Chapter 2
Malam harinya setelah aku menyelesaikan pengajaranku di SMA Amagamine.
Aku duduk
di kursi meja di kamarku, menatap layar smartphone-ku. Kemudian, saat waktu yang
dijanjikan tiba, aku mengetuk ikon telepon yang sudah muncul sebelumnya.
Setelah
beberapa kali berdering, bunyi elektronik terdengar. Itu menjadi isyarat bagiku
untuk membuka mulut.
“Halo,
Nene-chan?”
“Halo,
Arata-san. Ya, ini Nene.”
Fyuh,
aku merasa lega karena dia akhirnya mengangkat telepon.
“Kira-kira hari ini ada apaan? Aku sedikit terkejut saat kamu ingin meneleponku.”
Betul sekali,
aku sudah bertukar pesan sekitar sore
dan berjanji untuk menelepon pada waktu ini.
Menelepon
adalah tindakan yang mengambil waktu orang lain, jadi menelepon secara
tiba-tiba bisa menjadi gangguan, sehingga penting untuk membuat janji terlebih dahulu. Ini adalah kebiasaan
yang terbentuk dari pekerjaan.
Aku merasa
senang Nene-chan langsung
menyetujuinya.
Namun,
suara Nene-chan terdengar lebih kaku dari biasanya, mungkin karena melalui
telepon, dan aku ingin berpikir seperti itu.
“Ah, ada sesuatu yang ingin aku konfirmasi secepatnya.”
Dan
alasan mengapa aku menelepon adalah karena ada satu hal yang menggangguku.
Telepon
adalah percakapan tanpa wajah, dan informasi yang bisa diterima hanya suara,
jadi aku bertanya dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
“Nene-chan,
kenapa kamu melakukan hal itu hari ini?”
“... Apa yang kamu bicarakan?”
“Maksudku,
ketika semua orang bertanya, kamu ikut-ikutan
menebak meskipun sudah tahu jawabannya.”
“Ehm,
karena rasanya aneh jika hanya Nene saja yang
tidak ikut dan hanya melihat dari jauh...”
Itu masuk
akal, dan aku hampir setuju, tetapi pokok permasalahannya sedikit berbeda.
“Tidak, ikut serta memang bagus. Tapi seharusnya kamu tidak perlu menjawab dengan
benar. Aku pikir Nene-chan bisa saja menjawab salah dengan baik.”
Uuugh, suara kecil seperti erangan terdengar, dan keheningan
muncul.
Sudah
kuduga, pasti begitu masalahnya.
“Jadi,
tapi, aku tidak ingin salah tentang Arata-san—”
“Maksudku,
apa kamu marah?”
Kami
berbicara pada saat yang
bersamaan, jadi aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Nene-chan.
“A-Ahem. Kamu tadi bilang apaan,
Arata-san?”
“Aku
berpikir apakah kamu marah. Karena aku melakukan pembalasan yang
kekanak-kanakan, sebenarnya Nene-chan marah dan itu sebabnya kamu bertindak
seperti itu.”
“Aku
tidak marah! Sama sekali tidak marah, kok!”
Sebelum
aku selesai berbicara, Nene-chan dengan tegas membantah pernyataanku. Aku memahami bahwa emosi dalam
suaranya itu merupakan perasaannya yang tulus. Dan kemudian, aku menyadari sesuatu.
“Jadi,
itu adalah pembalasan dari Nene-chan, ya?”
Dengan kata
lain, itu adalah pembalasan atas pembalasan, sedikit kejahilan kecil.
“Y-Ya. Sepertinya begitu. Maaf ya?
Itu pasti mengganggu...”
“Tidak,
meskipun aku merasa cemas, aku tidak merasa terganggu atau tidak menyukainya.”
Saat itu
aku memang merasa sangat gelisah,
tetapi itu karena kami saling mengenal, dan jika dipikir-pikir lagi,
kurasa tidak ada siswa lain yang
akan menganggapnya
aneh.
Dan,
pembalasan adalah tindakan yang bisa dilakukan karena ada hubungan saling
percaya, jadi mungkin Nene-chan juga berpikir seperti itu terhadapku.
“Sebenarnya,
kalau dipikir-pikir lagi sekarang, aku merasa kalau itu menyenangkan. Rasanya
seperti permainan rahasia.”
“... Pe-Permainan rahasia.”
Nene-chan
tampak kehilangan kata-kata. Mungkin ini terlalu kekanak-kanakan.
Bagaimanapun,
aku tidak ingin membawa suasana canggung atau kecurigaan aneh itu sampai
keesokan harinya, jadi aku senang bisa mengonfirmasi hari ini.
Sambil
menempelkan smartphone di telinga, aku teringat ada bahan
makanan yang lebih banyak dari biasanya di dalam kulkas dan berbicara
sendiri.
“Sebagai
permohonan maaf, aku berencana untuk membuatkan Nene-chan makan siang, tetapi
sepertinya itu tidak
perlu...”
“Eh,
serius!? Aku ingin dibuatkan! Ah, tapi aku yakin kamu akan sibuk karena kamu
baru saja menjadi guru... jadi tidak apa-apa jika tidak dibuatkan.”
Sekilas,
aku merasa suaranya dipenuhi kegembiraan, tetapi semangat itu perlahan-lahan
memudar dan dia kembali tenang.
“Haha, kamu tidak perlu mencemaskannya. Jadi,
aku akan membuatnya sebagai ungkapan terima kasih, bukan permohonan maaf.”
“Horee, terima kasih!”
