Gimai Seikatsu Volume 11 Chapter 4 Bahasa Indonesia

Chapter 4 — 20 September (Senin/Hari Libur) Ayase Saki

 

Sekarang masih bulan September, ini sudah bulan September.

Keduanya bisa dikatakan benar, tapi aku lebih cenderung berpikir “masih bulan September”. Tidak ada gunanya terburu-buru.

Hari ini adalah hari ketiga dari libur panjang musim gugur. Setelah menghabiskan dua hari untuk belajar ujian masuk, aku memutuskan untuk bekerja paruh waktu di toko buku hanya pada hari ketiga.

Karena aku akan menghadapi ujian, jadi kehidupanku saat ini sepertinya tidak terlalu sulit. Jika ada yang mengatakan aku bisa berhenti, itu memang benar. Namun, ini semacam caraku untuk menetapkan batasan. Setelah masuk universitas, aku yakin ibu dan yang lainnya akan senang membantu membayar biaya kuliahku dan Asamura-kun. Mereka pasti akan memberi dukungan kepadaku untuk fokus belajar dan melakukan hal-hal yang ingin kulakukan. Aku berencana untuk meminta bantuan dengan cara yang tepat. Namun, aku tidak ingin hanya bergantung pada mereka. Meskipun gaji kerja paruh waktuku sebagai pelajar tidak cukup untuk biaya kuliah, aku ingin menunjukkan bahwa aku tidak ingin terlalu bersandar pada mereka.

Dengan demikian, aku masuk kerja paruh waktu pada shift siang.

Mungkin karena ini adalah musim liburan, banyak karyawan paruh waktu yang mengambil cuti, dan hari ini Asamura-kun dan Yomiuri-senpai juga tidak ada, jadi Pak manajer tampak cemas. Itu juga salah satu alasan mengapa aku tidak bisa mengambil cuti.

Dan biasanya, saat-saat sibuk seperti ini, buku baru yang pasti menjadi bestseller dirilis tepat pada waktunya.

Pelanggan yang membeli buku hardcover baru biasanya meminta agar buku tersebut dibungkus dengan penutup buku. Aku sendiri sudah terbiasa, tetapi Kozono-san masih sedikit kesulitan, jadi aku harus membantunya sesuai kebutuhan.

Ketika aku melihat seorang pelanggan yang membawa sekitar lima atau enam buku di antrean kasir Kozono-san, aku sempat bertukar tatapan dengannya.

(Mau tukeran?)

(Tolong.)

Setelah saling bertukar pandangan, aku dengan santai menggantikan kasir tepat sebelum pelanggan itu tiba di depan kasir.

Kami berdua berusaha sebaik mungkin, tapi terkadang antrean menjadi panjang sehingga kami tidak bisa mengikutinya, dan beberapa kali Pak manajer harus turun tangan untuk membantu di bagian kasir.

“Jam 3 nanti akan ada dua orang masuk shift. Jadi setelah itu, kalian bisa istirahat sebentar.”

Setelah Pak manajer memberi tahu kami, aku dan Kozono-san berusaha bertahan hingga jam tiga.

Ketika kami berhasil menyelesaikan pekerjaan, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengepalkan tangan di depan perut dan melakukan gerakan kecil kemenangan.

“Kami akan beristirahat, ya!”

Setelah Kozono-san memberi tahu pak manajer, dia segera keluar dari bagian kasir dan berjalan menuju kantor. Dia tidak melirik ke arahku sama sekali. Dia juga tidak mengatakan apa-apa.

Aku mengikuti Kozono-san ke kantor sedikit terlambat. Meskipun kami tidak bisa istirahat terlalu lama, tapi ada baiknya untuk minum teh dengan santai. Atau mungkin aku bisa membeli sesuatu dari mesin penjual otomatis atau minimarket di luar.

Sambil memikirkan hal itu, aku mengetuk pintu kantor dan memberi suara sebelum masuk.

Di dalam ruangan kantor, hanya ada Kozono-san saja. Dia sedang menyeduh teh dengan mesin penyeduh teh.

Aku menarik kursi terdekat dan duduk. Sembari menghela napas panjang, aku memejamkan mata dan memijat area antara alisku. Aku tidak punya waktu untuk mengatur napas. Aku benar-benar lelah.

Aku lalu membuka mataku ketika mendengar suara kecil di atas meja.

“Silakan.”

Kozono-san berkata dengan nada yang terkesan kaku dan kemudian dia duduk di sisi lain meja. Di hadapanku ada cangkir kertas yang baru saja diisi teh.

“Untukku?”

“Memangnya siapa lagi yang ada di sini?”

“Eh, ya. Terima kasih.”

“Karena terasa aneh, jadi tidak perlu berterima kasih segala.”

“Tapi ini adalah sopan santun yang umum.”

“...Kalau begitu, baiklah. Bahkan, kamu bisa lebih berterima kasih.”

Lebih banyak berterima kasih, ya.

“Ah iya, benar juga.”

Aku berdiri dari kursiku dan langsung menuju ruang ganti. Ketika aku kembali, aku membawa kantong plastik kecil di tanganku. Aku membuka dan menyerahkan isinya kepada Kozono-san.

“Ayo kita makan bersama. Aku memang memanggang ini untuk mengganjal perut.”

“Apa itu?”

“Kue kering.”

“Seorang pelajar yang sibuk belajar ujian sampai saat ini dan bekerja paruh waktu, ternyata mempunyai waktu untuk membuatnya sendiri?”

“Aku tidak keluar rumah seharian saat dua hari yang lalu dan kemarin karena harus belajar ujian di rumah. Aku memanggangnya sebagai penyegaran selama waktu istirahat.”

“Apa karena kamu punya waktu? Atau bodoh?”

Memangnya hal itu pantas diucapkan kepada seniormu?

“Entahlah. Lagipula, membuat kue kering tidak terlalu merepotkan.”

“Jadi, ini adalah cara untuk menunjukkan bahwa kamu pandai memasak. Tapi, kenapa kamu membuatnya berbentuk kelopak bunga sakura di musim gugur?”

“Ehmm, sebenarnya aku berniat membuatnya berbentuk hati.”

“Bentuk hati itu seharusnya lebih bulat. Ini terlalu panjang. Hati itu begini, begini.”

