Chapter 9 — Pelarian Penuh Emosi Sasami Mimi
Bagian 2
(Sudut
Pandang Toudo)
Aku
merasakan beratnya Sasami yang menangis di pelukanku saat aku membawanya ke
taman terdekat. Aku tidak suka air mata
kesedihan dan kesepian seperti ini.
Aku
menurunkan Sasami di bangku taman.
Sasami
tidak bisa menahan luapan emosinya, dan menangis tersedu-sedu.
Apa yang sudah dilakukan Sasami tercatat dalam
'rekaman' di kepalaku. Itu adalah peristiwa yang menyedihkan.
Aku sudah
me-reset perasaanku pada Sasami. Aku berpikir untuk tidak terlibat lagi. Tapi,
tidak, itu salah. Dibilang untuk tidak terlibat justru membuatku sedih dan
kesepian.
Setiap kenangan yang kumiliki bersama Sasami tidak
hilang. Hanya terlihat kelabu. Aku tidak bisa menghancurkan reset itu. Tapi aku
bisa memulai dari awal. Aku belajar itu dari banyak pengalaman.
Aku
mendengar Sasami terus berlatih. Sasami berlari dengan sangat tekun.
Sasami
sudah semakin cepat.
Entah
kenapa, aku merasa senang. Senang? Ini sungguh perasaan
yang aneh.
Padahal
aku sendiri tidak menjadi lebih cepat, tapi aku bisa merasakan perasaan itu.
Karena
itulah, aku tanpa sadar mengejar Sasami yang tiba-tiba berlari meninggalkan
sekolah.
“Tu-Tunggu sebentar, kumohon.”
Sasami
sedang merapikan roknya yang tersingkap. Ah, aku melakukan hal yang buruk. Aku
pernah mendengarnya dari Hanazono, rasanya memalukan jika celana
dalammu terlihat.
Taman itu sebagian besar sepi,
hanya ada anak-anak yang sedang bermain. Sepertinya ibu-ibu mereka sedang sibuk menyiapkan makan
malam.
Aku juga
harus memikirkan makan malamku hari ini.
“Su-Sudah tidak apa-apa... A, aku
tidak ingin merepotkan Senpai...”
Kata-kata
Sasami terdengar lemah. Tidak ada kekuatan di dalamnya. Jika dia benar-benar ingin menolak,
seharusnya dia pergi dari sini.
Aku
memeriksa kaki Sasami tanpa ragu.
“Aduh... Ta-Tapi tidak terlalu parah sampai aku tidak bisa berjalan."
Kenapa
tadi aku tiba-tiba memanggilnya sebagai muridku?
Kata-kata
itu keluar begitu saja. Orang itu bukan manusia biasa. Aku tidak ingin Sasami
menghilang sehingga tanpa disadari tubuhku bergerak
dengan sendirinya.
Sambil
mengubah posisi kaki Sasami, aku memeriksa dan mengeluarkan perban dari sakuku
untuk membalut pergelangan kakinya.
“Tu-Tunggu, roknya... Itu memalukan...
Celana dalamku terlihat... Senpai, ak-aku
bisa melakukannya sendiri...”
Dari apa
yang kudengar dari Hanazono, Sasami selalu sendirian. Sendirian pasti sangat
kesepian. Aku ingin tahu apa yang membuatnya menderita.
“Kalau
begitu, kenapa kamu
terlihat begitu tersiksa? Jika kamu
tidak ingin bicara denganku, kau bisa pergi dan berlari ke suatu tempat, 'kan?
Kenapa?”
Wajah
Sasami terlihat seperti akan hancur.
Sesuatu
yang tadinya begitu kuat akan hancur. Aku merasa emosiku akan meledak.
Bagi Sasami,
itu mungkin sesuatu yang tidak ingin disentuh oleh orang lain.
Aku memahaminya karena aku juga
pernah mengalami hal serupa.
“Benar
juga.... haha, aku benar-benar
gadis yang bodoh. Sendirian itu kesepian... Tapi aku benci
diriku yang manja. Bahkan sekarang aku masih bertingkah
manja kepada
senpai... Aku merasa jijik pada diriku sendiri.”
Sasami
berusaha menahan tangisnya. Tidak apa-apa. Berkat semua orang, aku bisa mengalami
masa muda yang normal.
Di antara
mereka, Sasami juga termasuk.