Suara
Nene-chan yang lebih ceria dari biasanya membuatku ikutan merasa senang. Jika dia begitu menantikannya, aku akan berusaha keras
untuk membuatnya besok. Bukan
sebagai pembalasan, tetapi sebagai balasan atas kebaikannya sehari-hari.
◇◇◇◇
Keesokan
harinya, ketika memasuki jam istirahat makan siang
setelah jam pelajaran
selesai.
Aku
kembali ke ruang guru dan duduk di tempat yang telah ditentukan.
“Terima
kasih atas kerja kerasnya, Ichinose-sensei!”
“Terima kassih atas kerja kerasmu juga,
Kohinata-sensei.”
Kohinata-san
yang sudah duduk di sebelahku mulai menyapaku.
Sambil
berpikir bahwa dia terlihat ceria hari ini, kami saling menyapa, dan kemudian
Kohinata-san membuka mulutnya dengan tampak senang.
“Ichinose-sensei,
reputasimu di kalangan par
murid sangat baik! Mereka bilang semua penjelasanmu mudah dipahami dan mudah
untuk belajar.”
“Aku senang mendengarnya kalau aku bisa membantu
siswa.”
Aku
khawatir bahwa aku mungkin menyia-nyiakan
waktu berharga siswa untuk meningkatkan kemampuan mengajarku sendiri, jadi aku merasa lega bahwa itu
tidak terjadi.
“Sejak
kamu datang untuk praktik mengajar, pengajaran Ichinose-sensei
sudah mudah dipahami. Itu masih berlaku sampai sekarang!”
“Apa iya begitu? Tapi, terima kasih.
Senang sekali rasanya mendengar
itu dari Kohinata-sensei.”
Setelah
percakapan kami berakhir, aku mengeluarkan kotak makan siang dan botol air dari
tas.
Ketika
aku membuka kotak makan siang, ada telur dadar dan nikujaga, masakan andalanku,
serta lumpia.
Lumpia
itu merupakan hidangan yang kudapatkan
saat Nene-chan memberikan pelajaran memasak secara berkala dan dia
memberitahuku makanan favoritnya. Sisi
lainnya adalah makanan beku yang aku campurkan, sehingga berhasil menjadi satu
kotak makan siang.
Meskipun
begitu, semuanya itu tidak sebanding dengan apa
yang biasanya dibuat oleh Nene-chan.
“Eh!
Ichinose-sensei, makan siang hari ini kamu membawa
bento ya!?”
Kohinata-san
bertanya dengan bergetar.
“Ini
buatan tangan, ‘kan... eh,
apa kamu dibuatkan oleh pacarmu?”
“Tidak, aku tidak mempunyai pacar, jadi bukan seperti itu. Aku sendiri yang membuat bento ini.”
“Eh!
Benarkah!?”
Kohinata-san
menunjukkan keterkejutannya dengan tatapan penuh semangat ke arahku.
“Aku masih belum terlalu mahir membuatnya, jadi rasanya sedikit memalukan jika dilihat.”
“Itu sama sekali tidak benar! aku iri
dengan masakanmu yang sangat seimbang! Sampai bisa
memasak segala, kamu terlalu sempurna sekali, Ichinose-sensei...”
Ketika
aku melihat ke arah meja
Kohinata-san, ada mie instan yang diletakkan di sana. Mie instan itu sepertinya sudah
disiapkan sebelum aku tiba di ruang guru, karena sudah mengeluarkan uap.
“Jika
kamu mau, apa kamu mau
mencobanya sedikit?”
Mau tak mau
aku jadi menawarkan bekalku
karena tidak tega melihat bekalnya.
“Apa boleh!?”
“Ya,
silakan ambil apapun yang
kamu suka.”
“Kalau begitu, dengan senang hati aku menerimanya...”
Kohinata-san
dengan ragu-ragu mengulurkan sumpitnya dan mengambil lumpia untuk dimakan.
“Wawawa! Ini sangat enak! Jika bisa memakan bento yang luar biasa
seperti ini saat makan siang, rasanya pasti
sangat bahagia...”
“Tidak,
itu sih terlalu berlebihan.”
“Tidak
sama sekali!”
Kohinata-san
melambaikan tangannya dan memuji dengan sepenuh hati.
Saat
makan masakan buatan sendiri, aku merasakan ketenangan yang berbeda
dibandingkan dengan makanan siap saji. Apa itu yang dimaksud?
“Ichinose-sensei,
apa kamu memakan
bento bersama Kohinata-sensei?”
Aku
mendengar suara dingin dari belakang dan berbalik.
“Fujisaki-san!?”
“Ya, aku Fujisaki. Kohinata-sensei, aku membawa dokumen yang dikumpulkan
di kelas.”
“Terima
kasih. Kalau tidak salah hari ini memang giliranmu bertugas ya, Fujisaki-san?”
Setelah
Nene-chan menjawabku, dia menyerahkan dokumen kepada Kohinata-san.
“Ngomong-ngomong,
lihatlah ini Fujisaki-san! Bukannya bento
Ichinose-sensei terlihat sangat
luar biasa!? Aku sudah mencoba lumpianya, dan rasanya
sangat enak!”
“Hee, jadi kamu memberikannya, ya?”
Nene-chan
menoleh dan tersenyum ke arahku. Entah
kenapa, aku merasakan keringat dingin mengalir di punggungku.
“Jadi,
kami sedang berbicara tentang seberapa
bahagianya bisa makan bento seperti ini saat makan siang!”
“Itu memang membahagiakan, ya.”
“Eh?”
“Aku salah bicara. Aku
juga berpikir itu pasti bahagia.”