Sembari menghadap telapak tangannya satu sama lain, dia menyatukan jari-jari dan ibu jari untuk membentuk hati. Pose yang sering dilakukan oleh idola. Atau mungkin sekarang lebih populer dengan bentuk jari hati? Memangnya dia perlu menambahkan senyuman juga? Yah, dia memang terlihat imut, sih.

“Sebaliknya, kue kering Senpai malah berbentuk begini!”

Dia mengubah bentuk hati yang melebar menjadi sangat panjang dan ramping.

“Tidak, tidak, tidak sampai segitu. Itu terlihat seperti tanda pemula mobil.”

“Memang kelihatannya seperti itu. Ini adalah kelopak bunga sakura. Atau bisa juga tanda daun muda. Lagipula, aku takkan senang jika menerima tanda hati dari seorang wanita.”

Padahal aku tidak membuatnya dengan niat untuk diberikan kepada Kozono-san...

“Hmm, ini rasanya seperti teh hitam... rasanya seimbang, tidak terlalu manis dan tidak terlalu keras...”

Oh, dia memakannya.

“Ugh... enak sekali... menyebalkan.”

Kozono-san memegang satu kue di masing-masing tangannya dan menatapnya dengan serius. Diperhatikan seperti itu membuatku merasa sedikit tidak nyaman dan cemas.

“Apa ada yang aneh?"

“Tidak... ketika aku berpikir bahwa jika aku menikahi Ayase-senpai, aku mungkin bisa memakan ini setiap hari. Aku mulai jadi bingung sendiri, sebenarnya aku harus cemburu kepada siapa....”

Apa-apaan itu?

Sambil membiarkan Kozono-san yang menggerutu sambil menatap kue dan terus memakannya, aku mengeluarkan smartphone dan memeriksa.

Ada satu notifikasi. Aku menyadari bahwa akun SNS yang aku ikuti telah diperbarui. Di ikon juga ada angka “1” yang dilingkari.

Aku bukanlah pengguna SNS yang sangat aktif. Namun, aku memiliki beberapa akun favorit.

Aku membuka aplikasi dan melihat nama akun yang diberitahukan.

Aku membaca nama akunnya, “Melissa Wu.”

 

Melissa adalah seseorang yang aku temui saat melakukan perjalanan sekolah ke Singapura.

Dia adalah seorang penyanyi yang tinggal di sana. Dia memiliki pandangan cinta yang unik dan memiliki etika yang sangat berbeda dariku, tetapi justru karena itulah dia berhasil melonggarkan pemikiranku yang kaku.

Meskipun waktu pembicaraan kami lumayan singkat, aku bisa secara berbeda berpikir tentang masa depanku dan bagaimana cara berpacaranku dengan Asamura-kun. Yah, aku merasa dia mirip seperti seorang penyelamat bagiku.

Melissa adalah tipe penyanyi yang membuat lagu-lagunya sendiri. Dia menciptakan dan menyanyikan musiknya, lalu mengunggahnya ke kanal YouTube. Karena itu, aku mulai mencari tahu tentang kegiatan penyiaran YouTuber, meskipun aku tidak begitu mengetahuinya. Ternyata, menekan tombol suka dan berlangganan saluran itu sangat berarti.

Meskipun aku hanya sempat berbicara sebentar dengan Melissa, tidak diragukan lagi bahwa dia memberikan pengaruh yang besar padaku, dan aku ingin mengucapkan terima kasih. Selain itu, aku juga sangat terpesona oleh suara nyanyiannya. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk mengikuti akunnya. Aku mendengarkan lagu-lagu barunya yang diunggah sesekali dan merasa mendapatkan semangat.

Perjalanan sekolah yang mempertemukanku dengan Melissa berlangsung pada bulan Februari tahun ini, jadi sudah lebih dari enam bulan berlalu. Saat itu, jumlah pengikut akunnya masih 838, tetapi sekarang sudah meningkat menjadi 3200. Hampir empat kali lipat. Luar biasa. Meskipun ini bukan tentang diriku, entah kenapa aku ikut merasa bangga.

“Oh, ternyata ini bukan lagu baru ya…”

Aku mengikuti notifikasi tersebut dan mendapati bahwa bagian postingan komunitaslah yang sudah diperbarui. Waktunya hanya berselang lima detik sebelum aku melihat notifikasi tersebut. Pemberitahuan itu disertai sebuah foto. Begitu aku melihatnya, aku dibuat terkejut. Foto itu menunjukkan Melissa sedang mengambil foto selfie di tempat yang terlihat seperti tempat penyeberangan di Shibuya, dekat dengan tempat kerja paruh waktuku sekarang.

Eh? Bukannya ini…?

Aku buru-buru membaca komentar. Dengan bahasa Inggris yang singkat dan jelas, ada kalimat yang kira-kira berbunyi “Aku datang ke Jepang~!” Hei, aku tidak pernah mendengar hal ini! Apa dia pernah mengatakan hal itu? Tidak, sebenarnya dia tidak perlu memberitahuku atau menghubungiku segala.

Tapi, kenapa dia datang ke Jepang?

Ketika aku melihat kembali postingan komunitas, ada pengumuman bahwa dia akan mengadakan konser di sebuah live house di Shibuya.

Oh, dia sudah mengumumkan ini.

Aku ternyata melewatkannya. Mungkin saat membaca kata “pengumuman konser,” aku secara otomatis mengira itu akan terjadi di Singapura dan otakku mengabaikannya. Jika pengumumannya ditulis dalam kanji “Shibuya,” mungkin aku akan lebih memperhatikannya, tetapi semua komentarnya ditulis dalam bahasa Inggris.

Aku tiba-tiba berpikir, “Aku ingin bertemu dengannya.”

Aku merasa kalau aku sudah tidak mengenali diriku lagi. Aku baru saja menyadari hal ini melalui percakapanku dengan Maaya beberapa waktu lalu. Ketika Maaya mengatakan, “Kamu sudah berubah. Dalam artian yang baik, kamu jadi lebih bodoh!” aku merasa terkejut. Aku merasa bahwa tidak ada perubahan sebesar itu di dalam diriku. Aku juga menyadari bahwa aku tidak tahu bagaimana penampilanku sekarang dari luar.

 

Dibandingkan denganku yang kebingungan mengenai jati diriku, Melissa tampaknya memiliki pemahaman yang jelas tentang dirinya sendiri. Lagipula, dia sudah hidup dengan mengandalkan dirinya sendiri. Jalan kehidupannya pasti sangat berbeda dariku, tetapi justru karena itu, aku merasakan bahwa percakapan dengannya akan menjadi sesuatu yang menyenangkan dan penuh inspirasi.

