Chapter 2 — Dan Kemudian, Ibu Dan Anak Saling Bertatapan
Setelah membutuhkan sekitar dua puluh menit
berguncang di dalam bus dan
sepuluh menit berjalan dari halte pemberhentian,
Masachika akhirnya berdiri di depan rumah keluarga
Suou setelah beberapa tahun lamanya.
(Ah...)
Kenangan
masa lalu muncul kembali dengan jelas. Rumah yang ia pikir tidak akan pernah kembali, tempat yang takkan pernah ia kunjungi
kembali. Masachika menatap
gerbang besar yang menghubungkan ke taman yang indah dan bel di sampingnya.
Sambil menatapnya, Masachika berpikir dalam hati.
(Aku jadi tidak
ingin menekannya~)
Jangan
salah paham dulu. Masachika sudah memutuskan untuk masuk.
Setelah datang sejauh ini, ia sudah membuat keputusan tersebut. Namun, ia tidak perlu begitu terang-terangan
mengunjungi secara langsung, ‘kan?
Lebih tepatnya, ia bisa saja memanggil
melalui ponsel dan diam-diam dimasukkan ke dalam, bukan? Karena orang yang mengundangnya ke rumah Suou
adalah Ayano, jadi itu bukan hal yang aneh. Yang terpenting, jika dirinya melakukan itu,
setidaknya kemungkinan bertemu dengan kakek atau ibunya sebelum bertemu Yuki bisa berkurang.
(Di dalam situasi di mana Alya sedang bersamaku, aku tidak ingin bertemu dengan
kedua orang itu...)
Masachika
tidak tahu sikap apa yang akan ia tunjukkan di depan kedua orang itu. Mungkin
dirinya akan mengatakan sesuatu yang
membuat Alisa merasa tidak nyaman, dan pada dasarnya, kembali ke rumah keluarga
setelah sekian lama dengan seorang gadis rasanya
terlalu canggung.
(Memanggil
Ayano dan langsung menuju ke kamar Yuki, menempatkan Alya di kamar Yuki dan menyapanya... baiklah, ini yang
terbaik)
Setelah
sampai pada kesimpulan itu dan mencoba mengeluarkan ponselnya, tiba-tiba,
sebuah tangan putih menjulur dari arah
sampingnya dan menekan bel.
“Eh?”
“Apa?
Tidak ada gunanya berlama-lama seperti ini, ‘kan?”
“Tidak, aku juga punya rencana...”
“Masachika-sama?”
Suara
pelayan keluarga Suou, Kimishima Natsu,
yang sudah lama tidak ia dengar selama beberapa tahun,
terdengar dari interkom. Masachika tertegun sejenak sebelum akhirnya
mengeluarkan kata-kata.
“...
Selamat malam, Natsu-san.”
“Ara, ara! Duh, duh! Ya, iya, sudah lama sekali, ya! Umm, nona muda yang ada di
samping Anda
adalah...?”
“Ah~... tidak,
itu...”
Masachika
merasa bingung untuk menjelaskannya, tetapi sementara itu, Alisa
menyapa dengan lancar.
“Saya minta maaf karena sudah mengganggu di malam hari.
Saya adalah teman sekelas Masachika-kun, Alisa Mikhailovna Kujou, yang juga merupakan anggota OSIS bersama Yuki-san. Saya mendengar
bahwa Yuki-san sedang terbaring sakit
karena influenza, jadi saya ingin datang untuk menjenguknya, meskipun hanya sebentar.”
“Ara, ara,
terima kasih banyak... Baiklah, apa Anda bisa menunggu
sebentar?”
Setelah
mendengar sapaan sopan dari Alisa, Natsu tampaknya kembali tenang sebagai
pelayan dan memberi tahu mereka, lalu sambungan
interkom terputus. Masachika menghela napas ringan dan menatap Alisa di
sampingnya.
“...............
Apa?”
“Tidak,
aku hanya merasa kamu sangat tenang... maksudku, kamu
terlihat begitu bisa diandalkan.”
“......Tentu
saja, ‘kan? Aku sudah bilang kalau aku akan mendukungmu...”
Ketika Alisa
mengatakan itu sambil malu-malu
mengalihkan wajahnya, Masachika tersenyum tipis dan berkata.
“Ah...
terima kasih.”
“......Tidak
masalah, kok.”
Alisa
semakin mengalihkan wajahnya sambil memainkan rambutnya. Masachika mengangkat
tangan kanannya sedikit dan berkata.
“Tapi
untuk saat ini, bagaimana kalau kamu melepaskan pegangan tangan kita dulu?”
“Eh? Ah......”
Setelah mendengar
pernyataan Masachika, Alisa menatap tangan mereka yang terhubung dan tiba-tiba
membuat ekspresi sedikit kesal. Lalu, dia berkata sambil
terus memalingkan
wajahnya.
“Aku sama sekali tidak keberatan jika kita terus seperti ini, kok?”
“Eh?
Tidak, tidak, kamu seharusnya
merasa keberatan. Ada kamera pengawas yang jelas
terlihat di sini. Saling
bergandengan tangan dan mengunjungi rumah orang tua tuh terlihat seperti mengumumkan
pertunangan. Jika Natsu-san melihatnya, dia pasti
akan salah paham!”
Memikirkan
tentang wanita tua yang berpikir seperti gadis muda, yang sangat berbeda dari
cucunya Ayano, Masachika cepat-cepat berkata sambil memperhatikan kamera di
atas pagar. Alisa juga melirik ke arah kamera pengawas itu. Kemudian, sambil
kembali memalingkan
wajahnya, dia menggenggam erat tangan mereka yang bergandengan itu dan berbisik,
【Aku sama
sekali tidak keberatan,
kok? 】
(Keberatan sedikit dongggggggggg———!!!)
Meskipun
itu hanya lelucon, pernyataan yang mengejutkan itu membuat Masachika melupakan
situasi saat ini sejenak dan berteriak di dalam batinnya.
(Jadi kamu tidak masalah jika
disalahpahami? Hah? Eh, jadi aku boleh
memperkenalkanmu?
Kita akan menikah! Bolehk aku mengatakannya? Natsu-san pasti akan sangat
bersemangat! Tidak, tidak, dia
pasti cuma bercanda,
‘kan?)
Masachika
menatap Alisa dengan serius, tetapi ekspresi wajahnya yang membelakangi
membuatnya tidak bisa melihat ekspresinya.
Namun, bahkan di dalam kegelapan, ia bisa melihat telinga Alisa yang
memerah.
(Ini cuma lelucon, ‘kan...?)
Ia
merasakan keringat dingin mulai mengalir di telapak tangan mereka yang bergandengan. Masachika ingin segera melepaskan genggaman tangan mereka, tetapi melepaskannya di sini
terasa sangat tidak sopan. Namun, sementara itu, Natsu yang mungkin sudah
meminta izin di sekitar sana bisa saja membuka pintu dan menyambut
mereka...
(Lebih tepatnya, berdiam diri di sini terus juga sama sekali tidak
baik!)
Mengingat
bahwa dirinya
masih berpura-pura tidak mengerti bahasa Rusia, Masachika
berusaha untuk tetap tenang dan berkata,
“Aku
tidak tahu apa yang kamu katakan... tapi, bagaimana kalau kita melepaskan
tangan kita dulu? Serius. Tadi aku tidak
menjelaskan dengan detail, tapi hubunganku dengan pemilik rumah ini cukup
buruk. Jika sampai ketahuan bahwa kita berpegangan tangan saat melangkah masuk
ke rumah, aku bisa membayangkan ia akan marah dan bilang, ‘Apa kamu sedang bercanda?’”
Setelah
mendengar penjelasan cepat dan bujukan Masachika,
Alisa menatapnya dengan ekspresi tidak puas sebelum akhirnya melepaskan tangan
mereka. Masachika merasa lega, tetapi Alisa mulai memainkan rambutnya dan
berbisik dengan suara kecil,
【Setidaknya, kamu harus sedikit sadar dengan situasi ini kali. 】
(...Eh?
Oh, jadi kamu marah tentang itu? Meskipun kita sudah berpegangan tangan, tapi aku tidak bereaksi sama sekali?)
Bukannya dia
terlihat sangat imut?
Pemikiran semacam itu muncul dengan sendirinya, dan
Masachika segera membalikkan wajahnya. Pada saat yang sama, suara keras
terdengar, membuatnya sedikit terkejut.
Ia
melihat gerbang di depannya mulai terbuka otomatis, dan Masachika menyadari
bahwa suara itu adalah suara kunci yang dibuka, lalu menghela napas lega.
(Lah, kenapa sih aku malah merasa lega?)
Sekarang,
apa yang akan dihadapi Masachika adalah musuh terbesarnya. Jika
saatnya tiba untuk berhadapan, ia yakin akan melakukannya dengan tekad yang
sangat besar. Namun,
(Aku tidak pernah menyangka kalau aku
akan melewati gerbang rumah ini dengan perasaan seperti ini.)
Masachika
merasa aneh dan sedikit lelah saat melangkah ke dalam pekarangan rumah. Ia kemudian memanggil Alisa yang
mengikuti di belakangnya.
“Alya.”
“Apa?”
“Terima
kasih.”
“...Sama-sama.”
Masachika
tersenyum tipis ketika mendengar balasan yang sedikit dingin
seperti biasa dan melanjutkan langkahnya menuju pintu masuk rumah. Saat itu,
pintu depan terbuka, dan musuh yang dimaksud muncul.
Suou Gensei. Pemilik rumah ini,
sekaligus kakek Masachika dan Yuki dari pihak
Ibu mereka. Dan orang inilah yang
memerintahkan Masachika untuk tidak lagi menyebut dirinya sebagai kakak laki-laki Yuki ketika ia meninggalkan
rumah.
“....”
Mata
dingin dan tatapan tajam
yang sama seperti dulu menembus Masachika. Namun, secara mengejutkan Masachika
merasa lebih tenang dari yang dirinya
kira.
(Sebelumnya,
aku tidak tahu harus bersikap bagaimana...
Apa ini semua berkat Alya?)
Dengan pemikiran seperti itu, Masachika terus berjalan dan
menatap langsung ke mata Gensei,
berhenti beberapa langkah di depannya. Ia
kemudian mengambil inisiatif dan membuka mulutnya.
“Maaf
mengganggu waktu Anda di malam
hari. Saya mendengar bahwa teman saya, Yuki-san, jatuh sakit, jadi saya datang untuk menjenguknya
meskipun agak mengganggu.”
Dengan
sapaan yang sangat formal, Gennsei
menatap Masachika dan Alisa, lalu ia
menjawab,
“Menjenguk. Tanpa ada pemberitahuan sebelumnya sama sekali atau oleh-oleh, ya?”
“Maafkan
saya. Saya mendengar situasinya dari
Ayano-san dan terburu-buru datang ke sini.”
Meskipun
kata-kata Gensei
terdengar dingin, Masachika tetap tenang tanpa
terpengaruh sama sekali dan meminta maaf dengan tulus.
Saat Gennsei menyipitkan matanya, Alisa
melangkah maju satu langkah, berdiri di samping Masachika, dan membungkuk.
“Senang
bertemu Anda. Saya adalah Alisa Mikhailovna Kujou,
anggota OSIS yang sama dengan Yuki-san. Saya menyadari bahwa ini adalah waktu
yang tidak biasa, tetapi bisakah saya menyampaikan salam kepada Yuki-san?”
Tatapan Gensei beralih ke arah Alisa. Ia kemudian menatap mata Alisa dan
berkata,
“Aku
adalah kakek Yuki, Suou Gensei...
Meskipun kamu bilang menjenguk,
apa kamu sudah memberitahu orang
tuamu?”
“Ya.”
“Ah...”
Perkataan Gensei membuat Masachika teringat bahwa
ia lupa untuk menghubungi Kyoutarou. Ia
terlalu banyak berpikir sehingga hal itu tidak terlintas di pikirannya,
ditambah lagi karena biasanya ia tinggal sendirian, sehingga ide untuk “menghubungi
orang rumah” benar-benar luput
dari pikirannya.
Sementara
Masachika dan Alisa sama-sama mengeluarkan suara “ah” kecil, Gensei
kembali menatap Masachika dengan tajam. Merasa kalau
mereka akan segera mendapat teguran, Masachika hendak segera meminta maaf.
“Yah,
tidak apa-apa... Masuklah.”
Yang
mengejutkan, Gensei
berkata demikian dan membelakangi mereka, membuka pintu, dan masuk ke dalam
rumah. Ia kemudian memanggil Natsu yang
menunggu di pintu masuk.
“Ada tamu. Arahkan mereka ke kamar
Yuki.”
“Baik, saya mengerti. Silakan kemari, Kuze-sama, Kujou-sama.”
Setelah
memberi hormat kepada Iansei, Natsu mengundang Masachika dan Alisa masuk. Masachika
dan Alisa pun melangkah masuk ke dalam rumah, sementara Gensei pergi lebih dalam ke dalam
rumah.
“.....”
“Ya,
silakan lewat sini.”
Saat mengantar
Gensei pergi, Natsu menyiapkan
sandal dalam ruangan untuk mereka berdua, dan Masachika
serta Alisa pun memakainya.
“Selamat
datang di sini. Ah, Kujou-sama,
terima kasih atas kesopanan Anda sebelumnya. Saya adalah pelayan rumah ini,
Kimishima Natsu, nenek
dari Kimishima Ayano.”
“Ah,
neneknya Ayano-san... Perkenalkan, nama saya Alisa Mikhailovna Kujou. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya di waktu seperti ini.”
“Tidak
apa-apa, saya rasa Yuki-sama juga akan merasa senang.
Namun, karena bisa saja tertular flu, silakan pakai masker terlebih dulu.”
“Ah,
terima kasih.”
“Terima
kasih.”
“Tidak
perlu berterima kasih, silakan ikut saya.”
Setelah
menerima masker dari Natsu, mereka berdua melanjutkan
ke dalam rumah. Kemudian, Natsu yang berjalan di depan mulai berkata tanpa menoleh.
“Meski demikian, saya benar-benar merasa terkejut. Saya tidak menyangka bahwa Masachika-sama akan datang.
Apalagi, dengan membawa gadis secantik ini.”
“............
Aku benar-benar minta maaf karena datang mendadak.”
“Tidak,
saya benar-benar senang... Ah, saya hampir meneteskan air mata. Ini tidak baik,
semakin tua umur saya, saya jadi semakin
mudah menangis.”
Seperti
yang dia katakan, Natsu menahan tangis sambil menekan sudut matanya, dan Masachika
merasa tidak nyaman.
Namun,
untungnya, mereka segera sampai di depan kamar Yuki, dan Natsu mengetuk pintu
tiga kali. Pintu pun terbuka tanpa suara.
“Ya--------”
Orang yang
keluar adalah Ayano. Matanya melebar saat melihat Masachika yang berdiri di
belakang Natsu.
“Masachika-sama...”
“.........
Maaf, aku terlambat.”
Begitu mendengar
kata-kata Masachika, Ayano sedikit menundukkan wajahnya, matanya yang
terbelalak mulai meredup.
“Tidak...
Silakan masuk.”
Hanya itulah yang dia katakan, dan Ayano menggeser badannya sendiri
untuk membiarkan Masachika dan Alisa masuk.
(Mungkin aku seharusnya... datang
lebih cepat...)
Menyaksikan
reaksi emosional Natsu dan Ayano, pemikiran
semacam itu terlintas di benak Masachika. Namun, semua perasaan
sentimental itu lenyap seketika saat melihat Yuki yang terbaring di atas tempat
tidur.
“Ah............”
Di atas
tempat tidur besar, tubuh kecilnya terbaring lemah dengan rambut hitam panjang
yang dikepang. Aroma sabun yang samar tercium di hidungnya. Udara lembap terasa
di kulitnya. Semua itu mengingatkannya pada masa lalu, dan Masachika terdiam.
“Masachika-kun...”
Kemudian,
panggilan Alisa yang penuh perhatian membuatnya tersadar, dan ia kembali
melangkah dengan canggung.
Masachika
duduk di kursi di samping tempat tidur, tempat Ayano sebelumnya duduk, dan
ragu-ragu mengulurkan tangannya
kepada Yuki. Saat tangannya menyentuh dahi kecilnya, ia merasakan kehangatan
yang lembut, dan Masachika menggigit bibirnya. Kemudian,
Yuki perlahan-lahan membuka
matanya.
“Ah..........”
Tatapan matanya yang kosong menatap
langit-langit, kemudian perlahan beralih ke arah Masachika. Dengan suara serak
yang kering, dia berbisik,
“Nii....sama...?”
“.....”
Panggilan
itu sama persis dengan panggilan
yang dulunya pernah dipakai Yuki. Masachika menahan emosi
yang muncul dari dalam hatinya dan menjawab.
“Ahh, ini aku... Apa kamu baik-baik
saja?”
Setelah
mengucapkan pertanyaan bodoh itu, ia merasa menyesal. Namun, ketika melihat ekspresi Yuki yang mulai
meringis, Masachika terkejut.
“Yuki...?”
“U,
uuuuaaaahhh~~ Nii-samaaa~~~”
Dengan
air mata mengalir dari celah kelopak matanya yang tertutup, Yuki menangis
seperti anak kecil. Suaranya yang serak, terisak-isak berkali-kali.
“Uuuuu~~~
rasanya sakitttt~~~rassanya sesak, hiks, hiks, aku tidak mauuuu...”
Entah itu tingkah
laku anggunnya
di sekolah, maupun sisi
nakalnya di rumah, semua itu tidak bisa
dibayangkan dalam sosoknya yang seperti anak kecil ini. Suara tangisnya yang
menyayat hati membuat dada Masachika terasa tertekan.
(Kenapa... aku tidak datang... lebih
cepat.....!)
Karena tidak
bisa menahan diri lagi, air mata mulai
mengalir dari mata Masachika. Tanpa
menyadari Alisa yang melihatnya
di belakang, Masachika merangkul tubuh Yuki yang terbaring di tempat tidur dan
memeluknya erat.
“Maaf.... maafkan aku...”
Dengan
air mata yang mengalir deras, Masachika terus meminta maaf. Entah Yuki bisa mendengar suaranya atau tidak,
dia terus merintih dengan suara lemah.
“Aku tidak mau...merasakannya lagi... kenapa... kenapa hanya aku... rasanya sangat sakit, tolong bantu aku........”
“Maafkan aku, maafkan aku...! Seandainya aku bisa
menggantikanmu...!”
“Uuuuu~~
hik... uuuuu~~~.”
“Maaf, maaf...”
Masachika
terus mengelus punggungnya Sambil
memeluk tubuh Yuki. Melalui piyamanya,
ia merasakan kulit tipis dan tulang yang menonjol. Semua itu membuatnya merasa
kasihan dan sedih, dan Masachika terus menangis.
◇◇◇◇
Alisa
menatap kedua orang yang saling berpelukan itu dengan seksama. Bagian dalam hidungnya terasa hangat,
pandangannya kabur, dan Alisa mengedipkan mata sambil mengeluarkan suara dari
hidung.
(Ah, jadi begitu... mereka benar-benar...)
Kini,
Alisa akhirnya sepenuhnya memahami fakta bahwa mereka berdua adalah kakak beradik. Kenapa dirinya bisa salah mengira kalau mereka berdua sebagai sepasang kekasih? Melihat mereka saling
menangis dan berpelukan, jelas sekali bahwa mereka adalah keluarga.
(Ah...)
Dia
mengerti. Semua yang dikatakan Masachika adalah kebenaran, dan tidak ada
perasaan yang melebihi cinta keluarga atau cinta antar
saudara di antara mereka.
Alisa
menyadarinya. Masachika
tidak memiliki perasaan lebih kepada dirinya
dibandingkan yang Masachika rasakan
untuk Yuki.
Yuki bukanlah
saingan Alisa dalam cinta. Namun, Yuki juga bukanlah lawan yang bisa ditandingi
Alisa. Dia meyakini bahwa bagi Masachika,
Yuki adalah sosok yang
paling istimewa dan berharga, sesuatu yang tidak bisa dibandingkan dengan yang
lain.
(Aku yakin kalau yang
dibutuhkan Masachika-kun saat ini
adalah Yuki-san,
bukan aku...)
Rasa
dingin memenuhi dadanya. Kenapa dia berada di sini? Pemikiran semacam itu muncul, dan perasaan kesepian
semakin menguat. Dia membenci dirinya
sendiri karena memiliki perasaan egois ini, dan Alisa menundukkan
wajahnya.
“Alisa-san,
jika Anda tidak keberatan, silakan
duduk di sini...”
Ayano
menyarankan kursi dengan suara pelan, dan Alisa mengedipkan mata beberapa kali
sebelum menggelengkan kepala.
“Terima
kasih, tapi tidak apa-apa.”
Saat dia
mengangkat wajahnya ketika mengatakan itu,
ternyata Masachika sedang membaringkan Yuki di tempat tidur, yang sepertinya
sudah berhenti menangis dan kembali tidur.
Ia dengan
hati-hati meletakkan kepala Yuki di atas bantal dan menarik selimut hingga ke
bahunya. Ia kemudian mengelap
bekas keringat dan air mata di wajah Yuki dengan
handuk basah. Gerakannya dipenuhi dengan kelembutan dan kasih
sayang yang mendalam.
“.....”
Kemudian,
seluruh penjuru ruangan dipenuhi dengan
keheningan. Suara yang terdengar
hanyalah suara helaan napas
tidur Yuki yang lembut, dan Masachika yang menatapnya, serta Alisa dan Ayano
yang juga menatap punggungnya, semua orang terdiam.
Kira-kira sudah
berapa lama waktu berlalu? Tiba-tiba, suara ketukan terdengar dari arah pintu kamar, dan Alisa segera menoleh ke
sana. Lalu, Ayano yang bergerak cepat tanpa suara membuka pintu, dan seorang
wanita paruh baya yang dikenalnya masuk ke dalam ruangan.
“Yuki-san—”
Ketika
melihat Masachika yang duduk di samping tempat tidur, wajahnya tiba-tiba menegang dan dia berhenti.
(Ibunya Yuki-san...?)
Setelah
memastikan bahwa wanita itu adalah Suou Yumi, ibu kandung Yuki yang menyapanya di festival olahraga, Alisa
menoleh ke arah Masachika. Saat melihat
Masachika yang menatap Yumi dengan ekspresi tegang, Alisa kembali mengalihkan
pandangannya ke arah Yumi—dan
tiba-tiba menyadari.
(Ah...
jadi begitu)
Kenapa
dia tidak pernah
menyadarinya sampai sekarang? Jika dipikirkan baik-baik,
itu hal yang wajar. Masachika dan Yuki adalah kakak
beradik... berarti ibu kandung
Yuki juga merupakan ibu Masachika.
Dengan kata lain, apa yang ada dihadapannya sekarang ialah... pertemuan antara ibu dan anak
kandung.
(Ehm, apa
yang harus aku lakukan? Apa yang harus kulakukan...?)
Sama seperti saat festival olahraga,
suasananya menjadi semakin tegang. Alisa yang tidak
mengerti alasan tersebut
berusaha untuk mengatakan sesuatu, tetapi lebih cepat dari itu, suara Natsu
terdengar dari belakang Yuumi.
“Aduh,
aduh, Yumi-sama, Anda bahkan
belum
mencuci tangan Anda...
Saya mengerti bahwa Anda sangat mencemaskan keadaan
Yuki-sama, tapi tolong cuci tangan Anda dan
berkumur terlebih dahulu.”
Ketika
mendengar suara yang ceria
itu, Yumi terkejut dan berbalik dengan canggung.
“Ya,
benar... aku akan melakukannya.”
Setelah
mengatakannya dengan suara yang
pelan, dia pergi
meninggalkan ruangan. Alisa merasa sedikit lega, lalu menatap Masachika.
Masachika juga menatap Alisa dan memberikan senyuman canggung.
“Maaf ya,
entah kenapa...”
“Ah,
tidak, bukan apa-apa...”
Saat Alisa membalas dengan tergagap, Masachika
berdiri dari kursinya dan mendekat dengan tenang. Ia menggenggam tangan Alisa dengan
kedua tangannya, menatap mata Alisa yang tampak bingung dan berkata,
“Terima
kasih banyak untuk hari ini. Berkat dirimu, aku bisa memiliki keberanian
untuk datang ke rumah ini. Aku benar-benar berterima kasih dari lubuk hatiku, Alya.”
“!! Aku, tidak...”
Aku tidak
melakukan apa-apa. Alisa
berpikir seperti itu. Malahan, dirinya hanya bertindak egois dan semaunya
sendiri. Seberapa sering dia
benar-benar memikirkan Masachika dan bertindak hanya untuknya?
(Meskipun aku sudah mengatakan kalau aku
akan mendukungnya...)
Masachika
menggelengkan kepala dan berkata kepada Alisa
yang sedang menundukkan kepala karena
rasa benci pada dirinya sendiri.
“Kamu
sudah melakukan lebih dari cukup. Berkatmu, aku akhirnya bisa kembali ke jalan
yang benar.”
“Jalan
yang benar...?”
Masachika
tidak menjawab pertanyaan Alisa dan hanya tersenyum tipis sambil menundukkan kepala.
“Terima
kasih banyak. Sekarang aku sudah
baik-baik saja. Aku akan menghadapi semuanya... Alya,
tolong buat keluargamu merasa tenang.”
Memahami
maksud Masachika, Alisa sedikit ragu sebelum perlahan mengangguk.
“...............
Baiklah. Kalau begitu, aku pulang ya.”
“Ya, maaf
telah merepotkanmu. Nanti aku akan menjelaskan dan mengucapkan terima kasih
dengan baik.”
“Begitu, baiklah,
aku akan menantikannya.”
Saat
Alisa mengatakan itu, Masachika mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis, lalu
menoleh ke arah Natsu.
“Natsu-san,
bisakah kamu mengantarnya pulang?”
“Tentu
saja. Saya akan memanggil mobil untuk mengantarnya.”
“Terima
kasih.”
“Maaf,
terima kasih.”
“Tidak
perlu, saya tidak bisa melakukan apa-apa...
Lain kali, silakan datang lagi. Saat itu, saya
akan menyambut Anda dengan
sepenuh hati.”
“Ah,
ya... terima kasih.”
“Sama-sama,
terima kasih. Silakan berkunjung lagi ke
sini.”
Kemudian,
Alisa diantar oleh Natsu keluar dari kamar Yuki. Dalam perjalanan menuju pintu
depan, dia bertemu dengan tatapan
Yumi yang berjalan dari arah koridor.
“Ah, kamu temannya Masachika-san...”
“Ya, saya teman sekelas dan rekannya dalam OSIS, Alisa
Mikhailovna Kujou. Maaf telah
mengganggu di malam yang larut ini.”
“Ah,
tidak apa-apa... Kamu sudah mau
pulang?”
“Ya.”
“Begitu....hati-hati
di jalan, ya.”
“Terima
kasih. Kalau begitu saya permisi dulu.”
Setelah
berbincang seperti itu, mereka
berdua saling melewati. Alisa
memiringkan kepalanya ke dalam saat dia melihat dari balik bahunya ke arah Yumi
yang menuju kamar Yuki.
(Dia
agak lemah dan
sepertinya tipe orang yang
tidak suka terlibat
dalam konflik atau semacamnya. ....... Tapi, kenapa Masachika-kun malah bersikap
seperti itu?)
Alisa sama
sekali tidak mengerti. Namun, suatu saat Masachika pasti
akan menjelaskan padanya.
【... Berjuanglah】
Setelah
bergumam kecil kepada rekannya
yang memutuskan untuk tetap tinggal, Alisa menghadap ke depan dan meninggalkan
rumah keluarga Suou.
◇◇◇◇
Suara
ketukan terdengar di dalam ruangan, dan Yumi masuk ke dalam kamar Yuki. Menghadapi ibunya yang mungkin memiliki perseteruan yang bahkan lebih besar daripada
Gensei, Masachika yang telah mengatur
pikirannya selama menunggu, berdiri dengan tenang dan mengosongkan kursi untuk Yumi.
Di sisi
lain, sepertinya Yumi juga telah memantapkan hatinya,
berhenti beberapa langkah di depan Masachika dan perlahan-lahan membuka mulutnya.
“Sudah
lama tidak berjumpa ya, Masachika-san.”
“…
Ibu juga sama.”
Setelah mendengar
panggilan itu, Yumi menundukkan wajahnya
seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal.
Meskipun tatapan matanya
dialihkan, Masachika kini bisa melihatnya dengan
perasaan tenang yang aneh.
“…
Jika Ibu mencemaskan keadaan Yuki, dia sedang tidur. Meski tadi dia sempat bangun sebentar.”
Sambil
berkata demikian, Masachika melambaikan tangan untuk menyuruhnya duduk,
kemudian melihat ke arah Ayano.
“Maaf,
Ayano, apa kamu bisa menyiapkan minuman untukku?”
“Ah...
Tentu saja. Apa teh saja sudah
cukup?”
“Tidak,
kalau bisa, tolong siapkan teh
barley atau semacamnya di dalam teko.”
“Baiklah, saya mengerti. Mohon tunggu sebentar.”
Setelah
membungkuk dan keluar dari ruangan, Masachika menoleh kembali ke Yumi yang
sedang melihat kondisi Yuki.
(… Entah kenapa, sepertinya
ekspresinya semakin suram.)
Ketika ia
memperhatikan wajah ibunya dari
dekat setelah tidak
bertemu selama bertahun-tahun, Masachika menyadari kalau raut wajahnya tampak
jauh lebih gelap dibanding ingatannya. Meskipun dia sudah dikenal sebagai orang
yang pemalu dan pendiam, kini kesan yang ditimbulkan jauh lebih murung. Namun,
tatapan Yumi yang tertuju pada Yuki hanya dipenuhi kekhawatiran yang tulus. Itu
satu-satunya hal yang tidak berubah.
(Tidak...
Kurasa tidak hanya itu saja.)
Ya, pasti
bukan hanya itu saja. Kasih sayang Yumi terhadap Yuki
tidak akan berubah. Seperti halnya Yumi... mungkin masih mencintai Kyoutarou
hingga sekarang.
Ibunya yang lembut dan baik hati yang dulu pernah dikagumi Masachika di masa lalu bukanlah ilusi sama sekali.... justru
sebaliknya, Yumi yang pernah membentaknya saat itu...
『Hentikan itu
sekarang juga!! 』
“…”
Gambaran masa lalu itu muncul kembali di dalam benak Masachika, dan ia
menutup kedua matanya, berusaha menenangkan diri.
(Tenanglah,
jangan hanya mengingat
kenangan buruk saja.
Sebenarnya, semuanya bukan hanya itu saja, ‘kan?)
Semuanya
akan baik-baik saja. Sekarang, Masachika
bisa melihat kembali masa lalu dengan tenang. Ia mengingat bagaimana setelah membentaknya, Yumi menunjukkan
ekspresi penyesalan. Kecuali momen itu, Yumi adalah ibu yang lembut bagi Masachika.
Sekarang, dia bisa mengingatnya dengan baik.
“…
Bu.”
“…
Ada apa?”
Alasan
kenapa Yumi tidak mau
bertatap muka dengannya mungkin
karena dia merasa bersalah. Jika memang benar demikian... apa yang
membuat Yumi tidak bisa menatap Masachika sebelumnya?
(Aku
harus mengetahuinya.)
Untuk
mengakhiri penyesalannya dan
kembali ke jalan yang benar. Ini adalah sesuatu yang harus dilakukan Masachika.
“Aku
ingin berbicara dengan Ibu.”
“……”
Setelah
mendengar kata-kata Masachika yang penuh tekad, Yumi perlahan
berbalik. Dan, tatapan mereka bertemu. Mungkin Yumi juga berpikir bahwa dia
tidak bisa melarikan diri lagi.
“Waktu
itu... saat aku masih di rumah ini...”
Masachika
menelan ludah dan melembapkan bibirnya dengan lidah, kemudian dengan tegas
bertanya.
“Kenapa,
Ibu tidak mau menatap mataku lagi?”
Tatapan mata
Yumi bergetar dan dia langsung mengalihkan pandangannya, tetapi setelah memejamkan matanya sejenak, dia kembali
melihat Masachika. Setelah menatap
mata itu, Masachika melanjutkan.
“Waktu
itu... kenapa Ibu menolak
pianoku?”
Mendengar
pertanyaan itu, Yumi menundukkan kepala dan terdiam sejenak. Ketika dia
mengangkat pandangannya, dia menatap mata Masachika dan berkata.
“Karena
tidak peduli apa pun yang kukatakan... aku berpikir kalau itu
melukaimu.”
Dengan
suara yang penuh putus asa dan penyesalan, Yumi melanjutkan.
“Satu
hal yang bisa kukatakan adalah... kamu tidak bersalah sama sekali.
Kyoutarou-san juga sama...
semuanya disebabkan karena keegoisanku sendiri... Aku merasa sangat menyesal
telah melakukan hal yang benar-benar menyakitimu.”
Saat dia
berbicara, sosok Yumi yang menunduk terlihat seperti
seorang yang bersalah... mengingatkan Masachika
pada dirinya sendiri
satu jam yang lalu, saat ia
mengungkapkan penyesalannya kepada Alisa.
(Entah
kenapa... dia terlihat seperti anak kecil.)
Anehnya,
bagi Masachika yang sekarang,
sosok ibunya yang berada di hadapan matanya tampak seperti anak seusianya.
Seorang anak kecil yang terluka, ketakutan, dan bergetar.
“Aku
ingin mendengarkan ceritamu, Bu.
Semuanya.”
Sekarang,
Masachika bisa mendengarkan dengan tenang.
Gambaran Ibunya yang sebelumnya
dibayangkan sebagai sosok yang dipenuhi kenangan menyedihkan dan gambaran
buruk, kini tidak ada lagi. Yang ada hanyalah ibu yang lemah dan lembut, yang
sangat dikenal Masachika.
“Aku
ingin tahu apa yang kamu rasakan saat itu, dan kenapa kamu melakukan hal
seperti itu. Sekarang, aku yakin bisa menerimanya.”
Menanggapi
kata-kata Masachika yang tulus, Yumi tetap menunduk dalam keheningan. Pada saat itu, terdengar ketukan
ringan, dan Ayano masuk dengan nampan yang berisi dua gelas dan teko teh barley.
“…
Bagaimana kalau kita pindah tempat?”
Yumi
mengatakan itu dengan pelan,
lalu berdiri dari tempat duduknya, dan
menerima nampan dari tangan Ayano.
“Ayano-san,
tolong urus Yuki-san ya.”
“Baiklah,
Yumi-sama.”
Kemudian,
Yumi menuju keluar ruangan, bergantian dengan Ayano. Masachika segera
mengejarnya dengan tergesa-gesa.
“Maaf,
sisanya aku serahkan padamu, Ayano.”
“Serahkan
saja pada saya, Masachika-sama.”
Setelah
meminta hal itu kepada Ayano, Masachika
keluar dari ruangan dan melanjutkan ke arah yang diambil Yumi. Tujuannya adalah
kamar Yumi. Setelah diajak, Masachika duduk di sofa dekat jendela, sementara Yumi
meletakkan nampan di atas meja rendah dan mengambil sebuah bingkai foto dari
atas lemari. Setelah duduk di depan Masachika, dia mengulurkan foto tersebut
kepadanya.
“?”
Tanpa
bisa membaca maksud ibunya, Masachika menatap foto dan mengerutkan dahinya ketika melihat dua remaja laki-laki dan perempuan yang
tidak dikenalnya di dalamnya.
“Ini…”
Hal
pertama yang menarik perhatian Masachika adalah seorang gadis yang sekilas terlihat sangat
mirip dengan Yuki. Namun, tatapan matanya yang sayu dan tahi lalat di pipinya
menunjukkan bahwa itu bukan Yuki, melainkan Yumi. Seorang anak laki-laki yang
ceria tersenyum lebar sambil memeluk bahu Yumi yang tampak masih remaja.
“Paman....Naotaka?”
Setelah Masachika berhasil mengucapkan nama itu
dari ingatannya yang samar, Yumi
mengangguk pelan.
“Ya,
ia adalah kakakku yang meninggal muda.”
Kemudian,
saat Masachika mengangkat wajahnya, Yumi memberikan senyuman lembut yang penuh
rasa duka dan berkata,
“Matamu
dan Yuki-san… sangat mirip dengan Onii-sama.”