Setelah
Nene-chan tersenyum manis, dia meninggalkan ruang guru.
“Bahkan
Fujisaki-san bisa salah bicara, ya. Tapi, kata-katanya terasa sangat tulus,
jadi aku terkejut.”
“Y-Ya, benar.”
Aku hanya
bisa mengangguk samar mendengar kata-kata Kohinata-san.
◇◇◇◇
Setelah
istirahat makan siang, aku tidak memiliki kelas
yang aku ajar, jadi aku fokus pada penelitian materi ajar. Setelah pulang sekolah, aku masih
tinggal di ruang guru untuk sedikit lebih lama,
tapi tidak ada siswa yang datang untuk bertanya, jadi aku memutuskan untuk
pulang.
Sebelum
pulang, aku mengumpulkan sampah di ruang guru. Jika di kelas atau gedung
sekolah, ada siswa
yang membersihkan, tapi
di ruang guru tidak bisa membiarkan siswa melakukannya. Sepertinya ini
bergiliran di antara para guru.
“Kalau begitu, aku pamit permisi dulu.
Terima kasih atas kerja kerasnya.”
Sebelumnya,
aku hampir tidak pernah pulang lebih awal dari orang lain di perusahaan, jadi
rasanya lumayan segar mendengar kata-kata itu
keluar dari mulutku.
Karena
ini bukan perusahaan, aku tidak yakin apakah sapaan ini tepat, tetapi tidak ada
yang memperingatkanku, jadi sepertinya tidak masalah.
Masih
ada beberapa guru yang tersisa untuk rapat di ruang
guru, ada yang sedang
merencanakan pelajaran untuk hari berikutnya, atau membimbing
kegiatan ekstrakurikuler, jadi masih ada banyak
orang, dan mereka membalas kembali sapaanku.
Mereka
sangat teratur dalam menyapa, mengingat mereka mengajarkan hal yang sama kepada
siswa. Aku
membawa kantong sampah keluar dari ruang guru dan menuju kotak sepatu
guru.
“Ichinose-sensei,
selamat tinggal.”
“Iya, selamat tinggal.”
Sambil
bertukar sapaan dengan siswa yang lewat, aku melangkah di lorong. Bukan “Terima kasih atas kerja kerasnya”,
tetapi “selamat tinggal”, kata-kata biasa itu memberikan rasa nostalgia
tersendiri.
Karena
hubungan hierarki di klub dan pengalaman kerja paruh waktu, sapaan perlahan
berubah menjadi “Terima kasih atas kerja
kerasnya”. Tidak
ada yang baik atau buruk tentang hal itu, tetapi hanya saja, aku merasakan
kehadiranku di sekolah melalui suara kata “selamat tinggal”.
Aku
mengganti sandal dalam ruangan
dengan sepatu di kotak sepatu. Karena tempat pembuangan sampah berada di
belakang gedung sekolah, rasanya jauh
lebih efisien untuk membuangnya saat pulang.
Saat aku berjalan menuju tujuan, aku
melihat wajah yang sudah sangat familiar.
Rambutnya
yang hitam dan merah berkilau seperti sutra melambai. Nene-chan sedang berjalan
ke suatu tempat. Dia membawa tas, tetapi arahnya berbeda dari gerbang sekolah,
jadi sepertinya dia memiliki urusan yang perlu
dilakukan.
Sejenak, aku
merasa ragu untuk memanggilnya, tetapi
merasa enggan untuk berbicara tanpa ada urusan di sekolah.
Namun,
karena arah yang dilaluinya sama, jadi aku
akhirnya mengikuti di belakangnya.
Nene-chan
berbelok menuju tempat pembuangan sampah dan melanjutkan ke belakang gedung
sekolah.
Ketika
aku berusaha pergi ke tempat pembuangan sampah tanpa khawatir, aku merasakan
bayangan orang di depan Nene-chan. Nene-chan dan seorang siswa laki-laki yang
tidak dikenal. Meskipun itu saja, aku seharusnya melakukan pekerjaan yang
dipercayakan padaku, tetapi suasana yang serius membuatku secara tidak sadar
berhenti.
“Terima
kasih sudah datang, Fujisaki-san.”
“Apa yang ingin kamu bicarakan?”
Nene-chan
menjawab dengan tenang kepada siswa laki-laki yang tersenyum cerah. Suasana di
antara mereka tidak terlihat akrab.
Kemudian,
aku teringat tempat ini. Ini bukan hanya tempat pembuangan sampah, tetapi juga
lokasi yang sepi di belakang gedung sekolah, dan jika sudah selesai
bersih-bersih setelah sekolah, jarang sekali ada
orang yang datang. Selama masa sekolah, aku juga pernah dipanggil beberapa kali
di sini.
Situasi
saat ini mirip dengan saat itu. Jika situasinya sama, maka tujuan siswa
laki-laki itu adalah....
“Aku akan mengatakannya secara
langsung. Fujisaki-san, aku suka padamu. Apa kamu bersedia berpacaran denganku?”
Pengakuan,
seperti yang aku duga.
“Maaf.”
Nene-chan bahkan tidak perlu merasa ragu dan langsung
memutuskan dengan tegas.
Saking
tegasnya sampai-sampai lawan bicaranya tampak terdiam
seolah ia tidak menyadari bahwa dirinya sudah
ditolak.
“Umm, kenapa…? Bukannya lebih baik kalau
seharusnya kamu bisa memikirkannya
sedikit lebih lama lagi? Aku
rasa aku punya wajah yang oke, dan aku selalu masuk sepuluh besar dalam nilai,
jadi kupikir aku adalah calon yang baik.”