Saat memikirkan hal ini, aku tiba-tiba menyadari bahwa meskipun buku harian dapat mencerminkan “bentuk diri” dan menjadi cermin untuk mengenal diri sendiri, ada hal-hal yang tidak bisa diketahui hanya dengan melihat cermin. Itu adalah mengetahui “perbedaan” antara bentuk diri dan pandangan masyarakat.

Dengan menuangkannya ke dalam kata-kata melalui buku harian, aku bisa mengungkapkan apa yang ada di dalam hatiku. Namun, karena bentuk itu mungkin “normal” bagiku, sehingga aku mungkin tidak menyadari jika bentuk tersebut berbeda dari orang lain.

Baru saja terjadi sebuah peristiwa yang mengingatkanku akan hal itu. Gambaran bentuk hati di mataku dan bagi Kozono-san ternyata berbeda.

Dua-duanya memiliki ciri yang mirip. Bentuknya bulat, dengan sedikit cekungan di bagian atas. Jika hanya membicarakan ciri-ciri tersebut, mungkin percakapan bisa berjalan. Namun, aku tidak akan tahu sampai kami saling menunjukkan dan membandingkan bentuk hati yang kami pikirkan.

Berdialog dengan orang lain — percakapan dengan individu yang memiliki pemikiran berbeda — memungkinkanku untuk mengetahui “perbedaan” yang ada di dalam diriku. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa dilakukan hanya dengan buku harian saja.

Begitu rupanya. Demi bisa mengenal diriku sendiri lebih baik, tidak cukup hanya dengan membuka diri kepada orang lain.

Aku ingin berbicara dengan Melissa.

Aku menggenggam ponselku kembali dan mulai mengetik di kolom komentar postingan komunitas Melissa. Aku tidak tahu apakah Melissa akan membaca kolom komentarnya atau tidak. Namun, aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini, terutama karena dia sedang ada di Jepang (dan sangat dekat pula).

Karena aku dan Melissa sudah saling mengenalkan nama, kupikir jika aku menulis, “Ini aku, Ayase Saki,” dia pasti akan mengingatnya. Namun, aku masih merasa enggan untuk menuliskan nama asliku di SNS.

“Sudah lama tidak berjumpa. Mungkin kamu tidak mengingatnya, tetapi ini aku, Saki*.” (TN: Dia tulis namanya pakai huruf alfabet, bukan dalam kanji jepang)

Karena hampir tidak ada nama yang terdengar seperti orang Jepang di kolom komentar lainnya, jadi aku berpikir kemungkinan cara penulisan Saki ini akan dimengerti.

“Sebenarnya, aku sedang bekerja paruh waktu di dekat tempatmu berada. Jika kamu ada waktu, apa kamu bisa bertemu denganku?”

…Begitulah kira-kira.

Aku tidak tahu apakah dia akan menyadarinya atau tidak, dan bahkan jika dia menyadarinya, aku juga berpikir kalau mungkin dia akan marah padaku karena sudah bersikap tidak sopan.

Meskipun begitu, aku merasa bahwa kesempatan seperti ini mungkin tidak akan datang lagi.

Lebih baik menyesal karena sudah melakukannya daripada menyesal karena tidak melakukannya.

“Wah, itu helaan napas yang dalam ya”

Aku mengangkat wajahku ketika mendengar suara Kozono-san.

“Eh, ah. Apa aku tadi, mengeluarkan napas yang dalam?”

“Malahan itu benar-benar yang besar.”

Tidak, mungkin itu bukan helaan napas biasa. Kurasa itu adalah helaaan napas yang keluar ketika aku berhasil mencapai tujuan, merasa seperti telah menyelesaikan suatu pekerjaan.

Aku merasa bukan seperti, “Aku sudah melakukannya,” tapi lebih tepatnya seperti, “Aku sudah terjebak dalam hal ini.”

Aku penasaran, apa Melissa akan menyadari komentarku?

“Kamu baik-baik saja? Mau makan kue?”

“Ah, ya. Tunggu, ini sebenarnya kue yang aku buat… ah.”

Ketika aku melihat ke arah Kozono-san dan kemudian kembali menatap ke tanganku, dalam sekejap sudah ada balasan untuk komentarku. Cepat sekali! Dan ternyata itu dari Melissa.

“Kamu tidak mau makan? Kalau begitu, aku yang akan memakannya.”

“Ya.”

“Eh? Kamu yakin? Aku benar-benar akan memakannya, loh."

“Ya.”

Aku tidak terlalu memperhatikan apa yang dikatakan Kozono-san, karena perhatianku sudah tertuju pada balasan Melissa. Ternyata, dia menyadari kalau nama Saki adalah aku. Wow, sudah lama tidak bertemu. Apa kabar? — seperti itulah isi pesannya. Tentu saja, berbicara tentang hal-hal detail di kolom komentar yang terbuka terasa tidak pantas, jadi dia ingin berbicara lewat email.

Aku juga tidak keberatan. Setelah dia bilang begitu, aku memeriksa deskripsi kanal salurannya dan menemukan kontaknya. Aku mengirimkan email, dan dari situ kami bertukar ID di aplikasi pesan yang kami berdua gunakan. Dalam percakapan pesan, kami membuat janji untuk bertemu, dan ketika aku kembali mengangkat wajah, aku menemukan bahwa hanya ada satu kue terakhir yang tersisa.

Kozono-san bilang dia sudah menyisakan satu kue itu untukku, tetapi wajahnya menunjukkan seolah-olah dua ingin memakan kue itu.

“Mau memakannya?” ketika aku hendak menawarkan kue itu, kami mendengar ada ketukan di pintu kantor.

Pak manajer memberi tahu bahwa tempatnya akan segera ramai lagi.

“Kami akan keluar sekarang.”

Bersamaan dengan jawabanku, Kozono-san juga menjawab, “Kami mengerti.”

“Lalu, mau kamu apakan dengan kue itu?”

Kozono-san menunjuk ke arah kue terakhir yang tersisa.

“Aku akan memakannya.”

