Chapter 1
Wanita
yang berdiri di depan rumahku ──Kanzaki Eto.
Meskipun
dikatakan sebagai teman ibu, dia bisa dengan mudah berbohong, jadi aku tidak
begitu percaya. Tapi ketika dia menunjukkan foto lama ibu, aku tidak bisa
meragukannya lagi. Lagipula,
sudah waktunya ibu pulang, jadi aku mengajaknya masuk.
“Terus~,
Ane-san tiba-tiba menjadi lebih baik
saat mendapatkan pacar. Padahal dulu dia dipanggil 'Yashahime'! Aku
benar-benar terkejut!”
Kanzaki-san bercerita dengan riang tentang
masa lalu. Dia juga mengenal julukan 'Yasha hime' yang pernah diceritakan Seina-san,
jadi tidak diragukan lagi bahwa dia memang teman ibu.
Lebih
tepatnya, julukan ibu dan cara dia memanggilnya dengan 'Ane-san'...
pada titik ini, sekarang
aku mengerti hubungan antara Kanzaki-san dan ibu.
“Umm.... apa jangan-jangan Kanzaki-san adalah bawahan
ibu ya?”
“Benar!
Pada saat itu, Ane-san
benar-benar tajam seperti pisau! Dia menakuti banyak preman di sekitar sini!”
“...Ibu...”
“...Akemi-san... Dia benar-benar menakjubkan
ya."
Kami
hanya bisa terpana mendengarnya.
Bagi Ayana, mungkin
ini baru pertama
kalinya dia mendengar kisah keberanian ibu
dan julukan 'Yasha hime'
itu.
(Sepertinya
itu masa lalu yang memalukan bagi ibu, tapi mendengarnya dari pacarku sendiri rasanya sangat memalukan...padahal itu bukan tentang aku)
Akan tetapi.... ternyata dia memang benar-benar teman ibu.
Meskipun
ibu terlihat sangat muda, Kanzaki-san bahkan terlihat lebih muda, mungkin
seperti mahasiswi, dengan rambut pirang menyilaukan dan anting di telinga yang
memberi kesan berandalan.
“Oh,
kenapa kamu menatapku terus?”
“Tidak,
bukan apa-apa.”
Mau tak
mau aku menatapnya, dan Kanzaki-san menyeringai saat dia mendekatiku.
Aku
sempat terkejut dengan kecantikannya, yang merupakan keseimbangan sempurna
antara kecantikan dan keindagan,
tapi kemudian Ayana menyela Kanzaki-san seolah ingin melindungiku... laha Ayana-san!?
“Tolong jangan
mendekat lagi ke pacarku.”
“Huh?!”
Alih-alih
menyelanya, dia menekankan tangannya ke wajah Kanzaki-san.
Mungkin
tidak sopan memanggilnya babi, tapi Ayana mendengus dan memelototi Kanzaki-san,
yang mengeluarkan suara serupa... rupanya dia tidak menyukai kenyataan bahwa Kanzaki-san mendekatkan wajahnya ke arahku.
“Bukannya
itu kejam banget tiba-tiba melakukan itu...”
“Sudah
kubilang jangan mendekat ke pacarku.”
“Oya? Oya?
Kamu takut kalau pacarmu akan
diambil darimu?”
“Bukan
begitu, aku hanya tidak menyukainya saja.
Meskipun penampilanmu begitu, kamu jelas-jelas sudah di
usia yang tidak cocok untuk menggoda anak
SMA, 'kan?”
“...Namamu
Ayana-chan,
‘kan? Cara bicaramu lumayan
tajam juga ya.”
Aku juga
terkejut Ayana bisa
bersikap begitu tegas pada wanita asing yang terlihat menakutkan ini...padahal
dia baru pertama kali bertemu dengannya.
Untungnya
Kanzaki-san tidak marah dengan apa yang dilakukan Ayana, malah sebaliknya dia
terlihat terkesan dan bersenang-senang.
“Bukan
berarti aku meremehkanmu, tapi kamu cukup menarik. Padahal kamu seumuran dengan nak Towa, tapi kamu luar biasa.”
“Terima
kasih.”
“.....”
Entah
kenapa... Aku merasa seperti ditinggalkan.
Bukan
karena aku merasa kesepian, tapi ada
perasaan aneh── seolah-olah Ayama dan Kanzaki-san sudah sangat akrab, padahal mereka baru pertama kali bertemu hari ini.
(Sungguh aneh sekali...)
Perasaan apa
ini.....pada saat sedang
merenungkan itu, ibuku
akhirnya pulang.
“Aku
pulang~ lah, Eto?!”
“Maaf sudah
mengganggu, Ane-san!”
Kanzaki-san
merespons keterkejutan ibuku
dengan normal, tapi sepertinya mereka berudua
memang benar-benar mengenal satu sama lain.
“Kamu
terlalu tiba-tiba, tahu.”
“Ini
namanya kejutan! Nah Ane-san,
aku lapar, jadi aku boleh minta makanan yang enak enggak?”
“...Kamu
ini. Aku tidak keberatan, yapi
bagaimana dengan Towa?”
“Aku
juga tidak keberatan.”
Yah,
kalau dia memang teman ibu, aku tidak punya
alasan untuk menolak.
Sepertinya
Kanzaki-san akan ikut makan malam bersama kami, jadi kurasa lebih baik kalau aku mengantar Ayana
pulang dulu.
“Ayana, aku akan mengantarmu pulang—”
“Akemi-san,
bolehkah aku ikut bergabung makan malam juga?”
“Ayana-chan juga? Tentu saja boleh.”
“Terima
kasih♪”
Tanpa
memberiku kesempatan untuk mengatakan apa pun, Ayana akhirnya ikut makan malam juga.
Ayana berbisik meminta maaf tiba-tiba, tapi aku
tidak keberatan jika itu berarti aku bisa
menghabiskan lebih banyak waktu
bersamanya. Aku tersenyum melihat Ayana
yang imut seperti kucing.
Selagi aku mengagumi keimutan Ayana,
ibuku dan Kanzaki-san diam-diam membicarakan sesuatu.
“Ane-san,
Ane-san, meski aku
sudah mendengarnya dari telepon, tapi Nak Towa memang hebat ya!”
“Iya, ‘kan?
Dia tampan dan baik seperti ayahnya... Aku benar-benar bangga padanya♪”
Bukannya
berbisik, suara percakapan mereka
malah terdengar jelas.
Tapi...
Jarang-jarang sekali aku melihat ibu terlihat sesenang ini
dengan orang lain selain aku dan Ayana.
Mungkin ikatan mereka lebih dalam daripada dengan Seina-san.
Yah, hubungan ibu dengan Seina-san sudah jelas berbeda dibandingkan Kanzaki-san yang sudah saling kenal selama
bertahun-tahun, jadi tidak ada gunanya membandingkan mereka.
“Baiklah,
ayo kita siapkan makan malam!”
“Akemi-san,
izinkan aku ikut membantu juga.”
“Tidak
apa-apa, Ayana-chan. Serahkan saja semuanya padaku hari ini.”
“...Baiklah.”
Ayana terlihat kecewa karena usulan bantuannya ditolak,
dan aku serta ibu tersenyum melihat kelakuannya.
Ayana biasanya suka membantu ibu
memasak saat makan malam, jadi dia pasti kecewa.
“Aku
ditolak...”
“Yah,
itu artinya ibu ingin memanjakan kita.”
“Aku memang merasa senang sih, tapi... Lain
kali pasti aku yang akan membantu.”
Semangat
juang Ayana berkobar jauh di matanya, dan terlihat jelas bahwa dia bertekad
untuk melakukannya lain kali.
Saat aku
membelai kepalanya sambil berpikir ‘ternyata
sampai segitunya, ya’, Ayana
mengeluarkan suara seperti kucing yang manja dan
meminta perhatianku.
“Meski
begitu, tak kusangka kalau gadis
semanis ini bisa menjadi pacar nak Towa. Kalian memang pasangan yang serasi, tapi beruntung juga kamu bisa mendapatkannya ya?”
Ketika
aku baru saja ingin menjelaskan bahwa ada
banyak hal yang terjadi hingga sampai ke titik ini, Ayana yang tadi bersikap manja seperti kucing, tiba-tiba menyela dengan suara
keras kepada Kanzaki-san.
“Sejak
awal, aku sudah menjadi miliknya, baik fisik maupun hatiku! Jadi tidak ada
celah bagi siapapun untuk masuk di antara kami!”
Kanzaki-san
melebarkan matanya karena terkejut, seakan-akan dia tidak
menyangka bahwa Ayana akan menyatakannya dengan begitu tegas. Ayana
sepertinya tersadar dengan
ucapannya sendiri dan malu-malu, menenggelamkan wajahnya di
dadaku sambil berbisik.
“Maaf...
itu hanya sedikit rasa cemburu. Aku tahu Kanzaki-san adalah teman lama
Akemi-san, tapi aku tidak suka melihat ada perempuan
yang baru kutemui hari ini bisa dekat dengan Towa-kun...
Aku tahu itu tidak baik, tapi mau tak mau aku tidak bisa
menahannya.”
“Begitu
ya... Tapi Kanzaki-san ‘kan umurnya hampir sama dengan ibu, loh?”
“Hei nak Towa, apa kamu sedang bilang kalau aku sudah
tua?”
“Bukan
begitu maksudku—”
“Nah
Towa, kalau memang benar begitu, apa itu artinya aku juga sudah tua?”
“Bu,
bisa enggak jangan ikutan nimbrung segala? Situasinya
jadi semakin rumit, tau.”
Bukannya
di sekitarku ada banyak
perempuan yang sensitif soal usia?
Tapi memang akulah yang
salah karena memulai topik ini— dalam
kamus wanita, membahas usia dan kerutan wajah
adalah topik terlarang.
“Sudah,
tidak apa-apa, tenang saja.”
“Baik...
Haaah♪”
Aku
penasaran bagaimana ekspresi Ayana
yang sedang menenggelamkan wajahnya di dadaku.
“Itu
bagus sekali. Pemandangan bahagia memang selalu bisa membuat orang di sekitarnya
tersenyum.”
“Apa iya?”
“Sebagai
perempuan yang tidak punya pasangan, itu memang sedikit menyedihkan sih.”
Yah, aku
tidak bisa berbuat apa-apa soal itu. Tapi...
setidaknya setelah berbicara sebentar dengan Kanzaki-san, Ayana dan aku jadi lebih terbuka.
Meskipun
kami masih anak-anak sementara dia orang dewasa, entah kenapa aku merasa ada
semacam daya tampung atau sesuatu yang mirip dengan itu, seperti yang dimiliki
ibuku.
“Kanzaki-san,
apa kamu tidak mempunyai
seseorang yang kamu sukai?”
Meskipun
sedikit ragu karena mungkin terdengar tidak sopan, tapi aku tetap bertanya, dan
Kanzaki-san langsung berubah menjadi gembira dan bersemangat saat menjawab.
“Aku
lebih suka perempuan daripada laki-laki, tau.”
“...Hah?”
“......”
Bukan
berarti aku menentang homos*ksualitas
atau akan mengejek jika ada orang seperti itu. Tapi tetap saja, tiba-tiba
dihadapkan dengan pengakuan seperti itu membuatku terkejut.
Aku sendiri masih bisa mengatasinya, tapi Ayana langsung bersembunyi di
belakangku dengan cepat. Ketika melihat itu, Kanzaki-san
sepertinya panik dan melanjutkan perkataannya.
“Aku bohong
kok, itu hanya lelucon ringan! Lagian, bukannya itu terlalu kejam, Ayana-chan? Kamu tidak perlu sampai bersembunyi
seperti itu...”
“Maaf,
aku secara refleks...”
“...Tapi
reaksi menyesal seperti itu malah sedikit menyakitkan.”
Kanzaki-san
terlihat agak sedih, tapi sepertinya dia tidak benar-benar sedih.
Setelah
suasana yang ramai seperti itu, akhirnya tiba saatnya makan malam yang
ditunggu-tunggu. Menu hidangannya ada ayam goreng, nikujaga,
dan stew yang terlihat sangat lezat.
“Sudah
lama sekali aku tidak makan masakan Nee-san... Baunya saja sudah terasa luar
biasa!”
“Aku
setuju dengan Kanzaki-san.”
“Iya,
masakan Akemi-san memang benar-benar enak.”
“Wah, wah, memuji-muji begitu tidak akan
dapat apa-apa lho~”
“Bahkan
sebelum dimakan, masakannya sudah kelihatan luar biasa.”
Saat aku
mengatakan itu, Ibu tiba-tiba datang dan memelukku erat-erat. Sepertinya
pujianku tadi menyentuh hatinya, dan dia tidak mau melepaskanku meskipun Ayana dan Kanzaki-san ada di sana,
membuatku jadi merasa sangat
malu.
Setelah
membiarkan Ibu melakukan apa yang dia
inginkan, kami berempat pun mulai makan malam. Tapi
seperti saat bersama Seina-san,
begitu ada dua orang dewasa, minuman bealkohol
pun mulai dikeluarkan.
“Phuhaahhhh~,
minum bir bersama Nee-san memang yang terbaik!”
“Aku
juga setuju. Meski aku merasa tidak enakan dengan
Towa dan Ayana-chan,
tapi aku memang jadi lebih menyenangkan kalau sudah minum-minum.”
Semakin
mereka minum, kami yang masih anak-anak
semakin sulit untuk mengikuti. Jadi aku memutuskan untuk fokus saja pada
makananku.
“Ayana, bisa tolong ambilkan shoyu?”
“Baik,
silakan.”
“Terima
kasih.”
“Sama-sama.”
Jadi aku
mengabaikan mereka yang sedang mabuk dan tetap fokus pada makananku.
Tapi....tetap
saja, jika aku membiarkan Ibu dan yang lain, mereka
pasti akan mulai merengek meminta
perhatian.
“Towa
benar-benar tumbuh menjadi anak yang hebat... ia sudah sebesar ini, punya pacar
yang manis, tapi masih selalu menyayangi Ibu... Semuanya sempurna!”
“I-Ibu! Baumu seperti alkohol...”
“Apa?
Bau? Itu tidak sopan!”
Ugh,
merepotkan sekali...
Beberapa
waktu yang lalum ada pembicaraan soal bau penuaan, dan sepertinya sejak saat itu
Ibu jadi sangat sensitif soal bau. Padahal biasanya Ibu wangi, tapi rasanya
sulit untuk mengatakannya saat dia sedang mabuk begini.
“Kamu
tidak cemburu pada Nee-san, ya?”
"Tentu
saja tidak, karena Akemi-san adalah ibunya Towa-kun.
Jadi aku tidak punya alasan untuk cemburu.”
“Tapi
matamu membesar tuh.”
“Apa
kamu mengatakan sesuatu?”
“Ti-tidak,
bukan apa-apa!”
Entah apa
yang dipikirkannya... Aku menghela napas dalam hati, tapi sebenarnya aku tidak
benci suasana ramai seperti ini, malahan
aku merasa cukup menikmatinya.
Tentu
saja ada kalanya aku ingin menghabiskan waktu dengan tenang, tapi saat
orang-orang berkumpul seperti ini, rasanya lebih ramai dan meriah... Itulah yang kupikirkan
saat itu.
“...
Hei, Eto, apakah
aku sudah bisa berinteraksi dengan Towa sebagai seorang ibu yang baik?”
“Kamu ini
bicara apa, Ane-san?
Senyum Towa adalah bukti terbaiknya, bukan?”
“Tapi
bagaimana jika itu hanya senyum palsu? Ya... sejak kecelakaan itu, Towa
selalu... selalu...”
Sekilas...
hanya sekilas, pemandangan yang belum pernah kulihat muncul di benakku.
Seolah-olah
dihantui oleh perasaan tak
berdaya, pemandangan ibu yang menangis sementara
Kanzaki-san menyemangatinya... dan Kanzaki-san yang memandang ibu dengan
ekspresi mengerikan, berbeda dari yang baru saja kukenal hari ini.
“Huh...?”
“Towa?
Ada apa?”
“...
Tidak, bukan apa-apa.”
Tampaknya
aku melamun dan membuat ibuku
khawatir.
Padahal
baru beberapa saat yang lalu dia terlihat
mabuk berat, tapi ibu langsung menyadari ada yang aneh denganku dan kembali
menjadi sosok ibu yang lembut.
“Towa-kun?”
“Nak Towa?”
Sepertinya
Ayana dan Kanzaki-san juga memperhatikan sikapku dan
ibuku, terutama Ayana yang langsung mendekatiku dan merangkulku.
Aku benar-benar tidak ingin merusak
suasana menyenangkan ini, jadi aku mencoba menyembunyikan apa yang baru saja
kulihat dan mengubah suasana.
Sepertinya
Kanzaki-san menangkap keinginanku untuk
mengubah suasana, lalu dia bertanya
pada Ayana.
“Oh
iya, Ayana-chan, apa kamu tidak punya saingan
saat kanu berpacaran dengan nak Towa?”
“Saingan...?”
Pertanyaan
ini berarti, apa tidak ada gadis lain yang bersaing dengannya untuk mendapatkanku?
Memang,
aku... Yukishiro Towa adalah
seorang pria tampan, tapi tidak pernah ada gosip atau hal yang aneh terjadi di sekitarku, dan Ayana selalu di sampingku, jadi tidak
ada perempuan lain yang spesial bagiku.
Setelah
berpikir sejenak, Ayana lalu
tersenyum dan menjawab.
“Saingan
biasanya digunakan untuk merujuk pada orang yang setara, yang selalu saling
berkembang. Tapi jika itu menyangkut
Towa-kun, tidak ada gadis lain yang
bisa menyaingi posisiku."
“Wah...
kamu percaya diri sekali, ya.”
“Memang.
Dulu, saat kami masih SD atau
SMP, ada beberapa orang bodoh yang mencoba menyatakan perasaan mereka pada Towa-kun meski aku ada di
sampingnya. Tapi mana mungkin aku memaafkan mereka!”
Wow, Ayana-san... Kamu bisa mengatakannya semua dalam
sekali tarikan napas.
Aku
terkejut ada hal-hal semacam itu yang terjadi tanpa sepengetahuanku, tapi
sekarang aku tahu seberapa besar
Ayana menyayangiku. Aku tidak merasa
terganggu atau takut, karena itu memang benar adanya, bukan?
“Pokoknya,
sejak awal Towa-kun memang tampan dan
populer. Tapi karena ada aku
di sampingnyam ‘kan? Aku tidak peduli jika ada istilah kucing garong atau
semacamnya tapi aku takkan mengizinkan gadis manapun yang
bisa mendekatinya.”
“Wah...
Keren sekali."
“kamu benar-benar
keren, Ayana-chan!”
Setelah
itu, Ayana yang
mendominasi percakapan.
Dengan
terus menceritakan seebrapa besar dia menyayangiku, seberapa besar
perhatiannya padaku, ibu dan Kanzaki-san jadi semakin bersemangat, dan obrolan
Ayana membuat minuman mereka semakin
mengalir.
Aku
sendiri tidak bisa ikut bergabung dalam obrolan para wanita ini, hanya bisa
malu-malu menikmati masakan yang dibuat ibu sambil duduk sendirian.
“...
Nikujaga-nya enak sekali.”
Bukan
berarti aku merasa tidak nyaman atau apa... Tidak, sama sekali tidak.
▼▽▼▽
“Kerja
bagus, Towa-kun.”
“Ah...
aku merasa capek dalam artian yang berbeda.”
Jamuan makan
malam yang ramai itu akhirnya selesai, dan karena besok masih sekolah, jadi aku mengantarkan Ayana pulang ke rumahnya.
Tentu
saja, pakaian ganti Ayana masih
ada di rumahku, dan dia memang sering menginap di sini
sebelumnya, tapi sepertinya hari ini begitu
mendadak, jadi dia memutuskan untuk pulang agar tidak meninggalkan Seina-san
sendirian.
Yah, aku jadi merasa terharu dengan keputussannya
setelah tahu hubungan Ayana
dan Seina-san sebelumnya.
“...
Haha.”
“Ada
apa?”
“Tidak,
aku hanya senang melihat Ayana begitu
perhatian pada Seina-san.”
“Ah...
Hehe, karena dia ‘kan ibuku sendiri♪”
... Aku
memang tidak sampai menangis, tapi itu hampir
saja.
Aku tidak
akan menyombongkan diri dengan mengatakan aku yang membantu memperbaiki
hubungan mereka, tapi sebagai pihak
yang terlibat, aku benar-benar merasa senang.
“Ngomong-ngomong,
Kanzaki-san... dia adalah orang
yang cukup kuat dalam berbagai hal, ya.”
“Memang...
Dari sikapnya, mungkin kami pernah bertemu sekilas di masa lalu, tapi aku sama
sekali tidak mengingatnya.”
Ini
mungkin hanya karena kesadaranku yang tidak mengingatnya, tapi bukan tidak
mungkin Towa sendiri yang mengingatnya... Tapi kurasa itu tidak terlalu
penting.
“.....”
Tapi...
Saat memikirkannya, hal yang
terlintas di benakku adalah pemandangan itu.
Kanzaki-san
yang menenangkan ibu... Ekspresinya saat itu begitu menakutkan, sampai-sampai bahuku mulai bergetar hanya dengan
mengingatnya.
Lalu, aku
mengantar Ayana melewati jalanan
malam yang gelap dan tiba di lingkungan
rumahnya...Rumah Shu terlihat, dan lampu di kamarnya
masih menyala.
“Towa-kun,
aku tahu kamu mengkhawatirkannya, tapi sekarang fokus padaku saja, oke?”
“Ah,
maaf...”
Aku
tersenyum masam, lalu memeluk Ayana
di depan pintu.
Meskipun
agak lebih sejuk dibanding siang hari, tiupan angin
hangat yang sesekali berhembus sedikit mengganggu, tapi begitu aku memeluk Ayana, aku tak
ingin melepaskannya.
“Waktu malam
hari juga sudah mulai panas, ya.”
“Jika itu
yang terjadi, kita tidak akan bisa berpelukan seperti ini siang atau malam
hari.”
“Kalau itu sih tidak mau! Aku
tetap ingin melakukan ini tak peduli berkeringat atau
lengket sekalipun.”
“Yah,
aku juga sama sih.”
Mungkin
karena kami berbicara cukup keras, pintu depan pun terbuka dan Seina-san
menampakkan wajahnya.
“Ternyata
memang Ayana dan
Towa-kun ya.”
“Ah,
Ibu."
“Selamat
malam, Nona Seina-san.”
Seina-san menunjukkan ekspresi kaget ketika melihat kami berpelukan.
“Tolong
pikirkan waktu dan tempat...tapi
itu memang terlalu sulit untuk kalian, ya?”
“Apa
yang Ibu katakan? Ini ‘kan saat
perpisahan, jadi tolong maklumi kami.”
Ayana berkata begitu dan tanpa
mempedulikan reaksi Seina-san, dia terus memelukku dengan erat.
Seina-san hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya ketika melihat Ayana, tapi dia kemudian mengalihkan perhatiannya dan tersenyum
padaku.
“Di
malam seperti ini, selamat datang
Towa-kun. Sebenarnya aku ingin mengobrol lebih lama denganmu, tapi kamu pasti akan segera pulang, kan?”
“Begitulah...
Memang sangat disayangkan, tapi setelah mengantar Ayana, aku akan segera pulang.”
Setelah
aku mengatakan itu, waut wajah Seina-san jelas-jelas kelihatan kecewa.
Aku tahu kalau Seina-san
juga senang bisa mengobrol denganku, dan dia pasti mengizinkanku untuk
berlama-lama di rumahnya.
Aku merasa menyesal
karena tidak bisa memenuhi harapannya,
tapi mengingat semua yang telah terjadi, aku merasa ini adalah perkembangan
yang mengharukan.
“Kalau
begitu... apa lain kali
kamu mau datang lagi?”
“Tentu
saja. Bagaimana kalau di akhir pekan?”
“Aku
akan menunggumu. Bagaimana kalau kali ini kamu
makan malam di sini?”
“Ah,
baiklah.”
“Kalau
begitu, sudah diputuskan!”
...
Tiba-tiba saja sudah diputuskan.
Melihat
senyum lebar di wajahnya yang seolah-olah
tidak sabar untuk menunggu, aku pun ikut tersenyum
karena sepertinya aku membuat usulan
yang bagus.
Entah
ibuku, Kanzaki-san, maupun Seina-san
yang berada di depanku ini, mereka semua tertawa dengan begitu
segar seolah usia tak berarti, membuatku selalu berpikir betapa cantiknya
mereka.
“Aku
merasa seakan-akan Towa-kun akan direbut oleh
Ibu...!”
“Tenang
saja, itu tidak akan terjadi.”
“Benar,
Ayana. Membayangkan aku akan merebut
pacar anakku sendiri, itu sih... mana mungkin, ‘kan?”
“Tolong
hentikan kedipan misterius itu.”
Setelah
bertukar candaan seperti itu, aku pun memulai perjalanan pulang.
Berjalan
sendirian di jalanan malam
yang gelap tanpa keberadaan Ayana di sampingku... Aku tidak merasa
takut, tapi keheningan ini terasa aneh setelah suasana makan malam yang ramai
tadi.
Dan yang
paling penting, aku merindukan interaksi menyenangkan tadi antara Ayana dan Seina-san.
“...Huh?”
Saat aku terus berjalan sambil memikirkan
interaksi antara ibu dan anak perempuannya tadi,
aku melihat sesuatu saat rumahku
sudah terlihat.
Persis
seperti peragaan ulang pada kejadian sore
tadi, Kanzaki-san sedang berdiri
di depan rumahku.
Padahal
tadi sore dia tertidur dengan air liur mengalir, tapi sekarang dia terlihat
sangat segar dan sedang merokok.
(... Jadi
dia merokok ya.
Padahal di rumah dia tidak pernah merokok sama
sekali)
Ya, Kanzaki-san
memang tidak merokok.
Mungkinkah
karena ibu tidak merokok, atau karena aku dan Ayana ada di dekatnya, jadi dia tidak
merokok?
“Oh,
selamat datang kembali, Nak Towa.”
“Terima
kasih.”
Cara kami yang saling bertukar pandang secara perlahan-lahan,
sama persis seperti sore tadi... Ah, Kanzaki-san
terlihat sangat keren saat sedang merokok.
“Kamu
sudah mengantar Ayana-chan
pulang ke rumahnya?”
“Ya.
Apa Ibu sedang tidur?”
“Iya,
aku bahkan sampai menggendongnya ke dalam kamar.”
“Ah,
terima kasih banyak.”
“Tidak
masalah.”
Kanzaki-san
melambai-lambaikan tangannya sambil menghembuskan kepulan asap putih.
Ketika aku melihat
asap rokok itu perlahan-lahan
memudar di udara, Kanzaki-san pun membuka suara.
“Sepertinya
aku sudah cukup merokok. Nak Towa, mau
mengobrol denganku sebentar?”
“Tentu, aku tidak keberatan.”
Aku
mengangguk menyetujui usulan Kanzaki-san, lalu berdiri di sampingnya.
Kira-kira apa
yang akan dibicarakannya ya... Saat aku melirik ke arahnya, dia hanya mwndongak ke atas untuk menatap
langit berbintang.
Setelah
beberapa detik, bahkan puluhan detik berlalu, akhirnya Kanzaki-san mulai
berbicara.
“Ane-san...
Dia terlihat sangat senang dan bahagia. Ekspresi sedihnya yang dulu sudah tidak
terlihat lagi.”
“...”
“Aku yakin
kalau itu semua berkat kehadiranmu dan Ayana-chan. Terutama keberadaanmu
sebagai anaknya yang paling berpengaruh —
melihatmu terlihat senang, itu saja sudah membuat Ane-san ikut tersenyum bahagia.”
Ibu...
Ya, akhir-akhir ini dia selalu tersenyum.
Bahkan di
malam-malam dia kelelahan karena pekerjaan, begitu
melihatku di rumah, dia langsung tersenyum... Dibandingkan dengan kenangan lama
sebagai Towa, akhir-akhir ini aku hanya melihat Ibu tersenyum bahagia.
“Bagiku,
Ane-san adalah sosok yang kuidolakan.
Dulu saat masih sekolah, aku memang berandalan luar biasa... Yah, dulu memang
ada lebih banyak berandalan daripada sekarang dan
aku juga tidak terkecuali.
Keluargaku agak spesial, jadi aku selalu mendapat masalah.”
Keluarga
yang ‘sedikit spesial’... Ah, lebih baik kalau aku tidak usah menanyakannya.
“Pada waktu
itu, aku mendengar
ada senior yang kuat, jadi aku tidak tahan untuk menantangnya berkelahi...
Dan aku langsung dihajar habis-habisan.”
“Maaf
Kanzaki-san... Ini cerita nyata di Jepang, dan bukan
drama atau cerita rekaan, kan?”
“Iya,
beneran,
kok?”
Astaga,
kalau dibilang drama atau cerita rekaan, itu malah lebih masuk akal... Tapi Kanzaki-san
tidak terlihat sedang berbohong, dan mengingat masa
lalu Ibu, kupikir
peristiwa semacam itu sepertinya bisa terjadi.
“Nah,
sejak saat itu aku mulai mengagumi Ane-san. Aku memohon agar Ane-san mau menerimaku sebagai murid didikannya, dan disinilah aku sekarang.
Meskipun di usia segini aku tak bisa lagi bertingkah seperti dulu.”
“Yah...
Memang begitu.”
Kalau
sekarang masih begitu, itu justru menakutkan, imbuhku, dan Kanzaki-san pun tertawa
terbahak-bahak.
Setelah
itu, Kanzaki-san terus menceritakan tentang kisah masa
lalu Ibu... Terutama hal-hal yang tidak bisa diceritakan Ibu sendiri.
Dan dari
sini, semuanya dimulai.
Suasana
di sekitar Kanzaki-san mulai
berubah dan menciptakan atmosfer yang aneh.
“Ane-san
yang dulunya terlihat
galak dan bengis, sekarang sudah berubah
menjadi lebih lembut setelah memiliki pacar, menikah, dan melahirkan nak Towa. Dia benar-benar menjadi
wanita yang menarik. Itulah sebabnya aku tidak bisa memaafkan mereka yang
menjelek-jelekkan Ane-san
dan nak Towa.”
“Uhh...”
Aku
merasakan sensasi seolah-olah jantungku dicengkeram dengan kuat. Meskipun
tekanan itu bukan ditujukan kepadaku, tapi auranya
sangat kuat sampai-sampai aku ingin menggaruk
kulitku.
(...Ah)
Aura
ini... Ekspresi ini adalah yang pernah kulihat sebelumnya. Ekspresi yang pernah ditunjukkan Kanzaki-san
saat menenangkan Ibu yang menangis. Dia menatapku tajam dan menampilkan gigi
taringnya, lalu berkata:
“Oleh karena
itu, aku juga berniat menggunakan seluruh kekuatanku untuk memastikan mereka
menerima balasannya. Kamu ingat,
aku pernah memintamu untuk membiarkanku mengurus
pria di gym itu, ‘kan? Aku punya kekuatan sebesar itu untuk mengurusnya.”
“.....”
“Apa
itu membuatmu merasa takut?”
“Sedikit...”
Bukan
sedikit, tapi sangat jelas aku merasa takut. Namun, rasa takutku bukan karena Kanzaki-san, melainkan karena dia adalah
teman Ibu, dan sikapnya selama ini membuatku merasa dia adalah sekutu.
“Memang
sedikit menakutkan... Tapi aku juga merasa tenang. Tentu saja saat aku melihatmu berbicara dengan Ibu, dan
juga aku memikirkan hal itu saat kamu
berinteraksi denganku dan Ayana.”
“Haha,
begitu ya.”
Melihat Kanzaki-san menghela napas lega, sepertinya
dia khawatir aku akan menjauh karena merasa takut. Memang, dalam kondisi
normal, orang akan merasa takut. Tapi karena aku tahu dia adalah sekutu, rasa
tenang lebih mendominasi.
Kanzaki-san
tersenyum dan mendekatiku, merangkul bahuku, lalu....
mendongak ke atas langit.
“Aku
sebenarnya sudah memutuskan, seandainya saja Ane-san
sedikit saja menyinggung rasa dendamnya, atau jika terjadi sesuatu yang
menyedihkan yang disebabkan oleh mereka, aku akan membalas dengan harga yang setimpal.”
Aku
langsung menyadari bahwa itu pasti terkait dengan keluarga Shu.
Dan
mungkin juga... Ibu Ayana yang
mungkin termasuk di dalamnya.
“Tapi,
saat bertemu Ane-san lagi,
dia terus tersenyum. Dia membicarakan nak
Towa dengan penuh kasih sayang, seolah-olah kamu
adalah hal yang paling berharga baginya.
Aku jadi ingin dia juga sedikit memperhatikanku. Hari ini benar-benar menyenangkan.”
“Ibu...”
“Ya,
ya ♪. Melihat Ane-san tersenyum bahagia seperti itu...
Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Dengan adanya Ane-san, nak Towa, dan juga Ayana-chan, hari ini benar-benar
menyenangkan.”
Cara
bicaranya seolah-olah hari ini adalah yang pertama dan terakhir, tapi
sepertinya bukan itu maksudnya.
Dia ingin
sering-sering bertemu dengan Ibu dan kami.
“Huah...
Aku jadi mulai mengantuk.
Aku juga banyak minum, jadi kurasa aku akan segera tidur.”
“Kalau
begitu, ayo masuk ke dalam. Kau mau tidur di mana?”
“Apa boleh
aku tidur di kamar Ane-san?”
“Terserah
Ibu mau bilang apa, aku akan memaafkanmu. Aku
akan mengambilkan futon untukmu.”
“Terima
kasih, nak Towa! Aku sayang kamu!”
Kali ini
dia tidak hanya memelukku, tapi juga mencoba mencium pipiku, jadi aku dengan
cepat menjaganya.
Aku
berpikir ini hanya boleh dilakukan dengan Ayana...
atau paling buruk, dengan Ibu....dan
sejujurnya aku takut kalau Ayana
mungkin akan mengetahuinya meskipun dia tidak ada di sini...Ya, gadis itu lumayan menakutkan.
“Kalau
begitu, anak Towa, besok... Entahlah, apa aku
bisa bangun, tapi sampai jumpa lagi.”
“Baik.
Selamat malam, Kanzaki-san.”
Setelah
berpisah dengan Kanzaki-san, akhirnya aku kembali ke kamarku.
Ternyata
kami berbincang cukup lama, dan cukup lama waktu
berlalu sejak Ayana
menanyakanku apa aku sudah
tiba di rumah dengan selamat.
“...
Pesannya sudah 30 menit yang lalu. Mungkin dia cukup mengkhawatirkanku.”
Segera
aku membalas bahwa aku sudah sampai dengan selamat, dan meminta maaf karena tidak membalas
lebih cepat. Hanya dalam beberapa detik, dia langsung
membalas.
“Selama
kamu baik-baik saja, itu sudah cukup. Pasti kamu sedang berbicara dengan
Akemi-san atau Kanzaki-san, 'kan? Lagipula, aku pasti akan tahu jika terjadi
sesuatu padamu!”
Ternyata
dia sudah mengetahui semuanya.
Meskipun
aku merasa senang dengan cinta Ayana
yang begitu besar, aku juga merasa senang karena dia tidak membatasi
kebebasanku.
Cinta
Ayana memang berat... Tapi itu adalah
sesuatu yang menyenangkan bagiku.
Perassaan cinta
yang berat sering kali dianggap
sebagai 'yandere' atau 'menhera', tapi cinta Ayana benar-benar
membuatku merasa terlindungi.
Sepertinya
aku juga sudah cukup parah, ya.
Setelah
itu, aku terus bertukar pesan dengan Ayana
sebelum akhirnya kami mengucapkan selamat malam dan tidur.
“...
Ternyata aku cukup lelah. Yah, wajar saja sih.”
Memang,
malam setelah mengurus orang mabuk selalu melelahkan... Seperti saat Seina-san datang ke rumah dulu.
Setelah
mematikan lampu dan berbaring di tempat tidur dan
menunggu untuk tertidur,
Namun, saat
ini, hal yang kupikirkan bukanlah tentang Ayana, Ibuku, atau Shu....tapi
justru tertuju pada Kanzaki-san yang baru kutemui hari ini.
▼▽▼▽
Aku
menjadi sosok Yukishiro Towa, dan
hidup di dunia ini yang disebut【Aku
telah kehilangan segalanya】.
Dalam proses itu, aku telah bermimpi berkali-kali.
Aku selalu
mengalami mimpi tentang masa lalu Towa, masa lalu Ayana,
dan juga diriku yang lain yang bisa disebut kehidupan sebelumnya... Mimpi yang
seharusnya untuk merapikan isi kepalaku, kini juga telah mengajarkan banyak
fakta yang membantu diriku.
Dan
tampaknya, hari ini pun, mimpi itu akan mengajarkanku satu fakta lagi.
“...Lagi-lagi mimpi.”
Ya, ini
hanyalah mimpi.
Rasanya
sungguh aneh karena aku bisa dengan yakin mengatakan bahwa ini hanyalah mimpi... Sulit bagiku untuk
menjelaskan perasaan ini dengan kata-kata, tapi jika harus dideskripsikan,
rasanya seperti aku sedang
melayang-layang.
Kalian tidak
mengerti? Aku juga tidak mengerti hal seperti ini.
Tapi ini
memang beneran mimpi—— pada saat aku menegaskan itu
dalam pikiranku, tiba-tiba Ayana dan Kanzaki-san
muncul di hadapanku.
“...Ayana
dan Kanzaki-san ya.”
Dengan
peristiwa yang terjadi hari ini, ini bukan lagi kombinasi yang aneh.
Namun,
aura yang mengelilingi Ayana terasa begitu penuh duri... Dan aura Kanzaki-san
yang memandangi Ayana pun terasa janggal.
Mereka
berdua saling bertukar pandangan
di depanku... Setelah beberapa saat, yang pertama membuka mulutnya adalah Kanzaki-san.
“Jadi,
kamu benar-benar yakin ingin meminjam kekuatanku?”
“Ya —aku ingin memperlihatkan neraka
kepada mereka yang telah membuat Towa-kun dan
Akemi-san sedih.”
“Hahaha!
Tak kusangka seorang siswa SMA bisa
bertekad sejauh itu, berarti perasaanmu kepada nak Towa memang sangat kuat,
ya.”
“Tentu
saja.”
Ini...
Tidak, sebaiknya kupikirkan itu nanti
saja.
Aku tidak
tahu apa yang ingin diperlihatkan padaku oleh pemandangan ini, tapi sekarang
aku akan fokus pada percakapan mereka berdua.
“Ayana-chan....apa kamu benar-benar sudah siap?”
"Eh?
Tentu saja aku sudah siap. Sebagai seorang siswa, ada batas kemampuan yang bisa
kulakukan... Karena itulah, aku meminta bantuan padamu yang sudah dewasa dan
memiliki kekuatan.”
“Yah,
memang benar sih, karena akulah yang mengajakmu melakukan ini
sih. Tapi yang kumaksud dengan 'siap' adalah, apa kamu
sudah siap untuk hidup dengan 'kegelapan' itu?”
“Hidup
dengan 'kegelapan'...?”
Kanzaki-san
mengangguk, dan sambil melangkah mendekati Ayana, dia melanjutkan perkataannya.
“Tentu
saja——untuk menjebak mereka, kamu harus menyembunyikan kenyataan
itu dalam hatimu. Tanpa diketahui oleh nak Towa, Ane-san,
atau siapapun. Kamu juga pasti tidak ingin mereka mengetahui hal itu,
bukan?”
“Itu sih... Iya.”
“Bahkan
jika kamu memulai dengan ragu apakah ini benar-benar
jalan yang terbaik, itu akan sudah
terlambat. Kamu adalah
orang yang bisa menjadi tak berperasaan demi orang yang kamu cintai. Tapi sebaliknya, cinta
dan kebaikanmu kepada nak Towa juga akan membuatmu
menderita.”
“...”
Perkataan Kanzaki-san membuat Ayana tertunduk dan sedang
memikirkan sesuatu.
Sayangnya,
aku tidak bisa mendekati dua orang di depanku ini... Artinya, aku juga tidak
bisa menyapa Ayana yang terlihat sedih, atau memberitahunya bahwa aku ada di sini, jadi aku tidak bisa melakukan apa-apa.
“Oleh karena
itu, apa kamu
masih tetap akan melakukannya?
Menghempaskan mereka yang telah mengatakan hal buruk tentang nak Towa dan Ane-san ke dalam neraka, begitu?”
Pada
dasarnya, dengan kata-kata yang memancing dari Kanzaki-san, Ayana akhirnya... mengangguk.
“Ya...
Aku akan melakukannya. Aku tidak bisa memaafkan mereka.”
Hentikan...
Hentikan itu, Ayana.
Kanzaki-san
juga sama,
tolong jangan mengatakan hal seperti itu pada Ayana...
Aku ingin berteriak keras-keras menyuruh mereka untuk menghentikannya, tapi aku
begitu tak berdaya.
“Bagus
sekali, kalau begitu ayo kita susun rencana—selamat
bergabung, teman komplotan.”
“Terima
kasih atas kerjasamanya.”
Setelah Ayana
dan Kanzaki-san berjabat tangan, pemandangan di depanku berubah lagi.
Seperti
video yang diputar cepat, waktu pun bergulir,
dan kini Ayana dan Kanzaki-san berdiri di tempat yang sama.
“Sudah
selesai, ya.”
“...Ya.”
“Aku
juga merasa lega. Yah, aku sudah terbiasa, jadi tidak masalah. Tapi sepertinya
kamu berbeda.”
“...”
“Sudah
kubilang, ‘kan?
Pasti akan jadi seperti itu.”
Dilihat dari isi percakapannya, sepertinya ini adalah setelah
ending game.
Aku berlum pernah melihat adegan
seperti ini di dalam
game, jadi ini mungkin semacam kejadian di balik layar...
Untuk memberitahuku apa yang telah terjadi.
Yah,
bagaimanapun ini hanya mimpi, jadi aku tidak tahu apakah ini benar-benar
terjadi... Mungkin itu hanya
khayalanku saja.
“...Apa
maksudmu dengan 'pasti akan jadi seperti itu'?
Aku merasa puas kok—— akhirnya
aku bisa membalas dendam yang selama ini kusimpan.”
“Begitu
ya. Kalau begitu aku tidak akan bertanya kenapa kamu menangis. Kita ini teman
sekongkol, jika kamu ada
masalah, kamu
bisa berkonsultasi padaku. Untuk rencana
buruk terhadap mereka, cukup sampai di sini saja—
ayo kembali ke kehidupan normal kita masing-masing.”
Sosok Kanzaki-san
menghilang dari pandangan mata,
menyisakan Ayana seorang diri di sana.
Aku
terbawa oleh alur yang deras ini, tapi aku tidak bisa membiarkan Ayana yang menangis begitu saja... Meskipun
suaraku tidak akan sampai padanya, dan dia bukan Ayana yang kukenal.
“...Ah,
sudah selesai... ya.”
Ayana
mendongak menatap langit.
Tanpa
menyadari keberadaanku di sampingnya, di tempat yang sepi ini, dia hanya
memandangi langit dengan tatapan kosong sembari berderai air mata.
“...Ah.”
Saat itu,
hujan mulai turun.
Hujan
deras membasahi tubuh Ayana yang mengenakan jaket hitam.
“Hujan...
ya.”
Seolah-olah
hujan ini mewakili perasaan Ayana, hingga sulit membedakan apakah yang mengalir
di wajahnya adalah air hujan atau air matanya...
Tunggu sebentar, aku mengenal adegan ini...itu dia!!
“Ini...
layar judul game fandisc.”
Sepertinya
aku pernah melihat adegan ini beberapa kali dalam game utamanya, tapi mungkin
ini memang benar-benar terhubung.
Yah, pada
akhirnya ini hanya cerita di dalam game,
dan ini juga hanya mimpi, jadi aku tidak bisa memastikannya.... Aku tidak bisa melakukan apa-apa
untuk Ayana yang terus menangis di depanku, dan aku pun terbangun.
▼▽▼▽
“....Aku benar-benar mengingatnya dengan
baik, ya.”
Segera
setelah bangun, aku bergumam seperti itu.
Seperti
biasa, isi mimpiku masih terekam jelas dalam ingatanku, dan rasa tak berdaya
yang kurasakan karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk Ayana juga masih kuingat
semuanya.
“Tapi...
setidaknya aku bisa tenang. Mimpi itu tidak akan pernah terjadi.”
Ya, aku
bisa menegaskan bahwa mimpi itu tidak akan pernah terjadi.
Aku tidak
tahu mengapa aku tiba-tiba memimpikan hal itu, tapi aku sudah tidak lagi
khawatir tentang Ayana... Bahkan jika ada sesuatu yang buruk mendekat, aku akan
mengatasinya terlebih dahulu——untuk
melindunginya, dan agar kami bisa berjalan bersama menuju masa depan.
“Dan
yang terpenting... Ayana memang
memiliki komplotan—Kanzaki-san.”
Karena
ini hanya game, semua bisa dijelaskan oleh skenario... Tapi secara realistis,
ada batasan mengenai apa yang bisa dilakukan Ayana
seorang diri sebagai seorang pelajar SMA.
Kanzaki-san
lah yang membantu dan mendukung Ayana dalam upaya balas dendam nya.
“...Hmm.”
Aku tidak
tahu apakah pengaturan semacam ini memang disembunyikan, atau jika Kanzaki-san
memang sengaja dihadirkan untuk menjaga konsistensi dalam dunia nyata. Tapi
entah mengapa... setelah dipikir-pikir, aku tidak
terlalu senang mengetahui hal itu.
“...Aku jadi ingin bertemu Ayana.”
Aku
bergumam dengan pelan.
Meskipun
aku merasa lega karena mimpi itu tidak akan terjadi, aku tetap tidak sabar
ingin bertemu Ayana.
Aku tidak
menyangka akan ada jawaban atas gumaman itu.
“Ya,
kamu
memanggilku?”
“...Eh?”
Pada saat
itu, aku merasa seolah-olah
kehilangan konsep waktu.
Perlahan-lahan, sumber suara itu... di tepi
tempat tidur, di sana duduk Ayana dengan dagunya bertumpu pada selimut. Ayana!?
“Hah!?!?!?!?”
Aku
terkejut ketika melihat
kemunculannya di hadapanku,
sampai-sampai aku melompat seolah melihat hantu, dan menghantamkan belakang
kepalaku ke dinding.
“Ugh...
Aaaaargh!”
“A-Apa
kau baik-baik saja, Towa-kun!?"
Bukan,
ini semua gara-garamu... Lagipula, kenapa kamu bisa
ada di sini?
Aku ingin
bertanya begitu, tapi rasa sakit yang menyerang membuatku hanya bisa merintih,
dan suaraku yang keras sepertinya terdengar sampai luar, karena kudengar suara
langkah kaki tergesa-gesa mendekat.
“Towa!?”
“Nak Towa,
apa yang terjadi!?”
Orang yang
datang adalah Ibuku dan
Kanzaki-san, sepertinya mereka khawatir karena mendengar suara tadi.
“Ma-Maaf...
Aku hanya sedikit membentur kepalaku.”
Setelah
aku mengatakan itu, mereka merasa lega karena tidak terjadi apa-apa yang
serius, lalu Ibu dan Kanzaki-san keluar dari kamar. Tapi Ayana masih di sini,
dan dia membungkukkan badan meminta maaf.
“Kamu pasti
kaget, ya...?”
“Yah,
mungkin... Jangan-jangan kamu
memanggilku karena ingin bertemu?"
“Tentu
saja bukan itu!”
Ayana
terlihat agak malu, tapi aku tersenyum geli melihatnya.
Sudah kuduga...
Ayana yang seperti di dalam
mimpiku itu memang tidak ada. Aku senang karena Ayana yang sekarang ini adalah Ayana
yang ceria dan manis. Aku pun memeluknya erat.
“Wah!?”
“Hah...
Sakit di kepalaku masih belum
hilang juga."
“A-Ada
apa?”
“Tidak,
aku tidak jadi gila atau apa. Yah, memang benar, Ayana yang ceria dan manis
seperti ini adalah yang terbaik.”
“...Towa-kun,
kamu
mendadak jadi aneh!”
Aku mungkin
bertingkah aneh. Tapi bagiku, Ayana yang seperti ini, tanpa
kegelapan atau kesedihan, adalah yang paling sempurna.
“Terima
kasih sudah membangunkanku pagi-pagi. Kamu
bisa membangunkanku lagi lain kali.”
“Ah,
tidak masalah, aku senang hanya dengan memandangimu saja. Aku bahkan tidak
berkedip selama puluhan menit!”
Itu
sedikit menyeramkan sih... Tapi aku senang bisa bertemu Ayana ketika membuka mataku di pagi
hari, dan aku merasa lega.
Nah, kegiatan hari ini pun dimulai bersama Ayana lagi.