Memang benar,
persis seperti yang dikatakan anak laki-laki itu,
wajahnya tampan dan terlihat cerdas, senyum pertamanya juga memberikan kesan
yang baik, dan sepertinya ia juga
populer di kalangan siswi, jadi penilaian dirinya tidak terlalu
berlebihan.
“Aku
sudah memiliki seseorang
yang kusukai, jadi
aku tidak berniat untuk berpacaran
denganmu.”
“Katanya
kamu selalu menolak dengan cara seperti
itu, tapi itu cuma alasan
untuk menolak, ‘kan? Coba
deh, kita pacaran sebentar
saja, sebagai percobaan. Setelah itu, kamu bisa mengenalku lebih baik.”
“Aku
tidak pernah berpikir untuk berpacaran
sebagai percobaan. Dari sekarang aku sudah tahu bahwa pandangan kita sama sekali tidak cocok. Sampai
jumpa.”
“Eh,
tunggu sebentar!”
Saat
Nene-chan berbalik dan mencoba pergi, anak
laki-laki itu
mengulurkan tangannya untuk mencoba meraihnya.
“Kamu akan
dibenci jika terlalu ngotot begitu.”
Aku
menangkap tangannya yang mencoba meraih Nene-chan dan menghentikannya.
Aku tidak
ingin mengganggu kejadian pengakuan tersebut, jadi aku menunggu sejenak untuk
membuang sampah dan mengamati, tapi sebagai seorang guru, aku tidak bisa mengabaikannya yang berusaha meraih
seorang gadis dari belakang.
Siswa laki-laki itu tersentak kaget karena ada pihak
ketiga yang tiba-tiba muncul. Tenaga
di tangannya pun melemah, jadi aku melepaskan tanganku.
“Itu
memang tidak baik, ya… Maafkan aku.”
Setelah
mengucapkan itu, siswa laki-laki itu pergi. Kejutan karena dicampakkan mungkin
menyebabkan dia melakukan sesuatu yang tidak terduga. Setelah mendapatkan
kembali ketenangannya, ia meminta maaf dengan tulus.
Aku
mengajak bicara Nene-chan yang memperhatikan seluruh kejadian itu.
“Nene-chan,
apa kamu baik-baik saja?”
“Terima
kasih banyak, Ichinose-sensei.”
Hehe, Nene-chan masih tetap tersenyum meskipun dia baru saja mengalami
situasi berbahaya.
“Ada
apa?”
Menjawab
pertanyaanku, Nene-chan mendekat dan berbisik.
“Arata-san, kamu tadi kembali memanggilku dengan panggilan Nene-chan.”
“Ah, aku keceplosan…”
Aku baru menyadarinya saat
Nene-chan mengingatkanku. Seharusnya aku sangat berhati-hati di sekolah, tapi
kenapa bisa begitu.
“Yah,
saat ini tidak apa-apa, ‘kan?
Lagipula tidak ada orang di sekitar kita.
Ngomong-ngomong, kenapa kamu ada di sini?”
“Hmm, ah, aku berpikir mau membuang sampah.”
Aku
mengambil kantong sampah yang kutinggalkan.
“Begitu ya, jadi
Arata-san tidak mengejar Nene
ya?”
“Benar,
aku hanya kebetulan berada di sini.”
“Eh?”
Nene-chan
mengeluarkan suara yang terdengar sedikit kecewa. Aku merasakan suaranya di
punggungku saat membuang sampah. Aku merasakan suasana menjadi lebih ringan
dengan interaksi seperti itu.
Setelah itu,
kami kemudian berjalan bersama sampai gerbang sekolah.
Aku merasa tidak ada yang aneh berbicara dengan siswa yang kebetulan
berbarengan.
“Bento-nya
enak sekali. Terima kasih ya.”
“Aku senang mendengarnya.”
Seharusnya
aku senang menerima pujian dari guru memasakku, Nene-chan, tetapi entah kenapa
jawabanku terasa kurang bersemangat.
“Umm, apa kejadian seperti hari ini
sering terjadi?”
Aku
terkejut dengan kata-kata yang keluar dari mulutku sendiri.
“Tidak,
lupakan saja yang tadi…”
“Maksudnya tentang pengakuan? Itu memang sering terjadi, tapi aku tidak pernah mengalaminya sampai
dikejar seperti hari ini.”
Aku
berusaha mengalihkan topik, tetapi tampaknya itu tidak berhasil. Karena aku tidak bisa mengubah topik, jadi aku memutuskan untuk
melanjutkan.
“Begitu
ya, syukurlah kalau begitu.”
“Apa kamu
khawatir?”
“Khawatir…
yah, mungkin begitu.”
Setelah
itu, pembicaraan tidak banyak
berkembang, dan tiba-tiba kami sudah berada di gerbang sekolah.
“Selamat
tinggal, Ichinose-sensei.”
“Selamat
tinggal, Fujisaki-san.”
Saat kami berbicara di tempat pembuangan
sampah, kami sepakat untuk berjalan bersama sampai gerbang sekolah, jadi
Nene-chan berjalan lebih dulu menuruni bukit.
Aku
merasa bingung mengapa aku bertanya seperti itu sebelumnya. Apa yang ingin aku
ketahui dengan pertanyaan itu?
Meskipun
aku menatap punggungnya yang anggun semakin
menjauh, aku masih tidak bisa menemukan jawabannya.
◇◇◇◇
Aku mulai
terbiasa dengan pekerjaan baruku sebagai guru,
dan setelah tiga minggu menjalani kehidupan sebagai guru yang dimulai awal
Juli, akhirnya kami mencapai hari terakhir semester pertama.
Dalam
upacara penutupan, guru pembimbing memberi peringatan di panggung agar siswa
tidak terlalu bersenang-senang meskipun mendapat liburan
panjang.
Meskipun
siswa di Sekolah SMA
Amagamine memiliki kebebasan, sebagian besar dari mereka tahu batasan, sehingga
tidak pernah ada insiden yang mengakibatkan
sanksi atau skorsing. Meskipun begitu, peringatan tetap diberikan sebagai
bagian dari etika sosial di sekolah.
Saat
mengingat bagaimana aku menghabiskan liburan musim panas di masa SMA, aku
teringat bahwa karena berasal dari keluarga orang tua tunggal,
aku banyak bekerja paruh waktu untuk membantu keuangan keluarga dan hampir
semua waktu luang dihabiskan untuk belajar.
Kadang-kadang
Kyohei mengajakku bermain, tetapi
kami hanya berbincang-bincang di restoran keluarga karena mempertimbangkan situasiku. Aku masih mengingat mendengarkan semangat Kyohei yang berkata, “Kalau ngomongin anak pelajar,
sudah pasti tentang cinta!” sambil
belajar.
Ketika
liburan musim panas berakhir dan aku kembali ke sekolah, aku terkejut melihat
hubungan yang berubah tanpa kusadari.
Meskipun
aku seorang guru, aku merasa tidak pantas merenungi masa lalu saat mengikuti upacara
penutupan, tapi tiba-tiba
terdengar suara rendah seperti dentuman di lantai gymnasium.
“Kyaa, Fujisaki-san!?”
Suara itu
membuatku menoleh, dan bersamaan dengan itu, terdengar suara seseorang. Di
sana, ada Nene-chan yang terjatuh di lantai gymnasium. Aku
tidak bisa tinggal diam dan segera berlari menghampirinya. Aku berlutut agar
bisa menatapnya.
Wajah
Nene-chan yang bisanya memiliki
kulit putih tembus pandang kini tampak pucat dan kehilangan warnanya.
“Fujisaki-san,
apa kamu baik-baik saja?”
“Ichinose-sensei,
bisa tolong bawa Fujisaki-san ke ruang kesehatan?”
Aku
mendengar suara guru wali kelasnya,
Kohinata-san, yang terdengar
terlambat. Karena aku berdiri di sisi siswa kelas tiga, sepertinya aku yang
paling cepat sampai.
“Ya, aku mengerti. Fujisaki-san, apa kamu bisa berdiri?”
Nene-chan
hanya menggelengkan kepalanya
tanpa suara. Alih-alih menggeleng, itu lebih seperti gerakan kecil yang
menunjukkan ketidakberdayaan. Hal tersebut
sudah cukup menunjukkan bahwa dirinya
tidak dalam kondisi baik.
Upacara
penutupan diadakan di dalam gedung
gymnasium, meskipun di dalam ruangan, tapi
semua siswa dan guru berkumpul sehingga bisa
menimbulkan suasana panas dan lembap. Aku ingin segera keluar
dari situasi ini dan memberinya ketenangan.
“Permisi.”
Aku
menyelipkan kedua tanganku di
punggung dan di belakang lututnya untuk mengangkatnya. Aku merasakan tatapan
dari sekeliling, tetapi saat ini yang paling penting adalah kondisi
Nene-chan.
“Maaf…”
suara kecil dan lemah itu terdengar dari dadaku.
◇◇◇◇
“Tidak
ada demam, jadi sepertinya
kamu hanya mengalami sedikit anemia. Mari kita
istirahat dulu.”
“Ya…”
Guru
kesehatan itu menyimpan termometer yang diterimanya.
Meskipun
suara Nene-chan yang sedang berbaring
di tempat tidur masih terengar lemah,
tapi warna wajahnya mulai kembali
normal.
Setelah
membawanya ke ruang kesehatan, aku duduk di bangku dekat tempat tidur Nene-chan
yang sedang tidur.
“Syukurlah
kamu tidak mengalami sengatan
panas.”
Aku
akhirnya bisa menghela napas setelah mendengar kata-kata dari guru
kesehatan.
“Aku minta maaf ya,
Ichinose-sensei. Masih ada
siswa lain yang juga tidak enak badan, dan aku
akan membawanya ke rumah sakit, jadi apa aku
boleh meminta bantuan Ichinose-sensei untuk menghubungi rumah Fujisaki-san?
Dan jika memungkinkan, aku ingin kamu mengawasinya…”
“Ya, baiklah, aku mengerti.”
Hari ini
adalah upacara penutupan, jadi seharunya tidak
ada masalah karena tidak ada jadwal jam pelajaran.
Setelah
mendengar jawabanku, guru kesehatan itu segera meninggalkan ruang
kesehatan.
Meskipun
aku adalah guru paruh waktu, aku merasa sangat kurang karena tidak menghubungi
orang tua siswa yang sakit, dan hanya bisa mengawasi situasi. Meskipun aku bisa
mengajar, aku merasa masih banyak yang harus diperbaiki dalam hal lainnya.
Namun sekarang, aku harus fokus pada apa yang harus kulakukan.
Ada
telepon di ruang UKS, tapi
aku tidak mengetahui nomor kontak rumah Nene-chan.
Aku berdiri dari bangku untuk kembali ke ruang guru.
“Eh?”