Aku mengambil kue terakhir dari kantong plastik, cepat-cepat memasukkannya ke dalam mulutku dan mengunyahnya. Setelah membilas mulutku dengan teh yang tersisa, aku mengunyah tablet mint yang kusimpan di saku untuk menghilangkan aroma manis kue untuk berjaga-jaga.

Kozono-san menyambar gelas kertas yang sudah selesai kuminum dan membuangnya ke tempat sampah bersama miliknya.

“Apa aku bisa minta tolong  kalau ini juga dibuang?”

Aku menggulung kantong yang sudah kosong dan memberikannya kepada Kozono-san melintasi meja, dan dia juga membuangnya ke tempat sampah.

“Terima kasih.”

“Aku pergi duluan ya.”

“Ya. Silakan pergi.”

 Setelah memeriksa tali celemek dan label namaku, aku juga kembali ke dalam toko. Masih ada satu jam sebelum jadwal shift-ku selesai.

Setelah itu selesai, aku bisa bertemu Melissa.

 

◇◇◇◇

 

“Terima kasih atas kerja kerasnya. Kalau begitu, aku pergi duluan.”

Setelah mengatakan itu, Kozono-san dengan santai melangkah keluar dari ruang ganti.

Tanpa percakapan lebih lanjut, keceriaan yang dia tunjukkan saat pertama kali bergabung seolah-olah menghilang. Tidak, bukan begitu. Dia masih ramah kepada manajer dan Yomiuri-senpai, Asamura-kun, jadi perilakunya ini hanya ditunjukkan padaku.

Mungkin, Kozono-san berpikir seperti yang dia katakan, “Jika aku tampil apa adanya di depan orang lain, mereka akan membenciku.” Jadi dia bersikap ramah. Sebaliknya, itu berarti Kozono-san yang sebenarnya tidak terlalu ramah… ah, mungkin sikap dingin itu adalah dirinya yang sebenarnya.

Meskipun begitu, hal tersebut anehnya tidak membuatku merasa buruk. Sebaliknya, aku merasakan semacam nostalgia. Ah, tentu saja. Karena dia mirip dengan diriku saat kelas satu SMA dulu.

Ketika dia membuka pintu kantor dan keluar, Kozono-san berkata “aku pergi dulu,” sambil menoleh, rambut Kozono-san melambai, dan warna dalamnya tertanam di mataku. Warna kemerahan yang dia masukkan karena tidak bisa menganggap diri sendiri sebagai orang dengan rambut hitam. Ternyata, dia cukup berani dan penuh semangat. Mungkin itu adalah “wujud Kozono-san.”

Aku jadi teringat kata-kata Maaya.

“Saki yang dulu tidak membiarkan orang mendekat, bisa dibilang kamu adalah kecantikan yang dingin dan keren.”

“Bukannya aku membenci Saki yang dulu. Aku tetap menyukaimu yang seperti itu.”

“Seperti itu, ya...” Hmm. Benar, juga Kozono-san yang seperti itu juga tidak buruk.

Ponselku bergetar memberi tahu kalau ada panggilan masuk.

Ternyata itu dari Melissa.

Dia memberi tahu bahwa dia sudah sampai di depan gedung tempat toko buku berada. Aku buru-buru mengganti pakaianku dan bergegas menuju tempat pertemuan.

Aku membuka pintu otomatis dan keluar dari dalam gedung. Saat melihat ke kiri dan kanan, seorang wanita berambut pirang dengan kulit kecokelatan bersandar di tiang langsung menarik perhatianku. Itu dia, Melissa. Meskipun musimnya sudah mendekati musim gugur, mungkin karena suhunya masih hangat, jadi dia mengenakan pakaian sporty yang cukup terbuka. Dia memakai tank top putih dan celana pendek bergaris kamuflase. Dia mengenakan topi denim yang sedikit ditarik ke bawah.

Ketika aku melangkah ke arahnya, dia juga menyadari dan mengangkat wajahnya. Dia tersenyum melihatku dan melambai.

“Saki!”

“Melissa-san, sudah lama tidak bertemu.”

“Kamu juga sehat-sehat saja, Saki?”

Dia mengatakannya dalam bahasa Jepang. Aku mengangguk sambil tersenyum.

Melissa adalah keturunan blasteran antara ibu dari Taiwan dan ayah orang Jepang, dan dia pernah menghabiskan waktu sebagai pelajar di Jepang, jadi dia bisa berbicara bahasa Jepang dengan lancar. Dia merendah dan mengatakan tidak terlalu mahir, tapi kurasa dia cukup fasih untuk percakapan sehari-hari.

“Jadi, kita mau ke mana? Di mana kita bisa berbicara?”

Hmm... aku menunjukkan peta di smartphone-ku dan menunjuk ke lokasi kafe yang sudah kupilih.

Kafe itu tidak terlalu jauh dari Stasiun Shibuya, dekat Daikanyama. Terletak di selatan Jingu-dori, melewati jalanan Tamagawa, dan sedikit turun di Sakurazaka.

“Apa ada teh atau makanan manis yang enak di sana?”

“Tidak terlalu, sih.”

Aku memberitahu Melissa bahwa aku memiliki batas waktu pulang (waktu di mana aku harus memberitahu orang rumah dulu jika pulang terlambat), dan kafe itu dekat dengan lokasi rumahku, jadi aku bisa minum teh sambil berbincang lama sampai batas waktu tersebut.

Rute jalannya juga tidak rumit, jadi sehingga itu tidak menyulitkan Melissa jika dia kembali ke stasiun.

Melissa langsung setuju, “Baiklah, kalau begitu.”

“Lagipula, di tempat ini harganya tidak terlalu mahal.”

Hal itu juga penting bagiku. Melissa menawarkan untuk mentraktirku, tapi aku dengan hormat menolak tawarannya.

Karena akulah yang mengundangnya, jadi aku tidak bisa membiarkannya mentraktirku. Aku ingin membayar masing-masing pesanan kami. Meskipun dia seorang pekerja dan aku seorang pelajar.

Kafe yang terletak sekitar 10 menit berjalan kaki dari toko buku tempatku bekerja adalah kafe ritel, tetapi memiliki suasana yang tenang. Kursi dan meja yang terlihat terbuat dari kayu tertata rapi di bawah pencahayaan yang redup. Waktunya sudah terlambat untuk minum teh dan terlalu awal untuk makan malam. Biasanya tempat ini ramai dan harus menunggu, tetapi hari ini aku bisa mendapatkan tempat duduk dengan mudah. Jarak antar meja yang cukup lebar membuatku tidak merasa terganggu oleh pelanggan lain.

Aku memesan kopi blend, sementara Melissa memesan soda krim. Minuman itu, tertulis dalam ukuran jumbo di menu, apakah dia baik-baik saja?

“Karena sebentar lagi waktunya makan malam, jadi kita harus minum yang sedikit saja.”

Apa dia masih berencana untuk makan lebih banyak? Ah, begitu ya.

Aku selalu menganggap kalau porsi makananku “normal,” tetapi sekarang aku mulai berpikir mungkin aku sebenarnya orang yang sedikit pemilih.

Setelah mengulangi salam pertemuan kembali, kami saling melaporkan kabar terbaru.

Kemudiam, Melissa langsung bertanya.

“Jadi, bagaimana kabarmu dengan pacar yang itu? Apa kalian baik-baik saja?”

Aku hampir menyemprotkan air yang kuminum.

Di awal-awal langsung pembicaraan tentang cinta!?

Kenapa semua orang begitu antusias dengan cerita cinta orang lain, sih?

Meskipun begitu, karena aku merasa kalau Melissa sudah banyak membantuku, jadi rasanya tidak adil jika aku tidak memberitahunya dengan jujur.

“Ehm. Yah, baiklah, kami lumayan akur.”

“Hee~ bagus tuh!”

Saat aku menjawab setuju dengan sedikit rasa malu, Melissa kembali tersenyum dan memasang wajah seriusnya tanpa menggodaku.

Aku merasa bahwa sifatnya yang begitulah yang membuatnya sedikit berbeda dari orang-orang di sekitar kami.

“Bagaimana denganmu? Sepertinya kegiatan musikmu di Jepang berjalan lancar dengan konser dan sebagainya.”

“Ah, ya, terima kasih? Hmm, ya, bisa dibilang begitu. Aku merasa senang karena ada banyak orang yang mendengarkan laguku lebih dari yang kuharapkan.”

Dari apa yang kudengar, nampaknya ada banyak penggemar yang antusias di Jepang, dan beberapa di antaranya ingin melihat penampilan konsernya secara langsung. Mungkin itu yang mengarahkannya untuk datang ke Jepang.

“Kapan kamu tiba di Jepang?”

“Kemarin!”

“Jadi, kamu benar-benar baru saja tiba, ya.”

Melissa mengangguk. Dia tiba kemarin malam, jadi dia belum banyak menjelajahi Tokyo. Namun, karena dia datang untuk bekerja, sepertinya dia tidak mempunyai waktu untuk bersenang-senang.

“Ini adalah Jepang yang sudah lama tidak aku kunjungi. Ketika datang sebagai turis, aku merasa kalau Jepang itu menyenangkan.”

“Eh?”

“Kamu kelihatannya sangat terkejut.”

Sebenarnya, aku memang merasa terkejut.

Aku berpikir Melissa pindah ke Singapura untuk menghindari kekakuan hidup masyarakat Jepang.

Oh, tidak, tunggu. Dia tadi menyebutkan “ketika datang sebagai turis.”

“Aku ingin menjalani kehidupan yang menurutku itu baik untukku, jadi aku mengubah negara tempatku tinggal dan mengganti komunitas tempatku bergaul, tetapi bukannya berarti aku membenci Jepang.”

“Begitu ya.”

“Karena makanannya enak! Layanannya juga bagus!”

“Layanannya bagus?”

“Ya. Jepang sekarang sudah menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi wisatawan. Aku sudah pergi ke berbagai negara, tetapi di sini adalah yang terbaik. Terutama di kota besar. Kereta dan bus hampir tidak pernah terlambat. Jalanannya bersih dan jarang ada sampah. Bahkan ketika masuk ke toko murah untuk umum, para pelayannya selalu ramah dan tersenyum. Bahkan pegawai toko satu koin pun menyapa dengan senyuman. Rasanya sangat menyenangkan~”

Ketika kami sedang berbicara, pelayan datang untuk mengantarkan pesanan kami.

“Ini pesanan kopi blend anda.”

Kopi panas diletakkan di depanku.

“Dan ini pesanan krim soda ukuran jumbo.”

Sebuah gelas besar diletakkan di hadapan Melissa. Mau tak mau aku melebarkan mataku karena tercengang.

Aku memang pernah masuk ke tempat ini sebelumnya, tetapi aku belum pernah memesan krim soda, jadi bisa dibilang baru pertama kalinya aku melihatnya. Memang, ini memiliki ukuran yang sangat besar sesuai dengan namanya. Ukurannya lebih dari dua kali lipat dari gelas air. Cairan hijau transparan dengan gelembung yang menggoda dan es krim di atasnya terlihat sangat menggoda.

“Apa semua pesanan Anda sudah lengkap?”

““Ya.””

Aku dan Melissa sama-sama mengangguk secara serentak.

Pelayan itu dengan sopan membungkuk dan berkata, “Silakan nikmati waktu Anda,” sebelum pergi. Melissa menatapku dengan ekspresi seolah berkata, “Itu, ‘kan?”

“Itu, ‘kan? Bukannya dia ramah sekali?”

“Tapi... bukannya itu memang sudah seharusnya?”

“Mungkin itulah yang terjadi di Jepang sekarang. Pelanggan juga tidak berteriak berlebihan. Di dalam kereta pun suasananya tenang, di jalanan juga tenang. Tempatnya bersih, nyaman, dan mereka melayani dengan senyuman, penuh perhatian, dan sangat baik—rasanya sangat menyenangkan.”

Dia mengambil sendok panjang untuk menyendok es krim di atas soda. Setelah memasukkannya ke mulut, dia berkata, “Hmm, rasanya enak,” dan menambahkan,

“—kalau sebagai turis saja, sih.”

Aku terkejut. Karena itu yang kedua kalinya dia berkata demikian.

 

◇◇◇◇

 

Dia menyeruput minuman krim soda dengan sedotan. Warna hijau itu naik melalui sedotan transparan dan menghilang di balik bibir merah Melissa.

“Enak!”

Setelah menghela napas, Melissa melanjutkan,

“Ketika aku berada di sini sebagai turis, aku sangat menghargai layanan ala Jepang. Yah, jika mereka melayani dengan begitu baik, kurasa mereka bisa mengenakan biaya lebih. Mereka melayani dengan senyuman, bisa minum air gratis berkali-kali, dan makanan diantar langsung ke meja, dengan harga satu gelas soda ini hanya sedikit lebih dari satu koin, itu terlalu murah.”

“Tapi harganya masih cukup membebani bagi pelajar SMA.”

“Tapi, pelayanan yang baik pasti ada harganya. Aku tidak ingin menjadi orang yang hanya menikmati pelayanan tanpa memberi imbalan.”

Pelayanan di sini merujuk pada apa yang disebut “keramahtamahan”. Frasa “free ride” berarti “tumpangan gratis”. Melissa mengatakan bahwa dia tidak suka menerima pelayanan tanpa memberikan imbalan.

“Tadi kamu bilang, ketika menjadi turis, ‘kan?”

Melissa mengangguk mendengar kata-kataku.

“Aku masih berusaha mencari nafkah melalui musik, jadi itulah alasan saya menjadi pembuat musik. Namun, sangat sulit untuk tetap merasa biasa ketika aku membuat musik.”

“Merasa biasa itu... sulit?”

“Ketika orang lain membantu, aku tidak bisa membalasnya. Bahkan, pelayanan itu sendiri bisa menjadi stres. Coba bayangkan, ketika aku hampir mendapatkan frasa yang bagus, tiba-tiba ada yang bertanya, 'Apa ada yang bisa aku bantu?'”

Aku mencoba membayangkannya, tetapi sayangnya aku tidak begitu paham tentang seni, jadi aku tidak bisa merasakannya. Aku mencoba menggantinya dengan belajar. Memang, ketika aku sedang fokus belajar, aku tidak suka diganggu...

“Tapi, pada saat-saat seperti itu, bukankah orang lain biasanya membiarkan kita sendiri?”

Setidaknya orang-orang di sekitarku tidak menggangguku saat aku sedang belajar untuk ujian.

“Hmm. Aku bahkan lebih tidak biasa daripada yang kamu bayangkan, Saki.”

“…lebih tidak biasa?”

“Hmm. Tidak. Begini, kerika aku membuat lagu, ada kalanya aku tidak bisa berpikir sama sekali dan tidak keluar dari kamar selama seminggu. Aku mencabut kabel telepon, mematikan smartphone. Aku bahkan menutup jendela dan menarik tirai karena cahaya yang masuk mengganggu. Lampu hanya dinyalakan dengan lampu malam yang paling redup. Aku makan mie instan yang kubeli, tapi aku bahkan tidak bisa membuang wadahnya.”

“Tidak bisa, ya... bukan tidak mau.”

“Ketika itu datang, hanya dengan berdiri saja, semuanya jad menghilang. Hanya satu suara yang terdengar, dan semuanya lenyap. Suaraku sendiri pun bisa menghilang. Baik melodi maupun frasa. Sebelum itu datang, aku tidak bisa bergerak di dalam kegelapan. Aku menahan napas dan menunggu. Dalam kasusku, rasanya mirip seperti seorang pemburu yang menunggu mangsa."

Aku merasa perbandingan dengan pemburu itu sangat sesuai dengan Melissa.

“Akhirnya, sebuah cahaya kecil seperti api hantu muncul di tengah kegelapan. Tapi itu sangat samar dan seperti embun pagi, dan hanya ada untuk waktu yang sangat singkat. Aku mendekatinya perlahan dan menangkapnya, tetapi pada saat itu, aku bahkan tidak ingin bernapas. Aku dengan hati-hati mendekat, dan ketika sudah berada di hadapanku, aku segera menangkapnya! Aku harus menangkapnya sebelum menghilang.”

“Jadi... begitu ya.”

Aku tidak bisa mengatakan bahwa saya memahaminya. Pada saat itu, aku tidak dapat membayangkan betapa halusnya momen kreativitas seorang pencipta.

Tiba-tiba, entah kenapa, hal yang terlintas di pikiranku adalah sosok asisten profesor Kudou yang mengaku sedang berbaring di lantai laboratorium tanpa memedulikan orang lain demi merenungkan sesuatu. Oh ya, orang itu juga pernah dimarahi saat berbaring di atas rumput saat pertama kali kami bertemu. Mungkin saat itu dia juga sedang berbaring merenung. Dia sepertinya tipe orang yang ketika fokus, semua hal lain menjadi tidak penting.

“Ketika aku membuat musik, aku sangat egois. Sejak kecil aku memang sudah begitu. Saat aku masih kecil, ini bukan tentang musik, sih. Sewaktu aku masih sekitaran kelas 1 atau 3 SD, keran air di rumah kami rusak—”

 Tiba-tiba topik ceritanya mendadak berubah...

“—keran itu tidak bisa berhenti mengeluarkan air. Airnya menetes terus-menerus. Suara tetesan itu membuat suara ritmis saat mengenai wastafel di bawahnya. Kadang-kadang, satu tetes air jatuh sekaligus, dan menghasilkan suara yang berbeda. Itu sangat menarik, dan aku mendengarkannya tanpa bosan. Bahkan ketika dipanggil untuk makan, aku tidak bergerak sama sekali. Ketika dibilang sudah waktunya untuk berangkat sekolah, aku juga tidak bergerak. Aku terus mendengarkan, sampai ayahku yang keheranan menarikku dengan paksa dan memasukkanku ke dalam mobil untuk dibawa ke sekolah.”

“Itu sih... luar biasa."

“Pada hari itu, aku sama sekali tidak bisa fokus pada pelajaran. Di kepalaku, suara tetesan air keran terus berlanjut. Akhirnya, ketika pulang dari sekolah, keran itu sudah diperbaiki dan tidak ada lagi tetesan air. Aku jadi menangis.”

Terobsesi pada suara air yang menetes hingga sejauh itu... bisa dibilang itu cukup langka.

“Tapi, aku tidak berpikir ada yang baik tentang diriku yang seperti itu. Karena aku tahu, meskipun orang-orang di sekitarku peduli, tapi aku tidak bisa membalasnya sama sekali.”

Ah begitu rupanya, aku mulai mengerti sekarang.

Aku akhirnya sedikit memahami sesuatu.

“Jadi, bagi Melissas-san, menerima bantuan yang tidak bisa dibalas itu menjadi beban stres, ya?”

Begitu aku mengatakannya, ekspresi bahagianya saat minum cream soda seketika menghilang.

“Ah...”

“Apa aku salah?”

“Tidak salah. Kupikir itulah sebabnya aku inign mencari tempat yang membiarkanku sedikit bebas dan ditinggalkan sendirian. Berhenti bermusik tidak ada di dalam kamus hidupku. Hal itu sama saja dengan mengatakan aku harus berhenti hidup. Namun, dua Jepang, ketika aku berusaha menjadi diriku sendiri, aku mendapat terlalu banyak perhatian dari semua orang. Itu tidak adil, jadi aku terus-menerus merasa stres karena menerima bantuan yang tidak dapat kubalas. Ya, mungkin, apa yang tadi kamu katakan itu benar, Saki.”

Melissa memberikan kesan sebagai seorang yang berjiwa bebas tanpa hambatan, tetapi semangat untuk berusaha bersikap adil inilah yang memberinya kesan bebas melakukan apa pun yang dia sukai.

“Hanya menerima keramahtamahan tanpa bisa membalasnya merupakan tindakan yang tidak adil. Itulah sebabnya, aku hanya bisa tinggal di negara ini sebagai seorang turis.”

Melissa yang mengungkapkan hal ini dengan sikap bijaksana tampak dewasa di mataku.

“Itulah sebabnya kamu pergi ke Singapura, ya.”

“Begitulah... Tapi—”

Saat itu, Melissa berhenti sejenak dan menatap mataku, mencoba mengatakan sesuatu.

Dia tetap terdiam.

Lalu, dia tiba-tiba mengubah topik pembicaraan..

“Hei, bagaimana denganmu sendiri, Saki? Apa ada yang berubah belakangan ini?”

Meskipun aku tidak terlalu pandai membaca perasaan orang lain, aku bisa merasakan bahwa perubahan topik ini terlalu mendesak.

Artinya, topik mengenai dirinya sudah selesai.

 Setelah mendengar pertanyaannya, aku memikirkannya sejenak apakah ada sesuatu. Oh ya, memang ada.

“Ngomong-ngomong, sekolahku akan mengadakan festival budaya.”

“Wow! Festival budaya! Kamu akan melakukan apa di sana?”

Meskipun sepertinya Melissa sudah pernah mengalami festival budaya di sekolah SMP, dia sepertinya belum pernah ikut festival budaya di sekolah SMA, dan matanya bersinar saat bertanya.

“Hmm... kelas kami akan membuka kafe.”

“Aku ingin mengunjunginya! Hei, apa orang sepertiku yang tidak ada hubungannya juga bisa datang?”

Aku tidak menyangka dia akan tertarik sampai sejauh ini.

“Ada hari festival yang terbuka untuk umum. Tapi... umm—”

Aku mengeluarkan smartphone untuk memeriksa jadwal. Setelah menyampaikan tanggalnya, Melissa juga memeriksa jadwalnya. Dia bilang dia akan berada di Jepang sampai saat itu.

“Kalau begitu, aku akan mengundangmu.”

“Bagus sekali!”

“Jika kamu bisa datang selama jam istirahatku, aku mungkin bisa mengajakmu berkeliling.”

Setelah aku mengatakan itu, Melissa tiba-tiba menggenggam tanganku dengan kedua tangan dan terus mengucapkan “Terima kasih.”

Tidak, kamu tidak perlu berterima kasih sebanyak itu...

“Festival budaya, ya. Untuk tingkatan anak SMA, itu cukup besar, ‘kan?”

“Yah, kalau dibandingkan dengan sekolah SMP sih memang lumayan...”

“Aku sangat menantikannya~. Mungkin aku merasa tidak enak jika harus diantar. Oh ya!”

Melissa tampaknya mendapatkan ide bagus.

“Hei, Saki, apa kamu tertarik dengan konser? Aku akan mengundangmu secara gratis! Ajak pacarmu untuk datang juga!”

Eh...? Gratis? Apa itu... baik-baik saja?

Hmm. Jika ditanya apa aku merasa tertarik atau tidak, tentu saja aku tertarik. Aku juga penggemar musik Melissa.

Hanya saja, apa Asamura-kun akan tertarik untuk datang ke konser?

“Aku tidak bisa menjanjikan apa aku bisa mengajak Asamura-kun atau tidak, tetapi aku sendiri merasa tertarik.”

Setelah aku menjawab begitu, wajah Melissa berseri-seri dan dia menjentikkan jarinya dengan cekatan. Suaranya cukup keras sehingga beberapa pelanggan di dalam kafe menoleh ke arah kami. Seorang pelayan yang salah paham mengira dia dipanggil langsung datang, dan kami berdua pun minta maaf.

Tidak, kami yang seharusnya minta maaf, kata pelayan yang bingung. Melissa kemudian memesan soufflé, doria, salad, kopi, dan untuk pencuci mulut, cheesecake.

Eh, apa dia akan memakan semua itu? Aku juga memesan kopi lagi untuk menemani. Namun kali ini, aku akan menambahkan banyak susu. Memang, rasanya akan berat di perut jika sudah meminum dua cangkir.

Sambil melihat Melissa yang memasukkan makanan ke dalam perutnya, aku memikirkan tentang ajakan konser yang ditawarkan Melissa tadi.

Jika Asamura-kun menolak... ya, saat itu aku bisa pergi sendirian.

Meskipun begitu, aku berpikir untuk mencoba mengundangnya. Aku sudah memutuskan untuk berhenti merasa ragu karena takut merepotkan orang lain sejak festival musim panas lalu.

 

◇◇◇◇

 

Pada akhirnya, aku dan Melissa mengobrol selama sekitar dua jam sebelum berpisah.

Dalam perjalanan pulang, saat menunggu lampu lalu lintas, aku menghubungi ibuku melalui LINE sebelum dia berangkat kerja. Aku perlu memeriksa bahan makanan di kulkas. Namun──.

“Eh. Ayah tiri yang akan memasak makan malam?”

 Aku keceplosan berbicara dengan keras.

Aku dengan cepat melihat ke kiri dan kanan, tetapi orang-orang yang terburu-buru pulang tampaknya tidak mendengar suaraku dan terus berjalan. Lampu lalu lintas berubah hijau, dan aku menyimpan smartphone-ku dan mulai berjalan.

Menurut pesan tersebut, mereka berdua sudah berbelanja bahan makanan, dan karena Ayah tiri tahu aku akan sibuk belajar untuk ujian malam ini, jadi ia yang akan memasak.

Aku mempercepat langkahku menuju apartemen yang semakin terlihat menjulang.

Sambil berjalan, aku mulai berpikir sesuatu. Begitu ya, jadi ketika seseorang memperhatikan kita, kita merasa tidak enak jika tidak memberikan imbalan, ya? Aku mulai memahami apa yang dikatakan Melissa. Sepertinya aku juga merasakannya. Namun, satu-satunya imbalan yang bisa kuberikan saat ini adalah belajar dengan keras untuk ujian. Inilah yang harus aku lakukan dengan baik setelah pulang! Pikirku sambil berjalan pulang.

Ketika aku mengganti pakaianku dan mulai belajar di kamarku, Asamura-kun pulang dari acara kampus terbuka. Aku bisa mendengar suaranya yang mengatakan “Aku pulang”.

Aku ingin segera membahas tentang konser, tetapi jelas-jelas rasanya tidak pantas membahas hal itu sebelum membuka buku referensi sedikit pun.

Makan malam akan disajikan sekitar jam delapan, jadi aku masih punya waktu dua jam.

Sebaiknya aku harus berusaha sedikit lebih keras, pikirku, dan saat aku fokus belajar, satu jam berlalu dengan cepat. Setelah makan malam, ada juga waktu untuk mandi, jadi aku tidak tahu kapan bisa berbicara dengan Asamura-kun. Sepertinya lebih baik jika aku membahasnya sekarang.

Dengan dipenuhi tekad, aku memutuskan untuk mengunjungi kamar Asamura-kun.

Tiba-tiba, aku teringat pernah datang ke depan pintu ini, tetapi tidak bisa memberanikan diri untuk mengetuk dan malah melarikan diri kembali ke kamarku. Jika dipikir-pikir sekarang, itu terasa agak berlebihan. Hanya karena satu ajakan yang ditolak, dunia tidak akan berakhir.

Tapi... perasaan seperti itu memang ada.

Setelah menarik napas dalam-dalam, aku mengetuk pintu kamarnya.

“Yuuta-niisan.”

Aku memanggilnya dengan suara kecil.

 ... Tidak ada jawaban.

Apa ia tidak ada di kamarnya?

Aku mengintip ke arah ruang makan. Hanya ada suara Ayah yang sedang memasak. Itu berarti ia pasti ada di dalam kamar.

Aku berusaha mengetuk sekali lagi dan memanggilnya, kali ini ada reaksi.

“Maaf. Aku tidak mendengarnya saat kamu memanggil.”

 Apa aku mengganggunya saat ia belajar?

“Oh, aku minta maaf. Apa kamu sedang fokus belajar?”

“Tidak, aku baru saja berpikir untuk istirahat dulu sebentar. Jadi, tidak apa-apa. Ada apa?”

Saat ditanya begitu, aku terdiam sejenak, berusaha untuk mengungkapkan undangan tersebut.

Mau lihat konser enggak?

Kata-kata sederhana itu terjebak di tenggorokanku dan tidak bisa keluar.

“Jadi, umm... begini...”

Asamura-kun yang melihatku kebingungan berkata dengan cemas.

“Mungkin ada sesuatu yang ingin kamu diskusikan?”

“Hmm, ya. Sebenarnya, aku sepenuhnya sadar kalau Asamura-kun sedang sibuk belajar ujian masuk, dan tentu saja, kamu bisa menolaknya jika mau, tetapi…”

“Kalau kamu tidak bilang, aku takkan tahu apa aku bisa menolak atau tidak.”

“Umm, jadi begini, ini cuma ajakan untuk bermain.”

“Beristirahat itu juga penting, iya ‘kan?”

Berkat dirinya yang mengatakan itu dengan sedikit bercanda, aku merasa kalau hatiku terasa lebih ringan.

“Kalau kamu bilang begitu, aku jadi merasa sedikit lega untuk mengatakannya, jadi aku akan memanfaatkan kesempatan ini.”

Lalu, aku bertanya,

“Apa kamu tertarik dengan live house?”

Asamura-kun juga mengenal Melissa. Hanya saja, karena mereka hanya bertemu di restoran setelah Safari Malam, mungkin kesan yang ditinggalkan tidak terlalu kuat. Dia adalah seseorang yang sangat membantuku secara pribadi, dan aku ingin mendukung aktivitasnya. Jadi, itulah sebabnya aku ingin pergi. Aku mengungkapkan perasaanku dengan jujur.

Asamura-kun tampak ragu.

Melihat raut ekspresinya, rasa takutku kembali muncul.

“Ah, tapi, festival budaya juga akan segera datang, jadi kita tidak bisa terlalu banyak bermain, kan?”

Aku menyiapkan alasan dengan hati-hati kalau terjadi untuk penolakan.

Jika ditolak, ya sudah. Aku menghibur diriku sendiri untuk pergi sendirian.

Namun, Asamura-kun tampaknya segera menggelengkan kepalanya dengan panik.

“Tidak, masalah yang itu ya itu.”

“Eh?”

“Namanya Melissa-san... kan? Jika Saki ingin mendukungnya, aku juga ingin bertemu. Dan aku benar-benar berpikir bahwa istirahat itu penting, kok.”

Ia mengatakan kalau dirinya sudah cukup banyak belajar di musim panas. Meskipun aku tidak terlalu paham, sepertinya ia akan pergi bersamaku.

“Aku belum pernah mengunjungi live house, jadi aku semakin ingin pergi. Akhir-akhir ini aku berpikir kalau aku ingin melakukan banyak hal yang belum pernah aku alami bersama Saki.”

“Be-Begitu ya.”

“Masa kelas 3 SMA biasanya hanya terjadi sekali, ‘kan? Itulah hal yang ingin kulakukan sekarang, dan aku berpikir bahwa aku harus bisa menyeimbangkannya dengan ujian.”

“Baiklah. Jadi, kamu mau pergi bersamaku?”

“Ya. Aku akan pergi. Atau dalam hal ini, lebih tepatnya tolong bawa aku bersamamu, mungkin?”

Oh, jadi dalam hal ini, akulah yang harus menjadi pemandu.

“Aku akan memberi tahu Melissa juga. Oh, tanggalnya adalah...”

 

Dengan demikian, kami berencana untuk berkencan menonton konser pada tanggal 23 September.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama