Ronde 7 — Suzufumi no Ba~ka ②
Bagian 2
Pukul 7
pagi. Aku terbangun sebelum alarm ponselku berbunyi.
Aku hampir
saja berteriak ketika melihat ada seorang
gadis cantik yang sedang
tertidur pulas di depanku.
Beberapa
detik kemudian, aku teringat bahwa aku berbagi selimut dengan seorang gadis idol.
Bahkan setelah
semalam berlalu, jari-jaemri Yuzuki
masih menggenggam tanganku.
Dengan
sedikit berat hati, aku perlahan-lahan
melepaskan genggamannya dan bangun. Setelah membenarkan selimut Yuzuki, aku
pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan gosok gigi, lalu menuju ke dapur.
Meski aku sudah mencuci tangan sebelum
memasak, aku masih bisa merasakan bekas sentuhannya semalam. Aku berharap
Yuzuki juga masih merasakan hal yang sama saat dia bangun nanti.
“Baiklah,
hari ini ayo buat Yuzuki senang lagi!”
Meskipun makan malam di ryokan biasanya
yang paling menonjol, tapi menu sarapannya juga tak kalah penting. Sarapan
di ruangan bergaya Jepang yang luas dan tenang ini
punya nuansa berbeda dari di rumah.
Tapi aku tidak perlu menyiapkan menu
yang aneh-aneh. Justru untuk saat seperti ini, menu yang biasa pun sudah cukup
membahagiakan.
Pertama-tama,
aku menyiapkan sup miso. Aku menggunakan miso kedelai, dengan irisan jamur
shimeji dan tahu. Teksturnya yang lembut pas untuk sarapan.
Selanjutnya
aku membuat telur dadar yang tebal.
Aku menambahkan sedikit kecap asin, dan
potongan daun bawang untuk menambah teksturnya.
Menu
wajib sarapan bergaya Jepang bagiku adalah sosisnya. Aku membelah sosis menjadi dua, lalu
membuat sayatan di permukaannya. Sosis yang dipanaskan akan membuka menjadi
delapan kaki.
Terakhir,
aku mengisi mangkuk dengan nasi putih hangat.
Aku
membawa semua hidangan di atas nampan kembali ke ruangan bergaya Jepang. Yuzuki masih terlihat
seperti sedang bermimpi, wajahnya tanpa tak berdaya. Aku ingin sekali menyolek pipinya, tapi aku berhasil menahannya.
Aku
meletakkan sarapan di meja rendah, lalu membuka gorden. Sinar matahari pagi
menyeruak masuk, membuat Yuzuki mengernyitkan wajah.
“Ayo, sekarang sudah pagi. Cepat bangun.”
“Iya~...”
Ketika Yuzuki
bangun dengan mengangkat tubuh
bagian atasnya, rambut
hitamnya yang acak-acakan terurai. Sepertinya dia lemah terhadap pagi hari,
karena matanya masih terpejam sementara tubuhnya berayun ke kiri-kanan seperti
metronom.
Ekspresinya
yang begitu santai ini terlihat menyeegarkan. Sisi lain Yuzuki yang belum pernah kulihat
ini membuatku berdebar.
Setelah
beberapa saat dalam keadaan setengah
tertidur, Yuzuki mulai mengendus-endus.
“Hngh...
Wangi makanannya enak...”
Dia
tersenyum lebar. Tampaknya dia belum sepenuhnya sadar.
Untuk
mengujinya, aku mencoba mendekatkan piring berisi sosis dan
telur dadar ke hidungnya.
“Uhee~... Sosis renyah dan sedap dengan telur dadar yang kuat
bumbu kecap asinnya, pas banget dengan nasi... ♥”
Dia mulai
menilai makanan dalam mimpinya.
“Kuah
sosis yang merembes keluar saat digigit, benar-benar lezat... ♥
Makin banyak dikunyah, semakin terasa kelezatan dagingnya... ♥
Ah, telur dadarnya juga ada irisan daun bawang, aromanya menyegarkan untuk
sarapan pagi... ♥”
Bagaimana
mungkin dia bisa mendeteksi semua itu hanya dari indera
penciuman? Kemampuan penciumannya benar-benar luar biasa.
Kalau
begitu, aku akan mencobanya lagi dengan mendekatkan
mangkuk sup miso di depan hidungnya.
“Kekentalan dan kelegitan dari dashi merah, dengan sedikit
rasa pahit yang menyegarkan ♥... Jamur
shimeji dan tahu rasanya jadi tenang... ♥”
Tebakannya
yang sangat akurat membuatku takjub sekaligus ngeri, rasanya seperti bertemu musuh kuat yang bisa membaca
setiap seranganku.
Maka dari
itu, aku segera kembali ke dapur untuk menyiapkan menu tambahan.
Meski ini
sarapan bergaya Jepang, tidak ada salahnya
juga membuat menu lain.
Aku
membuat pancake dengan tepung terigu, telur, gula, garam, susu, dan ekstrak vanila, lalu melumurinya dengan sirup maple. Sebagai
pelengkap, aku menambahkan irisan bacon garing. Manisnya pancake dan bacon yang asin adalah kombinasi klasik yang
pas.
Setelah
menambahkan banyak krim segar di atasnya, aku kembali membawa nampan itu ke
ruangan.
Baru saja
aku menjejak tatami, Yuzuki mulai bergumam dan menggerakkan rahangnya seakan-akan sedang mengunyah.
Tunggu,
harusnya dia masih di luar jangkauan penciumannya!
“Tekstur
pancake yang ringan langsung lumer di mulut, tanganku tak bisa berhenti
memotong dan mengunyahnya ♥...
Adonannya pakai tepung dengan gluten rendah, jadi lembut dan mengembang ♥...
Kombinasinya dengan krim dan bacon yang renyah dan asin membuatku bikin ketagihan... ♥...munya”
Game
sempurna, tercapai.
Bahkan
dalam keadaan mengigaunya, Yuzuki
tetaplah Yuzuki.
“Ah!”
Tiba-tiba
Yuzuki membuka matanya dan celingukan ke
sekelilingnya.
“Barusan
aku kayaknya sedang memakan
makanan enak di dunia mimpi!”
Seberapa
besar obsesinya pada makanan sih?
Kalau saja dia tak sukses jadi idol, dia pasti akan jadi bintang kuliner nomor
satu.
“Selamat
pagi, Yuzuki. Sarapan sudah siap.”
Saat
melihat hidangan di nampan, sorot mata Yuzuki langsung tajam.
“Aku
tidak akan menyerah!”
“Tenang
saja, itu sudah terlambat.”
☆ ☆ ☆
Pada
akhirnya, Yuzuki tidak hanya menghabiskan hidangan campuran Jepang dan Barat, tapi
dia juga menghabiskan sisa tempura kemarin. Aku sih senang-senang saja karena akan lebih mudah
beres-beres saat check-out nanti.
“Malam
ini mau bagaimana? Apa kamu mau menginap satu malam lagi?”
Pertanyaan
itu sebenarnya tidak diperlukan. Yuzuki diam-diam menggeleng.
“Hari
ini aku pulang saja.”
“Ah,
kurasa itu memang yang terbaik.”
Dibandingkan
semalam, keadaan Yuzuki
sepertinya sudah agak membaik.
“...Tapi,
aku masih merasa cemas. Apa aku bisa menyampaikan perasaanku dengan benar? Bagaimana
kalau aku jadi emosional lagi? Ruru-san mungkin sudah bosan padaku...”
Itu sih hal
yang mustahil. Yuzuki mungkin tidak
mengetahuinya, tapi Emoto-san datang ke apartemenku dan meminta maaf langsung
padaku, rivalnya. Rasa sayangnya pada Yuzuki itu tulus.
...Selain itu.
Tadinya
aku tidak berniat mengatakannya, tapi
kalau itu bisa membuatnya tenang, kurasa tidak masalah untuk membocorkannya.
“Yuzuki.
Dari menu kemarin malam dan pagi ini, mana yang
paling kamu sukai?”
Pertanyaan
mendadak itu sempat membuat Yuzuki bingung, tapi kemudian
dia segera menjawab.
“...Udang
tempura. Rasa dagingnya empuk
dan enak.”
“Begitu
ya. Kalau begitu, kurasa kamu
tidak perlu khawatir.”
“Lho,
aku sama sekali tidak mengerti maksudmu.”
“Karena aku
mendapat udang itu dari Emoto-san.”
“...Hah?”
Kemarin,
saat datang meminta maaf, Emoto-san
memberikan banyak barang sebagai permintaan maaf —
handuk mandi dari Imabari,
kopi drip yang dipakai room service hotel bintang lima, paket deterjen, tisu
basah, dan kue Financier dari toko kue ternama.
Dan juga
udang besar.
Udang
adalah bahan makanan yang biasa dipakai untuk acara perayaan atau osechi. Kalau
perusahaan biasa, bisa jadi malah membuat mitra marah karena merasa
dipermainkan.
Tapi
dalam surat yang dikirimkan bersama udang itu, tertulis:
“Sewaktu kami menikmati makanan di restoran Jepang sebelum
debut, Yuzuki terlihat sangat bahagia saat memakan tempura udang. Tolong gunakan bahan ini untuk membuat
tempura udang lagi.”
──Tapi makanan di restoran Jepang yang kami
kunjungi sebelum debut,
rasanya enak sekali.
Semalam,
Yuzuki menceritakan salah satu peristiwa berkesan itu, yaitu rapat rahasia di
restoran Jepang. Rupanya
itu juga menjadi kenangan tak terlupakan bagi Emoto-san.
“Orang
itu masih menyayangi Yuzuki. Bertengkar sekali atau
dua kali merupakan hal yang biasa.
Bagaimanapun juga, kalian berdua ‘kan mirip
seperti kakak-adik.”
Mungkin
yang sebenarnya tidak bisa dimaafkan Yuzuki adalah kelemahannya
sendiri, bukan Emoto-san.
Karena Yuzuki selalu ingin menjadi sosok idaman, dia merasa bersalah telah
memperlihatkan sisi emosionalnya.
“Yuzuki,
kamu tinggal mengatakan apa yang
ingin kamu katakan kepada Emoto-san, dan lakukan apa yang
ingin kamu lakukan. Kamu tidak perlu merasa ragu-ragu.”
“Tapi,
bagaimana kalau kami malah bertengkar
lagi...lagipula, semuanya berawal dari masalah untuk
mengurusku....”
“Aku
akan menemanimu. Aku sudah pernah bilang,
‘kan? Aku adalah pendukung utama
Sasaki Yuzuki.”
“...Oke.”
Senyum
Yuzuki sedikit melebar.
Tapi wajahnya terlihat suram, seolah-olah
kecemasannya masih belum
sepenuhnya hilang.
“Jangan
terlalu khawatir begitu. Itu tidak seperti dirimu,
Yuzuki.”
“Bukan
begitu. ...Misalnya, misalnya
saja aku dan Ruru-san bisa berbaikan, lalu bagaimana denganmu, Suzufumi?”
“Apanya?”
“Maksudku...
Apa kamu akan berhenti merawatku?”
Matanya
yang sedikit berkaca-kaca menatapku.
Perkataannya
benar-benar tak terduga. Aku agak merasa tersinggung.
“Aku memang
akan mendukung masalah berbaikanmu
dengan Emoto-san,
tapi aku tidak
ada niat sedikit pun untuk menyerahkan posisiku sebagai pengasuhmu.”
Aku
mengeluarkan kotak persegi panjang yang dibungkus rapi dari dalam tas, lalu
menyerahkannya pada Yuzuki.
“...Umm, ini hadiah dariku.”
Aku bisa
merasakan kalau pipiku memanas.
Aku merasa sangat malu sampai-sampai aku tidak berani menatap wajah Yuzuki
dengan benar.
“Eh,
tapi ulang tahunku masih lama...”
Yuzuki
mengerjapkan matanya dengan
bingung. Wajar saja, tiba-tiba diberi hadiah pasti membuatnya kaget.
“Ini bukan
untuk ulang tahun. Aku memberinya kepadamu
karena aku memang ingin memberikannya.”
Tidak ada
hubungannya dengan hari-hari spesial, aku hanya ingin memberikannya.
Atau bisa
dibilang ini semacam pernyataan.
Yuzuki
menerima hadiah itu dengan ragu-ragu.
“...Boleh
aku membukanya?”
Saat aku menanggapi dengan mengangguk,
Yuzuki dengan hati-hati mulai melepas
bungkus hadiahnya. Begitu
isinya terlihat, matanya terbelalak.
“Ini
kan...”
Sendok,
garpu, dan pisau, semuanya berwarna perak dengan kilau cemerlang.
Sedangkan
sumpit dibuat dari kayu lapis yang dicat pernis, dengan ukiran lambang bulan di
bagian gagangnya.
Isinya
adalah satu set peralatan makan.
Aku
menjelaskan dengan terburu-buru.
“Yah,
setelah kupikir-pikir, hanya membuatkan makanan saja tidak cukup untuk membuatmu
jatuh cinta pada masakanku. Kalau punya peralatan makan pribadi, makan
sehari-hari juga pasti jadi lebih menyenangkan, ‘kan?
Kamu juga selalu mencoba berbagai
cara untuk mendekati seseorang, jadi sekali-kali aku juga ingin pakai metode
yang berbeda dari biasanya...”
Di
saat-saat terakhir, aku memaksa diri untuk memberi alasan yang masuk akal.
Padahal aku sendiri yang sombong padanya.
Mengungkapkan
perasaan terdalam memang menakutkan.
“...Tidak,
lupakan saja perkataanku yang
tadi.”
Meskipun terasa menakutkan, aku
harus mengatakannya. Aku ingin dia mengetahuinya.
“Aku
tidak ingin Yuzuki direbut oleh siapapun. Bahkan oleh
Emoto-san sekalipun. Aku ingin Yuzuki paling antusias menyantap
masakanku.”
Aku berhenti sejenak untuk menarik
napas dalam-dalam, lalu dengan tegas menyatakan,
“Aku
ingin menjadi orang nomor
satu bagi Yuzuki.”
Perkataanku
memang nyaris terdengar seperti pernyataan cinta. Tapi
bahkan tanpa nuansa romantis pun, kata-kataku tak akan berubah.
“...”
Yuzuki
hanya terdiam menatap set peralatan makan itu.
Aku mulai
menyesali ucapanku sendiri setelah merasa
sedikit tenang.
Apakah aku terlalu berlebihan? Menyatakan
cinta sambil memberikan hadiah, aku hanya terlihat seperti fans fanatik yang
merepotkan. Tapi sekarang sudah
terlambat untuk berkelit.
“...Suzufumi.”
“I-Iya?”
“Coba berbalik sebentar.”
“Eh?”
“Cepatlah, ayo
berbalik.”
Nada
suara Yuzuki terdengar kaku. Seolah-olah dia sedang
menahan kemarahannya.
Mengikuti
perintahnya, aku membalikkan tubuh menghadap dapur. Semoga saja dia tidak
langsung pergi dari sini, atau bahkan memukul punggungku dengan tendangan sembari berkata “Itu menjijikkan!”. Setidaknya untuk saart ini, aaku harus
tetap kokoh berdiri, apa pun yang terjadi.
Pada
akhirnya, tindakanku ternyata memang tepat.
Tiba-tiba,
aku merasakan hantaman kuat di punggungku.
Aku
sempat berpikir mungkin itu tendangan, tapi kemudian lengan Yuzuki melingkari
pinggangku dari belakang.
Rupanya Yuzuki
sedang memelukku dari belakjang.
“Suzufumi no
ba~ka.”
“...Lagi-lagi
itu.”
“Bodoh.
Bodoh. Bodoh. Kalau kamu
memberikan ini, aku tidak bisa
menolak makan masakanmu lagi.”
Pelukannya
semakin mengerat. Kehangatan Yuzuki
merambat ke sekujur tubuhku.
“Jadi,
apa aku boleh menganggapnya sebagai
pengakuan kalau kamu sudah
menyerah?”
“Bodoh.”
Dia mengyundulkan kepalanya di punggungku. Rasanya sedikit sakit.
Dia
perlahan-lahan melepas lengannya di sekitar perutku. Saat
aku berbalik, Yuzuki kini memeluk hadiah dariku.
Sinar
matahari dari jendela menyinari Yuzuki dengan terang.
“Kalau
aku memang harus menyerah, asalkan orang itu adalah Suzufumi, aku sama sekali tidak keberatan.”
Senyumannya berubah menjadi senyuman yang
merekah lebar.
Ah,
meskipun dia tidak mengatakannya langsung, mau tak mau aku
merasa bahagia. Mungkin perkataannya itu jauh lebih
berharga bagiku daripada ucapan “Aku
mencintaimu”.
“Kali
ini, aku benar-benar akan mencoba menghadapi
Ruru-san dan berbaikan dengannya. Kalau
gagal, kamu harus
selalu ada untuk menghiburku, ya?”
“Serahkan
saja padaku. Aku akan mengadakan pesta penyemangat dengan masakan terbaikku.”
Kami berdua saling bertukar pandang, lalu
tertawa bersama.