudah melakukan sesuatu yang salah?”
“Kurasa kamu
tidak salah apa-apa.”
Selagi
aku merasa cemas, Shizune-san melihat
ke arah kantong kertas yang tergeletak di atas
lantai.
Shizune-san
mengangguk seolah-olah dia bisa
memahami apa yang sedang terjadi.
“Kurasa Ojou-sama juga sudah tumbuh
dewasa.”
“...?”
Aku tidak
tahu apa yang dia maksud.
Aku ingin
tahu apakah semuanya akan kembali normal setelah beberapa saat...Karena aku berpikir demikian, jadi aku
memutuskan untuk tidak mengkhawatirkannya untuk saat ini.
Namun, ternyata dugaanku salah.
Setelah hari itu, tingkah Hinako menjadi semakin aneh.