Chapter 9 — Pelarian Penuh Emosi Sasami Mimi
Bagian 1
Aku sedang lari jogging. Lari di malam hari. Temponya lebih lambat
dari biasanya. Karena tubuhku tidak bisa bergerak dengan baik. Pada hari itu,
untuk mengembalikan ingatanku bersama
Tanaka, aku melampaui batas maksimum. Tentu saja tubuhku tidak baik-baik saja.
Setelah itu, saat aku sedang berbagi kebahagiaan dengan Tanaka, aku malah tiba-tiba pingsan.
... Ini
sudah ketiga kalinya aku pingsan. Rasanya sungguh tidak
enak.
Ketika tersadar, aku sedang berbaring di
apartemenku.
Begitu
terbangun, aku segera menghubungi Tanaka, ternyata saat aku
pingsan, Shimafuji tiba-tiba
datang dan menggendongku sampai ke apartemen.
Menurut
cerita Tanaka, Shimafuji terlihat
panik dan berkata “To-Toudo
pingsan? Tidak mungkin! Dia adalah orang terkuat bagiku. Toudo,
bertahanlah! Kamu ini
kakakku, 'kan?!” sambil
memeriksa kondisiku.
Tanaka
menceritakannya sambil tertawa.
Itu
sangat melegakan. Aku sempat merasa takut bagaimana
jika saat bangun aku kehilangan ingatanku lagi? Rasa sakit di kepalaku semakin
parah. Tapi, jika ingatanku kembali, tidak masalah. Menderita konsekuensi
adalah hal yang wajar.
Aku suka
berlari. Itu membantu mengatur pikiranku dengan baik. Aku mulai berlari dari
Ichigaya, melewati Toyosu yang mana itu merupakan
tempat di mana aku memiliki kenangan
indah bersama Tanaka, lalu berputar di
kawasan Rinkai. Aku suka jalur ini karena jalannya lebar.
“...
Meskipun ingatanku sudah kembali,
emosi yang telah kureset tidak
bisa kembali.”
Hanya
kenangan berharga Tanaka yang terpatri dalam jiwaku yang bisa kupulihkan. Tapi,
jika aku salah sedikit saja, aku bisa menjadi orang yang tidak berguna. Emosi
yang kuhapus dengan reset... Mungkin karena sudah kuhapus, emosi itu memang
sudah tidak ada lagi.
Tapi, aku
menyadari bahwa Tanaka adalah orang yang
berharga bagiku. Berada bersamanya membuatku merasa hatiku hangat dan berdebar-debar.
“Meskipun
emosi saat itu tidak kembali, aku masih memiliki
emosi baru. Aku pasti bisa terus
maju.”
Meskipun
aku menghapus rasa suka, perasaan itu tidak akan hilang. Kalau begitu, sekarang
pun sudah cukup.
Dunia ini
penuh dengan hal sulit bagiku.
Tapi, aku
mulai merasa senang.
Aku mempunyai teman dan setiap
hari rasanya begitu ramai dan hidup.
Ada
banyak hal yang membuatku ingin mengalihkan pandangan, tapi meski begitu,
semuanya hidup.
“Fuuh,
kurasa cukup sampai di sini saja untuk
hari ini—”
Aku
berhenti berlari dan memandang laut. Ini adalah trotoar lebar di tepi laut
Ariake. Aku turun dari area jalanan dan duduk di tanggul. Tempat yang
cocok untuk bersantai.
Ini
adalah waktu yang kusuka. Hatiku terasa
tenang. Suara serangga dan aroma rumput, mengingatkanku pada saat aku bertahan hidup di hutan.
Hal ini
membuatku jadi bernostalgia saat disuruh bertahan hidup selama
satu bulan tanpa alat apa pun. Aku berpikir
kalau waktu itu hanya sendirian, ternyata Shimafuji juga bersamaku. Dia cengeng dan
sedikit kurang pintar.
Mungkin karena
pengaruh reset itu, aku sedikit mengingat kembali memori yang terlupakan. Meski
masih terasa samar-samar dan
sulit dipahami, setidaknya aku masih terus maju.
Tiba-tiba,
aku mendengar suara langkah kaki yang familiar dari arah jalan.
Langkah
kaki yang ritmis dan berlari dengan kuat.
Jam
biologisku mencatat waktu dengan pasti. Ah, dia
pernah bilang kalau dia tinggal
di kompleks perumahan sekitar sini,
ya...
Saat aku memastikan orang yang menimbulkan
suara langkah kaki itu, aku melihat
Sasami yang berlari dengan ekspresi wajah yang serius.
Bentuk
berlarinya sangat
indah. Sepertinya dia menerapkan saran yang
kuberikan. Tapi, napasnya tidak beraturan. Meskipun gelap, aku bisa melihat dia
menahan isakan dan air matanya mengalir.
Kenapa
Sasami menangis?
Hari-hari
yang kulewati bersamanya membuatku sadar akan arti normal.
Sasami Mimi. Adik
kelas yang manis itu sudah tidak ada. Tapi, apa itu
beneran baik-baik saja?
“Tidak.”
Berempati
dengan perasaan orang lain memang menyakitkan. Aku tidak akan lagi mereset
emosiku. Karena aku sadar itu hanya bentuk
pelarian diri.
Semua
orang hidup dengan membawa rasa sakit.
Dan itu— adalah normal.
Aku
menatap punggung Sasami sambil berpikir demikian.
◇◇◇◇
Aku,
Sasami Mimi,
sendirian di kelas.
“Ne,
Sasami-chan, bagaimana kalau kembali
ke klub atletik? Kamu sudah berusaha keras, 'kan...”
Nakajima-san dari klub atletik berbicara
padaku. Nakajima-san adalah gadis yang sangat baik, tidak seperti
aku.
Sebagian
besar orang-orang di dalam kelasku merupakan anggota klub
atletik. Aku juga anggota klub atletik sebelumnya. Hanya anak manja yang
dimanja oleh kakak kelas.
“—Eh?
Aku tuh anak yang dibenci, ‘kan? Jadi
mana mungkin aku bisa kembali, haha.”
“Sasami-chan...
Itu tidak benar! Semua orang ingin kamu
kembali!”
Itu sama sekali tidak benar. Selain anak
ini, tidak ada yang mau
berbicara padaku.
Aku
keluar dari klub di tengah-tengah dan
dipandang sinis. Peringkatku di kelas langsung jatuh. Dunia
anak-anak memang sulit dipaham. Hanya keluar dari klub saja, langsung dipandang
rendah... Mungkin ada sesuatu yang tidak terlihat oleh orang dewasa di dunia
anak-anak. Ketika satu orang angkat bicara, semua orang pun
ikut-ikutan.
Hanya
keluar dari klub saja, sudah ada dinding dan hierarki kelas. Aku tidak
melakukan hal buruk. Semua orang bersemangat dalam klub, kecuali aku yang
keluar. Begitu ada yang berbicara, yang lain langsung ikut-ikutan. Secara
bertahap, atmosfirnya menjadi padat dan mengendap, kemudian menyebar ke
sekitar. Dan akhirnya aku sendirian.
Sekarang
jam istirahat, aku makan bekal makan siangku yang kubuat sendiri. Makanan murah
yang kubeli di supermarket, dihitung sehemat mungkin. Penampilannya tidak
penting. Tapi, Ibu bilang rasanya enak.
Sebelum
keluar dari klub, saat jam makan siang, temanku dari kelas akan mengelilingiku.
Tapi
sekarang tidak ada siapa-siapa.
Aku
mendengar bisikan-bisikan jahat dari gadis-gadis sekelas. Mereka mengejek dan
mengolok-olokku yang mendapatkan perhatian dari senior, dan membuat masalah.
Entah kenapa, hatiku sedikit sakit. Tapi, apa yang kulakukan pada senpai itu tidak ada apa-apanya....
Gunjingan
seperti itu tidak masalah. Aku harus tetap kuat.
Aku hanya
ingin bisa berlari.
Berlari,
berlari, supaya suatu hari Toudo-senpai
bisa melihat perubahanku. Itulah sebabnya,
“Nakajima-san, sudah cukup. Jika kamu terlalu dekat denganku, Nakajima-san juga bisa dijauhi.”
Aku mendengar
ada suara yang memanggil Nakajima-san di pintu kelas. Aku
melihat ke sana dan ada anggota klub atletik dari kelas lain. Aku merasa
sedikit canggung dan mengalihkan pandanganku... Aku tahu itu tidak konsisten. Rasanya sulit untuk menjadi kuat.
“Ah,
tunggu sebentar! Aku akan segera ke sana. ...Sasami-chan, sampai nanti ya—”
Nakajima-san pergi meninggalkanku.
Sekarang aku benar-benar sendirian.
Tidak
apa-apa, rasanya lebih
baik sendirian
sekarang. Aku menghela napas lelah.
Aku tidak
cukup berbakat untuk bisa ditempatkan di
kelas khusus yang penuh dengan monster. Aku hanyalah
gadis biasa.
Aku tidak
punya bakat apa pun. ...Aku hanya beruntung saja
bisa bertemu Toudo-senpai.
Jadi aku harus berusaha keras.
Bahkan jika
aku makan siang sendirian, aku
tidak merasa sedih atau kesepian. Aku yakin kalau Senpai pasti lebih merasa sedih.
Entah
sejak kapan, Senpai-lah yang menjadi standarku.
Senpai
yang telah kusakiti. Aku tidak bisa mengungkapkan
penyesalanku dengan kata-kata.
Setiap kali aku mengingatnya,
dadaku terasa sakit.
——Aku
baik-baik saja. Walaupun aku hanya gadis biasa
saja, tapi hatiku kuat.
Jadi,
meskipun aku tak bisa mengobrol
lagi dengan Senpai, aku baik-baik saja. Sendirian di kelas juga baik-baik saja.
Berlari adalah penebusan dosaku. Entah itu benar atau salah, tapi aku tidak sanggup menahannya jika tak
berlari.
...Perutku
tiba-tiba sakit. Bekal makan siangku masih tersisa sedikit, tapi aku harus pergi ke toilet. Aku meninggalkan kotak bekalku di
atas meja dan pergi.
Saat aku kembali ke dalam kelas, gadis-gadis dari klub atletik berhenti berbicara.
Mereka menyunggingkan senyum yang menyebalkan di
wajah mereka.
Saat
pertama kali masuk ke dalam klub, aku akrab dengan mereka,
dan kami mengobrol bersama saat istirahat makan siang.
Obrolan
kami memang tidak penting, tapi ada semacam rasa solidaritas, dan kami bisa
berteman melalui klub.
Tapi
sekarang, tidak ada siapa pun di sekitarku.
Menjadi
kuat sendirian.
Aku sama
sekali tidak berpura-pura kuat. Karena aku yakin Toudo-senpai pasti jauh
lebih menderita....
Aku
melihat ke mejaku. Aku melihat bahwa kotak
bekalku tidak ada di atas meja. Kotak bekalku justru
terjatuh ke lantai... Isinya berserakan.
Aku
bekerja keras mencari bahan makanan murah di supermarket, dan membuat bekal
dengan penuh semangat.
Rasa
sedih lebih mendominasi daripada marah.
“Ah,
maaf Sasami, tadi aku menabraknya sampai jatuh.”
“...Begitu.”
Mantan
anggota klub atletik itu memberitahuku tanpa rasa bersalah. Mereka tidak ada niat untuk
membereskannya. Aku tidak peduli. Aku ingin dia minta maaf pada ibuku. Perasaan
sedih tidak kunjung menghilang. Aku miskin, perutku
lapar...
Aku
menahan perasaan itu dan mulai memungut bekal yang berserakan.
Tutup
kotak bekalku pecah dan rusak. ...Apa yang harus kukatakan pada ibu? Kotak
bekal ini merupakan kotak bekal yang sudah
kupakai sejak kecil. Tidak, jangan pikirkan apa-apa.
Aku
diam-diam memungut lauk yang berserakan.
Seorang
siswa laki-laki yang jarang kuajak bicara, Samejima-kun, mendekatiku.
“Sasami,
aku bawakan lap pel.”
“Ah,
terima kasih.”
“Hehe,
tidak masalah kok. Aku akan bantu membereskannya,
jadi lain kali ayo kita
karaokean bareng? Kamu pasti punya banyak waktu senggang setelah
keluar dari klub atletik, ‘kan?”
Aku pikir
aku bisa sedikit merasakan kebaikan orang lain. ...Tapi aku segera menyadari bahwa itu berbeda. Samejima
hanya memperhatikan dadaku. Niatnya yang buruk membuatku jijik. Tapi aku tetap
menahannya. Karena marah di sini tidak akan membantu apa-apa dan tak ada
gunanya. Aku menekan perasaanku.
“....Terima kasih untuk lap pelnya. Tapi maaf, aku
tidak bisa ikut karaoke.”
“Hah?
Aku cuma mau bantu, kok. Kamu pikir aku beneran
mengajakmu, mana mungkin kali?
haha.”
Bukan
niat jahat, tapi juga bukan kebaikan, apa ini? Sangat sulit. Apa yang harus
kulakukan?
“...Maaf.”
...Aku
ingin bertemu Michiba-san.
Michiba-san
berjuang sangat keras.
Meskipun dia tidak terlalu pintar, tapi dia berusaha keras belajar.
Aku sama
sekali tidak bisa apa-apa. Aku harus lebih berusaha.
“Apa
sih... Kamu dingin sekali. Kalau tidak bercanda, kamu akan semakin dikerjai
lho. ...Kotak bekalmu, aku benar-benar tidak sengaja.”
Samejima-kun bergumam pelan dan menjauh
dariku.
Entah itu tidak
sengaja atau tidak, aku sudah
tidak peduli.
“Samejima~
Kamu suka Sasami, ya? Seleramu menjijikkan
sekali.”
“H-Hah? Bukan begitu! Habisnya dia
'kan pernah menyukai Shimizu-senpai,
'kan? Selera yang buruk sekali. Bu-Bukannya
aku punya perasaan kepadanya atau semacamnya.”
Samejima
mulai bergosip dengan gadis-gadis klub atletik. Yang terdengar adalah lelucon
mengolok-olokku.
Aku
meringkuk kecil dan mengusap lantai dengan lap. Tidak apa-apa, itu bukan masalah besar. Sekolah tidak
penting bagiku. Aku akan menghapus semua pikiran itu. Aku tidak butuh tempat
untuk bersandar.
...Hanya
dengan keluar dari klub, hubungan sosial remaja SMA bisa runtuh.
Meskipun
aku tidak peduli, suara teman-teman
sekelasku tetap terdengar di telingaku.
“Dia
sudah jatuh, ya.”
“Padahal dulu
dia manis, lho.”
“Sikapnya
buruk, sih.”
“Dia
tidak mau diajak main.”
“Aku
tidak suka sikapnya yang menjilat.”
Aku hanya mendengar potongan-potongan suara.
Aku ingin
menutup telingaku, tapi
aku tetap mendengarkannya.
Karena
itu menyakiti hatiku. Aku merasa dihukum. Itu satu-satunya saat aku merasa
dimaafkan, meskipun tak pantas.
Aku sudah
muak dengan segalanya. Jadi, aku... membuang kotak bekal yang rusak itu ke
tempat sampah.
Lalu, aku
menelungkupkan diri di atas meja.
Tanpa kusadari, jam pelajaran
sudah dimulai. Meskipun aku harusnya tidur nyenyak, rasa lelah di tubuhku tak
hilang. Guru memarahiku. Teman sekelas kembali menertawakanku. Aku hanya bisa
menunduk.
Entah
kenapa, Samejima terus menggangguku saat jam istirahat. Aku
berpura-pura tidur untuk menghindarinya. Ketika Bel pulang berbunyi, aku segera
keluar kelas paling awal. Aku ingin berlatih cepat. Aku ingin berlari cepat.
Berlari bisa membuatku melupakan segalanya.
Saat aku berjalan cepat di koridor, aku
mendengar suara memanggilku dari belakang.
“Sasami-chan!
Tunggu!"
Nakajima-san mengejarku.
“Sasami-chan...
wajahmu pucat sekali... Ayo, kita lari
bersama di klub atletik. Semua orang menunggumu!”
Tidak,
tidak ada yang membutuhkanku.
Aku tidak
cukup disiplin, jadi—
“Aku
baik-baik saja... Nah, kamu nanti terlambat ke klub atletikAku keluar dari klub
atletik dan bersenang-senang! Jadi tolong jangan khawatir.”
“Bukan
begitu!”
“Heh?”
Teriakan
keras Nakajima-san
membuatku mengeluarkan suara aneh.
Apa yang
terjadi?
“Me-Melihat Sasami-chan membuatku
sedih. Kamu berhenti dari klub dan terlihat
sendirian... Hei, ayo kita lari bersama? Nanti lama-kelamaan
kamu bisa hancur lho,
Sasami-san?”
Aku
baik-baik saja. Aku bisa sendiri. Orang biasa harus berusaha keras untuk bisa
maju.
“.....Terima
kasih. Tapi aku harus pergi latihan.”
Sebenarnya
hari ini aku harus pergi bekerja paruh waktu. Latihan bisa dilakukan setelah
kerja, aku bisa lari di mana saja. Aku harus berlatih...
Ketika melihat
Nakajima-san, hatiku jadi melemah. Aku ingin
sekali memegang tangannya, tapi aku harus menahannya.
Aku harus
menyiksa diriku lebih keras lagi agar bisa menjadi lebih kuat — aku harus lebih
disiplin.
Kalau aku
tidak bisa berlari lebih cepat——aku tidak bisa menghadap Senpai.
Aku
mengganti sepatu dengan sepatu kets di loker.
“Ah,
tunggu—”
Aku
meninggalkan Nakajima-sa dan
mulai berlari sekencang-kencangnya. Aku tidak tahu kenapa aku mulai berlari,
tapi hatiku terasa semakin berat.
Tubuhku
yang tidak terlatih dengan baik tidak bisa bergerak dengan lancar. Aku merasa kalau aku cepat
kehabisan napas pada saat itu juga.
Sepatu
kets tidak bisa meredam benturan dengan tanah, jadi kakiku terasa sakit. Tapi aku tetap berlari.
Aku keluar dari gerbang sekolah dan menuju ke distrik
pertokoan.
Semua orang
memiliki penderitaan mereka sendiri. Aku adalah wanita yang
licik. Aku tidak pantas kembali ke klub atletik. Gara-gara aku, Shimizu-senpai
juga jadi dikeluarkan dari klub.
Awalnya ia berbeda. Dia selalu ragu-ragu dan bimbang. Tapi sejak ia menjadi kapten, Shimizu-senpai
berubah. Posisi bisa mengubah seseorang, baik dalam arti positif maupun
negatif. Aku hanya mengemis perhatian dari Shimizu-senpai.
Semuanya karena salahku.
Aku
berbohong pada perasaanku sendiri, dan menjelekkan senpai-ku—
Latihan
pagi bersama Senpai kembali terlintas di
kepalaku.
Walaupun ia
orang yang canggung, tapi baik hati dan dapat diandalkan — waktu yang kuhabiskan bersama Senpai itu menyenangkan. Tapi itu
tidak akan kembali lagi. Itulah
dosaku.
Air mataku keluar dengan sendirinya. Padahal
aku sudah menangis tersedu-sedu
sampai air mataku mengering.
Aku tidak
berhak bersedih.
Karena—— ah.
Aku tidak
memperhatikan sekitar. Meskipun aku berlari di
distrik pertokoan, aku masih berlari sekencang-kencangnya.
Aku
menabrak sesuatu yang keras dan besar—
Aku terjatuh ke tanah.
“Kamu! Apa kamu tidak
apa-apa?”
Saat aku
mendongak, ada pria bertubuh besar dengan baju tanktop berdiri di sana. Pria
kurus di sampingnya lah yang
memanggilku dengan khawatir. Orang-orang di sekitar kami semua bertubuh besar
dan berotot seperti keluar dari komik. Kepalanya
botak dan banyak bekas luka di wajahnya.
Ah, aku
harus minta maaf—
Aku
tergesa-gesa mencoba berdiri. –Aduh?! Ada rasa aneh di kakiku, jangan-jangan...
kakiku terkilir?
Aku merasa panik merasakan sensasi itu.
Aku tidak
boleh terluka. Aku harus jadi lebih cepat...
Pria
besar itu membungkuk untuk menyamakan pandangannya denganku. Tatapan matanya
yang tajam menusuk diriku. Dia mengulurkan tangannya. Aku tidak bisa memahami
apa maksudnya. Rasa takut membuat
pikiranku berhenti.
Aku takut,
aku takut, aku takut. Tulang belakangku terasa
membeku. Aku harus meminta
maaf— tapi rasa takut membuatku tidak
bisa mengeluarkan suara, kakiku gemetar dan tidak bisa berdiri.
Pada saat
itu, sesuatu yang hangat diletakkan di kepalaku—
Aku mendengar
suara dari belakangku.
“...Maaf,
sepertinya muridku telah membuat kesalahan. Kami
minta maaf yang sebesar-besarnya.”
“Fueh?”
Aku tidak
menyangka suara memelas itu keluar dari mulutku. Senpai tiba-tiba mengangkatku
dan membuatku berdiri. Ya, aku bisa berdiri dengan baik.
Senpai
menatap lurus ke mata pria besar itu sambil membungkuk.
Ah, aku
juga harus minta maaf, senpai tidak perlu minta maaf, itu bukan salahnya—
“Ma-Maafkan
aku...”
Aku juga
membungkuk minta maaf.
Dadaku
berdebar-debar. Terlalu banyak hal yang terjadi sampai-sampai aku tidak mengerti apa-apa.
Rasa bersalah
mencekik dadaku. Gara-gara aku, senpai jadi harus minta maaf—
Pria
besar itu mendengus.
“Cih
- itu ulah anak kecil. Tidak penting. ...Tapi kamu
harus mengawasi muridmu dengan benar.”
“Baik,
aku akan lebih berhati-hati. Kami
permisi—”
Pria
besar itu menatap tajam wajah Toudo-senpai.
“—Tunggu.
Kamu bukan orang biasa-biasa saja, ‘kan?”
“Maaf,
aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan. Aku hanyalah siswa SMA biasa.”
Tiba-tiba
aku merasa pergerakan tangan
pria besar itu. Entah bagaimana caranya, senpai sudah melakukan kontak fisik dan menangkap erat tangannya. Gerakannya terlalu cepat,
aku tidak bisa mengikutinya...
“Tempat
ini bukan untuk itu.”
“Ah,
maaf. Aku sedang jengkel
dengan pekerjaan yang membosankan. Jadi kamu
hanya siswa SMA biasa ya. ...Hidup seperti itu juga tidak buruk. Maaf sudah
mengganggu! Kalian nikmati masa muda kalian, hahaha!”
Pria
besar itu menepuk pelan bahu senpai dengan wajah sedikit sedih, lalu masuk ke
dalam mobil yang terparkir di sana dan pergi.
Hanya ada aku dan Senpai saja yang
tersisa di sana.
◇◇◇◇
“Kapten, apa-apaan
dengan anak tadi itu?”
“Entahlah.
Ia jelas-jelas bukan manusia biasa. Ia sudah mengambil langkah yang
lebih maju dari kita. Kalau aku tidak serius, kalian tidak akan bisa
mengalahkannya.”
“Tida, tidak,
mana mungkinlah!? Ia
cuma terlihat seperti siswa SMA biasa dengan
sedikit latihan saja kok?”
“Bukan hanya 'sedikit', tapi ia benar-benar
bukan manusia biasa! Meskipun aku bisa mengalahkannya, tapi kalau kamu sih mustahil.”
“Hah,
kamu seriusan, kapten? Begini-begini
aku
juga seorang pro lho?”
“Ada
beberapa orang aneh di industri ini.
Orang-orang dengan kemampuan fisik luar biasa dan keterampilan khusus. Kamu juga dikalahkan dengan mudah
oleh si bodoh Shimafuji
itu, 'kan? Cepat pergi bekerja, Shimafuji
sudah menunggu. Kamu tidak
mau dimarahi Eri, 'kan? Cepatlah.”
“Oke.”
“Tch,
baik Shimafuji maupun orang-orang itu, mereka semua bukan siswa SMA biasa... Tapi,
ternyata ada jalan seperti itu juga ya...”
“Ah,
ngomong-ngomong, Master
katanya sekarang punya restoran makanan Barat di sekitar sini. Ayo kapan-kapan kita mampir nanti!”
“...
Bodoh, kalau kami bertemu dengannya, pasti akan jadi suasana tidak enak. Dia
pasti hidup bahagia dengan anak yang pernah kami temukan waktu itu. ... Biarkan saja dia.”
“Oke...
Begitu ya.”
“Dunia
yang kita tempati sudah berbeda sekarang.”
◇◇◇◇
Pikiranku
menjadi kosong. Kesadaranku mulai
kembali. Aku belum melakukan apa-apa.
Aku tidak
boleh mendekati Senpai!!
“Se-Senpai, te-terima kasih... A-Aku—”
Saat aku mencoba bergerak, aku merasakan rasa sakit yang mirip seperti aliran listrik menjalar
di kakiku.
Aku harus
pergi dari sini agar tidak merepotkan Senpai.
Aku lebih
memilih kakiku patah daripada menimbulkan masalah pada Senpai. Ia
tidak perlu melihat pertumbuhanku
Aku harus
segera menghilang dari hadapan Senpai—
Aku
mencoba berlari dengan mengerahkan tenaga di kakiku. ... Tapi aku tidak bisa
bergerak.
Senpai
mencengkeram kerah bajuku, seperti sedang menangani
seekor kucing.
“Aku
akan memeriksa keadaan kakimu. Kamu bisa
duduk di bangku taman di belakang Kaguraza. Naiklah, Sasami.”
Senpai
membungkuk membelakangiku. Aku berpikir keras. Aku tidak boleh salah memilih di
sini. Aku harus menjadi lebih kuat supaya
bisa berhadapan dengan Senpai.
“Ma-Masih tidak boleh. Aku tidak ingin merepotkan
Senpai...”
Senpai
berkata “Hmm, kalau begitu,” lalu berdiri... dan mengangkat
tubuhku!?
Tangan
Senpai menyangga kakiku, dan punggungku ditopang. In-Ini, ‘kan...
gendongan ala putri!?
“Kunci
lengan dan kakimu. Kita berangkat—”
Isi kepalaku
menjadi kacau. Meskipun ada rasa bersalah pada Senpai,
tapi sekarang aku merasa sangat malu sampai-sampai
hampir menjadi gila.
Rokku
mungkin terangkat, jadi celana dalamku terlihat. Tapi Senpai pasti tidak
peduli.
Aku
mencium aroma Senpai—
Aroma itu
mengingatkanku pada kenanganku
bersama Senpai. Itu sangat menyenangkan. Itu bukan kehidupan sehari-hari biasa.
Itu hari-hari yang sangat berharga.
Senpai
yang selalu berlatih bersama denganku. Aku suka menggoda Senpai dengan candaan.
Aku suka melihat ekspresi Senpai yang sedikit kesal. Aku teringat akan dosaku
sendiri. Aku tidak boleh manja dengannya.
Senpai....Aku tidak ingin kamu bersikap baik padaku—
Aku tidak
pantas untuk menerima kebaikanmu itu.
“—
Sasami, aku melihatmu berlari. Kamu
sudah semakin cepat ya.”
Kata-kata
yang tiba-tiba itu menghancurkan seluruh diriku—
Aku tidak
bisa menahan isak tangis, dan hanya bisa meringkuk sambil menangis.