Dia
memanggilku ‘master’
dan menyayangiku. Jogging pagi menjadi
lebih menyenangkan.
Aku juga
mengalami keburukan hati Sasami. Aku juga merasakan penyesalannya.
Manusia
memang bisa salah. Sasami telah menyakitiku.
Tapi
Sasami tidak perlu memaksakan diri dan terluka.
—Jika
dia melakukan hal yang sama sepertiku,
dia bisa
hancur.
“Apa
itu menyakitkan? Apa itu karena penyesalan setelah menyakitiku? Atau karena
keluar dari klub atletik?”
“...Ah,
i-iya. Aku ingin meminta maaf kepada senpai setelah aku bisa berlari menjadi
lebih cepat. Aku bodoh, jadi tidak tahu harus bagaimana. Klub atletik tidak
penting bagiku. Aku...”
Terdengar
ada sedikit kebohongan dalam kata-katanya.
“Itu
adalah bentuk mencela diri sendiri.”
Tubuh
Sasami seketika menegang. Ekspresinya menunjukkan
aku telah menyentuh inti masalahnya. Lalu, bagaimana aku harus menjawabnya? Apa arti Sasami bagiku?
Muncul
emosi yang berbeda dari gairah hari
itu. Aku tidak tahu apa itu, apakah itu rasa sayang atau sesuatu yang lain.
Ini
adalah kasih sayang pada anak yang lebih muda.
“Sasami,
tidak ada gunanya menyiksa
dirimu sendiri. Itu hanyalah jalan
yang mudah. Keluar dari klub atletik pasti membuatmu merasa lega, 'kan? Tidak
lagi berbicara dengan teman sekelas juga pasti membuatmu merasa lega, 'kan?
Melihat dirimu yang menderita di cermin juga pasti membuatmu merasa lega, 'kan?”
Kata-kataku
semakin menyakiti Sasami. Tapi naluriahku tidak menghentikannya. Ini adalah tindakan yang perlu dilakukan.
“A-Aku...
Tidak merasa sakit... Karena aku telah melakukan hal yang tidak bisa dimaafkan
pada senpai...”
Dengan
menderita, dia berharap bisa dimaafkan. Tapi hal
tersebut tidak akan terjadi. Penderitaan akan membunuh
jiwanya.
Rasa
sakit hati perlahan-lahan akan menggerogoti tubuhnya.
Aku duduk
di sampingnya.
Tanpa
berpikir panjang, kata-kataku keluar begitu saja.
“Aku
merasa senang saat Sasami menjadi lebih
cepat. Aku sedikit sedih saat mendengar kamu
keluar dari klub atletik. Kupikir aku tidak
memedulikannya karena kamu
sudah tidak ada hubungannya lagi denganku. Tapi
terkadang aku masih teringat padamu. Aku tidak membencimu. Aku hanya me-reset
perasaanku. Kalau begitu—”
Penderitaan
Sasami tidak akan menebus dosanya. Itu hanya merugikanku.
Sasami
mengangguk kecil setiap kali aku berbicara.
Ah, jika
aku punya adik perempuan, mungkin seperti ini rasanya. Bagiku, Sasami adalah
sosok adik perempuan yang menyayangiku.
Pemahaman
dan perasaanku menjadi satu.
Tiba-tiba,
terdengar suara yang mirip seperti
kaca pecah—'Switch' dalam
diriku aktif. Gairah yang berbeda dari saat itu menguasai hatiku.
Kenangan
'kelabu' dengan Sasami berubah menjadi berwarna. Kenangan yang dingin berubah
menjadi kenangan yang hangat dan menyenangkan. Berbeda dengan Michiba, berbeda dengan Hanazono dan
Tanaka, ada kasih sayang aneh yang menyelimuti kenangan itu.
“Se-Senpai?
A-Apa kamu baik-baik saja?!”
Sasami
memang mudah terbawa suasana, tapi sebenarnya dia anak yang baik. Aku tahu bahwa keluarganya miskin. Aku juga tahu
betapa sulitnya hidup tanpa uang, karena aku pernah mengalaminya saat kecil.
Dia menjadi sedikit tersesat. Kalau
begitu, aku akan benar-benar menghadapinya—
Aku
menatap Sasami.
“Aku
mempelajari tentang hati yang normal dari
Tanaka dan Hanazono. Serta dari Michiba juga. Masih banyak yang tidak
kumengerti. Cara hidup Sasami hanya berjalan di tempat.”
“...Senpai
benar. Menderita itu mudah. Karena aku pantas menderita setelah melakukan hal
buruk—”
“Bukan
itu.”
Aku
memotong perkataan Sasami. Aku menyampaikan realitas yang berat. Memanjakan
bukan satu-satunya cara untuk bersikap baik.
“Batas
pertumbuhan Sasami sudah di sini. Kamu
tidak akan bisa berlari lebih cepat lagi. Kemampuan fisikmu sudah berteriak
meminta ampun.”
Aku
menyadarinya saat melihatnya berlari di malam haru.
Tubuhnya berteriak. Kecepatan larinya yang sudah di level tertinggi pelajar
tidak bisa tumbuh lagi.
Tubuh
Sasami gemetar.
Dia berkata padaku dengan
suara yang dipaksakan.
“Senpai
memang hebat. Kamu
benar, tidak peduli seberapa banyak aku latihan, aku tidak
akan lebih cepat. Aku berpikir jika aku berlatih
lebih keras, aku akan semakin cepat. Banyak orang dewasa
bilang 'Kembali saja ke klub atletik biasa. Kamu itu tidak berbakat.'
Ternyata hanya dengan usaha saja tidak cukup...”
Sambil
menatap kakinya, Sasami pun melanjutkan.
“Aku
tidak tahu harus bagaimana lagi... Jadi satu-satunya yang bisa kulakukan hanya
berlari. Aku bodoh... Dengan menyiksa diriku sendiri, aku bisa merasa lega.”
Kenangan
kelam saat aku masih SMP
terlintas di pikiranku.
Aku pernah mengorbankan
diri sendiri agar kelas bisa berjalan efisien.
Itu
salah. Aku seharusnya jangan melakukan hal itu.
Aku menarik Sasami dan membantunya berdiri dari bangku.
“Eh?
Se-Senpai? Kyaa!?”
“Memang
benar kalau Sasami tidak berbakat. Tapi
berkatmu, aku bisa merasakan kebiasaan normal. ...Itu sangat luar biasa. Apa
hanya berlari bersamaku saja tidak cukup?”
Aku
menggendong Sasami di belakang punggungku dan mulai berjalan pergi. Kakiku cukup kuat untuk
menopangnya.
“S-Senpai! Sudah cukup! Hanya bisa
bicara dengan Senpai saja sudah membuatku senang! Michiba-san akan marah padaku nanti!”
Aku
mengabaikan perkataan Sasami, dan berjalan menuju lintasan jogging tempat kami
biasa berlari.
Tempo
jalanku semakin cepat secara bertahap.
“Pegang
erat-erat. Aku akan berusaha meminimalkan guncangan, tapi bilang saja padaku jika kakimu sakit.”
Jalanku
berubah menjadi lari.
Aku terus
menambah kecepatan. Ini bukan lagi jogging, tapi lari.
“Se-Senpai!? La-Lari sambil menggendong bisa
melukai tubuhmu!! K-Kalau
Senpai terluka—”
"Ingatlah
kesenangan berlari. Aku menyukai Sasami yang berlari.”
Aku tidak
suka melihat Sasami yang selalu merasa rendah diri.
Aku tidak
suka melihat Sasami yang berusaha menghancurkan dirinya sendiri.
Oleh karena
itu, aku ingin berlari.
Lari yang
benar-benar serius, yang belum pernah kuperlihatkan pada siapa pun.
——Beralih
dari tingkat jogging ke tingkat pertarungan.
Aku tidak
merasakan beban Sasami. Aku tidak berlatih dengan cara yang lemah seperti itu.
Dia lebih ringan daripada anjing yang kukenal,
bukan?
Seluruh
otot tubuhku bersorak gembira. Mereka ingin mengeluarkan kekuatan sepenuhnya.
Aku hanya
melihat ke depan.
Sasami
bergumam sambil mencengkeram punggungku.
“...Kecepatan
ini... Sambil menggendongku...
Eh, kamu semakin cepat!?”
Aku
menaikkan gearnya lagi. Ini baru gear kedua. Bahkan jika aku sudah mencapai
level tertinggi, aku masih bisa lebih tinggi lagi.
Lintasan
jogging masih panjang.
“Berlari
rasanya memang menyenangkan. Sasami terlalu terobsesi
dengan peringkat. Aku belum pernah bersaing dengan orang lain. Jadi, aku tidak
tertarik dengan kerangka perlombaan.”
Aku bisa
merasakan Sasami sedikit gemetar di punggungku. Aku ingin dia merasakan
sesuatu. Bukan dengan pemikiran, tapi dengan naluri.
Itu
adalah harapanku—
“Wawawa, luar biasa... Haha, kenapa
aku... Eh, kau semakin cepat lagi!”
Suara
Sasami perlahan-lahan berubah menjadi terdengar menyenangkan.
Alasannya
tidak penting.
Saat ini,
yang terdengar hanyalah suara napasku dan suara tawa bercampur tangis Sasami.
Di
sekitar lintasan lari jogging, ada banyak orang jogging. Ada juga
tempat istirahat untuk mereka.
Aku
keluar dari jalur lari dan menuju tempat istirahat.
“Jika
aku terus berlari, Sasami akan terlalu terbebani. Hah, sudah lama aku berlari
dengan serius. Ini yang belum pernah kuperlihatkan pada siapa pun selain
Sasami.”
Aku
menurunkan Sasami dengan lembut.
Sasami
duduk dalam posisi yang seperti kehilangan tenaga di bangku dan menatap langit.
“Hehe,
bakat ya... Mustahil banget. Apa yang sudah kulakukan... Merajuk seperti anak
kecil dan mengabaikan teman yang mengkhawatirkanku...”
“Ah,
kita memang masih anak-anak. Melakukan kesalahan merupakan
hal yang wajar.”
Sasami
perlahan-lahan berdiri.
Aku
khawatir dengan kaki Sasami, jadi aku mencoba membantunya. Tapi Sasami
menggelengkan kepalanya dengan senyum yang seperti telah melepaskan beban.
“Kali
ini benar-benar tidak apa-apa. Senpai, aku sudah ingin minta maaf sejak lama.
Maafkan aku yang telah berbuat bodoh...”
Sasami
membungkuk dalam. Tidak ada suasana santai. Ada perasaan yang tulus di
dalamnya.
Sesuatu
yang hangat mengalir di dalam diriku. Ternyata aku terus mendekat dengan Sasami... Aku tidak
terlalu memikirkannya, tapi sedikit malu.
“Tidak
masalah. Apa kakimu sudah baik-baik saja?”
Sasami
yang mengangkat wajahnya berkata padaku dengan riang.
“Ya!
Aku baik-baik saja. Aku... ingin berjalan sambil memikirkan banyak hal. Tentang
klub atletik, kelas, dan masa depan... Jika aku
mempunyai Onii-chan, aku yakin ia pasti akan seperti Senpai.
Senpai... Terima kasih banyak. Aku akan berusaha sekuat tenaga!”
Aku
terkejut dengan semangat Sasami. Tapi tidak ada beban di sana.
Suasananya
benar-benar berubah, seperti orang yang berbeda.
Ah begitu ya, ternyata Sasami adalah gadis
yang manis. Sasami mulai berjalan sendiri. Aku tidak membantunya. Langkahnya
pelan tapi menghadap ke depan. Pemandangan itu indah.
Ternyata
ada saat-saat di mana kita bisa melihat keindahan seseorang.
Kami berdua naik kereta sampai stasiun
Toyosu. ... Sebenarnya aku tidak perlu ada di sini, tapi entah kenapa aku ingin
menemaninya sampai pulang. Ini juga bagian dari latihannya.
Saat dia keluar dari gerbang tiket, ekspresi Sasami mendadak berubah.
“Se-Senpai,
kamu sudah mengantarku sampai sini jadi sudah
baik-baik saja sekarang, aku bisa pulang sendiri!”
“Hmm,
aku hanya ingin mengantarmu. Aku juga khawatir dengan keadaan kakimu.”
Sasami
sepertinya ingin mengatakan sesuatu, dia
terus-menerus membuka dan menutup mulutnya.
Tiba-tiba,
aku merasakan ada tatapan seseorang yang menatap kami. Di sana
berdiri seorang wanita yang mirip dengan Sasami.
“Ah,
Ibu...”
Ekspresi
Sasami berubah menjadi sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya. Ini...
perasaan apa? Aku tidak tahu. Aku merasa seperti melihat sesuatu yang sangat
menyilaukan.
Begitu
wanita itu menyadari Sasami, seketika itu juga wajahnya
berseri-seri. Pemandangan itu sangat menyentuh hatiku.
Ah,
setiap orang memiliki kehidupan mereka sendiri. Sasami memiliki keluarga yang
berharga.
Itu
adalah hal yang luar biasa.
“Wah,
wah, apa kamu sedang kencan, Mimi? Dia tampan
sekali, bukan? Ah, maafkan aku, aku belum memperkenalkan diri. Aku adalah ibu
Mimi.”
“I-Ibu!
Bukan begitu!”
“Ma-Maafkan
aku, namaku Toudo Tsuyoshi.”
“Wah~, Toudo-kun, ya? Mimi sering bange~~t menceritakanmu. loh. Ah, Mimi, hari ini kita makan
sukiyaki! Hehe, hari ini ada kabar baik, aku mendapat pekerjaan tetap di
perusahaan teman lama ayahmu. Ah, bagaimana kalau Toudo-kun juga bergabung makan malam?
Aku bisa menceritakan tentang Mimi waktu kecil!”
“U-Ugh,
ibu, itu memalukan...”
“Tidak,
hari ini dengan berat hati aku
akan menolak. Aku ingin anda dan
Sasami bisa merayakannya berdua.”
“Ara, begitu~? Kalau begitu, datanglah kapan
saja! Aku dan Mimi akan menyambutmu dengan senang hati!”
Sasami
menunduk dengtan malu,
tapi ibu menatapnya dengan gembira. Sasami tidak menyadarinya. Ibu menyadari
perubahan Sasami. Karena suara ibu terdengar seperti menahan tangis. Ah,
ternyata orang tua memang mengerti anak-anaknya...
“Toudo-kun,
terima kasih banyak atas apa yang sudah kamu lakukan kepada
Mimi...”
“Ah,
aku tidak melakukan sesuatu yang istimewa.”
“Meskipun
begitu.”
“Ibu,
ayo kita pergi! Ah, maaf, Senpai, kalau kami
terlalu berisik...”
“Tidak,
aku merasa senang karena bisa melihat pemandangan yang
indah. Kalau begitu, aku permisi.”
Ibunya melambai padaku dengan senyum. Aku meyakini kalau itu akan
menjadi makan malam yang menyenangkan.
“Ah,
Senpai... Selamat tinggal...”
Aku
mendekati Sasami yang terlihat cemas. Aku menggenggam tangannya dengan kedua
tanganku. Dengan begini, perasaanku akan tersampaikan, aku tahu dari
pengalaman.
“Sasami,
ayo kita lari bersama lagi.”
Emosi
yang selama ini ditahan-tahan tersampaikan
melalui tangan Sasami. Ekspresi Sasami menunjukkan perasaan yang selama ini
ditahannya.
Kata-kata
yang ingin diucapkan Sasami. Entah bagaimana, aku bisa memahaminya.
“Eh?
Kenapa... Aku tidak sedih, tapi... Aku malah senang...”
Sasami
tidak bisa lagi menahan air matanya. Dia menggenggam tanganku erat. Perasaannya
tersampaikan.
Sasami
melepaskan tanganku. Dari wajahnya yang basah oleh ingus dan air mata, tersirat
tekad yang kuat.
Ibu
Sasami memeluk pundaknya dan mengangguk. Lalu, mereka berdua mulai berjalan
perlahan menuju kota Toyosu.
Setelah
mengantarkan Sasami, aku tidak naik kereta, melainkan keluar ke jalan. Lalu,
aku mulai berlari.
Entah
kenapa, aku tiba-tiba ingin berlari. Melihat Sasami dan ibunya, aku merasa
hangat dan senang... Tapi juga sedikit sedih... Aku tidak punya keluarga.
Eli... Berbeda.
Syukurlah
Sasami punya ibu yang baik.
Saat aku
mencoba menahan perasaan sedihku, kecepatanku justru semakin bertambah.
Perlahan-lahan, perasaan sedihku memudar.
Sebab aku
memiliki orang-orang yang berharga. Jadi, aku tidak merasa kesepian.
Wajah-wajah
mereka muncul di benakku. Rasanya aku sedikit berkembang. Bukan hanya sekedar
perasaan saja. Aku
merasa kalau aku berhasil meraih sesuatu yang nyata.
Aku
melihat mesin penjual otomatis. Aku berhenti di sana dan membeli kaleng kopi.
“...Rasanya sedikit pahit. Tapi—”
Kopi itu
terasa jauh lebih enak dari biasanya.
◇◇◇◇
(Sudut
Pandang Sasami)
Sudah
beberapa hari telah berlalu sejak
hari itu bersama Senpai.
Kondisi
fisikku tidak terlalu baik. Kakiku masih terasa
sakit dan sulit berjalan. Aku juga tidak bisa berlatih. Tapi
hatiku merasa ringan.
Di kelas,
aku masih sendirian seperti biasa, tapi itu tidak terlalu menggangguku. Aku
bisa melihat diriku sendiri dari sudut pandang yang berbeda.
“Eh?
Sasami-chan, kamu ganti model rambutmu?”
Nakajima-san dari klub atletik datang menghampiriku. Dia
benar-benar khawatir padaku. Aku tidak menyadari itu sebelumnya.
“Hehe,
aku membuatnya lebih rapi.”
“Wah,
penampilanmu jadi beda! Yang begini
lebih cocok untukmu!”
“Te-Terima
kasih.”
Nakajima-san pasti sudah terbiasa membaca situasi.
Dia ingin menolongku yang hampir terisolasi di kelas. Tidak ada maksud
tersembunyi di sana, hanya niat baik.
Dia
berbeda dariku yang hidup dengan perhitungan.
“...Sasami-chan, aku ragu-ragu untuk memberikan
ini padamu. Tapi aku sudah membersihkannya dengan hati-hati meskipun sedikit
retak.”
Nakajima-san mengeluarkan kotak bekal yang
pernah kubuang dari dalam tasku.
“Ah...”
“Saat kita
sedang melakukan kegiatan klub, kamu pernah bilang kalau kotak bekal itu penuh dengan kenangan, ‘kan?”
Aku
menerima kotak bekal itu. Tutupnya sedikit retak, tapi itu direkatkan dengan lem.
“Hehe,
ayo kita makan siang bersama lagi.”
Ah,
ternyata aku memang gadis yang
tidak bisa jujur. Kotak bekal yang penuh
kenangan bersama ibu. Aku menyimpannya dengan baik di dalam tasku. Dan aku
akhirnya bisa menghadapi Nakajima-san.
“Terima
kasih... Bukan hanya kotak bekalnya, tapi juga... Aku yang seperti ini.”
“Jangan
begitu, Sasami-chan! Kamu bukan
orang seperti itu! Aku tahu Sasami-chan itu gadis yang manis, larimu cepat, dan baik hati.”
Sebenarnya,
Nakajima-san lah yang
sangat baik.
“Hehe,
karena kita adalah teman.
Ah, sensei sudah datang! Kita bicara lagi
nanti, ya.”
“Iya,
sampai nanti.”
Kata-kata
“sampai nanti” itu membuatku sangat senang.
Nakajima-san lalu kembali ke tempat duduknya.
Saat jam wali kelas pagi. Guru wali kelas kami, Nakamura-sensei, adalah wanita muda yang selalu
cemberut. Dia sangat kompeten, tapi juga sedikit menakutkan.
Di
belakangnya, ada siswa laki-laki yang berseragam rapi.
Tiba-tiba
para siswa mulai berbisik-bisik.
“Siapa
itu?”
“Murid
pindahan di saat seperti ini? Lagi pula, rambutnya panjang sekali sampai
menutupi wajahnya.”
“Sepertinya
ia tipe otaku.”
“Kalau
laki-laki sih, tidak masalah. Tapi kalau perempuan dengan rambut panjang itu
lebih bagus.”
“Iya,
iya.”
Ketika
Nakamura-sensei menyapu pandangan dingin ke
seluruh kelas, para siswa langsung terdiam.
Entah kenapa, ekspresinya terlihat sedikit lelah, hampir menyerah.
Dia
perlahan-lahan membuka mulutnya.
“...Murid
pindahan di luar jadwal. Mulai sekarang, dia akan menjadi teman sekelas kalian.
Ia adalah Shimafuji Toru-kun. Hei, perkenalkan dirimu.”
Siswa
yang dipanggil Shimafuji... Rasanya aku pernah melihatnya.
Ia
membungkuk dengan tegap dan anggun, lalu mengangkat wajahnya.
Rambutnya
panjang, jadi wajahnya tidak terlalu jelas terlihat.
“Namaku
Shimafuji Toru. Pangkatku.... kurasa aku tidak perlu menyebutkan pangkat
di sini, ya. Tolong lupakan yang tadi.
Hobiku mengamati kucing dan membaca manga. Senang berkenalan dengan
kalian.”
“Baiklah.
Tempat dudukmu... Kurasa yang ada di
samping Sasami sedang kosong, ya.
Duduklah di sana. Kalau ada yang tidak kamu pahami,
tanya saja pada teman di dekatmu.”
“Oke.”
“...Kau
harus tetap menggunakan bahasa formal.”
“Ba-Baik, dimengerti.”
“...Yah,
sudahlah. Omong-omong, ikat rambutmu, itu mengganggu.”
Sensei
yang terlihat kelelahan mengangguk ke arah Shimafuji
untuk duduk.
Shimafuji
berjalan dengan mahir, meskipun poninya yang panjang menghalangi pandangannya.
Ah—
Di kursi
depan, Samejima terkikik sambil mencoba menjulurkan kakinya.
Mungkin
bagi Samejima itu hanya lelucon biasa tanpa adanya niat
jahat. Tapi aku merasakan perasaan tidak enak menyebar di dalam dadaku.
Penampilan
Shimafuji jelas-jelas
terlihat seperti otaku. Mungkin dia akan diolok-olok setelah ini. Aku tidak
suka dengan hal itu...
Tanpa
sadar aku berdiri dan berniat menghampiri Shimafuji, tapi saat itu--
Shimafuji
berhenti di depan Samejima-kun.
“Benar juga, rambutku mengganggu. Tadi pagi
saat menjalankan misi, rambutku terlepas dan aku lupa mengikatnya lagi. — Ngomong-ngomong,”
Ia
mengeluarkan karet dari sakunya, mengikat rambutnya ke belakang, dan menatap
siswa laki-laki itu.
Semua
siswa di kelas memandang ke arah Shimafuji. Terutama dari tatapan intens gadis-gados. Ada juga yang berteriak terpana.
Meskipun bukan tipeku, dia sangat tampan. Tapi Toudou-senpai jauh lebih keren.
“...Tidak
ada yang berubah sama sekali.
Ini yang sering disebut sebagai ospek, ‘kan?
Kau boleh melangkah dan menginjak, tapi tempat ini bukan untuk itu. Aku sudah
belajar dari manga sekolah. Setelah ini, apa aku akan dipanggil ke belakang
gedung sekolah dan diajak berkelahi?
Itulah yang kupahami sebagai kenakalan remaja.”
“Ti-tidak,
aku hanya ingin menenangkan suasana... Kau sendiri aneh, tahu?!”
“Hmm,
jadi ini berbeda dengan manga, ya. Tapi apa kamu tidak menyadari bahwa
jika kamu melakukan sesuatu, kamu akan kena karmanya? Aku
tidak sebaik Toudo, jadi aku tidak akan bersikap selembut itu.”
Suasana
Shimafuji berubah. Entah kenapa, dia mirip Toudou-senpai. ...Ah, aku tahu orang
ini! Dia orang yang jahat!
“Kamu itu orang aneh yang pernah merayuku
di depan sekolah, ‘kan!
Hei, jangan ganggu Samejima-kun! Ayo, duduk di sini!”
“Ka-Kamu...”
Tubuhku
bergerak sendiri. Aku menarik bagian bawah seragam Shimafuji dan memaksanya
duduk.
“Sekolah
adalah tempat di mana kita semua harus akur. Nah, Samejima-kun juga minta maaf,
dan Shimafuji-kun, diam dan dengarkan penjelasan guru.”
“Ba-baik,
mengerti.”
“Ah,
maaf, itu hanya bercanda...”
Wajah
Shimafuji memerah. Kenapa ya? Dia bertingkah sangat aneh.
“Hmm...
Sepertinya baik-baik saja. Baiklah, Sasami akan menjadi penanggung jawab atas Shimafuji. Dengan ini, jam wali kelas selesai. Belajarlah
dengan benar. Jangan cari-cari masalah.”
Hah?
Kenapa?
Guru
dengan wajah lelah hanya mengatakan itu dan pergi meninggalkan kami...
“Serius
nih?”
“A-Aku
mohon bantuanmu...”
Shimafuji
yang tadi menyusutkan
tubuhnya. Yah, tidak apa-apa. Dia pasti
bukan orang jahat. Ada banyak orang dengan berbagai macam karakter. Jika kita
berbicara, kita pasti
bisa saling memahami.
Benar begitu ‘kan, Senpai?