Aku
merasakan sensasi seolah-olah celanaku
ditarik, dan posisiku menjadi tidak stabil.
Ketika aku
ingin menopang kembali badanku dengan tangan, tapi di depanku ada Nene-chan. Aku merasa ada
yang tidak beres dan dengan cepat meletakkan tangan di tempat tidur untuk
menghindarinya.
Aku
berhasil tidak menimpanya, tetapi posisiku justru menjadi menutupi
Nene-chan.
Tatapan mataku bertemu dengan mata indah
Nene-chan. Karena sebelumnya dia menggunakan termometer, kancing baju Nene-chan
yang biasanya terpasang rapat sekarang terbuka sedikit.
“Maaf,
aku akan segera menjauh.”
Saat aku
mencoba menjauh, lengan Nene-chan yang putih
dan ramping melingkar di leherku.
“Fujisaki-san?”
“Karena tidak ada guru kesehatan di sini,
jadi panggil saja aku
Nene-chan. Oke, Arata-san?”
“Itu
tidak bisa…”
Sebelum
aku menyelesaikan kalimatku, aku ditarik lebih dekat ke wajahnya.
Aroma
lembut dan manis Nene-chan menggelitik hidungku.
“Bisa
berduaan di ruang kesehatan begini bikin
deg-degan, ya?”
Nene-chan
tersenyum kecil di depan mataku.
Deg-degan,
memang detak jantungku semakin meningkat.
Jika ada yang melihat kami dalam posisi ini, itu pasti
akan sangat buruk. Untungnya, tempat tidur ini dikelilingi tirai.
“Nene-chan,
bisakah kamu melepas
tanganmu? Aku jadi tidak bisa bergerak.”
Sebenarnya,
aku bisa saja bergerak
jika mau, tetapi melepas tangannya secara paksa pada Nene-chan yang tidak enak
badan terasa tidak pantas.
“Arata-san masih kelihatan tenang,
ya?”
Nene-chan
mengerucutkan bibirnya yang tipis dan anggun dengan ekspresi membosankan,
seperti anak kecil.
Mana mungkin
aku bisa kelihatan tenang dalam situasi ini, aku hanya berusaha menyembunyikannya. Karena aku adalah orang dewasa.
“Ei~”
Dibarengi dengan seruan Nene-chan,
pandanganku seketika menjadi
gelap, dan aku merasakan sesuatu yang lembut di wajahku.
Selain
aroma lembut dan manis itu, aku juga merasakan bau keringat akibat cuaca panas
dan suhu tubuhnya.
Ini
benar-benar tidak baik.
“Aku sudah membuatmu khawatir, ya. Maafin aku ya…”
Kamu tidak
perlu minta maaf segala hanya
karena sudah membuatku
khawatir, yang lebih penting, apa kamu
bisa melepaskanku?.
Meskipun aku ingin
mengatakannya, tapi mulutku
tertekan di dada Nene-chan
dan suaraku tidak keluar.
Saat aku
berusaha bergerak, kekuatan pelukan Nene-chan justru semakin bertambah kuat saat dia mendekapku.
Aroma,
suhu tubuh, dan sentuhan semuanya merangsang otakku sehingga aku tidak bisa
bergerak.
“Nene,
apa kamu baik-baik saja?”
“Nene-chi?”
Pintu
geser terbuka dengan suara berderit, dan ada
siswa yang masuk ke dalam ruang UKS.
Sepertinya jam wali kelass sudah
selesai.
Karena
aku khawatir tentang kondisi Nene-chan, aku tidak ingin melakukan gerakan
kasar, tetapi sekarang bukan saatnya untuk memikirkan itu. Ketika aku berusaha
melepaskan diri, kekuatan pelukan itu tiba-tiba melemah.
“Aku
sudah tidur sebentar, jadi sekarang aku sudah
baik-baik saja.”
Nene-chan
menjawab dari balik tirai. Setelah itu, Nene-chan berusaha untuk duduk dan berdiri.
Nene-chan
berbalik, mengangkat jari telunjuk di depan mulutnya sembari tersenyum, lalu melangkah keluar
dari tirai.
“Maaf ya sudah membuat kalian berdua khawatir.”
“Nene-chi,
aku kaget banget karena kamu tiba-tiba pingsan!”
“Nene, wajahmu masih kelihatan agak memerah. Kalau kamu masih tidak enak badan, mendingan kamu tidur lagi saja, oke?”
“Aku
baik-baik saja. Ayo pulang bersama.”
“Ya, ayo
pulang~ ayo pulang~! Besok sudah mulai liburan musim panas! Kita mau main ke
mana?”
“Ke pantai,
dong!”
“Himari-chi, ide
bagus tuh!”
“Kalian
berdua ‘kan peserta ujian tahun ini, jadi kita semua tetap harus
belajar.”
“Libur
musim panas terakhir di sekolaH SMA,
masa harus belajar terus sih!”
Sambil
bercakap-cakap ringan, Nene-chan dan yang lainnya meninggalkan ruang
kesehatan.
“Apa-apaan tadi itu…”
Aku terdiam sendirian di depan tempat tidur yang masih
menyimpan kehangatan Nene-chan.
◇◇◇◇
“Hari ini
juga rasanya enak.”
“Terima
kasih.”
Aku
menyambut keesokan harinya tanpa
bisa bertanya kepada Nene-chan tentang kejadian kemarin,
dan seperti biasa, kami duduk berdampingan di meja menikmati bekal yang
dibuatnya.
Hari ini,
bekal buatan Nene-chan juga enak. Mungkin karena cuaca yang panas, rasanya jadi sedikit lebih asin.
Sambil menikmati
makanan, pikiranku kembali teringat pada kejadian di ruang kesehatan kemarin.
Aroma, sentuhan, dan suhu saat itu semuanya sangat mengejutkan dan terukir
jelas di ingatanku.
Aku
mencuri-curi pandang ke arah wajah Nene-chan,
tetapi tampaknya dia terlihat sama seperti kemarin.
“Liburan musim panas dimulai hari ini, tapi kamu mau melakukan apa, Arata-san?”
“Aku
sebagai pengajar paruh waktu dan tidak
mempunyai jadwal mengajar, jadi aku menjalani liburan musim panas sama seperti siswa,
tapi ada sesuatu yang
harus kulakukan, jadi aku berencana ke
sekolah.”
“Ada yang
harus dilakukan meskipun tidak ada jadwal mengajar?”
“Ya, aku
akan berada di ruang belajar untuk menjawab pertanyaan siswa dan menjadi mentor untuk memberikan
bimbingan tentang jalur karier mereka.”
Aku terus
menjelaskan pada Nene-chan, yang memiringkan kepalanya saat mendengar kata ‘mentor’ yang tidak familiar.
“Mentor memiliki arti sebagai penasihat
atau teman untuk berkonsultasi. Di dalam
perusahaan, mentor biasanya bukan atasan langsung bagi karyawan baru, tetapi
lebih cenderung sebagai sosok yang dekat untuk
memberikan dukungan dan saran. Akhir-akhir ini, konsep ini juga diterapkan di
sekolah. Aku adalah alumni dari SMA Amagamine, dan karena usiaku relatif dekat
dengan siswa, serta memiliki pengalaman bekerja di perusahaan, aku dianggap
cocok sebagai penasihat dalam hal kehidupan sekolah dan jalur karier.”
“Nene belum pernah menggunakan ruang
belajar, tapi jika Arata-san ada
di sana, mungkin Nene akan mencobanya.”
“Jika kamu ingin datang, jangan lupa untuk belajar
dengan serius.”
“Tentu
saja.”
Kekhawatiran
itu tampaknya berlebihan untuk Nene-chan yang serius.
Meskipun
kami sedang berbicara, aku merasa kata-kata hanya keluar dari mulutku,
sementara pikiranku berada di tempat lain.
“Aku sudah tidak tahan lagi.”
Aku meraih tangan Nene-chan dan
berdiri.
“Ap-Apa? Ada apa Arata-san?”
“Cepat, kemarilah.”
Nene-chan
mengikutiku tanpa menunjukkan perlawanan saat aku menarik tangannya.
“Umm.... ini kamar tidurmu, ‘kan?”
“Ya,
benar.”
“Apa yang ingin kamu lakukan dengan
membawaku ke tempat seperti ini?”
“Cuma ada satu hal kenapa aku membawamu kemari.”
Aku
meraih bahunya yang anggun dan membawanya duduk di tepi tempat tidur. Meskipun
agak memaksa, tapi aku tidak mempunyai pilihan lain.
Bahunya
terlihat tipis dan rapuh sehingga
aku merasa seolah-olah pundaknya bisa
hancur kapan saja jika aku memberi tekanan terlalu
kuat.
“Aku
tidak bisa melupakan apa yang terjadi kemarin, bahkan sekarang aku terus memikirkan
hal itu. Sejak awal semuanya itu
salah Nene-chan.”
Nene-chan
menatapku dengan ekspresi
terpesona di wajahnya. Matanya
yang lembab tampak
bergetar.
“Apa kamu mau mendengarkan permintaanku?”
“Iya, boleh.”
Dalam
keheningan yang memenuhi ruangan, aku mengucapkan permintaanku.
“Tolong tidurlah, oke?”
“...Ya.”
Nene-chan
mengangguk kecil meskipun terlihat ragu.
Kemudian,
Nene-chan seolah menyerahkan diri dan tenggelam ke dalam tempat tidur.
“Nene-chan,
kamu belum sepenuhnya pulih, ‘kan?”
◇◇◇◇
Aku
mengambil satu sendok isi panci yang mendidih dan membawanya ke arah mulutmu.
“Dengan
kelembutan seperti ini, aku yakin dia
bisa memakannya.”
Yang aku
buat adalah bubur, setelah menyesuaikan rasa dengan garam, aku menyajikannya
dalam mangkuk. Setelah menambahkan umeboshi di tengah, semuanya selesai.
Sebelum itu, aku akan memeriksa keadaan Nene-chan di kamar tidur.
“Kamu dari mana saja, Arata-san?”
Begitu aku membuka pintu kamar, Nene-chan mengangkat kepalanya
dari tempat tidur dan mengeluarkan suara seolah-olah
merasa kesepian.
“Aku
sedang membuat bubur.”
“Jangan
pergi jauh-jauh dariku.”
“Maaf,
ini untukmu, Nene-chan.”
“Kalau
begitu, tidak apa-apa.”
Suara
Nene-chan seketika berubah menjadi lebih ceria dan bersemangat.
Mungkin karena dia tidak enak badan, jadi suaranya
terdengar lebih kekanak-kanakan.
“Apa kamu
bisa memakannya?”
“Ya, aku
baru saja merasa lapar. Arata-san
benar-benar mengerti tentang Nene.”
“Ya,
benar.”
“Fufu, aku senang mendengarnya.”
Sudah
beberapa jam berlalu dan sekarang sudah siang, kemungkinan besar dia juga belum
sarapan, jadi tidak sulit untuk membayangkan kalau
perutnya kelaparan.
“Kalau
begitu, mari coba bangun sebentar.”
“...Nn.”
Aku perlahan membangunkannya sambil mendukung tubuh Nene-chan.
Di tangannya terdapat boneka 'Dekakawa' yang dipeluk erat di
dadanya.
Setelah
itu, Nene-chan yang mendengarkan permintaanku ternyata memiliki kebiasaan
memeluk boneka saat tidur dan dengan malu-malu mengungkapkan bahwa dia ingin
aku membawakan 'Dekakawa'.
Karena
dia mengatakannya dengan serius, aku jadi bersiap-siap memenuhi apapun keinginannya, tetapi
isi pembicaraannya terlalu imut sehingga aku tidak bisa menahan tawa.
Setelah
itu, aku buru-buru mengambil boneka binatang dan memberikannya kepada
Nene-chan, yang hampir merajuk karena aku tertawa,
untuk membuat suasana hatinya membaik. Mungkin itu sebabnya dia
memelukku kemarin.
“Aku akan
mengambil buburnya dulu.”
“Kamu akan pergi?”
Aku bisa
melihat boneka itu mengerut karena Nene-chan semakin kuat memeluknya.
“Tidak
apa-apa, aku hanya di sana.”
“Aku
merasa kesepian.”
Hari ini,
Nene-chan terlihat sangat manja. Ketika dia tidak enak badan, dia pasti merasa lebih kesepian saat
sendirian.
“Kalau
begitu, mari kita lakukan ini.”
Aku membiarkan pintu kamar terbuka dan menuju ke dapur.
Dengan cara begini,
Nene-chan bisa melihat dari tempat tidur ke arah dapur,
jadi meskipun terpisah, dia tidak akan merasa sendirian.
“Ah, aku
bisa melihat Arata-san.”
“Iya ‘kan? Jadi tenanglah.”
“Ya. Tapi
cepatlah kembali.”
Sepertinya
efek itu segera hilang. Nene-chan terus meminta agar aku cepat kembali. Aku
dengan cepat menambahkan umeboshi ke dalam bubur
dan berencana untuk memberikan kembali, tetapi Nene-chan tidak mau
menerimanya.
“Nene-chan,
jika kamu tidak makan, kamu tidak akan
sehat.”
“Hmm, aku
ingin Arata-san yang menyuapiku makan.”
“Aku?”
“Ya.”
Kedua
tangan Nene-chan tidak mau melepaskan boneka, dan aku merasakan tekad yang kuat
di situ. Mungkin dia tidak bisa tenang jika tidak memeluk boneka itu. Meskipun aku merasa sedikit malu,
aku tidak punya pilihan lain selain melakukannya.
Setelah
menghancurkan umeboshi dengan sendok, aku mengambil satu sendok bubur dengan
keseimbangan yang baik antara bubur dan umeboshi.
“Ini,
silakan.”
Nene-chan
menggelengkan kepalanya saat dia melihat sendok yang kuberikan padanya. Aku kebingungan apa ada yang salah, padahal aku sudah menambahkan umeboshi
yang dia suka.
“Enggak mau, coba bilang
'ah~n'.”
Dia
tampak marah dengan pipi yang menggelembung.
Oh, jadi
begitu rupanya. Sekarang aku akan mengikuti
perintahnya.
“...Ah~n.”
“Hmm,
enak!”
Saat aku
melihat mata Nene-chan bersinar karena kegembiraan, rasa maluku tidak lagi
berarti.
Setelah
itu, Nene-chan memiringkan kepalanya.
“Tapi
mungkin rasanya agak hambar…?”
“Itu
tidak mungkin.”
Aku sudah
mencicipi saat membuatnya dan memastikan itu tidak hambar.
“Ketika kamu sedang tidak enak badan,
kadang-kadang sulit merasakan rasa atau terasa pahit.”
Itulah yang membuatku
menyadari bahwa Nene-chan tidak enak badan. Rasa masakan hari ini cukup kuat.
Awalnya, aku mengira dia menyesuaikan bumbu karena musim panas, tetapi masakan
Nene-chan selalu lembut dan enak, jadi rasanya ada
yang janggal. Ketika aku memasak sendiri di pagi hari dan
mencicipinya, rasanya terasa hambar, dan ketika aku menyesuaikannya hingga
sesuai dengan seleraku, ternyata rasanya
menjadi terlalu kuat.
Ketika aku melihat wajah Nene-chan, dia
tampak tidak jauh berbeda
dari kemarin. Aneh rasanya jika dia tidak berubah dari keadaan sakit yang
membuatnya jatuh pingsan
kemarin.
“Nene-chan,
kamu tidak perlu memaksakan diri agar
tidak membuatku khawatir.”
“Uu...
maafkan aku.”
“Kamu tidak perlu meminta maaf segala. Merisaukan orang-orang terdekat
adalah hal yang wajar dan bukan sesuatu yang buruk.”
Kalau
begitu, Nene-chan berkata setelah memberikan
pengantar.
“Terima
kasih.”
“Ah,
sama-sama.”
Setelah
itu, Nene-chan menghabiskan semua bubur dan perlahan-lahan kembali tertidur.
Dada
Nene-chan naik turun dengan teratur, dan suara napasnya yang nyaman terdengar. Aku merasa lega setelah melihat
Nene-chan yang tidur dengan ekspresi lebih tenang dibandingkan dengan kemarin.
Seiring
berjalannya waktu yang mengalir dengan tenang, aku mengelus-ngelus kepalanya sambil berdoa supaya kesehatannya segera membaik.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya